13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem Secara leksikal, sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Hartrisari (2007), mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk/struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Pengertian unsur adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Kinerja sistem ditentukan oleh fungsi unsur. Gangguan salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem disebut bagian sistem atau sub-sistem (Muhammadi et al., 2001). Sistem terdiri atas komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil disebut dengan sub-sistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut (Muhammadi et al., 2001).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
14 Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah: (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) sibernitik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat yang efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient, akan lebih baik apabila hasilnya efektif dan sekaligus efisien.
2.1.2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004). Menurut Eriyatno (1999) karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuan.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
15
2.1.3. Model Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Menurut Eriyatno (1999), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004). Menurut Muhammadi et al. (2001), berdasarkan adanya pemahaman tentang kejadian sistemik, ada lima langkah yang dapat ditempuh untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu: Langkah pertama, identifikasi proses, yaitu mengungkapkan pemikiran tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata (actual state). Proses nyata tersebut merujuk kepada obyektivitas dan bukan proses yang dirasakan atau subyektivitas. Langkah kedua, identifikasi kejadian yang diinginkan adalah memikirkan kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan ataupun yang direncanakan (desired state). Keharusan, keinginan, target dan rencana merujuk kepada waktu yang akan datang, sehingga disebut pandangan ke depan atau visi. Visi yang baik perlu dirumuskan dengan kriteria layak (feasible) dan dapat diterima (aceptable). Langkah ketiga, memikirkan tingkat kesenjangan antara kondisi faktual dengan yang diinginkan. Kesenjangan adalah masalah yang harus dipecahkan atau merupakan tugas (misi) yang harus diselesaikan. Perumusan masalah secara konkrit bisa dinyatakan dalam ukuran kuantitatif atau kualitatif. Langkah keempat, identifikasi mekanisme tentang variabel-variabel untuk menutup kesenjangan antara faktual dengan kejadian yang diinginkan. Dinamika tersebut adalah aliran informasi tentang keputusan-keputusan yang telah bekerja dalam sistem, yang merupakan hasil pemikiran dari proses pembelajaran yang dapat bersifat reaktif ataupun kreatif. Pemikiran reaktif ditunjukkan oleh aksi yang bentuk atau polanya sama dengan tindakan masa lampau dan kurang antisipatif terhadap kejadian yang akan datang. Sedangkan pemikiran kreatif ditunjukkan oleh aksi yang bentuk atau polanya berbeda dengan masa lampau yang dapat
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
16 bersifat penyesuaian tindakan masa lampau (adjustment) atau berorientasi masa depan (visionary). Langkah kelima, analisis kebijakan, yaitu menyusun alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan. Alternatif tersebut dapat satu atau kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional. Intervensi struktural artinya mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem, sedangkan intervensi fungsional artinya mempengaruhi fungsi unsur dalam sistem. Pengembangan dan penetapan alternatif intervensi tersebut dipilih setelah dilakukan pengujian (simulasi komputer atau simulasi pendapat pakar). Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
2.2. Sistem Produksi Padi Sawah Padi merupakan salah satu komoditas prioritas yang menjadi fokus perhatian saat ini dan di masa yang akan datang. Prioritas komoditas ditetapkan berdasarkan kriteria kuantitaif, mencakup: produksi, luas panen, nilai tambah, serapan tenaga kerja dan daya saing (Suryana, 2005). Indikator dapat pula bersifat kualitatif, seperti kebijakan, sosial-budaya, dan manajemen industri. Pemberian
indeks
untuk
masing-masing
indikator
dilakukan
dengan
memanfaatkan expertise judgement oleh pakar yang berpengalaman luas pada bidangnya. Pada umumnya usaha tani padi di Indonesia diusahakan dalam skala kecil oleh sekitar 18 juta petani, akan tetapi usaha tani padi menyumbang 66% terhadap produk
domestik
bruto (PDB)
tanaman
pangan,
memberikan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga dengan sumbangan pendapatan 25-35% (Badan Litbang Pertanian, 2005b). Oleh sebab itu, komoditas padi tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisiasi pertanian ke depan.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
17 Pengertian skala usaha tani mengacu pada konsep "retun to scale". Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis mengenai skala optimal usaha tani (Chavas, 2001 dalam Sumaryanto, 2009). Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan. Sen (1962) menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usaha tani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) yang dikutip dari Sumaryanto (2009) memperoleh kesimpulan bahwa pada usaha tani di India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usaha tani karena secara umum ternyata usaha kecil berada pada kondisi "constant return to scale". Dalam konteks penelitian ini pengertian mengenai skala usaha tani akan dikaitkan dengan kebutuhan hidup layak minimal petani dan garis kemiskinan (poverty line) yang diacu di wilayah perdesaan.
2.2.1. Faktor-Faktor Produksi Padi Sawah Dalam sistem produksi padi sawah terdapat tiga faktor dasar paradigmatik, yaitu benih, tanah dan tenaga (Sitorus, 2006). Ketiga unsur dasar tersebut membentuk pertanian melalui proses interaksi triangular yang berpusat pada budaya tertentu. Implikasi dari asumsi ini adalah bahwa pengembangan benih, tanah dan tenaga yang unggul berikut pola interaksi berinti budaya antara ketiganya harus menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem produksi padi. Sedangkan faktor-faktor produksi, seperti pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian (alsintan) bersifat pendukung (supportif) terhadap ketiga unsur dasar tersebut. Pupuk dan air irigasi adalah faktor pendukung untuk tanah; obatobatan adalah faktor pendukung untuk benih, sedangkan alsintan adalah faktor pendukung untuk tenaga kerja (petani), dalam arti meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja petani. Implikasi asumsi ini bahwa fokus aktivitas pengembangan sistem produksi padi bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-obatan-alsintan” ke “benih-tanah-tenaga”. Benih adalah faktor produksi yang menjadi penentu utama atau ”patokan dasar” tingkat perkembangan dan kemajuan pertanian, sehingga efektivitas faktor-faktor produksi akan ditentukan oleh tingkatan teknologi benih (Sitorus, 2006). Di antara komponen teknologi produksi, varietas unggul mempunyai peranan yang lebih besar dalam peningkatan produktivitas padi. Hasil riset World
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
18 Bank menyimpulkan, benih varietas unggul bersertifikat (VUB) merupakan penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi, diikuti irigasi (5%) dan pupuk (4%). Interaksi VUB, irigasi, dan pupuk dapat meningkatkan produktivitas mencapai 75%, sedangkan sumbangan dari perluasan areal tanam hanya 25%. (Fagi et al., 2001). Mayoritas produksi padi nasional (69%) disumbang oleh penggunaan benih VUB dan sisanya oleh varietas sedang (16%), dan rendah (15%). Penggunaan benih VUB secara nasional baru mencakup 47% dari kebutuhan benih padi nasional (Sitorus, 2009a). Lebih lanjut Sitorus menyatakan bahwa benih padi VUB adalah determinan pokok peningkatan produksi, sehingga dapat dikatakan bahwa swasembada beras hanya mungkin dicapai di atas basis ketersediaan benih padi VUB. Peranan benih padi VUB, tidak terlepas dari peranan produsen benih dan sistem perbenihan nasional. Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan bahwa peningkatan jumlah benih padi VUB berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional. Benih padi VUB produksi Sang Hiang Sri memasok 61% dari pangsa penggunaan benih bersertifikat secara nasional, atau 28% dari total kebutuhan benih nasional (292.500 ton). Fakta ini membuktikan, peran signifikan benih VUB dalam pencapaian swasembada beras tahun 1984 dan 2008 (Sitorus, 2009a). Kemampuan industri benih padi untuk memenuhi total kebutuhan benih nasional, baru mencapai 47%, artinya, lebih dari setengah kebutuhan benih padi nasional (53%) dipenuhi oleh benih nonsertifikat bermutu rendah yang dihasilkan petani dan penangkar lokal. Faktor produksi tanah, mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaiki atau diperbaharui karena memerlukan waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah (Arsyad, 2006). Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi, topografi yang curam dan sumber daya manusia yang tergolong rendah, sehingga masalah degradasi tanah cukup penting diperhatikan. Degradasi tanah adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
19 dapat
diganti
(Sitorus,
2009b).
Degradasi
tanah
adalah
proses
yang
menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan. Salah satu indikator menurunnya kualitas lahan, khususnya sawah adalah menurunnya kandungan C organik tanah. Faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara lain erosi tanah, hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah karena pencucian (leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air (Arsyad, 2006; Sitorus, 2001). Secara umum degradasi tanah disebabkan oleh faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Faktor alami penyebab degradasi tanah, antara lain: lahan berlereng curam, tanah yang mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain (Sitorus, 2009b). Sedangkan degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan (poverty), masalah kepemilikan lahan (proverty), ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial ekonomi, masalah kesehatan, pertanian tidak tepat (inappropriate agriculture) dan aktivitas pertambangan/industri (Sitorus, 2009b). Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah. Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia maupun biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis, dan diperkirakan sekitar 38% pada lahan sangat kritis (Sudirman dan Vadari, 2000). Faktor tenaga kerja memegang peranan yang sangat penting dalam sistem produksi padi sawah. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup akan mendorong pengelolaan sistem produksi padi secara lebih intensif. Di wilayah dimana ketersediaan tenaga kerja kurang, pengelolaan usaha tani padi cenderung dilakukan seadanya (tidak intensif). Penggunaan alsintan sebagai pengganti fungsi tenaga manusia memerlukan banyak pertimbangan, karena tidak semua lokasi sesuai untuk penggunaan alsintan. Kelangkaan tenaga kerja juga membuat upah lebih tinggi, sehingga biaya usaha tani meningkat. Faktor iklim bukan merupakan faktor produksi padi, tetapi merupakan unsur terpenting yang sangat berpengaruh terhadap sistem produksi padi. Terjadinya variabilitas dan perubahan iklim global menyebabkan kondisi iklim menjadi tidak menentu, pola iklim telah berubah dan tidak pasti, fluktuasi iklim lebih besar,
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
20 kondisi ekstrim sering terjadi. Perubahan iklim global mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian (Las, 2007), yaitu : (a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kajadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina dan (c) naiknya permukaan air laut akibat mencairnya gunung es di kutub utara. Anomali iklim El-Nino berlangsung mengikuti siklus yang dapat berulang antara 3-4 tahun sekali. Hal ini dapat mengakibatkan musim kemarau yang lebih panjang dari semestinya. Lahan pertanian tidak dapat digarap, mundurnya musim tanam, defisit air di jaringan irigasi, dan terjadinya kekeringan (Las, 2007). Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian dapat berupa dampak langsung, seperti (a) menurunnya produktivitas tanaman pangan yang disebabkan oleh meningkatnya temperatur, peningkatan variabilitas curah hujan dan salinitas air; (b) meningkatnya kehilangan hasil panen yang disebabkan meningkatnya frekuensi maupun intensitas kejadian iklim ekstrim (bahaya iklim); dapat juga berupa dampak tidak langsung seperti munculnya bahaya serangan hama dan penyakit (Watanabe, 2008; Boer and Las, 2008).
2.2.2. Produksi dan Produktivitas Padi Sawah Upaya peningkatan produksi padi telah lama menjadi kebijakan nasional. Kilas balik sejarah peningkatan produksi dan produktivitas padi di Indonesia, dimulai dari penerapan panca usaha tani yang mendasari program Bimas sejak 1969 dengan menggunakan varietas introduksi dari IRRI yaitu IR-8 dengan potensi hasil 4,5 t/ha (DeDatta, 1981). Kebijakan intensifikasi pertanian melalui Bimas pada era tersebut berhasil mewujudkan swasembada beras pada tahun 1984. Pendekatan yang lebih holistik melalui Supra Insus dicanangkan tahun 1987 dengan ”10 jurus teknologi paket-D”. Program Supra Insus didukung berbagai VUB yang lebih tahan hama dan penyakit, terutama IR-64, sehingga mampu kembali meningkatkan produksi padi sampai menembus 50 juta ton pada tahun 1996, namun dengan laju kenaikan produksi per tahun lebih rendah dari sebelumnya (Zaini, 2009). Tahun 1997 dicanangkan Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi, Kedelai dan Jagung (Gema Palagung). Upaya ini kurang efektif karena laju kenaikan produksi padi, jagung, dan kedelai masih lebih rendah dari laju
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
21 kenaikan permintaan. Produktivitas dari total faktor produksi juga turun, yang menandakan bahwa untuk memperoleh tingkat produksi yang sama diperlukan input lebih besar atau penambahan input tidak proporsional dengan kenaikan hasil (tidak efisien). Pilot percontohan Sistem Usaha Tani Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA) tahun 1995-1997 di 14 provinsi dimotori oleh Badan Litbang Pertanian. Teknologi yang diintroduksi meliputi VUB Memberamo dan Cibodas serta teknologi hemat tenaga kerja melalui sistem tanam benih langsung, pemupukan spesifik lokasi, dan penggunaan alat tanam benih langsung (Adnyana, 1997). Pada tahun 2002 digulirkan model Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) yang terdiri atas pilot percontohan penerapan ”Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)” di 26 kabupaten dan Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) di 20 kabupaten. Model usaha tani dan paket teknologi serta pola pengembangannya ditetapkan berdasarkan karakteristik dan kebutuhan wilayah serta disesuaikan dengan kebutuhan pasar sehingga kegiatan pengembangannya diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di pedesaan. Melalui model PTT, varietas unggul yang dikembangkan mampu berproduksi sesuai dengan potensi genetiknya. Peningkatan produksi padi dengan menerapkan model PTT di tingkat penelitian, tingkat pengkajian (onfarm), dan tingkat petani, masing-masing mencapai 37%, 27% dan 16%. Dalam model PTT, komponen budi daya, seperti pengelolaan hama terpadu (PHT) dapat menekan kehilangan hasil rata-rata 2,4% tahun-1. Penerapan panen beregu dapat menekan kehilangan hasil panen sekitar 13,1 - 18,6% menjadi 3,8% (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Produksi padi nasional sejak tahun 1970 hingga 2004 meningkat hampir tiga kali lipat. Hal ini terkait dengan peningkatan produktivitas dan luas areal tanam. Peningkatan produktivitas padi dalam kurun waktu tersebut mencapai 87,6%, dari 2,42 ton ha-1 pada tahun 1970 menjadi 4,54 ton ha-1 pada tahun 2004 (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Dalam beberapa tahun terakhir laju peningkatan produksi padi nasional cenderung melandai. Dalam periode 20002003, laju kenaikan produksi hanya 0,2% tahun-1. Di sisi lain, laju peningkatan produktivitas padi cukup tinggi yang mencapai 1,0% tahun-1, tetapi luas panen turun 0,9% tahun-1. Indeks pertanaman (IP) juga menurun dari 1,56 pada tahun 2002 menjadi 1,43 pada tahun 2003. Penurunan IP mengindikasikan bahwa
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
22 usaha tani
padi mendapat
saingan dari usaha tani
lain
yang
lebih
menguntungkan. Ada tiga faktor yang dipertimbangkan dalam memproyeksikan kapasitas produksi padi sawah, yaitu luas baku sawah, IP padi, dan produktivitas (Badan Litbang Pertanian, 2005a). Data statistik Departemen Pertanian (2004) menunjukkan bahwa luas baku sawah menciut 0,4% tahun-1. IP diestimasi pada angka 154%. Peningkatan produktivitas sebesar 1,0% tahun-1 adalah nilai rata rata peningkatan produktivitas dalam periode 2000-2004. Menurut Badan Litbang Pertanian (2005a), potensi lahan sawah non rawa pasang surut yang sesuai untuk tanaman padi seluas 13,26 juta ha, lebih dari 50% terdapat di Maluku dan Papua dan hanya 0,85 juta ha terdapat di Bali dan Nusa Tenggara. Dari 13,26 juta ha potensi lahan sawah yang ada, baru 6,86 juta ha yang telah dimanfaatkan. Dengan demikian terdapat 6,4 juta ha lahan yang dapat dikembangkan untuk sawah. Namun perlu dipertimbangkan beberapa hal: (1) investasi yang mungkin tinggi; (2) kelanggengan fungsi lahan pertanian yang baru dibuka; (3) ketersediaan tenaga kerja pertanian; (4) dampak lingkungan atau perubahan ekosistem dan degradasi lingkungan; dan (5) masih adanya alternatif peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas dan IP.
2.2.3. Nilai Penerimaan Usaha tani Padi Sawah Hasil studi PSE (2001) menyimpulkan bahwa keuntungan usaha tani padi menunjukkan disparitas antar wilayah, musim dan agroekosistem. Kisaran keuntungan masing-masing adalah 13-18,4% di Majalengka (Jawa Barat), 13,7 – 16,1% di Klaten (Jawa Tengah), 10,5 – 16,9% di Kediri (Jawa Timur), 14,8-15,5% di Siderap (Sulawesi) dan 12 – 24% di Agam (Sumatera) (Sudaryanto dan Agustian, 2003). Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (2005a) menunjukkan bahwa nilai penerimaan dari usaha tani padi dengan status garapan milik pada musim hujan (MH), musim kemarau (MK) I, dan MK II berturut-turut adalah Rp 5,5 juta, Rp 5,4 juta, dan Rp 5,3 juta ha-1. Total biaya tunai untuk masing-masing musim tanam adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,9 juta, dan Rp 3 juta ha-1, sehingga keuntungan atas biaya tunai berturut-turut adalah Rp 2,7 juta, Rp 2,6 juta, dan Rp 2,3 juta ha-1 (43,39 – 49,09%). Pada usaha tani padi dengan status garapan sewa, keuntungan atas biaya tunai pada MH hanya sekitar Rp 1 juta ha-1 (18,18%) karena kompensasi untuk sewa lahan mencapai Rp 1,56 juta ha-1 musim-1. Pada
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
23 MK I keuntungan lebih rendah dan bahkan pada MK II keuntungan kurang dari Rp 500 ribu ha-1 (9,43%). Sedangkan pendapatan usaha tani padi dengan status garapan sakap (bagi hasil) lebih tinggi daripada garapan sewa. Pada MH, keuntungan atas biaya tunai rata-rata Rp 1,15 juta ha-1 (20,90%), pada MK I meningkat menjadi Rp 1,35 juta ha-1 (25%). Peningkatan pendapatan petani dapat ditempuh melalui optimasi usaha tani padi sawah dengan menggunakan model matematis program tujuan ganda (goal programming) (Siswanto, 2006). Langkah awal yang diperlukan dalam upaya penyelesaian masalah optimal adalah penyusunan model yang tepat dengan memperhitungkan variabel dan parameter yang berkaitan secara langsung. Hubungan antar variabel dan antar parameter pada realitasnya sangat rumit dan saling berkaitan, sehingga perlu dilakukan penyederhanaan dalam bentuk model yang berfungsi sebagai alat bantu memperoleh gambaran umum masalah yang sedang dihadapi. Haluan (1985) dalam Heroe (2005), mengartikan optimasi sebagai suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari titik optimum. Kata benda optimasi merupakan peristiwa atau kejadian proses optimasi. Jadi, teori optimasi mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan cara-cara untuk mencarinya. Penelitian tentang optimasi secara luas pada berbagai komoditas pertanian telah banyak dilakukan, tetapi umumnya masih menggunakan pendekatan optimasi konvensional, yaitu dengan tujuan tunggal, sehingga model yang dihasilkan sangat spesifik dan teoritis. Metode optimasi di bidang pertanian dengan pendekatan program matematika konvensional, biasanya menggunakan asumsi dasar yaitu optimasi dengan tujuan tunggal. Kenyataannya, optimasi akan dihadapkan pada kondisi kompleks yang memerlukan adanya kompromi di antara beberapa tujuan yang dapat saling bertentangan. Untuk mencapai kompromi di antara beberapa tujuan dalam optimasi, menurut Romeo dan Rehman (1989) dalam Heroe (2005) perlu dikembangkan teknik pengambilan keputusan dengan kriteria ganda (multiple criteria decision making technique). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan kriteria ganda adalah Goal Programming (Siswanto, 2006)
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
24
2.3. Kemiskinan, Kemandirian dan Ketahanan Pangan 2.3.1. Kemiskinan Thomas Malthus pada akhir abad 18 (1798) menyatakan kehawatirannya bahwa “bumi tidak dapat lagi menyediakan pangan yang cukup bagi penghuninya, karena telah melewati batas daya dukung (carrying capacity).” Penduduk yang banyak merupakan penyebab kemiskinan, karena laju pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, tak akan pernah terkejar oleh peningkatan produksi pangan dan papan yang hanya mengikuti deret hitung. Diperkirakan, dengan kenaikan rata-rata penduduk dunia sebesar 2% per tahun, maka pada tahun 2035 populasi penduduk dunia akan mencapai 12 milyar, dan pada akhir abad 21 diperkirakan akan mencapai 50 milyar. Bisa dibayangkan bila kondisi ini benar-benar terjadi, sementara sumber daya alam yang tidak terbarukan sangat terbatas. Teori Malthus ini pada dasarnya beranjak dari dua gagasan utama, yaitu: manusia selalu membutuhkan pangan, sandang dan papan untuk hidupnya dan nafsu seksualnya tidak akan pernah berubah sifatnya. Bahkan pada abad 20 masih banyak pemikir dunia yang meramalkan bahaya kelaparan besar (great famine) akan terjadi meskipun tidak sepenuhnya terbukti (Ehrich, 1968) dan Brown and Kane, 1994 dalam Rogers et al., 2008). Ada berbagai cara pengukuran kemiskinan, karena kemiskinan dilihat sebagai fenomena yang multidimensi (Chambers, 1995). Kemiskinan dapat diukur secara absolut ataupun secara relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari kehidupan yang di bawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Kemiskinan relatif dilihat dalam perbandingannya dengan segmen yang lebih atas. Kemiskinan juga dapat didekati dari sisi obyektif dan subyektif. Obyektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach),
sedangkan pendekatan subyektif
tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Bank Dunia memberi batasan bahwa “extreme poverty” adalah kondisi jika seseorang hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS hari-1, dan “poverty” jika kurang dari 2 dollar AS hari-1. Penilaian Bank Dunia ini hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual saja. Kemiskinan juga dapat diukur berdasarkan pengeluaran kapita-1tahun-1 setara dengan nilai tukar beras. Standar kebutuhan beras yang dipakai adalah
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
25 standar kemiskinan di perdesaan 320 kg kapita-1tahun-1 (Sajogjo, 1997). Sajogjo membagi menjadi tiga kelompok kemiskinan berdasarkan pengeluaran kapita-1 tahun-1 setara dengan nilai tukar beras untuk wilayah desa dan kota, yaitu miskin: desa 320 kg dan kota 480 kg; sangat miskin: desa 240 kg dan kota 360 kg; melarat: desa 180 kg dan kota 270 kg. Keluarga tani dinyatakan hidup layak apabila telah terpenuhi pangan, papan, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan kegiatan sosial. Penanggulangan kemiskinan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan kerangka Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah antara lain berkewajiban menurunkan angka kemiskinan dan kekurangan pangan sebanyak 50% pada tahun 2015 dari kondisi 1990. 2.3.2. Kemandirian dan Ketahanan Pangan Kemandirian pangan dan ketahanan pangan adalah dua istilah yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama, perbedaan hanya terletak pada sumber bahan pangan. Kemandirian pangan adalah terpenuhinya kebutuhan pangan secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki (sumber daya lokal) dan berdampak kepada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat (Syahyuti, 2006; Soekartawi, 2008). Dalam UU No. 41 Tahun 2009 dinyatakan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal. Kemandirian pangan identik dengan konsep swasembada pangan yang saat ini menjadi salah satu target pembangunan pertanian. Lebih lanjut Soekartawi menjelaskan empat komponen dalam mewujudkan kemandirian pangan yaitu aspek kecukupan ketersediaan pangan, aspek keberlanjutan stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aspek aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta aspek kualitas/keamanan pangan. Menurut Soekartawi, apapun pengaruh global tidak boleh menabrak salah satu dari empat komponen tersebut. Kemandirian pangan menjadi salah satu indikator pengukuran ketahanan pangan (Simatupang, 2007).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
26 Ketahanan pangan menjadi isu strategis dalam pembangunan suatu negara, terutama negara berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu instrumen utama (tujuan antara) pembangunan ekonomi (Sen, 1989; Simatupang, 1999). Peran pertama, merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk eksistensi hidup, sehat, dan produktif. Akses terhadap pangan yang "cukup" merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara bersama masyarakat (FAO, 1998; Byron, 1988). Peran kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumber daya manusia yang kreatif dan produktif yang merupakan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai salah satu determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan (Timmer, 1997). Munculnya kesadaran baru bahwa ketahanan pangan merupakan isu global telah mendorong PBB (FAO) mengorganisir Konferensi Pangan Dunia (World Food Conference) pada tahun 1974. Sejak konferensi inilah istilah "ketahanan pangan" semakin populer dan menjadi salah satu isu kebijakan strategis setiap negara. Menurut Simatupang (2007), konsep ketahanan pangan yang dianut secara luas hingga pertengahan tahun 1980-an ialah paradigma "Ketersediaan Pangan Nasional” (National Food Availability Paradigm). Dengan paradigma ini, ketahanan pangan diartikan sebagai: "kemampuan suatu negara untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi seluruh penduduknya". Dengan konsep ini, ketahanan pangan dilihat secara agregat di tingkat nasional. Indikator keharusan bagi ketahanan pangan ialah kecukupsediaan pangan agregat yang berasal dari produksi domestik dan pengadaan luar negeri (impor). Indikator kecukupan (kemantapan) ketahanan pangan ialah derajat swasembada pangan. Ketahanan pangan dikatakan mantap apabila seluruh kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi domestik (swasembada mutlak). Dengan paradigma ini, strategi kebijakan pangan, pada umumnya di negaranegara sedang berkembang, berubah dari "swasembada pangan mutlak" menjadi "swadaya pangan" (self reliance).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
27 Perbedaan pokok antara strategi "swasembada pangan" dan "swadaya pangan" adalah dalam hal sumber pengadaan pangan. Pada swasembada pangan, strategi yang ditempuh ialah bagaimana memacu produksi pangan domestik sehingga seluruh kebutuhan pangan nasional dapat dipenuhi (swasembada mutlak). Sedangkan pada "swadaya pangan" strategi yang ditempuh ialah bagaimana meningkatkan kemampuan nasional sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional baik dari produksi domestik maupun melalui impor. Pada pertengahan tahun 1980-an muncul wacana baru tentang makna ketahanan pangan. Indikator akhir ketahanan pangan bukanlah kecukupan pangan secara agregat nasional (ketahanan pangan nasional), tetapi akses pangan yang cukup bagi seluruh individu di suatu negara. Wacana baru ini disebut sebagai paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) yang dirumuskan dan dipopulerkan oleh penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000 (Sen, 1981). Wacana baru ini pula yang mendorong pengakuan universal bahwa perolehan pangan yang cukup merupakan hak azasi manusia yang secara resmi diterima oleh seluruh negara pada konferensi pangan dunia tahun 1996. Menurut Simatupang, 2007, paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) pada dasarnya ditopang oleh tiga pokok pemikiran, yaitu: (1) indikator akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu. Oleh karena itu, ketahanan pangan harus diukur pada dimensi agregat terkecil, yaitu individu. Dengan perkataan lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah ketahanan pangan individu (individual food security; (2) ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu, dan (3) ketahanan pangan harus dipandang sebagai suatu sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi (kabupaten, lokal), rumah tangga dan individual. Berdasarkan paradigma perolehan pangan, ketahanan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access). Paradigma perolehan pangan terus mengalami perluasan dan penyesuaian seiring dengan pertambahan pengetahuan dan perubahan isu pembangunan kontemporer (Maxwell, 1996; Watts and Bohle, 1993) dengan memasukkan elemen kerawanan (vulnerability) sebagai salah satu determinan ketahanan pangan. Ketersediaan dan akses pangan yang rawan terhadap ancaman risiko
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
28 tertentu seperti bencana alam, gejolak ekonomi, sosial, dan politik harus digolongkan sebagai kondisi ketahanan pangan yang tidak mantap. Sedikitnya
ada
empat
elemen
ketahanan
pangan
berkelanjutan
(sustainable food security) di tingkat keluarga yang diusulkan Maxwell (1996), yakni: (1) kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat; (2) akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer); (3) ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial, dan (4) fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus. Selanjutnya, Chambers (1988) menambahkan elemen keberlanjutan (sustainability) sebagai determinan tambahan ketahanan pangan. Pada dasarnya elemen vulnerability dan sustainability bermuara pada satu pemikiran bahwa waktu merupakan salah satu dimensi utama ketahanan pangan. Ketersediaan dan akses pangan harus terjamin sepanjang masa secara berkelanjutan. Hal inilah yang mendasari konsep ketahanan pangan berkelanjutan (sustainability food security) yang populer pada tahun 1990-an (Swaminathan, 1995; Simatupang, 1999). Definisi ketahanan pangan yang diterima secara luas saat ini ialah: "secure access by all people at all times to adequate, safe and nutritious foods which meets dietary and preferences for an active and a healthy life" (FAO, 1998, Maxwell, 1996; Von Braun et al., 1993), yang dapat diterjemahkan sebagai "terjaminnya akses bagi setiap orang pada sepanjang masa terhadap makanan bernutrisi, aman, sesuai selera dan memenuhi kebutuhan gizi untuk suatu kehidupan yang aktif dan sehat". Berdasarkan definisi di atas, ketahanan pangan ditopang oleh "trilogi" (trial concepts) ketahanan pangan (Chung et al., 1997), yaitu: (1) ketersediaan bahan pangan (food availability); (2) akses bahan pangan (food access) dan (3) pemanfaatan bahan pangan (food utilization). Ketiga elemen inilah yang menjadi determinan fundamental ketahanan pangan. Dengan demikian, untuk tujuan analisis kebijakan, isu ketahanan pangan dapat dikaji berdasarkan tiga dimensi kunci (Simatupang, 2007) yaitu: (1) tingkat agregasi: rumah tangga dan regional (kabupaten, provinsi, dan nasional); (2) perspektif waktu: jangka pendek,
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
29 menengah dan panjang, dan (3) syarat keharusan dan kecukupan: ketersediaan, akses, dan pemanfaatan. Rachman et al. (2004) menyatakan, kemandirian pangan terhadap produksi domestik menunjukkan seberapa besar produksi pangan menyumbang atau dapat memenuhi ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan pangan nasional didefinisikan sebagai penjumlahan antara produksi domestik (bersih, setelah dikurangi untuk penggunaan bibit dan tercecer) dengan impor dan stock. Kemandirian pangan juga dapat diukur dengan menelaah ketergantungan terhadap impor maupun net-impor.
2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan pertama dirumuskan Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED, 1987). Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep
Brundtland
tersebut,
yaitu:
Pertama,
menyangkut
pentingnya
memperhatikan kendala sumber daya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi, dan Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang. Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi Pangan Dunia (FAO, 1989), mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai …… manajemen dan konservasi berbasis sumber daya alam, dan berorientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan mengkonservasi lahan, air, sumber daya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial. Walaupun banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pertanian berkelanjutan, namun definisi yang diterima secara luas ialah bertumpu pada tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet), atau
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
30 dikenal sebagai pilar Triple-P (Suryana, 2005). Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Lynam (1994) dalam Sumarno (2006) memberikan karakteristik umum tentang pertanian dilihat dari segi penggunaan sumber daya alam dan aspek keberlanjutannya, yaitu:
(1) pertanian adalah usaha multidimensi, meliputi
kegiatan ekonomi, kewajiban moral, sistem biologis, ekologis dan sosial; (2) pertanian merupakan usaha yang memerlukan lahan (ruang) yang sangat luas, terdesentralisasi dan tersebar, yang akan kalah efisien dibandingkan dengan penggunaan ruang untuk industri, jasa pemasaran, perumahan, prasarana, dan sebagainya, dan (3) pertanian adalah suatu sistem yang bersifat hierarkial, saling mempengaruhi antara komponen-komponen yang nampaknya bebas, seperti produksi komoditas secara global, iklim makro dan mikro, sistem hidrologi, agroekosistem, pola tanam, distribusi, perdagangan, dan sebagainya. Menurut Harwood (1987) dalam Sumarno (2006) beberapa dimensi atau kriteria keberlanjutan pertanian, yaitu: (1) dimensi jangka panjang, (2) dimensi sosial
kemasyarakatan,
(3)
dimensi
ekonomi,
(4)
dimensi
kelestarian
keanekaragaman hayati, (5) dimensi minimalisasi pencemaran lingkungan dan polusi udara, (6) dimensi kualitas dan kesuburan tanah, dan (7) dimensi kelestarian sumber daya pertanian dan lingkungan. Dari dimensi atau kriteria tersebut Harwood menyimpulkan "pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang memanfaatkan sumber daya secara optimal, untuk menghasilkan produk panen dengan masukan dan biaya yang wajar, memenuhi kriteria sosial, ekonomi dan kelestarian lingkungan, serta tidak menggunakan sarana produksi yang tidak terbarukan". Castillo (1992) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai "sistem produksi pertanian yang terus-menerus dapat memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan serat bagi kebutuhan nasional dan dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha tanpa merusak sumber daya alam bagi generasi yang akan datang". Harrington (1992) mengaitkan pertanian berkelanjutan dengan tiga tolok ukur dalam pengelolaan sumber daya pertanian, yaitu kelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keadilan antar generasi dalam memanfaatkan sumber daya lahan dan terdapat pertumbuhan produksi sesuai dengan permintaan yang terus meningkat. Journal of Sustainable Agriculture (1990) dalam Sumarno (2006) menguraikan bahwa: "pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
31 mempersyaratkan: (a) sumber daya pertanian dimanfaatkan seimbang dengan peruntukannya, (b) praktek usaha pertanian melestarikan sumber daya pertanian dan mencegah perusakan lingkungan, (c) produktivitas, pendapatan dan insentif ekonomi tetap layak, dan (d) sistem produksi tetap harmonis dan selaras dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat".
2.5. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini telah dilakukan oleh Mulyana (1998), Rachman (2001), Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002), Badan Bimas Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2002), Irawan (2005), dan Nurmalina (2007). Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini. Mulyana (1998) melakukan penelitian tentang ”Keragaan Penawaran dan Permintaan
Beras
Indonesia
dan
Prospek
Swasembada
Menuju
Era
Perdagangan Bebas”, bertujuan mengevaluasi dan meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Penelitian ini menggunakan analisis model ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah, yaitu: Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan permintaannya dihitung secara agregat nasional. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa secara regional areal sawah di Jawa dan Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi terhadap gabah di Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah lainnya. Faktor lain yang berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah curah hujan, areal irigasi, kinerja penyuluhan, target program produksi dan konversi lahan sawah di Jawa dan Bali. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa penerapan alternatif kebijakan yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan arah yang sama oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat berbeda dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal tersebut
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
32 adalah, diperlukan penerapan kebijakan agar swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 1984-1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15,38%, menambah areal irigasi 3,61%, menambah areal intensifikasi 5,25% atau mendevaluasi rupiah 100% namun dampaknya berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam produksi beras pada masa mendatang, sedangkan peran wilayah Jawa dan Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Indonesia diperkirakakan tidak akan berswasembada beras secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013. Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif. Menurut Mulyana, untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan petani dilakukan dengan meningkatkan areal sawah irigasi dan intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usaha tani padi sesuai dengan spesifikasi wilayah. Perlu diefektifkan kebijakan harga dasar gabah yang didukung dengan peningkatan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran
beras
dalam
dan
antar
wilayah,
meningkatkan
teknologi
penyimpanan beras/gabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek. Rachman (2001) melakukan kajian ”Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)” menggunakan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsumsi beras mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI lebih rendah dibandingkan nasional. Hasil analisis proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data time series 1997-2001 adalah 28,47 juta ton, meningkat menjadi 28.53 juta ton pada tahun 2010 dan menjadi 28,59 juta ton tahun 2015. Sedangkan proyeksi
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
33 konsumsi beras tahun 2005, 2010 dan 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah 116,80 kg, 113,15 kg dan 109,5 kg kapita-1 tahun-1 sehingga proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan 2015 adalah 26,06 juta ton, 26,97 juta ton dan 27,77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka produksi dalam negeri mampu memenuhi permintaan. Namun perlu diwaspadai adanya peningkatan konsumsi beras per kapita tahun-1 akibat pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 2015, sehingga perlu berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri. Pergeseran pola pangan pokok
yang mengarah ke beras terutama penduduk
di KTI,
mengakibatkan beras menjadi komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi beras dengan meningkatnya pendapatan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002) melakukan ”Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015 Ditinjau
dari
Aspek
Sosial
Ekonomi
Pertanian”,
menggunakan analisis
ekonometrika. Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 Indonesia berpeluang mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar daripada tingkat konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan produksi yang lebih cepat daripada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan lebih cepat tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari berbagai kebijakan yang disimulasikan, peningkatan dana irigasi dan anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar. Badan
Bimas
Ketahanan
Pangan
bekerjasama
dengan
Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia melakukan ”Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional 2015 Ditinjau Dari Aspek Sosial Kelembagaan Pertanian dan Perdesaan” menggunakan analisis regresi linier (trend analysis). Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) tahun 2002-2015 dilakukan analisis berdasarkan angka kecukupan zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupuan ini diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Saat ini masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang disebabkan oleh terlalu tingginya peran padi-padian (khususnya beras) di satu sisi, dan masih
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
34 rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran dan buah serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal tersebut, maka konsumsi kapita-1 padi-padian, khususnya sepanjang 2000-2015 diproyeksikan menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah, pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan meningkat. Hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan mendukung ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai yang terpenting.
Sedangkan
fungsi
lainnya
seperti
distribusi,
konsumsi
dan
kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil daripada fungsi ketersediaan. Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya, pemerintah kabupaten memainkan peranan penting sejak dari tahapan perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan bagi pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun ada satu komponen penting dimana peran pemerintah pusat diharapkan tetap menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain diharapkan sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan
pangan adalah dari
pemerintah pusat. Irawan (2005) melakukan ”Analisis Ketersediaan Beras Nasional, Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”, menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah Statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanan, yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 (-0,77% tahun-1) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing-masing 0% dan 0,72% tahun-1 mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya peningkatan produktivitas padi sebesar 2,0 – 2,5% tahun-1 sebagaimana prestasi yang pernah dicapai pada saat swasembada beras (1983-1985) diperlukan. Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
35 selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah. Nurmalina (2007) meneliti tentang ”Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Penelitian menitikberatkan neraca ketersediaan hanya pada pangan pokok beras pada tingkat nasional dan regional dengan waktu analisis 2005-2015. Penilaian indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan beras dianalisis pada tingkat nasional dan regional. Tingkat regional mencakup beberapa wilayah, yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan wilayah lainnya (Bali, NTB, NTT, Maluku dan Irian). Analisis indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras dilakukan dengan teknik ordinasi Rap-Rice modifikasi dari Rapfish yaitu menempatkan sesuatu pada urutan yang terukur dengan metode Multidimensional Scaling (MDS) dengan memfokuskan pada lima dimensi analisis, yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagan dan teknologi. Sedangkan dimensi politik dan keamanan tidak dimasukkan dalam analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks dan keberlanjutan multi dimensi ketersediaan beras di Indonesia adalah 64,51, yaitu dalam kategori cukup berkelanjutan. Sedangkan pada tingkat regional bervariasi antar wilayah antara 33,37-67,23. Wilayah Jawa dan Sumatera termasuk kategori cukup berkelanjutan, sedangkan wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya termasuk kategori kurang berkelanjutan. Keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda antar wilayah, begitu juga bila dibandingkan antar regional dan nasional. Hasil analisis prospektif terhadap peubah kunci keberlanjutan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap sistem ketersediaan beras yang berkelanjutan adalah pencetakan sawah, konversi lahan, kesesuaian lahan, penduduk, produksi, produktivitas dan konsumsi penduduk kapita -1. Hasil analisis sistem dinamis menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan kunci dari sisi penyediaan (produktivitas, produksi, pencetakan sawah dan kesesuaian lahan) memberikan hasil kinerja model lebih baik terhadap neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan di masa yang akan datang, dibandingkan dengan kebijakan perbaikan pada sisi kebutuhan (penurunan pertumbuhan jumlah penduduk dan konsumsi kapita-1).
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB
36 Hasil kinerja sistem dengan perbaikan produktivitas dan produksi (intensifikasi) berkontribusi cukup besar dalam neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan tetapi dengan pertumbuhan yang menurun tajam, sedangkan kebijakan pencetakan sawah dan pengendalian konversi (ekstensifikasi) berkontribusi rendah tetapi seiring berjalannya waktu meningkat dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi intensifikasi akan sangat baik untuk meningkatkan neraca ketersediaan beras, tetapi bila ingin neraca ketersediaan beras tersedia secara berkelanjutan maka strategi intensifikasi ini perlu dibarengi dengan ekstensifiksi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa parameter yang sangat sensitif berpengaruh terhadap ketersediaan beras adalah indeks pertanaman dan produktivitas, masing-masing 31,81 dan 16,99. Sedangkan konsumsi kapita-1 penduduk kota (8,52), konsumsi kapita-1 penduduk desa (7,43), rendemen gabah beras (7,91), dan pembukaan lahan (2,72). Parameter yang tidak sensitif adalah penurunan pertumbuhan penduduk (0,90) dan pengurangan susut/tercecer (0,74). Ariningsih dan Rachman,
(2008)
menyatakan bahwa pemantapan
ketahanan pangan di wilayah KTI dapat dilakukan antara lain melalui upaya: (1) peningkatan
ketersediaan
pangan
di
tingkat
rumah
tangga
dengan
mengembangkan komoditas pangan lokal sesuai potensi sumber daya dan pola konsumsi setempat; (2) peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi pemanfaatan teknologi sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia setempat.
Moh. Nazam, 2011_PSL_SPs_IPB