II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang.
Konsep ini
memepunyai dua isu penting yaitu ”kebutuhan” untuk kehidupan manusia dan isu keterbatasan yang berkaitan dengan teknologi dan organisasi sosial untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan (Djajadiningrat, 2001). Pembangunan berkelanjutan berjalan dengan beberapa prinsip yang diperhatikan yaitu menjamin pemerataan dan keadilan sosial, menghargai keanekaragaman (diversity), menggunakan pendekatan integratif, mempunyai perspektif jangka panjang dengan tujuan keberlanjutan ekologis, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial-budaya, keberlanjutan politik dan keberlanjutan pertahanan dan keamanan. 2.2. Pembangunan Berwawasan Lingkungan Pembangunan
wilayah
(regional
development)
merupakan
konsep
pembangunan gabungan antara pengetahuan perencanaan wilaya, sosial, penataan ruang dan keilmuan lainnya.
Pembangunan wilayah dapat diartikan untuk
membangun wilayah yang ada dengan konsep-konsep yang beragam antara lain pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development). Hal ini terjadi karena masalah lingkungan hidup yang makin meningkat terutama oleh masalah kependudukan dan pembangunan yang tidak terkendali. Pembangunan ini merupakan suatu proses perubahan dan pembaharuan yang secara sadar ingin mencapai perbaikan kehidupan dan kulitas hidup tanpa merusak lingkungan yang ada (Poerbo, 1999). 2.3.
Kehidupan Ramah Lingkungan (Ecoliving)
2.3.1. Pengertian Istilah ecoliving diperkenalkan oleh pakar lingkungan dan gaya hidup Australia sebagai kehidupan yang tidak memerlukan waktu yang banyak, usaha, atau uang sekalipun untuk menciptakan suatu kehidupan yang beda, nyaman, elegan,
tanpa harus merusak alam ini (Seo, 2001). Konsep ini merupakan suatu turunan dari ecovillage yang dikembangkan sebagai pilihan hidup dalam masyarakat baik perdesaan atau perkotaan dengan mengintegrasikan kelestarain lingkungan, sosial secara menyeluruh melihat aspek desain ekologis, permaculture, bangunan ekologis, energi alternatif, efisiensi air, dan sebagainya (GEN, 2000). Ecoliving adalah kehidupan berkomitmen dalam cara hidup untuk lebih baik dengan memperhatikan dan bertanggungjawab terhadap lingkungan agar terciptanya ecologically sustainable living (The UNSW Ecoliving Centre, 2006). Ecoliving merupakan komitmen kehidupan yang bertanggungjawab terhadap lingkunganya menggunakan prinsip-prinsip ecoliving yang diterapkan baik di desa dan di kota untuk pengembangan dan pengelolaan serta menyediakan solusi bagi kebutuhan manusia atau masyarakat, dan pada waktu yang sam memberikan perlindungan kepada lingkungan dan peningkatan kualitas hidup untuk semua pihak (Capra, 2003). Masyarakat Indonesia secara tradisional telah mempunyai filosofi mengenai perlindungan terhadap sumber daya alami sehingga mereka dapat hidup di dalam suatu ekosistem yang berkelanjutan (Arifin et al. 2003).
Ecoliving dapat juga
diwujudkan dalam bentuk gaya hidup karena dengan gaya hidup yang sehat dan memperhatikan kebijakan dan kearifan manusia dalam menerapkan hasil teknologi yang ada untuk memanfaatkan potensi SDA dan lingkungn yang ada dapat menghasilkan suatu kehidupan yang berwawasan lingkungan (Budihardjo,1999) Hal ini didasarkan pada pemahaman mendalam bahwa makhluk hidup dan segala sesuatu adalah saling berhubungan. Berdasarkan filosofi ini, ecoliving dibangun oleh kombinasi tiga prinsip dasar yaitu: ekologi, sosial dan spritual (Svensson, 2000). 2.3.2. Aspek Ekologis Ecoliving menyediakan pengalaman pada masyarakat untuk berhubungan dengan tempat tinggalnya. Orang-orang menikmati interaksi sehari-hari dengan lahan, air, angin, tumbuhan dan hewan. Mereka menyediakan kebutuhan sehari-hari
mereka seperti makanan, pakaian, tempat berteduh serta menghargai siklus ekologi alam.
Soemarwoto (2004) mengemukakan bahwa ekosistem merupakan suatu
sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal-balik anatara makhluk hidup dengan lingkungannya, sedangkan ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungan dan yang lainnya (Frontier dan Pichod-Viale, 1991 dalam Léυêque,2001). Aspek ekologis ini sangat erat dengan ekosistem yang dibentuknya.
Aspek ekologis ini merupakan suatu aspek yang pendekatannya
menempatkan suatu disain kehidupan yang merupakan bagian dari ekosistem yang tanggap dan bekerjasama dengan komponen yang lainnya, baik manusia, iklim, flora dan fauna. Penggunaan bahan yang ramah lingkungan, efisiensi energi, air, dan penggunaan taman dengan tanaman yang berguna sebagai fungsi estetika juga merupakan fungsi biologisnya. 2.3.3. Aspek Sosial Ecoliving dalam perspektif sosial adalah cara hidup masyarakat dimana setiap orang saling mendukung dan bertanggungjawab kepada masyarakat di sekitarnya. kelompoknya.
Mereka mempunyai perasaan memiliki yang dalam kepada Semua orang merasa aman, diberi wewenang, didengar dan
diperhatikan. Mereka dapat mengambil bagian dalam membuat keputusan yang mempengaruhi hidup mereka sendiri dan masyarakatnya secara terbuka. Dalam lingkup sosial masyarakat mempunyai kemampuan untuk memilih dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, baik pada tumbuhan, hewan dan manusianya sendiri (Soemarwoto, 2004). Semua aspek yang berada di lingkungan merupakan sumber daya yang menghasilkan tujuan bagi manusia, tetapi kalau kita menggunakannya secara tidak bijak akan menghilangkan semua fungsi sumber daya tersebut (Lowenthal 1961 dalam Porteous 1977), oleh sebab itu dibutuhkan aspek sosial terutama etika dan moral serta budaya yang mangatur bagaimana kita berperilaku dalam menjaga lingkungan yang ada.
2.3.4. Aspek Spritual Spritual, dalam banyak cara, merupakan penerimaan terhadap misteri alam semesta, pengetahuan bahwa semua makhluk saling berhubungan dan bahwa sesuatu yang lebih tinggi berada di luar usaha individu. Ada beberapa penerapan konsep ecoliving ini menggunakan cara spritual dalam kehidupannya tetapi ada juga yang tidak dan hanya menggunakan cara menghormati dan melestarikan bumi dan semua makhluk hidup di atasnya dan lebih ke budaya/kearifan lokal (GEN, 2000). Konsep ecoliving juga dapat menciptakan suatu nilai tersendiri bagi manusia terhadap lingkungannya (capital goods) yang dapat menjadi nilai tambah dan merupakan suatu aset dalam melakukan kegiatan ekonomi dalam mendukung kehidupan dan penghidupannya dalam hal ini rumah atau tempat tinggal yang diciptakan sesuai dengan budaya/kearifan lokal yang dianut. 2.4. Pemukiman Berkelanjutan Pemukiman adalah suatu tempat tinggal atau kediaman, sekaligus merupakan sumber dari populasi (van der Zee, 1990b). informasi
Pemukiman dapat memberikan
mengenai lingkungan alami, sistem pemilikan lahan, cara manusia
pertama menggunakan kepemilikan lahan, organisasi sosial dan ekonomi masyarakat dan sebagainya (van der Zee, 1990a). Penerapan hunian berkelanjutan ini dapat diartikan suatu kawasan yang menciptakan suatu kehidupan yang aman, nyaman, sehat dan memperhatikan lingkungan dengan cara menggunakan material ramah lingkungan, penggunaan energi yang efisien, ruang terbuka hijau yang cukup. Pemukiman juga dapat didefinisikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.atau bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Kirmanto, 2002) Konsep permukiman brekelanjutan sebaiknya selaras dengan lingkungan asli sekitar. Lingkungan asri, udara segar, ketersediaan air bersih, dan aman. Keasrian
suasana lingkungan perumahan dapat dilihat dan dirasakan betul pada saat konsumen melintas dan memasuki kawasan perumahan tersebut. Suasana itu hanya dapat tercipta dengan kerindangan pepohonan besar yang tumbuh optimal, bentuk topografi lahan yang mengikuti topografi alam sekitar, tersedianya taman-taman lingkungan dengan desain menarik.
Tinggal di negeri tropis seperti Indonesia,
dengan suhu udara panas dan kelembaban udara yang tinggi sepanjang tahun, mau tidak mau membutuhkan suasana rumah dan lingkungan sekitar rumah yang teduh. Keteduhan tidak hanya dengan berlindung di dalam rumah, tetapi bagaimana menciptakan keteduhan di lingkungan sekitar rumah kita sendiri. Rumah ramah lingkungan, rumah alami, rumah sehat, rumah arsitektur hijau dan rumah ekologis arsitektur merupakan beberapa contoh rumah berwawasan lingkungan yang dipasarkan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sebaiknya tidak lebih dari 60 persen luas lahan, penghematan pembagian ruang, bukaan-bukaan dan pengoptimalan ruang dalam dan ruang luar, serta pemilihan bahan bangunan bermutu merupakan beberapa prinsip dasar yang diterapkan dalam menyiasati keterbatasan lahan dan menyediakan ruang terbuka seoptimal mungkin. Rumah sehat tidak banyak berfungsi baik tanpa didukung taman yang menghadirkan suasana alami yang sejuk dan teduh. Rumah taman akan menyatukan seluruh ruangan dan bangunan rumah dengan lingkungan sekitar. Dominasi warna hijau akan memberikan suasana tenang dan nyaman. Selingan aromatik tanaman dan warna-warni tanaman berbunga dan atau berdaun indah akan menambah keceriaan dan kehangatan rumah. Kombinasi warna cat dinding rumah juga dapat memperkuat kesan alami, seperti warna hijau tosca, kuning lembut, atau coklat krem muda. Pohon produktif di jalur hijau depan rumah, taman depan, atau taman belakang akan memberikan kesegaran udara yang dibutuhkan rumah dan penghuni serta penggunaan ornamen yang sesuai (Strong, 2001). Tanaman produktif dan apotek hidup yang ditanam di tanah maupun dalam pot-pot tanaman yang artistik tersebar sejak dari teras depan, ruang tamu dan keluarga, hingga dapur dan ruang servis, akan menciptakan suasana alami sejak luar hingga ke dalam rumah. Tanaman yang ada tersebut dapat menjadi faktor dalam
penurunan suhu mikro, pengendali arah angin, buffer debu, filter polutan, peneduh, peredam kebisingan. Kehadiran kolam air yang berisikan ikan dan tanaman air yang berupa kolam yang besar, tempayan atau gerabah, hingga kolam akuarium dilengkapi tanaman air seperti teratai, papirus atau eceng gondok, dan sereh, dapat pula memberikan ketenangan bagi penghuni rumah (Ecological Homes, 2006). Hakekat
dari perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar
manusia setelah pangan dan sandang serta mempunyai peran sebaga pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan,penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jatidiri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan permukimannya maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat tinggal menempatinya. Pembangunan perumahan dan permukiman diyakini mampu mendorong lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif. Bagi banyak masyarakat Indonesia terutama golongan menengah kebawah, rumah juga merupakan barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah ini mereka dapat melakukan kegiatan ekonomi dalam mendukung kehidupan dan penghidupannya. Karenanya, permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Untuk menciptakan pemukiman yang berkelanjutan ini harus didukung dengan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan upaya untuk (1) meningkatkan kemampuan untuk melakukan pilihan, (2) menciptakan keadaan yang memungkinkan untuk dilakukannya proses pemilihan secara baik artinya membuka kesempatan untuk melakukan pemilihan, (3) menyediakan makin banyak barang, jasa, dan aktivitas yang dapat dipilih termasuk barang-barang yang disediakan oleh alam dimana terjadinya peningkatan kualitas
hidup secara berkelanjutan, tersedianya sumber daya secara seimbang sehingga kualitas hidup terus meningkat memerlukan adanya penyelenggaraan yang baik (Kuswartojo, 2005) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Ketersediaan dan pengembangan sumber daya untuk pemukiman
Penyelengaraan pemukiman yang baik
Peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan
Gambar 3 Kerangka Pemukiman Berkelanjutan 2.5. Pengertian Sampah Domestik Sampah adalah buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan hewan, berbentuk padat, dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan keberadaannya.
Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan mengendalikan
secara sistematik semua kegiatan yang berhubungan dengan timbulnya sampah, penanganan sampah di sumbernya; penanganan, pemilahan, dan pengolahan sampah di sumbernya; pengolahan dan daur ulang sampah; pemindahan dan pengangkutan; dan pembuangan akhir (Tchobanosglous et.al. 1993). Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahanbahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain. Kategori sumber penghasil sampah yang sering digunakan adalah : 1) sampah
domestik, yaitu sampah yang berasal dari pemukiman; 2) sampah komersial, yaitu sampah yang berasal dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar, rumah makan, dan kantor; 3) sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari suatu proses produksi; dan 4) sampah yang berasal selain dari yang telah disebutkan diatas misalnya sampah dari pepohonan, sapuan jalan, dan bencana alam (Hadiwijoto, 1983). Limbah atau sampah domestik dapat berarti sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga baik organik dan anorganik.
Sampah ini biasanya terdiri dari
campuran sisa-sisa makanan, potongan daging, hingga daun kering.
Sampah
organik merupakan sampah basah seperti sayuran, kulit buah-buahan, kulit udang, sisa udang, sisa daging, ikan, dan ayam, daun kering, pangkasan tanaman, potongan rumput, bunga layu, jerami, dan serbuk gergaji.
Jumlah sampah organik ini
mencapai 300g-500g per hari untuk satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak. Angka ini dihitung dari sisa makanaan yang dikonsumsi sehari-hari oleh satu keluarga. Sampah yang berasal dari pohon volumenya tergantung dari luas halaman dan banyaknya tanaman. Lebih dari 60% total produksi sampah penduduk, yang mencapai lebih 6.000 ton per hari berasal dari limbah rumah tangga. Sampah nonorganik berasal dari limbah bahan pabrikasi, Misalnya sisa-sisa kertas yang tidak terpakai dan plastik bekas bungkus makanan atau deterjen, juga potongan beling dari gelas dan kaca, logam dari sisa rangka besi, lempengan pisau, serta sisa potongan kain atau benang. Sumber sampah ini berada di ruang kerja, ruang keluarga, dapur, juga teras belakang. 2.5.1. Konsep Reduce, Recycle, Reuse Konsep reduce, recycle, reuse ini merupakan konsep yang sering digunakan dalam mengatasi masalah lingkungan terutama limbah atau sampah. Konsep ini sering dipasangkan dengan konsep nir limbah (zero waste) yang merupakan konsep untuk mendukung agar segala tindakan atau usaha sama sekali tidak menghasilkan dampak yang dapat mencemari lingkungan dengan mengintegrasikan prinsip pengelolaan sampah dengan benar, sehingga diperlukan suatu sistem pengelolaan sampah yang mendekatkan pada sumber (rumah tangga). Wiyatmoko dan Sintorini
(2002) mengemukakan bahwa prinsip pengelolaan sampah asal buang sampah tanpa memilah-milah dan mengolahnya terlebih dahulu selain akan menghabiskan lahan yang sangat luas sebagai tempat pembuangan akhir, juga merupakan pemborosan energi dan bahan baku yang sangat terbatas tersedia di alam. Sebaliknya mengolah dan menggunakan sampah sebagai bahan baku sekunder dalam proses produksi adalah suatu penghematan bahan baku energi dan sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan. Pelaksanaan ini berdasarkan hirarki pengolahan sampah domestik yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Hirarki Pengolahan Sampah Domestik Pengurangan (reduce) adalah suatu cara mengurangi sampah pada sumber sampah (rumah tangga).
Contoh: dengan mengurangi penggunaan pembungkus
ketika berbelanja di pasar dengan menghindari barang-barang yang dibungkus berlebihan atau tidak membeli sesuatu yang tidak sangat dibutuhkan atau cara pemeliharaan barang-barang yang ada di rumah sehingga tidak cepat rusak pada akhirnya menjadi sampah. Pemakaian kembali (reuse) adalah merupakan suatu bentuk pengelolaan sampah dengan cara memanfaatkan kembali barang-barang bekas yang akan dibuang atau barang yang sudah tidak berguna lagi. Contoh; botol
kecap yang terbuat dari kaca dengan cara dibersihkan sehingga dapat dipergunakan kembali berdasarkan ide atau penemuannya. Daur ulang (recycle) adalah merupakan suatu bentuk pengelolaan sampah dengan cara daur ulang dari barang yang tidak terpakai menjadi produk lain yang bernilai ekonomis. Contoh; Pecahan gelas dapat dihancurkan untuk dipergunakan lagi sebagai bahan pembuat gelas baru atau dicampur aspal untuk pengeras jalan raya atau dicampur pasir dan batu untuk pembuatan batu semen. Konsep ini juga telah dilakukan di beberapa negara maju seperti Eropa, Australia, Austria, Selandia Baru, dan Jepang. Umumnya pengelolaan sampah di luar negeri, khususnya Eropa, sudah dimuali di rumah tangga, yaitu dengan memisahkan sampah organik dan anorganik. Kantong sampah terbuat dari bahan yang bisa didaur ulang. Warna kantong dibedakan antara sampah organik dan anorganik. Kantong sampah organik biasanya berwarna hijau, sedangkan kantong sampah anorganik berwarna cokelat. berwarna merah.
Adapun kantong sampah barang beracun
Selain di lokasi perumahan, pemerintah setempat juga
menyediakan tempat sampah di lokasi strategis untuk tempat buangan sampah di lokasi umum. Konstruksi tempat dibuat mudah untuk proses pengakutan ke dalam truk sekaligus bersama kantongnya ke lokasi pengolahan. Sampah organik diambil oleh truk yang memiliki drum berputar dilengkapi pisau pencacah dan mikroba perombak bahan organik.
Dengan cara ini
pencampuran dapat dilakukan secara efisien dan merat karena volume sampah tidak begitu besar serta drum tersebut berputar dengan konstan. 2.5.2. Kompos Pengolahan
sampah
organik
dapat
dilakukan
dengan
cara
composting/pengomposan. Hal ini karena komposisi sampah di Indonesia yang berupa sampah organik berkisar antara 50 - 70 %. Melalui proses composting, sampah organik dapat tereduksi berkisar antara 18 - 20 % selain itu kompos yang dihasilkan pun dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk keperluan pribadi maupun untuk dijual.
Pengolahan ini menggunakan dua cara yaitu teknik aerobik (memerlukan udara) dan anaerobik (tidak memerlukan udara). Tehnik ini mengubah sampah organik menjadi pupuk yang terdiri dari bahan seperti sampah taman/rumput, sampah buah/sayuran, sampah makanan sisa dan lainnya yang bersifat organik. Pembuatan kompos ini bertujuan untuk mengurangi timbunan sampah organik yang akan menuju TPA. Tehnik pengomposan dapat dilakukan pada skala rumah tangga dengan menggunakan keranjang laundry dengan dikelilingi kardus dan ditutup dengan sekam agar kelembabannya terjaga yaitu stabil pada suhu 450 celcius dan tidak terdapat belatung yang akan mengganggu terbentuknya kompos. Kompos tersebut dapat dipanen pada minggu kelima atau keenam tergantung konsumsi makanan rumah tangga sehari-harinya. Sedangkan kompos anaerob (yang tidak membutuhkan udara) biasanya dapat dipanen dalam waktu 8 – 12 bulan. 2.6. Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau (RTH) adalah suatu ruang yang digunakan untuk lahan bervegetasi meliputi lahan pertanian dan lahan yang bervegetasi lainnya berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air di dalam tanah. Ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air sekaligus menyejukkan lingkungan dan lahan basah yang berperan dalam menjaga keseimbangan tata air dan pengendali banjir semakin berkurang jumlahnya karena kepentingan pembangunan. Sebagai contoh, hamparan tanah pertanian dalam wujud persawahan tergusur demi kepentingan pembangunan dan perkembangan industri setempat. Ruang terbuka hijau adalah ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau permakaman, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur hijau, dan kawasan hijau pekarangan. dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman. Danoedjo (1990) dalam Anonimous (1993) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas,
dimana dinominasi oleh tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alami.
Ruang
terbuka hijau dapat dikelompokkan berdasarkan letak dan fungsinya sebagai berikut: 1. ruang terbuka kawasan pantai (coastal open space); 2. ruang terbuka di pinggir sungai (river flood plain); 3. ruang terbuka pengaman jalan bebas hambatan (greenway) 4. ruang terbuka pengaman kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan Bandar Udara Berdasarkan fungsi dan luasan, ruang terbuka hijau dibedakan atas: 1. ruang terbuka makro, mencakup daerah pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota, dan pengaman di ujung landasan Bandar Udara; 2. ruang terbuka medium, mencakup pertamanan kota, lapangan olah raga, tempat pemakaman umum (TPU); 3. ruang terbuka mikro, mencakup taman bermain (playground) dan taman lingkungan (community park). 2.7. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam mengelola lingkungan dapat berupa partisipasi langsung dan tidak langsung serta dilakukan secara individual atau berkelompok. Partisipasi langsung berupa melakukan pengumpulan primer dan membayar retribusi. Masyarakat membentuk organisasi (misalnya Rukun Tetangga) yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan sampah dari rumah tangga di wilayahnya. Sampah yang terkumpul kemudian dibawa ke tempat pembuangan sementara (TPS). Pengelola sampah kota selanjutnya akan mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk jasa ini masyarakat membayar retribusi pengelolaan sampah. Partisipasi tidak langsung merupakan upaya masyarakat untuk menurunkan tingkat timbulan sampah. Upaya ini akan menurunkan jumlah sampah sehingga akan meringankan beban kerja sistem manajemen persampahan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dapat berupa upaya menghindari terjadinya sampah, pengguna kembali, daur ulang, pengomposan, dan sebagainya.
Setiap anggota masyarakat berperan dengan cara yang bervariasi dalam partisipasinya terhadap pengelolaan sampah. Pada tingkat individual, rumah tangga bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menempatkan sampah di dalam wadah yang sesuai, memilah sampah, meletakkan wadah sampah pada tempat dan waktu yang tepat, dan membersihkan lingkungan sekitar rumah.
Secara berkelompok masyarakat dapat membentuk
organisasi untuk melakukan kegiatan kampanye kebersihan dan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat dapat berupa kontribusi secara fisik atau financial, misalnya menjadi penyapu jalan atau membayar retribusi sampah. Pada tahap lebih lanjut lagi, partisipasi dapat berupa ikut serta dalam memformulasikan proyek dalam arti mengikuti secara aktif mulai dari perencanaan. Bentuk partisipasi tertinggi adalah menjadi anggota dalam organisasi pengelolaan persampahan dengan kegiatan berupa pematauan atas mutu pengelolaan (Moningka, 2000). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah ada empat yaitu (1) dengan cara menunjukkan perilaku dalam menjaga kebersihan, (2) dengan memberikan kontribusi uang atau tenaga, (3) dengan memberikan bantuan dalam administrasi dan (4) memberikan kontribusi dalam jasa dan pelayanan. Perilaku menjaga kebersihan dengan cara mengikuti aturan (jadwal dan tempat) dalam pengumpulan sampah, membawa sampah ke tempat pengumpulan, menaruh sampah dalam kantung atau tong, mengikuti penyuluhan kebersihan, menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya, memisahkan sampah basah dan kering, mengomposkan sampah halaman. Meberikan kontribusi uang atau tenaga dengan cara membayar iuran pengumpulan sampah, menyumbang atau meminjamkan peralatan, menyumbangkan tenaga untuk pengumpulan.
Memberikan bantuan dalam administrasi dengan cara menjawab
pertanyaan bila ada survey atau penelitian, mengikuti pertemuan, memilih pemimpin atau wakil yang akan mengelola sampah, memberikan umpan balik terhadap pengelola tentang system pengumpulan dan pemayanan.
Memberikan bantuan
dalam jasa pelayanan dengan cara menjadi anggota komite, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan yang mengelola persampahan, berperan serta dalam pengambilan keputusan.
Terdapat tiga manfaat yang diperoleh dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yaitu membangun kapasitas/kemampuan lokal, melibatkan masyarakat dalam pengembilan keputusan dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan strategi dalam pengelolaan lingkungan.
Partisipasi masyarakat dapat membantu terbentuknya
integrasi anatara perbedaan kebutuhan dan masalah dalam pengelolaan lingkungan (Moningka 2000). Dalam partisipasi masyarakat terdapat enam tahapan yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Tahapan Partisipasi Masyarakat