9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Batasan Pariwisata Istilah pariwisata berasal dari Bahasa Sansekerta yang komponen-
komponennya terdiri atas: (1) Pari = penuh, lengkap, berkeliling; (2) Wis (man)= rumah, property, kampong, komunitas; (3) Ata = pergi terus menerus, mengembara (roaming about), bila dirangkai menjadi satu kata berarti pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampong), berkeliling terus menerus (Pendit 2002). Yoeti (1988) dan Pendit (2002), mengutip berbagai pengertian pariwisata seperti tertera dibawah ini: 1. Pariwisata adalah gabungan berbagai kegiatan, pada umumnya bidang ekonomi yang langsung berkaitan dengan kedatangan dan tinggal serta kegiatan pendatang di negara tertentu atau daerah tertentu (Schulaland, 1910); 2. Pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan pekerjaan sehariharinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada di tempat tujuan tersebut (Tourism Society in Britain 1976); 3. Pariwisata adalah suatu kegiatan kemanusiaan berupa hubungan antar orang, baik dari negara yang sama atau antar negara atau hanya dari daerah geografis yang terbatas, didalamnya termasuk tinggal untuk sementara waktu di daerah lain atau negara lain atau benua lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan, kecuali kegiatan untuk memperoleh penghasilan (Wahab 1992); 4. Pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya (Robert McIntosh dan Gupta 1980); 5. Pariwisata adalah setiap peralihan tempat yang bersifat sementara dari seseorang atau beberapa orang, dengan maksud memperoleh pelayanan yang diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang digunakan untuk maksud tersebut (Hans Buchli); 6. Pariwisata adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu, untuk berpesiar di tempat lain, semata-
10
mata sebagai konsumen dari bu
ah hasil perekonomian dan kebudayaan,
guna memenuhi kebutuhan hidup dan budayanya atau keinginan yang beranekaragam dari pribadinya (Kurt Morgenroth); 7. Pariwisata adalah keseluruhan hubungan antara manusia yang hanya berada untuk sementara waktu dalam suatu tempat kediaman dan berhubungan dengan manusia-manusia yang tinggal di tempat itu (Gluckmann 1998); 8. Pariwisata adalah kegiatan perjalanan seseorang ke dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari satu tahun terus menerus dengan maksud bersenang-senang, berniaga dan keperluankeperluan lainnya (Santoso 2000); Berdasarkan
Undang-Undang
nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Berbagai definisi yang dikutip menunjukkan beragam aspek yang menjadi titik tolak pandangan masing-masing ahli dalam mendefinisikan pengertian pariwisata. Terdapat kesamaan yang dapat ditangkap dari definisi-definisi tersebut, sehingga Yoeti (1988), mengemukakan empat faktor yang menjadi dasar pengertian pariwisata yakni: 1. Perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu, sekurang-kurangnya 24 jam dan kurang dari satu tahun; 2. Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain; 3. Perjalanan
itu,
apapun
bentuknya
harus
selalu
dikaitkan
dengan
pertamasyaan atau rekreasi; 4. Orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat itu. Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh kegiatan perjalanan (travel) sebagai salah satu bentuk kegiatan manusia yang digunakan untuk memenuhi keinginan (rasa ingin tahu) yang bersifat rekreatif dan edukatif. Adapun dalam melakukan kegiatan pariwisata seseorang mempunyai motivasi sendiri yang akan diwujudkan dalam bentuk wisata yang dipilihnya. Piknik dapat menjadi bagian dari pariwisata atau menjadi salah satu kegiatan dalam pariwisata, sedangkan rekreasi biasanya dilakukan dengan santai pada waktu luang atau sengaja meluangkan waktu untuk itu (Warpani dan
11
Warpani 2007). Menurut Banapon (2008), motivasi berpariwisata dapat dibagi kedalam empat kategori yaitu: motivasi fisik, motivasi budaya, motivasi antar pribadi, motivasi status dan martabat. STIPAR (2006), menguraikan 8 (delapan) tipologi pariwisata berdasarkan produk pariwisata, yaitu: 1. Ecotourism (ekowisata): wisata yang bertujuan untuk menikmati kondisi alam yang unik maupun keindahan alam yang ada juga kehidupan tanaman dan binatang liar yang ada didalamnya; 2. Cultural tourism (wisata budaya): wisata untuk mendapatkan pengalaman mengenai suatu cara/gaya hidup yang sedang mengalami kepunahan atau bahkan turut serta hidup dalam cara/gaya hidup dimaksud; 3. Agri-tourism (agrowisata): wisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro; 4. Adventure tourism (wisata petualangan): wisata yang terkait dengan alam dan lingkungan seperti gunung, sungai, hutan dan sebagainya. Wisata petualang membawa wisatawan berinteraksi sangat dekat dengan alam dan merasakan tantangan alam; 5. Health
tourism
(wisata
kesehatan):
wisata
yang
memiliki
fasilitas
penyembuhan kesehatan atau manfaat yang berkaitan dengan kesehatan atau dipercaya dapat memulihkan kondisi kesehatan kembali seperti semula; 6. Religion tourism (wisata religi): wisata yang dikaitkan dengan acara keagamaan, misalnya kunjungan/ziarah ke fasilitas-fasilitas peribadatan atau tempat-tempat religius lainnya; 7. Educational tourism (wisata pendidikan): wisata yang lebih mengutamakan kepada perjalanan yang memiliki kegiatan-kegiatan formal yang berkaitan dengan pelajaran atau dunia pendidikan; 8. Shopping tourism (wisata belanja): wisata ke suatu destinasi wisata untuk memenuhi kebutuhan berbelanja. Tingkatan daur hidup produk sangat penting diketahui untuk mengukur posisi produk pariwisata saat ini. Konsep daur hidup produk dijelaskan STIPAR (2006) sebagai berikut: 1. Potential: Pada tahap ini, produk masih berupa daya tarik atau atraksi saja, tetapi produk tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan. Pada
12
umumnya wisatawan telah mengenal dan mengetahui tentang produk ini tetapi jumlahnya masih sedikit. Produk yang ditawarkan masih belum dikembangkan dan belum memiliki banyak pesaing; 2. Growth: Pada tahap ini, pesaing sudah mulai tertarik pada pasar yang serupa dengan produk yang ditawarkan dan keuntungan dari produk yang ditawarkan sudah mulai meningkat. Produk sudah cukup berkembang dan sudah mempunyai sarana dan prasarana pendukung. Pasar sudah mengenal produk tersebut meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Produk tersebut sudah mempunyai pasar yang tetap dan ada kemungkinan terus bertambah jumlah peminatnya (wisatawan); 3. Maturity: Pada tahap ini, produk telah berkembang dan telah mempunyai posisi yang baik di mata pasar. Sarana dan prasarana pendukung telah lengkap, sehingga dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Produk ini telah mempunyai pasar yang tetap dan akan terus bertambah, sehingga pengelola harus dapat melakukan inovasi-inovasi agar wisatawan tidak jenuh; 4. Decline: Pada tahap ini, posisi produk di pasar mengalami penurunan. Pasar telah berkurang dan cenderung sedikit. Hal ini terjadi karena atraksi yang ditawarkan produk tersebut kurang menarik atau kurang memenuhi selera dan ekspektasi wisatawan, atau terjadinya persaingan dengan produk lain yang memiliki tipologi serupa. 2.2
Sistem Kepariwisataan Pariwisata adalah suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang
sebagai suatu sistem yang besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti komponen ekonomi, ekologi, politik, sosial dan budaya. Sebagai sebuah sistem, antarkomponen dalam sistem tersebut terjadi hubungan interdependensi yang berarti bahwa perubahan pada salah satu subsistem juga akan menyebabkan terjadinya perubahan pada subsistem yang lain, sampai akhirnya kembali ditemukan harmoni yang baru. Sebagaimana dikatakan oleh Mill dan Morrison (1985) dalam Pitana dan Gayatri (2005), bahwa pariwisata adalah sistem dari berbagai elemen yang tersusun seperti sarang laba-laba. Pitana dan Gayatri (2005), mengemukakan beberapa model sistem pariwisata dari beberapa ahli yaitu:
13
1. Sistem pariwisata terdiri dari tiga komponen utama yaitu: (1) daerah asal (origin); (2) daerah tujuan (destination); dan (3) daerah antara (routes/ perjalanan) (Leiper 1979); 2. Sistem pariwisata terdiri dari empat komponen yaitu: (1) market; (2). travel; (3) destinasi; dan ( 4) pemasaran ( Mill dan Morrison 1985); 3. Sistem pariwisata terdiri atas tiga elemen yaitu: (1) elemen dinamis yaitu perjalanan wisatawan; (2) elemen statis, yaitu: keberadaan destinasi dan elemen konsekuensial yaitu berbagai dampak yang timbul (Mathiesen dan Wall 1982); 4. Sistem pariwisata berdasarkan aspek pemasaran pariwisata terdiri dari: (1) subsistem produksi; (2) subsistem delivery; (3) subsistem manajemen; dan (4) subsistem distribusi dan penjualan (Poon 1993). Aktor
yang
berperan
dalam
menggerakkan
sistem
pariwisata
dikelompokkan dalam tiga pilar utama, yaitu: (1) masyarakat; (2) swasta; dan (3) pemerintah. Kelompok masyarakat terdiri dari masyarakat umum yang ada pada destinasi seperti tokoh masyarakat, intelektual, LSM dan media masa. Kelompok swasta adalah asosiasi usaha pariwisata dan para pengusaha, sedangkan kelompok pemerintah adalah pada berbagai wilayah administrasi mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa (Pitana dan Gayatri 2005). Warpani dan Warpani (2007), memandang pariwisata sebagai suatu sistem dan memilahnya dalam sisi permintaan dan sediaan. Komponen permintaan terdiri atas elemen orang, ditengarai oleh hasrat orang melakukan perjalanan dan kemampuan melakukannya, sedangkan komponen sediaan adalah daya tarik wisata serta perangkutan, informasi dan promosi dan pelayanan. Hubungan antar elemen digambarkan sebagai suatu sistem kepariwisataan sebagaimana dijelaskan dalam gambar 3 berikut:
14
Orang Minat berwisata Kemampuan berwisata
PERMINTAAN
PERANGKUTAN
INFORMASI PROMOSI
volume dan mutu semua moda
DAYA TARIK WISATA pengembangan sumber daya demi kepuasan pengunjung
SEDIAAN PELAYANAN ragam dan mutu makanan, penginapan, produk
Gambar 3. Model komponen fungsional kunci yang membentuk dinamika dan sistem hubungan kepariwisataan (Gunn 1988). Elemen kepariwisataan dikelompokkan menjadi elemen: (1) Utama, yakni daya tarik yang mengandung arti objek yang menjadi sasaran dan destinasi kunjungan wisata; (2) Prasyarat, yakni elemen yang merupakan prasyarat proses berlangsungnya kegiatan pariwisata, yakni perangkutan; (3) Penunjang, misalnya informasi dan promosi yang membangun dan mendorong minat berwisata; dan (4) Sarana pelayanan, yakni elemen yang membuat proses kegiatan pariwisata menjadi lebih mudah, nyaman, aman dan menyenangkan berupa hotel, motel, penginapan, rumah makan dan lain-lain (Gunn 1988). 2.3
Pengelolaan Pariwisata Menurut
Pitana
dan
Diarta
(2009), pengelolaan pariwisata
harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut: 1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus didasarkan pada kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan; 2. Preservasi, proteksi dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata;
15
3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal; 4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal; 5. Memberikan
dukungan
dan
legitimasi
pada
pembangunan
dan
pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas (carrying capacity) lingkungan alam atau akseptibilitas sosial, walaupun di sisi lain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Pacific Asia Travel Association (PATA) menyusun petunjuk pengembangan (guidelines) pariwisata yang berisi tiga substansi pokok mengenai etika pengelolaan pariwisata yang bertanggung jawab, yaitu: (1) keuntungan dan kemanfaatan jangka panjang (long term profitability); (2) keberlanjutan produk pariwisata (product sustainability); dan (3) keadilan antargenerasi (equity from one generation to the next) (Pitana dan Diarta 2009). Metode pengelolaan pariwisata mencakup beberapa kegiatan sebagai berikut: (1) konsultasi dengan semua pemangku kepentingan; (2) identifikasi isu; (3) penyusunan kebijakan; (4) pembentukan dan pendanaan agen dengan tugas khusus; (5) penyediaan fasilitas dan operasi; (6) penyediaan kebijakan fiskal, regulasi dan lingkungan sosial yang kondusif; dan (7) penyelesaian konflik kepentingan dalam masyarakat (Richardson dan Fluker 2004). 2.4
Tata Ruang Pariwisata Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
ruang adalah meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara umum perencanaan tata ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusia, kualitas pemanfaatan ruang, yang secara struktural menggambarkan keterikatan fungsi lokasi yang terbagi dalam berbagai kegiatan. Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana
16
tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengikat semua pihak (Sugandhy 1999). Dalam menata ruang wilayah tempat kehidupan dan penghidupan, Indonesia menganut konsep ruang wilayah yang terdiri atas elemen wisma, karya, marga, suka dan penyempurna; disingkat WKMSP. Wisma adalah ruang wilayah permukiman, karya adalah ruang wilayah pekerjaan, marga adalah ruang wilayah pergerakan/mobilitas, suka adalah ruang wilayah bagi fasilitas yang mencakup rekreasi dan pariwisata dan penyempurna adalah ruang wilayah bagi fasilitas sosial budaya lainnya termasuk tempat ibadah (Warpani dan Warpani 2007). Daerah/kota tidak berdiri sendiri, tetapi berinteraksi dengan daerah/kota lainnya dalam jaringan kegiatan ekonomi dan sosial-budaya. Elemen WKMSP di daerah/kota membentuk suatu jaringan saling ketergantungan, karena itu harus ditata secara terkoordinasi dalam satu satuan tata ruang wilayah. Daerah/kota bukan wilayah tertutup melainkan berhubungan satu sama lain secara fisik geografis dan juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Koordinasi tata ruang wilayah diperlukan agar terjadi keseimbangan pembangunan dan perkembangan antar daerah. Kegiatan pariwisata menempati ruang di suatu wilayah (administrasi) atau bahkan ruang kegiatannya lebih dari satu wilayah administrasi daerah sehingga keberadaanya sangat bermakna sebagai bagian tata ruang wilayah dan sebaliknya pengembangan pariwisata pun harus mengacu kepada tata ruang wilayah. Jadi harus tercipta hubungan timbal balik antara pengembangan pariwisata dan rencana tata ruang wilayah. Jarak geografis antara lokasi daya tarik wisata dengan asal wisatawan adalah salah satu aspek keruangan yang tidak dapat diabaikan. Akibat jarak geografis tersebut maka diperlukan prasarana dan sarana perangkutan untuk menunjang kegiatan pariwisata seperti, jaringan perangkutan, perhotelan, dan pelayanan lainnya, pada aspek inilah sering terjadi tumpang tindih dan konflik kepentingan atas ruang wilayah. Selain jarak antara daerah tujuan wisata dan wisatawan yang berjauhan, juga jarak antar daerah tujuan wisata sendiri yang tidak terkonsentrasi dalam satu lokasi tetapi terpencar pada wilayah yang cukup luas. Kondisi ini harus diperhitungkan dalam rencana tata ruang wilayah, tidak semua infrastruktur harus disediakan di setiap daerah tujuan wisata karena pada
17
dasarnya akan terjadi “pengaruh rambatan” (trickling down effect) yang biasa terjadi di wilayah yang terdapat kegiatan pariwisata (Warpani dan Warpani 2007). Pemanfaatan ruang di setiap daerah tujuan wisata harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna tanah, air serta sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang dengan pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Pendekatan perencanaan tata ruang melalui perencanaan tata guna lahan dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap komponen-komponennya, seperti tanah, iklim dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut waktu dan ruang (Sugandhy 1999). Sebaran lokasi DTW pada skala nasional dan/atau daya tarik wisata pada skala regional, memicu terjadinya interaksi antardaerah sebagai manifestasi hubungan sediaan-permintaan. Hubungan antara daerah asal wisatawan dengan DTW adalah dalam bentuk mobilitas orang, sedangkan hubungan antar daerah dapat menyangkut mobilitas orang dan/atau barang. Selain arus mobilitas orang dan barang, sektor kepariwisataan berdampak terhadap peredaran uang. Berkenaan dengan pariwisata mancanegara, maka arus valuta asing mempunyai makna berarti bagi perekonomian suatu negara (Warpani dan Warpani 2007). Santoso (2001), menguraikan masalah-masalah tata ruang dari mulai perencanaan, pemanfaatan sampai pengendalian ruang sebagai berikut: 1. Permasalahan perencanaan tata ruang meliputi: (1) penggunaan peta dasar, tingkat ketelitian peta dan data/informasi yang tidak seragam antar instansi/lembaga terkait; (2) penerapan kriteria teknis sektoral versus kriteria teknis ruang yang menimbulkan konflik antar instansi/lembaga dalam alokasi fungsi ruang; (3) penyusunan rencana tata ruang wilayah yang kurang mengakomodir perkembangan data/informasi sektor-sektor pengguna ruang; (4) pemahaman yang berbeda terhadap peraturan perundang-undangan; (5) pemahaman yang berbeda terhadap deliniasi fungsi ruang yang tergambar pada peta rencana tata ruang wilayah; (6) pemahaman yang berbeda terhadap keberadaan hak-hak pemanfaatan ruang yang masih belum berakhir
18
masa berlaku izinnya versus masa berlakunya arahan fungsi ruang didalam rencana tata ruang wilayah; 2. Masalah
dalam
penyelesaian
pemanfaatan
ruang
masalah-masalah
meliputi:
pertanahan,
(1)
belum
tuntasnya
sehingga
potensial
menyebabkan kekeliruan dan/atau tumpang tindih hak atas pemanfaatan ruang wilayah; (2) kurang lengkap dan kurang jelasnya rencana tata ruang wilayah sehingga sulit menjadi acuan pembangunan, karena tidak berbasis pada evaluasi kemampuan/kesesuaian lahan serta kurang antisipatif terhadap kebutuhan
pembangunan;
(3)
rendahnya
kemampuan
sektoral
dan
masyarakat dalam penjabaran rencana tata ruang wilayah, karena kurangnya sosialisasi dan diseminasi; (4) inkonsistensi dalam implementasi rencana tata ruang wilayah dengan pelaksanaan pembangunan prasarana wilayah, sehingga pemanfaatan ruang wilayah menjadi tidak terkendali; 3. Masalah-masalah dalam pengendalian pemanfaatan ruang meliputi: (1) tidak adanya kejelasan, wewenang dan prosedur pengawasan yang meliputi monitoring, pelaporan dan evaluasi serta penertiban dalam pemanfaatan ruang wilayah; (2) lemahnya pencatatan atau tidak tersedianya data/informasi adanya perubahan rencana tata ruang wilayah; (3) kurang tersedianya anggaran untuk pengendalian pemanfaatan ruang wilayah; (4) tidak adanya tindak lanjut hasil pengendalian oleh pihak-pihak yang kompeten; (5) kelemahan aparat dalam penerapan peraturan perundang-undangan. 2.5
Daya Saing Pariwisata Aspek daya saing merupakan cerminan kesiapan dan kemampuan produk
wisata serta penguasaan terhadap pasar dan informasi yang diformulasikan secara tepat pada strategi dan program pengembangan pariwisata. Faktor-faktor yang memperlihatkan daya saing kepariwisataan Indonesia antara lain (Suwantoro 2004): 1. Pendapatan: selama kurun waktu lima tahun terakhir peringkat pertama pendapatan
negara-negara Asean diraih oleh Singapura, yaitu sebesar
32,73% dari total pengeluaran wisatawan di Asean. Posisi Indonesia pada peringkat ke-3 atau sebesar 18,8%;
19
2. Jumlah wisatawan: jumlah wisatawan tertinggi ditempati oleh Malaysia sebesar 29,5% sedangkan Indonesia berada di urutan keempat sebesar 9,98%; 3. Lama tinggal: Filipina menduduki peringkat pertama dengan rata-rata lama tinggal 11,5 hari sedangkan Indonesia berada di urutan kedua dengan ratarata lama tinggal 10,5 hari. Posisi daya saing pariwisata Indonesia menempati peringkat ke-60 indeks daya saing perjalanan dan wisata (TTCI) dari 124 negara yang disurvei oleh forum ekonomi dunia (WEF) yang berbasis di Jenewa, Swiss. Guna mengukur daya saing tersebut digunakan 13 indikator, antara lain kebijakan peraturan dan regulasi, keselamatan dan keamanan, regulasi lingkungan, kesehatan dan hygiene, privatisasi perjalanan dan wisata serta infrastruktur transportasi. WEF (1993), menyebutkan daya saing perjalanan dan wisata nasional telah menjadi sebuah sektor kunci dalam ekonomi dunia dan menjadi sumber dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di banyak negara. Karakteristik jasa pariwisata dapat digunakan sebagai acuan pengukuran daya saing. Mihalic (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik jasa pariwisata yaitu: (1) Reliability, dimana karakteristik ini terkait dengan konsistensi dan kesesuaian pelayanan; (2) Responsiveness, karakteristik ini berhubungan dengan kemampuan merespon secara cepat keluhan pelanggan; (3) Assurance, yaitu kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan; (4) Emphaty, yaitu terkait dengan kepedulian kepada pelanggan; dan (5) Tangible, yaitu karakteristik yang terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan berbagai media komunikasi. Studi
yang
dilakukan
Dwyer
et
al.
(2000)
menggunakan
price
competitiveness indicator untuk mengukur daya saing tourist destination. Studi ini membedakan dua katagori harga yaitu travel cost dan ground cost. Travel cost berkaitan dengan cost yang dikeluarkan dari dan ke suatu destinasi dan ground cost berkaitan dengan cost komoditi pada suatu tujuan destinasi. Studi lain dilakukan oleh Inskeep (1991) dan Middleton (1997) menyatakan bahwa quality environment sebagai indikator yang penting dalam pengukuran daya saing. Studi ini juga konsisten dengan studi yang dilakukan Ritchie dan Crough (1993) dan Mihalic (2000) yang memasukkan faktor lingkungan sebagai indikator penentu daya saing pariwisata.
20
Ritchie dan Crough (1993) memperluas penelitian sebelumnya dengan mendasarkan pada teori comparative advantage yang menyatakan bahwa kepemilikan dan penggunaan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara (destinasi) akan mengakibatkan destinasi tersebut unggul bersaing dibandingkan dengan destinasi lainnya. Peneliti memasukkan katagori yang lebih luas yaitu human resources, knowledge resources, physical resources, infrastructure and cultural resources. Gooroochurn dan Sugiyarto (2004) serta Trisnawati et al. (2007) dalam penelitiannya menggunakan index daya saing pariwisata yang dibentuk dari 8 indikator penentu daya saing pariwisata. Kedelapan indikator tersebut seperti tercantum dalam gambar 4 berikut.
Gambar 4. Indeks daya saing pariwisata (Gooroochurn dan Sugiyarto 2004). 1. Human Tourism Indicator (HTI): indikator ini menunjukkan pencapaian perkembangan ekonomi daerah akibat kedatangan turis pada daerah tersebut. Pengukuran yang digunakan adalah tourism impact index yaitu rasio antara penerimaan pariwisata dengan GDP. Ukuran lainnya adalah tourism participation index yaitu rasio antara jumlah aktivitas turis (datang dan pergi) dengan jumlah penduduk daerah destinasi; 2. Price Competitiveness Indicator (PCI): indikator ini menunjukkan harga komoditi yang dikonsumsi oleh turis selama berwisata seperti biaya akomodasi, travel, sewa kendaraan dan sebagainya. Pengukuran yang
21
digunakan adalah purchasing power parity sebagai proksi dari harga adalah rata-rata tarif minimum hotel yang merupakan hotel worldwide; 3. Infrastructure Development Indicator (IDI): Indikator ini menunjukkan perkembangan jalan raya, perbaikan fasilitas sanitasi dan peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas air bersih. Guna mengukur IDI terdapat kesulitan sehingga CM memproksikan IDI dengan income perkapita penduduk; 4. Environment Indicator (EI): indikator ini menunjukkan kualitas lingkungan dan kesadaran penduduk dalam memelihara lingkungannya. Pengukuran yang digunakan adalah indeks kepadatan penduduk (rasio antara jumlah penduduk dengan luas daerah) dan indeks emisi CO2. Data Indeks emisi CO2 dapat diperoleh dari informasi tingkat pencemaran udara pada jalan-jalan utama; 5. Technology Advancement Indicator (TAI): indikator ini menunjukkan perkembangan infrastruktur dan teknologi modern yang ditunjukkan dengan meluasnya penggunaan internet, mobile telephone dan ekspor produk-produk berteknologi tinggi. Pengukuran yang digunakan adalah telephone index (rasio penggunaan line telephone dengan jumlah penduduk) dan index export (rasio ekspor produk-produk berteknologi tinggi: komputer, produk farmasi, mesin-mesin industri dan elektronik dengan jumlah ekspor keseluruhan); 6. Human Resources Indicator (HRI): indikator ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia daerah tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada turis. Pengukuran HRI menggunakan indek pendidikan yang terdiri dari rasio penduduk yang bebas buta huruf dan rasio penduduk yang berpendidikan SD, SMP, SMU, diploma dan sarjana; 7. Openess Indicator (OI): indikator ini menunjukkan tingkat keterbukaan destinasi terhadap perdagangan internasional dan turis internasional. Pengukurannya
menggunakan
rasio
jumlah
penerimaan
dari
turis
internasional dengan total PAD dan rasio penerimaan pajak ekspor-impor dengan jumlah seluruh penerimaan; 8. Social Development Indicator (SDI): indikator ini menunjukkan kenyamanan dan keamanan turis untuk berwisata di daerah destinasi. Ukuran SDI adalah lama rata-rata masa tinggal turis di daerah destinasi.
22
2.6
Daya Dukung Pariwisata Mathieson dan Wall (1982), mendefinisikan daya dukung sebagai
“maksimum jumlah manusia yang dapat ditampung di suatu lokasi tanpa mengakibatkan penurunan kualitas fisik lingkungan, tanpa mengakibatkan penurunan kualitas kenyamanan pengunjung wisata dan tanpa mengakibatkan dampak negatif terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di sekitar areal wisata”. Hal serupa disampaikan oleh WTO (1995), bahwa daya dukung wilayah wisata adalah daya dukung lingkungan spesifik, sehingga secara relatif wisatawan dapat menikmati kesenangan dan memperoleh kepuasan yang diinginkan, tanpa menghilangkan kesenangan orang lain. Batasan daya dukung dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: (1) faktor pemasaran berkaitan dengan karakteristik wisatawan seperti usia, jenis kelamin, pendapatan, motivasi, sikap dan harapan. Faktor lainnya berupa level pemakaian dari fasilitas, kepadatan wisatawan, lamanya menginap, tipe/jenis aktivitas dan level kepuasan wisatawan; (2) faktor yang berkaitan dengan atribut destinasi, seperti kondisi lingkungan dan alam, struktur ekonomi dan pembangunan, struktur sosial dan organisasi, organisasi politik dan level pengembangan pariwisata (O’Reilly 1991 dalam Pitana dan Diarta 2009). WTO (1995), menyebutkan pula bahwa daya dukung wilayah wisata dipengaruhi oleh dua faktor lingkungan, yaitu: (1) lingkungan fisik, misalnya ukuran ruang yang dibutuhkan. Secara fisik, jika daya dukung terlewati, akan berpengaruh terhadap kerentanan aset sumberdaya alam, karena muncul masalah seperti meningkatnya jumlah limbah dan sampah, pencemaran serta gangguan terhadap proses ekologi yang penting; (2) lingkungan sosial, misalnya ketersediaan fasilitas yang diperlukan. Secara sosial dampak negatif dari terlampauinya daya dukung akan muncul gangguan sosial dan budaya, produktivitas masyarakat turun, misalnya karena kepadatan wisatawan timbul kemacetan
lalu
lintas
yang
menghambat
mobilitas
masyarakat
dalam
beraktivitas. Terlampauinya daya dukung sosial berakibat pada perubahan sosial budaya masyarakat lokal yang rentan terhadap dampak yang merugikan. Menurut Pitana dan Diarta (2009), terdapat tiga tipe daya dukung yang dapat diaplikasikan pada pengembangan destinasi pariwisata, yaitu:
23
1. Physical carrying capacity Merupakan kemampuan suatu kawasan alam atau destinasi wisata untuk menampung pengunjung/wisatawan, penduduk asli, aktivitas/kegiatan wisata dan fasilitas penunjang wisata. Konsep ini sangat penting mengingat sumberdaya alam dan infrastruktur yang sangat terbatas sehingga sering mengalami overused. Pemanfaatan kawasan yang melebihi daya dukung fisiknya dapat menyebabkan degradasi sumberdaya alam, penurunan kualitas hidup komunitas disekitarnya, over crowding dan sebagainya; 2. Biological carrying capacity Konsep ini merefleksikan interaksi destinasi pariwisata dengan ekosistem flora dan fauna, seperti halnya pada kegiatan ekowisata. Konsekuensinya sangat penting untuk melindungi dan menjaga ekosistem agar sedapat mungkin tetap seperti kehidupan habitat aslinya. Diperlukan peran pemerintah untuk membuat kawasan lindung dan konservasi serta pemberlakuan peraturan yang melarang perilaku destruktif seperti perburuan, penebangan hutan, pengeboman ikan, peracunan biota laut dan sebagainya; 3. Social/cultural carrying capacity Merefleksikan dampak pengunjung/wisatawan pada gaya hidup komunitas lokal. Kemampuan sebuah komunitas untuk mengakomodasi keberadaan wisatawan beserta gaya hidupnya di komunitas tertentu sangat bervariasi dari suatu budaya dengan budaya lain dan dari suatu wilayah dengan wilayah lain. Wisatawan umumnya mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik dan ingin mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan penduduk lokal dengan adat atau kebiasaan uniknya. Pitana dan Diarta (2009) mengemukakan pentingnya mengukur RCC (Recreational Carrying Capacity) yang didefinisikan sebagai “suatu metoda manajemen yang didasarkan atas pemanfaatan suatu destinasi oleh aktivitas pariwisata yang tidak merusak lingkungan fisik atau menurunkan kualitas rekreasi. Dampak dari pembangunan dan pengembangan destinasi wisata pada lingkungan diteliti dan diidentifikasi tingkat kritisnya. Tingkat kritis suatu destinasi wisata mengacu pada jumlah orang yang mengunjungi kawasan tersebut per tahun atau per hari atau per sekali kunjungan. Umumnya nilai optimum kunjungan berkisar antara 10% sampai 20% dibawah jumlah maksimumnya.
24
Nasha dan Xilai (2010), meneliti daya dukung wisata (tourism carrying capacity/TCC) untuk mengetahui jumlah pengunjung pada level mana yang efisien untuk manajemen pariwisata tetapi tidak melebihi kapasitas suatu lokasi tertentu. Zhao (1983), meneliti Zhuozheng Garden dan menyimpulkan daya dukung pada lokasi wisata tersebut adalah 9.055 orang per hari. Tran Nghi et al. (2007), meneliti Phong Nha cave dan menyimpulkan jumlah maksimum wisatawan yang dapat ditampung adalah 3.354 kunjungan per hari atau 100.620 wisatawan per bulan. 2.7
Dampak Kegiatan Pariwisata Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal
dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar yaitu: (1) dampak terhadap penerimaan devisa; (2) dampak terhadap pendapatan masyarakat; (3) dampak terhadap kesempatan kerja; (4) dampak terhadap harga-harga; (5) dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan; (6) dampak terhadap kepemilikan dan kontrol; (7) dampak terhadap pembangunan pada umumnya; dan (8) dampak terhadap pendapatan pemerintah (Pitana dan Diarta 2009). Pitana dan Gayatri (2005), melakukan inventarisasi pendapat para ahli berkaitan dengan dampak sosial budaya karena aktivitas pariwisata sebagai berikut: 1. Cohen (1984), mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar yaitu: (1) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; (2) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/ kelembagaan sosial; (3) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata; (4) dampak
terhadap
ritme kehidupan sosial masyarakat; (5)
dampak terhadap pola pembagian kerja; (6) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial, (7) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan, (8) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan (9) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat; serta (10) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat
yang
lebih
luas,
termasuk
tingkat
otonomi
dan
ketergantungannya; 2. Figuerola dalam Pearce (1989), mengidentifikasi ada enam kategori dampak sosial budaya akibat aktivitas pariwisata, yaitu: (1) dampak terhadap struktur
25
demografi; (2) dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian; (3) dampak terhadap transformasi nilai; (4) dampak terhadap gaya hidup tradisional; (5) dampak terhadap pola konsumsi; dan (6) dampak terhadap pembangunan
masyarakat
yang
merupakan
manfaat
sosial-budaya
pariwisata. Sifat dan bentuk dampak sosial budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: (1) jumlah wisatawan, baik absolut maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal; (2) objek dominan yang menjadi sajian wisata dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut; (3) sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan apakah alam, situs, arkeologi, budaya atau kemasyarakatan; (4) struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW; (5) perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal; (6) perbedaan kebudayaan wisatawan dengan masyarakat lokal; (7) tingkat otonomi (baik politik, geografis dan sumberdaya) dari DTW; (8) laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata; (9) tingkat perkembangan pariwisata; (10) tingkat pembangunan ekonomi DTW; (11) struktur sosial masyarakat lokal; (12) tipe resort yang dikembangkan (open atau enclave resort); (13) peranan pariwisata dalam ekonomi DTW (Pitana dan Gayatri 2005). Selain itu Ryan (1991), mengidentifikasi terdapat 16 faktor yang mempengaruhi dampak sosial-budaya yaitu: (1) jumlah wisatawan; (2) tipe wisatawan;
(3)
tahap
perkembangan
pariwisata; (4) perbedaan tingkat
perkembangan ekonomi antara negara asal wisatawan dengan negara penerima; (5) perbedaan norma budaya antara negara asal wisatawan dengan negara penerima; (6) ukuran fisik wilayah DTW yang mempengaruhi kepadatan wisatawan; (7) jumlah penduduk luar daerah (migran) yang melayani kebutuhan pariwisata; (8) besar kecilnya pembelian barang-barang properti oleh wisatawan; (9) tingkat penguasaan atau kepemilikan properti dan fasilitas pariwisata oleh masyarakat lokal; (10) perilaku lembaga pemerintah terhadap pariwisata; (11) kepercayaan masyarakat lokal dan kekuatan dari kepercayaan tersebut; (12) keterbukaan terhadap berbagai kekuatan yang mempengaruhi perubahan teknologi, sosial dan budaya; (13) pemasaran dan citra yang dibentuk lewat pemasaran terhadap DTW; (14) homogenitas masyarakat penerima; (15) aksesibilitas DTW; dan (16) kekuatan awal dari tradisi berkesenian, cerita rakyat, legenda dan sifat-sifat tradisi lainnya.
26
Dampak negatif pariwisata atas lingkungan fisik ada yang dapat diperbaiki, namun pada umumnya sudah tidak dapat diperbaiki lagi dan bila itu menyangkut potensi alam yang justru menjadi daya tarik wisata, dapat dikatakan bahwa pariwisata telah “membunuh” dirinya sendiri karena kualitas daya tarik wisata menurun justru diakibatkan oleh perkembangan pariwisata itu sendiri (Warpani dan Warpani
2007).
Oleh
karenanya
dampak
positif
pariwisata
patut
dikembangkan, sedangkan dampak negatifnya harus dicegah atau ditekan sampai pada batas minimum. Warpani dan Warpani (2007), mengulas tentang dampak positif dan negatif pariwisata terhadap sektor ekonomi, fisik/ruang dan sosial budaya seperti dijelaskan pada tabel 2. Tabel 2. Sektor EKONOMI
Dampak positif dan negatif pariwisata Dampak Positif
Dampak Negatif
• Peningkatan arus barang (eksporimpor). • Perluasan hubungan ekonomi antar negara dan/atau antar daerah. • Pertumbuhan ekonomi lokal. • Perluasan peluang kerja. • Peningkatan peran industri kecil dan industri rumahan.
• Ketergantungan pasokan barang dari luar.
pada tertentu
• Masyarakat setempat tersisihkan dalam percaturan ekonomi. • Produk setempat tidak mampu turut berperan dalam kepariwisataan.
• Percepatan arus peredaran modal. RUANG WILAYAH
• Penyebaran pembangunan berbagai wilayah potensial.
ke
• Percepatan pembangunan (fisik) daerah dengan memanfaatkan modal swasta dan/atau luar negeri.
SOSIAL BUDAYA
• Ancaman kelestarian alam.
terhadap lingkungan
• Pencurian plasma nutfah. • Kerusakan situs sejarah.
• Pemanfaatan daerah tidak produktif dengan memasukkan elemen wisata.
• Pembangunan terkendali .
• Peningkatan hubungan budaya antar bangsa.
• Rusaknya tata nilai dan norma budaya bangsa.
• Perubahan pola pikir ke arah modern (rasional).
• Menurunnya nasional.
• Perubahan citra kedaerahan yang sempit.
• Meningkatnya gaya pergaulan bebas yang melanggar norma-norma agama dan budaya setempat.
Sumber : Warpani dan Warpani , 2007
tak
kepribadian
27
Selain dampak terhadap sosial, budaya, ekonomi dan ruang, kegiatan pariwisata menimbulkan resiko terhadap kelestarian lingkungan, seperti yang diuraikan oleh Eagles et al. (2002) dalam Warpani dan Warpani (2007) pada tabel 3 berikut. Tabel 3.
Resiko akibat kegiatan kepariwisataan
Elemen
Contoh Resiko Akibat Kegiatan Kepariwisataan
Ekosistem
Konstruksi akomodasi, graha wisata, prasarana dan layanan lain secara langsung berdampak atas lingkungan, akibat penebangan pepohonan, gangguan pada atau penggusuran habitat satwa, dampak atas drainase. Habitat kehidupan liar barangkali lenyap (jalur migrasi, padang perburuhan, padang penangkaran dan sebagainya) tergusur oleh segala kegiatan pariwisata.
Tanah
Tanah yang ‘kompak’ terjadi pada tempat tertentu yang digunakan secara benar. Tanah longsor dan erosi dapat terjadi justru setelah ‘gangguan’ berlalu.
Vegetasi
Penggunaan yang terpusat di sekitar fasilitas berdampak negatif atas vegetasi. Perangkutan dapat berdampak negatif langsung atas lingkungan (misal: penebangan pohon, gangguan pada satwa dan sebagainya). Kebakaran sering terjadi akibat keteledoran wisatawan dan pengelolaan di DTW.
Air
Peningkatan kebutuhan akan air baku. Pembuangan sampah dan limbah ke badan sungai, danau dan laut. Tumpahan minyak dan oli dari kapal dan perahu. Putaran baling-baling kendaraan air dapat merusak kehidupan tumbuhan air dan spesies air lainnya.
Udara
Emisi kendaraan bermotor menyebabkan pencemaran udara (dari pesawat terbang, kereta api, kapal, mobil dan motor).
Kehidupan liar
Perburuan dan penangkapan ikan yang dapat merubah populasi. Pemburu dan nelayan dapat mendatangkan spesies asing dan meningkatkan populasi satwa yang tidak dikehendaki. Dampak muncul atas serangga dan binatang melata, akibat dampak perangkutan dari spesies yang didatangkan dam sebagainya. Gangguan oleh para pengunjung dapat terjadi atas segala spesies, termasuk spesies yang tak menarik bagi pengunjung. Gangguan dapat berupa berbagai jenis suara tampakan (visual) atau kebiasaan/kesukaan mengusik. Mamalia air dapat cedera atau binasa karena putaran baling-baling. Ketergantungan pada manusia dapat mengubah kebiasaan hidup liar, misalnya mendatangi pengunjung untuk mendapatkan makanan.
Sumber : Eagles et al. (2002) dalam Warpani dan Warpani (2007)
2.8
Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan our common
future yang disiapkan oleh world commission on environment and development (komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan), yang dikenal dengan
28
nama komisi Burntland. Isu utama yang disetujui oleh komisi tersebut adalah bahwa pada kenyataannya banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Secara positif, pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi hak dan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan adalah suatu program aksi untuk mereformasi ekonomi global dan ekonomi lokal. Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumber daya yang efisien. Pendekatan
ekologi
menekankan
pada
pentingnya
perlindungan
keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia, sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa kini dengan generasi mendatang. Pola pembangunan berkelanjutan tidak terbatas pada pengelolaan sumberdaya
alam
secara
berkelanjutan,
namun
juga
mengembangkan
keberlanjutan sosial (social sustainability) yang berkaitan erat dengan ketahanan sosial (social resilience). Hal ini bisa terjadi apabila proses pembangunan tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk turut berperan dalam pembangunan, sehingga tertutup kesempatan meningkatkan kualitas diri melalui perbaikan kesehatan, kesempatan pendidikan, kesempatan yang terbuka (ready access) memperoleh sumberdaya seperti tanah, lapangan kerja, modal, kredit, pendapatan dan yang serupa. Seiring dengan perkembangannya, ambang batas sosial atau daya tampung sosial (social carrying capability) dikatakan sebagai kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersamasama dalam suatu masyarakat secara harmonis (Hadi 1998). Daya tampung sosial ini dapat diukur melalui beberapa indikator baik secara kualitatif maupun kuantitatif, antara lain seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, kuantitas penduduk, kohesi sosial, peran serta atau keterlibatan masyarakat dan sebagainya.
29
Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pengelolaan seluruh sumberdaya sedemikian rupa hingga kita dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika, ketika mempertahankan keterpaduan budaya, proses ekologi yang penting, keragaman biologi dan sistem pendukung kehidupan (Murphy 1994). Selanjutnya WTO (1995), menjelaskan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan harus berdasarkan perkembangan hubungan antara industri pariwisata, pendukung lingkungan dan masyarakat. Hubungan ini mencakup tiga prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. Kelanjutan ekologi pembangunan yang sesuai dengan perawatan proses ekologi yang diperlukan, keragaman biologi dan sumberdaya biologi; 2. Kelanjutan
sosial
pengendalian
dan
manusia
budaya terhadap
pembangunan kehidupannya,
yang yang
meningkatkan sesuai
dengan
kebudayaan dan nilai-nilai manusia yang dipengaruhi pembangunan tersebut dan yang mempertahankan serta memperkuat identitas masyarakat; 3. Kelanjutan ekonomi pembangunan yang efisien secara ekonomi, dengan sumberdaya yang dikelola sedemikian rupa sehingga dapat mendukung generasi dimasa datang. National geograpic online dalam the global development research center (2002) mendefinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) pariwisata yang memberikan penerangan; (2) pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari tempat tujuan; (3) pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat; (4) pariwisata yang melindungi sumberdaya alam; (5) pariwisata yang menghormati
budaya
dan
tradisi;
dan
(6)
pariwisata
yang
tidak
menyalahgunakan produk. Aronsson (2000), mencoba menyampaikan beberapa pokok pikiran tentang interpretasi pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) pembangunan pariwisata berkelanjutan harus mampu mengatasi permasalahan sampah lingkungan serta memiliki perspektif ekologis; (2) pembangunan pariwisata berkelanjutan menunjukkan keberpihakannya pada pembangunan berskala kecil dan yang berbasis masyarakat lokal/setempat; (3) pembangunan pariwisata berkelanjutan menempatkan daerah tujuan wisata sebagai penerima manfaat dari pariwisata, untuk mencapainya tidak harus dengan mengeksploitasi daerah setempat; (4) pembangunan pariwisata berkelanjutan menekankan pada keberlanjutan budaya, dalam hal ini berkaitan dengan upaya-upaya membangun
30
dan mempertahankan bangunan tradisional dan peninggalan budaya di daerah tujuan wisata. Pembangunan
pariwisata
berkelanjutan
atau
sustainable
tourism
development menurut Yaman dan Mohd (2004) ditandai dengan empat kondisi, yaitu: (1) anggota masyarakat harus berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembangunan pariwisata; (2) pendidikan bagi tuan rumah, pelaku industri dan pengunjung/wisatawan; (3) kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi dan iklim mikro harus dimengerti dan didukung; (4) investasi pada bentuk– bentuk transportasi alternatif. Indikator yang dikembangkan pemerintah RepubIik Indonesia tentang pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah: (1) kesadaran tentang tanggung jawab
terhadap
lingkungan,
bahwa
strategi
pembangunan
pariwisata
berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai green industry (industri yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggung jawab pemerintah, industri pariwisata, masyarakat dan wisatawan; (2) peningkatan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata; (3) keberdayaan industri pariwisata yaitu mampu menciptakan produk pariwisata yang bisa bersaing secara internasional, dan mensejahterakan masyarakat di tempat tujuan wisata; (4) kemitraan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang bertujuan menghapus/meminimalisir perbedaan tingkat kesejahteraan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan wisata untuk menghindari konflik dan dominasi satu sama lain (Anonim 2000). Merujuk pada Agenda 21 untuk perjalanan dan pariwisata, diuraikan 12 prinsip yang memandu pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Pitana dan Diarta 2009), seperti diuraikan pada tabel 4.
31
Tabel 4. Prinsip-prinsip panduan kepariwisataan dalam agenda 21 No
Prinsip-Prinsip Panduan Kepariwisataan
1
Perjalanan dan pariwisata membantu manusia menuju kehidupan yang sehat dan produktif selaras dengan alam.
2
Pariwisata harus mendukung konservasi, perlindungan dan pemugaran ekosistem bumi.
3
Perjalanan dan pariwisata harus berdasarkan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
4
Bangsa-bangsa seyogyanya bekerjasama untuk mempromosikan sistem ekonomi terbuka dimana perdagangan internasional dalam layanan perjalanan dan pariwisata dapat berlangsung secara berkelanjutan.
5
Sistem perlindungan dalam perdagangan pariwisata harus dihentikan atau dibalik.
6
Pariwisata, keamanan, pembangunan dan perlindungan lingkungan saling tergantung satu dengan lainnya.
7
Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan seyogyanya merupakan bagian terpadu dari proses pembangunan pariwisata.
8
Isu pembangunan pariwisata harus ditangani oleh warganegara yang bersangkutan dan keputusan perencanaan harus diambil pada tingkat lokal.
9
Bangsa-bangsa akan saling mengingatkan mengenai bencana alam yang dapat mempengaruhi wisatawan atau wilayah wisatawan.
10
Peran serta kaum wanita diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, karena itu kaum wanita selayaknya diberi kesempatan untuk bekerja dalam bidang perjalanan dan pariwisata.
11
Pengembangan pariwisata harus mengenal dan mendukung identitas, budaya dan minat dari penduduk asli.
12
Undang-undang internasional yang melindungi lingkungan harus dihormati oleh industri perjalanan dan pariwisata di seluruh dunia.
layanan
perjalanan
dan
Sumber : Pitana dan Diarta, 2009
Pariwisata konvensional cenderung mengancam kelestarian sumbersumber daya pariwisata itu sendiri. Tidak sedikit resort-resort eksklusif dibangun dengan mengabaikan daya dukung (carrying capacity) fisik dan sosial setempat. Jika hal itu berlanjut maka kelestarian OTW (obyek tujuan wisata) akan terancam dan pariwisata dengan sendirinya tidak akan dapat berkembang lebih lanjut. Berkenaan dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan, pembangunan sumberdaya (atraksi, aksessibilitas, amenitas) pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang. Dimensi-dimensi
32
ekonomi, ekologi, sosial dan budaya dalam pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada tabel 5 berikut (Damanik dan Weber 2006). Tabel 5. Dimensi dalam pariwisata Dimensi Ekonomi
Wisatawan
Penyedia Jasa
• Peningkatan kepuasan wisata • Peningkatan belanja wisata di daerah destinasi.
• Peningkatan dan pemerataan pendapatan semua pelaku wisata. • Penciptaan kesempatan kerja terutama bagi masyarakat lokal. • Peningkatan kesempatan berusaha/diversifikasi pekerjaan.
Ekologi
• Penggunaan produk dan layanan berbasis lingkungan (green product). • Kesediaan membayar lebih mahal untuk produk dan layanan wisata ramah lingkungan.
• Penentuan dan konsistensi pada daya dukung lingkungan. • Pengelolaan limbah dan pengurangan penggunaan bahan baku hemat energi. • Prioritas pengembangan produk dan layanan jasa berbasis lingkungan. • Peningkatan kesadaran lingkungan dengan kebutuhan konservasi.
Sosial
• Kepedulian meningkat.
sosial
• Peningkatan lokal.
konsumsi
yang produk
• Pelibatan sebanyak mungkin stakeholder dalam perencanaan, implementasi dan monitoring. • Peningkatan kemampuan masyarakat lokal dalam pengelolaan jasa-jasa wisata. • Pemberdayaan lembaga-lembaga lokal dalam pengambilan keputusan pengembangan pariwisata. • Menguatnya posisi masyarakat lokal terhadap masyarakat luar. • Terjaminya hak-hak dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata. • Berjalannya aturan main yang adil dalam pengusahaan jasa wisata.
Budaya
• Penerimaan kontak perbedaan budaya. • Apresiasi lokal.
budaya
dan
• Intensifikasi komunikasi lintas budaya.
masyarakat
• Penonjolan ciri atau produk budaya lokal dalam penyediaan atraksi, aksesibilitas dan amenitas. • Perlindungan warisan kebiasaan-kebiasaan dan lokal.
budaya, kearifan
Sumber : Damanik dan Weber 2006
2.9
Kebijakan Pariwisata Suatu
kebijakan yang strategis (strategic policy) adalah salah satu
kebijakan di mana konsekuensi dan
keputusannya secara relatif tidak bisa
33
dibalik ulang untuk beberapa tahun. Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policies) yaitu, kebijakan dimana konsekuensi dari keputusankeputusan secara relatif
dapat diulang tidak menimbulkan resiko dan
ketidakpastian masa kini pada tingkat yang lebih tinggi. Kebijakan merupakan salah satu unsur penting dalam organisasi atau lembaga yang digunakan untuk pengendalian atau pengaturan kepentingan umum. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum dapat diartikan sebagai suatu perangkat prinsip-prinsip yang mendasari pengambilan keputusan kebijakan publik. Kebijakan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk: (1) instrumen legal (hukum), seperti peraturan perundangan; (2) instrumen ekonomi, seperti kebijakan fiskal, subsidi dan harga; (3) petunjuk, arahan ataupun ketetapan; (4) pernyataan politik; dan (5) kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, maupun program. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan implementasinya (Djogo et al. 2003). Kebijakan publik adalah apapun yang akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut terkait dengan suatu isu atau persoalan publik (Dye 1992). Analisis kebijakan, menurut Dunn (1994) merupakan salah satu di antara sejumlah komponen dalam sistem kebijakan. Sistem kebijakan atau keseluruhan pola kelembagaan, dimana suatu kebijakan dibuat, menyangkut hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pemangku kepentingan kebijakan dan lingkungan kebijakan. Terdapat tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah yang sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan masalah yang rumit (ill-structured) (Dunn 1994). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan oleh tingkat kompleksitasnya, yaitu derajat seberapa jauh masalah merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung, perbedaan di antara masalah-masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana (wellstructured problems) adalah masalah yang melibatkan satu beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif
kebijakan. Kegunaan (nilai)
mencerminkan konsensus pada tujuan jangka pendek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alternatif diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang masih dapat diterima (resiko). Masalah yang agak sederhana (moderately structured problems) adalah masalah-masalah yang
34
melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif yang secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Masalah yang rumit (illstrucured problems) adalah masalah yang mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan konsensus, maka karakteristik utama dari masalahmasalah yang rumit adalah konflik di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing.