15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Keterkaitan Waktu Luang, Rekreasi dan Pariwisata
Pariwisata adalah bersifat multi disiplin dan multi sektoral. Dalam pariwisata berbagai ilmu pengetahuan dan sektor pembangunan harus dikombinasikan dalam suatu kesatuan dinamika yang bertujuan untuk memberikan kesenangan dan kepuasan kepada wisatawan secara positif. Avenzora (2003) menjelaskan bahwa untuk memudahkan mempelajarinya maka dapat dilakukan penyederhanaan, yaitu dengan mengenali determinan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam tourism, yaitu: (1) ruang (space), dan (2) waktu (time). Hal tersebut bisa dimengerti karena bagaimanapun juga aspek waktu pasti akan selalu mempengaruhi karakteristik setiap komponen dan aspek yang terlibat dalam suatu kegiatan wisata.
Avenzora (2008) mengingatkan bahwa untuk memahami tourism dari variabel waktu, fokus analisis dapat diarahkan pada time-budget dari setiap individu atau populasi dalam memanfaatkan waktu, yang polanya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: (1) existence time, (2) subsistence time dan (3) leisure time. Terminologi existence time digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar harian mereka, seperti mandi, makan, tidur dan istirahat. Subsistence time merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan guna melaksanakan aktivitas yang diperlukan untuk bisa terpenuhinya kebutuhan dasar manusia tersebut. Leisure time merupakan waktu bagi manusia bebas melakukan aktivitas lain setelah berbagai existence and subsistence activities terpenuhi. Atas dikotomi tersebut, maka lebih lanjut dijelaskan bahwa bahwa leisure hanyalah salah satu aktivitas alternatif yang dapat dipilih manusia dalam memanfaatkan leisure time; yang harus pula dipahami bahwa recreation juga hanyalah salah satu pilihan yang dapat dipilih di antara berbagai alternatif leisure activities lainnya. Keterkaitan berbagai hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.
16 Common Behavior Existensi Time
Existence Activities
- Exclusive Behavior - The Have’s Behavior - Trend Follower
TIME
Subsistence Time
Subsistence Activities
Leisure Time
Leisure Activities
Incidental Need on Duty Travelling
Common Behavior
TOURISM
A Trip Cross The Hometown Border
Recreation
Hobbies Additional Existence
Meet The Tourism Criteria
Recreation in The Hometown Border
Additional Subsistence
Gambar 2 Skema Time-Budget (Avenzora 2008).
Avenzora (2008) menjelaskan bahwa dalam konteks leisure studies ada dua hal penting yang perlu dimengerti secara baik, yaitu: (1) the leisure time pattern, dan (2) the pattern of leisure activities. Pola waktu luang perlu untuk dimengerti guna mengukur peluang dan/atau kebutuhan rekreasi yang dapat dan/atau dibutuhkan oleh individu/populasi dalam waktu luang. Adapun pola waktu luang (the pattern of leisure activities) adalah mengilustrasikan tingkat partisipasi yang secara aktif diambil oleh individu dalam memanfaatkan waktu luang.
Dalam konteks perencanaan, Avenzora (2008) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang rekreasi dapat disimplifikasikan melalui pengertian yang baik tentang recreation demand dan recreation supply. Dipaparkan bahwa
17 berbicara tentang recreation demand adalah berbicara tentang: (1) siapa yang
meminta, (2) apa dan berapa banyak yang diminta
dan (3) kapan diminta.
Berbicara tentang recreation supply dapat dipahami melalui pengertian tentang: (1) apa dan berapa banyak dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan dan (3) kepada siapa dapat diberikan.
Sejalan dengan pendekatan waktu dan ruang yang digunakannya, maka Avenzora (2008) memaknai suatu sumberdaya rekreasi/wisata (recreation- resources) sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat: (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi”. Dijelaskan, untuk mempelajari kompleksitas dalam tourism, suatu model yang diajukan oleh Ja’fari (cited in Cooper et. al., 1999) dapat dipertimbangkan sebagai suatu model yang baik dan komprehensif (lihat Gambar 2). Model tersebut menggambarkan berbagai aspek yang dibutuhkan untuk mendukung suatu tourism development dan sekaligus menunjukkan betapa kompleksnya studi tentang tourism. Dengan mengenali berbagai komponen yang terlibat, maka akan lebih mudah untuk memahami interdependensi yang ada.
Menurut Webster’s Dictionary (ditulis oleh Thatcher, 1996) pariwisata (tourism) adalah suatu perjalanan ekskursi yang biasanya berakhir di titik awal mulanya kegiatan. Murphy (1985) memaknai pariwisata sebagai suatu kunjungan ke daerah lain, entah untuk keperluan bersena-senang (pleasure), bisnis ataupun kombinasi dari keduanya. Adapun Holloway (1985) mengartikan pariwisata sebagai suatu kumpulan berbagai fenomena dan hubungan yang timbul karena adanya perjalanan dan kedatangan seseorang ke suatu wilayah dengan tujuan bukan untuk menetap dan bukan pula untuk mencari uang.
Namun Prentice
(1993) menyatakan bahwa secara prinsip pariwisata meliputi perjalanan berlibur, mengunjungi teman, perjalanan bisnis termasuk berbagai bentuk perjalanan lain yang setidak-tidaknya satu malam tinggal di luar rumah. Secara luas pariwisata didefinisikan oleh Spillane (1987) sebagai perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagian dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.
18
Batasan-batasan dan pengertian tersebut di atas kembali menunjukkan perbedaan pengertian tentang pariwisata (tourism). Batasan dan pengertian yang dikemukakan oleh Holloway bahkan mencirikan ambiguitas antara pariwisata dan rekreasi (recreation). Dalam berbagai literatur, “not connected to any earning activity” adalah dikhususkan untuk mendefinisikan rekreasi. Avenzora (2003) menyatakan bahwa secara umum para scholars telah sepakat atas 5 (lima) karakteristik rekreasi, yaitu: (1) harus dilaksanakan dalam waktu luang, (2) sukarela (voluntarily), (3) menyenangkan, (4) tidak terikat akan aturan tertentu dan (5) tidak untuk mencari nafkah.
Gambar 3 Ja’fari Model (cited in Cooper et al., 1999).
Secara umum konsumen dalam bisnis wisata merupakan orang-orang yang melakukan perjalanan, yang biasanya disebut wisatawan (tourist). United Nation Conference on Travel and Tourism di Roma (1963) memberikan batasan yang umum, yang disebut pengunjung (visitors), yaitu setiap orang yang mengunjungi negara yang bukan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari negara yang dikunjungi.
19
United Nation Convention Concerning Customs Facilites For Touring (2001) mendefinisikan wisatawan merupakan orang yang datang ke suatu negara karena alasan yang sah kecuali untuk berimigrasi dan yang tinggal setidak- tidaknya 24 jam dan selama-lamanya enam bulan dalam tahun yang sama. Dalam pengertian ini wisatawan dibedakan berdasarkan waktu dan tujuan yang disebut wisatawan adalah orang-orang yang berkunjung setidaknya 24 jam dan yang datang berdasarkan motivasi mengisi waktu senggang seperti bersenang-senang, berlibur, untuk kesehatan, studi, keperluan agama, olahraga, bisnis, keluarga, perutusan dan pertemuan-pertemuan.
Definisi tersebut senada dengan yang
dikemukakan Organisasi Wisata Dunia (WTO) yang menyatakan wisatawan sebagai pelancong yang melakukan perjalanan pendek, yaitu yang melakukan perjalanan ke sebuah daerah atau negara lain dan menginap minimal 24 jam atau maksimal enam bulan di tempat tersebut untuk berlibur, berobat, berbisnis, berolahraga serta menuntut ilmu dan mengunjungi tempat-tempat yang indah.
Menurut Avenzora (2008) tipologi wisatawan yang dibuat oleh Plog (1987 cited in Lowyck, E., L. van Langenhove, and L Bollaert, 1993) dapat dipandang sebagai tipologi yang baik untuk mulai mengenali berbagai tipe dasar “tourist”, yaitu: Venture-someness: wisatawan yang mencari dan mengeksplorasi serta berkecenderungan sebagai pengguna pertama dari setiap destinasi yang mereka kunjungi; Pleasure-seeking: wisatawan yang menginginkan sejumlah kenyamanan dan kemewahan dalam setiap aspek perjalanan yang mereka lakukan, baik dalam hal trasnportasi, akomodasi dan entertain; Impassivity: wisatawan yang membuat keputusan perjalanan dengan cara yang sangat cepat, yang biasanya pada hanya babetapa menit menjelang keberangkatan sehingga dapat dikatakan hampir tanpa perencanaan; Self-confidence: wisatawan yang ingin melakukan segala sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang dilakukan orang lain, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pemilihan tapak wisata ataupun kegiatan wisata yang berbeda dengan pilihan umum;
20 Planfulness: wisatawan yang merencanakan perjalanannya secara baik tetapi tidak menyukai kegiatan-kegiatan dalam bentuk paket wisata yang terpimpin;
Masculinity: wisatawan yang berorientasi untuk mendapatkan kepuasan wisata melalui jenis aktivitas yang dilakukan dan mencari berbagai sumberdaya yang sangat tradisional, dimana biasanya perjalanan wisatanya cenderung dilakukan bersama keluarga; yang jika tidak maka mereka cenderung untuk memilih tinggal di rumah; Intellectualism: wisatawan yang memberi perhatian dan mempunyai ketertarikan yang sangat besar terhadap aspek-aspek sejarah dan kebudayaan dari destinasi yang dikunjunginya; dan People orientation: wisatawan yang menginginkan adanya kontak dan komunikasi dengan masyarakat di destinasi yang dikunjungi.
World Tourism Organization (1995) menyatakan meskipun terdapat berbagai pemahaman mengenai batasan pariwisata, namun terdapat beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati, khususnya dalam batasan pariwisata internasional, yaitu: (1) traveler, yaitu orang-orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas, (2) visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan dan tidak bertujuan untuk mencari nafkah, pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan, dan (3) tourist, yaitu bagian dari pengunjung yang menghabiskan waktu paling sedikit satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi. Richardson dan Fluker (20040 menyatakan bahwa semua definisi tentang pariwisata tersebut, meskipun berbeda dalam penekanan, selalu mengandung beberapa ciri pokok, yaitu: (1) adanya unsur perjalanan (travel), (2) adanya unsur tinggal sementara di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal yang biasanya dan (3) bukan bertujuan untuk mencari penghidupan.
B. Ekowisata: Dinamika Pengertian dan Makna
Menurut Avenzora (2008) secara sederhana, perubahan paradigma pada sektor pariwisata dapat dipandang dari dua alasan yang mendasar, yaitu internal dynamics dan external dynamics. Secara internal, terjadinya perubahan adalah disebabkan oleh natural shift of trend.
Adapun secara eksternal, timbulnya
perubahan adalah sebagai akibat tekanan politik lingkungan global. Dijelaskan, dalam konteks sejarah dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma tersebut
21
berawal dari gerakan back to nature yang mulai menyebar secara global pada awal Tahun 80-an. Gerakan yang pada awalnya dapat dipandang sebagai natural trend telah berubah menjadi suatu gerakan formal bersamaan dengan munculnya deklarasi World Conservation Strategy pada tahun 1980. Bahkan pilar konservasi tersebut telah menjadi lebih kokoh dengan berdirinya lembaga World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1983, kemudian the Brundtland
Document
secara
tegas
menekankan
pentingnya
mengimplementasikan konsep berkelanjutan (sustainability concept) dalam setiap proses pembangunan. Akhirnya, dua dokumen penting tersebut menjadi lebih kuat ketika Agenda 21 dideklarasikan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (termasuk Agenda 21 for Travel and Tourism).
Avenzora (2008) juga menjelaskan bahwa perubahan paradigma juga disebabkan oleh adanya inherent dynamics dalam tourism. Beberapa contoh variabel inheren tersebut adalah lingkaran keingintahuan (the circle of curiosity) dan ketertarikan (preferences). Jika kondisi berbagai variabel penentu terjadinya “perjalanan” terpenuhi, maka holiday-taker akan cenderung untuk melakukan perjalanan wisata ke tempat atau obyek yang belum pernah dikunjungi. Pada sisi lain, faktor preferences mudah untuk dimengerti akan sangat bervariasi, baik dalam bentuk ataupun pola aksi atas trend yang ada.
Menurut Avenzora (2008), the Federation of Nature and National Parks of Europe (FNNPE; cited in Cerovsky, 1992) hanya mendefinisikan the term sustainable tourism dari sudut pandang “tourist” saja, yaitu: “all form of tourist development, management and activity which enable a long life for the cultural activity of tourism, involving a sequence of economic tourism products, compatible with keeping in pertuity the protected heritage resources, be it natural, cultural or built, which give rise to tourism”. Sementara Anko (1992 in Baines, et. al.. 1992; eds.) menyatakan: “the idea of sustainable tourism, in my mind at least, is to make these qualities available to the people to the degree and in a manner that will guarantee their preservation for the future generations (who will likely perceive them differently than we do) and for the sake of nature itself”.
22
Avenzora (2008) juga secara tegas menyatakan bahwa meskipun terminologi yang digunakan sangat variatif sesungguhnya ide dan konsep-konsep yang melatarbelakanginya secara mendasar adalah sama. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan di antara berbagai dikotomi tersebut adalah bersumber dari “perbedaan sudut pandang” – jika tidak ingin dikatakan keterbatasan sudut pandang – yang digunakan para penulis dalam menelaah kompleksitas tourism. Cukup banyak penulis yang hanya memfokuskan analisisnya pada salah satu aspek, subyek ataupun obyek yang terlibat dalam tourism. Sebagai contoh, para penulis yang menggunakan the terms eco-tourism and nature based tourism umumnya hanya berorientasi pada nature related tourism activities (seperti Anko, 1992).
Sementara itu, para penulis yang
menggunakan the terms responsible tourism and small-scale tourism umumnya juga hanya fokus pada aspek intensitas pengunjung belaka.
Menurut Avenzora (2008), untuk terminologi ecotourism, maka definisi Cebalos-Lascurian (1997), yang juga diadopsi oleh IUCN, tampaknya telah menjadi inspirasi banyak penulis dalam memahami ecotourism. Dia mendefinisikan ecotourism sebagai: “a travelling to relatively undisturbed or uncontaminated areas with the purpose of studying, admiring, and enjoying the scenery and their wild plants and animals, as well as any existing cultural manifestation (both past and present) found in these areas”. Disisi lain, Boo (1990) hanya mendefinisikan ecotourism sebagai “tourism to natural areas.”
Mengingat hampir semua penulis meletakkan “the first hand experience with natural environment” sebagai prasyarat, maka Avenzora (1997) mempertanyakan tentang siapa yang akan bertanggungjawab untuk merestorasi destinasi-destinasi yang telah terlanjur hancur pada era mass-tourism. Juga sangat kuat diprediksikan bahwa perilaku para businessmen (termasuk di daerah past mass-tourism area) akan selalu menggunakan kriteria tersebut untuk mengeksplorasi dan kemudian mengeksploitasi the new untouched natural environment untuk memenuhi kepentingan ekonomi mereka dengan cara mensuplai destinasi baru ke dalam tourism market.
23
C. Evaluasi Atas Konsep
Avenzora (2008) menyatakan bahwa untuk menyederhanakan proses evaluasi, maka pengevaluasian berbagai konsep yang ada perlu untuk difokuskan pada definisi dan batasan yang notabene menggambarkan esensi dari setiap konsep tersebut.
Sebagai bahan studi, dipaparkannya berbagai definisi dan
batasan ecotourism yang dituliskan oleh berbagai pihak, yaitu: 1. The Ecotourism Association of Australia (1996): sebagai turisme atau kepariwisataan yang secara ekologis berkelanjutan (lestari) dan mendorong berkembangnya pemahaman (understanding), apresiasi atau penghargaan (appreciation) dan tindakan konservasi lingkungan dan kebudayaan; 2. The Office of National Tourism of Australia (dalam FAO, 1998): sebagai turisme berbasis alam yang didalamnya mengandung interpretasi terhadap lingkungan alam yang budaya dan pengelolaan sumberdaya alamnya secara ekologis bersifat lestari; 3. PT. Indecon (1996): sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat setempat; 4. Fandelli (2000): merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keperihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial; yang pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat; 5. Santiago and Libosada (1997): environmentally sound tourism sustainably implemented in a given ecosystem to yield equitable social and economic benefits and to enhance the conservation of natural and cultural resources; 6. Dephut (1988): kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya dan tata lingkungan yang masih bersifat alami atau belum banyak campur tangan manusia; 7. Brandon (1996): kegiatan pegusahaan wisata yang memberikan manfaat sebagai sumber pendanaan kawasan konservasi, pembenaran ekonomi dalam perlindungan kawasan konservasi, alternatif matapencaharian masyarakat lokal untuk mengurangi pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, pilihan dalam mempromosikan konservasi dan dorongan dalam upaya konservasi yang khusus;
24
8. Hetzer (1995, dalam Fennel, 2002): merupakan konsep pariwisata yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip: meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, meminimalisasi dampak negatif dan meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat lokal, memberikan kontribusi terhadap kelestarian areal dan meningkatkan kepuasan terhadap alam dan budaya oleh wisatawan; 9. Western (1993): Adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekoogi, kebudayaan dan keindahan; 10. Smardon, R.C. (1994): “. dependent upon the quality of the experience of the observer with resource or the environment. It is information consuming and demands a high quality natural experience with minimal to no impact on the environment”; 11. Hadinoto (1996): merupakan bagian dari wisata alam yang dapat dilakukan di kawasan yang dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam, atau di kawasan yang tidak dilindungi seperti daerah pertanian dan desa wisata; jadi ekowisata merupakan suatu perjalanan ke kawasan atau tempat yang masih alami, sehingga apabila wisatawan tersebut datang ke tempat wisata akan merasakan ketenangan dan kenyamanan; 12. PP RI No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona TN, Tahura, TWA: kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; 13. Eplerwood (1996): resposible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well being of local people; 14. Bornemeier, Victor and Durst (1997) : Purposeful travel to natural areas to understand the culture and history of the environment, taking care not to alter the integrity of the ecosystem, while producing economic opportunities that make conservation of natural resources benefical to local people; 15. Tourism Authority of Thailand (1995) : A visit to any particular tourism area with the purpose to study, enjoy and appreciate the scenery-natural and social-as well as the lifestyle of the local people, based on the knowledge about and responsibility for the ecological system of the area; dan 16. Healy (1988, dalam Nor and Wayakone, 1997): As tourism based directly on the use of natural resources in a relatively undeveloped state which include activities such as wildlife safaris, wildlife viewing, river rafting canoeing, kayaking, trekking and hiking, bird wathing, and other related activities.
25
Menurut Avenzora (2008), melihat berbagai definisi dan batasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola pendefinisian adalah berorientasi pada: (1) tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan, (2) sumberdaya wisata yang digunakan dan (3) bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan. Jika berbagai definisi tersebut diintegrasikan, maka sesungguhnya berbagai usaha untuk mencapai kematangan suatu ilmu pengetahuan, dalam hal ini ecotourism, dapat dikatakan hampir mencapai keberhasilannya. Namun, jika berbagai definisi tersebut dibiarkan solitare sebagaimana lebih sering terjadi saat ini, maka terdapat banyak hal mendasar yang secara obyektif bersifat kontra produktif terhadap gagasan yang melatarbelakangi perkembangan ilmu itu sendiri.
Avenzora (2008) menegaskan bahwa beberapa pemikiran berikut barangkali dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengevaluasi kesempurnaan berbagai definisi tersebut di atas, yaitu: Perlu disadari bahwa ada 5 tahap kegiatan yang tak terpisahkan dalam setiap perjalanan wisata, yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap perjalanan menuju destinasi, (3) tahap kegiatan di destinasi, (4) tahap perjalanan pulang dari destinasi, dan (5) tahap rekoleksi. Setiap tahapan tersebut adalah ikut menyumbang secara nyata atas tingkat kepuasan yang didapat oleh pelaku wisata; dimana berbagai studi menunjukkan bahwa kepuasan di destinasi hanya menyumbang maksimum sebesar 30% atas kepuasan total. Dengan demikian maka pendefinisian suatu konsep ecotourism menjadi tidak sempurna jika hanya difokuskan pada destination area; Pada dasarnya sustainability concept mensyaratkan setiap sektor pembangunan (termasuk tourism) untuk membangun dan memelihara the 3 pilars of sustainability, yaitu pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar sosial-ekonomi. Sejalan dengan lima tahapan di atas, maka tentunya ketiga pilar tersebut haruslah juga dibangun dan dipelihara pada setiap kesatuan ruang yang digunakan untuk terselenggaranya setiap tahapan tersebut. Salah satu tuntutan logis dari hal ini adalah perlunya memasukkan konsep regional- development dalam mengintegrasikan kesatuan ruang tersebut. Dengan demikian, pendefinisian ecotourism yang hanya terfokus pada destination area dapat dikatakan unfair. Dan, hal ini menjadi sangat penting pada era otonomi daerah, yaitu minimal dari sudut pandang: (1) keseimbangan sirkulasi fiskal serta (2) keseimbangan beban tanggungjawab dan distribusi manfaat;
26
Perlu diingat bahwa the continum of tourism activities (seperti diisyaratkan pada Gambar 1 dan Gambar 2 di atas) adalah sangat luas, dan nature related tourism activities (yang sering menjadi perhatian utama dalam berbagai konsep ecotourism) hanyalah salah satu bentuk pilihan kegiatan yang tersedia saja. Meskipun banyak ahli memprediksikan akan terjadi peningkatan berganda dalam permintaan nature related tourism activities, namun hingga saat ini porsi maksimum permintaan tersebut hanyalah mencapai sekitar 15% saja dari total tourism demand yang ada. Lebih jauh, jika dikaitkan dengan trend shifting maka sesungguhnya secara alami akan selalu terdapat the period of change (umumnya setiap 7 tahun sekali) yang juga sering diacu oleh sektor tourism. Dan, harus diakui bahwa sesungguhnya tidak ada satu perjalanan wisatapun yang bisa melepaskan diri dari modernisation-products secara totalitas. Dengan demikian, maka pendefinisian ecotourism yang hanya berorientasi pada kealamiahan sumberdaya dan lokasi dapat dikatakan ambiguous (jika tidak ingin dikatakan double standard); Dari sudut pandang tourism psychology, hendaknya juga perlu diingat adanya pola perilaku memaksimumkan kepuasan oleh para wisatawan. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa hal tersebut umumnya dicapai dengan cara mengkonsumsi beragam jasa yang dapat diakses. Dengan demikian maka pembatasan bentuk tourism activities dalam pendefinisian ecotourism adalah out of reality.
D. Industri dan Produk Pariwisata
Swastha dan Sukotjo (1993) memberikan pendapat bahwa industri adalah suatu konsep barat sebagai usaha untuk mengejar keuntungan, prestasi, dan pendapatan yang besar. Jika dikaji sebagai arti luas, dunia usaha terdiri dari atas tiga bagian, yaitu: (1) tempat kerja untuk menjalankan kegiatan yang produktif seperti pabrik, pertambangan, hotel, toko, atau ladang, (2) perusahaan, yang memiliki satu tempat kerja atau lebih dan (3) usaha-usaha ini pada akhirnya akan membawa pertumbuhan ekonomi.
Perusahaan dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi produksi yang menggunakan dan mengkoordinir sumber-sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan. Pada sektor pariwisata, kelompok perusahaan secara langsung memberi pelayanan kepada wisatawan bila datang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata tertentu. Tanpa bantuan kelompok
27 perusahaan, wisatawan tidak akan memperoleh kenyamanan (comfortable),
keamanan (security) dan kepuasan (satisfaction) dalam mencari kesenangan yang diinginkan.
Sektor pariwisata bila dilihat dari terminologinya dapat dimaknai seperti yang disampaikan Lindberg, et. al. (1997) sebagai suatu lingkup usaha yang terdiri atas ratusan komponen usaha, sebagiannya merupakan usaha yang telah besar, akan tetapi sebagian besar usaha kecil menengah termasuk didalamnya angkutan udara, kapal-kapal pesiar (cruise), kereta api, agen-agen penyewaan mobil, pengusaha tur dan biro perjalanan, penginapan, restoran dan pusat-pusat konvensi. Selain itu, terdapat juga usaha-usaha penerimaan tamu dan perusahaan perkemahan serta sebagian toko-toko pengecer, toko-toko makanan serta pom bensin.
Definisi industri pariwisata menurut Spillane (1987) adalah rangkaian perusahaan yang terdiri dari perusahaan penginapan, angkutan wisata, perusahaan biro perjalanan wisata, perusahaan restoran, perusahaan souvenir dan perusahaan hiburan yang menghasilkan produk dan mengutamakan jasa orang yang tidak hanya mempunyai segi ekonomis tetapi juga segi-segi yang bersifat sosial, psikologis dan alamiah. Sejalan dengan perndapat Spilllane tersebut adalah dikemukakan oleh Pendit (2006), yang mendefinisikan industri pariwisata sebagai kumpulan dari macam-macam perusahaan yang secara bersama-sama menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa (goods and services) yang dibutuhkan wisatawan selama dalam perjalanan dari negara asal ke negara tujuan wisata. Industri ini tidak berdiri sendiri, tapi merupakan suatu industri dari serangkaian perusahaan yang menghasilkan produk yang berbeda satu dengan yang lainnya, berbeda dalam besar perusahaannya, lokasinya, organisasinya, dan fungsi serta metode yang digunakan dalam pemasarannya.
Industi pariwisata menurut Hadinoto (1996) adalah suatu susunan organisasi, baik pemerintah maupun swasta yang terkait dalam pengembangan, produksi dan pemasaran produk suatu layanan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang sedang berlibur. Mill dan Morrison (1985) menyatakan bahwa sistem distribusi dalam industri pariwisata memiliki perantara yang berfungsi
28 menjembatani antara produsen dan konsumen baik konsumen secara pribadi
maupun secara rombongan. Tugas utama perantara adalah menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan cara mengemas paket wisata sebagai bahan baku untuk menyusun bermacam-macam paket wisata untuk target pasar yang berbeda pula.
Pariwisata sebagai idustri tentunya memiliki keluaran berupa produk. Produk industri pariwisata terdiri dari bermacam-macam unsur yang merupakan satu paket yang satu sama lain tidak terpisah. Middleton (2004) berpendapat ada tiga unsur yang membentuk produk tersebut, yaitu: (1) obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang unik pada daerah-daerah tertentu yang menjadi daya tarik orang-orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut, (2) fasilitas adalah segala sesuatu yang diperlukan pada tempat tujuan wisata mencakup sarana pokok, sarana pelengkap dan sarana penunjang kepariwisataan, serta (3) aksesibilitas adalah keterjangkauan yang menghubungkan negara asal wisatawan (tourist generating countries) dengan daerah tujuan wisata (tourist destination area) serta keterjangkauan di tempat tujuan ke obyek-obyek pariwisata (local transportation).
Definisi produk pariwisata menurut Sammeng (2001) adalah mata rantai dari serangkaian komponen yang satu dengan lainnya saling terkait. Rangkaian mata rantai produk pariwisata itu pada garis besarnya meliputi daya tarik, kemudahan, aksesibilitas, terminal, transfer, akomodasi, makan minum, hiburan sehat dan cinderamata.
Yoeti (2003) menyatakan produk dari usaha pariwisata adalah segala barang dan layanan jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan sejak berangkat meninggalkan tempat kediamannya, sampai ia kembali ke tempat tinggalnya. Sebagian besar produk usaha pariwisata adalah jasa atau layanan, sehingga memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan barang.
Karakteristik khusus produk wisata menurut Spillane (1987) secara garis besar antara lain, produk wisata (dalam arti luas yang bersifat intangible), tidak dapat dipindahkan (berbeda dengan industri barang biasa), proses produksi dan
29
konsumsi terjadi pada saat yang bersamaan, konsumen tidak dapat menguji produk tersebut dan hanya dapat dinikmati melalui brosur. Sifat khusus dari produk wisata adalah tidak dapat disimpan atau ditimbun untuk diakumulasikan, hasil atau produk industri pariwisata bersifat sangat subyektif, permintaan terhadap produk sangat tidak tetap dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomis dan kualitas produk sangat bergantung pada tenaga manusia yang tidak dapat digantikan oleh mesin.
E. Motivasi Wisatawan
Dalam melakukan perjalanannya, wisatawan tentu memiliki motif dan kebutuhan yang mendorongnya untuk bertindak dengan cara tertentu untuk mencapai kepuasan yang diinginkan yang disebut motivasi (Beerli et. al., 2004). Memahami motif perjalanan wisatawan merupakan hal yang rumit namun menjadi pondasi dalam mempengaruhi cara berperilaku wisata (Crompton, 1979) serta ke mana perjalanan dilakukan, apa kegiatan yang dilakukan di tempat tujuan, dan bagaimana kepuasan yang diperoleh (Prebensen, 2006; Yoon dan Uysal, 2003).
Dilihat dari sudut pandang tujuan, sangat penting untuk mengetahui mengapa wisatawan memilih (atau tidak memilih) suatu destinasi dan bagaimana wisatawan memberikan penilaian terhadap tempat yang dikunjungi. Menurut Sharma (1995) adalah penting untuk memahami motivasi wisata dan proses pengambilan keputusan (tidak hanya terhadap daerah tujuan, tetapi juga untuk alasan ekonomi) terkait dengan promosi pariwisata dan perencanaan berwisata.
Secara mendasar, motivasi merupakan sebuah kebutuhan atau keinginan yang memberikan energi dan mengarahkan perilaku ke arah tujuan" (Myers, 2004). Motivasi perjalanan mengacu pada satu set kebutuhan yang mendasari seseorang menuju kegiatan pariwisata tertentu (Pizam and Mansfeld, 1999).
Motivasi wisata adalah kombinasi dari kebutuhan dan keinginan yang mempengaruhi kecenderungan untuk melakukan perjalanan (O'Leary dan Deegan, 2005).
Meskipun faktor lain jelas mempengaruhi perilaku wisata, motivasi
adalah masih dianggap indikator dan menjelaskan mengapa wisatawan berperilaku dengan cara tertentu untuk mencapai kepuasan yang diinginkan.
30 Selain itu, motivasi mempengaruhi komponen yang efektif dari gambar, atau
perasaan terangsang oleh tempat atau orang, yang mungkin menilai tujuan wisata yang didasarkan pada berbagai motif perjalanan (Baloglu, 2001).
Motivasi wisata adalah hasil dari kebutuhan internal untuk “mengemudi” menjauh dari lingkungan biasa (Iso-Ahola, 1982). Individu membebaskan dirinya dari lingkungan rutin dan mencari pilihan untuk mengambil kesempatan rekreasi seperti bertemu orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru dan memiliki pengalaman baru (Mannell dan Iso-Ahola, 1987). Jadi, teori motivasi dikembangkan sebagai model penting bagi individu untuk menentukan motivasi wisatawan dan bagaimana mempengaruhi pilihan tujuan perjalanan (Dann, 1977). Faktor pendorong adalah sesuatu yang memotivasi orang untuk melakukan perjalanan, sedangkan faktor penarik adalah sesuatu yang menentukan dimana, kapan, dan bagaimana melakukan perjalanan (Jang dan Cai, 2002).
Yoon dan Uysal (2005) mempelajari hubungan antara motivasi mendorong dan menarik serta kepuasan dan tujuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisatawan lebih cenderung untuk memilih tujuan yang diyakini untuk memenuhi kebutuhan internal mereka atau faktor-faktor pendorong. Model ini juga mengungkapkan hubungan struktural antara motivasi dan kepuasan. Uysal dan Williams (2004) menguji model melihat kepuasan wisata dengan atribut tujuan dan jenis wisata yang didasarkan pada motivasi perjalanan serta hubungan antara kepuasan dan faktor-faktor atribut.
F. Permintaan (Demand) Pariwisata
Jika Avenzora (2008) menuangkan perspektif permintaan pariwisata ke dalam 3 hal penting – yaitu siapa yang meminta, apa dan kuantitas serta kualitas yang diminta dan
pola waktu permintaan – maka Hadikusumo (1991)
mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan suatu barang, yaitu harga komoditas tersebut, pendapatan rata-rata rumahtangga, harga komoditas lain, selera, distribusi pendapatan diantara rumahtangga dan jumlah penduduk. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu barang, yaitu harga komoditas tersebut, harga komoditas lain, biaya faktor produksi, sasaran perusahaan dan tingkat teknologi. Yoeti (2006) mengartikan permintaan sebagai
31
hubungan fungsional yang menunjukkan jumlah barang yang akan dibeli dengan harga tertentu pada waktu tertentu yang berlaku pada tiga variabel yang saling mempengaruhi yaitu kualitas produk, harga, manfaat produk yang sangat mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian kebutuhan.
Schmoll (1977) menyatakan bahwa permintaan dalam industri pariwisata tidak hanya membutuhkan satu layanan jasa (a single services) tetapi juga membutuhkan suatu kombinasi dari bermacam-macam pelayanan yang ditawarkan dalam suatu paket wisata yang dalam ilmu ekonomi pariwisata disebut sebagai seperangkat pilihan layanan jasa (an assortment of services). Permintaan dalam industri pariwisata terbagi dalam enam kelompok yang saling melengkapi, yaitu persiapan perjalalan, mobilitas, akomodasi dan makanan, aktivitas wisata, cinderamata dan souvenir serta dokumentasi perjalanan.
Permintaan dalam pariwisata menurut Lindberg et al. (1997) dapat diperkirakan dengan proses sistematis yang terdiri dari beberapa langkah, yaitu mengumpulkan fakta-fakta masa lalu, menganalisis kecendrungan perubahan permintaan, faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi permintaan di masa depan, memonitor kondisi permintaan dan mengadakan revisi bila diperlukan. Spillane (1987) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan pariwisata adalah mobilitas yang timbul oleh berbagai macam dorongan kebutuhan/kepentingan yang dikenal dengan istilah motivasi untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dalam arti luas.
Permintaan pariwisata adalah istilah luas yang mencakup faktor-faktor yang mengatur tingkat permintaan, karakteristik spasial permintaan, tipe yang berbeda dari permintaan dan motif untuk membuat permintaan tersebut. Cooper et. al (1999)
mendefinisikan permintaan
sebagai jadwal dari
jumlah
produk
atau layanan yang menjadikan orang bersedia dan mampu membeli pada setiap harga yang spesifik dalam satu set harga yang mungkin selama beberapa periode waktu tertentu.
Buhalis (2004) mengidentifikasi tiga jenis utama dari permintaan, yaitu aktual, suppressed dan permintaan latent. Faktor –faktor yang memotivasi orang untuk melakukan perjalanan adalah untuk: (1) mengisi waktu luang, rekreasi dan
32
liburan, (2) mengunjungi teman dan kerabat, (3) keterlibatan bisnis dan professional, (4) perawatan kesehatan serta (5) melakukan ziarah keagamaan dan lainnya.
Menurut Prosser (1994) karakter permintaan pariwisata akan terus berubah. Schwaninger (1989)
memperkirakan perubahan dalam permintaan pariwisata
sebagai berikut:
1. Permintaan wisata akan terus tumbuh dan semakin bervariasi; 2. Akan ada spesialisasi pasar yang lebih besar dan segmentasi dengan penekanan kuat atau liburan yang lebih aktif daripada liburan pasif; 3. Paket liburan akan disesuaikan untuk mengakomodasi kebebasan individual yang lebih besar melalui desain produk modular. Orientasi permintaan wisata
Sumber permintaan wisata: 1 .anggaran belanja 2. kemajuan teknologi 3. perubahan demografis 4. waktu
Bagian 1
Pengelompokan permintaan wisata
Layanan dasar: 1. akomodasi 2. trasportasi 3. infrastruktur 4. teknologi
Kunjungan sehari Kunjungan bermalam
Bagian 2
Kunjungan liburan Tujuan bisnis Tujuan lain
Segmentasi pasar
Jangka pendek Jangka panjang
Lokal
Regional
-Kelompok kecil -Wisatawan harian -Permintaan segera -Backpacker -Tidak berkelanjutan
Nasional
-keluaraga/kelompok kecil -VFRs -biaya rendah&jangka pendek -permintaan berkala -berbasis status sosial
-layanan khusus -inormasi permintaan -berbasis profesional -bisnis&rekreasi -Pengeluaran masuk akal
Internasional
-produk khusus -Permintaan khusus -kelompok penjelajah Pengembalian omset tinggi
Kebijakan pembangunan pariwisata Produk: 1. pemasaran 2. pemetaan harga 3. pemposisian 4. difensiasi
Bagian 3
Bagian 5
Gambar 4. Ranah Permintaan (Dimodifikasi dari Middleton, 2004)
Bagian 4
33
G. Penawaran (Supply) Pariwisata
Avenzora (2003) memandang penawaran dapat dipahami melalui pengertian tentang apa dan berapa banyak dapat diberikan, kapan dapat diberikan dan kepada siapa patut untuk diberikan. Wahab (1997) menjelaskan bahwa komponen penawaran dalam industri pariwisata dapat yang bersumber dari alam (natural resources), kreasi manusia (man-made supply), daya tarik wisata, fasilitas pelayanan wisata dan aksesibilitas. Dalam ilmu ekonomi, penawaran adalah sejumlah produk, barang, atau komoditi yang tersedia dalam pasar untuk dijual kepada orang yang membutuhkan. Penawaran dalam industri pariwisata mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Penawaran berbasis jasa. Produk wisata berupa jasa sehingga produknya tidak dapat disimpan dan harus dikonsumsi atau dinikmati dimana produk disediakan atau diproduksi. Dengan kata lain, produk yang ditawarkan tidak dapat dipindahkan, sehingga wisatawan itu sendiri yang harus datang ke tempat dimana produk yang ditawarkan tersedia atau diproduksi. 2. Bersifat kaku. Produk yang ditawarkan bersifat kaku (rigit), tidak dapat diubah untuk tujuan atau penggunaan yang lain diluar dunia perjalanan atau pariwisata. 3. Wisata bukan kebutuhan pokok bagi manusia. Mengingat wisata bukan kebutuhan pokok bagi manusia, sehingga penawarannya akan bersaing dengan barang-barang kebutuhan manusia yang lebih penting.
Spillane (1987) menyatakan penawaran pariwisata ditunjang oleh usaha yang dikelola secara terpadu dan baik diantaranya promosi obyek wisata, kemudahan transportasi, kemudahan birokrasi dan keimigrasian, akomodasi yang nyaman, pemandu wisata yang cakap, penawaran barang dan jasa dengan tarif harga wajar, atraksi-atraksi menarik dan kondisi kebersihan lingkungan hidup. Yoeti (2003) mendefinisikan penawaran dalam pariwisata meliputi semua macam produk dan pelayanan/jasa yang dihasilkan oleh kelompok perusahaan industri pariwisata sebagai pemasok yang ditawarkan baik kepada wisatawan yang datang secara langsung atau membeli melalui agen perjalanan atau biro perjalalan wisata sebagai perantara. Termasuk dalam pengertian penawaran itu adalah semua
34
bentuk dan daya tarik wisata, aksesibilitas dan fasilitas serta pelayanan yang tersedia pada suatu daerah tujuan wisata yang dapat memberikan kepuasan kebutuhan dan keinginan wisatawan selama mereka berkunjung.
Sessa (1984) mengkategorikan penawaran jasa pariwisata sebagai berikut: 1. Jenis sumberdaya, yang terdiri dari sumberdaya alam dan buatan manusia; 2. Fasilitas umum dan infrastruktur pariwisata, yang meliputi transportasi dan infrastruktur telekomunikasi; 3. Fasilitas bagi pengunjung, termasuk akomodasi, makanan dan minuman serta apartemen/ kondominium; 4. Fasilitas hiburan dan olahraga, yang memberikan fokus untuk kegiatan wisatawan; 5. Layanan pariwisata, termasuk agen-agen perjalanan, kantor pariwisata, usaha penyewaan mobil, pemandu wisata dan juru bahasa.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penawaran jasa wisata tidak hanya berupa layanan untuk menikmati suatu obyak wisata sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat awam, namun meliputi seperangkat layanan yang kompleks yang bahkan dapat disebut sebagai suatu industri.
Daerah asal
Transportasi tujuan
wisatawan
Produk wisata
Wisatawan
Permintaan
Akomodasi
Paket produk
Pemasok
Pelayanan
Pemerintah
LSM
Operator
Pelayanan
Pemandu wisata
Gambar5 Komponen penawaran wisata (Gunn dan Var).
35 Gunn dan Var (2002) menunjukkan bahwa komponen penawaran wisata
dapat diklasifikasikan menurut empat elemen-elemen berikut (alam, sumberdaya manusia, teknologi dan budaya): 1. Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan ukuran fundamental penawaran dengan munculnya kesadaran lingkungan dan konservasi alam, sehingga tercapai sustainabilitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk untuk pariwisata. Penawaran wisata dalam hal ini mencakup elemen-elemen seperti fisiografi daerah, bentuk lahan, flora, fauna, fenomena alam, kualitas air dan kualitas udara. Pada dasarnya, ketersediaan sumberdaya tersebut sangat penting untuk keberhasilan dan kesinambungan pariwisata sebagai industri spasial. 2. Sumberdaya buatan, seperti infrastruktur mencakup semua tanah dan pembangunan konstruksi permukaan, seperti sistem pasokan air, sistem pembuangan limbah pembuangan, saluran listrik, jalan, jaringan komunikasi dan banyak fasilitas komersial dan rekreasi lainnya. Yang sangat dibutuhkan oleh pariwisata adalah infrastruktur untuk serta fasilitas yang terutama untuk mendukung kegiatan pengunjung, yaitu bandara, taman, hotel, tempat hiburan, tempat parkir, dan lainnya. 3. Transportasi adalah komponen penting penawaran wisata, karena tanpa hal ini wisatawan tidak bisa mencapai tujuan wisata. Pesawat terbang, kereta api, bus, dan moda transportasi lain adalah bagian dari kategori ini. 4. Perhotelan dan sumberdaya budaya merupakan bagian integral untuk menawarkan pariwisata. Orang-orang dan kekayaan budaya daerah setempat merupakan hal yang memungkinkan suatu tempat sebagai destinasi wisata. Kesopanan, keramahan, perhatian yang tulus dan kemauan untuk melayani dengan lebih baik, mau berkenalan dengan pengunjung adalah faktor penting dalam penawaran wisata.
H. Para Pihak pada Bisnis Ekowisata
Freeman (1984) mendefinisikan para pihak (stakeholder) dari sudut pandang konteks manajemen dan organisasi sebagai setiap individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan atau yang dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Clarkson (1995) berpendapat bahwa para pihak adalah pihak yang membawa resiko, mereka memiliki sumberdaya keuangan yang digunakan dalam usaha sehingga sangat berisiko kehilangan sumber daya keuangan tersebut.
36 Savage et al., (1991) mendefinisikan para pihak sebagai kelompok atau
individu yang memiliki kepentingan dalam tindakan dari suatu organisasi dan kemampuan untuk mempengaruhinya. Adapun Carroll (1993) memaknai para pihak sebagai kelompok-kelompok atau individu dengan organisasi yang berinteraksi atau memiliki saling ketergantungan dan
setiap individu atau
kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktek atau tujuan organisasi. Dengan demikian, para pihak memenuhi syarat jika memiliki kekuatan baik untuk mempengaruhi perusahaan atau saham dalam kinerja perusahaan. Berdasarkan analisis ini, dapat dikatakan bahwa stakeholder memiliki potensi untuk membantu atau merusak perusahaan.
Mitchell et al., (1997) mengemukakan bahwa kekuasaan dan legitimasi adalah atribut inti dari sebuah tipologi identifikasi para pihak. Dalam hal ini kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan pihak yang telah atau dapat mendapatkan akses untuk memaksakan kehendak dalam hubungan yang terjadi. Adapun legitimasi adalah persepsi umum atau asumsi bahwa tindakan dari suatu entitas yang diinginkan, tepat, atau sesuai dalam beberapa sistem sosial dibangun
dari norma-norma, nilai-nilai, keyakinan, dan definisi. Kedua atribut tersebut diperlakukan sebagai variabel. Dengan kata lain, kekuasaannya dapat diperoleh dan hilang, dan legitimasi dapat hadir atau tidak ada.
Mitchell et al., (1997) menambahkan urgensi para pihak dalam istilah manajerial adalah persepsi positif yang terkait dengan kepemilikan tiga macam atribut, yaitu kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Para pihak yang dianggap memiliki tiga atribut adalah cenderung lebih menonjol daripada mereka yang dimiliki satu atau dua dari atribut. Studi lain tentang identifikasi para pihak mengidentifikasikan kekuasaan sebagai atribut pemangku kepentingan inti (Frooman, 1999). Para pihak kunci didefinisikan sebagai mereka yang menguasai sumberdaya penting untuk kelangsungan hidup organisasi. Atribut inti yang digunakan dalam definisi Frooman adalah kekuatan. Dalam hal ini Frooman berpendapat bahwa sifat hubungan (antara para pihak dan perusahaan) adalah
37 tergantung pada siapa dan berapa banyak dalam menentukan segala sesuatu
mengenai sumberdaya tertentu.
Ketergantungan perusahaan pada para pihak
untuk suatu sumberdaya menentukan kekuatanpara pihak.
I. Persaingan
Persaingan dalam konteks pemasaran adalah keadaan yang menunjukkan perusahaan pada pasar produk atau jasa tertentu akan memperlihatkan keunggulannya masing-masing, dengan atau tanpa terikat peraturan tertentu dalam rangka meraih pelanggannya (Kotler dan Keller, 2007). Adapun menurut Kertajaya dan Yuswohady (2004) menyatakan persaingan akan terjadi pada beberapa kelompok pesaing yang tidak hanya pada produk atau jasa sejenis, dapat pada produk atau jasa substitusi maupun persaingan pada hulu dan hilir.
Persaingan mencakup semua tawaran dari pesaing serta barang pengganti yang aktual dan potensial yang mungkin dipertimbangkan oleh seorang pembeli. Kita dapat memperluas gambaran lebih lanjut dengan membedakan empat level persaingan, berdasarkan tingkat kemampuan produk untuk menggantikan:
1. Persaingan Merek adalah ketika sebuah perusahaan memandang perusahaan lain yang menawarkan produk dan jasa serupa dengan harga yang sama sebagai pesaingnya; 2. Persaingan Industri merupakan sebuah perusahaan memandang semua perusahaan yang menghasilkan produk atau jenis produk yang sama sebagai pesaingnya; 3. Persaingan Bentuk terjadi ketika sebuah perusahaan memandang semua perusahaan penghasil produk yang memasok jasa yang sama sebagai pesaingnya; 4. Persaingan Generik muncul ketika sebuah perusahaan melihat semua perusahaan yang bersaing untuk mendapatkan uang konsumen yang sama sebagai pesaingnya.
Suatu Bisnis Jasa bisa menjadi sangat komplek karena banyaknya elemen yang mempengaruhinya, seperti sistem internal organisasi, lingkungan fisik, kontak personal, iklan, tagihan dan pembayaran, komentar dari mulut ke mulut, dan sebagainya. Berkenaan dengan hal itu Kotler dan Keller (2007) menegaskan bahwa pemasaran jasa tidak hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tetapi juga
38
pemasaran internal dan pemasaran interaktif. Juga dijelaskan bahwa perusahaan jasa perlu melakukan diferensiasi melalui inovasi yang bersifat pre-emptive dalam jangka panjang. Pre-emptive adalah implementasi suatu strategi yang baru bagi suatu bisnis tertentu, karena merupakan yang pertama maka dapat menghasilkan keterampilan atau aset yang dapat merintangi, mencegah atau menghalangi para pesaing untuk melakukan duplikasi atau membuat tandingannya. Dalam hal ini suatu perusahaan jasa juga dapat mendiferensiasikan dirinya melalui citra di mata pelanggan, misalnya melalui simbol-simbol dan merek yang digunakan. Selain itu perusahaan dapat melakukan diferensiasi kompetitif dalam penyampaian jasa (service delivery) melalui 3 (tiga) aspek yang juga dikenal sebagai 3P dalam pemasaran jasa, yaitu melalui:
Orang (People). Perusahaan jasa dapat membedakan dirinya dengan cara merekrut dan melatih karyawan yang lebih mampu dan lebih dapat diandalkan dalam berhubungan dengan pelanggan, daripada karyawan pesaingnya. Lingkungan fisik (Physical environment). Perusahaan jasa dapat mengembangkan lingkungan fisik yang lebih atraktif. Proses (Process). Perusahaan jasa dapat merancang proses penyampaian jasa yang superior, misalnya home banking yang dibentuk oleh bank tertentu.
Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan jasa agar dapat sukses dalam persaingan adalah berusaha mencapai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Dengan demikian, setiap perusahaan harus mampu memahami perilaku konsumen pada pasar sasarannya. Melalui pemahaman perilaku konsumen, pihak manajemen perusahaan dapat menyusun strategi dan program yang tepat dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada dan mengungguli para pesaingnya (Kotler dan Keller, 2007).
Kertajaya dan Yuswohady (2004) menjelaskan bahwa terdapat tiga syarat dalam melakukan diferensiasi, yakni: (1) diferensiasi harus mampu mendatangkan nilai tambah yang tinggi kepada pelanggan, (2) diferensaiasi harus merupakan keunggulan dari pesaing dan (3) diferensiasi harus memiliki keunikan. Adapun berkaitan dengan tingkat persaingan, pada dasarnya terdapat 5 (lima) macam ancaman persaingan yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
39
mendapatkan laba, yaitu: (1) pesaing segmen yang sudah ada sebelumnya, (2) pendatang baru, (3) produk pengganti (substitute product), (4) meningkatnya kemampuan menawar dari pembeli dan (5) meningkatnya kemampuan menawar dari penyedia.
J. Manajemen Strategi
Strategi menurut Barney (1977)
adalah suatu pola alokasi sumberdaya
yang memungkinkan perusahaan untuk memelihara atau meningkatkan kinerjanya. Strategi yang baik adalah strategi yang mampu menetralisir ancaman dan mnggali peluang dimana ditekankan pada kekuatan dan menghindari kelemahan. Definisi strategi berdasarkan pendekatan yang lain difokuskan pada mempertemukan kekuatan dan kelemahan internal perusahaan dengan peluang dan anccaman yang kompetitif atau disebut definisi gabungan seperti terlihat pada Gambar 5.
Analisis Organisisasi
Analisis Lingkungan
Kekuatan
Peluang
Kelemahan
Ancaman
Pilihan-pilihan strategi Gambar 6 Defenisi gabungan/matching definition (Barney, 1997).
Menurut Mintzberg
(1994) tidak ada satu definisi sederhana tentang
strategi tetapi terdapat beberapa hal umum sifat alamiah strategi yang disepakati. Selanjutnya Mintzberg (1999) menyatakan bahwa:
1. Strategi memperhatikan organisasi dan lingkungan. Organisasi menggunakan strategi untuk menghadapi perubahan lingkungan; 2. Substansi dari strategi sangat kompleks. Perubahan memmbawa pada kombinasi keadaann organisasi, substansi strategi yang tidak terstruktur, tidak terpogram, tidak rutin, dan non repetitive;
40 3. Strategi mempengaruhi seluruh kesejahteraan organisasi.keputusan strategi yang dipertimbangkan cukup penting untuk mempengaruhi seluruh kesejahteraan organisasi;
4. Strategi meliputi diskusi mengenai isi dan prosesnya. Studi mengenai strategi mencakup baik aksi yang diambil, atau isi dari strategi dan proses dimana suatu aksi diputuskan dan diimplementasikan; 5. Strategi tidak merupakan suatu kesenjangan. Dalam hal ini, para ahli setuju bahwa strategi yang diharapkan, yang muncul, dan yang dilaksanakan akan berbeda satu sama lain; 6. Strategi berada dalam tingkatan yang berbeda. Perusahaan mempunyai strategi (bisnis apa yang akan dikerjakan?) dan strategi bisnis (bagaimana bisa bersaing disetiap bisnis); dan 7. Strategi meliputi proses pemikiran yang bervariasi. Strategi mencakup hal konseptual seperti latihan analisis. Beberapa ahli menekankan pada dimensi analisis dibandingkan dengan yang lainnya, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa hal terpenting dari pembuatan strategi adalah proses konseptual yang dikerjakan oleh pemimpin disetiap organisasi.
David (2009) mendefiniskan manajemen strategis sebagai ilmu tentang perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. Kotler dan Keller (2007) menyatakan bahwa strategi berkaitan erat dengan perencanaan dan perencanaan dinamakan perumusan sasaran. Sasaran dibuat untuk mendeskripsikan tujuan- tujuan yang spesifik dalam besaran dan waktu. Wheelen dan Hunger (2003) memberikan penekanan pada pengambilan keputusan secara strategis untuk mencirikan manajemen strategis dengan tiga karakteristik, yakni: (1) rare untuk keputusan-keputusan strategis yang tidak biasa dan khusus, yang tidak dapat ditiru, (2) consequential untuk keputusan-keputusan strategis yang memasukkan sumberdaya penting dan menuntut banyak komitmen, serta (3) directive untuk keputusan-keputusan strategis yang menetapkan keputusan yang dapat ditiru untuk keputusan-keputusan yang lain dan tindakan-tindakan di masa yang akan datang untuk organisasi secara keseluruhan.
McKinsey dan Company dalam Kotler dan Keller (2007) menyatakan bahwa strategi hanyalah satu dari tujuh unsur dalam praktik bisnis yang sangat berhasil. Kerangka McKensey dikenal dengan 7s, yakni strategi, struktur dan
41
system yang dianggap sebagai perangkat keberhasilan. Empat unsur selanjutnya adalah style, staf, skill dan shared value yang dianggap sebagai perangkat lunak keberhasilan suatu organisasi. Gambar 6 menunjukkan ketergantungan unsur- unsur 7s McKensey, yaitu perubahan satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya.
Struktur Strategy Skill
Shared Value
System Style
Staff
Gambar 7. Hubungan antar unsur Kerangka 7s McKensey.
Pengertian masing-masing unsur adalah strategi merupakan rencana yang dirancang untuk mempertahankan dan membangun keunggulan kompetitif dalam persaingan. Struktur adalah cara organisasi mendistribusikan wewenang. Sistem merupakan kegiatan sehari-hari dan prosedur yang melibatkan anggota staf untuk menyelesaikan pekerjaan. Nilai bersama merupakan nilai-nilai inti perusahaan yang dibuktikan dalam budaya perusahaan dan pekerjaan umum etika. Style atau gaya memiliki makna bahwa karyawan perusahaan memiliki cara berpikir dan bersikap yang sama. Skill artinya karyawan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan strategi. Staf memberi arti bahwa perusahaan telah mempekerjaan orang yang cakap, melatih mereka dengan baik, dan menugaskan mereka pada tugas yang sesuai.
K. Kerangka Teoritis Rantai Nilai
Porter (1990) menyatakan bahwa rantai nilai merupakan cara sistematik untuk menganalisis sumber keunggulan bersaing dengan memeriksa semua aktivitas yang dilakukan dan bagaimana semua aktivitas itu berinteraksi satu sama lainnya. Rantai nilai terdiri atas sembilan kategori generik aktivitas yang dikaitkan
42
menjadi satu dengan cara yang khas. Rantai generik digunakan untuk memperlihatkan bagaimana suatu rantai nilai yang mencerminkan aktivitas spesifik yang dilakukan. Semua aktivitas dalam rantai nilai digambarkan dalam Gambar 7. Infrastruktur
Aktvitas Pendukungg
Sumber Daya Manusia
Margin
Pengembangan Teknologi
Pembelian
Proses
Input
dan Penjualan
Jasa
Aktivitas Primer
Gambar 8. Rantai Nilai (Porter, 1990).
Aktivitas nilai dibagi menjadi dua yaitu aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas pendukung (supporting activities). Porter (1990) menjelaskan bahwa aktivitas primer adalah aktivitas yang terlibat dalam penciptaan fisik produk dan penjualan kepada pembeli. Dibagi menjadi lima kategori generik yang diperlukan dalam bersaing di berbagi industri, yaitu : input, operasi, output, pemasaran dan penjualan, dan jasa.
Kemudian Porter (1990) menjelaskan yang dimaksud dengan aktivitas pendukung adalah aktivitas yang mendukung aktifitas primer dan mendukung satu sama lainnya.
Aktivitas pendukung ini dibagi menjadi empat bagian yang
generik, yaitu: pembelian, pengembangan teknologi, manajemen sumberdaya manusia, dan infrastruktur perusahaan.
L. Rantai Nilai Pariwisata
Industri pariwisata sudah banyak dikaji oleh berbagai peneliti dalam perspektif jaringan distribusi. Mayoritas distribusi berorientasi terhadap pemasaran tetapi tidak melihat industri pariwisata dalam perspektif rantai nilai. Menurut Yilmaz dan Bititci (2006), pengembangan rantai nilai pariwisata dibangun berdasarkan pengembangan model rantai nilai Porter.
43
Grangsjo (2003) dalam Yilmaz dan Bititci (2006) menekankankan pentingnya jaringan dan co-opetition (para pesaing dapat saling bersaing dan sekaligus dapat bekerjasama satu sama lainnya dalam satu periode tertentu). Meskipun penelitiannya berorientasi pemasaran, namun dalam penelitiannya menunjukkan pentingnya kerjasama dalam jaringan pariwisata. Konsumen terlibat langsung dalam proses operasinya sampai tujuan terakhir dalam produk wisata. Perusahaan yang terlibat didalamnya saling ketergantungan satu sama lainnya dalam meningkatkan kepuasan konsumen yang berpengaruh terhadap bisnis di masa depan.
Rantai nilai pariwisata dimulai dari pesanan konsumen. Konsumen dalam hal ini wisatawan memiliki berbagai alternatif pilihan produk pariwisata. Wisatawan menyusun rencana perjalanan dengan bantuan operator perjalanan wisata atau agen perjalanan berupa paket wisata. Dalam hal ini agen wisata memberikan penjelasan tentang paket wisata kepada calon wisatawan. Apabila calon wisatawan tidak menggunakan agen perjalanan disebut dengan individual travel dimana mereka bebas melakukan perjalanannya sendiri tanpa bantuan agen perjalanan. Agen wisata dapat memberikan pelayanan kepada wisatawan dengan mengantarkan ke pelabuhan udara, pelabuhan laut, stasiun kereta, dan sebagainya. Selain itu menyediakan tempat penginapan/ hotel selama perjalanan dan kegiatan lainnya sampai tujuan. Tranportasi antara rumah dan tujuan wisata memegang peranan penting dalam rantai nilai pariwisata (Damanik dan Weber, 2006).
Pariwisata merupakan produk “end to end” yang tidak terputus dilakukan dengan konsep rantai nilai. Model rantai pariwisata dibangun melalui 4 (empat) tahapan yaitu: win order, pre delivery support, delivery dan post delivery support (Gambar 8). Dalam tahapan win order (pemesanan utama), konsumen membeli produk pariwisata ke agen perjalanan sebagai bagian dari keseluruhan perjalanan. Agen perjalan menyusun perjalanan yang diinginkan oleh konsumen. Artinya, pada tahapan ini, konsumen melakukan kontak awal dalam rantai nilai. Pengukuran kinerja yang dapat dilakukan pada tahap ini berasal dari perspektif konsumen seperti waktu dalam pembelian perjalanan, jumlah konsumen, jumlah
44
komplain dan jumlah mis-informasi yang diberikan kepada konsumen dan dari perspektif internal misalnya biaya penjualan, volume penjualan, rata-raa peningkatan bisnis akurasi informasi.
Pada tahap pre delivery support terdiri dari aktivitas persiapan konsumen ketika sudah memilih paket perjalan, misalnya pembuatan pasport dan visa, memberikan informasi secara rinci tentang perjalanan yang akan dilakukan serta berbagai hal yang diperlukan sebelum konsumen melakukan perjalanan.
Tahap delivery merupakan tahap pada saat
konsumen mengkonsumsi
produk wisata atau konsumen melakukan perjalanan sesuai dengan paket wisata yang dibeli. Pada tahap ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu akomodasi, ransportasi, dan agen perjalanan datang (incoming agent travel). Kinerja di antara ketiganya mempengaruhi kinerja pada tahapan ini.
Win order
PLAN
Pre Delivery support
Delivery Post Delivery Support
Tour Operator/ Travel agen
Transport
acomodation
Transport provider
Transport provider
Hotel (+Incoming travel agen
Hotel (+Incoming travel agen
transport
Transport provider
Packkage
Transport provider Individual
Gambar 9 Rantai Nilai Pariwisata (Yilmaz dan Bititci, 2006).
45
Pada tahap post delivery support, kepuasan konsumen diukur dalam rangka umpan balik dan melakukan tindakan koreksi terhadap rantai nilai pariwisata. Efektifitas rantai nilai pariwisata atau nilai tambah disetiap organisasi dihitung pada tahapan ini. Umpan balik tersebut digunakan untuk memonitor dan mengelola keberlanjutan rantai nilai pariwisata.
Ditambahkan oleh Mitchell dan Phuc (2007), pariwisata menghasilkan produk berupa pelayanan, dimana pariwisata tidak dapat disimpan seperti halnya barang, produksi dan konsumsi pelayanan dilakukan secara simultan dan mengambil lokasi yang spesifik sebagai tujuann wisatawan. Pariwisata sebagai rantai nilai jasa disajikan pada Gambar 9.
Memberikan saran kepada wisatawan tentang pelayanan pariwisata
Menyediakan akomodasi makanan
Transportasi
Mengelola “experience”, event Transportas i
Agen Perjalanan
Perusahaan transportasi
Hotel
Site operator, kelompok budaya
Perusahaan transportasi
Agen perjalanan
Badan pariwisata lokal
Gambar 10 Pariwisata sebagai Rantai Nilai Jasa (Andreas, 2006 dalam Mitchell & Phuc, 2007).
M. Perencanaan Wisata
Suyitno (2001) mendefinisikan perencanaan merupakan fungsi manajemen pertama dan mendasar yang menggambarkan titik awal untuk hal-hal yang akan dikerjakan dengan usaha-usaha untuk membuat rencana, membuat ikhtisar yang lengkap dan terperinci mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk dikerjakan dan dengan cara bagaiman melaksanakannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manfaat perencanaan dalam sebuah usaha wisata antara lain: Sebagai pedoman penyelenggaraan wisata; Sebagai sarana untuk memprediksi kemungkinan timbulnya hal-hal di luar dugaan sekaligus alternatif perencanaannya;
46
Sebagai sarana untuk mengarahkan penyelenggaraan wisata sehingga dapat mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan wisata secara efektif dan efisien; Sebagai alat ukur tingkat keberhasilan wisata sebagai upaya pengawasan atau evaluasi dalam rangka memberikan umpan balik bagi penyelenggaraan usaha wisata berikutnya.
Suyitno (2001) mengatakan bahwa perencana wisata adalah orang yang bertugas melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan sebuah wisata. Syarat-syarat perencana wisata tersebut antara lain:
Dapat berpikir secara logis, kreatif dan reflektif; Sabar, teliti dan penuh kehati-hatian; Memiliki pengalaman atas wisata yang akan diselenggarakan; Mengetahui kondisi yang sebenarnya atas komponen yang terlibat dalam wisata; Memiliki visi dan imajinasi yang kuat; dan Memiliki pengetahuan yang luas, baik tentang produk maupun tekhnik perencanaan.
Heywood
dan
Watson
(1995)
berpendapat
bahwa
perencana
penyelenggaraan kegiatan wisata agar menjadi sukses haruslah mampu menjelaskan keterkaitan yang nyata dan perspektif antara kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial dalam perencanaan. Perencanaan dengan mempertimbangkan tiga perspektif tersebut dipandang akan mampu memperkuat perencanaan sekaligus menjamin retribusi manfaat pengelolaan sumberdaya alam secara berkesinambungan antargenerasi umat manusia dan yang lebih penting lagi adanya keadilan perolehan keuntungan dari penggunaan sumberdaya secara arif dan bijaksana.
N. Analisis SWOT Penawaran Pariwisata
Pentingnya Analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opprtunities-Threats) terletak pada kenyataan bahwa berbagai temuan yang serius perlu dipertimbangkan dalam tahap pemetaan agar bisa menghasilkan suatu strategi guna pembentukan program final ataupun promosi wisata. Sebagai contoh, di Heraklion-Yunani, kekuatan dinyatakan sebagai keunggulan alami dari produk wisata di prefektur Heraklion dibandingkan dengan daerah wisata yang kompetitif. Keuntungan tersebut termasuk sumberdaya, struktur jaringan sosial
47 ekonomi dan faktor-faktor lain yang menentukan efisiensi dan produktivitas dari
kegiatan wisata. Kekuatan ini penting karena merupakan karakteristik yang membedakan produk wisata prefektur Heraklion dari pesaing. Atas pengakuan tentang kekuatan tersebut, maka Heraklion segera ditempatkan dalam proyek pemasaran sehingga dapat dipromosikan dan menjadi motivasi bagi calon wisatawan untuk memilih pulau itu sebagai tujuan liburannya.
Kelemahan (sebagai lawan kekuatan), adalah berbagai hal yang mungkin berpengaruh sebagai pembatas dalam suatu rencana pengembangan wisata. Berbagai hal tersebut badalah faktor-faktor yang memberikan pengaruh negatif,
mengurangi produktivitas dan efisiensi, baik beberapa atau semua parameter yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata dan pada saat yang sama sekaligus merupakan masalah.
Dalam Analisis SWOT, kekuatan dan kelemahan dikelompokkan kedalam faktor internal, sedangkan untuk faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman. Peluang adalah bukan hanya menyangkut kondisi saat ini dan masa depan dari pasar wisata yang akan dibangun, tetapi juga "lingkungan umum" dari wilayah studi ditempatkan. Adapun ancaman adalah menyangkut kondisi saat ini atau masa depan yang memiliki pengaruh negatif pada upaya untuk mengembangkan produk wisata. Selain itu, suatu ancaman juga kadang-kadang menciptakan bentuk-bentuk masalah baru bagi organisasi dan fungsi dari kegiatan ekonomi.
David (2009) menyatakan bahwa Matriks SWOT adalah sebuah alat pencocokan yang penting dalam membantu dalam mengembangkan empat jenis strategi, yaitu (1) Strategi SO (kekuatan-peluang), (2) Strategi ST (kekuatan- ancaman), (3) Strategi WO (peluang-kelemahan) dan (4) Strategi WT (peluang- ancaman). Dalam hal ini mencocokkan faktor-faktor internal dan eksternal utama merupakan bagian tersulit dalam mengembangkan Matriks SWOT dan membutuhkan penilaian yang baik dan tidak ada satupun paduan yang paling benar. Umar (2001) menyebutkan faktor-faktor internal dan eksternal utama tersebut sebagai key successs factors dan tidak ada satupun matching tool yang dianggap paling baik.