13
II. TINJAUAN PUSTAKA Pada dasarnya transportasi hanya salah satu dari faktor penting dalam pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Walaupun sudah banyak yang mengkaji pentingnya peran transportasi dalam konteks pembangunan wilayah, namun demikian penelitian terhadap peran transportasi masih tetap berlanjut (Button, 1993), karena persoalan transportasi dan pembangunan ekonomi suatu wilayah merupakan hal yang rumit. Bagian ini akan mengkaji teori ekonomi wilayah dalam konteks keterkaitannya dengan transportasi dan melihat seberapa jauh berdasarkan teori tersebut dan perkembangan peran transportasi pada suatu wilayah dan keterkaitan antar wilayah. 2.1.
Tinjauan Teoritis Kinerja Ekonomi Wilayah Perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lainnya merupakan hal
yang
dibahas dalam ekonomi wilayah (regional economics). Selain itu ilmu
ekonomi regional tidak membahas kegiatan ekonomi secara individu melainkan melihat suatu wilayah secara keseluruhan (Tarigan, 2005). Ilmu ekonomi regional pada dasarnya adalah cabang dari ilmu ekonomi, baik mikro maupun makro dengan karakteristik khusus yang memasukkan unsur lokasi dan ruang. Oleh sebab itu salah satu unsur yang sering dimasukkan dalam ilmu ekonomi regional adalah transportasi. 2.1.1.
Peran Transportasi Dalam Pengembangan Wilayah Transportasi merupakan akar dari teori ekonomi (neo)-klasik yang
dilakukan melalui pertumbuhan, permintaan/penawaran (demand/supply) dan pendekatan industrialisasi (Pawson,1979; Simon, 1996,).
14
Sedangkan, pembangunan wilayah, lebih merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja, prasarana dan sarana pembangunan, teknologi dan perdagangan antar wilayah (Adisasmita, 2005). Hubungan antara transportasi dan studi pembangunan pada awalnya merujuk pada buku ”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, pada tahun 1776 oleh Adam Smith. Smith menekankan pentingnya jejaring transportasi yang dikenal sebagai ’as greatest of all improvement’ dalam mengembangkan pasar dari perkotaan (urban) ke perdesaan (rural area) dan selanjutnya memfasilitasi adanya tenaga kerja. Dalam jangka panjang, proses tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan suatu wilayah. Akan tetapi, Smith tidak banyak memberikan penjelasan dengan cara bagaimana (proses) peningkatan transportasi dengan peningkatan produksi dan pembangunan ekonomi. Namun demikian pandangan dari Smith tersebut secara luas diterima oleh para peneliti sebagai dasar (foundation) dari studi yang terkait dengan permasalahan (isu) mengenai transportasi dan teori pembangunan hingga saat ini. Pandangan Smith tersebut, kemudian banyak diikuti oleh para peneliti dalam memberikan kontribusinya terhadap permasalahan transportasi, yang mana semakin memperluas makna (pengertian) mengenai jaringan transportasi sebagai hal yang sangat penting dalam menentukan besarnya ruang (wilayah) dari suatu produksi
maupun
jangkauannya
terhadap
pasar.
Von
Thunen,
1826
mengembangkan teori yang membandingkan tingkat aksesibilitas transportasi dengan tata guna lahan pertanian (Webber, 1984, Chapman dan Walker, 1987). Von Thunen berpendapat bahwa tingkat kesuburan tanah dapat digantikan dengan
15
tingkat aksesibilitas ke lahan tersebut. Model dari Von Thunen adalah sebagai berikut: R
Y p c
Yfm
di mana R = Sewa per unit lahan; Y = Hasil produksi per unit lahan; p = harga (pasar) per unit lahan; c = Rata rata biaya produksi per unit lahan; m = jarak ke pasar (km) dan f = ongkos angkut per unit lahan dan jarak. Seluruh lahan pertanian diusahakan agar memaksimalkan produktifitas (R), yang mana dalam hal ini tergantung pada lokasi dan jarak dari pusat penjualan (pasar). Peranan petani adalah memaksimalkan laba yaitu harga di pasar ( Y(p-c) ) dikurangi biaya transportasi (Yfm). Gambar 3 menunjukan keterkaitan antar jarak dan sewa lahan dari model von Thunen.
Sewa lahan (Rp)
j Bisnis k
Prod.susu l
Prod.gandum m
B
P
W
Jarak dari pasar
Jarak dari pasar
O
Sumber: Button (1993) Gambar 3. Variasi sewa tanah dan tata guna lahan, von Thunen
16
Tahun 1929, Alfred Weber menjelaskan keterkaitan antara biaya transportasi dengan lokasi industri di mana biaya transportasi dari material awal (raw material) dan produk akhir adalah minimum. Pada Gambar 4a menunjukkan letak pabrik yang berlokasi di antara sumber material dan pasar. Pada Gambar 4b, letak pabrik mendekati sumber material, dan berakibat pada menurunnya biaya transportasi, dan terus akan menurun apabila letak pabrik berada pada sumber material.
Sumber material
Pabrik
Unit Cost (Transport)
Unit Cost (Transport)
Unit Cost (Transport)
Pasar
Sumber material
Pabrik
Pasar
Pasar
- Sumber material -Pabrik
(a)
(b)
(c )
Gambar 4. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang mendekati sumber material Hal yang sama terjadi juga apabila pabrik bergerak kekanan seperti pada gambar 5a, 5b, 5c, di mana pada lokasi pabrik mendekati pasar, biaya transport akan terendah apabila lokasi pabrik terletak di dekat dengan pasar. Apa yang dilakukan oleh Von Thunen dan Weber kemudian diteliti lebih lanjut oleh oleh Isard (1956) dan Greenhunt (1956). Christaller (1933) menyusun suatu sistem yang mana biaya transportasi mempengaruhi aktifitas perkotaan (urban) dan perdesaan (rural). Losch (1954), selanjutnya menjelaskan bagaimana biaya transportasi mempengaruhi distribusi spasial dari suatu produksi.
17
Unit Cost (Transport)
Sumber material
Pabrik
Unit Cost (Transport)
Unit Cost (Transport)
Pasar
Sumber material
Pabrik
Pasar
Sumber material
Pasar Pabrik
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Keterkaitan antara biaya transportasi dan lokasi industri yang mendekati pasar Dengan demikian secara umum, dapat dikatakan bahwa para ekonom klasik telah menyiapkan kerangka ekonomi, sebagai dasar teori, terutama mengembangkan argumentasi bahwa jaringan transportasi yang sudah ada akan mempengaruhi lokasi dari suatu aktifitas ekonomi. Artinya dapat diasumsikan bahwa perubahan dalam sistem transportasi secara langsung
menyebabkan
perubahan suatu aktifitas. 2.1.2. Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Munculnya paham baru yang kemudian dikenal sebagai ekonomi neoklasik (neoclassical economy) memberikan peran dari kapital dan teknologi di sebagai salah satu variabel di dalam pembangunan ekonomi (Kuznets,1995). Dari perspektif transportasi, hampir tidak ada perubahan yang signifikan antara ekonomi klasik dan neoklasik. Namun demikian, penggunaan teknologi menjadi hal yang utama dari model neoklasik, sehingga peningkatan teknologi dalam sistem transportasi memainkan peran dalam proses pertumbuhan ekonomi.
18
Penjelasan mengenai hubungan antara transportasi dan pertumbuhan ekonomi dalam era modernisasi dikenal dalam teori tahap pertumbuhan (”the stage of growth”) yang diperkenalkan oleh Walt Rostow, 1960. Dalam pandangan Rostow, peningkatan di sektor transportasi (melalui pembangunan rel kereta api) adalah hal yang utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjadikan perubahan pada masayarakat yang berbasis pertanian ke pasca industri. Rostow membagi tahapan pembangunan tersebut dalam 5 tahapan yaitu : (1) masyarakat tradisional, (2) tahap prasyarat tinggal landas, (3) tahap tinggal landas, (4) tahap menuju kedewasaan, (5) tahap konsumsi tinggi. Peran transportasi, menurut Rostow muncul pada tahap prasyarat tinggal landas. Dalam tahap ini terdapat syarat yang penting yaitu peningkatan investasi pada prasarana ekonomi terutama transportasi (Hess dan Ross, 1997). Dari penjelasan sebelumnya prinsip yang dikemukakan oleh Smith masih relevan dalam pemikiran ekonomi neoklasik. Penjelasan mengenai apa yang dikemukakan Smith terkait dengan permasalahan transportasi dapat dijelaskan oleh Button (1993). Button memberikan ilustrasi sederhana mengenai model permintaan/penawaran (demand/supply model), yaitu bagaimana peningkatan transportasi akan memperbesar (memperluas) pasar suatu barang melalui pengurangan biaya transportasi (lihat gambar 6). Dalam gambar 6 tersebut, menunjukkan bahwa pengurangan biaya transportasi (∆P) mengubah biaya penawaran (supply) dari Ps0 ke Ps1. Karena permintaan tetap, maka terjadi keseimbangan baru dari yang semula di titik 0o ke titik 01. Hal ini berarti bahwa dengan adanya penurunan biaya transportasi, produser dapat meningkatkan
19
produksinya. Peningkatan produksi ini berkaitan dengan perluasan pasar suatu barang. Ilmu ekonomi regional tidak terlepas dari induk ekonomi itu sendiri yaitu makroekonomi dan ekonomi pembangunan. Dalam ekonomi regional, materi materi ekonomi secara umum perlu disesuaikan dan dikembangkan berdasarkan karakteristik ilmu ekonomi regional. Permasalahan seperti stabilitas harga (price stability), tidak perlu dibahas apabila berkaitan dengan suatu wilayah dalam suatu negara, karena instrumen ini merupakan kebijakan pemerintah pusat. Sedangkan masih relevan untuk dibahas seperti full employment dan economic growth.
P
P : biaya transportasi
Ps0
Ps: biaya thd supply komoditas
Ps1
O0
P0 ΔP P1
Pd: biaya atas permintaan thd komoditas P0: biaya transportasi sebelum adanya peningkatan transportasi
O1 Pd
P1: biaya akibat adanya peningkatan transportasi
ΔQ
Q
Q: jumlah produksi
Sumber: Buton (1993) Gambar 6. Keterkaitan biaya transportasi dan produksi Modifikasi dari variabel-variabel ekonomi telah banyak dilakukan oleh peneliti ekonomi regional. Analisis ekonomi regional dengan menggunakan pendekatan makro ekonomi atau dengan menerapkan model-model pendapatan nasional serta menggunakan model-model pertumbuhan nasional dapat dinamakan
20
sebagai makroekonomi antarwilayah (interregional macroeconomic). Penerapan antarwilayah dengan demikian bermakna bahwa perekonomian adalah terbuka di mana arus barang, arus modal dan arus tenaga kerja antara daerah satu dengan lainnya mengalir tanpa hambatan. Pertumbuhan regional (wilayah) pada dasarnya menggunakan konsep konsep pertumbuhan ekonomi secara agregatif. Namun demikian, analisis pertumbuhan regional lebih ditekankan pada perpindahan faktor (factor movement). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain akan membuka peluang interaksi antar daerah dan pada akhirnya membuka peluang pertumbuhan antar daerah (Richardson, 2001). Dalam kaitan factor movement antar wilayah maka model pertumbuhan Harord-Domar dapat digunakan untuk menganalisis pertumbuhan regional. Model Harrod-Domar didasarkan asumsi asumsi bahwa: hasrat menabung atau (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien–koefisien dalam produksi adalah konstan. Pertumbuhan mantap (steady growth) akan dicapai apabila kedua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat keseimbangan yaitu tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus sama dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k =n). Dalam kondisi keseimbangan maka tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama dengan investasi yang direncanakan.Terkait dengan pertumbuhan modal (k) dapat dirumuskan sebagai berikut : I K
S K
S Y
. YK
s v
21
di mana: I= Investasi; S= Tabungan; K=Modal dan Y= Pendapatan, v adalah rasio modal-output (capital output ratio). Pertumbuhan mantap tercapai apabila terpenuhi syarat g=n= s/v. Karena s, v, n ditentukan secara independen maka pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan. Ketika hubungan antar wilayah terjadi, maka perekonomian tersebut dapat dikatakan sebagai perekonomian terbuka. Dengan demikian impor dan tabungan merupakan kebocoran, sedangkan ekspor dan investasi merupakan suatu suntikan (injection) yang dapat menutupi kebocoran tersebut. Kelebihan tabungan dapat disalurkan kedaerah lain, dalam bentuk surplus ekspor. Hal yang sama terjadi apabila pertumbuhan penduduk suatu daerah mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dari penyerapan tenaga kerja pada pertumbuhan yang sedang berlangsung. Hal ini akan berakibat terjadinya migrasi netto, yang dapat membantu menyeimbangkan n dan g. Syarat yang diperlukan bagi perekonomian terbuka adalah sebagai berikut : S+M=I+X kemudian dapat dirumuskan menjadi (s + m)Y = I + X
atau
I Y
(s
m)
X Y
dimana, S= Tabungan; M= Impor; I=Investasi dan X= Ekspor Dengan asumsi dua daerah yaitu i dan j, maka hubungan ekspor dan impor antara 2 daerah , dapat digambarkan sebagai berikut:
Xi
M ji j 1
mij Y j j 1
22
dimana: Xi Mji m Yj
= ekspor daerah i = impor daerah j dari daerah i = marginal propensity to import = pendapatan daerah j
Dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan kembali menjadi : I Y
(s
I Y
m)
S Y
g i .vi
si
X Y
s.v di mana g =s/v v si
mi
mi
( mij Y j ) / Yi
M ij Y j / Yi j 1
gi
vi
Berdasarkan rumus di atas maka suatu daerah akan dapat tumbuh dengan cepat apabila memiliki g (pertumbuhan ekonomi) yang tinggi dengan syarat daerah tersebut harus memiliki tabungan (s) yang tinggi; impor (m) tinggi; ekspor kecil; dan rasio modal output (capital output ratio= COR) kecil. Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi, namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat pertumbuhan output, asalkan selisih tabungan - investasi tersebut diimbangi oleh surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja juga diimbangi oleh migrasi keluar dan kekurangan
tenaga
kerja
keseimbangannya adalah : gi
ni
ri
dipenuhi
melalui
migrasi
masuk.
Syarat
23
di mana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi keluar dan migrasi-masuk (Ri) dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah penduduk daerah yang berstransportasi (Pi). Secara keseluruhan, dari sudut pandang sistem yang berstransportasi adalah :
ri
Ri Pi
Rij j 1
Pi
Pada perekonomian terbuka, pertumbuhan mantap masih lebih pada perkecualian
daripada
merupakan
kelaziman.
Pencapaian
syarat
syarat
keseimbangan disuatu wilayah dapat mengubah syarat syarat keseimbangan di wilayah lainnya dan hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan pertumbuhan wilayah itu sendiri. Ada atau tidaknya kecenderungan kearah pertumbuhan mantap akan tergantung pada arus modal dan tenaga kerja antarwilayah (interregional) bersifat menyeimbangkan atau tidak, dan hal ini tidaklah ditentukan dalam model tersebut. Selain Harrod-Domar, model model pertumbuhan neo-klasik yang juga telah digunakan secara luas adalah Borts (1960), Bort dan Stein (1964), dan Romans. Namun demikian untuk beberapa hal model pertumbuhan tersebut mendapat kritikan terutama asumsi yang menyatakan full employment terjadi secara terus menerus. Hal ini seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem multiregional, karena persoalan regional timbul sebagai akibat dari adanya perbedaan geografis dalam tingkat penggunaan sumber daya. Selain itu asumsi persaingan sempurna tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space economy) di mana oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik adalah tipe tipe struktur pasar yang lebih mungkin (Richardson, 2001). Model
24
neoklasik, kemudian menarik perhatian para ahli teori perekonomian regional karena model tersebut mengandung teori tentang mobilitas faktor disamping teori pertumbuhan. Implikasi dari model tersebut adalah bahwa dengan asumsi persaingan sempurna maka modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor tersebut berbeda-beda. Syarat pertumbuhan mantap yang dalam model ekonomi neoklasik relatif kurang restriktif apabila dibanding dengan model Harrod –Domar. Batasan yang terdapat pada Harrod–Domar, kemudian mendapat kritikan karena adanya kemungkinan substitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal-ouput. Tingkat pertumbuhan dapat bersumber dari (Hayami, 2001; Johansson, 1993): (a) akumulasi modal, (b) pertumbuhan penawaran tenaga kerja,dan (c) kemajuan teknologi, yang mencakup segala sesuatu yang meningkatkan efisiensi dari sumber sumber yang stoknya sudah tertentu. Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari waktu, maka persamaan fungsi produksinya adalah : Yi
Fi ( K , L, t )
di mana: K=Modal; L=Tenaga Kerja; t=Teknologi Persamaan pertumbuhan di atas dapat di derivasi menjadi : Yi
i
ki
1
i
ni
Ti
di mana Y = tingkat pertumbuhan output, k = tingkat pertumbuhan modal, n = tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan T = kemajuan teknologi. Sedangkan α adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal atau produk marginal dari modal
25
Y K
K dan dengan mengsumsikan skala pengembalian yang konstan (constant Y
return to scale) maka (1-α) = bagian pendapatan yang dihasilkan oleh tenaga kerja yaitu
Y L
L . Y
Pertumbuhan kapasitas penuh merupakan suatu hal yang dikehendaki dalam model neoklasik. Oleh sebab itu diperlukan suatu mekanisme untuk menyamakan investasi dengan tabungan dalam kondisi full employment. Dengan demikian syarat pertumbuhan mantap adalah : Yi Ki
MPK i
m,
di mana MPK adalah marginal productivity of capital. Apabila m sudah tertentu dan nilai α konstan, maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah : n
n
Ii i 1
Si i 1
di mana: I=Investasi dan S=Tabungan Namun demikian tabungan yang dihasilkan dalam suatu wilayah secara individual tidak mesti sama dengan investasinya, karena suatu daerah akan mengimpor modal apabila tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. 2.2.
Transportasi dan Perdagangan Antar Wilayah Pembangunan wilayah tidak terlepas dari perdagangan antar wilayah.
Weber (1909) sudah memperkenalkan dampak lokasi terhadap biaya transportasi.
26
Namun Weber tidak menjelaskan analisis yang dihasilkan bagi komoditi di mana proses dari biaya transportasi terjadi. Proses tersebut dapat dijelaskan dalam teori perdagangan. Pada awalnnya Adam Smith meperkenalkan teori keuntungan absolut (absolute advantage) (Carbaugh, 2005). Teori ini lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil, seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknnya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan
akan makin tinggi nilai barang
tersebut. Kelemahan teori ini adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut, maka perdaganagn antar wilayah tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan. Teori Smith ini, kemudian di perbaiki oleh David Ricardo, yang kemudian dikenal sebagai keunggulan komparatif (Comparative Advantage). Tidak seperti Smith yang menekankan pada perbedaan biaya absolut antara dua wilayah, Ricardo’s teori lebih menekankan pada perbedaan biaya komparatif (relatif). Menurut keunggulan komparatif (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan antar wilayah jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut lebih efisien dan mengimpor barang yang mana negara tersebut akan memproduksi kurang/tidak efisien. Kelemahan teori ini adalah mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Heckser dan Ohlin (H-O) kemudian berusaha menjelaskan bahwa walaupun fungsi faktor produksi (tenaga kerja) di kedua negara sama, perdagangan antar wilayah (internasional) tetap terjadi. H-O kemudian menggunakan 2 kurva yaitu kurva isocost yang menggambarkan total biaya
27
produksi yang sama dan kurva isoquant yang menggambarkan total kuantitas yang sama (Hady 1998, Halwani, 2005, Fentra dan Taylor, 2011). Teori ini mendasarkan pada faktor pendukung (endownment) yang mengarisbawahi bahwa resources endownment merupakan faktor penentu dalam keunggulan komparatif. Dengan demikian harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing masing negara. Kedua kurva tersebut akan bersinggungan pada suatu titik optimal. Artinya, dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya yang minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Sesuai dengan konsep titik singgung antara Isocost dan Isoquant, maka masing masing negara tentu akan memeproduksi barang barang tertentu dengan kombinasi faktor produksi yang paling optimal sesuai proporsi/struktur faktor produksi yang dimilikinya (lihat gambar 7).
Tenaga Kerja
Isocost $400 (Negara X) Isocost $600 (Negara X)
A
Isoquant pakaian Isoquant televisi
B
Isocost $600C (Negara Y)
C D
Isocost $400 (Negara Y) Modal
Sumber: Hamdy (1998) Gambar 7. Perbedaan harga menurut Heckser-Ohlin
28
Teori Heckser-Ohlin menggunakan asumsi 2 x 2 x 2 yaitu : 1. Perdagangan terjadi antara dua negara 2. Masing masing negara memproduksi dua macam barang yang sama 3. Masing masing negara menggunakan
dua macam faktor produksi, yaitu
tenaga kerja dan mesin, tetapi dengan jumlah/ proporsi yang berbeda Asumsi di atas dapat dilihat melalui matrix manfaat perdagangan (Gain From Trade) dengan contoh pada tabel 1. Teori ini kemudian dipertanyakan, terutama apabila jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing masing negara relatif sama, maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan antar wilayah (negara) tidak akan terjadi. Pada kenyataannya, walaupun jumlah/proporsi faktor produksi yang dimiliki masing masing negara relatif sama, dan dengan demikian harga barang yang sejenis pun sama, ternyata perdagangan anatar wilayah tetap terjadi. Tabel 1: Matrix Gain from Trade dari Teori H-O Asumsi 2
Negara
Negara X
Negara Y
2
Barang
Pakaian
Televisi
Pakaian
Televisi
2
F.Produksi
T.Kerja
Modal
T. Kerja
Modal
Proses.Prod
P.Karya
P.Modal
P.Karya
P.Modal
Proporsi faktor Produksi
60 unit
15 unit
30 unit
60 unit
Isoquant
100 unit
20 unit
100 unit
20 unit
Isocost
$400
$600
$600
$400
Unit Cost
$4 (murah)
$30 (mahal)
$6 (murah)
$20 (mahal)
Wasily Leontief kemudian melakukan studi empiris di Amerika pada tahun 1953, dan menguji teori Heckser-Ohlin tersebut, dan mendapatkan hasil
29
yang berbeda dengan teori tersebut, sehingga disebut paradoks Leontief. Berdasarkan teori H-O, maka ekspor AS akan terdiri atas barang barang yang padat modal /kapital (capital intensive), sebaliknya impor AS akan terdiri dari barang barang yang padat karya. Berdasarkan studi empiris Leontif, ternyata ekspor AS justru terdiri atas barang barang yang padat karya (labor intensive). Sebaliknya, impor terdiri atas barang barang yang padat modal. Leontief berargumen bahwa pekerja di Amerika Serikat (AS) lebih efisien dari pada pekerja negara lain, di mana dengan kemampuan yang lebih tinggi maka AS dapat mengekspor tenaga kerja keluar wilayahnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu: intensitas faktor produksi yang berkebalikan (factors intensity reversals); tarif dan non tarif barrier; perbedaan dalam skill dan human capital; perbedaan dalam faktor sumber daya alam (natural resources). Dalam menguji kebenaran teori H-O tersebut, Leontief menggunakan Input-Output, yang kemudian menjadi salah satu alat dalam menguji kebijakan di suatu negara. 2.3.
Transportasi dan Disparitas Wilayah. Literatur mengenai perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya
dikenal sebagai hipotesis Kuznets, dimana peningkatan pendapatan rata rata perkapita dan tingkat ketimpangan dalam pembagian pendapatan berbentuk kurva U terbalik. Kuznets (1955), menggunakan data dari beberapa negara, dan menemukan korelasi antara kesenjangan pendapatan perkapita yang berbentuk U terbalik. Kemudian hal ini diintrepretasikan sebagai perubahan dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari perekonomian tradisional (perdesaan) ke perekonomian modern (industri).
30
Pada prinsipnya hipotesis tersebut menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar karena adanya urbanisasi dan industrialisasi. Kemudian dalam proses perjalanan waktu tejadinya proses pembangunan akan mencapai puncaknya dan kemudian terjadi ketimpangan menurun (mengecil), yaitu pada saat sektor industri sudah mampu menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari sektor peredesaan (sektor pertanian), atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil dari didalam produksi dan penciptaan pendapatan (Tambunan, 2009) Beberapa studi menguji hipotesis tersebut dengan menggunakan data agregat dari sejumlah negara. Sebagian besar mendukung hipotesa tersebut, seperti Anand dan Kanbur, 1993 dan Ahlulwalia, 1976. Namun ada juga yang menolak atau tidak menemukan korelasi yang kuat seperti Ravallion dan Datt, 1996 dan Field dan Jakubson (Tambunan, 2001). Selain itu beberapa pandangan terkait dengan hubungan antara pertumbuhan dan disparitas, seperti Myrdal, 1957 (dalam Jhingan, 1983) yang menyatakan bahwa teori teori yang ada lebih melihat pada dunia barat dan tidak dapat diterapkan dinegara yang sedang berkembang. Myrdal berpendapat bahwa gejala dan perkembangan ekonomi di negara negara yang sedang membangun menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara wilayah maju dan tertinggal yang semakin lama semakin besar. Hal ini sebagai akibat kekuatan pasar yang memainkan peranan pertumbuhan sehingga tidak membantu yang tertinggal namun justru sebaliknya membantu yang kuat. Makin melebarnya kesenjangan tersebut dikenal sebagai backwash- effect (efek menguras) dan spread effect (efek menyebar). Efek menguras terjadi karena penggunanaan input atau faktor
31
produksi antara unsaha yang satu dengan yang lainnya saling betentangan. Sebaliknya efek menyebar terjadi karena digunakannya faktor produksi yang satu dengan yang lainnya saling mendukung. Dinegara sedang berkembang pada umumnya efek menguras lebih kuat dibanding efek menyebar sehingga kesenjangan semakin melebar. Beberapa penulis juga meyebutkan peran keterkaian kebelakang (backward linkage) dan keterkaitan kedepan (forward linkages) dalam menghasilkan aglomerasi pada suatu wilayah. Myrdal dan Hirschman (dalam Soetrisno, 1992) berpendapat bahwa eksternalitas lebih terkait dengan penawaran atau permintaan daripada sekedar adanya teknologi, dimana eksternalitas tersebut dapat meyebabkan perubahan struktur. Oleh sebab itu dampak akhir dari pola keterkaitan kebelakang atau keterkaitan kedepan pada disparitas wilayah akan tergantung pada perubahan struktur ekonomi pada wilayah tersebut. Pada akhirnya, bagaimana ekonomi lokal terhubung dengan ekonomi wilayah lainnya akan menentukan dampak dari antar wilayah maupun dampak intrawilayah tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul penelitian empiris dan dikenal sebagai new economic geography (NEG) yang dipelopori oleh Krugman (Kuncoro, 2012). Kontribusi Krugman yang paling pokok adalah penghematan eksternal dan aglomerasi industri dalam skala regional dengan perdagangan. Penekanan dari penelitian tersebut merupakan kombinasi model persaingan tidak sempurna dan peningkatan skala ekonomis, serta teori lokasi yang menekankan pentingnya biaya transportasi.
32
Dalam standar ekonomi pembangunan, proses pembangunan akan menyebabkan dualisme (Meier, 1995, Suman dan Joesoef, 2006). Dualisme ekonomi ini akan berdampak sosial sebab hal ini mencerminkan ketimpangan (inequality), artinya dualisme merupakan suatu keadaan di mana ada daerah yang mengalami tingkat pembangunan yang tinggi dari daerah lain. Perbedaan ini dapat saja disebabkan kurangnya aksesibilitas kepada suatu wilayah. Oleh sebab itu, hal inilah yang sering menyebabkan adanya disparitas atau kesenjangan. Dengan demikian meredakan tensi dualisme merupakan salah satu kebijakan ekonomi. Dalam meredakan tensi dualisme tersebut, salah satu hal penting adalah biaya transportasi. Dari beberapa model ekonomi geografi, yang dilakukan oleh Martin dan Rogers (1995), Puga (2005), Behrens dan kawan kawan (2007) menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi pada suatu negara dapat meningkatkan ketimpangan apabila terjadi pasar asimetris antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang menyebabkan relokasi aktifitas ke daerah yang lebih menguntungkan setelah menurunnya biaya transportasi. Persyn dan Algoed (2011), dari hasil penelitiannya menyarankan bahwa investasi sektor transportasi mempercepat pertumbuhan wilayah maupun mengurangi disparitas. Daryanto (2003), berpendapat bahwa disparitas pembangunan antar daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam hal : 1. pendapatan perkapita 2. kualitas sumber daya manusia 3. pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan dan sebagainya 4. akses ke perbankan 5. ketersediaan sarana dan prasarana transportasi.
33
Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi dapat saja akan berakibat pada kesenjangan yang menyebabkan distorsi perdagangan antar daerah. 2.4.
Perkembangan Pemikiran Transportasi dan Ekonomi Wilayah Pemikiran neoklasik terkait dengan transportasi terus berjalan hingga saat
ini. Akan tetapi perdebatan dalam perkembangannya terus terjadi. Robert Fogel, 1964 (dalam Button 1993), melakukan penelitian dengan menggunakan ekonometrik di Amerika bahwa pada abad ke sembilan belas kontribusi transportasi rel (kereta api) ternyata telah dihitung (dinilai) secara berlebihan (overvalued). Dari penelitian Fogel, didapat bahwa dimulainya jalan kereta api pada abad ke sembilan belas tersebut tidak memberikan kontribusi yang krusial terhadap pertumbuhan ekonomi. Fogel menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi lebih disebabkan oleh adanya inovasi (revolusi ilmu pengetahuan). Efektifitas dari inovasi yang terjadi lebih disebabkan atau difasilitasi secara politis, geografi dan sosial. Fogel, kemudian menyimpulkan bahwa, walaupun hubungan antara transportasi dan pertumbuhan ekonomi adalah penting, namun secara luas telah diabaikan oleh para ekonom. Dari perspektif ekonomi geografi baru (new economic geography), Kilkenny (1995), dalam konteks daerah perdesaan di negara berkembang, mempunyai argumen bahwa, peningkatan jaringan transportasi dapat merugikan kinerja ekonomi di daerah perdesaan. Pengurangan biaya transportasi akan meningkatkan keuntungan dari firma diperkotaan dan mempromosikan adanya konsentrasi diperkotaan, dan dengan demikian akan mengurangi perusahaan dalam berinvestasi di daerah perdesaan. Menurut Kilkenny, pembangunan perdesaan (rural) hanya dapat dipengaruhi oleh peningkatan transportasi jika biaya
34
yang terkait dengan produksi di daerah perdesaan dan biaya akibat adanya transportasi lebih rendah daripada biaya yang mendukung produksi diperkotaan. Banister dan Berechman (2000), mengembangkan kerangka konseptual terkait dengan investasi di bidang transportasi dan pembangunan ekonomi. Walaupun menyederhanakan keterkaitan antara transport dan pembangunan ekonomi di wilayah yang sedang berkembang, kedua penulis tersebut menggunakan pendekatan makroekonomi untuk menilai dampak yang terjadi akibat adanya investasi dibidang transportasi terhadap pertumbuhan ekonomi terutama dinegara maju. Keduanya menyatakan bahwa investasi disektor transportasi akan secara langsung meningkatkan aksesibilitas, namun tidak selalu menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Campisi dan Bella (1987), melakukan evaluasi perencanaan transportasi dalam jangka pendek dengan pendekatan input output model. Pendekatan yang didasarkan interregional input output dengan mempertimbangkan dampak yang dipicu oleh adanya perubahan dalam sistem transportasi. Dari hasil evaluasi disimpulkan bahwa disekonomi sebagai akibat stuktur ruang dari produksi dan konsumsi dapat diuraikan kedalam komponen lokasi dan komponen transportasi untuk menentukan peta inefisiensi dari setiap regional maupun sektoral. Pada sistem transportasi yang efisien maka wilayah yang dipengaruhi akan menerima manfaat dan kesempatan ekonomi yang baik. Sebaliknya sistem transportasi yang tidak efisien akan meningkatkan biaya ekonomi dan dengan demikian kehilangan kesempatan untuk berkembang. Rodrigue, Comtois dan Slack (2006), menyatakan bahwa dampak ekonomi dari transportasi dapat dibagi menjadi :
35
1.
Dampak langsung yaitu berhubungan dengan perubahan asesibilitas di mana transport memperluas pasar distribusi dan mengurangi biaya dan waktu yang dapat dihemat (time saving).
2.
Dampak tidak langsung adalah sebagai akibat dari dampak berganda (multiplier effect), seperti turun/naiknya harga harga komoditas barang. Dampak ekonomi dari sektor tansportasi tersebut, dengan demikian dapat
mempengaruhi perkembangan suatu regional, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pembangunan daerah tersebut. Ahmed dkk (dalam Button, 1993) berpendapat bahwa di negara yang sedang berkembang, salah satu permasalahan yang menyebabkan hambatan terhadap pembanguan sosio-ekonomi dan integrasi nasional adalah akibat dari kurangnya fasilitas transportasi. Hal ini berdampak terhadap pembangunan infrastrutur lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Demikian juga input terhadap produksi pertanian dengan sektor lainya. Pendapat Ahmed tersebut, memberi pengertian bahwa peranan transportasi dalam pembangunan merupakan hal yang sangat penting, baik dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah maupun antar wilayah. Kajian atau studi mengenai hubungan transportasi dan pembangunan ekonomi di atas, lebih banyak didasarkan kondisi di Eropa Barat
maupun
Amerika Utara atau sering disebut sebagai negara Barat. Periode kolonialime yang terjadi pada negara dunia ketiga oleh negara Barat, mungkin menyebabkan kurangnya studi mengenai pembangunan di negara sedang berkembang pada periode sebelum tahun enam puluhan (Hoyle, 1973, Mahayni, 1977). Pembangunan sektor transportasi selama periode kolonialisme dilaksanakan dengan mengikuti pola pola pembangunan di negara barat. Lebih spesifik lagi,
36
pembangunan transportasi pada saat itu lebih untuk melayani keinginan negara Barat untuk memenuhi perekonomian dan politik kolonial rezim dengan tujuan lebih kepada kontrol terhadap teritorialnya. Selain itu, dengan satu tujuan yaitu pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan transportasi lebih di fokuskan kepada pembangunan ekonomi dari pada pengurangan kemiskinan. Creghtney (1994), berdasarkan pengalaman di Afrika, mengatakan bahwa transportasi dapat membentuk struktur baru perekonomian. Tujuan dari pembentukan stuktur baru (stuctural adjustment) adalah mengurangi defisit neraca pembayaran
melalui pengurangan permintaan domestik agar konsumsi dan
investasi seimbang dengan produksi dan pendapatan. Disamping itu juga dimaksudkan mengubah tingkat produksi yang memungkinkan keluar batas wilayah dengan meningkatkan alokasi sumber daya dan penggunaan sumber daya yang efisien atau meningkatkan jumlah input. Gregory and Bumb (2006), World Bank (2008), bahkan melaporkan bahwa, dampak transportasi sangat berpengaruh terhadap pertanian di Afrika Tengah, karena biaya transportasi mencapai sepertiga dari harga pupuk. Beberapa studi terkait dengan transportasi dan pembangunan di Indonesia juga telah banyak dilakukan. Parikesit dan Magribi (2005) melakukan studi mengenai interaksi antara transportasi perdesaan (rural) dan pembangunan wilayah di Sulawesi Tenggara dan menunjukkan bahwa rural transport memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan disekitarnya. Adanya rural transport telah memperkecil disparitas antar daerah. Deichman dkk (2005), menguji peran dari ekonomi geografi dan faktor faktor yang berhubungan dengan distribusi aktifitas industri di Indonesia. Hasil
37
studi tersebut mengindikasikan bahwa peningkatan infrastruktur transportasi hanya memberikan dampak yang terbatas terhadap relokasi industri ke luar pulau Jawa. Direktorat Transportasi Bappenas (2006), mengkaji investasi di sektor transportasi. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka nilai ICOR untuk sektor transportasi ternyata kurang dari satu. Artinya untuk menghasilkan satu satuan Nilai Tambah Bruto (NTB) hanya diperlukan nilai investasi kurang dari satu. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi pada sektor transportasi tersebut cukup efisien. Firman (2008), dengan menggunakan metoda input output analisis, melakukan investigasi dampak sektor transportasi terhadap sektor pertanian dan peternakan. Berdasarkan hasil analisis input ouput nasional 2005, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan sektor transportasi sangat menunjang sektor sektor dalam mendistribusikan barang dan jasa. Khususnya sektor pertanian dan peternakan merupakan sektor yang menjadi salah satu sektor yang dapat memanfaatkan output sektor transportasi dalam mendistribusikan barang dan jasa. 2.5.
Tinjauan Metode Analisis Dampak
2.5.1. Beberapa Pendekatan dalam Analisis Ekonomi Sektor Transportasi Untuk dapat melakukan analisis ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antarsektor dan antarwilayah yang terjadi maka dibutuhkan sebuah perangkat analisis yang memadai untuk mengidentifikasi, menganalisis dan mensimulasi keterkaitan antarwilayah dan antarsektor. Dengan perangkat analisis yang tepat, maka pola keterkaitan yang akan dibangun dapat disimulasi berdasarkan skenario-
38
skenario kebijakan tertentu. Dampak dari setiap kebijakan pembangunan transportasi di suatu wilayah akan dapat diketahui, bukan hanya terhadap perkembangan sektoral saja, namun yang lebih utama lagi dampaknya tersebut dapat ditelusuri lintas wilayah. Pada prinsipnya cukup banyak alat yang tersedia untuk menganalisa mengestimasi pembangunan transportasi. Benefit Cost Analysis (BCA), sudah banyak digunakan di Indonesia, terutama dalam proyek proyek transportasi (Bappenas dan JICA, 2004, Departemen Pekerjaan Umum, 2006, Korea Expressway Corporation dan Seoyong Engineering Co.ltd, 2007). Penggunaan BCA ini lebih sebagai alat pengambil keputusan dalam menentukan suatu prioritas suatu project dengan project lainnya. Salah satu kelemahan dari penggunaan BCA ini adalah sensitif terhadap penentuan discount rate (Burrel dan Haugen, 2000), karena tingkat discount rate dapat merubah analisa yang telah dibuat. Pendekatan lainnya yang juga sering digunakan dalam studi dampak antarwilayah, salah satunya adalah adalah interregional input-output. Dalam model ini hubungan keterkaitan antarwilayah dan antarsektor dituangkan dalam bentuk matriks input-output antarsektor dan antarwilayah. Meskipun model ini cukup mampu menjelaskan hubungan keterkaitan antarwilayah dan antarsektor, namun interaksi antarwilayah yang dapat direkam sebatas pada dua wilayah saja, dan mengabaikan efek multiplier interegion dari wilayah-wilayah lainnya. Untuk mengatasi hal ini akhirnya input-output interregion dikembangkan menjadi inputoutput multiregion. Model input-output ini sudah dapat memotret keterkaitan antarwilayah bukan hanya pada dua wilayah saja, namun yang lebih luas lagi bisa
39
lebih dari dua wilayah sebagaimana halnya yang digunakan dalam studi ini yang akan memotret dampak interregion tersebut pada 5 wilayah. Meskipun demikian tetap diakui bahwa input-output multiregion ini masih mengandung keterbatasanketerbatasan, diantaranya adalah tidak mampu menjelaskan secara lebih detail pengaruh keseimbangan distribusi nilai tambah perekonomian antarwilayah, antarsektor dan antar institusi (rumahtangga, pemerintah dan swasta). Model berikutnya yaitu multiregional SAM (Social Accounting Matrix) merupakan perluasan dari model multiregional input output. Model ini mampu menjelaskan pengaruh pemerataan distribusi antar wilayah, antarsektor dan antarinstitusi terhadap kinerja perekonomian. Model ini juga cukup mampu memberikan hasil yang lebih detil sehingga lebih berguna dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan wilayah yang sudah harus fokus kepada wilayah, sektor dan institusi tertentu. Meskipun demikian model multiregional SAM juga memiliki keterbatasan mengingat bahwa model ini disusun berdasarkan asumsi bahwa faktor harga dianggap tetap. Akibatnya intervesi yang diberikan dari neraca eksogenous berpengaruh secara linier terhadap neraca endogenus (aktivitas produksi, faktor produksi, dan institusi). Dalam kenyataanya di lapangan, harga selalu berfluktuasi seiring dengan fluktuasi suplai dan demand. Selain itu kelemahan yang lain model multiregion SAM lebih bersifat statis sehingga hanya dapat memberikan gambaran pengaruh intervensi dalam jangka pendek. Untuk mengatasi kelemahan dari model multiregion SAM sebenarnya dapat disusun model berikutnya yaitu multiregion CGE (Computable General Equilibrium). Pada model ini disusun serangkain persamaan yang dapat
40
menjelaskan dinamika dari masing-masing komponen dalam multiregion SAM (Haddad, E.A dan Hewings, G.J.D, 1998, Ishiguro dkk, 2003). Persamaanpersamaan ini disusun di luar tabel multiregion SAM tersebut. Konsekuansinya adalah dibutuhkan data-data dan serangkaian persamaan yang cukup kompleks. Meskipun model multiregion CGE merupakan model yang cukup mampu untuk mempertajam model multiregion SAM, tetapi penyusunan persamaan yang relatif kompleks membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Apalagi dengan cakupan multiregion wilayah provinsi yang terdiri dari 5 wilayah, maka susunan persamaannya menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini pada akhirnya akan membuat bias perhitungan karena terlalu banyak asumsi yang harus digunakan dalam mengaplikasikan parameter-parameter pada setiap persamaan CGE yang dibangun. Terkait dengan berbagai kelebihan dan keterbatasan alat-alat analisis interregion di atas, maka dalam studi ini akhirnya dipilih model input-output multiregion untuk menjawab permasalahan yang telah ditetapkan. Meskipun model input-output multiregion mengandung beberapa kelemahan, tetapi model ini cukup mampu mengakomodasikan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam studi ini. Bahkan dalam aplikasinya lebih lanjut jika memungkinkan untuk menganalisis lebih mendalam mengenai perubahan struktural perekonomian masing-masing wilayah melalui teknik dekomposisi struktural yang dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu apakah diakibatkan pertumbuhan suatu sektor pada wilayah sendiri atau dari sektor tertentu pada wilayah-wilayah lainnya, yang mana dalam hal ini ada lima wilayah yang ditelusuri. Pada saat ini penerapan dekomposisi struktural antarwilayah hanya
41
dapat diturunkan melalui model input-output multiregion saja. Bukan hanya itu, aplikasi input-output multiregion lainnya yang tidak dapat diturunkan melalui model SAM dan CGE antara lain multiplier product matrix analysis (MPM), dan field of influence, di mana semuanya ini sangat berguna sekali untuk mengamati perubahan-perubahan struktur perekonomian wilayah dengan lebih detail yang diakibatkan perkembangan sektor transportasi. 2.5.2. Model Keseimbangan Umum Semua unit ekonomi baik itu konsumen,
produsen atau
pemasok
merupakan faktor yang saling terkait. Teori keseimbangan umum berkenaan dengan masalah apakah tindakan yang saling bebas oleh para pembuat keputusan mendorong ke suatu posisi di mana keseimbangan tercapai oleh semua pihak. Keseimbangan umum didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana semua pasar dan semua unit pembuat keputusan berada dalam keseimbangan secara simultan. Keseimbangan umum ada jika di setiap pasar terjadi keseimbangan pada harga yang positif, setiap konsumem memaksimumkan kepuasan dan setiap produsen memaksimumkan keuntungan (Koutsoyiannis, 1982). Keseimbangan umum muncul dari solusi model persamaan simultan, yang terdiri dari berjuta-juta persamaan dan berjuta-juta hal yang tidak diketahui. Hal yang tidak diketahui adalah harga dan kuantitas (faktor atau komoditi). Persamaan-persamaan dalam sistem diturunkan dari upaya memaksimumkan perilaku konsumen dan produsen yang berbentuk persamaan perilaku yang menjelaskan fungsi permintaan dan penawaran di semua pasar oleh semua individu, serta persamaan market-clearing.
42
Model keseimbangan umum dikembangkan oleh ekonom Prancis, Leon Walras (1834-1910), yang memberikan argumen bahwa semua harga dan kuantitas di semua pasar ditentukan secara simultan melalui interaksi satu dengan lainnya. Secara umum dalam model keseimbangan Walras, jumlah pasar sama dengan jumlah komoditi dan faktor produksi. Untuk setiap pasar terdapat tiga fungsi, yaitu fungsi permintaan, penawaran dan keseimbangan pasar, yang mensyaratkan bahwa jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Dalam pasar komoditi, banyaknya fungsi permintaan sama dengan banyaknya konsumen dan banyaknya fungsi penawaran sama dengan banyaknya perusahaan yang memproduksi komoditas. Dalam suatu pasar faktor, banyaknya fungsi permintaan sama dengan banyaknya perusahaan dikalikan dengan banyaknya komoditas yang diproduksinya. Namun
demikian,
Leon
Walras
sendiri
tidak
pernah
mampu
membuktikan keberadaan keseimbangan umum walaupun banyaknya persamaan sama dengan banyaknya hal yang tidak diketahui, tidak ada jaminan bahwa keseimbangan umum pasti terjadi. Disamping permasalahan keberadaan keseimbangan umum, dua hal yang berkaitan dengan persoalan ini adalah permasalahan kestabilan dan keunikan dari keseimbangan umum. Koutsoyiannis (1982) memberikan argumen bahwa analisis keseimbangan umum menjadi kurang berguna secara praktis, jika tidak diketahui apakah sistem ekonomi dapat mencapai atau menuju ke arah keseimbangan umum. Pendapat lainnya mengatakan bahwa model keseimbangan umum akan bermanfaat, walaupun tidak ada solusinya, karena menunjukkan kompleksitas dari keterkaitan antarpasar dan antarpembuat keputusan secara individual.
43
Model keseimbangan umum yang rumit dan tidak pernah ditemukan solusinya kemudian disederhanakan oleh Leontief menjadi model yang diterapkan secara empiris. Dengan menggunakan data data di Amerika Serikat, Leontief berhasil menyusun model Tabel Input–Output (Miller dan Blair, 1985). Model Input-Output (I-O) merupakan salah satu peralatan analisis yang banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ekonomi, geografi, regional science, engineering, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari kerangka dasar I-O itu sendiri yang intinya menunjukkan keterkaitan (interdependency) antara satu sektor dengan sektor lainnya dalam suatu perekonomian atau satuan sistem pada satu periode waktu tertentu. Selain itu model I-O mampu memprediksi dampak dari tindakan ekonomi yang direncanakan (misalnya pembangunan nasional). Fukuishi (2010), menjelaskan bahwa masih sedikit riset sektor transportasi yang menggunakan I-O. Dengan demikian model I-O nasional maupun daerah bermanfaat dalam perencanaan pembangunan dan evaluasinya untuk level agregat nasional atau daerah. 2.5.3. Pentingnya Memahami Ekonomi Spasial Dalam ekonomi spasial, sudah banyak dilakukan studi tentang model perkembangan ekonomi nasional secara agregatif, baik yang dilakukan secara individual maupun institusi. Salah satu tujuan studi studi tersebut adalah untuk melihat dampak perubahan variabel-variabel kebijakan atau variabel yang dieksogenkan ke dalam perekonomian. Namun, model-model ekonomi agregat demikian tidak lagi memadai karena tidak dapat menggambarkan aspek ruang
44
suatu perekonomian, baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun dalam pemanfaatan hasil pembangunan (Muchdie, 1998b), Demikian pula dengan model I-O nasional atau daerah, yang digunakan untuk mengukur dampak perubahan permintaan akhir terhadap perekonomian, karena tidak mampu menggambarkan aspek ruang perekonomian nasional atau daerah. Akibatnya, model I-O tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perencanaan pembangunan dan evaluasinya yang telah memasuki ke dalam dimensi ruang. Oleh karena itu dibutuhkan model yang mampu memberikan analisis tentang dampak langsung, tidak langsung dan yang terimbas (induced effect) dari kegiatan pembangunan yang memasukkan aspek keruangan. Model Interregional InputOutput (IRIO) memiliki kapasitas tersebut. Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri atas beribu-ribu pulau dengan beragam sifat yang unik, tingkat teknologi dan perkembangan ekonomi yang berbeda antar-daerah, adalah sangat riskan untuk mengabaikan aspek ruang, aspek daerah dan wilayah. Uppal (1986) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah diikuti oleh semakin buruknya pemerataan pendapatan, merupakan suatu bukti pengabaian terhadap dimensi ruang dalam pembangunan. Kameo dan Rietvield (1987) mengatakan bahwa tidak ditemukan kecenderungan penurunan ketidakmeratan pendapatan per kapita antardaerah di Indonesia dalam periode 1975-1982. Muchdi (1998a), berpendapat bahwa dipandang dari sudut nasional, ketidakmerataan antardaerah merupakan hal yang sangat peka dengan cara apa pun harus dihindari.
45
2.5.4. Pentingnya Menerapkan IRIO dalam Analisis Ekonomi Sektoral dan Spasial Model
IRIO
selain
mampu
menggambarkan
tentang
struktur
ketergantungan sektoral (sectoral interdependency) juga mampu menunjukkan ketergantungan regional (regional interdependency), yaitu antara satu kegiatan ekonomi di suatu daerah dengan kegiatan ekonomi di daerah lainnya (BPS, 2000). Model I-O daerah hanya menangkap keterkaitan antarindustri lokal, tetapi model mengabaikan keterkaitan ekonomi antardaerah. Model I-O daerah bersifat terbuka, maksudnya hanya mampu menelusuri pengaruh dari perubahan permintaan akhir di daerah setempat. Model tersebut tidak memperhitungkan sistem antardaerah, yaitu tidak melihat asal perubahan permintaan akhir dan tidak melihat juga umpan balik (spill-over repercussion) dari perubahan di luar terhadap aktivitas ekonomi di daerah. Secara singkat, model I-O daerah hanya memungkinkan kita memperhitungkan feedback antarindustri di daerah saja tetapi tidak memperhitungkan feedback antardaerah. Richardson (1972), berpendapat bahwa kontribusi I-O bagi analisis daerah tidak akan pernah mencapai keadaan yang mendekati potensi sebenarnya, kecuali sistem menyeluruh dari tabel I-O antardaerah sudah disusun. Selanjutnya, Richardson berpendapat bahwa istilah interregional model (IRIO) dan multiregional model (MRIO) boleh dipertukarkan. Istilah pertama mengacu pada kasus di mana daerah-daerah dalam model menyempurnakan suatu sistem (misalnya komponen dari perekonomian). Sedangkan istilah kedua mengacu kepada sembarang kelompok daerah yang saling berkaitan yang sering membentuk sebagian dari perekonomian nasional.
46
Menganalisis model I-O antardaerah memberikan beberapa keuntungan, diantaranya dengan kerangka kerja yang konsisten menyajikan pengecekan terhadap data itu sendiri. Misalnya total ekspor harus sama dengan total impor antardaerah. Dengan tersedianya I-O antardaerah memberikan tekanan yang kuat bagi studi-studi I-O daerah secara sekuensial. Data dasar untuk menyusun I-O antardaerah adalah permintaan akhir, koefisien teknis dan perdagangan antardaerah tahunan. Tabel I-O antardaerah memiliki aplikasi yang lebih luas daripada I-O daerah. Rincian potensi penggunaan Tabel I-O antardaerah adalah sebagai berikut (Richardson, 1972): 1. Studi tentang pergeseran lokasi kegiatan industri dan tenaga kerja. 2. Estimasi perbedaan yang bersifat kedaerahan dan ciri industri dalam teknik produksi. 3. Menghitung neraca ekonomi antar daerah. 4. Studi dampak berlingkup daerah. 5. Studi program pembangunan ekonomi berlingkup daerah. 6. Perencanaan ketahanan masyarakat. Contoh nyata dari penggunaan Tabel I-O antardaerah adalah: 1. perhitungan pengaruh pada daerah yang berbeda atas perubahan pada pengeluaran pemerintah pusat. 2. Mengevaluasi pengaruh dari pergeseran antardaerah dalam lokasi industri. 3. Pengukuran dan peramalan pasar ekspor dari suatu daerah.
47
4. Pengukuran dampak kenaikan tarif transportasi barang antardaerah terhadap produksi daerah dan perdagangan. 5. Penghitungan dampak limpahan (spill-over effect) perluasan pembangunan di daerah kaya terhadap daerah miskin dan feedback antardaerah. Model IRIO membagi ekonomi nasional berdasarkan sektor dan daerah kegiatan (Hulu, 1990), sedang struktur dasar model IRIO secara rinci telah dibahas dalam Muchdie (1998a, 1998b). Walaupun IRIO adalah model yang paling ideal, menurut Muchdi (1998b), model ini mempunyai dua masalah yang serius. Pertama, berkaitan dengan asumsi bahwa suatu komoditi yang diproduksi di suatu daerah, secara teknis berbeda dengan komoditi sama yang dihasilkan oleh daerah lainnya. Kedua, untuk memperoleh estimasi nilai koefisien perdagangan diperlukan data arus perdagangan menurut daerah asal dan daerah tujuan serta menurut sektor produksi dan sektor konsumsi. Data seperti ini biasanya tidak tersedia, bahkan di negara yang statistiknya sudah maju sekalipun. Untuk dapat memperolehnya diperlukan survai yang akan membutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Hal-hal inilah yang menyebabkan sangat sedikit negara yang sudah menyusun tabel IRIO. Untuk mengatasi masalah-masalah itu, berbagai model I-O mengenakan asumsi bahwa barang yang sama tidak lagi perlu dibedakan dari daerah asalnya. Dalam penerapannya, ada yang menggunakan perkiraan titik (Chenery dan Moses), ada pula yang menggunakan teori gravitasi (Leontief dan Strout) dan ada yang menggunakan perumusan pemrograman linear (Moses) (Muchdie 1998a).
48
2.5.5. Pentingnya Analisis Dampak dari Model IRIO Menurut Muchdie (1998a), Daryanto dan Hafizrianda (2010) dengan model I-O antardaerah (IRIO), analisis struktur ruang dalam perekonomian Indonesia dapat dibahas. Bahasan tersebut dapat menggunakan analisis: 1. Dampak pengganda total (total multiplier effects) baik sektoral maupun spasial, 2. Dampak pengganda bersih sektoral dan spasial, 3. Dampak luberan (spill-over effects), dan 4. Dampak balik (feed-back effects). Angka pengganda merupakan ukuran kepekaan suatu perekonomian terhadap perubahan yang dinyatakan dalam hubungan sebab-akibat. Pengganda pada model I-O biasanya diasumsikan sebagai tanggapan (respons) terhadap meningkatnya permintaan akhir suatu sektor tertentu. Muchdie (1998a), mengingatkan bahwa konsep pengganda sering digunakan secara rancu sehingga menghasilkan interpretasi yang keliru. Oleh sebab itu beberapa pendapat menyatakan bahwa perlu membedakan kategori pengganda menjadi dampak awal (initial impact), dampak imbasan kegiatan produksi (production-induced impact) dan dampak imbasan konsumsi (consumption-induced effect). Selain itu, juga ada kategori lain yang disebut dampak luberan (flow-on impact), yang merupakan dampak bersih. Secara teoritis, pengganda dari model I-O daerah tunggal lebih kecil daripada pengganda model I-O antar daerah. Penegasan lebih jauh dilakukan oleh Miller (1985) melalui percobaan yang lebih komprehensif dalam menguji sistem
49
perekonomian tertutup. Kesimpulannya adalah bahwa umpan balik antardaerah bergantung kepada tingkat keterkaitan ekonomi antardaerah atau berlawanan dengan derajat kemandirian suatu daerah. Semakin mandiri suatu daerah, semakin kecil tingkat keterkaitan antardaerahnya. Miller bahkan mengusulkan aturan kasar untuk menentukan besaran umpan balik secara a priori: suatu daerah yang mensupplai 10 persen dari kebutuhannya akan menaksir terlalu rendah perubahan outputnya sebesar 10 persen bila mengabaikan konsep umpan balik. Sementara daerah yang mensupplai 90 persen kebutuhannya akan menaksir terlalu rendah perubahan outputnya sebesar 2 persen. Jadi untuk setiap kenaikan 10 persen kemampuan memsupplai kebutuhannya senndiri, akan menurunkan kesalahan sebesar 1 persen atas perkiraan perubahan output. Muchdie (1998a), merinci lebih jauh menjadi empat tipe pengganda, dua diantaranya relevan dengan kajian model antardaerah, yaitu pengganda khusus sektoral (sector-specific multipliers) dan pengganda khusus spasial (spatialspecific multipliers). Pengganda khusus sektoral menyatakan jumlah input yang dibutuhkan dari perekonomian secara keseluruhan (tanpa memandang ruang) untuk memenuhi bertambahnya satu unit permintaan akhir sektor yang dimaksud. Pengganda khusus spasial menyatakan jumlah input yang dibutuhkan dari semua sektor pada suatu daerah karena meningkatnya satu unit permintaan akhir daerah yang berhubungan dengan transportasi. Miller dan Blair (1985) telah mendefinisikan IDBAD (indeks dampak balik antardaerah atau interregional feed-back index) dan IDBTAD (indeks dampak balik dan luberan antardaerah atau interregional feed-back and spill-over index) untuk mengukur saling ketergantungan antardaerah. Berdasarkan kedua
50
indeks tersebut dapat dianalisis pentingnya keterkaitan antardaerah di Indonesia. Dampak balik pengganda total dapat dengan mudah diperlihatkan sebagai selisih antara pengganda total pada model daerah-tunggal dan pengganda total pada model antardaerah, yaitu pengganda total yang terjadi di daerah yang berstransportasi pada model antardaerah. Dampak luberan adalah pengganda total yang terjadi di daerah lain karena terjadinya peningkatan permintaan akhir pada daerah yang sedang dipelajari. Ini diukur dari perbedaan antara pengganda total dan pengganda yang terjadi hanya pada daerah yang dipelajari. Mengenai metode penghitungan akan dijelaskan dalam bab 3.