II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Perekonomian Indonesia Perkembangan ekonomi Indonesia sejak Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966 ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi. Seperti dapat dilihat pada Tabel 7, pada masa awal pembangunan ekonomi pada periode 19661970, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5.89 persen per tahun. Selanjutnya, pada dekade 1971 – 1980 rata-rata pertumbuhan ekonomi meningkat pesat menjadi 7.44 persen (Tjahyono dan Anugrah, 2006). Kenaikan ini tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam mendorong ekspor minyak yang dibarengi oleh kenaikan harga minyak dunia. Namun, sejalan dengan mulai menurunnya harga minyak dunia pada dekade 1981-1990, ekonomi Indonesia kembali mencatat pertumbuhan yang lebih rendah. Selama periode ini, pemerintah mulai mengubah kebijakannya dengan sasaran utama mendorong ekspor non-migas dan pengerahan tabungan masyarakat. Untuk meningkatkan ekspor non-migas, pemerintah mendorong sektor swasta untuk berperan lebih besar dalam pembangunan ekonomi. Sementara upaya pengerahan dana masyarakat dilakukan melalui pengembangan pasar keuangan. Hal itu ditandai oleh kebijakan deregulasi perbankan dan pasar modal yang diikuti oleh liberalisasi capital inflows. Sementara, di sisi sektor riil, pemerintah mulai membuka pasar domestik melalui penurunan tarif, pengurangan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang didukung oleh kebijakan makro yang prudent. Berbagai kebijakan di atas berhasil mendorong kembali rata-rata pertumbuhan ekonomi hingga mencatat angka 7.83 persen selama 1991-1996. Namun, selama masa ini
30 juga ditandai oleh akumulasi utang luar negeri yang terus membengkak dan kondisi perbankan yang ringkih hingga berujung pada krisis ekonomi di tahun 1997-1998. Setelah krisis ekonomi, ekonomi Indonesia kembali mengalami perlambatan pertumbuhan.
Tabel 7. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Persen) Tahun Pertumbuhan 1966 – 1970 5.89 1971 – 1980 7.44 1981 – 1990 5.51 1991 – 1996 7.83 1997 – 2004 1.84 1 2005 – 2010 5.62 Sumber : Tjahyono dan Anugrah, 2006; 1BPS, 2011 (Diolah)
Dilihat dari sisi penggunaannya, pada masa awal pembangunan ekonomi sebelum tahun 1970, pertumbuhan ekonomi lebih banyak didorong oleh konsumsi masyarakat yang memberikan kontribusi hingga 80 persen PDB (lihat Tabel 8). Namun, sejalan dengan tingginya harga minyak pada dekade 1971 - 1980, sektor minyak menjadi satu-satunya sumber pertumbuhan. Ekspor minyak memberikan kontribusi lebih dari 70 persen total ekspor Indonesia, sementara komoditi industri belum memberikan kontribusi yang berarti. Ekspor non-migas sebagian besar disumbangkan oleh komoditi primer. Hasil dari ekspor minyak sebagian besar mengalir ke penerimaan pemerintah untuk membiayai kegiatan konsumsi dan investasi pemerintah. Selama periode ini, peran konsumsi masyarakat sedikit demi sedikit terdesak oleh sektor pemerintah yang sangat dominan. Sementara, investasi swasta belum memberikan kontribusi yang berarti. Memasuki dekade 1981-1990, kegiatan investasi swasta mulai berkembang pesat. Hal ini ditandai oleh kenaikan
31 impor yang tinggi, utamanya impor barang modal, yang dibarengi oleh menurunnya
harga
minyak
dunia.
Akibatnya,
net
ekspor
menunjukkan
kecenderungan yang terus menurun hingga mencapai level di bawah 5 persen PDB. Selama periode ini, peran swasta tumbuh dengan pesat, terutama dengan munculnya gejala konglomerasi di berbagai sektor, sebaliknya peran pemerintah semakin menurun. Setelah krisis ekonomi, kegiatan investasi swasta sedikit demi sedikit mulai tumbuh kembali, sementara Pemerintah menghadapi beban yang berat akibat krisis (Tjahyono dan Anugrah, 2006).
Tabel 8. Faktor Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia No. 1 2 3 4
Penggunaan 1970 1980 1990 Konsumsi 79.47 54.05 53.86 Investasi 12.16 18.78 31.35 Pengeluaran Pemerintah 8.62 10.21 9.80 Net Ekspor -0.25 16.95 4.99 Total 100.00 100.00 100.00 Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah)
2000 79.90 18.32 7.23 3.54 100.00
(Persen) 2010 56.70 32.20 9.10 2.00 100.00
Jika dilihat dari PDB sektoral, terlihat adanya perubahan struktur ekonomi yang berkelanjutan. Sektor pertanian menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Peranan sektor pertanian digantikan oleh industri non-migas yang tumbuh pesat sejak 1990 – 2000 seperti dapat dilihat pada Tabel 9. Sementara sektor pertambangan dan galian cenderung berfluktuasi sejalan dengan fluktuasi harga komoditi di pasar dunia. Sedangkan sektor-sektor yang lain relatif stabil, kecuali sektor keuangan yang terus tumbuh pada masa sebelum krisis dan akhirnya menurun drastis setelah krisis ekonomi. Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tercermin pada pendapatan masyarakat yang cenderung meningkat pesat. Jika diukur berdasarkan
32 pendapatan per kapita dalam $US, pendapatan masyarakat tumbuh dari level $ 200 pada tahun 1974 hingga mencapai level $ 1200 di tahun 1996, sebelum akhirnya merosot kembali akibat krisis pada level $ 600. Setelah krisis, pendapatan masyarakat akhirnya mencapai di atas level $ 1200 pada akhir 2005 (Tjahyono dan Anugrah, 2006).
Tabel 9. Pangsa Sektoral dalam Perekonomian Indonesia (Persen) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa-Jasa Total
1971 44.83 8.01 8.36 0.49 3.49 16.11 4.41 12.2 2.11 100.00
1980 30.7 9.3 15.3 0.7 5.7 16.6 5.4 13.8 2.8 100.00
1990 19.42 15.19 19.35 0.63 5.80 16.13 5.53 14.49 3.46 100.00
2005 2010 14.54 13.17 9.30 8.07 28.10 25.76 0.66 0.78 5.91 6.50 16.83 17.34 6.26 9.41 9.26 9.55 9.14 9.43 100.00 100.00
Sumber : BPS, Berbagai Tahun Terbitan (Diolah)
Namun demikian, pendapatan masyarakat yang meningkat tersebut juga menyisakan masalah pemerataan. Gini ratio sebagai alat ukur inequality of distribution atau ketimpangan pendapatan menunjukan penurunan pada pada periode 1964 – 1990, dari sebesar 0.35 menjadi sebesar 0.32 yang berarti turun sebesar 0.03 atau 3 persen. Bila Gini ratio dijadikan tolok ukur kemiskinan, maka kemiskinan di Indonesia dalam kurun waktu tersebut hanya turun sebesar 3 persen. Di sisi lain, PDB tumbuh pada kisaran 6.28 persen pada kurun waktu yang sama, terdapat selisih sebesar 3.28 persen dengan penurunan kemiskinan. Peningkatan pertumbuhan yang tidak diikuti oleh penurunan kemiskinan, menunjukkan masih adanya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Bahkan pada tahun 1996 Gini ratio meningkat sebesar 0.04 menjadi 0.36 yang berarti kemiskinan bertambah sebesar 4
33 persen, ketika pertumbuhan PDB pada tahun tersebut tumbuh sebesar 7.82 persen. Hal ini menunjukan masih belum meratanya ketimpangan pendapatan (Tjahyono dan Anugrah, 2006). Di samping itu, meskipun pemerintah berhasil mencatat keberhasilan dalam mengendalikan pertumbuhan populasi, namun besarnya pertambahan angkatan kerja masih belum mampu diimbangi oleh penciptaan lapangan kerja baru yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, tingkat pengangguran menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Kenaikan angka pengangguran yang pesat terjadi pada sekitar tahun 1993 – 1995 sejalan dengan kebijakan pengetatan yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi gejala overheating yang terjadi pada saat itu. Angka pengangguran ini terlihat semakin tinggi sejak krisis hingga mencapai angka pengangguran 12 persen di tahun 2005. Namun demikian, patut dicatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai di atas juga diikuti oleh laju inflasi yang relatif tinggi. Pada masa awal pembangunan, inflasi pernah mencapai level 80 persen sebelum akhirnya bisa dikendalikan pada level di sekitar 10 persen. Namun, pada saat terjadi krisis harga minyak di tahun 1975 dan 1978, inflasi kembali mencapai level di atas 20 persen. Setelah itu, terdapat kecenderungan yang terus menurun meskipun di level yang relatif tinggi. Laju inflasi yang relatif tinggi ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui liberalisasi capital inflows dan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Masuknya capital inflows tersebut menyebabkan jumlah uang beredar tidak terkendali akibat kebocoran dari sektor luar negeri yang memicu terjadinya inflasi. Terjadinya inflasi yang tinggi
34 dalam jangka panjang akhirnya mendorong terbentuknya ekspektasi inflasi masyarakat. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, pada awalnya pemerintah menempuh kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Sejalan dengan kebijakan deregulasi capital inflows dan semakin terintegrasinya pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan internasional, sistem nilai tukar secara bertahap dilonggarkan untuk menyesuaikan dengan perbedaan inflasi Indonesia dengan negara lain. Untuk mengakomodasi hal itu, sejak 15 Nopember 1978, sistem nilai tukar diubah menjadi sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) dengan mengkaitkan kurs Rupiah dengan sekeranjang mata uang negara mitra dagang. Selama menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali, beberapa kali kurs Rupiah mengalami devaluasi untuk menyesuaikan dengan nilai tukar riil efektif (real effective exchange rate). Sejalan dengan semakin tingginya capital inflows yang masuk ke pasar valas domestik, pergerakan kurs Rupiah ini semakin lama semakin lebar hingga mencapai puncaknya saat tekanan Rupiah tidak bisa lagi dibendung. Sebagai akibatnya, sejak tanggal 14 Agustus 1997, Pemerintah menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas. Pergerakan nilai tukar Rupiah di atas tidak terlepas dari kondisi neraca pembayaran Indonesia. Pada masa awal pembangunan, transaksi berjalan mengalami defisit akibat masih rendahnya kinerja ekspor. Untuk menutup defisit tersebut memaksa pemerintah membiayai dari pinjaman luar negeri. Sejalan dengan keberhasilan pemerintah dalam memproduksi minyak yang dibarengi oleh tingginya harga minyak pada dekade 1971-1980, ekspor Indonesia meningkat dengan tajam mencapai $ 17.5 juta di tahun 1980, sehingga transaksi berjalan mencatat surplus. Memasuki dekade 1980-an (1981 – 1990), neraca pembayaran
35 kembali mengalami tekanan berat akibat menurunnya harga minyak yang dibarengi oleh kondisi eksternal yang kurang mendukung, yakni menurunnya laju pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatnya proteksi perdagangan oleh beberapa negara maju yang menjadi pasar utama barang produksi Indonesia. Di samping itu, kegiatan investasi yang meningkat pesat pada dekade 1990-1996 juga mendorong
semakin
tertekannya
kondisi
neraca
pembayaran.
Hal
itu
mengakibatkan transaksi berjalan kembali mengalami defisit. Setelah krisis ekonomi, kinerja ekspor meningkat tajam didorong oleh depresiasi Rupiah yang sangat tajam akibat krisis. Sementara, impor justru turun tajam. Akibatnya, transaksi berjalan kembali mengalami surplus, sebaliknya transaksi modal justru mengalami defisit akibat masih tingginya capital outflows. Namun, surplus transaksi berjalan menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun akibat pesatnya kegiatan impor yang dipicu oleh kenaikan investasi dan tingginya harga minyak dunia (Tjahyono dan Anugrah, 2006).
2.2. Strategi Industrialisasi Sejarah perekonomian mencatat beragamnya strategi kebijakan yang dianut oleh masing-masing negara. Ada yang berusaha memacu pembangunan ekonomi melalui ekspansi perdagangan internasional dan sekaligus membuka pintu lebarlebar terhadap investasi asing, bantuan luar negeri dan imigrasi. Di lain pihak, tidak sedikit
negara membangun perekonomiannya dengan menerapkan strategi
industrialisasi substitusi impor dan menggunakan perencanaan ekonomi sebagai perisai untuk menangkis pengaruh-pengaruh eksternal yang dianggap mengganggu dan tidak dikehendaki.
Istilah outward-looking (melihat ke luar) dan inward-
36 looking (melihat ke dalam) merupakan cara tepat untuk melukiskan dua perilaku kebijakan yang berbeda (Kuncoro, 2007). Kebijakan “melihat ke luar’ sering diidentikkan dengan perdagangan bebas dan kebijakan promosi ekspor.
Sementara itu, kebijakan “melihat ke dalam”
diartikan kebijakan yang proteksionis dan lebih menekankan pada substitusi impor. Secara lebih sistematis, kedua macam kebijakan setidaknya harus diartikan dengan empat unsur kebijakan lain. Dengan menyebut kebijakan outward-looking dengan “O” dan kebijakan inward-looking dengan “I”, Tabel 10 menyajikan kasus murni negara yang menerapkan strategi “melihat ke luar” dan “melihat ke dalam”.
Tabel 10. Perbedaan Strategi Outward dan Inward-Looking Kasus Pure Outward-Looking Kasus Pure Inward-Looking O1 Perdagangan bebas dan I1 Kebijakan proteksionis dan kebijakan ekspansi ekspor substitusi impor O2 Kebijakan ekonomi dalam negeri I2 Kebijakan ekonomi dalam negeri tipe “terbuka” tipe tertutup O3 Kebijakan pintu terbuka terhadap I3 Ketergantungan pada tabungan bantuan luar negeri ke sektor dalam negeri dan swasembada pemerintah sumber daya O4 Kebijakan pintu terbuka terhadap I4 Hambatan terhadap PMA PMA O5 Kebijakan pintu terbuka terhadap I5 Hambatan terhadap imigrasi imigrasi Sumber : Mynt (1984) dalam Kuncoro, 2007
Tidak sulit mencari contoh negara yang menerapkan kedua macam kebijakan. Hong Kong mungkin merupakan contoh yang baik untuk negara yang menganut strategi melihat ke luar secara murni.
Sebaliknya, Myanmar mungkin bisa
dianggap contoh ekstrem negara penganut strategi melihat ke dalam. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia pada masa demokrasi terpimpin diklasifikasikan sebagai negara yang menganut strategi melihat ke dalam, sementara Malaysia, Singapura
37 dan Thailand termasuk golongan yang melihat ke luar (Mynt, 1984; McCawley dan Booth, 1986 dalam Kuncoro, 2007). Perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan semakin sulit menemukan contoh kasus negara yang secara konsisten menerapkan kebijakan melihat ke luar dan ke dalam secara murni. Buktinya, sebagian besar negaranegara di Asia Tenggara menggunakan strategi campuran, yang merupakan kombinasi strategi melihat ke luar dan ke dalam. Mynt (1984) membedakan dua kasus
“campuran”
sebagai
berikut.
Pertama,
strategi
campuran
yang
mengkombinasikan kebijakan melihat ke dalam seperti I1, I2 dan I3 dengan kebijakan menarik bantuan luar negeri, O3. Upaya menarik PMA (Penanaman Modal Asing) cenderung merupakan campuran O4 dan I4, dimana investasi asing ditarik ke sektor industri, tetapi tidak didorong untuk investasi asing di sektor industri pengolah komoditi primer.
Alasan menggunakan kebijakan O3 bisa
dimengerti karena kebijakan substitusi impor, setidaknya pada tahap awal, menyebabkan kesulitan necara pembayaran. Oleh karena itu, bantuan luar negeri dan investasi asing diharapkan dapat menutup kekurangan devisa. Strategi campuran jenis demikian sering disebut sebagai import substitution policy mix. Bagi kebanyakan negara dunia ketiga, strategi demikian cukup populer dan banyak dianut. Kedua, kombinasi kebijakan perdagangan bebas dan kebijakan ekonomi dalam negeri tipe terbuka (O1 dan O2) dengan kebijakan menghambat modal asing dan imigrasi, yaitu I3, I4 dan I5. Strategi ini diterapkan oleh Jepang pada masa Meiji.
38 2.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor Menurut Arief (1998), industrialisasi substitusi impor dilaksanakan atas dasar pemikiran berikut : 1.
Pengembangan industri substitusi impor akan membuahkan hasil yang cepat oleh karena itu memungkinkan pengusaha-pengusaha di dalam negeri dapat segera menggarap pasaran dalam negeri yang sudah ada yang ditunjukkan oleh volume impor barang-barang sebelum pengembangan industri-industri substitusi impor ini.
2.
Substitusi impor akan menimbulkan penghematan devisa dan bersamaan dengan itu memperbesar nilai tambah di dalam negeri. Program industrialisasi substitusi impor pada taraf permulaannya didominasi
oleh investasi dalam memproduksi barang-barang konsumsi.
Sektor ini lebih
menarik perhatian karena faktor-faktor berikut (Arief, 1998) : 1. Pasaran dalam negeri di negara-negara yang sedang berkembang umumnya adalah pasaran barang-barang konsumsi. Ketiadaan atau langkanya industri barang modal di negara-negara ini oleh karena tidak berkembangnya industri di negara-negara ini dalam zaman kolonial di mana negara-negara ini dipaksa agar berspesialisasi dalam produksi bahan-bahan mentah primer untuk industri di negara-negara penjajah, menyebabkan kecilnya pasaran barang-barang modal di dalam negeri. 2. Industri barang-barang konsumsi umumnya tidak memerlukan investasi yang besar dan teknologinya tidaklah begitu rumit. Pengembangan industrialisasi substitusi impor dijalankan dengan pemberian fasilitas-fasilitas fiskal, kredit dan juga perlindungan tarif.
Perlindungan tarif
dalam bentuk bea masuk yang tinggi terhadap barang sejenis dari luar negeri
39 cenderung mengakibatkan industrialis-industrialis dalam negeri menaikkan harga barang-barangnya sekurang-kurangnya sama dengan barang-barang impor, sehingga tarif pada dasarnya menjadi subsidi terselubung yang dinikmati oleh produsen barang-barang industri ini di dalam negeri. Lee (1997) mengemukakan bahwa umumnya negara-negara berkembang mendorong industri-industri yang masih bayi (infant industries) dengan berbagai macam fasilitas. Dalam kasus di Korea, industri-industri yang diproteksi tersebut cenderung berkembang menjadi industri yang matang. Sementara itu, fasilitas bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan barangbarang modal dalam situasi harga produksi industri dalam negeri yang relatif tinggi oleh adanya perlindungan tarif, pada dasarnya merupakan pajak terselubung yang diderita oleh para konsumen barang-barang produksi industri dalam negeri. Jika dilihat dari sudut subsidi terselubung yang dinikmati oleh produsen dan pajak terselubung yang diderita oleh konsumen, maka telah terjadi proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal.
Proses redistribusi ini pada
hakikatnya adalah salah satu esensi utama dari strategi yang semata-mata berorientasi pada pertumbuhan, yaitu suatu strategi yang memberikan layanan istimewa terhadap kelompok pemilik modal yang dianggap sebagai pencipta surplus. Program industrialisasi substitusi impor yang dilaksanakan oleh banyak negara yang sedang berkembang ditandai juga dengan tiga ciri utama (Arief, 1990). 1. Industri-industri substitusi impor umummya bersifat padat modal sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat minimal, apalagi kalau diperhitungkan pula dengan tutupnya banyak industri rakyat yang kalah
40 bersaing dengan industri-industri substitusi impor ini. Penggunaan teknologi padat modal dalam industri substitusi impor adalah akibat dari distorsi dalam harga relatif faktor-faktor produksi, terutama faktor modal dan tenaga buruh, yang timbul karena adanya kebijaksanaan pemberian fasilitas fiskal, kredit dan perlindungan tarif, bunga riil kredit menjadi sangat rendah bahkan negatif. Fasilitas ini dan fasilitas bea masuk untuk faktor modal membuat harga relatif faktor modal lebih murah dari harga relatif faktor buruh sehingga kalangan industrialis cenderung menggunakan teknologi padat modal. Pendapat lain mengatakan mengapa kalangan industrialis memilih teknologi padat modal karena tidak adanya basis teknologi industri di negara-negara sedang berkembang yang memungkinkan mereka menggunakan teknologi dalam negeri. Ketiadaan technological base ini adalah produk kebijaksanaan penjajah
di
zaman
kolonial
yang
pada
dasarnya
melaksanakan
deindustrialisasi di negeri-negeri ini. 2. Komposisi produksi dalam program industrialisasi substitusi impor banyak mengandung produksi barang-barang mewah untuk konsumsi kalangan berpendapatan tinggi, dimana nilai produksinya dibandingkan dengan nilai produksi barang-barang kebutuhan rakyat banyak tidak proporsional dengan jumlah penduduk berpendapatan tinggi. Produksi barang-barang mewah ini yang diiringi dengan bekerjanya demonstration effect dari kalangan berpendapatan tinggi mengakibatnya timbulnya suatu proses consumption liberalization dimana pola konsumsi tinggi menjalar ke seluruh strata masyarakat sehingga tingkat tabungan di dalam negeri menjadi lebih rendah dari yang seharusnya.
41 3. Program industrialisasi substitusi impor sangat tergantung pada input luar negeri. Hal ini terjadi karena, pertama, adanya suatu tingkah laku pemegang kebijaksanaan yang ingin meniru pola industri negara-negara maju, baik dalam teknologi yang digunakan maupun dalam jenis atau bentuk barang yang diproduksi. Kedua, adanya penguasaan pihak asing dalam keputusan produksi. Akibatnya, kendati program industrialisasi substitusi impor bersifat inward
looking
dalam
orientasi
pemasarannya,
tetapi
program
industrialisasinya bersifat outward looking dalam orientasi permintaannya terhadap input, sehingga kaitannya dengan sektor-sektor lainnya terutama sektor pertanian menjadi sangat minimal. Efek pengganda (multiplier effects) yang ditimbulkan investasi di sektor industri pada hakikatnya diekspor ke luar negeri, yang berarti bahwa kendati investasi di sektor industri memperbesar kapasitas produksi di dalam negeri, tetapi investasi ini tidak menimbulkan pertambahan permintaan efektif di dalam negeri dalam skala yang sama.
2.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor Industrialisasi substitusi impor yang pada awalnya didesain untuk menghemat devisa negara, tetapi pada kenyataannya justru menguras devisa. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian kebijaksanaan untuk
menggalakkan
ekspor. Untuk itu perangkat perangsang yang selama ini mengutamakan program substitusi impor diubah sehingga ekspor barang-barang industri dapat dirangsang. Oleh karena peningkatan industri-industri substitusi impor yang ada untuk tujuan ekspor sepenuhnya tidak dapat diharapkan untuk mengemban misi ekspor secara berarti, maka pemerintah di negara-negara berkembang memutuskan untuk
42 membuka lebih lebar lagi bagi pemasukan modal asing untuk tujuan investasi langsung yang berorientasi ekspor. Hal ini dapat dimungkinkan dapat terjadi, karena kebetulan adanya dua situasi yang berlaku di negara-negara maju. 1. Adanya kenaikan upah riil yang mencolok di negara-negara maju sehingga modal internasional mencari daerah investasi di luar negara-negara ini di mana terdapat upah buruh yang murah. 2. Adanya teknologi produksi untuk beberapa barang tertentu (misalnya komponen-komponen elektronika) yang memungkinkan pemecahan proses produksi atas berbagai unit dengan lokasi yang terpisah sebelum perakitan lengkap dilakukan. Ini menunjukkan adanya suatu pembagian kerja internasional (international vision of labor) di bawah suatu atap produksi. Faktor-faktor ini telah menyebabkan banyaknya perusahaan mancanegera yang membuka anak-anak perusahaan atau cabang-cabang unit produksinya di negara-negara berkembang di mana terdapat upah buruh murah. Hal ini mengakibatkan para pengambil kebijakan nasional dibayangi suatu ketakutan bahwa perusahaan-perusahaan ini akan menutup usahanya dan pindah ke negara lain yang masih mempunyai persediaan buruh yang murah. Negara-negara dengan buruh berlimpah dan bersedia dibayar murah tidak sukar dicari. Oleh sebab itu pengambil kebijaksanaan nasional di negara-negara berkembang dalam hal ini dipaksa, sadar atau tidak sadar, untuk bersikap toleran terhadap super eksploitasi tenaga manusia dan menekan setiap gerakan yang menuntut kenaikan upah. Penggalakan
industri
ekspor
melalui
pendirian
kawasan-kawasan
perdagangan bebas yang khusus menampung industri-industri yang dikuasai pihak asing, yang umumnya menghasilkan subcontracting exports, dilakukan bersamaan dengan penggalakan ekspor untuk industri-industri substitusi impor yang lama
43 beroperasi dan banyak menghadapi kapasitas berlebih sebagai akibat kejenuhan pasar dalam negeri. Mekanisme penggalakan ekspor terhadap industri-industri ini melalui suatu kebijaksanaan perdagangan luar negeri yang netral (neutral trade regime) yang mengandung penetapan kurs mata uang yang realistik (realistic exchange rate). Di samping itu, juga dengan menggalakkan industrialisasi berorientasi ekspor melalui pengolahan produk-produk pertanian (Owen dan Wood, 1997). Perdagangan luar negeri yang netral mengandung pengertian suatu liberalisasi impor. Pembatasan impor barang jadi yang selama ini dilakukan untuk merangsang perkembangan industri substitusi impor dianggap sebagai suatu hal yang menimbulkan distorsi dalam alokasi sumber-sumber ekonomi karena akan menjurus pada penumpukan terhadap produksi barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri sehingga produksi untuk ekspor tertinggal. Akibatnya negara-negara berkembang yang menjalankan kebijaksanaan yang mengutamakan industri substitusi impor mengalami kehilangan peluang untuk mengambil manfaat dari kelebihan komparatif (comparative advantage) dari produksi yang dapat diekspor. Penetapan kurs mata uang yang realistik dengan devaluasi misalnya, juga merupakan salah satu elemen dalam kebijaksanaan penggalakan ekspor barang-barang ekspor termasuk barang-barang industri. Inti perangkat kebijaksanaan ini ialah : untuk menaikkan ekspor, perangsang akan diberikan pada sektor ekspor, dan bersamaan dengan itu dilakukan liberalisasi impor untuk menghilangkan distorsi dalam alokasi sumber-sumber ekonomi. Program penonjolon ekspor sebagai kelanjutan dari program substitusi impor akan cenderung tidak membiarkan terjadinya kenaikan yang berarti dalam upah riil
44 para pekerja industri. Oleh karena itu akan mempertinggi harga pokok sehingga mengurangi daya saing barang-barang industri yang diekspor.
Hal ini
menunjukkan bahwa perangsang yang diberikan kepada para pengekspor dalam tahap penonjolan ekspor ini pada hakikatnya menimbulkan suatu proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan kelompok usahawan seperti yang pernah dialami oleh para industrialis substitusi impor. Oleh karena industrialis substitusi impor dan para pengekspor barang-barang industri sebagian besar merupakan kelompok yang sama, maka kelompok yang sama tetap terus menerima manfaat dari proses redistribusi pendapatan ini.
2.2.3. Strategi Klaster Industri Pada beberapa tahun terakhir ini, strategi industrialisasi lebih ditekankan pada upaya peningkatan daya saing industri melalui keterkaitan yang kuat antarindustri melalui pendekatan klaster industri. Konsep klaster menitikberatkan pada integrasi penuh dari seluruh kegiatan dari sepanjang rantai nilai (value chain) dengan sasaran utamanya adalah meningkatkan dan mewujudkan nilai tambah dari kegiatan hulu sampai kegiatan paling akhir (konsumen). Dalam pengembangan klaster industri, Industri Kecil dan Menengah (IKM) perlu dilibatkan melalui keterkaitan antara industri kecil sebagai sub-kontraktor dengan industri besar. Dalam menghadapi perubahan lingkungan terutama dengan adanya persaingan yang semakin ketat dan untuk mewujudkan nilai tambah yang semakin tinggi di dalam negeri, secara sistematis industri kecil menengah perlu melakukan perubahan strategi. Alternatif pengembangan strategi tersebut, dapat digunakan pendekatan klaster industri yang didasarkan pada aspek penciptaan “kompetensi inti” (core competence). Perumusan pengembangan dengan penciptaan kompetensi
45 inti, akan sangat berperan penting dalam pengembangan strategi berkesinambungan dan memberikan kontinuitas keunggulan bersaing sebagai tuntutan dari perubahan lingkungan (Prahalad dan Hamel, 1994). Di dalam konteks klaster industri, interaksi antara berbagai pihak pengguna dan penyedia dapat berlangsung intensif dan relatif kontinyu, karena berbagai hambatan akan dapat diminimalkan. Klaster industri yang berdaya saing dikembangkan melalui bentuk-bentuk kegiatan yang memungkinkan akses yang mudah terhadap infrastruktur fisik, teknologi, informasi pasar, sumber-sumber bahan baku, jasa-jasa pelayanan khusus dan pemasaran serta industri-industri terkait lainnya. Lingkungan strategis yang makin cepat berubah akan menuntut suatu perubahan yang mendasar dan seluruh perusahaan industri nasional untuk mengkonsentrasikan diri dalam memperkuat platform daya saing yang berkelanjutan agar bisa tetap bertahan. Semua pihak harus menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan seperti : 1. Tumbuhnya pesaing-pesaing baru baik di pasar domestik maupun pasar internasional. 2. Tingkat persaingan yang makin intensif. 3. Terjadinya proses globalisasi sistem produksi. 4. Tuntutan konsumen yang makin canggih. 5. Pasaran yang makin tersegmentasi. 6. Meningkatnya peluang pasar internsional. 7. Proses inovasi yang makin cepat 8. Makin singkatnya daur hidup (life cycle) dari produk.
46 9. Revolusi informasi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi (ebusiness, virtual entreprises) 10. Makin melonggarnya barier perdagangan melalui proses deregulasi. 11. Perjanjian dan lembaga perdagangan baik regional (AFTA) maupun internasional (WTO). 12. Privatisasi perusahaan-perusahaan serta fungsi-fungsi pemerintah. 13. Pemerintah tidak melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri. 14. Peningkatan peran usaha kecil dan menengah dalam percaturan ekonomi nasional. Dalam dekade terakhir ini beberapa negara telah mengembangkan konsep klaster dalam rangka antisipasi terhadap perubahan ekonomi secara global. Keberhasilan yang nyata telah terjadi di beberapa negara seperti Skotlandia, Maroko, Irlandia, Peru, Elsalvador, New Zealand, Meksiko, Malaysia dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Pendekatan klaster dapat diterapkan untuk setiap tingkat proses industrialisasi ataupun skala dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Telah terbukti adanya korelasi yang positif bahwa keberadaan suatu klaster yang kuat dan dinamis akan memperkuat platform daya saing, meningkatkan daya tarik terhadap investor serta menumbuhkan penyerapan tenaga kerja. Klaster
merupakan
aglomerasi
dari
perusahaan-perusahaan
beserta
komponen-komponen pendukungnya di dalam suatu wilayah tertentu.
Semua
komponen dalam klaster berperan secara sinergi sepanjang mata rantai nilai. Setiap perusahaan secara inheren merupakan bagian dari klaster, oleh karena keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu perusahaan tersendiri. Peningkatan efisiensi pada tingkat perusahaan sangat esensial, tetapi dalam persaingan global
47 hal tersebut tidaklah cukup. Empat elemen kunci dari suatu klaster terdiri dari adanya mata rantai nilai, jaringan pemasok, aglomerasi perusahaan serta infrastruktur ekonomi.
Telah dibuktikan bahwa gejala di seluruh dunia
memperlihatkan suatu klaster yang kuat dan dinamis akan melahirkan suatu keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Cakupan geografis sebuah klaster dapat berukuran satu kota, kabupaten, negara, ataupun berupa jaringan yang melibatkan beberapa negara yang bertetangga. Pada umumnya sebuah klaster beranggotakan perusahaan penghasil produk atau jasa; pemasok bahan baku dan penolong komponen, mesin-mesin; penyedia jasa; lembaga keuangan; serta perusahaan lain yang bergerak dalam industri terkait. Klaster juga dapat mencakup perusahaan di industri hilir; produsen produk/jasa komplementer; penyedia infrastruktur dan penyedia jasa pelatihan, pendidikan, riset, dan informasi. Lembaga pemerintah yang banyak berperan dalam suatu klaster juga dapat dianggap sebagai bagian dari klaster (Porter, 1996). Klaster industri dapat terbentuk dalam tingkat nasional, wilayah atau tingkat metropolitan.
Keterkaitan antara usaha akan sangat efektif dan mudah untuk
dikoordinasikan pada tingkat wilayah. Pada dasarnya pembentukan suatu klaster sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan dari sektor swasta, yaitu seorang champion sebagai salah satu unsur kritis yang hanya dapat diidentifikasikan dan direkrut dengan mudah di tingkat wilayah. Hal ini pula yang mempengaruhi kecenderungan pembentukan klaster di seluruh dunia. Program klaster industri secara geografis mendefinisikan suatu wilayah dan memobilisasi keterlibatan masyarakat seperti merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan adanya industri kunci di wilayah; atau merancang infrastruktur yang spesifik sesuai dengan kebutuhan wilayah.
48 Pengalaman beberapa negara memperlihatkan pula bahwa skala besar kecilnya suatu wilayah tidak menentukan keberhasilan suatu klaster.
Sebaliknya di
beberapa negara yang telah berhasil mengaplikasikan konsep klaster justru di kotakota kecil banyak berhasil dilaksanakan. Gagasan klaster memberikan makna baru bagi peran lokasi dalam persaingan di masa yang lalu, ketika persaingan dianggap bersifat statis dan terutama didasarkan atas minimasi biaya, lokasi dipandang sebagai sumber keunggulan komparatif (dalam hal faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal). Seiring dengan perjalanan waktu, persaingan menjadi lebih dinamis dan lebih didasarkan pada inovasi dan diferensiasi strategik, bukan lagi pada faktor produksi (input). Ada tiga kondisi yang membuat peran faktor produksi tidak lagi sepenting di masa yang lalu; sumber pasokan input menjadi lebih luas karena semakin banyak negara membuka diri bagi perekonomian global, pasar global maupun lokal menjadi makin efisien, dan intensitas persaingan tidak lagi setajam di masa yang lalu. Saat ini keterkaitan erat di antara pembeli, pemasok, dan institusi-institusi lain justru berperan penting dalam meningkatkan efisiensi inovasi. Jika dulu integrasi vertikal merupakan keharusan, lingkungan masa kini yang dinamis dapat membuat integrasi vertikal menjadi tidak efisien, tidak efektif, dan tidak fleksibel (Porter, 1996). Persaingan yang lebih dinamis membuat peran lokasi berubah. Dalam situasi yang dinamis ini lokasi berperan bagi keunggulan bersaing melalui pengaruhnya atas produktivitas dan pertumbuhan produktivitas. Dengan demikian, klaster menjadi berperan penting dalam menciptakan keunggulan bersaing. Gambar 6 menyajikan penggunaan Model Diamond yang dikaitkan dengan lokasi sebagai sumber keunggulan bersaing.
49 Menurut Wirabrata (1998), konsep klaster industri mentitikberatkan pada integrasi yang penuh dari seluruh kegiatan sepanjang mata rantai nilai (value chain). Sasaran utama pengembangan klaster industri adalah untuk meningkatkan dan mengembangkan nilai tambah sejak dari kegiatan paling hulu sampai kegiatan paling akhir, baik produk industri maupun jasa.
Secara umum strategi untuk
memperoleh dan meningkatkan nilai tambah dilakukan dengan proses mengikuti alur mata rantai nilai. Secara sederhana kegiatan ini akan melibatkan aktivitas penelitan dan pengembangan (R & D), rancangan awal produksi, kegiatan perbaikan, persiapan prototipe, rancangan proses, pengadaan komponen dan material, subrakitan, rakitan akhir, jaminan mutu, distribusi dan pemasaran. Konsep klaster industri melibatkan empat elemen kunci yang terdiri dari klaster, nilai tambah (value added) dan mata rantai nilai (value chain), pemasok utama serta infrastruktur ekonomi.
Elemen pertama, yaitu klaster,
memiliki
karakteristik yaitu tingkat hubungan yang intensif serta keterkaitan yang tinggi dan merupakan aglomerasi dari perusahaan-perusahaan yang merupakan anggota klaster yang membentuk kerjasama strategis dengan para pemasok bahkan dengan para pesaingnya. Demikian pula dalam suatu klaster mereka membentuk suatu fasilitas bersama untuk para pekerja yang berfungsi untuk mempercepat proses alih keterampilan. Perusahaan-perusahaan yang ada di dalam klaster memiliki jaringan kerja yang kuat dengan lembaga-lembaga setempat terutama dengan universitas. Selain itu, perusahaan-perusahaan dalam klaster memiliki pula jaringan kerja global dengan para subkontraktor, rekanan dan vendor. Elemen kedua, yaitu nilai tambah (value added) dan mata rantai nilai (value chain). Pengertian nilai tambah pada dasarnya merupakan konsep dasar dari
50
Firm Strategy and Rivalry Kondisi bagaimana usaha terbentuk, terorganisir, dan membentuk struktur persaingan yang sehat
Demand Conditions
Factor Conditions (Input)
Permintaan dalam negeri atau hasil produksi perusahaan dalam negeri yang dapat menyaingi produk impor
Posisi kemampuan produksi, tenaga kerja, infrastruktur, dan faktor kondisi lainnya
Related and Supporting Industries
Industri-industri pendukung (termasuk UKM), kemampuan pemasok, keterkaitan/jaringan kerja antar usaha yang dapat meningkatkan persaingan internasional
Sumber : Porter, 1996 Gambar 6. Penggunaan Model Diamond sebagai Sumber Keunggulan Bersaing perbedaan atau selisih dari nilai output dengan nilai input. Konsep industri itu sendiri berpijak pada peningkatan nilai tambah yang sebesar-besarnya sehingga makin besar nilai tambah yang diperoleh maka makin baik suatu proses industri
51 secara keseluruhan. Komponen nilai tambah terdiri dari kontribusi yang diberikan oleh tenaga kerja (labor contribution) ditambah kontribusi modal (capital contribution). Secara parsial, untuk suatu proses tertentu besarnya nilai tambah sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas tenaga kerja maupun produktivitas modal.
Dalam konsep lain, secara integral peningkatan nilai dapat diperoleh
dengan merangkaikan masing-masing proses sejak kegiatan di hulu sampai kegiatan paling hilir. Prinsip inilah yang menjadi pijakan dasar dari konsep klaster industri. Elemen ketiga, yaitu pemasok utama merupakan salah satu pemeran utama dalam pengembangan klaster industri.
Dalam lingkup global perusahaan-
perusahaan pemasok utama dapat bersumber dari luar negeri (outsourcing) dimana masing-masing pemasok dapat mengkonsentrasikan dirinya pada kegiatan inti atau kompetensi dirinya. Pengelompokkan pemasok utama biasanya terdiri dari : suku cadang dan komponen; layanan bisnis (finansial, akuntansi, periklanan, distribusi dan pemasaran); layanan logistik (perantara, pergudangan, transportasi); layanan keteknikan (arsitektur, pengujian, lingkungan hidup, konsultan manajemen); layanan fasilitas elektronik (pengolahan data, sistem informasi manajemen, local area network); penelitian dan pengembangan (pengembangan perangkat lunak, desain industri, pengembangan produk); produsen bahan (material bukan logam, logam dasar, paduan logam khusus dan komposit); permesinan (tool and die, mesin peralatan, mesin perangkat, perancangan mesin, fabrikasi, pemeliharaan mesin canggih); pengemasan (plastik, gelas, kertas serta barang-barang cetakan). Pengembangan elemen pemasok ini merupakan salah satu elemen kritis dalam pengembangan suatu klaster. Persyaratan yang harus dipenuhi baik untuk pemasok
52 di dalam negeri maupun pemasok dari luar negeri adalah tingkat mutu yang berstandar internasional.
Persyaratan mutu internasional tersebut merupakan
prasyarat yang harus dipenuhi terutama dalam persaingan pasar global. Dalam pengembangan suatu klaster pembinaan terhadap pemasok di dalam negeri merupakan langkah strategis yang harus ditempuh secara berkesinambungan. Elemen keempat yaitu infrastruktur ekonomi merupakan pendukung yang sangat penting dalam rangka mengembangkan suatu klaster industri. Infrastruktur ekonomi yang dinamis untuk mendukung pengembangan suatu klaster industri antara lain meliputi infrastruktur perangkat lunak (software infrastructure) dan infrastuktur perangkat keras (hardware infrastructure).
Infrastruktur perangkat
keras terdiri dari fasilitas penyediaan tenaga listrik, air, jalan, pelabuhan, terminal peti kemas dan lain-lain. Sedangkan infrastruktur perangkat lunak dapat meliputi percepatan iklim usaha yang kondusif (deregulasi dan debirokratisasi), layanan litbang, dan akses teknologi, ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. Tidak bisa dihindari, pemerintah memainkan berbagai macam peranan di dalam ekonomi. Peranan terbesar pemerintah dalam bidang ekonomi adalah untuk mencapai makro-ekonomi dan stabilitas politik.
Peranan ini dibentuk melalui
kelembagaan pemerintah yang stabil, kerangka dasar ekonomi yang konsisten dan kebijakan makro-ekonomi termasuk kebijakan keuangan pemerintah dan inflasi yang rendah. Peranan pemerintah kedua adalah untuk memperbaiki kapasitas ekonomi secara umum melalui perbaikan efisiensi dan kelembagaan. Peranan pemerintah ketiga, adalah untuk membuat peraturan mikro-ekonomi keseluruhan dan inseting
competition governing yang akan mengurangi pertumbuhan
produktivitasnya (Porter, 1996).
53 Klaster memberikan kesempatan untuk memperbaiki produktivitas dan mendukung kenaikan upah. Setiap klaster tidak hanya menyumbang secara langsung terhadap produktivitas nasional, tetapi juga dapat mempengaruhi klasterklaster lainnya. Ini berarti bahwa klaster tradisional seperti pertanian tidak harus ditinggalkan tetapi di-upgrade. Pemerintah harus memperkuat kemunculan klaster daripada mencoba menciptakan sesuatu yang baru. Pendekatan
klaster
terhadap
pendekatan
ekonomi
kadang-kadang
dibingungkan dengan kebijakan industri. Dalam kenyataanya teori klaster dan kebijakan industri berbeda secara fundamental. Kebijakan industri bertujuan untuk mengubah kompetisi dalam lokasi tertentu, sementara teori klaster terfokus pada penghilangan pembatas pada pertumbuhan produktivitas. Teori klaster tidak menekankan pada sasaran pasar tetapi pada perbaikan-perbaikan secara dinamis. Keberadaan klaster memberi kesan bahwa banyak potensi perusahaan untuk mencapai keuntungan kompetitif baik di dalam keefektifan operasional maupun di dalam penyusunan strategi terletak di luar perusahaan dan bahkan di luar industri. Teori klaster menyarankan tugas dan peranan baru bagi perusahaan-perusahaan. Analisis klaster harus menjadi bagian dari penafsiran yang kompetitif bersamasama dengan perusahaan dan analisis industri (Porter, 1996). Keterkaitan erat sepanjang rantai nilai berperan penting dalam meningkatkan efisiensi inovasi, namun pengintegrasian pada rantai nilai juga harus bersifat selektif dan terfokus pada yang memberikan nilai tambah yang tinggi. Pengertian nilai tambah adalah perbedaan atau selisih dari nilai output dengan nilai input. Konsep industri itu sendiri berpijak pada pengembangan nilai tambah yang sebesarbesarnya, sehingga makin besar nilai tambah yang diperoleh makin baik suatu
54 proses industri (Wirabrata, 1998). Dalam konsep klaster industri ini, peningkatan nilai tambah diperoleh dengan merangkaikan masing-masing proses sejak kegiatan di hulu (petani) sampai kegiatan yang paling hilir. Di samping itu, besarnya nilai tambah sangat menentukan oleh tingkat produktivitas. Strategi untuk meningkatkan nilai tambah pada industri adalah bergerak dalam seluruh alur mata rantai nilai baik bergerak ke kiri melalui penguasaan dari disain produk maupun bergerak ke kanan dengan lebih menguasai aspek pemasaran. Secara lebih detail, upaya peningkatan nilai tambah dapat dilihat pada Gambar 7.
2.2.4. Industrialiasi di Indonesia Selama periode dari akhir tahun 1980-an sampai dengan sebelum krisis mata uang Asia pada tahun 1997, pembangunan ekonomi Indonesia mendapat perhatian dari berbagai negara, seperti halnya Malaysia dan Thailand yang tergabung dalam kelompok negara ASEAN. Bank Dunia melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu perekonomian di Asia Timur dengan kinerja ekonomi yang tinggi, terutama dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Bank Dunia, 1993). Industri non-migas menjadi kekuatan pendorong di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode tersebut. Sejak krisis mata uang Asia tahun 1997, sektor industri di Indonesia terperosok dalam situasi yang sulit. Perekonomian Indonesia masih dalam proses perkembangan, dan sesuai dengan sejarah perubahan struktural industri di negara-negara lain, industri Indonesia masih dapat diandalkan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Ishida (2003) melakukan kajian untuk mengetahui kondisi terkini sektor industri
Indonesia dan untuk itu melihat kembali proses industrialisasi yang
55 dilakukan Indonesia. Ia membagi periode pembangunan industri Indonesia ke dalam 4 periode yaitu :
Nilai Tambah
Per Tenaga Kerja
R&D
Pengembangan Manufakturing Distribusi Produk ( - Produksi Penuh & Logistik
Penjualan Pemasaran &
- Perakitan)
Aktivitas Rantai Nilai Tambah Penjelasan "bergerak sepanjang rantai" (Meningkatkan nilai tambah)
"Menaikkan rantai nilai" (meningkatkan produktivitas)
Sumber : Departemen Perindustrian, 2008 Gambar 7. Peningkatan Nilai Tambah Sepanjang Rantai Nilai
1. Industrialisasi substitusi impor dan industrialisasi spektrum luas (broad-base industrialization) untuk orientasi ekspor periode tahun 1971 – 1985 2. Era orientasi ekspor dan substitusi impor selektif periode tahun 1985 – 1990 3. Penurunan orientasi ekspor dan kebangkitan kembali substitusi impor periode
56 tahun 1990 – 1995 4. Perubahan struktur industri akibat krisis ekonomi periode tahun 1995 – 1999 Ishida (2003) mencoba untuk melakukan analisis perjalanan industrialisasi Indonesia dengan menggunakan dua ukuran yaitu substitusi impor dan orientasi ekspor. Alasan pendekatan ini adalah bahwa substitusi impor pada awalnya diperlukan bagi suatu industri moderen untuk keluar dari sektor konvensional termasuk pertanian dan produk-produk yang diproses secara sederhana. Selama periode setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak memiliki sektor industri moderen dan secara total sangat tergantung pada impor untuk produk-produk yang dibutuhkan pada proses industri moderen. Industrialisasi sektor moderen dimulai dengan substitusi impor dengan membangun pabrik-pabrik domestik untuk produk-produk industri yang sebelumnya diimpor. Pembangunan pabrik-pabrik moderen membutuhkan impor mesin-mesin dan barang modal lainnya, dimana impor produk-produk kapital membutuhkan mata uang asing, dan
selanjutnya untuk mendapatkan mata uang asing
dibutuhkan ekspor. Penelitian pada proses pembangunan ekonomi di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan menunjukkan bahwa mata uang asing pada awalnya diperoleh melalui ekspor produk-produk konvensional seperti produk-produk pertanian dan tahap awal substitusi impor dimulai dengan industri ringan melalui impor mesin-mesin yang didanai dari mata uang asing yang diperoleh dari ekspor produk-produk konvensional. Namun demikian, ekspor produk-produk industri menghasilkan lebih banyak mata uang asing dibandingkan dengan pertanian dan produk-produk primer lainnya. Hal ini karena produk-produk industri membutuhkan teknologi yang lebih maju dan mempunyai nilai tambah yang lebih besar dengan harga-harga internasional untuk produk-produk industri yang lebih
57 stabil dibandingkan dengan produk-produk primer. Karena alasan ini, ketika industri ringan telah cukup berkembang untuk memenuhi permintaan domestik, maka ekspor produk-produk industri ringan mulai dilakukan. Pada tahap ini, suatu perekonomian yang sedang berkembang memasuki tahap orientasi ekspor, mulai mengarah pada produk-produk industri ringan yang beragam untuk menggantikan ekspor produk-produk primer dan produk-produk konvensional (Ishida, 2003). Kondisi yang hampir sama terjadi dimana produk-produk industri berat membutuhkan teknologi yang lebih maju lagi daripada yang dibutuhkan untuk membuat produk-produk industri ringan, dan biaya pembelian produk-produk kapital menjadi lebih besar.
Untuk alasan ini, produk-produk industri berat
mempunyai tingkat kelangkaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produkproduk industri ringan, mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi, dan manfaat dari harga pasar internasional yang lebih stabil. Sebagai konsekuensinya, sebagaimana tahap untuk mengikuti ekspor produk-produk industri ringan, suatu ekonomi yang sedang berkembang membeli barang-barang modal untuk pengembangan sektor industri berat dengan mata uang asing yang diperoleh dari ekspor produk-produk industri ringan, selanjutnya memasuki periode substitusi impor kedua ketika ekonomi yang sedang berkembang fokus pada pengembangan industri berat untuk memproduksi barang-barang modal, produk-produk antara dan produk-produk konsumen tahan lama yang sebelumnya tergantung pada impor.
Kemudian, ketika sektor industri berat telah berkembang dan telah
memenuhi permintaan domestik, ekonomi yang sedang berkembang memasuki suatu periode dimana item-item ekspor bergeser dari produk-produk industri
58 ringan menjadi produk-produk industri berat, atau tahap orientasi ekspor pada produk-produk industri berat. Secara umum, perkembangan ekonomi mencakup tahapan-tahapan proses seperti yang telah diuraikan di atas. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan industri industri membutuhkan proses substitusi impor dan orientasi ekspor. Pada saat yang bersamaan, hal itu berarti bahwa proses substitusi impor dan orientasi ekspor secara alamiah memerlukan peningkatan nilai tambah dari produksi sektor industri. Banyak negara-negara sedang berkembang bertujuan untuk melakukan substitusi impor dan orientasi ekspor pada kebijakan industrialisasi mereka karena kedua-duanya dibutuhkan pada proses industrialisasi. Pada upaya merunut kembali jalur industrialisasi, penting untuk mengkaji kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk promosi substitusi impor dan orientasi ekspor dan juga melihat apakah kedua proses tersebut secara aktual membuat kemajuan pada industri oleh suatu basis industri lainnya. Untuk
melihat
proses
industrialisasi
di
Indonesia,
perlu
untuk
memperhatikan tiga hal berikut ini. Pertama, kondisi awal industrialisasi di Indonesia berbeda dari apa yang terjadi di Jepang, Taiwan atau Korea Selatan dimana Indonesia mempunyai tenaga kerja yang tidak terlatih yang melimpah dan juga melimpahnya sumber daya alam. Kedua, ketika Indonesia dengan cepat mengalami proses industrialisasi moderen karena tingginya harga minyak mentah membawa berkah pada tingginya pendapatan akibat dari ekspor minyak mentah pada peringkat pertama dalam perolehan devisa. Hal ini membuat industrialisasi Indonesia berbeda dengan industrialisasi di Korea Selatan atau Taiwan dimana pada tahap pertama industrialisasi mengarah pada industrialisasi penuh ketika substitusi impor untuk produk-produk industri berat bersamaan dengan substitusi
59 impor untuk produk-produk industri ringan. Ketiga, pengembangan industriindustri ringan di Indonesia terjadi setelah beroperasinya industri-industri berat, karena turunnya harga minyak mentah dunia membuat Indonesia harus keluar dari ketergantungan pada minyak dan gas bumi. Hal ini memaksa Indonesia untuk
untuk bergeser dari kebijakan proteksi industri, sebagai implementasi
substitusi impor, pada kebijakan orientasi ekspor, pergeseran ini berkontribusi pada pengembangan industri-industri ringan pada tahap ini. Ishida (2003) menggunakan indikator substitusi impor dari rasio impor terhadap permintaan domestik untuk setiap sektor industri (rasio impor) dan rasio komposisi impor setiap sektor terhadap total impor barang-barang industri (rasio komposisi impor). Sementara itu untuk indikator orientasi ekspor digunakan rasio ekspor terhadap total penawaran domestik (rasio ekspor) dan rasio komposisi ekspor setiap sektor terhadap total ekspor barang-barang industri (rasio komposisi ekspor). Sementara itu, menurut Departemen Perindustrian (2005), secara kronologis kebijakan pengembangan industri dapat digambarkan bahwa dalam periode rehabilitasi dan stabilisasi (tahun 1967-1972) serta terjadinya boom minyak (tahun 1973-1981), kebijakan yang diterapkan adalah mendorong tumbuhnya industri substitusi impor, seperti industri tekstil dan produk tekstil, kertas, semen, makanan dan minuman. Indonesia, di bawah pemerintahan Order Baru, membuka diri terhadap investasi asing yang ditandai dengan penetapan UU No. 1 tahun 1967. Kebijakan ini mengindikasikan liberalisasi pada awal era pemerintahan ORBA.
Upaya
menarik pemodal asing dilakukan berkaitan dengan usaha menggairahkan
60 perekonomian nasional yang lesu pasca pemerintahan ORLA. Pada saat itu, pemerintah dihadapkan pada dua pilihan dilematis. Di satu sisi, kebijakan “pintu terbuka” akan menggairahkan perekonomian dengan aliran modal, teknologi dan penyerapan tenaga kerja, sementara itu di sisi lain, terdapat ancaman kemungkinan dominasi perekonomian oleh PMA (Pangestu, 1995 dalam Kuncoro, 2007). Sejak awal dekade 1970-an hingga pertengahan dekade 1980-an, pemerintah mengembangkan strategi Industri Substitusi Impor (ISI). Strategi industrialiasi bertujuan menghemat devisa dengan cara mengembangkan industri yang menghasilkan barang pengganti impor. Dengan berdasarkan pada strategi tersebut, pemerintah membatasi masuknya investor asing dengan berbagai ketentuan, antara lain pembatasan pemberian lisensi; penetapan pangsa modal PMA relatif terhadap modal domestik; dan pelarangan PMA bergerak di sektor pertahanan-keamanan, sektor strategis (telekomunikasi) dan sektor publik (listrik dan air minum) (Pangestu, 1995 dalam Kuncoro, 2007). Meskipun strategi ISI diharapkan mampu menghemat devisa negara, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Industri substitusi impor ternyata justru menguras cadangan devisa karena penekanan produksi barang mewah yang berteknologi tinggi dan padat modal. Industri pun sangat tergantung pada pasokan input negaranegara maju. Akibatnya, industri-industri yang ada banyak menguras devisa untuk pembelian barang modal dan input antara yang sebagian besar harus diimpor (Arief, 1998 dalam Kuncoro, 2007). Dengan membaiknya harga minyak (boom minyak), kebijakan yang ditempuh adalah mengupayakan agar industri mampu mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi.
Hal ini tentunya dengan harapan selain dapat
menghasilkan produk-produk konsumsi, substitusi impor, juga dapat menimbulkan
61 dampak pembangunan pada kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya yang terkait (trickle-down effect). Akan tetapi di dalam pelaksanaannya, meskipun kegiatan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, ternyata juga menimbulkan kesenjangan pendapatan di dalam masyarakat (social gap) mengingat pelaksanaan pembangunan, serta yang menikmati hasil-hasilnya sebagian besar masih terfokus pada beberapa kelompok masyarakat tertentu. Sementara dampak hasil pembangunan yang mengalir kepada sebagian besar anggota masyarakat lainnya masih sangat terbatas. Dengan melemahnya harga minyak pada era tahun 1982-1996, kebijakan dari tujuan semula hanya untuk pengembangan industri substitusi impor, ditambah misi baru dari pemerintah, yaitu pengembangan industri berorientasi ekspor yang harus didukung oleh usaha pendalaman dan pemantapan struktur industri. Kebijakan ini mulai diterapkan pada industri kimia, logam, kendaraan bermotor, industri mesin listrik/peralatan listrik dan industri alat/mesin pertanian. Di bidang industri padat teknologi dikembangkan penguasaan teknologi di beberapa bidang seperti pesawat terbang, permesinan dan perkapalan. Sedangkan langkah-langkah kebijakan yang diterapkan sejak terjadinya krisis moneter sampai dengan sekarang adalah program revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri. Kebijakan yang ditempuh dengan tujuan untuk mengembalikan kinerja industri yang terpuruk akibat goncangan krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis multidimensi.
Industri-industri yang direvitalisasi adalah industri yang
mempekerjakan banyak tenaga kerja serta yang memiliki kemampuan ekspor.
62 2.2.5. Reindustrialisasi Berbeda dengan istilah deindustrialisasi yang sudah populer, istilah reindustiraliasasi mulai sering terdengar di Indonesia sekitar awal tahun 2008 sehingga tulisan mengenai konsep reindustrialisasi di Indonesia masih sangat minim. Reindustrialisasi adalah melakukan perubahan dan perbaikan secara holistik dan komprehensif dalam proses industrialisasi untuk mendorong pembangunan industri manufaktur nasional (Kementerian Perindustrian, 2010). Reindustrialisasi juga merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian perekonomian Indonesia (Hariyadi BS., 2009). Hal ini sejalan dengan Ine Mirana (2008) yang berpendapat bahwa reindustrialisasi adalah kembali menempatkan pembangunan industri sebagai cara penting dalam memecahkan masalah ekonomi dan sosial, artinya memposisikan sektor industri sebagai agen pembangunan dalam rangka memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Strategi Reindustrialisasi menurut Adzic (2008) antara lain: (1) melakukan liberalisasi komoditi, keuangan dan teknologi maju dan metode pengelolaan kegiatan ekonomi, (2) privatisasi pembangunan, (3) peningkatan peran jasa dan teknologi informasi dalam rangka penciptaan nilai tambah, dan (4) pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan beberapa konsep reindustrialisasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa
reindustrialisasi
dimaksudkan
untuk
melakukan
perubahan
dan
pembangunan kembali serta perbaikan secara sistematik dan komprehensif dalam proses industrialisasi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing industri yang berkelanjutan.
63 Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, upaya pemanfaatan seluruh sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada harus dilakukan secara optimal. Esensi daya saing yang berkelanjutan tersebut terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber daya produktif, untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih kompetitif, lebih baik, dan lebih mudah didapat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar. Menurut Mulyadi (2010), pembangunan industri nasional perlu dilaksanakan secara sinergi, terintegrasi dan holistik melalui Trilogi Pembangunan Industri yaitu : pertumbuhan, pemerataan dan persebaran. Berlandaskan trilogi pembangunan industri tersebut, maka strategi reindustrialisasi akan difokuskan pada 5 (lima) upaya antara lain: 1.
Melakukan revitalisasi industri yang memiliki peluang untuk menjadi industri kelas dunia dan memiliki keunggulan komparatif, seperti industri berbasis CPO, petrokimia termasuk pupuk, industri gula, industri semen, dan industri rumput laut, serta industri pengolahan berbasis SDA lainnya, seperti kayu dan rotan, kakao, karet dan hasil laut. Dalam
melakukan upaya ini, perlu dilakukan
pendekatan secara integratif dan holistik melalui pengembangan klaster industri. 2. Melakukan penguatan struktur industri termasuk industri mesin dan peralatan. Kurang lengkapnya dan kuatnya struktur industri mencerminkan belum kokohnya
kemampuan
industri
dan
strategi
yang
diterapkan
dalam
pengembangannya. Indikasi lemahnya struktur industri selama ini adalah tingginya tingkat ketergantungan impor barang modal, bahan baku dan penolong dari luar negeri, masih rendahnya tingkat nilai tambah yang dihasilkan, masih
64 terbatas mata rantai pengolahan industri, penggunaan teknologi dengan biaya tinggi yang kurang efisien, sehingga mengakibatkan belum optimalnya pembentukan nilai tambah di sektor industri. Penguatan struktur industri yang kukuh dan kuat dapat dilakukan melalui peningkatan keterkaitan baik antara sektor industri dengan sektor ekonomi lainnya dalam rangka pelipatangandaan nilai tambah, efesiensi pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki. 3. Membangun daya saing industri di daerah, upaya ini dilakukan secara kolaboratif
antara
pemerintah
pusat
dan
daerah
dengan
pendekatan
pengembangan kompetensi inti industri daerah. Peningkatan daya saing industri di daerah tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi menghadapi berbagai kendala dan tantangan berat terutama dikarenakan banyaknya
perangkat
daerah
yang
harus
disiapkan,
diantaranya
(1)
kelembagaan, (2) tenaga kerja, (3) ekonomi daerah, (4) keamanan, politik, dan sosial budaya, serta (5) infrastruktur fisik. Upaya untuk meningkatkan daya saing industri di daearah dilakukan melalui penetapan kompetensi inti industri daerah yang berlandaskan pada keunggulan yang dimiliki daerah. Kompetensi inti adalah suatu kumpulan yang terintegrasi dari serangkaian keahlian dan teknologi yang merupakan akumulasi dari pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis. 4. Pengembangan dan penerapan teknologi industri masa depan termasuk nanoteknologi, bio-teknologi, perangkat lunak, teknologi informasi dan peralatan komunikasi, serta peralatan energi dan lingkungan. Upaya ini bertujuan untuk penumbuhan industri berbasis teknologi bio dan nano, dengan harapan akan meningkatnya jumlah populasi industri berbasis bio dan nano teknologi, dan meningkatnya nilai tambah produk industri berbasis bio dan nano teknologi.
65 5. Memperkuat peranan
Industri
Kecil
dan
Menengah (IKM) dan industri
kreatif melalui pembangunan pusat-pusat pengembangan inovasi di sentra-sentra IKM dan menjalin pola kemitraan antar IKM dengan stakeholders di daerah, seperti dengan lembaga Perguruan Tinggi, perbankan dan industri besar. Jalinan kemitraan ini harus didasarkan atas prinsip sinergi, yaitu saling membutuhkan dan saling membantu. Prinsip saling membutuhkan akan menjamin kemitraan berjalan lebih langgeng karena bersifat alami. Berlandaskan prinsip ini, usaha besar akan selalu mengajak industri kecil sebagai partner in progress.
2.3. Keragaan Industri Non-Migas Nasional 2.3.1. Indikator Makro Industri Satu tahun sebelum terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas terhadap PDB nasional sebesar 22.1 persen, pada tahun 2003 sebesar 25.0 persen, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 21.55 persen. Gambaran industri yang memberikan sumbangan terbesar terhadap PDB pada tahun 2010 adalah industri makanan, minuman dan tembakau serta industri alat angkut, mesin dan peralatan masing-masing berturut-turut 7.24 dan 6.06 persen.
Kontribusi
terbesar lainnya adalah industri pupuk, kimia serta barang dari karet sebesar 2.74 persen (Kementerian Perindustrian, 2011). Sebelum terjadinya krisis, laju pertumbuhan industri non-migas berkisar 12 persen. Pada tahun 1997 pertumbuhan ini menurun menjadi 6.1 persen, bahkan pada tahun 1998 menjadi minus 13.3 persen. Laju pertumbuhan industri non-migas pada tahun 2008, 2009 dan 2010 berturut-turut adalah 4.05, 2.52 dan 5.09 persen. Pada tahun 2010, laju pertumbuhan tertinggi tercatat pada industri alat angkutan,
66 mesin dan peralatan yaitu 10.35 persen, yang kemudian disusul oleh industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 4.67 persen, serta industri barang lainnya sebesar 2.98 persen (Kementerian Perindustrian, 2011). Pertumbuhan dan kontribusi serta kinerja industri terhadap perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Pertumbuhan dan Kontribusi serta Kinerja Industri Non-Migas terhadap Perekonomian Nasional Tahun 2010 (Persen) No. Industri Non-migas Pertumbuhan Kontribusi terhadap PDB 1 Makanan, Minuman dan Tembakau 2.73 7.24 2 Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 1.74 1.93 3 Barang Kayu dan Hasil Hutan Lain -3.50 1.25 4 Kertas dan Barang Cetakan 1.64 1.02 5 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 4.67 2.74 6 Semen, Bahan Galian Bukan Logam 2.16 0.71 7 Logam Dasar Besi dan Baja 2.56 0.42 8 Alat Angkut, Mesin dan Peralatan 10.35 6.06 9 Barang Lainnya 2.98 0.16 Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011
2.3.2. Struktur Industri Sektor industri non-migas selama tahun 2006-2010 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4.4 persen per tahun. Angka pertumbuhan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor ekonomi sebesar 5.7 persen per tahun. Peran sektor industri non-migas terhadap perekonomian nasional menurun dari 24.87 persen pada tahun 2005 menjadi 21.55 persen pada tahun 2010. Hampir sekitar 60 persen output sektor industri ternyata didominasi oleh industri padat tenaga kerja, dimana mata rantainya relatif pendek
sehingga penciptaan nilai
tambah juga relatif kecil. Akan tetapi, karena besarnya populasi unit usaha, maka
67 kontribusinya terhadap perekonomian menjadi sangat penting (Kementerian Perindustrian, 2011). Struktur industri selama kurun waktu 2005-2010 relatif tidak terjadi perubahan yang berarti.
Cabang industri yang memberikan efek berganda
(keterkaitan) yang kecil, seperti yang terjadi pada industri makanan, minuman dan tembakau meningkat dari 27.41 persen pada tahun 2005 menjadi 33.60 persen pada tahun 2010, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya menurun dari 4.55 persen pada tahun 2005 menjadi 5.82 persen pada tahun 2010, dan untuk industri kertas dan barang cetakan turun dari 5.41 persen pada tahun 2005 menjadi 4.75 persen pada tahun 2010. Untuk cabang industri yang mempunyai tingkat keterkaitan yang kuat, peranannya ada yang menurun dan ada pula yang meningkat, seperti industri pupuk, kimia dan barang dari karet menurun dari 13.39 persen pada tahun 2005 menjadi 12.72 persen pada tahun 2010, industri alat angkut, mesin dan peralatan turun dari 30.87 persen pada tahun 2005 menjadi 28.14 persen pada tahun 2010. Gambaran tentang perkembangan struktur industri dapat dilihat pada Tabel 12. Sementara itu, ditinjau dari persebaran wilayah, sebanyak 66.95 persen industri terkonsentrasi di Pulau Jawa, sisanya di luar Pulau Jawa dan Bali. Lokasi industri untuk Pulau Jawa, terbanyak berada di Jawa Tengah sebesar 38.71 persen, diikuti Jawa Timur 31.05 persen dan Jawa Barat sebesar 21.29 persen. Sedangkan di luar Pulau Jawa, terkonsentrasi di Sumatera 12.61 persen. Persebaran industri di kawasan timur Indonesia sebesar 11.89 persen meliputi Pulau Sulawesi, Maluku dan Papua. Industri yang berada di Maluku dan Papua masih sangat rendah sebesar 4.31 persen. Cabang industri yang berlokasi di pulau Bali, NTB, NTT sebanyak
68 0.79 persen. Secara lebih lengkap, persebaran industri di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 14.
Tabel 12. Struktur Industri Non-Migas (Persen) No.
Cabang Industri
Makanan, Minuman dan Tembakau 2 Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 3 Barang Kayu dan Hasil Hutan Lain 4 Kertas dan Barang Cetakan 5 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 6 Semen, Bahan Galian Bukan Logam 7 Logam Dasar Besi dan Baja 8 Alat Angkut, Mesin dan Peralatan 9 Barang Lainnya Industri tanpa Migas
2005
2006
2007
2008
2010
27.41
27.92
27.89
27.43
33.60
12.25
11.78
10.79
10.00
8.97
4.55 5.41
4.29 5.24
4.01 5.27
3.99 4.99
5.82 4.75
13.39
13.29
13.35
13.41
12.72
3.53 1.74
3.37 1.73
3.31 1.68
3.13 1.58
3.29 1.95
30.87 0.85 100,00
31.54 0.84 100.00
32.92 0.78 100.00
34.73 0.74 100.00
28.14 0.76 100.00
1
Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011
Tabel 13. Persebaran Industri di Pulau Jawa
Provinsi
PDRB (Triliun Rp)
Banten 92.52 Jawa Barat 345.60 DKI Jakarta 158.10 Jawa Tengah 91.99 DI Yogyakarta 7.40 Jawa Timur 246.10 Total 941.71 Sumber: BPS Diolah Depperin, 2009
Unit Usaha 78 959 460 341 37 749 837 114 76 616 671 490 2 162 269
Persen 3.65 21.29 1.75 38.71 3.54 31.05 100.00
Pangsa terhadap PDB Indonesia (%) 7.37 27.52 12.59 7.33 0.59 19.60 75.00
Jumlah unit usaha masih didominasi di Pulau Jawa sebesar 1 418 895 dan sebesar 871 394 unit berada di luar pulau Jawa. Sumbangan PDB dari sejumlah industri di Pulau Jawa sebesar 941.71 triliun dengan pangsa terhadap PDB industri
69 sebesar 75 persen (Tabel 14). Sedangkan sumbangan PDRB Indonesia di luar Pulau Jawa berasal dari Pulau Sumatera terutama dari Riau dan Riau Kepelauan, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan sebesar 199.18 triliun atau 21 persen dari PDRB Pulau Jawa. Sementara itu Kalimantan memberikan sumbangan PDRB industri sebesar 43.72 triliun.
Tabel 14. Persebaran Industri di Indonesia 1998 No
Wilayah/Provinsi
I
Jawa 1. DKI Jakarta 2. Jabar dan Banten 3. Jawa tengah 4. DIY 5. Jawa Timur Luar Jawa 1. Sumatera 2. Kalimantan 3. Bali/NTB/NTT 4. Sulawesi 5. Maluku / Papua Indonesia
II
Unit Usaha 1 418 895 22 436
2003
61.95 1.01
Unit Usaha 1 893 768 23 733
314 014
13.71
556 748 75 131 450 566 871 394 288 829 97 738 212 680 173 543 19 604 2 290 298
24.31 3.28 19.67 38.05 12.61 4.27 9.29 7.58 4.31 100 00
Persen
2006
62.50 0.78
Unit Usaha 2 162 269 37 749
387 983
12.80
539 300
16,70
798 814 133 613 549 625 1 136 342 381 611 694 844 333 989 246 614 27 684 3 030 116
26.36 4.41 18.14 37.50 12.60 4.83 11.02 8.14 0.91 100 00
837 114 76 616 671 490 1 067 234 404 827 121 018 278 847 231 561 30 981 3 229 503
25,92 2,37 20,79 33,05 12,54 3,75 8,63 7,17 0,96 100 00
Persen
Persen 66,95 1,17
Sumber: BPS Diolah Depperin, 2009 Catatan : 1. Unit usaha meliputi : industri mikro, industri kecil, industri menengah dan industri besar 2. Status badan hukum : BUMN, BUMD, PT, CV, Firma, Koperasi, Yayasan, lainnya, tidak berbadan hukum.
2.3.3. Tenaga Kerja Sektor Industri Sektor industri cukup berperan dalam penciptaan lapangan kerja yaitu mampu menyerap tenaga kerja hampir 12 juta orang pada tahun 2006. Sayangnya, bila dikaitkan dengan latar belakang pendidikan formal tenaga kerja yang terserap tersebut, data tahun 2008 menunjukkan bahwa kurang lebih 37 persen diantaranya
70 berpendidikan sekolah dasar dan 34 persen berpendidikan SMTP dan SMTA. Komposisi
tenaga
kerja
ini
merupakan
masalah
struktural
di
bidang
ketenagakerjaan sektor industri karena tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitasnya. Keadaan seperti ini memerlukan perhatian untuk ke depan, terutama bagi industri yang berorientasi ke pasar global (Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, 2009). Walaupun secara absolut jumlah tenaga kerja yang diserap sektor industri mengalami peningkatan (Tabel 15), namun tetap tidak sebanding dengan pangsa nilai tambahnya. Pada tahun 2006, nilai tambah sektor industri terhadap PDB adalah sebesar 25.25 persen, namun penyerapan tenaga kerjanya hanya sekitar 13.49 persen dari total tenaga kerja nasional. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri belum mampu menarik lebih banyak lagi tenaga kerja dari sektor pertanian yang bebannya semakin berat menanggung hampir 43.71 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2006.
Tabel 15. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Skala Usaha Pangsa terhadap Tenaga Kerja Tahun Kecil Menengah Besar Total Nasional 1997 6 390 888 3 676 277 242 973 10 310 138 15.72 1998 4 986 156 3 343 371 220 971 8 550 498 13.22 1999 6 771 882 3 363 641 222 311 10 357 834 15.34 2000 6 968 297 3 461 201 228 758 10 658 256 15.06 2001 6 862 203 3 408 503 225 275 10 495 981 14.37 2002 7 074 711 3 514 058 232 252 10 821 021 14.23 2003 7 297 941 3 624 938 239 580 11 162 459 14.05 2004 6 709 408 1 640 791 2 471 877 10 822 076 13.84 2005 7 250 858 1 727 038 2 413 046 11 390 942 14.19 2006 7 517 088 1 827 073 2 636 841 11 981 002 13.49 Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, 2009 (Diolah) Skala Usaha
71 Pangsa tenaga kerja pada sektor industri cenderung mengalami penurunan dari turun ke tahun. Peningkatan pangsa tenaga kerja justru lebih banyak pada sektor jasa (sektor tersier). Hal ini mengisyaratkan bahwa telah terjadi pergeseran pangsa tenaga kerja ke sektor-sektor jasa/tersier seperti dapat dilihat pada Tabel 16. Terjadinya penurunan pangsa tenaga kerja pada sektor industri relatif seiring dengan penurunan pangsa output sektor industri terhadap PDB seperti dapat dilihat pada Gambar 8. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi deindustrialisasi dini di Indonesia yang ditandai dengan turunnya pangsa sektor industri baik dari sisi tenaga kerja maupun dari sisi output. Penurunan pangsa tenaga kerja sektor industri mulai terjadi pada tahun 1999, sementara itu penurunan pangsa output sektor industri mulai terlihat pada tahun tahun 2001.
Tabel 16. Jumlah dan Pangsa Tenaga Menurut Klasifikasi Sektor Usaha Orang (Persen) Tahun Primer Sekunder Tersier Total 1997 30 411 392 10 310 138 24 880 062 65 601 592 (46.36) (15.72) (37.93) (100.00) 1998 34 657 044 8 550 498 21 470 524 64 678 066 (53.58) (13.22) (33.20) (100.00) 1999 32 904 566 10 357 834 24 273 922 67 536 322 (48.72) (15.34) (35.94) (100.00) 2000 34 955 087 10 658 256 25 176 534 70 789 877 (49.38) (15.06) (35.57) (100.00) 2001 37 671 684 10 495 981 24 878 632 73 046 297 (51.57) (14.37) (34.06) (100.00) 2002 38 367 434 10 821 021 26 863 182 76 051 637 (50.45) (14.23) (35.32) (100.00) 2003 38 895 502 11 162 459 29 417 030 79 474 991 (48.94) (14.05) (37.01) (100.00) 2004 38 146 157 10 822 076 29 219 065 78 187 298 (48.79) (13.84) (37.37) (100.00)
72 Tabel 16. Lanjutan Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Primer 38 856 716 (48.41) 39 475 761 (44.45) 42 201 088 (42.23) 42 402 246 (41.35) 42 767 073 (40.78) 42 749 442 (39.51)
Sekunder 11 390 942 (14.19) 11 981 002 (13.49) 12 368 729 (12.38) 12 549 376 (12.24) 12 839 800 (12.24) 13 824 251 (12.78)
Tersier 30 021 115 (37.40) 37 348 192 (42.06) 45 360 850 (45.39) 47 601 128 (46.42) 49 263 790 (46.98) 51 634 074 (47.72)
Total 80 268 773 (100.00) 88 804 955 (100.00) 99 930 667 (100.00) 102 552 750 (100.00) 104 870 663 (100.00) 108 207 767 (100.00)
Keterangan : Sektor primer : pertanian dan pertambangan Sektor sekunder : industri Sektor tersier : bangunan, listrik (termasuk air dan gas), perdagangan (termasuk hotel dan restoran), pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa
Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2009 (Diolah)
2.3.4. Keragaan Industri Berdasarkan Skala Usaha 2.3.4.1. Nilai Tambah Kinerja perekonomian Indonesia seperti tercermin dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2007 mengalami pertumbuhan sebesar 6.3 persen terhadap tahun sebelumnya, dimana pertumbuhan PDB Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mencapai 6.4 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan 9.3 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 8.5 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian 7.8 persen (BPS, 2008).
73
Sumber : BPS, 2009 (Diolah) dan Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, 2009 (Diolah)
Gambar 8. Perkembangan Pangsa Tenaga Kerja dan Output Sektor Industri
Pada tahun 2007 nilai PDB UKM mencapai Rp 2 121.3 triliun meningkat sebesar Rp 335.1 triliun dari tahun 2006. Dari jumlah ini UKM memberikan kontribusi sebesar 53.6 persen dari total PDB Indonesia, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai Rp 1 786.2 triliun atau 53.5 persen. Pada tahun 2007 kontribusi Usaha Kecil (UK) sebesar Rp 1 496.3 triliun (37.8 persen), Usaha Menengah (UM) sebesar Rp 625.1 triliun (15.8 persen), dan Usaha Besar (UB) sebesar Rp 1 836.1 triliun (46.4 persen). Jika dibandingkan antara tahun 1998 (periode krisis ekonomi) dan tahun 2006 (periode setelah krisis ekonomi), terlihat bahwa terjadi perubahan peranan antara usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar dalam kontribusinya dalam
74 pembentukan PDB.
Pada tahun 1998 kontribusi usaha kecil mencapai 41.83
persen, sementara itu pada tahun 2006 turun menjadi 37.67 persen. Hal ini diduga karena pada saat terjadi krisis ekonomi yaitu pada tahun 1998 banyak sektor usaha terutama skala besar terkena imbas krisis sehingga peranannya dalam PDB berkurang dan digantikan oleh sektor usaha kecil. Pada tahun 2006, perekonomian nasional sudah kembali stabil sehingga usaha besar sudah mulai pulih dan memberikan kontribusi pada pembentukan PDB. Peranan usaha besar meningkat dari 42.51 persen pada tahun 1998 menjadi 46.72 persen. Kondisi yang hampir sama terjadi pada sektor industri dimana pada tahun 1998 peranan industri kecil mencapai 16.14 persen dari total PDB sektor industri dan turun menjadi 12.45 persen pada tahun 2006. Sementara itu sektor industri besar kontribusi meningkat dari 68.80 persen pada tahun 1998 menjadi 76.28 persen pada tahun 2006. Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 dari 9 sektor usaha, sektor-sektor usaha yang kontribusi usaha kecilnya cukup besar dalam pembentukan PDB adalah sektor pertanian, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Sementara itu, sektor-sektor lainnya lebih banyak didominasi oleh usaha menengah dan usaha besar. Jika dilihat dari skala usaha, maka perekonomian Indonesia dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 tidak banyak mengalami perubahan dimana peranan usaha kecil relatif tidak banyak mengalami perubahan yang berarti seperti dapat dilihat pada Tabel 18.
75 Tabel 17. Pangsa Produk Domestik Bruto Menurut Sektor dan Skala Usaha Berdasarkan Harga Berlaku (Persen) Kecil
Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa RATA-RATA
1998 Menengah
84.86 6.64 16.14 0.00 0.08 76.64 39.55 17.66 41.02 41.83
Besar
9.60 3.19 15.07 8.32 39.69 20.22 27.37 45.69 7.78 16.03
5.54 90.17 68.80 91.68 60.23 3.14 33.08 36.66 51.20 42.15
Kecil 86.84 8.15 12.45 0.53 44.20 76.08 29.84 16.71 40.22 37.67
2006 Menengah 8.88 3.24 11.27 7.56 21.78 20.33 23.47 46.86 7.96 15.61
Besar 4.29 88.60 76.28 91.91 34.02 3.59 46.68 36.43 51.82 46.72
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Tabel 18. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Menurut Skala Usaha Berdasarkan Harga Berlaku
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kecil 253 919 663 (40.45) 399 768 786 (41.83) 476 938 004 (43.37) 502 674 265 (39.74) 586 723 182 (39.98) 666 080 301 (41.36) 734 571 251 (41.11)
Menengah 109 275 331 (17.41) 153 176 614 (16.03) 170 537 952 (15.51) 186 819 542 (14.77) 219 876 064 (14.98) 249 832 556 (15.51) 278 948 409 (15.61)
Juta Rupiah (Persen) Besar Jumlah 264 495 044 627 695 481 (42.14) (100.00) 402 808 078 955 753 478 (42.15) (100.00) 452 255 681 1 099 731 637 (41.12) (100.00) 575 424 937 1 264 918 744 (45.49) (100.00) 661 055 586 1 467 654 832 (45.04) (100.00) 694 652 093 1 610 564 950 (43.13) (100.00) 773 171 263 1 786 690 923 (43.27) (100.00)
76 Tabel 18. Lanjutan Tahun Kecil Menengah Besar 2004 894 766 700 377 223 400 1 001 151 200 (39,36) (16,59) (44,04) 2005 1 039 594 500 440 408 400 1 024 648 300 (41,51) (17,58) (40,91) 2006 1 257 654 800 521 094 800 1 559 450 000 (37,67) (15,61) (46,72) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Jumlah 2 273 141 300 (100,00) 2 504 651 200 (100,00) 3 338 199 600 (100,00)
Sementara itu pada sektor industri peranan industri kecil, menengah dan besar dalam pembentukan PDB juga mengalami perubahan dimana pada tahun 1998 peranannya masing-masing berturut-turut 18.74 persen, 17.50 persen dan 63.76 persen. Peranan industri kecil dan menengah menurun pada tahun 2006 menjadi berturut-turut 15.29 persen dan 13.83 persen. Kembali pulihnya sektor industri besar setelah krisis ekonomi menyebabkan kontribusi industri besar dalam PDB sektor industri mengalami peningkatan dari 63.76 persen pada tahun 1998 menjadi 70.88 persen. Pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 banyak cabang industri yang terimbas krisis sehingga kontribusinya dalam PDB menurun kecuali untuk cabang industri makanan, minuman dan tembakau serta cabang industri pupuk, kimia dan barang dari karet. Sementara itu, pada tahun 2006 kondisi ekonomi sudah relatif stabil sehingga beberapa cabang industri tumbuh dan memberikan kontribusi yang relatif besar pada PDB sektor industri seperti cabang industri makanan, minuman dan tembakau; industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; industri pupuk, kimia dan barang dari karet; serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Sementara itu, jika dilihat dari sisi pertumbuhan, maka pada tahun 2000 pertumbuhan sektor industri besar relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan
77 industri kecil dan menengah. Cabang industri yang pertumbuhannya di bawah ratarata pertumbuhan sektor industri adalah industri makanan, minuman dan tembakau; industri barang kayu dan hasil hutan lainnya; industri kertas dan barang cetakan; dan industri semen dan barang galian bukan logam. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 19. Pangsa Produk Domestik Bruto Sektor Industri Tahun 1998 (Persen) Cabang Industri 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki 3. Barang Kayu dan Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 6. Semen dan Barang Galian Bukan Logam 7. Logam Dasar Besi dan Baja 8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 9. Barang Lainnya Total Industri Non-migas
Kecil 11.14 1.83 1.22 0.57 2.27 0.98 0.00 0.54 0.00 18.74
Skala Usaha Menengah 10.83 2.20 1.44 0.57 0.49 0.38 0.13 1.31 0.14 17.50
Besar 35.30 4.21 2.46 3.01 8.97 1.22 3.08 5.50 0.02 63.76
Jumlah 57.27 8.24 5.12 4.15 11.73 2.58 3.21 7.36 0.17 100.00
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Tabel 20. Pangsa Produk Domestik Bruto Sektor Industri Tahun 2006 (Persen) Cabang Industri 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki 3. Barang Kayu dan Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 6. Semen dan Barang Galian bukan logam 7. Logam Dasar Besi dan Baja 8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 9. Barang Lainnya Total Industri Non-migas
Kecil 5.27 2.32 1.31 0.67 2.51 1.33 0.00 1.41 0.47 15.29
Skala Usaha Menengah 5.19 2.96 1.35 0.58 0.59 0.51 0.10 2.16 0.40 13.83
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Besar 17.49 6.64 3.17 3.99 9.45 1.97 2.58 25.52 0.07 70.88
Jumlah 27.95 11.91 5.82 5.24 12.56 3.80 2.69 29.09 0.94 100.00
78 Penurunan pertumbuhan sektor industri yang mengarah pada munculnya gejala deindustrialisasi dapat dilihat pada Tabel 22 dimana tahun 2006 sektor industri kecil dan menengah mencatat pertumbuhan yang negatif berturut-turut – 2.62 persen dan –7.68 persen. Sementara itu sektor industri besar masih mencatat pertumbuhan positif sebesar 8.85 persen. Cabang industri yang masih mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sektor industri adalah industri makanan, minuman dan tembakau serta industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya.
Tabel 21. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sektor Industri Menurut Skala Usaha Tahun 2000 (Persen) Cabang Industri 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki 3. Barang Kayu dan Hasil Hutan lainnya 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 6. Semen dan Barang Galian Bukan Logam 7. Logam Dasar Besi dan Baja 8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 9. Barang Lainnya Rata-Rata Industri
Kecil 5.30 1.45 4.96 1.67 5.94 5.55 12.49 40.20 7.88 5.73
Skala Usaha Menengah Besar 0.05 3.98 9.03 12.32 3.39 9.80 -2.67 4.78 7.96 7.46 4.66 5.72 7.94 13.28 26.72 49.04 17.66 20.47 3.80 8.37
Rataan 3.57 8.04 6.87 2.55 7.15 5.47 13.05 43.53 12.81 7.02
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Gejala munculnya deindustrialisasi mulai terlihat pada tahun 2001 sampai dengan 2006 dimana pertumbuhan sektor industri relatif rendah rata-rata di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Jika dilihat dari pertumbuhan masing-masing
skala usaha, maka pada periode tahun 2001–2003 pertumbuhan sektor industri kecil dan menengah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri besar. Namun demikian, pada tahun 2006 industri kecil dan menengah
79 mengalami pertumbuhan negatif masing-masing –2.62 persen dan –7.68 persen. Dengan kondisi seperti ini, maka industri kecil dan menengah tidak bisa banyak diharapkan memberikan kontribusi pada pertumbuhan sektor industri khususnya dalam sumbangannya terhadap PDB. Pertumbuhan PDB sektor industri menurut skala usaha selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Cabang Industri Menurut Skala Usaha Tahun 2006 (Persen) Skala Usaha Cabang Industri Kecil Menengah Besar Rataan 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 4.08 10.79 6.32 6.75 2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki 1.34 -4.30 3.69 1.24 3. Barang Kayu dan Hasil Hutan lainnya -1.08 -1.55 0.62 -0.23 4. Kertas dan Barang Cetakan 0.53 6.81 1.52 1.99 5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 4.75 5.22 3.96 4.17 6. Semen dan Barang Galian Bukan Logam -17.33 -7.71 13.21 0.51 7. Logam Dasar Besi dan Baja 5.15 5.50 4.54 4.58 8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya -34.24 -66.65 15.26 7.03 9. Barang Lainnya 3.34 3.22 6.06 3.49 Rata-Rata Industri -2.62 -7.68 8.85 5.02 Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Sementara itu, dari sisi struktur industri menurut skala usaha maka tidak banyak perubahan yang berarti seperti dapat dilihat pada Tabel 24. Peranan industri besar dalam pembentukan PDB sektor industri masih tinggi dengan rata-rata 66.84 persen. Di sisi lain, industri kecil dan menengah hanya memberikan kontribusi rata-rata masing-masing 17.26 persen dan 15.90 persen. Pada Tabel 25 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri makanan, minuman dan tembakau pada periode tahun 1997 sampai dengan
80 Tabel 23. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sektor Industri Menurut Skala Usaha Tahun 2006 (Persen) Skala Usaha Tahun Rataan Kecil Menengah Besar 2000 5.73 3.80 8.37 7.02 2001 4.79 6.86 2.88 3.95 2002 6.21 2.47 3.14 3.68 2003 4.98 3.30 3.56 3.83 2005 4.33 4.47 6.02 5.53 2006 -2.62 -7.68 8.85 5.02 Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Tabel 24. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Sektor Industri Menurut SkalaUsaha Tahun 1997- 2006 Juta Rupiah (Persen) Tahun Total Skala Usaha Kecil Menengah Besar 1997 24 507 695 28 993 652 99 054 797 152 556 144 (16.06) (19.01) (64.93) (100.00) 1998 38 554 490 35 992 002 131 178 158 205 724 650 (18.74) (17.50) (63.76) (100) 1999 40 828 555 163 521 951 250 746 283 455 096 789 (18.50) (16.28) (65.21) (100) 2000 44 186 434 39 661 748 176 790 354 260 638 536 (16.95) (15.22) (67.83) (100) 2001 55 643 960 48 122 905 213 061 850 316 828 715 (17.56) (15.19) (67.25) (100) 2002 64 166 640 54 340 537 231 160 000 349 667 177 (18.35) (15.54) (16.11) (100) 2003 57 931 902 244 275 064 372 348 093 674 555 059 (18.84) (15.56) (65.60) (100) 2004 89 873 000 86 036 000 374 873 500 550 782 500 (16.32) (15.62) (68.06) (100) 2005 101 223 600 96 132 300 434 626 900 631 982 800 (16.02) (15.21) (68.77) (100) 2006 116 611 400 105 517 600 540 607 800 762 736 800 (15.29) (13.83) (70.88) (100) Rataan 63 352 768 90 259 376 282 444 774 436 056 917 (17.27) (15.90) (66.84) (100) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
81 2006 tidak banyak mengalami perubahan yang berarti dimana peranannya masingmasing rata-rata sebesar 18.86 persen dan 18.07 persen. Peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri makanan, minuman dan tembakau masih besar dengan rata-rata 63.07 persen.
Tabel 25. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
12 355 294 13 468 194 43 736 830 (17.76) (19.36) (62.88) 1998 22 910 702 22 280 938 72 629 309 (19.45) (18.91) (61.64) 1999 29 187 346 27 649 328 96 070 615 (19.09) (18.08) (62.83) 2000 24 847 115 24 747 391 93 468 369 (17.37) (17.30) (65.33) 2001 31 681 955 30 179 912 112 256 168 (18.20) (17.33) (64.47) 2002 36 718 278 34 670 556 122 846 907 (18.90) (17.85) (63.25) 2003 40 184 621 36 734 443 126 400 476 (19.76) (18.07) (62.17) 2004 31 704 100 29 643 900 102 159 500 (19.39) (18.13) (62.48) 2005 33 734 300 31 995 400 112 319 200 (18.95) (17.97) (63.08) 2006 40 198 800 39 569 200 133 405 300 (18.86) (18.56) (62.58) Rataan 15 974 860 15 312 584 53 436 427 (18.86) (18.07) (63.07) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
69 560 318 (100.00) 117 820 949 (100.00) 152 907 289 (100.00) 143 062 875 (100.00) 174 118 035 (100.00) 194 235 741 (100.00) 203 319 540 (100.00) 163 507 500 (100.00) 178 048 900 (100.00) 213 173 300 (100.00) 84 723 871 (100.00)
82 Pada Tabel 26 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri tekstil, barang kulit dan alas kaki pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 relatif berimbang dengan industri besar dimana peranannya masing-masing rata-rata sebesar 19.74 persen dan 25.98 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri tekstil pada periode tersebut ratarata 54.28 persen. Tabel 26. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
3 452 723 4 853 084 8 560 533 (20.47) (28.77) (50.76) 1998 3 769 723 4 522 375 8 659 030 (22.24) (26.68) (51.08) 1999 3 774 107 4 577 164 9 058 757 (21.68) (26.29) (52.03) 2000 4 003 756 5 537 825 11 502 321 (19.03) (26.32) (54.66) 2001 4 746 316 6 260 255 13 046 757 (19.73) (26.03) (54.24) 2002 5 292 820 6 679 731 13 981 983 (20.39) (25.74) (53.87) 2003 5 462 706 7 044 753 14 371 710 (20.32) (26.21) (53.47) 2004 13 594 900 18 825 400 39 131 800 (19.00) (26.31) (54.69) 2005 14 831 200 20 000 300 41 710 000 (19.38) (26.13) (54.49) 2006 17 672 100 22 545 300 50 654 300 (19.45) (24.81) (55.74) Rataan 7 660 035 10 084 619 21 067 719 (19.74) (25.98) (54.28) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
16 866 340 (100.00) 16 951 128 (100.00) 17 410 028 (100.00) 21 043 902 (100.00) 24 053 328 (100.00) 25 954 534 (100.00) 26 879 169 (100.00) 71 552 100 (100.00) 76 541 500 (100.00) 90 871 700 (100.00) 38 812 373 (100.00)
83 Pada Tabel 27 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri barang kayu dan hasil hutan lainnya pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 relatif berimbang dengan industri besar dimana peranannya masingmasing rata-rata sebesar 21.79 persen dan 23.78 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri barang kayu dan hasil hutan lainnya pada periode tersebut rata-rata 54.43 persen.
Tabel 27. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
1 474 046 2 394 756 4 875 199 (16.86) (27.39) (55.75) 1998 2 517 768 2 972 305 5 052 444 (23.88) (28.19) (47.92) 1999 2 049 778 2 259 971 5 083 963 (21.82) (24.06) (54.12) 2000 2 083 245 2 297 534 5 654 621 (20.76) (22.89) (56.35) 2001 2 817 263 3 021 066 7 404 194 (21.27) (22.81) (55.91) 2002 3 014 061 3 279 358 7 675 126 (21.58) (23.48) (54.95) 2003 3 175 591 3 425 854 8 075 349 (21.64) (23.34) (55.02) 2004 6 911 500 7 329 600 16 962 000 (22.15) (23.49) (54.36) 2005 7 582 000 8 149 500 18 942 200 (21.87) (23.50) (54.63) 2006 9 969 000 10 259 100 24 182 400 (22.45) (23.10) (54.45) Rataan 4 159 425 4 538 904 10 390 750 (21.79) (23.78) (54.43) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
8 744 001 (100.00) 10 542 517 (100.00) 9 393 712 (100.00) 10 035 400 (100.00) 13 242 523 (100.00) 13 968 545 (100.00) 14 676 794 (100.00) 31 203 100 (100.00) 34 673 700 (100.00) 44 410 500 (100.00) 19 089 079 (100.00)
84 Pada Tabel 28 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri kertas dan barang cetakan pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 tidak banyak mengalami perubahan yang berarti dimana peranannya masingmasing rata-rata sebesar 12.47 persen dan 11.55 persen. Peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri makanan, minuman dan tembakau masih besar dengan rata-rata 75.99 persen.
Tabel 28. Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Kertas dan Barang Cetakan Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
0 869 437 4 179 789 0.00 (17.22) (82.78) 1998 1 173 733 1 182 555 6 182 590 (13.75) (13.85) (72.41) 1999 1 316 462 1 237 536 6 710 926 (14.21) (13.36) (72.43) 2000 908 122 742 456 5 434 874 (12.82) (10.48) (76.70) 2001 1 137 236 960 366 6 668 804 (12.97) (10.96) (76.07) 2002 1 203 978 1 041 310 7 127 475 (12.85) (11.11) (76.04) 2003 1 301 586 1 139 832 7 879 560 (12.61) (11.04) (76.35) 2004 3 916 700 3 476 400 23 618 300 (12.63) (11.21) (76.16) 2005 4 312 500 3 777 000 25 876 300 (12.70) (11.12) (76.18) 2006 5 096 600 4 431 800 30 440 600 (12.75) (11.09) (76.16) Rataan 2 036 692 1 885 869 12 411 922 (12.47) (11.55) (75.99) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
5 049 226 (100.00) 8 538 878 (100.00) 9 264 924 (100.00) 7 085 452 (100.00) 8 766 406 (100.00) 9 372 763 (100.00) 10 320 978 (100.00) 31 011 400 (100.00) 33 965 800 (100.00) 39 969 000 (100.00) 16 334 483 (100.00)
85 Pada Tabel 29 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri pupuk, kimia dan barang dari karet pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 tidak banyak mengalami perubahan yang berarti dimana peranannya masing-masing rata-rata sebesar 20.20 persen dan 4.80 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri pupuk, kimia dan barang dari karet pada periode tersebut rata-rata 75.00 persen.
Tabel 29. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
3 544 110 1 793 689 12 206 671 (20.20) (10.22) (69.58) 1998 4 673 917 1 002 073 18 452 752 (19.37) (4.15) (76.48) 1999 6 334 993 1 385 832 24 526 249 (19.65) (4.30) (76.06) 2000 7 463 655 1 631 637 29 413 809 (19.38) (4.24) (76.38) 2001 8 622 153 1 894 686 32 719 124 (19.94) (4.38) (75.68) 2002 10 302 153 2 220 529 35 938 665 (21.26) (4.58) (74.16) 2003 11 679 623 2 644 361 41 577 052 (20.89) (4.73) (74.38) 2004 12 903 500 3 104 500 47 870 500 (20.20) (4.86) (74.94) 2005 15 591 900 3 636 200 57 592 100 (20.30) (4.73) (74.97) 2006 19 177 300 4 532 200 72 055 500 (20.03) (4.73) (75.24) Rataan 10 029 330 2 384 571 37 235 242 (20.20) (4.80) (75.00) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
17 544 470 (100.00) 24 128 742 (100.00) 32 247 074 (100.00) 38 509 101 (100.00) 43 235 963 (100.00) 48 461 347 (100.00) 55 901 036 (100.00) 63 878 500 (100.00) 76 820 200 (100.00) 95 765 000 (100.00) 49 649 143 (100.00)
86
Pada Tabel 30 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri semen dan bahan galian bukan logam pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 terus mengalami penurunan dimana peranannya masing-masing ratarata sebesar 37.29 persen dan 13.30 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri semen dan bahan galian bukan logam pada periode tersebut rata-rata 49.41 persen.
Tabel 30. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Semen Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006 Juta Rupiah (Persen) Tahun Total Skala Usaha Kecil Menengah Besar 1997
1 543 240 775 293 2 762 991 (30.37) (15.26) (54.37) 1998 2 026 295 778 509 2 500 743 (38.19) (14.67) (47.13) 1999 2 284 233 798 764 2 812 985 (38.74) (13.55) (47.71) 2000 2 915 532 980 867 3 658 036 (38.59) (12.98) (48.42) 2001 4 068 595 1 328 596 5 047 465 (38.95) (12.72) (48.33) 2002 4 814 426 1 671 234 6 013 773 (38.52) (13.37) (48.11) 2003 5 309 427 1 845 081 6 868 730 (37.86) (13.16) (48.98) 2004 8 276 500 2 837 400 10 712 300 (37.92) (13.00) (49.08) 2005 9 517 600 3 206 900 12 039 300 (38.43) (12.95) (48.62) 2006 10 107 900 3 918 200 14 989 000 (34.84) (13.50) (51.66) Rataan 5 086 375 1 814 084 6 740 532 (37.29) (13.30) (49.41) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
5 081 524 (100.00) 5 305 547 (100.00) 5 895 982 (100.00) 7 554 435 (100.00) 10 444 656 (100.00) 12 499 433 (100.00) 14 023 238 (100.00) 21 826 200 (100.00) 24 763 800 (100.00) 29 015 100 (100.00) 13 640 992 (100.00)
87 Pada Tabel 31 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri logam dasar besi dan baja pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 relatif kecil dimana peranannya masing-masing rata-rata sebesar 0.11 persen dan 3.97 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri logam dasar besi dan baja pada periode tersebut sangat dominan dengan rata-rata 95.91 persen. Tabel 31. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Logam Dasar Besi dan Baja Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
0 451 087 5 313 267 0.00 (7.83) (92.17) 1998 0 262 724 6 340 188 0.00 (3.98) (96.02) 1999 10 328 342 526 7 738 659 (0.13) (4.23) (95.64) 2000 12 057 384 166 9 424 044 (0.12) (3.91) (95.97) 2001 14 760 426 905 11 366 899 (0.12) (3.62) (96.26) 2002 14 960 420 022 11 325 860 (0.13) (3.57) (96.30) 2003 14 782 442 561 11 580 204 (0.12) (3.68) (96.20) 2004 22 000 655 400 16 257 400 (0.13) (3.87) (96.00) 2005 26 000 744 600 19 370 800 (0.13) (3.70) (96.17) 2006 25 300 775 100 19 691 800 (0.12) (3.78) (96.09) Rataan 14 019 490 509 11 840 912 (0.11) (3.97) (95.91) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
5 764 354 (100.00) 6 602 912 (100.00) 8 091 513 (100.00) 9 820 267 (100.00) 11 808 564 (100.00) 11 760 842 (100.00) 12 037 547 (100.00) 16 934 800 (100.00) 20 141 400 (100.00) 20 492 200 (100.00) 12 345 440 (100.00)
88 Pada Tabel 32 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri alat angkutan mesin dan peralatannya pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 relatif kecil dimana peranannya masing-masing rata-rata sebesar 6.12 persen dan 11.14 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri alat angkutan mesin dan peralatannya pada periode tersebut masih relatif dominan dengan rata-rata 82.74 persen.
Tabel 32. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006 Juta Rupiah (Persen) Tahun Total Skala Usaha Kecil Menengah Besar 1997
0 3 859 016 17 305 045 0.00 (18.23) (81.77) 1998 1 120 846 2 700 057 11 312 050 (7.41) (17.84) (74.75) 1999 1 091 209 2 295 279 11 472 100 (7.34) (15.45) (77.21) 2000 1 605 824 3 055 746 18 184 568 (7.03) (13.38) (79.60) 2001 2 078 870 3 645 781 24 484 582 (6.88) (12.07) (81.05) 2002 2 254 069 3 892 995 26 171 920 (6.97) (12.05) (80.98) 2003 2 408 264 4 142 911 27 433 866 (7.09) (12.19) (80.72) 2004 10 017 000 18 007 200 117 783 100 (6.87) (12.35) (80.78) 2005 12 631 600 22 082 600 146 340 200 (6.98) (12.20) (80.83) 2006 10 778 000 16 445 100 194 668 600 (4.86) (7.41) (87.73) Rataan 4 398 568 8 012 669 59 515 603 (6.12) (11.14) (82.74) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
21 164 061 (100.00) 15 132 953 (100.00) 14 858 588 (100.00) 22 846 138 (100.00) 30 209 233 (100.00) 32 318 984 (100.00) 33 985 041 (100.00) 145 807 300 (100.00) 181 054 400 (100.00) 221 891 700 (100.00) 71 926 840 (100.00)
89 Pada Tabel 33 dapat dilihat peranan industri kecil dan menengah pada cabang industri lain-lain pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006 relatif dominan dimana peranannya masing-masing rata-rata sebesar 48.11 persen dan 44.19 persen. Sementara itu, peranan industri besar dalam pembentukan PDB cabang industri lain-lain pada periode tersebut relatif kecil dengan rata-rata 7.70 persen.
Tabel 33. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Lain-Lain Menurut Skala Usaha Tahun 1997- 2006
Tahun Kecil 1997
Skala Usaha Menengah
Juta Rupiah (Persen) Total Besar
0 529 096 114 472 0.00 (82.21) (17.79) 1998 0 290 466 49 052 0.00 (85.55) (14.45) 1999 347 321 282 155 47 697 (51.29) (41.67) (7.04) 2000 347 128 284 126 49 712 (50.98) (41.72) (7.30) 2001 476 812 405 338 67 857 (50.19) (42.67) (7.14) 2002 551 895 464 802 78 291 (50.40) (42.45) (7.15) 2003 604 527 512 106 88 117 (50.18) (42.51) (7.31) 2004 2 526 800 2 156 200 378 600 (49.92) (42.60) (7.48) 2005 2 996 500 2 539 800 436 800 (50.17) (42.52) (7.31) 2006 3 586 400 3 041 600 520 300 (50.17) (42.55) (7.28) Rataan 1 143 738 1 050 569 183 090 (48.11) (44.19) (7.70) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
643 568 (100.00) 339 518 (100.00) 677 173 (100.00) 680 966 (100.00) 950 007 (100.00) 1 094 988 (100.00) 1 204 750 (100.00) 5 061 600 (100.00) 5 973 100 (100.00) 7 148 300 (100.00) 2 377 397 (100.00)
90 2.3.4.2. Unit Usaha, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Dilihat dari jumlah unit usaha, terjadi peningkatan pada periode tahun 2006 jika dibandingkan dengan tahun 1998. Jumlah unit usaha pada tahun 2006 mencapai 48.9 juta sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 34. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah unit usaha berkala kecil paling dominan yang mencapai angka 99.77 persen dari total unit usaha yang ada. Sementara itu, jumlah unit usaha untuk sektor industri pada tahun 2006 telah mencapai 3.2 juta yang masih tetap didominasi oleh sektor industri kecil dan menengah. Sementara itu, jika dilihat pangsa unit usaha menurut skala usaha dan sektor industri, terlihat bahwa pada tahun 2006, usaha kecil lebih banyak dijumpai pada sektor pertanian dengan pangsa 53.68 persen dari total usaha kecil yang ada, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (27.13 persen) dan sektor industri (6.56 persen). Tiga sektor ini menjadi penyumbang terbesar unit usaha berkala kecil.
Tabel 34. Jumlah Unit Usaha Menurut Sektor dan Skala Usaha 1998 Sektor
Kecil
2006
Menengah Besar
Kecil
137 284
3. Industri 4. Listrik, Gas dan Air Bersih
2 104 856 7 319
375
41
7 735
14 497
963
213
15 673
5. Bangunan 122 945 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 8 325 351 7. Pengangkutan dan Komunikasi 1 507 629 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 18 519
7 097
154
130 196
162 135
3 757
318
166 210
22 081
421
8 347 853 13 247 288
2 064
99
1 509 792 2 697 174
4 419
216
4 191
155
1 439 915 36 761 689
23 099 491 26 207 670
555
56
9 545
631
137 895 265 676 2 115 032 3 200 620
51 889 1 831
23 154
71 431
1 444 261 2 956 434
1 676
Jumlah
23 097 871
9. Jasa-Jasa
58
Menengah Besar
1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian
Jumlah
1 562
Jumlah
53 26 209 399
617 120 266 413 16 886 2 555 3 220 061
57 651 1 737 13 306 676 4 763
322 2 702 259
11 218 1 274 9 180
83 923
612 2 966 226
36 815 409 48 822 925 106 711 7 204 48 936 840
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008
91 Sementara itu, usaha menengah lebih banyak dijumpai pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan pangsa 54.03 persen dari total usaha menengah yang ada, disusul oleh sektor industri (15.82 persen) dan sektor keuangan dan jasa perusahaan (10.51 persen). Tiga sektor ini menjadi penyumbang terbesar unit usaha berkala menengah. Sementara itu, usaha besar lebih banyak dijumpai pada sektor industri dengan pangsa 35.,47 persen dari total usaha besar yang ada, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (24.11 persen) dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (17.68 persen). Tiga sektor ini menjadi penyumbang terbesar unit usaha berkala besar.
Tabel 35. Pangsa Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha (Persen) 1998 Sektor 1. Pertanian
Kecil
2006
Menengah Besar Jumlah
Kecil
Menengah Besar Jumlah
62.83
3.01
3.17
62.74
53.68
1.57
0.74
53.56
2. Pertambangan dan Penggalian
0.37
1.07
3.06
0.37
0.54
0.58
1.67
0.54
3. Industri
5.73 18.40 34.46
5.74
6.56
15.82 35.47
6.58
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
0.02
0.02
0.03
5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
0.72
2.24
0.33 13.68
8.41
0.35
0.33
22.65 42.55 22.99
22.67
27.13
7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
4.10
3.98
5.41
4.10
5.52
0.05
8.52 11.80
0.06
0.15
9. Jasa-Jasa
3.92
8.08
8.47
3.92
6.06
100.00 100.00 100.00
100.00
100.00
Jumlah
0.90
2.96
3.52
4.41
0.34
54.03 24.11
27.19
4.46
0.03
4.47
5.52
10.51 17.68
0.17
8.60
8.50
6.06
100.00 100.00
100.00
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa pada sektor industri telah terjadi peningkatan jumlah unit usaha pada setiap skala usaha pada periode tahun 1997 sampai dengan 2006. Krisis ekonomi pada tahun 1998, menyebabkan menurunnya unit usaha IKM dan industri besar. Jumlah IKM dan terutama industri besar
92 meningkat dengan tajam pada tahun 2004 karena mulai pulihnya ekonomi Indonesia setelah dihantam krisis ekonomi. Jumlah industri besar meningkat dari 694 unit pada tahun 1997 menjadi 2 555 pada tahun 2006. Hal yang sama juga terjadi pada industri kecil yang meningkat dari 2 817 379 unit usaha pada tahun 1997 menjadi 3 200 620 unit usaha pada tahun 2006. Sementara itu, industri menengah meningkat dari 10 495 unit usaha pada tahun 1997 menjadi 16 866 unit
3,500,000
3,000
3,000,000
2,500
2,500,000
2,000
2,000,000 1,500 1,500,000 1,000
1,000,000
Jumlah Unit Usaha Besar
Jumlah Unit IKM
usaha pada tahun 2006.
500
500,000 0
0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 IKM Skala Besar
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah) Gambar 9. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Industri Kecil Menengah dan Industri Besar
Unit usaha pada sektor industri masih didominasi oleh industri berskala kecil dan menengah (IKM) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 36. Pada tahun 2006, unit usaha berskala IKM berjumlah sekitar 99.92 persen dari seluruh total unit usaha pada sektor industri.
93 Tabel 36. Pangsa Unit Usaha Sektor Industri Menurut Skala Usaha Tahun
Skala Kecil Skala Menengah
IKM
Skala Besar
1997 99.60 0.37 99.98 1998 99.52 0.45 99.97 1999 99.58 0.40 99.97 2000 99.58 0.40 99.97 2001 99.67 0.31 99.98 2002 99.67 0.31 99.98 2003 99.67 0.31 99.98 2004 99.41 0.49 99.91 2005 99.42 0.49 99.91 2006 99.40 0.52 99.92 Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
0.02 0.03 0.03 0.03 0.02 0.02 0.02 0.09 0.09 0.08
(Persen) Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sementara itu, jika dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, terjadi perubahan struktur penyerapan tenaga kerja menurut skala usaha dimana pada tahun 1998, usaha kecil, menengah dan besar menyerap tenaga kerja berturut-turut 88.66 persen, 10.78 persen dan 0.56 persen. Sementara itu, pada tahun 2006 penyerapan tenaga kerja usaha kecil dan usaha besar meningkat berturut-turut menjadi 91.14 persen dan 3.82 persen. Di sisi lain, penyerapan tenaga kerja usaha menengah menurun menjadi 5.05 persen. Pada Tabel 37 juga dapat dilihat bahwa sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam penyerapan tenaga walaupun terjadi penurunan pada tahun 2006 menjadi 43.71 persen jika dibandingkan dengan tahun 1998 yaitu 52.98 persen. Sementara itu, sektor industri yang diharapkan banyak menyerap tenaga kerja hanya memberikan kontribusi sekitar 13.49 persen pada tahun 2006.
94 Tabel 37. Pangsa Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor dan Skala Usaha (Persen) Sektor 1. Pertanian
Kecil
1998 Menengah Besar Jumlah
51.92
1.00
0.07
2. Pertambangan dan Penggalian
0.38
0.20
3. Industri
7.71
5.17
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
0.06
5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Jumlah
Kecil
2006 Menengah Besar Jumlah
52.98
42.75
0.91
0.05
0.02
0.60
0.63
0.03
0.08
0.74
0.34
13.22
8.46
2.06
2.97
13.49
0.11
0.01
0.19
0.09
0.04
0.06
0.19
0.61
0.48
0.01
1.10
0.71
0.10
0.03
0.84
20.69
2.17
0.04
22.90
24.10
0.88
0.19
25.17
2.99
0.33
0.02
3.33
3.78
0.17
0.09
4.04
0.23
0.27
0.01
0.51
0.60
0.28
0.19
1.07
4.07
1.05
0.04
5.16
10.02
0.57
0.16
10.75
88.66
10.78
0.56
100.00
91.14
5.05
3.82
100.00
43.71
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Sementara itu, pada Tabel 38 dapat dilihat peranan sektor usaha pada setiap skala usaha dalam penyerapan tenaga kerja. Usaha berkala kecil banyak menyerap tenaga kerja terutama pada sektor-sektor seperti pertanian; perdagangan, hotel dan restoran serta industri. Usaha berskala menengah banyak menyerap tenaga kerja terutama pada sektor industri; pertanian; perdagangan, hotel dan restoran dan jasa. Sementara itu, usaha berskala besar banyak menyerap tenaga kerja terutama pada sektor industri. Penyerapan tenaga kerja sektor primer (pertanian dan pertambangan) cenderung mengalami penurunan yaitu 46.36 persen pada tahun 1997 menjadi 44.45 persen pada tahun 2006. Demikian pula dengan sektor sekunder (sektor industri), mengalami penurunan dari 15.72 persen pada tahun 1997 menjadi 13.49 persen pada tahun 2006.
Sementara itu, sektor tersier (jasa-jasa) mengalami
peningkatan dari 37.93 persen pada tahun 1997 menjadi 42.06 persen pada tahun 2006.
95 Tabel 38. Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor dan Skala Usaha (Persen) 1998
2006
MeneKecil ngah Besar
Sektor 1. Pertanian
58.56
9.25
2. Pertambangan dan Penggalian
0.43
1.83
3. Industri
8.70 47.96
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
0.07
1.02
5. Bangunan
0.69
4.42
23.33 20.13
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
Menengah Besar Jumlah
Kecil
52.98
46.91
17.97
1.27
3.51
0.60
0.69
60.62
13.22
9.29
0.67
2.11
0.74
40.75 77.82
13.49
2.14
0.19
0.10
0.87
1.57
0.19
1.84
1.10
0.78
2.01
0.73
0.84
43.71
7.33
22.90
26.44
17.50
4.92
25.17
3.37
3.07
2.82
3.33
4.15
3.35
2.33
4.04
0.25
2.55
2.39
0.51
0.66
5.51
5.06
1.07
4.59
9.77
6.89
5.16
10.99
11.38
4.18
10.75
100.00 100.00
100.00
100.00
100.00
100.00 100.00
100.00
7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Jumlah
12.46
Jumlah
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
60 55 50 45 40 35 30
25 20 15 10 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sektor Primer Industri Pengolahan Sektor Jasa
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah) Gambar 10. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor
Sementara itu pada sektor industri, peranan IKM dalam penyerapan tenaga kerja cenderung naik pada saat industri besar mengalami krisis seperti yang terjadi pada tahun 1999 sampai dengan 2003. Pada tahun 2004, industri besar mulai pulih
96 dari krisis sehingga penyerapan tenaga kerjanya meningkat menjadi 22.84 persen dari total tenaga kerja sektor industri.
Tabel 39. Jumlah dan Pangsa Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Sektor Usaha Orang (Persen) Tahun Kecil Menengah IKM Besar Jumlah 1997 6 390 888 3 676 277 10 067 165 10 310 138 242 973 (61.99) (35.66) (100.00) (97.64) (2.36) 1998 4 986 156 3 343 371 8 550 498 8 329 527 220 971 (58.31) (39.10) (100.00) (97.42) (2.58) 1999 6 771 882 3 363 641 10 135 523 10 357 834 222 311 (65.38) (32.47) (100.00) (97.85) (2.15) 2000 6 968 297 3 461 201 10 429 498 10 658 256 228 758 (65.38) (32.47) (100.00) (97.85) (2.15) 2001 6 862 203 3 408 503 10 270 706 10 495 981 225 275 (65.38) (32.47) (100.00) (97.85) (2.15) 2002 7 074 711 3 514 058 10 588 769 10 821 021 232 252 (65.38) (32.47) (100.00) (97.85) (2.15) 2003 7 297 941 3 624 938 10 922 879 11 162 459 239 580 (65.38) (32.47) (100.00) (97.85) (2.15) 2004 6 709 408 1 640 791 10 822 076 8 350 199 2 471 877 (62.00) (15.16) (100.00) (77.16) (22.84) 2005 7 250 858 1 727 038 11 390 942 8 977 896 2 413 046 (63.65) (15.16) (100.00) (78.82) (21.18) 2006 7 517 088 1 827 073 11 981 002 9 344 161 2 636 841 (62.74) (15.25) (100.00) (77.99) (22.01) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
2.3.4.3. Ekspor Dari sisi ekspor, sektor industri memegang peranan yang sangat penting karena 78.26 persen total ekspor tahun 2006 disumbangkan oleh sektor industri sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 40. Pada sektor industri, cabang industri yang banyak memberikan kontribusi pada ekspor adalah cabang industri alat
97 angkut, mesin dan peralatannya; industri pupuk, kimia dan barang dari karet serta industri makanan, minuman dan tembakau. Tabel 40. Pangsa Ekspor Menurut Sektor Usaha Tahun 1998 dan 2006 (Persen) Sektor
1998 2006 Kecil Mene- Besar Kecil Mene- Besar ngah ngah 1. Pertanian 28.46 1.83 0.20 36.73 1.67 0.16 2. Pertambangan dan Penggalian 1.77 0.08 17.23 2.92 0.80 23.45 3. Industri 69.77 98.09 82.57 60.35 97.53 76.38 a. Industri Migas 0.00 0.00 13.40 0.00 0.00 14.91 b. Industri Tanpa Migas 69.77 98.09 69.18 60.35 97.53 61.47 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 9.04 13.86 9.23 14.63 21.71 9.41 2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki 23.61 17.74 16.92 9.74 11.58 7.14 3. Brg. Kayu dan Hasil Hutan lainnya 6.05 9.08 10.13 12.00 12.32 4.01 4. Kertas dan Barang Cetakan 0.22 2.06 5.30 4.87 7.10 3.89 5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 0.10 4.62 11.24 12.70 15.36 12.77 6. Semen dan Barang Galian Bukan Logam 2.25 0.79 0.54 2.45 1.24 0.89 7. Logam Dasar Besi dan Baja 0.87 5.54 4.53 0.00 7.66 6.14 8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 0.00 18.39 8.65 0.87 16.24 16.61 9. Barang Lainnya 27.63 26.01 2.64 3.09 4.33 0.61 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah) Tabel 41. Pangsa Ekspor Menurut Sektor dan Skala Usaha Tahun 1998 dan 2006 (Persen) 1998 Sektor 1. Pertanian
2006
Kecil Mene- Besar Jumlah Kecil Mene- Besar Jumlah ngah ngah 60.74 29.88
9.38
100.00 81.00 11.15
7.85
100.00
2. Pertambangan dan Penggalian
0.46
0.15
99.39
100.00
0.57
0.47
98.96
100.00
3. Industri
2.63 28.27
69.09
100.00
3.00 14.72
82.28
100.00
0.00 100.00
0.00 100.00
100.00
a. Industri Migas
0.00
100.00
0.00
b. Industri Tanpa Migas 1. Makanan, Minuman dan Tembakau
2.97 31.84 2.83 33.11
65.19 64.06
100.00 100.00
3.58 17.53 5.15 23.17
78.89 71.69
100.00 100.00
2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki
4.42 25.36
70.22
100.00
4.89 17.61
77.50
100.00
3. Brg. Kayu dan Hasil Hutan lainnya
2.02 23.11
74.87
100.00
8.80 27.42
63.78
100.00
4. Kertas dan Barang Cetakan
0.17 11.81
88.02
100.00
4.40 19.46
76.14
100.00
5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet
0.04 12.41
87.56
100.00
3.78 13.87
82.35
100.00
6. Semen dan Barang Galian Bukan Logam 11.13 29.93
58.94
100.00
9.62 14.76
75.62
100.00
7. Logam Dasar Besi dan Baja
0.60 29.46
69.94
100.00
0.00 14.87
85.13
100.00
8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya
0.00 42.26
57.74
100.00
0.21 12.02
87.77
100.00
9. Barang Lainnya
9.70 69.77
20.53
100.00 10.53 44.72
44.75
100.00
3.25 24.79
71.96
100.00
84.30
100.00
Total
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
3.89 11.81
98 Secara keseluruhan, kontribusi usaha kecil dalam menunjang ekspor masih relatif kecil yaitu hanya 3.25 persen pada tahun 1998 dan meningkat menjadi 3.89 persen pada tahun 2006. Namun demikian, usaha kecil pada sektor pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 60.74 persen dari total ekspor sektor pertanian pada tahun 1998 dan meningkat menjadi 81 persen pada tahun 2006. Sektor usaha menengah mampu memberikan kontribusi sebesar 24,79 persen pada tahun 1998 dan menurun menjadi 11.81 persen pada tahun 2006. Sementara itu, usaha besar memberikan kontribusi yang paling tinggi yaitu 71.96 persen pada tahun 1998 dan meningkat menjadi 84.30 persen pada tahun 2006. Peranan IKM dalam kontribusinya pada ekspor relatif tidak banyak mengalami perubahan yang berarti selama periode tahun 1998 – 2006 dimana ekspor IKM turun dari 34.89 persen pada tahun 1998 menjadi 21.11 persen pada tahun 2006. Peranan IKM dalam ekspor cenderung tinggi pada tahun-tahun awal terjadinya krisis ekonomi yaitu tahun 1998-1999, tetapi peranannya mulai digantikan oleh industri besar yang mulai pulih dari krisis ekonomi yaitu tahun 2004 – 2006.
Tabel 42. Jumlah Pangsa Ekspor Sektor Industri Menurut Skala Usaha
Tahun 1997 1998 1999 2000
Kecil 1 969 (1.84) 10 468 (2.97) 9 306 (3.60) 13 333 (3.74)
Menengah 35 300 (33.05) 112 393 (31.84) 34 939 (13.52) 53 063 (14.89)
Milyar Rupiah (Persen) IKM Besar Jumlah 106 815 37 269 69 546 (100.00) (34.89) (65.11) 352 961 122 861 230 100 (100.00) (34.81) (65.19) 258 363 44 245 214 118 (100.00) (17.13) (82.87) 356 307 66 395 289 911 (100.00) (18.63) (81.37)
99 Tabel 42. Lanjutan Jumlah 380 792 (100.00) 355 288 (100.00) 333 515 (100.00) 421 016 (100.00) 468 387 (100.00) 511 246 (100.00)
40.00
90.00
35.00
80.00
30.00
70.00 60.00
25.00
50.00
20.00
40.00
15.00
30.00
10.00
20.00
5.00
10.00
0.00
0.00
Ekspor Industri Besar (Persen)
Kecil Menengah IKM Besar 13 063 57 789 70 852 309 940 (3.43) (15.18) (18.61) (81.39) 2002 11 267 65 567 76 834 278 454 (3.17) (18.45) (21.63) (78.37) 2003 11 513 54 209 65 722 267 793 (3.45) (16.25) (19.71) (80.29) 2004 16 456 69 738 86 194 334 821 (3.91) (16.56) (20.47) (79.53) 2005 17 289 80 373 97 663 370 725 (3.69) (17.16) (20.85) (79.15) 2006 18 288 89 627 107 915 403 330 (3.58) (17.53) (21.11) (78.89) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Ekspor IKM (Persen)
Tahun 2001
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 IKM Skala Besar
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah) Gambar 11. Perkembangan Ekspor Sektor Industri Menurut Skala Usaha
2.3.4.4. Investasi Pada periode tahun 1999 – 2006, terjadi perubahan dalam alokasi investasi. Pada periode tersebut, sektor primer dan sektor sekunder (industri) mengalami
100 penurunan dalam penyerapan investasi. Investasi pada sektor primer menurun dari 7.74 persen pada tahun 1999 menjadi 6.87 persen pada tahun 2006. Investasi sektor industri menurun dari 16.87 persen menjadi 10.96 persen. Di sisi lain, investasi pada sektor jasa-jasa mengalami peningkatan dari 75.39 persen pada tahun 1999 menjadi 82.17 persen pada tahun 2006. Kondisi ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 43. Dilihat dari nilainya, investasi pada ketiga sektor tersebut cenderung mengalami peningkatan. Investasi pada sektor primer meningkat dari Rp 6.18 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 29.27 triliun pada tahun 2006. Investasi pada sektor industri meningkat dari Rp 13.76 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 52.12 triliun. Sementara itu, investasi pada sektor jasa meningkat dari Rp 58.34 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 323.22 triliun pada tahun 2006.
Tabel 43. Jumlah dan Pangsa Investasi Menurut Skala Usaha Berdasarkan Harga Berlaku Juta Rupiah (Persen) Tahun Total Sektor Usaha Primer Industri Jasa 1999 17 488 373 38 123 502 170 403 891 226 015 766 (7.74) (16.87) (75.39) (100.00) 2000 21 216 060 43 161 697 211 503 535 275 881 292 (7.69) (15.65) (76.66) (100.00) 2001 24 766 817 42 072 309 247 226 628 314 065 754 (7.89) (13.40) (78.72) (100.00) 2002 24 800 081 42 905 109 258 460 074 326 165 264 (7.60) (13.15) (79.24) (100.00) 2003 25 172 640 41 972 792 285 215 040 352 360 472 (7.14) (11.91) (80.94) (100.00) 2004 35 269 485 62 734 881 394 845 532 492 849 898 (7.16) (12.73) (80.11) (100.00)
101 Tabel 43. Lanjutan Tahun
Sektor Usaha Primer Industri Jasa 2005 46 066 177 72 653 945 538 895 948 (7.01) (11.05) (81.95) 2006 54 947 025 87 672 195 657 464 269 (6.87) (10.96) (82.17) Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Total 657 616 070 (100.00) 800 083 489 (100.00)
Gambar 12. Perkembangan Investasi Tahun 1999 – 2006 Menurut Harga Konstan
Jika dilihat pada masing-masing sektor usaha, ada beberapa sektor usaha yang pangsa penyerapan investasinya mengalami penurunan yaitu sektor pertanian; sektor industri; sektor listrik, gas dan air bersih. Sementara itu, sektor-sektor usaha yang pangsa penyerapan investasinya mengalami peningkatan adalah sektor bangunan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa. Kondisi ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 44. Sementara itu, jika investasi dilihat dari sisi skala usaha, maka usaha kecil, menengah dan besar masing-masing menyerap investasi sebesar 20.64 persen,
102 25.59 persen dan 53.78 persen. Sektor-sektor usaha yang cenderung membutuhkan kapital yang besar, maka pangsa penyerapan investasinya akan lebih banyak ke usaha berskala besar seperti sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri, sektor listrik, gas dan air bersih. Penyerapan investasi usaha kecil dan menengah banyak terdapat pada sektor-sektor pertanian; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Kondisi ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 45.
Tabel 44. Pangsa Investasi Menurut Sektor Usaha Sektor 1999 2000 2003 1. Pertanian 5.00 4.92 4.31 2. Pertambangan dan Penggalian 2.74 2.77 2.83 3. Industri 16.87 15.65 11.91 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 10.69 11.02 11.10 5. Bangunan 0.83 0.83 0.89 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 9.76 9.92 9.40 7. Pengangkutan dan Komunikasi 15.83 16.49 18.93 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 14.61 15.36 14.25 9. Jasa-Jasa 23.68 23.04 26.38 Jumlah 100.00 100.00 100.00 Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
(Persen) 2006 4.22 2.64 10.96 7.58 0.96 11.04 21.16 15.73 25.71 100.00
Berdasarkan harga konstan, nilai investasi pada sektor industri baik untuk industri berskala kecil, menengah dan besar cenderung mengalami peningkatan pada periode tahun 1999 – 2006. Peningkatan investasi terbesar terjadi pada periode tahun 2004 – 2006. Nilai investasi IKM meningkat dari Rp 5.92 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 18.24 triliun. Sementara itu, investasi pada industri besar meningkat dari Rp 7.65 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 33.30 triliun pada tahun 2006. Kondisi ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 13.
103 Tabel 45. Pangsa Investasi Menurut Sektor dan Skala Usaha Tahun 2006 (Persen) Skala Usaha MeneSektor Kecil ngah 1. Pertanian 1.35 1.90 2. Pertambangan dan Penggalian 0.12 0.16 3. Industri 0.70 3.10 a. Industri Migas 0.00 0.00 b. Industri Tanpa Migas 0.70 3.10 1. Makanan, Minuman dan Tembakau 0.48 0.22 2. Tekstil, Barang Kulit dan Alas kaki 0.01 0.48 3. Barang Kayu dan Hasil Hutan lainnya 0.03 0.24 4. Kertas dan Barang Cetakan 0.06 0.19 5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 0.03 0.89 6. Semen dan Barang Galian Bukan Logam 0.05 0.08 7. Logam Dasar Besi dan Baja 0.00 0.02 8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 0.03 0.92 9. Barang Lainnya 0.01 0.06 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0.04 0.23 5. Bangunan 0.14 0.36 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 3.38 4.13 7. Pengangkutan dan Komunikasi 5.90 5.90 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 5.11 5.30 9. Jasa-Jasa 3.90 4.50 Total Investasi 20.64 25.59 Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah)
Besar 0.98 2.36 7.16 0.12 7.03 0.69 0.53 0.23 0.61 1.84 1.29 0.20 1.61 0.04 7.31 0.45 3.53 9.35 5.32 17.31 53.78
Jumlah 4.22 2.64 10.96 0.12 10.83 1.40 1.01 0.50 0.86 2.76 1.42 0.23 2.55 0.11 7.58 0.96 11.04 21.16 15.73 25.71 100.00
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM, 2008 (Diolah) Gambar 13. Perkembangan Investasi Industri Kecil Menengah dan Industri Besar Tahun 1999 – 2006 Menurut Harga Konstan
104 2.4. Studi tentang Deindustrialisasi Beberapa studi yang terkait dengan deindustrialisasi adalah Rowthorn dan Ramaswamy (1997), Rowthorn dan Ramaswamy (1998), Choi (2005) dan Jakti dan Suwarman
(2005). Jakti dan Suwarman
(2005) melakukan penelitian yang
bertujuan untuk menginvestigasi variabel-variabel yang signifikan mempengaruhi kontribusi sektor industri dalam perekonomian Indonesia. Melalui analisis perilaku variabel-variabel yang signifikan tersebut dapat diidentifikasi faktor-faktor apakah yang secara signifikan mendorong terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Variabel terikat yang digunakannya adalah pangsa nilai tambah sektor industri dalam PDB. Sementara variabel-variabel penjelasnya adalah pendapatan per kapita, harga riil produk-produk industri, pangsa pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) dalam PDB, pangsa nilai ekspor produk-produk industri dalam PDB, pangsa nilai impor produk-produk industri dalam PDB, pangsa neraca perdagangan produk-produk industri dalam PDB, pangsa nilai impor bahan baku dalam PDB, dan pangsa nilai impor barang modal dalam PDB. Metode ekonometri yang digunakan adalah analisis kointegrasi dengan Metode Bounds Testing Cointegration pendekatan ARDL (Autoregressive Distributed Lag). Hasil estimasi dua model penelitian menunjukkan dalam jangka panjang pendapatan per kapita, pangsa PMTDB dalam PDB, pangsa nilai ekspor produk industri dalam PDB, pangsa neraca perdagangan produk industri dalam PDB, dan pangsa nilai impor barang modal dalam PDB, berdampak positif terhadap kontribusi sektor industri industri dalam PDB. Sedangkan harga riil produk industri dan pangsa nilai impor produk industri dalam PDB berdampak negatif terhadap kontribusi sektor industri dalam PDB. Sementara itu, pangsa nilai
105 impor bahan baku dalam PDB tidak memiliki hubungan jangka panjang dengan kontribusi sektor industri dalam PDB. Hasil analisis Jakti dan Suwarman (2005) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum mencapai tahap perekonomian sangat maju, yang dicirikan dengan belum tercapainya suatu tingkat pendapatan per kapita titik balik (turning point) yaitu suatu titik dimana peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya justru akan menurunkan kontribusi sektor industri dalam PDB. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses deindustrialisasi di Indonesia beberapa tahun terakhir bukanlah dampak alamiah dari keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, melainkan lebih disebabkan oleh berbagai goncangan (shock) terhadap sistem perekonomian. Jakti dan Suwarman (2005) merekomendasikan perlunya kebijakan yang bersifat
komprehensif
guna
mengatasi
sejumlah
goncangan
terhadap
perekonomian, yang mendorong terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, sejumlah goncangan (shock) tersebut adalah anjloknya total investasi kapital (PMTDB), menurunnya kinerja ekspor produk industri Indonesia di pasar internasional, membanjirnya impor produk industri di pasar domestik, serta menurunnya impor barang modal. Guna menghadapi perdagangan dunia yang semakin bebas, perlu upaya peningkatan daya saing industri domestik. Diantara upaya yang harus dilakukan adalah mendorong peningkatan kualitas produk, peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi, penghapusan ekonomi biaya tinggi, penanganan distorsi di pasar tenaga kerja, serta pemberantasan impor illegal produk-produk industri. Dalam jangka panjang harus ada kebijakan yang mendorong upaya peningkatan kinerja
106 industri domestik, yang antara lain : (1) kebijakan peningkatan pengembangan IPTEK melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D); (2) kebijakan pengembangan subsektor industri yang berbasis pada bahan baku domestik; serta (3) kebijakan pengembangan subsektor industri barang modal dalam negeri yang mampu mendukung peningkatan teknologi produksi industri nasional (supporting industry). Sementara untuk jangka pendek, perlu adanya kebijakan yang mendorong program peremajaan mesin-mesin dan peralatan produksi industri domestik yang sudah “kadaluarsa”. Upaya peremajaan mesin-mesin dan peralatan produksi dalam jangka pendek tersebut bisa dilakukan dengan kebijakan yang menunjang impor barang modal. Sementara itu, Rowthorn dan Ramaswamy (1997) menggunakan analisis regresi untuk menghitung dampak berbagai faktor pada pangsa tenaga kerja industri pada beberapa kelompok negara industri. Model yang dikembangkannya mengikuti pendekatan umum yang digunakan oleh Rowthorn dan Wells (1987) yang telah dimodifikasi untuk melihat pengaruh pembentukan kapital dan perdagangan utara-selatan. Data yang digunakan adalah tahun 1963, 1970, 1975, 1980, 1985, 1990 dan 1994 yang mencakup 21 dari 23 kelompok negara-negara industri dalam World Economic Outlook (yang berhubungan dengan kelompok negara-negara OECD).
Variabel terikat yang digunakan dalam regresi adalah
pangsa (dalam persen) tenaga kerja sipil sektor industri yang diperoleh dari OECD Historical Statistics.
Berbagai variabel bebas digunakan.
Untuk menangkap
pengaruh pembangunan ekonomi pada struktur tenaga kerja, semua persamaan menggunakan log dan log kuadrat untuk pendapatan per kapita real, yang dikonversi pada nilai 1986 dolar US purchasing power parities (PPP) dalam database IMF World Economic Outlook. Variabel perdagangan mengacu pada
107 ekspor atau impor produk-produk industri dalam nilai dolar saat ini yang dinyatakan dalam persentase terhadap PDB dengan nilai dolar pada PPP. Untuk menghitung pengaruh perdagangan secara menyeluruh pada masingmasing negara, Rowthorn dan Ramaswamy (1997) menggunakan variabel ekspor dan impor produk industri total suatu negara. Untuk mengidentifikasi pengaruh khusus yang muncul dari perdagangan utara-selatan, Rowthorn dan Ramaswamy (1997) memisahkan variabel untuk perdagangan antar kelompok negara-negara industri dan kelompok negara-negara berkembang. Statistik perdagangan diambil dari database UNCTAD. Variabel bebas lainnya adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebagai persentase dari PDB pada harga konstan dan persentase laju pengangguran. Terakhir, beberapa regresi menggunakan variabel dumy untuk negara atau tahun. Hasil penelitian Rowthorn dan Ramaswamy (1997), menunjukkan bahwa variabel pendapatan tidak signifikan secara statistik. Pada sisi lain, variabel neraca perdagangan selalu signifikan.
Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan
internasional dalam pangsa tenaga kerja industri utamanya disebabkan oleh pola spesialisasi perdagangan, sebagaimana ditunjukkan oleh neraca perdagangan produk industri. Hasil penelitian Rowthorn dan Ramaswamy (1997), juga menunjukkan bahwa variabel-variabel seperti log PDB, log PDB kuadrat, neraca perdagangan total, total ekspor, total impor, ekspor ke negara-negara Selatan, impor dari negaranegara Selatan dan variabel-variabel dumy berpengaruh signifikan pada pangsa tenaga kerja sektor industri. Koefisien pendapatan menunjukkan bahwa pangsa tenaga kerja sektor industri akan mencapai puncaknya pada saat pendapatan per
108 kapita sebesar $ 8 185 (+/- $ 990) yang diukur dalam dolar US tahun 1986. Ketika perekonomian mencapai angka tersebut, maka pertumbuhan selanjutnya akan menyebabkan pangsa tenaga kerja sektor industri turun. Sementara itu, koefisien neraca perdagangan menunjukkan bahwa penurunan 1 persen rasio net ekspor sektor industri terhadap PDB akan menyebabkan pangsa tenaga kerja sektor industri menurun sebesar 0.44 persen. Estimasi sebelumnya menyatakan bahwa perdagangan dapat mempengaruhi tenaga kerja sektor industri domestik hanya melalui suatu perubahan dalam neraca perdagangan, sehingga perubahan yang sama baik ekspor maupun impor tidak mempunyai pengaruh pada struktur tenaga kerja domestik. Wood (1994, 1995) menjawab preposisi ini dengan menggunakan kasus perdagangan utara-selatan. Ia berargumen bahwa impor produk-produk yang padat tenaga kerja ke Utara dari negara-negara berkembang akan menghancurkan lebih banyak pekerjaan daripada membangkitkan ekspor produk-produk padat keterampilan oleh negara-negara Utara. Selanjutnya, suatu keseimbangan dalam perdagangan utara-selatan akan menurunkan tenaga kerja di Utara, sebab banyak pekerjaan dengan keterampilan rendah yang hilang akibat bersaing dengan produk impor sehingga industri akan kelebihan pekerjaan-pekerjaan baru yang tercipta dalam sektor ekspor.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa perdagangan utara-selatan nampaknya bukan merupakan faktor utama di balik penurunan tenaga kerja sektor industri di negaranegara maju. Pengaruh penting pada komposisi permintaan adalah laju pembentukan modal.
Mayoritas pengeluaran investasi termasuk pembelian produk-produk
industri seperti bangunan pabrikasi, bahan-bahan konstruksi dan produk-produk tahan lama. Laju investasi yang tinggi tercermin pada pangsa sektor industri baik
109 dalam output maupun tenaga kerja.
Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian
Rowthorn dan Ramaswamy (1997), yang menunjukkan bahwa variabel investasi selalu signifikan berpengaruh pada pangsa tenaga kerja sektor industri bahkan ketika dumy waktu dimasukkan dalam persamaan. Banyak penelitian yang mencoba untuk menjelaskan penurunan pangsa tenaga kerja industri seperti penelitian Sachs dan Schatz (1994), Wood (1994, 1995) dan Saeger (1996), umumnya sepakat bahwa faktor-faktor internal berpengaruh dalam terjadinya deindustrialisasi. Di samping itu, juga terdapat faktor-faktor eksternal seperti pertumbuhan perdagangan utara-selatan yang dapat memainkan peranan yang signifikan dalam percepatan penurunan tenaga kerja sektor industri. Peranan faktor-faktor eksternal lebih banyak ditekankan dalam penelitian Wood (1994) yang mengatakan bahwa impor produk-produk industri dari negara-negara berkembang adalah padat tenaga kerja, dan menggantikan banyak pekerja di negara-negara maju. Walaupun terjadi peningkatan neraca perdagangan utara-selatan, dalam kondisi seperti ini akan mengurangi tenaga kerja sektor industri di negara-negara utara karena hilangnya pekerjaan-pekerjaan berketerampilan rendah karena harus bersaing dengan produk impor sehingga menciptakan kelebihan pekerjaan baru yang padat keterampilan. Rowthorn dan Ramaswamy (1998) melakukan penelitian untuk menjelaskan deindustrialisasi. Temuan utamanya adalah deindustrialisasi utamanya disebabkan oleh faktor-faktor internal di negara-negara maju seperti kombinasi pengaruh dari interaksi antara pergeseran dalam pola perminaan industri dan jasa, pertumbuhan yang lebih cepat produktivitas di sektor industri dibandingkan dengan jasa, dan berhubungan dengan turunnya harga relatif produk-produk industri. Hasil regresi
110 menunjukkan bahwa perdagangan utara-selatan mempunyai kontribusi yang relatif kecil pada penurunan tenaga kerja sektor industri di negara-negara maju. Selanjutnya, kompetisi dari produsen berupah rendah mempunyai pengaruh yang kecil pada seluruh volume output industri di negara-negara maju. Choi (2005) melakukan penelitian untuk menginvestigasi pengaruh deindustrialisasi dan kesejahteraan akibat bantuan infrastruktur di negara-negara berkembang. Dalam jangka pendek, penghematan biaya bantuan infrastruktur pada sektor-sektor ekspor meningkatkan tingkat upah domestik, sementara itu bantuan yang sama dalam sektor impor menurunkan tingkat upah domestik. Biaya produkproduk yang tidak diperdagangkan meningkat ketika sektor ekspor atau impor menerima bantuan infrastruktur. Bantuan infrastruktur dalam sektor yang tidak diperdagangkan tidak mempunyai pengaruh pada harga-harga faktor domestik. Penghematan tenaga kerja bantuan infrastruktur menyebabkan perluasan sektor ekspor, sementara penghematan modal bantuan infrastruktur menghasilkan pengaruh Dutch Disease dalam sektor ekspor. Jika bantuan di bawah tingkat optimal, bantuan infrastruktur meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan konsumen. Choi (2005) juga menambahkan bahwa bantuan infrastruktur menurunkan biaya produksi dan membuat industri yang ditargetkan menjadi lebih kompetitif.
Hal ini dapat memperbaiki efisiensi produksi juga membutuhkan
penyesuaian jangka panjang dalam output, tetapi penyesuaian output tidak tergantung pada industri mana bantuan ditargetkan.
Pengaruh output akibat
penghematan tenaga kerja bantuan infrastruktur hampir sama dengan peningkatan dalam dukungan tenaga kerja. Selanjutnya, penghematan tenaga kerja bantuan infrastruktur menyebabkan perluasan pada sektor pertanian yang padat tenaga kerja, dan penyusutan atau deindustrialisasi pada sektor industri. Pada sisi yang
111 lain, penghematan modal infrastruktur menyebabkan Dutch Disease atau deagrokulturasi pada sektor ekspor tetapi perluasan pada sektor industri yang padat modal. Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan sektor industri khususnya sektor industri non-migas Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat. Wie (2000) melakukan penelitian untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap
perekonomian
dan
sektor
industri
Indonesia.
Krisis
ekonomi
menyebabkan GDP Indonesia pada tahun 1998 mengalami kontraksi sebesar 13.7 persen. Dari sembilan sektor ekonomi, hanya dua sektor yang masih mencatat pertumbuhan positif yaitu sektor pertanian (0.2 persen) dan sektor listrik, gas dan air (3.7 persen). Sektor industri sendiri mengalami kontraksi sebesar 12.9 persen. Untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap sektor industri, Wie (2000) melihatnya pada dampak terhadap output, dampak pada perusahan industri skala menengah besar, dampak pada tenaga kerja industri skala menengah besar, dampak pada utilisasi industri skala menengah besar, dampak pada industri rumah tangga dan industri kecil, dampak pada pembentukan kapital, dampak pada ekspor produkproduk industri dan dampak pada kinerja industri.
2.5. Studi tentang Peranan Sektor Industri Pada subbab 2.4 telah dijelaskan berbagai studi tentang deindustrialisasi, dengan fokus utama membahas faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses deindustrialisasi. Pada subbab ini penjelasan lebih difokuskan pada tinjauan studi tentang peranan sektor industri secara umum dan sektor industri yang dikelompokkan menjadi industri berskala kecil, menengah dan besar.
112 Akita (1991) melakukan studi dengan tujuan menjelaskan perubahan sumbersumber pertumbuhan industri dan struktur produksi yang terjadi sejak tahun 1970 dan untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah yang efektif dalam mengubah struktur ekonomi di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut
digunakan analisis input-output dengan menggunakan Tabel Input-Output 1971, 1975, 1980 dan 1985. Periode studi dibagi menjadi tiga subperiode : (1) 1971 – 1975; (2) 1975 – 1980; dan (3) 1980 – 1985. Akita (1991) menggunakan metode dekomposisi faktor yang diusulkan oleh Chenery untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan industri dari sisi permintaan untuk tiap periode, perhatian khusus ditujukan untuk mengetahui perubahan sumber-sumber pertumbuhan industri antara periode pertumbuhan yang cepat (1971 – 1980) dan periode pertumbuhan yang lambat (1980 – 1985). Metode dekomposisi faktor diperluas, perubahan output karena permintaan akhir domestik selanjutnya diuraikan menjadi perubahan karena setiap permintaan akhir domestik sektor, seperti : konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Selanjutnya studi ini menggunakan dekomposisi rata-rata sederhana menggunakan ukuran tahun dasar dan tahun akhir dari matriks invers Leontief. Dalam analisis inputoutput ini, Tabel I-O 37 sektor digunakan, tetapi gambaran umum dari proses industrialisasi dan perubahan struktur dikelompokkan ke dalam 5 klasifikasi sektor. Hasil studi Akita (1991) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan baik pada periode pertumbuhan lambat maupun pada periode pertumbuhan cepat. Sejumlah structural adjustment policy (kebijakan penyesuaian struktural) seperti devaluasi, deregulasi dan liberalisasi memegang peranan yang signifikan.
Turunnya harga minyak pada tahun 1986 mendorong pemerintah
113 Indonesia untuk menggalakkan ekspor dan liberalisasi perdagangan. Penerapan kebijakan tersebut berdampak terhadap struktur perekonomian Indonesia, menggeser kebijakan dasar dari inward-looking (industrialisasi bersubstitusi impor) pada kebijakan yang lebih outward-looking ( industrialisasi berorientasi ekspor). Berbeda dengan Akita, Supriyanto (2002) menganalisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Di samping itu, Akita menggunakan data time series, sedangkan Supriyanto menggunakan data cross section. Studi yang dilakukan Supriyanto (2002) bertujuan untuk mengidentifikasi sumbersumber pertumbuhan total factor productivity (TFP), sumber-sumber pertumbuhan industri kecil dan menengah (IKRT) dan peranan teknologi dan implikasinya terhadap pertumbuhan IKRT. Studi dekomposisi sumber-sumber pertumbuhan ini menggunakan analisis stochastic (statistical) translog production frontier, yang hanya menganalisis tiga sektor industri, yaitu : (1) pertanian, (2) industri pakaian jadi sebagai wakil sektor yang padat tenaga kerja dan modal, dan (3) industri kayu sebagai wakil sektor yang mewakili keahlian dan kultur masyarakat dan terkait dengan sektor pertanian. Hasil
analisis
pada
studi
Supriyanto
(2002)
menyebutkan
bahwa
pertumbuhan TFP meningkat pada sektor makanan, tekstil dan kayu pada periode sebelum krisis ekonomi, sedangkan pada saat krisis ekonomi hanya sektor makanan yang mengalami pertumbuhan TFP yang positif. Hal ini mengindikasikan bahwa industri yang berbasis pada sumberdaya lokal merupakan sumber pertumbuhan TFP yang cukup besar. Lebih lanjut, dikatakan bahwa peningkatan kualitas tenaga kerja pada sektor pertanian, peningkatan kualitas bahan baku pada sektor tekstil dan peningkatan kualitas kapital pada sektor kayu sangat penting bagi pertumbuhan
114 dan keberlanjutan IKRT, di samping penciptaan lingkungan usaha yang kondusif. Sementara itu, hasil analisis efisiensi menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi skala usaha lebih penting daripada peningkatan efisiensi tekniks pada industri kecil dan rumah tangga. Sementara itu, Haryono (2008) melakukan penelitian untuk melihat dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan di Indonesia. Haryono (2008) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) recursive dynamic sebagai alat analisis utama. Data yang digunakan adalah tabel input output dan Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia tahun 2003, serta data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002. Model CGE yang digunakan adalah Model Agroindustri Indonesia (CGE-AGRINDO) yang diperoleh dengan cara mengkombinasikan model CGE ORANI-F, INDOF, WAYANG dan ORANIGRD.
Model CGE-AGRINDO
bersama-sama data penunjang lainnya diolah dengan menggunakan program GEMPACK.
Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan
produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap jumlah output yang dihasilkan.
Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh
peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir seluruh sektor ekonomi mengalami peningkatan jumlah output.
Peningkatan
produktivitas agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor agroindustri, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami peningkatan. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada hampir seluruh sektor dan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terdidik (skilled) lebih besar
115 dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sebaliknya penurunan penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik. Hasil penelitian Haryono (2008) juga menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap pengurangan tingkat kemiskinan perdesaan, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada kelompok rumah tangga golongan bawah. Kondisi serupa akan terjadi apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian.
Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan
sektor keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan rendah, sebaliknya kelompok rumah tangga nonpertanian dan rumah tangga golongan atas mendapat manfaat yang lebih besar. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas agroindustri justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan produktivitas agroindustri yang diikuti dengan peningkatan produktivitas sektor pertanian, merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan mengingat manfaat terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan. Rodrigo dan Thorbecke (1997) membangun model ekonomi keseimbangan umum Indonesia yang dikembangkan dengan menentukan pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) dalam sektor industri manufaktur sebagai variabel endogenus. Pertumbuhan produktivitas dikonsepkan sebagai akumulasi modal
116 sumber daya manusia dan kapital, yang didorong melalui pembelajaran dan pengembangan institusi yang distimulasi oleh rejim perdagangan. Sementara itu Love (1997) membangun suatu model keseimbangan umum yang dinamis dalam suatu sistem perekonomian yang peran industrinya semakin kecil. Ahammad (2002) menggunakan pendekatan ekonomi keseimbangan umum untuk mengukur kontribusi sektoral dalam suatu perekonomian pada sektor pertanian di Australia barat. Di samping beberapa hasil studi di atas, ditemukan sejumlah studi yang melakukan pembahasan tentang kondisi dan peranan sektor industri pada masa krisis moneter (krismon) di Indonesia. Studi-studi tersebut antara lain dilakukan oleh Wie (2000), Aswicahyono dan Pangestu (2000), Fukuchi (2000) dan Sato (2000). Studi yang dilakukan Wie (2000) memaparkan dampak krismon terhadap berbagai komponen sektor industri, seperti produksi, jumlah usaha menengah dan besar, kesempatan kerja pada usaha-usaha tersebut, level pemanfaatan kapasitas dalam usaha tersebut, trend usaha kecil dan rumah tangga, investasi, espor dan prestasi (daya guna). Temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa krismon memberikan dampak yang besar terhadap sektor industri. Pertama, output sektor industri menurun sebesar 12.9 persen pada tahun 1998, di mana alat dan mesin transportasi, semen dan bahan nonmetal serta subsektor besi dan baja yang paling terpuruk. Kedua, antara tahun 1996 dan 1998 jumlah usaha menengah dan besar menurun sebesar 2500 unit usaha (- 11 persen), tenaga kerja menurun sebanyak 680 ribu pekerja (- 16 persen), pemanfaatan kapasitas menurun dari 78 persen menjadi 72 persen, dan jumlah industri kecil dan rumah tangga menurun sekitar 670 ribu unit usaha (- 23 persen). Ketiga, dari tahun 1997 ke 1998 impor barang-
117 barang kapital menurun dari $ 9.3 juta menjadi $ 5.8 juta ( - 38 persen), investasi domestik menurun dari Rp 79 triliun menjadi Rp 45 triliun (- 43 persen) dan investasi langsung luar negeri menurun dari $ 23 juta menjadi $ 8 juta (- 64 persen). Keempat, walaupun nilai tukar terdepresiasi sangat besar, ekspor sektor industri masih tetap konstan ($ 35.0 juta pada tahun 1997 dan $ 34.6 juta pada tahun 1998). Kelima, hasil survey terhadap 1200 perusahaan yang dilakukan oleh World Bank – BAPPENAS – BPS menyebutkan bahwa dampak krisis terhadap prestasi perusahaan beragam, yaitu : (1) perusahaan-perusahaan yang berorientasi pasar domestik menderita kerugian lebih besar daripada perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor dan perusahaan-perusahaan afiliasi luar negeri, (2) jumlah perusahaan-perusahaan yang berada di Jawa menurun tajam, (3) sejumlah perusahaan yang paling berpengaruh dan berpengalaman mengalami penurunan yang kecil karena perusahaan-perusahaan tersebut berorientasi ekspor, (4) penyebab utama penurunan output perusahaan adalah penurunan permintaan domestik, peningkatan biaya impor bahan baku dan biaya kapital yang lebih tinggi. Berdasarkan temuan tersebut, Wie (2000) menyatakan bahwa penting untuk merestrukturisasi perbankan dan hutang perusahaan dan meningkatkan ekspor produk industri.
Sementara itu, perbaikan teknologi industri diperlukan untuk
mewujudkan pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan dari sektor industri. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Aswicahyono dan Pagestu (2000) memfokuskan pada evaluasi terhadap competitive power (daya saing) dari sektor industri Indonesia dan menganalisis trend sebelum dan sesudah krismon. Studi ini melihat volume dan nilai ekspor non minyak pada periode 1991 – 1999. Kemudian melakukan analisis keunggulan komparatif dan pemetaan perdagangan (RCA),
118 analisis constant market share (CMS) dari ekspor dan impor pada periode sebelum krisis (1986 – 1996), dan kemudian menggambarkan efek komoditas, negara dan daya saing menurut subsektor.
Observasi dan analisis berdasarkan pada
dekomposisi sektor industri ke dalam ISIC subsektor tiga digit atau subkelompok yang memadai. Hasil studi ini menyatakan ada dua konsekuensi penting dari krismon. Pertama, terjadi penurunan upah riil yang besar akibat inflasi yang tinggi, walaupun upah nominal meningkat. Kedua, investasi perusahaan merosot. Penulis menyatakan bahwa ekspor dalam jangka pendek tidak akan menjadi penggerak economic recovery (perbaikan ekonomi) karena mereka mengandalkan input impor.
Dalam rangka perbaikan ekonomi ditekankan pentingnya peranan
pendidikan dan foreign direct investment (FDI). Fukuchi (2000) menggunakan pendekatan ekonometrika untuk menganalisis dampak krismon terhadap sektor industri dengan menggunakan data time series (Januari 1996 – Desember 1998). Fukuchi membagi sektor industri ke dalam sembilan subsektor dan membagi periode krismon menjadi tiga subperiode, yaitu : bandwagon subperiod (Agustus – Desember 1997), free fall subperiod (Januari – Juli 1998) dan stagnation period (Agustus – Desember 1998). Fukuchi menyatakan bahwa satu corak signifikan dari krismon adalah ketidakstabilan politik secara substansial yang terjadi dalam subperiode kedua yang menyebabkan kekacauan ekonomi. Nilai tukar mengalami penurunan yang tajam terutama pada bulan Januari dan Juni 1998, yang tidak dapat dijelaskan dengan baik secara ekonomi karena hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh gangguan non ekonomi. Oleh karena itu, Fukuchi memperkirakan suatu fungsi nilai tukar menggunakan data sampai dengan akhir subperiode pertama berdasarkan pada lima variabel ekonomi yang penting. Ia kemudian menghitung kesalahan prediksi dari
119 nilai tukar dalam subperiode kedua dan ketiga, dan mendefinisikan sebagai gangguan nonekonomi. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menganalisis secara ekonometrik trend indeks produksi untuk subsektor industri berdasarkan pada indeks ekonomi seperti halnya pada gangguan non ekonomi. Setelah mengobservasi trend, Fukuchi menggolongkan subsektor ke dalam tiga kelompok : (1) agriculture-related-industry (industri yang terkait dengan pertanian), (2) light industry (industri ringan), dan (3) capital goods industry (industri barang modal). Kelompok yang pertama dirusakkan tetapi dengan cepat disembuhkan dan mencapai tingkatan output paling tinggi pada bulan Desember 1998. Kelompok yang kedua menunjukkan perubahan yang mudah menguap dan tingkat produksinya pada bulan Desember 1998 adalah 11 persen di bawah tingkat produksi pra-krismon. Kelompok yang ketiga cukup baik sebelum krismon, tetapi dirusak dengan sangat parah oleh krisis, dan tingkat produksinya pada bulan Desember 1998 hanya setengah dari tingkat produksi pra-krismon.
Beberapa
subsektor diuntungkan dari depresiasi rupiah dan terjadi ekspansi ekspor yang cepat, sedangkan subsektor lainnya sangat menderita dari sisi penawaran (kekurangan bahan baku yang diimpor dan keterbatasan finansial) dan juga dari sisi permintaan (permintaan domestik merosot). Fukuchi mengestimasi persamaanpersamaan untuk menjelaskan trend bulanan dari indeks produksi menurut subsektor (Januari 1996-Desember 1998), dan menunjukkan pentingnya kontribusi faktor.
Ia juga memperkenalkan hasil proyeksi sampai Desember 1999 dan
menunjukkan lanjutan dari efek yang membandingkan krismon pada subsektor yang berbeda. Mengacu pada analisisnya tentang dampak krismon dari dua sisi, Fukuchi menekankan pentingnya diversifikasi sektor industri dalam jangka pendek
120 dalam rangka
menjamin pengembangan sektor industri
Indonesia
yang
berkesinambungan. Studi yang dilakukan Wie (2000), Aswicahyono dan Pangestu (2000) dan Fukuchi (2000) belum membedakan sektor industri menjadi industri kecil, menengah dan besar, padahal perilaku ekonomi kelompok industri ini berbeda dalam merespon krisis moneter di Indonesia. Salah satu studi yang merinci sektor industri menjadi industri kecil, menengah dan besar adalah studi yang dilakukan Sato (2000). Sato (2000) melakukan suatu studi lapangan tentang industri logam di Pulau Jawa yang berkonsentrasi pada analisis dampak krismon terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. Dampak terhadap UKM sulit untuk dinilai secara menyeluruh sebab data statistik industri tahunan pemerintah hanya
mencakup
perusahaan ukuran menengah dan besar. Studi ini mengulas keterbatasan data statistik yang tersedia dan melakukan studi yang berhubungan dengan UKM selama periode krisis dan kemudian melakukan studi lapangan yang menghasilkan sejumlah aspek seperti dampak terhadap prestasi UKM, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi UKM dan respon UKM terhadap krisis. Studi lapangan dilakukan pada beberapa lokasi terpilih di Pulau Jawa yang mencakup DKI Jakarta, kota besar lokal dan cluster di pedesaan. Sato melakukan wawancara intensif dengan lima puluh pemilik UKM, semua berhubungan dengan barang logam dan memproduksi komponen mesin. Industri ini menjadi subsektor yang menderita selama krisis, dan 65 persen dari responden melaporkan bahwa prestasi perusahaan mereka kurang baik. Tetapi studi juga menemukan bahwa prestasi UKM pada sektor ini menunjukkan variasi yang lebar, berkisar antara tidak memperoleh keuntungan dan produksi terhenti sampai pada
121 tingkat keuntungan beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.
Studi ini menguji sejumlah faktor yang mungkin untuk
menjelaskan prestasi yang beragam : orientasi pasar, ukuran, lokasi, keterkaitan dan ekspose hutang UKM. Studi ini menemukan bahwa faktor yang paling penting adalah keterkaitan dan orientasi pasar. Prestasi terbaik UKM adalah keberhasilan dalam mengalihkan atau menggeser produk ke proyek yang terkait dengan pemerintah atau berorientasi ekspor. Peningkatan permintaan terhadap barang-barang inferior dan substitusi impor adalah hal positif lainnya dari pasar faktor. Dalam pergeseran produk, UKM secara selektif menggunakan keterkaitan mereka dengan pedagang besar yang mampu menemukan pasar. Di sisi lain, UKM yang mempunyai keterkaitan dengan asembler tertentu dan pabrik pengguna pada umumnya dipengaruhi secara negatif. UKM yang masih baru saja memulai untuk tumbuh sebagai subkontraktor dalam aglomerasi industri perkotaan adalah suatu kasus belakangan. Studi menunjukkan bahwa sangat banyak prestasi UKM selama krisis. Yang menarik, respon UKM untuk tetap bertahan bervariasi menurut individu perusahaan dan tidak tergantung pada derajat penderitaan atau pada ukuran. Studi ini menunjukkan heterogenitas UKM pada sektor yang sama dalam merespon krisis (Sato, 2000). Sebagai perbandingan atas berbagai studi yang menjelaskan tentang peranan UKM/IKM di Indonesia, selanjutnya dipaparkan tentang peranan IKM pada berbagai negara. Berbagai studi tentang peranan IKM pada berbagai negara yang dipaparkan, antara lain studi IKM di Korea oleh Shin (2002) dan Jung (2002); studi perbandingan IKM di Korea dan Taiwan oleh Abe dan Kawakami (1997) serta Hall
122 dan Harvie (2003), studi IKM di Kroasia oleh Cziraky et al. (2002); dan studi IKM di China oleh Yonggui et al. (2002). Shin (2002) melakukan studi tentang supply chain management for SMEs di ASIAN, khususnya di Korea.
UKM berperan penting dalam perekonomian
nasional Korea, terutama diperlihatkan oleh kontribusi UKM dari aspek pangsa penyerapan tenaga kerja sebesar 70 persen, pangsa output lebih dari 40 persen, dan volume ekspor lebih dari 42 persen. Studi ini bertujuan untuk menyelidiki manfaat dan dampak penerapan sistem point of sales (POS), karakteristik organisasi dan aplikasi sistem POS oleh pengguna. Perusahaan-perusahaan yang diklasifikasi sebagai UKM adalah perusahaan-perusahaan dengan tenaga kerja tidak lebih dari 300 orang.
Hasil utama studi ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan
berskala besar mampu menerapkan sistem POS dengan baik (sampai pada level 3), sedangkan UKM hanya mampu menerapkan sistem POS sampai pada level 2. Konsekuensinya perusahaan-perusahaan berskala besar memperoleh manfaat lebih besar dengan menerapkan sistem POS daripada perusahaan-perusahaan berskala kecil dan menengah. Dalam artikelnya, Jung (2002) menyatakan bahwa Korea Selatan telah mengubah arah pengembangan usaha dari penekanan pada kelompok UB pada UKM sejak tahun 1999. Perubahan arah ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa pada saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Korea Selatan sejak Juli 1997, sepertiga dari UB di Korea Selatan collaps sedangkan UKM tetap tumbuh dan berkembang dengan baik.
Sejak tahun 1999, kontribusi UKM dalam
perekonomian Korea Selatan menunjukkan peningkatan yang berarti dan lebih baik dari UB. Untuk mendorong pengembangan UKM, pemerintah Korea Selatan telah menerapkan sistem jaminan kredit kepada UKM sebagai upaya untuk
123 memperlancar upaya meminjam uang di bank. Di samping itu, pemerintah Korea Selatan juga mengimplementasikan program pengembangan sumberdaya manusia, teknologi dan manajemen jasa konsultasi. Jung menegaskan bahwa di satu sisi intervensi pemerintah akan menciptakan usaha-usaha baru, di sisi lain intervensi langsung dari pemerintah dapat menyuburkan opportunistic behaviour dan moral hazard di antara pelaku bisnis. Abe dan Kawakami (1997) serta Hall dan Harvie (2003) melakukan studi tentang perbandingan kondisi UKM di Korea dan Taiwan. Abe dan Kawakami (1997) melakukan studi tentang perbandingan ukuran usaha di Korea dan Taiwan. Mereka
menyatakan
bahwa
pemerintah
Korea
lebih
menekankan
pada
pengembangan UB (conglomerate business groups, chaebols), sedangkan pemerintah Taiwan lebih menekankan pada pengembangan UKM. Selanjutnya Hall dan Harvie (2003) melakukan studi tentang kinerja UKM di Korea dan Taiwan. Hall dan Harvie menyatakan bahwa pascakrisis ekonomi, pemerintah Korea dan Taiwan lebih menekankan pada pengembangan UKM untuk meningkatkan perekonomian mereka.
Walaupun Korea dan Taiwan sama–sama menekankan
pada pengembangan UKM, namun permasalahan yang dihadapi oleh UKM pada kedua negara tersebut berbeda. UKM di Korea dihadapkan pada masalah suku bunga yang tinggi dan akses terhadap bank yang sulit, sedangkan UKM di Taiwan tidak menghadapi kedua persoalan tersebut. Jumlah dan kinerja UKM di Korea tumbuh lebih cepat dan lebih besar daripada di Taiwan. Pertumbuhan produktivitas UKM di Taiwan lebih rendah dari perusahaan besar dan relatif stagnan sejak awal tahun 1990-an, sedangkan di Taiwan menunjukkan peningkatan dan lebih besar daripada ukuran besar.
124 Studi lainnya yang merinci sektor industri menjadi industri kecil, menengah dan besar dilakukan oleh Cziraky et al. (2002) dan Yonggui et al. (2002). Studi yang dilakukan Cziraky et al. (2002) dilatarbelakangi oleh fenomena bahwa UKM mendominasi perekonomian Kroasia, namun UKM di negara ini mengalami kesulitan dalam memperoleh pinjaman dan akses terhadap kredit yang terbatas. Berdasarkan permasalahan tersebut, studi ini bertujuan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pinjaman UKM di Kroasia. Studi ini menggunakan pendekatan multivariate berdasarkan pada model persamaan struktural (LISREL) dengan menggunakan latent variables aplikasi pinjaman. Mereka menguji perbedaan dalam matriks kovarians dari variabel-variabel yang diobservasi dan implikasi model yang dapat diterima atau ditolak dan membandingkan sub-sub sampel antara berbagai bank. Hasil utama studi Cziraky et al. (2002) menunjukkan bahwa bank-bank lebih menyukai perusahaanperusahaan kecil yang meminjam uang lebih sedikit. Hasil ini menegaskan bahwa bank-bank secara individual memiliki kriteria dan preferensi besar pinjaman yang berbeda serta tidak ada korelasi positif antara ukuran bank dan preferensi besar pinjaman. Yonggui et al. (2002) melakukan studi yang bertujuan untuk menguji satu set variabel/faktor internal dan eksternal yang mungkin secara kritis untuk membedakan pertumbuhan UKM yang tinggi dari prestasi UKM yang rendah. Studi berdasarkan pada sampel UKM yang besar di wilayah utara China. Studi ini mengikuti tahapan analisis sebagai berikut. Pertama, menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi
manajemen/enterpreneur,
dan
faktor-faktor
karakteristik
pembeda
perusahaan,
seperti
strategi
tim
top
organisasi
dan
lingkungan eksternal diidentifikasi berdasarkan berbagai studi terdahulu. Kedua,
125 menggunakan factor analysis (analisis faktor) untuk mengurangi variabel dan menguji reliabilitas dan validitas skala. Ketiga, menggunakan teknik one-way ANOVA untuk mengkonfirmasikan kehadiran diferensial prestasi pertumbuhan antara kelompok-kelompok yang berbeda dari perusahaan menurut standar yang berbeda. Keempat, analisis regresi logistik digunakan untuk mengindentifikasi faktor-faktor kunci yang membedakan pertumbuhan UKM yang tinggi dari UKM dengan pencapaian pertumbuhan yang rendah. Hasil studi Yonggui et al. (2002) menunjukkan bahwa faktor tim top manajemen, karakteristik perusahaan, strategi organisasi dan faktor lingkungan eksternal mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi pertumbuhan UKM dan menjadi kunci faktor pembeda. Bagaimanapun, tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang sama atau mempunyai pengaruh yang signifikan seperti diusulkan oleh studi lain yang berhubungan dengan kejadian di luar China.
Atas dasar
sampel wilayah yang besar, lebih dari 10 ribu perusahaan kecil dan menengah, ditemukan bahwa general manager/pemilik dan rata-rata umur tim top manajemen secara signifikan berpengaruh negatif terhadap prestasi pertumbuhan UKM, sedangkan tingkat pendidikan direktur/pemilik berpengaruh positif. Begitu juga dengan sebagian faktor karakteristik perusahaan, seperti ukuran perusahaan, jumlah karyawan terampil yang lebih muda dan umur perusahaan berpengaruh positif. Untuk kelompok faktor strategi organisasi dan lingkungan eksternal, peubah yang berpengaruh positif adalah strategi inovasi, strategi diversifikasi, strategi kerjasama dalam produksi, derajat tingkat penguasaan dan lingkungan eksternal yang baik terhadap
percepatan
pertumbuhan
UKM,
sedangkan
berpengaruh negatif terhadap prestasi pertumbuhan bisnis.
strategi
perbedaan
126 Sementara itu, Djaimi (2006) melakukan penelitian untuk menganalisis peranan, perilaku dan kinerja industri kecil menengah (IKM) dalam perekonomian Indonesia. Analisis peranan IKM menggunakan pendekatan Social Accounting Matrix dengan 43 neraca endogen yang terdiri dari 33 sektor produksi, 8 kelompok rumah tangga, institusi pemerintah dan swasta, dan 3 neraca eksogen. Analisis perilaku dan kinerja IKM menggunakan pendekatan Structural Equation Model yang diestimasi dengan metode Asymtotically Distribution Free.
Hasil studi
dengan menggunakan pendekatan Social Accounting Matrix memperlihatkan bahwa peranan IKM lebih besar daripada industri skala besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan di Indonesia. IKM yang memiliki peranan paling besar adalah industri-industri yang berbasis pertanian.
Karena mayoritas penduduk Indonesia hidup di perdesaan, dan
didominasi oleh penduduk miskin, maka strategi untuk memperbaiki kinerja industri berbasis pertanian merupakan pilihan terbaik.
Kebijakan redistribusi
pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan bawah merupakan salah satu alternatif solusi untuk mempercepat pendapatan.
Lebih
lanjut, hasil studi dengan pendekatan Structural Equation Model mengimplikasikan ketersediaan bahan baku dan bahan penolong dengan harga terjangkau diperlukan untuk meningkatkan kinerja industri.
Langkah-langkah sistematis untuk
mentranformasikan industri kecil ke industri menengah diperlukan sehingga tujuan utama pembangunan nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata segera dapat direalisasikan. Penelitian mengenai stuktur skala usaha dan sumber-sumber pertumbuhan industri telah dilakukan oleh Sunaryanto (2006). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya 10 persen perusahaan memiliki kedinamisan. Usaha menengah yang
127 berbasis pada pertanian atau berorientasi ekspor lebih dinamis dibandingkan dengan yang lainnya.
Analisis multinomial logistic regression (MLR)
menunjukkan bahwa faktor-faktor internal kecuali produktivitas tenaga kerja, dan juga faktor-faktor eksternal (pajak dan tingkat suku bunga) mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan usaha menengah menjadi usaha berskala besar. Biaya pajak formal relatif rendah dan tidak menyebabkan usaha menengah bergerak menjadi usaha besar.
Karena usaha menengah tidak mempunyai kredit dari
perbankan dan mereka menggunakan modal sendiri atau modal keluarga, maka mereka tidak merisaukan dengan tingkat suku bunga untuk bergerak menuju usaha besar. Fenomena missing of the middle (MOM) benar-besar terjadi dalam struktur industri Indonesia. Stuktur industri yang berdasarkan usaha kecil, menengah dan besar menunjukkan pola U.
Sebaliknya, jika berdasarkan produktivitas hasil
(output, pendapatan dan produktivitas tenaga kerja), struktur industri menunjukkan pola U terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa usaha menengah mempunyai potensi untuk menjadi tulang punggung struktur industri dan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi. Heatubun (2008) melakukan penelitian untuk melihat peranan usaha kecil dan menengah (UKM) dalam pertumbuhan ekonomi dan ekspor dengan membangun sebuah model ekonomi agregat secara simultan pada sisi produksi dengan melibatkan skala usaha berdasarkan sektor ekonomi.
Dengan
menggunakan pool data (cross section 9 sektor ekonomi dan time series 1997 – 2005), model diestimasi dengan metode pendugaan 2SLS (Two Stages Least Squares). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku UKM dan Usaha Besar (UB) secara umum dipengaruhi oleh variabel investasi, human capital, teknologi,
128 tenaga kerja, unit usaha, jumlah produksi, ekspor, harga output, UMR, nilai tukar, suku bunga, jumlah eksportir, pengeluaran pemerintah, rencana investasi nasional dan kenaikan GDP. UKM menunjukkan peran lebih besar dalam meningkatkan investasi, teknologi, penyerapan tenaga kerja, produksi, ekspor, dan kontribusi pada GDP dibandingkan UB ketika terjadi peningkatan unit usaha, jumlah eksportir, nilai tukar, human capital dan pengeluaran pembangunan.
Sebaliknya, UB
menunjukkan peran lebih besar dibandingkan UKM bila terjadi peningkatan input dan jumlah ekspor.
UKM memperlihatkan daya tahan lebih kuat terhadap
penurunan investasi dan penyerapan tenaga kerja ketika suku bunga dan UMR dinaikkan lebih tinggi. Dari sisi produksi, keunggulan jumlah unit usaha UKM memberikan kontribusi sangat besar pada pertumbuhan GDP, ekspor, investasi, dan penyerapan tenaga kerja jauh melebihi UB.
Sebaliknya, dari sisi konsumsi,
dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah lebih kuat mendorong kenaikan produksi, ekspor, investasi dan kemajuan teknologi UB. Peningkatan ekspor UKM memberikan kontribusi cukup besar bagi pertumbuhan GDP, tetapi masih di bawah dominasi UB. Jika jumlah eksportir UKM ditingkatkan maka peranan UKM makin menonjol dalam hal penanaman investasi, perbaikan teknologi, penyerapan tenaga kerja dan jumlah ekspor. Mencermati uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan diiringi dengan penciptaan kesempatan kerja yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut terkait erat dengan strategi pengembangan industri yang diterapkan.
Secara umum industri yang dikembangkan dapat dikelompokkan
menjadi : (1) industri yang berbasis bahan baku domestik dan bahan baku impor,
129 dan (2) industri dengan teknologi padat tenaga kerja dan industri dengan teknologi padat modal. Pada banyak negara berkembang (seperti yang dikemukakan Gillis et al., 1992)
kunci
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan
adalah
mengurangi
ketergantungan terhadap negara lain, yaitu mengembangkan industri dengan kemampuan sendiri.
Namun demikian, terdapat sejumlah alternatif untuk
menciptakan industri yang menghasilkan barang dan jasa secara efisien. Bagaimanapun, ekonom yang baik harus mampu menjelaskan bagaimana alternatif kebijakan yang ditawarkan relevan dan bagaimana proses industrialisasi dilakukan untuk mencapai tujuan.