II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikorhiza Vesikular Arbuskular ( MVA) Mikorhiza
vesikular
arbuskular
(MVA)
adalah
salah
satu
tipe
endomikorhiza yang termasuk ke dalam Glomeromycota, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo yaitu Gigasporineae dan Glomineae (INVAM 2013). Menurut Scannerini dan Bonfante Fosolo (1983 dalam Proborini 2013), karakteristik MVA adalah sebagai berikut, yaitu : a) sistem perakaran tanaman yang terinfeksi tidak membesar, b) cendawannya membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata pada permukaan akar, c) hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, dan d) umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut arbuskula (arbuscules) dan struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikula (vesicles). Arbuskula adalah struktur hifa yang bercabang-cabang seperti pohon-pohon kecil yang mirip haustorium (membentuk pola dikotom), yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara jamur dan tanaman. Struktur ini mulai terbentuk 2-3 hari setelah infeksi, diawali dengan penetrasi cabang hifa lateral yang dibentuk oleh hifa ekstraseluler dan intraseluler ke dalam dinding sel inang. Vesikula berbentuk globose dan berasal dari menggelembungnya hifa internal dari MVA. Vesikula merupakan suatu struktur berbentuk lonjong atau bulat, mengandung
5
6 cairan lemak, yang berfungsi sebagai organ penyimpanan makanan atau berkembang menjadi klamidospora, yang berfungsi sebagai organ reproduksi. Vesikula selain dibentuk secara interseluler ada juga yang secara intraseluler. Pembentukan vesikula diawali dengan adanya perkembangan sitoplasma hifa yang menjadi lebih padat, multinukleat serta mengandung partikel lipid dan glikogen. Sitoplasma menjadi semakin padat melalui proses kondensasi dan organel semakin sulit untuk dibedakan sejalan dengan akumulasi lipid selama maturasi (Jayanegara, 2011).
2.1.1 Klasifikasi mikorhiza vesikular arbuskular Vesikular Arbuskular Mikorhiza (MVA) merupakan kelompok cendawan yang awal pengklasifikasiannya termasuk ke dalam kelas Zygomycetes dan ordo Glomales. Menurut Schϋβler et al (2001 dalam Proborini 2013) dari perkembangan klasifikasi dan identifikasi terbaru, genus Sclerocystis mempunyai kemiripan atau homolog dengan genus Glomus, sehingga Sclerocystis pada beberapa acuan klasifikasi tidak lagi sebagai genus tersendiri tetapi termasuk dalam genus Glomus. Perkembangan klasifikasi dari cendawan endomikorhiza adalah sebagai berikut: Kingdom
:
Mycota
Phyllum
:
Glomeromycota
Kelas
:
Glomeromycetes
Ordo
:
Glomales
Familia 1
:
Glomaceae
7 Genus
:
Entrophospora, Glomus, Paraglomus, Sclerocystis.
Famili 2
:
Gigasporineae
Genus
:
Gigaspora, Scutellospora.
Famili 3
:
Acaulosporaceae
Genus
:
Acaulospora
Menurut Widiatma (2015) dari keseluruhan genus MVA, terdapat 5 genus MVA yang memiliki ciri dan karakteristik spesifik untuk memudahkan identifikasi spora MVA. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Acaulospora Proses perkembangan spora Acaulospora seolah-olah dari hifa tapi sebenarnya tidak. Proses perkembangannya berawal dari ujung dudukan hifa yang membesar seperti spora yang disebut hifa terminal (hyphal terminus). Bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan menjadi spora terbentuk diantara hyphal terminus dan subtending hypae. Dalam perkembangannya, hifa terminal akan rusak dan isinya akan masuk ke dalam spora. Rusaknya hifa terminal akan meninggalkan bekas lubang kecil disebut cicatrix. Ciri-ciri spora Acaulospora adalah berwarna dominan merah, dindingnya terdiri dari tiga lapisan, ukuran sporanya rata-rata 279 μm. 2. Entrophospora Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses perkembangan spora Acaulospora dengan posisi spora berada di antara hifa terminal dengan dudukan hifa. Ciri-ciri spora Entrophospora adalah berbentuk
8 bulat dengan ukuran rata-rata 121 μm, berwarna kuning coklat, dan dindingnya terdiri dari dua lapisan. Jika spora belum matang, warnanya tampak jauh lebih buram. 3. Gigaspora Spora Gigaspora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh dan tidak memiliki ornamen. Hifa Gigaspora membentuk bulbous suspensor atau dudukan hifa yang membulat. Gigaspora memiliki sel auksilari/sel tambahan yang merupakan perwujudan vesikula eksternal. Ciri-ciri spora Gigaspora adalah spora berwarna kuning cerah, bentuknya bulat dengan ukuran rata-rata 321 μm, dan dindingnya terdiri dari tiga lapisan. 4. Glomus Spora Glomus berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Dinding spora terdiri dari empat lapisan, tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tidak memiliki ornamen. Dudukan hifa (subtending hyphae) Glomus adalah lurus dan berbentuk silinder. Ciri-ciri spora Glomus adalah berwarna bening, hialin (transparan), putih, kuning, atau coklat. Ukuran rata-ratanya adalah 259 μm. 5. Scutellospora Proses perkembangan Scutellospormasama sama dengan Gigaspora. Pebedaan spora Gigaspora dengan spora Scutellospora terdapat pada lapisan kecambah yang disebut germination shield. Saat spora Scutellospora berkecambah, hifa ke luar dari germination shield tersebut.
9 2.1.2 Peranan mikorhiza vesikular arbuskular Keuntungan timbal balik yang didapat dari simbiosis mutualistik antara endomikorhiza dan tanaman adalah tanaman memberi gula dan karbon untuk cendawan dan cendawan membantu dalam penyerapan air, fosfat, mineral dan nutrisi lainnya yang diperlukan bagi tumbuhan. Pada areal yang memiliki kondisi tanah cenderung masam, fosfat yang terdapat di tanah umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena terikat kuat dengan Fe (Proborini, 2013). Keberadaan endomikorhiza pada tanah tanah tersebut mampu mengubah fosfat yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Powell dan Bagyaraj, 1984 dalam Widiastuti, 2004). Menurut Proborini (2013), akar yang bermikorhiza dapat meningkatkan kapasitas pengambilan hara karena masa hidup akar yang dikolonisasi diperpanjang dan derajat percabangan serta panjang efektif akar diperbesar, sehingga luas permukaan absorpsi akar diperluas. Hal ini melengkapi pendapat Imas dkk. (1989) yang menyatakan, bahwa MVA dapat meningkatkan produksi hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman inangnya. Auksin berfungsi memperlambat proses penuaan akar sehingga fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama. Menurut Karagiannidis et al. (1995), peningkatan penyerapan hara terutama disebabkan oleh berkurangnya jarak penyerapan dari hara yang masuk dengan cara difusi ke dalam akar tanaman, dan ini lebih banyak terjadi pada tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis dan sedikit rambut akarnya.
10 Setiap jenis MVA mungkin berbeda-beda dalam kemampuannya membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitas hifa tersebut. Di samping itu sudah dipastikan bahwa perkembangan infeksi MVA berhubungan dengan kemampuan MVA untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun belum diketahui secara pasti apakah pertumbuhan hifa eksternal yang dibentuk bersifat khusus, artinya tidak tergantung pada perkembangan infeksi di dalam akar. Salah satu karakter yang menarik dari endomikorhiza adalah pada sporanya karena spora-spora endomikorhiza mampu bertahan di dalam tanah tanpa inang sampai 6 bulan bahkan beberapa spesies seperti Scutelospora sp, Gigaspora sp. dapat bertahan sampai satu–dua tahun (Brundrett et al. 2008). Spora-spora endomikorhiza yang telah menemukan inang yang kompatibel akan segera berkembangbiak dengan cara membentuk appresorium pada permukaan dinding sel akar inangnya dan selanjutnya akan membentuk juluran-juluran hifa. Hifa-hifa tersebut selanjutnya akan menginfeksi ke dalam akar tanaman inang dengan cara menembus atau melalui celah antar sel epidermis dan akhirnya membentuk hifa yang dapat tersebar dalam korteks akar tanaman (Proborini, 2013).
2.1.3 Perkembangan dan penyebaran endomikorhiza Menurut Proborini (2013) beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan penyebaran endomikorhiza, adalah sebagai berikut.
11 1. Perbedaan musim dan lokasi. Wilayah yang memiliki empat musim (temperate season) dalam satu siklus musimnya (12 bulan) menunjukkan bahwa persentase dan laju kolonisasi endomikorhiza pada akar tanaman pada saat musim dingin sangat rendah tetapi kolonisasi tampak tinggi pada saat musim semi. Pada musim semi, hampir semua tanaman tumbuh secara pesat sehingga diasumsikan hifa-hifa endomikorhiza tersebar di dalam korteks akar untuk mengabsorbsi gula hasil fotosintesis
tanaman
inang.
Pada
saat
musim
kemarau,
kolonisasi
endomikorhiza sangat sedikit atau menurun dibandingkan pada saat musim penghujan. Musim penghujan spora-spora endomikorhiza akan berkecambah membentuk hifa dan hifa akan tersebar di tanah dan mengkolonisasi akar-akar tanaman di sekitarnya. Cendawan endomikorhiza mampu mengkolonisasi lebih dari 80% tanaman, namun pada tanaman yang dibudidayakan pada lahan atau tanah yang selalu terendam air sepanjang tahun tidak terdapat kolonisasi endomikorhiza. Eksplorasi endomikorhiza pada suatu kawasan perlu dilakukan secara periodik dalam satu musim dan kondisi tanah yang berbeda akan sangat bermanfaat untuk melihat tanaman jenis apa saja yang mampu bersimbiosis dengan endomikorhiza. 2. Tanaman inang. Mikorhiza vesicular arbuskular (endomikorhiza) adalah mikroorganisme yang bersifat obligat yang dapat berkembangbiak jika berasosiasi dengan tanaman inang. Tanpa tanaman inang (asimbiotik) pertumbuhan hifa sangat
12 sedikit dan hifa hanya mampu bertahan hidup diluar inang selama 20-30 hari. Lebih dari 80% tanaman berpembuluh atau tanaman tingkat tinggi dapat bersimbiosis dengan endomikorhiza. Tanaman jagung, shorgum dan gandum merupakan contoh tanaman inang yang sangat kompatibel yang dapat terkolonisasi sangat efektif oleh endomikorhiza (Hapsoh, 2008) 3. Suhu. Suhu yang sangat rendah (< 0°C) akan menghambat germinasi spora. Aktivitas dan perkecambahan spora endomikorhiza di daerah tropis relatif lebih tinggi dibandingkan daerah sub-tropis karena daerah tropis memiliki kisaran suhu rata-rata diatas 28°C dan endomikorhiza relatif lebih tahan pada suhu yang cukup tinggi (30 -38°C). Suhu pada siang hari yang mencapai atau sama dengan 35°C tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi endomikorhiza. Aktivitas mikorhiza menurun pada suhu di atas 40°C sehingga akan berpengaruh pula terhadap aktivitas endomikorhiza di dalam korteks akar tanaman inangnya. Perbedaan suhu yang sangat rendah (-15°C) atau terlalu tinggi dapat (> 50 °C) akan mempengaruhi perkecambahan spora endomikorhiza, namun secara genetis ada perbedaan ketahanan enzim pada masing-masing spesies mikorhiza terhadap kisaran suhu yang bervariasi sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor suhu terhadap perkembangan mikorhiza bersifat spesies specificity (Smith et al,.2010).
13 4. Kadar air tanah. Menurut
Smith
dan
Read
(2000),
tanaman
yang
terkolonisasi
endomikorhiza lebih tahan terhadap kekeringan dibanding tanaman tidak terkolonisasi antara lain karena: a) mampu menurunkan resistensi akar terhadap gerakan air sehingga transpor air ke akar meningkat, b) hifa-hifa ekternal endomikorhiza mampu berekspansi sehingga dapat membantu tanaman memperluas radius penyerapan air di daerah marginal yang sangat tandus. Penemuan Smith et al. (2010) yang menarik adalah adanya korelasi positif antara potensial air tanah dan aktivitas hidup endomikorhiza. Tanaman bermikorhiza memerlukan jumlah air lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikorhiza untuk memproduksi satu (1) gram bobot kering tanaman. Hal ini disebabkan tanaman bermikorhiza lebih tahan terhadap kekeringan dan lebih ekonomis dalam pemakaian air. Selain itu, adanya miselium eksternal pada perakaran tanaman yang bermikorhiza menyebabkan endomikorhiza lebih efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga hifa-hifa (miselium) endomikorhiza dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air dibandingkan kondisi tanah tanpa miselium eksternal. 5. Tingkat kemasaman tanah (pH). Tingkat
kemasaman
tanah
memiliki
peranan
penting
perkecambahan spora endomikorhiza. Kemasaman tanah mempengaruhi
dalam
14 aktivitas enzim pada proses germinasi spora mikorhiza vesikular arbuskular. Pada tanah dengan nilai pH rendah dapat menghambat serapan P oleh hifa eksternal endomikorhiza yang penting untuk germinasi spora mikorhiza. Hal ini berdampak pada proses perkecambahan spora endomikorhiza (Widiastuti, 2004). 6. Bahan organik dalam tanah. Bahan organik merupakan komponen penyusun tanah yang penting selain bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora endomikorhiza (MVA) yang maksimum akan ditemukan pada tanah yang mengandung bahan organik 1-2 persen dan jumlah spora ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanah berbahan organik kurang dari 0,5 persen (Hameeda et.al., 2007). 7. Mikroba tanah. Jenis-jenis mikroba patogen baik bakteri maupun cendawan terdapat di dalam tanah. Bakteri dan cendawan patogen tersebut cukup signifikan dalam menghambat perkecambahan spora endomikorhiza karena mikroba tersebut banyak menginfeksi hifa dan spora mikorhiza sehingga menghambat germinasi spora-spora (Daniel dan Trappe,1980) 8. Ketersediaan hara. Tanaman yang tumbuh pada daerah subur dan memiliki pertumbuhan perakaran yang sangat intensif justru akan mengalami penurunan jumlah persentase kolonisasi endomikorhiza pada akar tersebut, sebaliknya jika tanaman tumbuh pada lahan miskin hara mineral ditanah dengan intensitas
15 pertumbuhan cabang akar yang rendah menunjukkan peningkatan kolonisasi endomikorhiza pada akar, terutama akar-akar serabut (Oehl et al., 2004). Hal ini membuktikan bahwa endomikorhiza sangat bermanfaat pada tanaman yang tumbuh pada daerah kurang subur atau miskin hara. 9. Pengaruh logam berat dan unsur lain di tanah. Pengaruh unsur-unsur sodium, klorida, aluminium dan mangan pada keberadaan endomikorhiza baik jumlah spora atau kolonisasi pada tanaman masih sedikit diketahui. Kolonisasi endomikorhiza terlihat lebih tinggi pada tanaman yang tumbuh di tanah dengan kandungan logam rendah karena pada tanah dengan kandungan logam yang tinggi dapat meracuni tanaman tersebut. Walaupun demikian, inokulasi spora dan propagul endomikorhiza pada fase pembibitan di tanah dengan kondisi yang kemasamannya, bibit tanaman mampu tumbuh dengan baik (Widiastuti et al. 2002) 10. Fungisida. Fungisida
berpengaruh
terhadap
perkecambahan
endomikorhiza.
Pemberian konsentrasi pestisida benomyl yang relatif rendah (0,001-0,1μm/ml) dapat meningkatkan perkecambahan spora Glomus mosseae, pada konsentrasi yang relatif tinggi (1-2,12μm/ml) akan menghambat perkecambahan spora namun konsentrasi yang sangat tinggi (10- 21,25μm/ml) dapat menyebabkan kegagalan spora untuk berkecambah. Oleh karena itu, sangat tidak dianjurkan menggunakan fungisida konsentrasi tinggi karena dapat menghambat perkembangan spora (Alizadeh, 2011).
16 2.2 Tanaman Kelapa Sawit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk golongan palmae yang berasal dari Afrika. Perkembangan kelapa sawit si Indonesia pertama kali digagas oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelapa sawit termasuk tumbuhan yang tingginya mencapai 24 m. Bunga dan Buah berupa tandan dan bercabang banyak. (Sugito, 1992).
2.2.1 Rhizosfer tanaman kelapa sawit Menurut Pahan (2008) akar terutama berfungsi untuk menunjang batang di atas tanah, menyerap air dan unsur-unsur hara dari dalam tanah, serta sebagai salah satu alat respirasi. Jenis perakaran tanaman kelapa sawit tergolong akar serabut yang terdiri dari akar primer, sekunder tersier, dan kuarterner. Akar primer umunya berdiameter 6-10 mm, keluar dari pangkal batang dan menyebar secara horizonntal dan menghujam ke dalam tanah dengan sudut yang beragam. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder yang berdiamerter 2-4 mm. Akar sekunder bercabang membentuk akar tersier yang berdiameter 0,7-1,2 mm, dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuarterner. Menurut Pahan (2008) akar kuartener tidak mengandung lignin, panjangnya hanya 1-4 mm dengan diameter 0,1-0,3 mm. Tanaman kelapa sawit tidak memiliki rambut (bulu) akar, sehingga akar kuartener ini diamsumsikan sebagai akar absorpsi utama (feeding root), walaupun hanya sedikit bukti-bukti langsung terhadap pernyataan tersebut. Akar tersier, memiliki cabang akar yang panjangnya sampai 2 cm dengan diameter 0,2-0,8 mm yang dinamakan akar kuartener.
17 Namun, sebenarnya akar tersebut lebih tepat disebut "cabang akar tersier" karena mengandung lignin serta strukturnya lebih tebal dari akar kuartener. Sebagian besar perakaran kelapa sawit terutama berada dekat dengan permukaan tanah. Hanya sedikit akar kelapa sawit yang berada pada kedalaman 90 cm, padahal permukaann aras air tanah (water table) cukup dalam sehingga sistem perakaran berada antara kedalaman 5- 35 cm. Akar tersier berada pada kedalaman 10-30 cm, dan secara umum akar sekunder dapat mencapai kedalaman 1,5 m. Berdasarkan
model
dan
simulasi
komputer
tentang
arsitektur
dan
perkembangan sistem perakaran kelapa sawit, pemenuhan akar absorpsi kelapa sawit pada horison permukaan tanah telah terjadi pada tahun ke-5 dan secara total akan terjadi pada tahun ke-7, dan sering terjadi saling kompetisi antar tanaman kelapa sawit untuk mendapatkan hara dari dalam tanah. Menurut Pahan (2008) sistem perakaran kelapa sawit lebih banyak berada dekat dengan permukaaan tanah, tetapi pada keadaan tertentu akar juga bisa menjelajah lebih dalam. Pada areal tanaman kelapa sawit berumur 5 tahun seluas 1 ha, permukaan absorpsi dari akar tersier dan kuartener 5 kali lebih besar daripada akar primer dan akar sekunder yang digolongkan sebagai akar penjelajah. Disimpulkan bahwa 23% dari total permukaan akar kelapa sawit merupakan akar absorpsi. Sebagian besar (83,7%) dari akar absorpsi tersebut terdiri dari akar tersier (28,9%) dan akar kuartener (54,8%). Hanya sejumlah kecil zona absorpsi yang terdiri dari akar primer dan sekunder, yaitu kurang dari 10% dari total permukaan akar primer dan sekunder tersebut. Pertumbuhan dan percabangan akar dapat terangsang bila konsentrai hara dalam tanah (terutama N dan P) cukup besar. Kerapatan akar yang
18 tinggi terjadi pada daerah gawangan, dimana daun-daun (hasil tunas) ditumpuk dan mengalami dekomposisi.
2.2.2 Syarat lahan tanaman kelapa sawit Menurut Sunarko (2014), kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, seperti tanah podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, dan aluvial. Selain itu, tanah gambut juga dapat ditanami kelapa sawit asalkan ketebalan gambutnya tidak lebih dari satu meter. Berikut sifat tanah yang perlu diperhatikan untuk budidaya kelapa sawit. 1. Sifat fisik tanah Beberapa sifat fisik tanah yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman kelapa sawit
adalah dalaman tanah, tekstur, dan struktur tanah.
Tanaman ini dapat tumbuh baik di tanah yang bertekstur lempung berpasir, tanah liat berat, dan tanah gambut. Tanaman kelapa sawit lebih menyukai tanah yang memiliki ketebalan tanah lebih dari 75 cm dan berstruktur kuat. Berikut tabel kesesuaian lahan untuk kelapa sawit berdasarkan pada sifat fisik tanah.
19 Tabel 2.1 Kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit berdasarkan pada sifat fisik tanah Sifat Tanah Lereng Kedalaman tanah Ketinggian air tanah Tekstur Struktur Konsistensi pH
Baik < 12º > 75 cm > 75 cm Lempung Kuat Gembur 4-6
Sedang 12-23º 37,5-75 cm 37,5-75 cm Agak berpasir Sedang Teguh 3,2-4
Kurang Lebih dari 23º < 37,5 cm < 37,5 cm Pasir Lemah (masif) Sangat Teguh < 3,2
Sumber : (Sunarko, 2014) 2. Kimia tanah Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang besar untuk pertumbuhannya. Karena itu, untuk mendapatkan produksi yang optimal dibutuhkan tanah dengan kandungan unsur hara yang tinggi. Selain itu, nilai pH tanah sebaiknya berkisar antar 4 dan 6 dengan nilai pH optimum sebesar 55,5. (Sunarko, 2014) Keadaan iklim sangat mempengaruhi proses fisiologis tanaman seperti proses asimilasi, pembentukan bunga, dan pembuahan. Sinar matahari dan hujan memberikan stimulasi pembentukan bunga kelapa sawit serta diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif dan pembentukan buah. Intensitas hujan dan lamanya penyinaran matahari mempunyai korelasi dengan fluktuasi produksi kelapa sawit. Curah hujan yang ideal untuk tanaman kelapa sawit yaitu 2.000-2.500 mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun. Jumlah penyinaran rata-rata sebaiknya minimum 6 jam/hari. Suhu lingkungan idealnya berkisar 22-23º C. Sementara itu, keadaaan angin tidak terlalu mempengaruhi tanaman kelapa sawit. Namun, bulan
20 kering yang tegas dan berturut-turut selama beberapa bulan mempengaruhi pembentukan bunga, baik jumlah maupun seks rasionya dalam dua tahun berikutnya. Berikut tabel parameter iklim untuk kesesuaian lahan bagi tanaman kelapa sawit (Sunarko, 2014). Tabel 2.2 Parameter iklim untuk kesesuaian lahan tanaman kelapa sawit Parameter iklim Curah hujan Defisit air Hari tanpa hujan Temperatur Lama penyinaran Kelembaban
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
2.0002.500 mm 0-150 mm/tahun < 10
1.800-2.000 mm 150-250 mm/tahun < 10
1.500-1.800 mm 250-400 mm/tahun < 10
< 1.500 mm > 400 mm/tahun < 10
22-23º C 6 Jam
22-23º C 6 Jam
22-23º C < 6 Jam
22-23º C > 6 Jam
80%
80%
< 80%
> 80%
Sumber : (Sunarko, 2014)