II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Burung maleo (Macrocephalon maleo Sal Muller 1846) oleh Grzimek (1972) diklasifikasikan ke dalam: Klas Aves, Sub Klas Neonirthes, Ordo Galliformes, Sub Ordo Galli, Famili Megapodidae, Sub Famili Crocoide, Genus Macrocephalon, spesies Macrocephalon maleo Sal Muller 1846. Menurut Jones et al. (1995), PPA (1994) dan del Hoyo et al. (1994), burung maleo dikenal dengan nama daerah senkawor, sengkawur, songkel, maleosan (Minahasa), saungke (Bintauna), tuanggoi (Bolaang Mongondow), tuangoho (Bolaang Itang), bagoho (Suwawa), mumungo, panua (Gorontalo), molo (Sulawesi Tenggara). Jenis ini dikenal pula dengan nama asing megapode maleo (Perancis), hammerhuhn (Jerman), talegalo maleo (Spanyol), maleo fowl, gray’s brush turkey (Inggris). 2.2. Morfologi Jones et al. (1995) menyatakan bahwa maleo adalah hewan yang berjalan seperti ayam, lebih banyak di darat (tidak terbang seperti kebanyakan burung lain), bila sedang terbang gerakan sayapnya keras. Hal ini disebabkan bobot tubuhnya yang cukup besar dibandingkan dengan lebar sayap, sehingga untuk mencapai jarak relatif pendek harus hinggap dulu pada cabang-cabang pohon yang satu ke cabang pohon lainnya. Burung maleo termasuk spesies burrow nester, yaitu burung pembuat lubang atau liang. Besarnya hampir sama dengan ayam betina piaraan, berbobot 1,6 kg, dengan panjang sayap jantan 292 mm dan betina 302 mm (PPA 1994) Anak maleo yang baru menetas mempunyai berat 109-169 gram (Argelo 1991). Dinyatakan juga umur burung maleo bisa mencapai 25-30 tahun dan mencapai usia dewasa produktivitas setelah 4 tahun. Menurut Dekker (1990), di dalam penangkaran, maleo dapat mencapai umur 20 tahun lebih. Warna burung maleo dewasa, baik jantan maupun betina umumnya sama, yaitu mengkilap di bagian sayap dan ekor. Pada bagian dada berwarna kuning bercampur putih, bila dilihat dari dekat dada betina berwarna sawo matang. Pada bagian kepalanya terdapat benjolan besar menyerupai helm (mahkota) berwarna kelabu kehitam-hitaman. Mahkota pada jantan lebih besar dibandingkan dengan mahkota betina.
Mata burung maleo berwarna merah cerah. Paruhnya besar, kokoh, dan lancip, berwarna hitam dengan bagian ujungnya merah kekuning-kuningan. Paruh yang besar berguna untuk membantu memecah makanannya yang keras dan besar. Burung maleo mempunyai pengaturan suhu tubuh yang tetap (homoithermal) dan kelengkapan bulu badan yang cukup tebal (Nurhayati 1986, Santoso 1990). Kaki burung maleo yang besar dan kuat dipergunakan untuk menggali lubang guna keperluan bertelur. Panjang kaki burung ini mencapai ± 25 cm, jarijari cakar memiliki panjang sekitar 8-5 cm (Hendro 1974). Ukuran telurnya kirakira sama dengan 5 telur ayam kampung. Dalam keadaan segar telur maleo berwarna merah jambu dan lama-kelamaan berubah menjadi kecoklat-coklatan (Hendro 1974, Nurhayati 1986, Santoso 1990). 2.3. Populasi dan Penyebaran Sampai saat ini diketahui burung maleo hanya hidup di pulau Sulawesi dan menurut hasil penelitian paling banyak ditemukan di daerah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara (Santoso 1990). Pada tahun 1978 populasi maleo diperkirakan 5.000-10.000 ekor, namun angka ini didasarkan pada produksi telur tahunan yaitu 30 butir per burung (MacKinnon 1978). Produktivitas sekarang diperkirakan 8-12 butir telur per burung (Dekker 1990). Sebagai perbandingan pada tahun 1947 Uno (1949) dalam Gunawan (2000) mencatat perolehan telur burung maleo sebanyak 9.705 butir di Cagar Alam Panua, Sulawesi Utara dengan jumlah terbanyak diperoleh pada bulan April yakni 1.596 butir dan paling sedikit pada bulan Juli yakni 82 butir. 2.4. Habitat Burung maleo hidup secara liar terutama di dalam belukar mulai dari pantai datar yang panas dan terbuka hingga ke hutan pegunungan yang lebat dengan batas ketinggian yang belum jelas (Nurhayati 1986). Di hutan pantai, sebaran maleo hampir seluruhnya terkonsentrasi di habitat tempat bertelur, selain itu juga digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas mencari makan dan istirahat (Wiriosoepartho 1980). Burung maleo umumnya bertelur di areal pantai yang tidak terlalu lebat hutannya dan letaknya agak tinggi dari garis pantai, pada pasir yang tidak padat dan bebas dari batu-batuan. Persyaratan lain yang penting adalah adanya sumber panas vulkanik dan sumber panas bumi (Santoso 1990). Menurut Jones
et al. (1995) lubang pengeraman terletak di tanah vulkanik dan pantai yang terekspos matahari, tepi danau, tepi sungai dan bahkan jalan berdebu sepanjang tepi pantai. Luas lubang sangat bervariasi dalam ukuran dan kedalaman tergantung substrat dan temperatur tanah. Luas lubang dapat mencapai 300 cm2 dengan kedalaman tempat meletakkan telur lebih dari 100 cm. Masa inkubasi 6080 hari pada kondisi temperatur tanah 320-390 C (del Hoyo et al. 1994). Pemilihan tempat bertelur oleh burung maleo dilakukan dengan cara berorientasi sambil mematuk-matukkan paruhnya ke permukaan tanah. Biasanya tempat bertelur dipilih pada areal yang lebih banyak penyinaran matahari. Demikian pula dengan keadaan tekstur tanah, karena hal ini erat hubungannya dengan lamanya penggalian lubang dan keadaan posisi telur di dalam lubang (Wiriosoepartho 1979). Kedalaman lubang sarang pengeraman telur burung maleo ditentukan oleh kuatnya pengaruh dari sumber panas. Apabila pengaruh dari sumber panas bumi cukup kuat maka kedalaman lubang pengeraman tidak terlalu dalam antara 3050 cm, tetapi bila panas bumi kurang maka lubang digali cukup dalam antara 80100cm. Luas lubang sarang pengeraman telur dipengaruhi oleh kedalaman lubang dan tekstur tanah, semakin dalam lubang yang digali semakin bertambah luasnya (Jones et al. 1995). Berdasarkan jarak antar sarang terdapat dua jenis sarang yaitu: (1) sarang tunggal dan (2) sarang komunal (communal). Sarang tunggal adalah sarang yang letaknya sendiri-sendiri, sedangkan sarang komunal adalah beberapa sarang yang terletak bersama-sama dalam suatu lokasi yang merupakan areal bersarang bagi maleo. Sarang komunal bukanlah sebuah sarang besar yang dipakai bersama-sama oleh beberapa induk dalam waktu yang bersamaan. Di dalam sarang komunal setiap induk tetap menggunakan sarangnya sendirisendiri. Sarang komunal terbentuk akibat terbatasnya areal yang cocok (suitable) untuk membuat sarang (del Hoyo et al. 1994) Menurut Gunawan (2000), terdapat tujuh lokasi yang sering digunakan maleo sebagai sarang pengeraman telur (nesting pit), yakni: 1. Sarang pengeraman di tempat terbuka, adalah sarang yang dibuat di tempat yang langsung mendapat sinar matahari sepanjang siang, umumnya ditemukan di habitat pantai dimana sumber panas pengeraman berasal dari radiasi matahari.
2. Sarang pengeraman di bawah naungan tajuk, adalah sarang yang dibuat di bawah tajuk dengan fungsi sebagai pelindung sinar matahari dan hujan. Tipe sarang ini umum dijumpai di habitat tempat bertelur yang bersumber panas bumi (geothermal). Tajuk bambu atau rumpun rotan menjadi naungan yang disukai maleo untuk bersarang. 3. Sarang pengeraman di bawah lindungan pohon tumbang, adalah sarang yang dibuat di bawah batang pohon tumbang. Maleo cenderung memilih pohon dengan diameter batang yang mampu melindungi sarang dari sinar matahari, hujan dan longsor. 4. Sarang pengeraman di bawah naungan tebing atau batu, adalah sarang yang dibuat di samping batu-batu yang miring, di celah-celah batu atau di samping tebing. 5. Sarang pengeraman di dalam goa, adalah sarang yang dibuat di dalam lubang-lubang goa di daerah karst sehingga sarang tersebut terlindung dari sinar matahari dan hujan. 6. Sarang pengeraman diantara perakaran pohon, adalah sarang yang dibuat dengan salah satu sisinya menempel pada sistem perakaran tumbuhan sehingga pada sisi tersebut terhindar dari longsor. 7. Sarang pengeraman diantara banir pohon adalah sarang yang dibuat di selasela banir atau sistem perakaran yang rumit sehingga sarang tersebut terhindar dari satwa predator. MacKinnon (1978) membagi tipe sarang pengeraman telur menjadi 3 berdasarkan naungan tajuk vegatasi yaitu: (1) sarang di tempat yang ternaungi tajuk seluruhnya, (2) sarang di tempat yang ternaungi tajuk sebagian, dan (3) sarang di tempat yang tidak ternaungi tajuk seluruhnya. Sedangkan Mallo (1998) mengelompokkan sarang pengeraman telur maleo yang bersumber panas geothermal ke dalam 4 tipe berdasarkan letaknya yaitu: (1) di tanah datar, (2) di tanah miring, (3) di tepi sungai, dan (4) menempel pada dinding tebing. Berdasarkan tipe sarang pengeraman, dapat diketahui bahwa burung maleo membuat sarangnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan fungsi pengeraman dan perlindungan yang efektif bagi telur serta kemudahan bagi anak maleo yang baru menetas untuk dapat mencapai permukaan dengan selamat (Gunawan 2000).
2.5. Perkembangbiakan Musim bertelur burung maleo di berbagai tempat bervariasi dari bulan ke bulan (Jones et al. 1995). Masa dimana maleo lebih banyak bertelur diperkirakan sebagai puncak musim bertelur. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk maleo tidak diketahui secara pasti tetapi diduga burung maleo bertelur setiap 1213 hari sekali atau sekitar 30 telur per tahun (MacKinnon 1978). Menurut Dekker (1990) produksi telur burung maleo berkisar antara 8-12 butir per tahun. Guilemard (1886) dalam Jones et al. (1995) memperkirakan jumlah telur per induk berkisar antara 16-18 butir per tahun berdasarkan pemeriksaan ovari. Di Sulawesi Utara pada bulan November sampai Januari produksi telur lebih banyak 3 sampai 4 kali dari bulan-bulan yang lainnya. Peningkatan yang nyata ini terjadi karena pada bulan-bulan tersebut pohon-pohon penghasil bahan pakan maleo berbuah sehingga produksi telur meningkat tajam dibanding bulanbulan saat pohon belum berbuah (Nurhayati 1986). Berat telur berkisar antara 178-267 gr dengan panjang 92,1-112,6 mm dan diameter 57,6-65,5 mm (Dekker & Brom 1990). Masa pengeraman tergantung pada temperatur tanah yaitu berkisar antara 62-85 hari (Dekker 1990). Apabila tidak busuk, pecah, dimakan predator atau diambil manusia, maka telur maleo akan menetas. Anak maleo yang baru menetas akan menggali pasir untuk keluar dari lubang. Anak maleo memerlukan waktu 1-2 hari untuk memecah kulit telur dan menggali lubang untuk keluar (MacKinnon 1978). 2.6. Perilaku 2.6.1. Makan Menurut Jones et al. (1995), Megapodes mencari makan dengan cara menggaruk dan mencakar serasah di permukaan tanah dan memakan makanan yang kebetulan ditemukannya. Berbagai jenis makanan pernah dilaporkan, baik bagian dari tanaman maupun hewan. Dua jenis makanan yang paling disebut adalah invertebrata (meliputi berbagai jenis serangga, siput darat dan siput air tawar) dan material tumbuhan (terutama buah dan biji). Menurut Wiriosoepartho (1979), berdasarkan pembedahan temboloknya, burung maleo selain makan buah-buahan dan biji-bijian, juga makan serangga hutan, siput dan kepiting. Buah yang sering dimakan adalah buah pohon rao (Dracontomelon mangiferum), Macaranga rhizinoides dan Ficus spp. Dalam penangkaran di kebun binatang Ragunan, burung maleo diberi makan gabah, kacang ijo, kacang tanah, tauge, kangkung, ulat hongkong dan pepaya.
Pada burung maleo, yang jantan memberikan makanan kepada yang betina. Bagi jantan, kebutuhan nutrisi sangat nyata untuk memberi masukan energi
agar
dapat
melakukan
pekerjaannya
membuat,
menjaga
dan
mempertahankan tempat pengeraman telur. Lokasi tempat bertelur juga mempengaruhi aktivitas mencari makan. Tempat bertelur dengan sumber panas vulkanik (geothermal) beberapa diantaranya jauh dari tempat mencari makan yang layak, oleh karena itu burung maleo hanya datang secara singkat ke lokasi bertelur, segera setelah bertelur kembali kedaerah tempat mencari makan di hutan terdekat (Jones et al. 1995) Burung maleo aktif mencari makan mulai dari matahari terbit (± 05.00) sampai dengan matahari terbenam. Hutan dataran rendah sangat penting bagi burung maleo. Di komplek hutan dataran rendah di Cagar Alam Panua sering terlihat banyak burung maleo mencari makan. Di tempat tersebut banyak terdapat jenis-jenis pohon yang menghasilkan buah dan biji yang disukai oleh maleo. Jenis-jenis pohon yang mendominasi lokasi tersebut antara lain Drypetes sp, Terminalia coletica, Pterospermum javanicum dan Bridelia monaica. Pada hutan dataran rendah ini jarang terlihat burung maleo langsung menempel di pohon, tetapi lebih banyak memunguti buah dan biji yang telah jatuh di permukaan tanah. Kebiasaan ini terlihat dengan sering dijumpainya maleo berjalan di tanah sambil mematuk-matuk makanan yang jatuh (Wiriosoepartho 1980). 2.6.2. Reproduksi Burung maleo tampaknya bersifat monogami dan memelihara ikatan dengan pasangannya sepanjang tahun (del Hoyo et al. 1994). Dalam penangkaran, kopulasi diawali dengan jantan mencakar-cakar tanah dengan keras dan penuh semangat sambil melemparkan material pasir dan daun ke udara kemudian diselingi dengan gerakan melingkar sambil tetap mencakar tanah. Setelah beberapa saat maju kemudian kembali mundur sambil mencakar lagi, lalu ujung sayap jantan dihadapkan ke betina, ekornya agak naik dan dadanya menegak. Betina membiarkan jantan ketika berjalan melewatinya tetapi kemudian ia sendiri mulai mencakar tanah dengan semangat untuk beberapa saat dan diikuti oleh jantan, selanjutnya jantan mendekati betina yang telah merendahkan perut dan ekornya ke tanah, jantan menaiki betina dan terjadilah kopulasi yang hanya berlangsung beberapa detik. Sejak jantan menunjukkan tingkah laku mencakar-
cakar tanah dan mengitari betina sampai terjadi kopulasi menghabiskan waktu setidaknya 4 menit. Setelah kopulasi, jantan mengambilkan makanan dari tanah dan memberikannya kepada betina pasangannya. Pada habitat aslinya, bila akan bertelur burung maleo akan selalu datang bersamaan, walaupun kadang-kadang betina hanya terlihat sendirian saja. Pada musim bertelur, maleo aktif sekitar jam 05.00. Burung maleo mulai turun dari tempat bertengger manuju tempat peneluran. Suara yang khas mengawali kegiatan burung maleo pada hari tersebut, “auwurrr... auwerrr... auwerrr...“ sebagai tanda teritorinya. Setelah itu burung maleo mulai bergerak secara berpasangan sambil bersuara tak henti-hentinya menuju tempat makan dan minum. Dilanjutkan dengan pemilihan tempat bertelur yang biasanya dilakukan oleh betina, sedangkan jantan hanya mengikuti dari belakang. Bila tempat bertelur telah ditemukan, pasangan burung maleo akan menggali lubang untuk bertelur.Pertama-tama betina melakukan penggalian lubang dengan menggunakan kaki yang kuat, maka berhamburan pasir dan kerikil dari lubang. Setelah betina lelah pekerjaan dilanjutkan oleh jantan. Betina berganti tugas menjaga dan mengawasi keadaan sekelilingnya dari kemungkinan adanya pemangsa yang berkeliaran. Penggalian ini dilakukan berulang-ulang sampai kedalaman tertentu yang diangap sesuai untuk peletakkan telurnya. Sesudah telur diletakkan, mereka menimbun kembali dengan pasir galiannya. Setelah selesai menimbun dibuatlah sarang-sarang tipuan untuk mengelabui pemangsa (Wiriosoepartho 1979). Induk maleo membuat 3-4 lubang sarang palsu untuk mengelabui predator, tetapi lubang ini sangat tidak efektif untuk mengelabui pencuri telur. Lubang sarang palsu sangat berbeda dengan lubang sarang asli, lubang sarang palsu dibuat dengan asal-asalan, seringkali hanya berupa cakaran-cakaran galian tanpa ada penimbunan, sedangkan lubang sarang asli sangat jelas terdapat timbunan yang rapi dan seringkali ada bekas-bekas jejak kaki atau kotoran. Penggalian sarang berlangsung antara 1-2 jam, berbeda menurut lokasi peneluran, tergantung pada tingkat kesulitan tanah digali, kedalaman sarang yang diperlukan dan kondisi keamanan di sekitarnya. Pergantian penggalian antara induk jantan dan betina dilakukan antara 15-20 menit, sambil menggali sarang, kedua induk maleo secara teratur mengambil tanah dengan tonjolan di kepalanya, hal ini diduga untuk mengukur temperatur tanah (Dekker 1990).
2.6.3. Respon Terhadap Gangguan Di habitat alamnya burung maleo selalu menyembunyikan diri di semak belukar atau hutan apabila ada hal-hal yang dianggap membahayakan keselamatannya. Pendengaran burung maleo kurang baik sehingga dapat didekati bila memperhatikan arah angin dan posisi burung maleo (Santoso 1990). Jika datang gangguan dari manusia atau hewan pemangsa, burung maleo bersembunyi di bawah tegakan yang rapat atau bertengger di cabang pepohonan yang paling tinggi. Pada waktu musim kemarau maleo lebih senang bersembunyi di tempat yang teduh, begitu pula jika dalam keadaan hujan yang lebat (Nurhayati 1986). Menurut pemangsa
(predator) burung
Gunawan (1994), satwaliar yang menjadi
maleo
dan
telurnya
antara
lain
soa-soa
(Hydrosaurus amboinensis), biawak (Varanus sp), ular Phyton spp., babi hutan (Sus spp.), burung elang dan anjing kampung (Canis familiaris) yang menjadi liar. Apabila burung maleo terganggu sewaktu bertelur, mereka tidak akan pernah kembali mengulang pekerjaan tersebut. Perasaan takut atau cemas dengan kehadiran manusia atau pemangsa diekspresikan dengan gerakan yang selalu curiga dan sesudah hinggap di cabang pohon selalu menggerak-gerakkan ekornya ke atas dan ke bawah berulang-ulang (Wiriosoepartho 1979). 2.6.4. Interaksi Sosial Burung maleo hidupnya selalu berpasangan dan kelihatannya seperti pasangan setia dalam melakukan aktivitas hidupnya seperti makan, minum, tidur, membuat sarang, dan berlindung. Jika bertengger di atas pohon kelihatannya sangat mesra, cara bertenggernya sangat berdekatan seolah-olah berhimpitan. Dengan posisi demikian dapat dijadikan sasaran yang menyenangkan bagi pemburu (Nurhayati 1986). Sifat burung maleo terhadap keturunannya adalah masa bodoh, karena telurnya dibiarkan menetas sendiri dalam lingkungan alam tanpa dierami (Nurhayati 1986). Setelah menetas anak burung maleo tersebut keluar kepermukaan dari dalam timbunan pasir dengan menggali jalan sendiri, menghadapi bahaya, dan langsung mencari makan untuk dirinya (Jones et al. 1995). Menurut Gunawan (2000), selain untuk bertelur, habitat tempat bertelur burung maleo juga merupakan arena untuk bersosialisasi dengan individu sejenis yang lain, mereka berbaur satu sama lain sehingga tidak dapat lagi dibedakan pasangan yang satu dengan pasangan lainnya.
Antar individu tampaknya berkomunikasi dan melakukan interaksi dengan individu dari pasangan lain. Sambil berjalan mondar-mandir antara jantan dan betina mengeluarkan suara secara teratur dengan bunyi seperti mengerang yang oleh Dekker (tanpa tahun) dalam Jones et al. (1995) digambarkan berbunyi “mmmm, mm-mm, mm-mm”. Ketika jantan dan betina terpisah karena terganggu, jantan mengeluarkan suara khas seperti suara orang berkumur air di tenggorokan
yang
berbunyi
“kee-ourrrrrrrrrr”
berulang-ulang.
Suara
ini
dimaksudkan untuk memberitahu pasangannya tentang posisinya. Kadang-kadang tampak adanya pertengkaran dan usaha saling mengusir antar individu dari pasangan lain dengan mengeluarkan bunyi “gak-gak-gak” mirip suara bebek. Tingkah laku agresif terhadap pasangan lain di areal peneluran terjadi ketika antara dua pasangan menggali sarang dengan jarak berdekatan atau pasangan yang satu berusaha merebut sarang pasangan lain. Tampaknya tingkah laku mengusir tersebut merupakan tingkah laku teritorial dengan maksud menjaga teritori sarangnya dari gangguan pasangan lain. Teritori yang dipertahankan sewaktu bertelur hanya mencakup areal dalam radius sekitar 4 m dari sarangnya.