II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Pisang Pisang merupakan tanaman herbal yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat pisang disebut dengan dengan Cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah penghasil pisang. Hal ini karena iklim indonesia cocok untuk pertumbuhan tanaman pisang. Klasifikasi botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Famili : Musaceae Genus : Musa Spesies : Musa spp Jenis-jenis tanaman pisang di Indonesia mencapai ratusan jumlahnya. pisang dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu sebgai berikut: 1. Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiacal Var sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. Sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, Cavendish, barangan dan mas. 2. Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu M. paradisiacal forma typical atau disebut juga M. paradisiacal normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kapok. 3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan klutuk. 4. Pisang yang diambil seratnya misalnya pisang manila (acaba). (Stover, 1987)
Gambar 1. Pisang ambon Pisang rata-rata berbuah pada umur rata-rata satu tahun. Umur panen ditentukan oleh umur buah dan bentuk buah. Ciri khas buah yang cukup panen ditandai dengan daun bendera yang sudah mengering. Buah yang sudah cukup umur dipanen pada 80-100 hari setelah buah berbentuk dengan siku-siku buah yang masih jelas hingga hampir bulat. Penentuan umur panen harus didasarkan pada
3
jumlah waktu yang diperlukan untuk pengangkutan buah ke daerah penjualan, sehingga buah tidak terlalu matang sampai ketangan konsumen. Buah pisang masih tahan disimpan 10 hari setelah sampai ke tangan konsumen. Pada perkebunan pisang yang cukup luas, panen dilakukan 3-10 hari sekali tergantung pada pengaturan jumlah tanaman produktif (Agromedia, 2009). Buah pisang mengandung nilai gizi cukup tinggi sebagai sumber karbohidrat, vitamin, dan mineral. Kandungan karbohidratnya terutama berupa zat tepung atau pati dan macam-macam gula. Kandungan gula dalam pisang terdiri atas senyawa-senyawa seperti dextrose 4,6%, clevulosa 3,6%, dan sukrosa 2%. Daging buah banyak mengandung berbagai vitamin seperti vitamin A, vitamin B 1, vitamin C dan vitamin lainnya. Buah pisang juga mengandung mineral seperti kalsium, fosfor dan zat besi (Santoso dan Purwoko, 1995). Buah pisang buah pisang mempunyai kandungan gizi yang baik. Antara lain menyediakan energi yang cukup tinggi dibandingkan buah-buahan yang lain. Nilai energi rata-rata 136 kalori untuk setiap 100 g sedangkan buah apel hanya 54 kalori komposisi kandungan gizi beberapa jenis buah pisang dapat dilihat pada tabel 2. berikut: Tabel 2. Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang Kandungan gizi
Ambon
Raja
Raja Sere
Uli
Mas
Kalori (kal)
99
120
118
146
127
Protein (g)
1.2
1.2
1.2
2
1.4
Lemak (g)
0.2
0.2
0.2
0.2
0.2
Karbohidrat (g)
25.8
31.8
31.1
38.2
33.6
Kalsium (mg)
8.0
10
10
10
7
Fosfor (mg)
28.0
22
22
28
25
Zat besi (mg)
0.5
0.8
0.8
0.9
0.8
Vitamin A (S.1)
146
950
112
75
79
Vitamin B1 (mg)
0.08
0.06
0
0.05
0.09
Vitaamin C (mg)
3
10
4
3
2
Air (%)
72
65.8
67
59.1
64.2
Sumber : Direktorat Gizi Depkes R.I (1992), dalam Rahmawati (2010) Buah pisang yang telah matang sangat mudah dikenali melalui perubahan warna kulitnya,. Perubahan tersebut dimulai dari warna hijau bagi pisang yang baru panen, kemudian berubah menjadi kuning dengan bercak coklat yang banyak disaat kualitasnya menurun. Indeks warna kulit menjadi penting yang digunakan sebagai penanda tingkat kematangan buah pisang. Berikut penyajian deskripsi kematangan buah pisang berdasarkan warna kulitnya dapat dilihat pada tabel 3.
4
Tabel 3. Deskripsi kematangan buah pisang berdasarkan warna kulit Indeks
Keadaan
Warna
Buah
1
Deskripsi Seluruh permukaan buah bewarna hijau, buah masih keras
2
Permukaan buah bewarna hijau dengan semburat atau sedikit warna kuning
3
Warna hijau lebih dominan daripada warna kuning
4
Kulit buah dengan warna kuning lebih banyak dari pada warna hijau
5
Seluruh permukaan kulit bewarna kuning, bagian ujung masih hijau
6
Seluruh dari buah pisang bewarna kuning, matang penuh
7
Buah pisang bewarna kuning dengan sedikit bintik kecoklatan, matang penuh dengan aroma yang kuat
8
Bercak coklat, terlalu matang, daging buah lunak, aroma sangat kuat
Sumber: Prabawati et al., 2008
2.2 Panen dan Pascapanen Buah Pisang Kualitas buahan dipengaruhi oleh oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut antara lain iklim, lokasi lahan komposisi tanah, varietas, bibit yang ditanam, metode budidaya dalam sistem pemeliharaan buahan, penanganan panen dan pascapanen. Menurut Cahyono (2009), Panen dan pascapanen merupakan kegiatan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas buah selama proses pendistribusian sampai ke tangan konsumen.
5
2.2.1 Panen Tujuan pemanenan adalah mendapatkan komoditas dari kebun dengan tingkat kematangan yang baik, dengan tingkat kerusakan dan kehilangan hasil yang rendah (Kader, 1992). Kegiatan pemanenan sangat mempengaruhi kualitas buah, baik cara pemanenan maupun tingkat kematangannya. Pemanenan dan penanganan perlu dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan mutu buah-buahan dan sayur-sayuran, pemanenan yang keliru dan penanganan yang kasar di kebun dapat mempengaruhi mutu pemasaran secara langsung. Memar dan luka-luka kemudian hari akan tampak sebagai becak-cecak bewarna perang dan hitam yang membuat barang dagangan mmenjadi tidak menarik. Beberapa gangguan fisiologi merupakan akibat penanganan yang kasar. Luka-luka pada kulit merupakan pintu masuk jasad-jasad renik dan mengakibatkan banyak buah-buahan dan sayur-sayuran menjadi mubazir (Pantastico, 1986). Menurut Muchtadi (1992), buah pisang biasanya dipanen pada waktu masih bewarna hijau dengan tingkat kematangan berbeda. Apabila akan ditransportasikan pada jarak jauh, biasanya dipanen pada waktu masih agak muda (75-80% tingkat kematangan) dengan sudut-sudut buah yang masih kelihatan, buah seperti ini akan matang kira-kira dalam waktu 3 minggu. Untuk pengangkutan jarak pendek, biasa pisang dipanen pada saat 85-95% matang, dimana buah telah berkembang penuh tetapi susut-sudut masih sedikit kelihatan. Buah seperti ini akan matang dalam waktu 1-2 minggu. Untuk pemasaran lokal, sebaiknya pemanenan dilakukan pada waktu lebih tua, dan akan matang dalam waktu kurang 1 minggu. Buah pisang biasaya tidak dibiarkan masak dipohon. Hal ini disebabkan karena buah pisang yang matang dipohon akan memiliki citarasa yang rendah dan mempunyai tandensi rontok dari pohon sebelum dan sewaktu panen. Karena itu , pisang dipanen pada waktu masih hijau tapi sudah cukup tua (Winarno, 1990). Standar kematangan panen dari pisang berbeda-beda menurut jenis pisang. Pisang sudah mulai berproduksi dan biasa langsung dipungut hasilnya pada umur 12-15 bulan setelah tanam atau 4-6 bulan setelah tanaman berbunga, tergantung pada varietasnya. Beberapa jenis pisang ada yang memiliki umur panen pendek, namun ada pula yang memiliki umur panen lebih panjang. Umur panen beberapa tanaman dapat dilihat pada tabel 4 berikut: Tabel 4. Umur panen beberapa varietas tanaman pisang No. Varietas
Umur berbunga
Dari bunga s.d
Dari tanam s.d
(hari)
panen (hari)
panen (hari)
1.
Ambon putih
454
163
617
2.
Ambon Hijau
450
163
613
3.
Ambon Lumut
470
157
627
4.
Raja sere
390
149
539
5.
Mas
-
-
-
6.
Susu
-
-
-
7.
Nangka
383
157
540
8.
Kepok
393
167
560
9.
Tanduk
412
141
553
10.
Badak
375
140
515
Sumber : Dinas pertanian tanaman pangan, 1985 dalam Cahyono, 2009.
6
Dua faktor yang harus diperhatikan dalam pemanenan yaitu kematangan komersial dan kematangan fisiologis. Kematangan komersial yaitu dimana semua organnya sudah sipa panen untuk dimanfaatkan dan dipasarkan sedangkan kematangan fisiologis yaitu stadia tertentu dalam perkembangan buah dimana syarat proses kematangan terpenuhi secara sempurna (Satuhu, 1993). Tingkat ketuaan dapat diukur dengan memperhatikan sudut-sudut pada kulit buah pisang ambon. Buah yang tidak bersudut lagi (hampir bulat) berarti sudah tua 100%, sedangkan yang masih sangat nyata sudutnya berarti tingkat ketuaan masih 70% atau kurang. Standar tingkat ketuaan buah berdassrkan Standar Nasional Indonesia No. 01 – TAN – 1996 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tingkat ketuaan buah pisang ambon 2.2.2 Pascapanen Penanganan pascapanen adalah suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari pengumpulan hasil panen sampai pada tahapan siap dipasarkan. Kegiatan penangan pascapanen yang perlu mendapat perhatian adalah grading dan sortasi, pemeraman, pengepakan, dan pengangkutan. Perlakuan pascapanen harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena sangat menentukan kualitas akhir buah. Penanganan yang dilakukan secara kasar akan meningkatkan jumlah kerusakan buah sehingga memperpendek daya simpan, kualitas buah juga menurun, dan harga jualnya pun rendah (Cahyono, 2009). Perlakuan pascapanen tersebut di atas harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena sangat menentukan kualitas akhir buah. Penanganan pascapanen yang dilakukan petani berbeda dengan penanganan pascapanen yang dilakukan oleh pedagang di setiap titik distribusi terjadi perbedaan penanganan pascapanen, hal ini disebabkan perbedaan sifat pasar. Secara umum kegiatan pascapanen dipaparkan sebagai berikut: 1.
Penyortiran dan Pengkelasan (Grading) Menurut Cahyono (2009), sortasi bertujuan untuk memilih dan memisahkan buah pisang yang baik dari buah pisang yang kurang baik atau rusak. Sementara, grading bertujuan untuk mengelompokkan buah pisang yang telah disortasi menjadi beberapa kelompok kelas, misalnua kelas A, B, C, dan Seterusnya. Sortasi dan grading biasanya dilakukan berdasarkan ukuran (besar dan kecilnya buah), kerusakan mekanis (cacat buah), tingkat kematangan (ketuaan buah), bobot buah, keseragaman warna, jenis pisang, dan kerusakan yang disebabkan oleh hama atau penyakit. Buah yang dipilih dipisahkan dari buah-buah yang cacat atau rusak. Setelah itu, dilakukan pemilihan tahap kedua dan mengelompokkannya ke dalam kelas yang sama berdasarkan kriteria-kriteria tersebut diatas. Menurut kader (1992), kegiatan pemilihan merupakan kegiatan menyeleksi produk berdasarkan kematangan, bentuk, warna atau beberapa parameter fisik lainnya. Standar
7
sortasi biasanya didasarkan atas kesehatan, ketegaran, kebersihan, ukuran, bobot, warna, bentuk, kemasakan dan kebebasan dari hama dan penyakit, kerusakan oleh serangga dan luka-luka mekanik (pantastico, 1986). Tiga kategori yang umum terdapat dalam klasifikasi pengkelasan yaitu kelas ekstra, kelas 1 dan kelas 2. Kelas ekstra memiliki mutu sangat baik, bentuk dan warna sesuai varietas ditanam dan tidak cacat. Penyimpanan kelas ini maksimal 5% dengan memperhatikankeseragaman ukuran, warna, keadaan dan pengaturan dalam kemasan. Kelas I hampir sama dengan mutu kelas ekstra, hanya batas penyimpanan maksimal 10%. kelas 2 boleh memiliki kerusakan eksternal maupun internal, dengan syarat masih layak untuk dimakan dalam keadaan segar (Pantastico, 1986). 2.
Pencucian Seringkali pada buah dan sayuran terdapat kotoran, tanah, sisik serangga, jamur dan sebagainya sehingga memiliki penampilan yang tidak menarik. kebanyakan buah-buahan dan sayur-sayuran dicuci sesudah dipanen dan dilakukan pemotongan bagian-bagian yang busuk atau rusak sebelum pencucian untuk memperbaiki penampakan produk (Pantastico, 1986). Menurut Peleg (1985) pencucian ada dua macam yaitu pencucian basah dan pencucian kering. Pencucian basah dilakukan dengan perendaman, penghilangan kotoran dan pestisida dengan air dan deterjen, selanjutnya komoditi disikat dan dibilas dengan air. Pencucian kering dilakukan dengan cara membersihkan permukaan kulit komoditas dari kotoran tetapi tidak dapat membersihkan residu bahan kimia, kotoran yang tersembunyi. Keuntungan pencucian kering ini adalah lapisan lilin pada komoditi yang secara alami terlindungi oleh lilin tidak hilang. Menurut Prabawati et al (2008) perlu penambahan pada pencucian dengan natrium hipochlorit 75-125 ppm untuk membunuh spora Fusarium, Cholletotrichum, dan Botryodiplodia serta fungi lain yang sering menyerang crown pisang.
3.
Pemeraman Buah pisang tergolong buah-buahan yang klimaterik, artinya buah yang kurang tua saat panen akan menjadi matang selama penyimpanan. Hanya saja mutunya kurang baik, rasanya kurang enak, dan aromanya kurang kuat. Buah yang cukup tingkat ketuaannya akan menjadi matang dalam waktu 4-5 hari setelah panen tanpa perlakuan pemeraman. Namun, kematangan tidak seragam dan warnanya kurang menarik (Satuhu dan Supriyadi, 1992). Pemeraman buah pisang bertujuan mempercepat proses pematangan buah secara serentak, sehingga akan didapatkan buah dengan tingkat kematangan dan warna yang seragam. Beberapa cara pemeraman pisang antara lain: pemeraman menggunakan karbit, pemeraman dalam tempayan tanah liat, pemeraman dengan daun-daunan, dan pemeraman dengan cara diasap. Tanpa pemeraman, buah pisang akan matang dalam waktu yang relatif agak lama dan dengan tingkat kematangan yang beragam, ada yang belum matang, ada yang sudah matang, ada yang sudah sangat matang, dan ada yang sudah mulai membusuk. Dengan pemeramam buah pisang dapat matang dalam waktu yang relatif pendek secara bersamaan, yaitu 2-4 hari, tergantung cara yang digunakan dalam pemeraman (Cahyono, 2009). Selama pematangan, buah mengalami beberapa perubahan nyata dalam warna, tekstur dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi beberapa perubahan dalam susunannnya. Buah pisang yang mengunng terjadi karena hilangnya klorofil tanpa atau dengan sedikit pembentukkan zat karatenoid secara murni. Pematangan biasanya meningkatkan gula-gula sederhana yang member rasa manis, penurunan asam-asam organik dan senyawa-senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepet dan masam, dan kenaikan zat-zat atsiri yang member flavor khas pada buah (Matto et al., 1986). 8
4.
Penyimpanan Penyimpanan bertujuan mengatasi kerusakan buah akibat proses pemasaran yang terlambat (lama). Buah yang tidak terjual habis dalam waktu yang relatif sungkat harus mendapat perlakuan khusus dalam penyimpanan agar buah tetap baik segar walaupun telah disimpan lama. Penyimpanan buah pisang harus memperhatikan unsur-unsur teknologi yang benar, agar buah pisang yang disimpan terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh hama dan penyakit pascapanen selama dalam penyimpanan. Ada beberapa cara penyimpanan yang dapat dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan kesegaran dan kualitas buah pisang, diantaranya adalah dengan pelapisan lilin, penggunaan suhu rendah, penggunaan bahan kimia, radiasi dan kontrol atmosfer (Cahyono, 2009). Tempat penyimpanan idealnya memiliki pendingin. Penyimpanan dingin dapat mempertahankan mutu karena pendinginan berpengaruh besar terhadap atmosfer dalam kemasan. Penyimpanan dingin pada suhu optimum disertai kelembapan tinggi merupakan cara yang efektif untuk memperpanjang umur simpan atau ketahanan komoditi. Pendinginan ini dapat memperlambat respirasi sehingga pematangan, penuaan dan pengeluaran panas juga terhambat (Pantastico, 1986). Menurut Santoso dan Purwoko (1995), Penyimpanan dingin dilakukan dengan tujuan untuk: a. mempertahankan aktivitas biologi yang rendah dari produk pada suhu rendah. Suhu tersebut dipertahankan pada tingkat tertentu yang tidak akan menyebabkan pembekuan atau chilling injury dan melalui pengendalian komposisi atmosfer. b. memperlambat pertumbuhan mikroorganisme dengan mempertahankan temperatur rendah dan meminimalisasi kelembapan permukaan sekitar produk. c. mengurangi pengeringan produk melalui memperkecil perbedaan selisih temperature antara produk dan udara, serta mempertahankan kelembapan yang tinggi dalam ruang penyimpanan. Menurut Ashari (1995), beberapa tindakan misalnya dengan perlakuan suhu dingin, mengurangi kadar oksigen, meningkatkan kadar gas karbondioksida, menghilangkan gas etilen serta menggunakan bahan kimia yang dapat menghambat kematian jaringan. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan suatu keharusan. Penyimpanan suhu rendah dapat mengurangi aktivitas respirasi dan metabolisme, proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan dan perubahan warna serta tekstur, kehilangan air dalam pelayuan, kerusakan karena mikroba (bakteri, kapang/cendawan dan khamir). Namun demikian penyimpanan yang terlalu rendah dapat menyebabkan kerusakan (chilling injury). Penerapan teknologi lain seperti pelilinan, pengemasan MAP (Modified Atmosphere Packaging) atau CAS (Controlled Atmosphere Packaging) tidak memberikan hasil yang memuaskan bila tanpa pendinginan (Hasbullah, 2008). Menurut Satuhu (1993), suhu penyimpanan untuk setiap komoditi tidak sama. Suhu harus dijaga agar tetap konstan demikian pula kelembapanya. Kelembapan udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Penyusutan bobot menyebabkan buah mengerut dan layu serta mempercepat pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi cepat busuk. Penyimpanan pisang yang telah dikemas dengan rapi pada ruang pendingin bersuhu 13,3 0C, dengan kelembapan 85-
9
90%. Pada suhu penyimpanan ini kesegaran buah pisang dapat bertahan selama 2-3 bulan tanpa mengalami proses pematangan (Badan Agribisnis, 1999). Penyimpanan buah pisang pada suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya proses chilling injury. Menurut Winarno et al (1980), Suhu penyimpanan pisang terutama pisang ambon yang disimpan pada suhu rendah kurang dari 13.50C dapat menyebabkan kulit pisang menjadi bewarna abu-abu dan dapat berubah menjadi tua lagi pada tempat-tempat yang cacat. Pisang yang didinnginkan biasanya berbintik-bintik hitam pada tangkai dam kulitnya, dan pada kelembaban yang lebih tinggi sering nampak kapang tumbuh pada permukaan bintik-bintik tersebut. Menurut Cahyono (2009), penyimpangan buah pisang dengan bahan kimia juga dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan pisang yaitu dengan menggunakan KmNO4 dan CaCl2. Penyimpanan dengan KmNO4 bertujuan menyerap etilen yang diproduksi oleh buah pisang sehingga proses pematangan buah dapat diperlambat. Dengan perlakuan ini, buah pisang dapat mempertahankan kesegarannya hingga 3 minggu dengan disimpan pada suhu ruang. 5.
Pengepakan dan pengangkutan Pengepakan atau pengemasan bertujuan untuk melindungi buah pisang dari kerusakan mekanis yang mungkin terjadi selama dalam pengangkutan dari kebun ke gudang atau hingga sampai ke tempat pemasaran. Kerusakan buah pisang yang disebabkan karena pengemasannya tidak memenuhi syarat dapat dijumpai pada pedagang atau tengkulak di sentra produksi pisang. Untuk menghindari kerusakan karena pengangkutan, pengemasan harus dilakukan dengan baik dan benar. Bahan pengemasan, kapasitas pengemasan, dan cara pengemasan harus diperhatikan agar buah pisang dapat sampai ke tujuan dalam keadaan baik tanpa cacat (Cahyono, 2009). Menurut Satuhu (1993), mutu buah yang dikirim sangat ditentukan oleh jenis dan cara kemasannya, bentuk kemasan buah yang akan dikirim harus mempertimbangkan faktor transportasi. Pengemasan secara asal-asalan dalam pengangkutan akan menyebabkan buah menjadi lecet dan memar sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan mutu. Pengemasan untuk pengiriman diperlukan wadah yang dirancang untuk melindungi buah sebagai pelindung dari luka memar, getaran maupun berat wadah lain yang menumpuk. Perancangan kemasan selama pengangkutan bermanfaat pula untuk meredam goncangan dalam perjalanan yang dapat mengakibatkan kememaran dan penurunan kekerasan hasil hortikultura. Faktor yang perlu diperhatikan meliputi kemasan: jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan kemasan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur pola susunan, biaya pengangkutan dibandingkan dengan harga komoditas, permintaan waktu, jarak dan keadaan jalan yang dilintasi (Purwadaria, 1997). Menurut Prabawati et al (2008), beberapa hal penting yang harus mendapat perhatian dapat pengemasan yaitu, kemasan harus mampu memberikan perlindungan pada buah pisang dari kerusakan seperti luka, tertusuk, dan memar. Pengepakan yang sempurna dan baik berarti melindungi produk hortikultura dari kerusakan fisik yang menyebabkan memar, kehilangan kadar air (dehidrasi) serta mencegah busuk karena infeksi mikroorganisme. Pengepakan dengan menggunakan bahan kimia juga merupakan tindakan untuk mencegah serangan virus dan organisme lain yang merugikan. Pengepakan biasanya dikombinasikan dengan penyegelan atau penutupan yang rapat agar produk tidak terkontaminasi dengan oksigen yang dapat menyebabkan busuknya bahan (Ashari, 1995).
10
2.2.3 Penyakit Pascapanen Menurut Nelson (2008) kondisi umum yang menyebabkan gejala penyakit pascapanen pisang berkembang adalah manajemen penyakit dan praktek yang kurang baik di kebun pisang untuk penyakit jamur daun dan buah (pengendalian gulma yang minim, tidak dilakukannya pemangkasan secara teratur untuk mengurangi kepadatan populasi tanaman dan minimnya manajemen kesuburan tanah), curah hujan dan kelembaban relatif yang tinggi, sanitasi yang rendah di packing houses, praktek pengepakan buah yang kurang baik, buahbuahan tidak didinginkan setelah panen dan sebelum pemasakan (suhu yang sesuai setelah pengepakan dan selama pengiriman adalah 13.33 ° C), dan buah dipanen tidak tepat waktu. Jenis penyakit pascapanen pisang menurut Satuhu dan Supriyadi (1992) adalah sebagai berikut: 1. Antraknosa Penyakit ini ditandai dengan buah tampak bercak-bercak berwarna cokelat. Bercak ini sedikit melengkung ke dalam, kemudian akan cepat membesar, lama kelamaan daging buah akan menjadi rusak. Penyebabnya adalah jamur Collectrotichum musae et curt. V. Arx. Serangan akan banyak terjadi bila musim hujan, suhu yang tinggi (27-300 C) dan kelembapan yang hampir jenuh turut mempengaruhi perkembangan jamur ini. Pencegahan dapat dilakukan mulai dari menjaga kebersihan kebun, sesudah panen dapat dilakukan dengan memperkecil kerusakan mekanis pada buah dan buah dicelupkan dengan air panas (550C) selama 2 menit atau pemberian fungisida. 2. Black Spot Penyakit ini ditandai buah pada mulanya tampak berbintik merah yang dikelilingi dengan daerah yang basah, kemudian bintik ini melebar dan buahnya menjadi hitam. Penyebab penyakit ini adalah jamur Helminthosporium torulosum Syd. Penyakit ini biasanya menyerang perkebunan yang kotor. Pencegahan dapat dilakukan dengan pembersihan areal kebun dari kotoran daun-daun kering. 3. Brown Spot Buah ditandai gejala bercak –bercak cokelat tua dengan diameter 5-6 cm dan tepinya tidak beraturan. Penyebabnya adalah jamur Cerospra hayi Celpouzos pencegahannya dengan cara buah dicelupkan larutan Nystatin 200-400 ppm. 4. Crown rot complex Serangan tampak pada bonggol sisir buah yang dimulai dari tangkai utama yang berubah warna dari biasanya. Penyebabnya adalah infeksi jasad renik Botryodiplodia theobromae pat, Thielaviopsis paradoxa de Seyn. Hoehn, Collectrotichum musae Berk. Et curt V. Arx, Fusarium roseum link dan Verticillium theobromae Truc. Pencegahannya dapat dilakukan dengan cara pisang dicelupkan larutan TBZ (thiabendazole) 200-400 ppm dan benomyl 100-400 ppm. 5. Scab Pada bagian atas lapisan epidermis muncul lingkaran hitam seperti bercak karat. Bercak ini menyebar di permukaan kulit buah, bercak ini menurunkan penampilan buah, penyebabnya adalah Aphaceloma sp. yang hanya menyerang kulit buah saja. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencuci, meniriskan, lalu mencelupkan buah pisang dalam larutan fungisida selama 30 detik atau mencelupkan kedalam air panas 550C selama 5 menit.
11
2.3 Kehilangan Pascapanen Di Indonesia misalnya, sayur-sayuran dan buah-buahan banyak yang mengalami kerusakan sebelum sempat dikonsumsi. Jumlah kerusakan kira-kira meliputi 35-40 persen, sedangkan 60 persen dari sisanya sebagian besar dijual dalam bentuk sayur-sayuran dan buahbuahan segar atau diolah. Kerusakan bahan-bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi, dan kapang; aktivitas enzim-enzim didalam bahan pangan; serangga, parasit dan tikus; suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan; kadar air; udara, terutama oksigen; sinar matahari dan jangka waktu penyimpanan (Winarno et al., 1980). Kehilangan susut bobot pada buahan pada umumnya terjadi akibat dari perubahan kadar air yang terkandung pada buahan dan proses yang terjadi akibat pengaruh dari luar seperti penanganan pascapanen sampai pada proses pemasaran. Sayur-sayuran dan buah-buahan serta hasil pertanian pada umumnya setelah dipanen kalau dibiarkan begitu saja lama-kelamaan akan mengalami perubahan-perubahan akibat pengaruh fisiologis, fisik, kimiawi, parasitik atau mikrobiologis. Perubahan perubahan fisiologis dan kimiawi tersebut ada yang menguntungkan, tetapi kalau tidak dikendalaikan akan sangat merugikan. Banyak sekali buah dan sayuran di Indonesia yang mengalami kerusakan (kebusukan) sebelum sempat dikonsumsi. Jumlah yang hilang karena kerusakan ini diperkirakan mencapai 35-40 % (Muchtadi, 1992). Kehilangan pascapanen selain berpengaruh terhadap kuantitas, juga dapat mengakibatkan berkurangnya kualitas produk. Kehilangan kuantitas adalah hilangnya produk pascapanen yang ditunjukkan oleh berkurangnya volume atau berat produk, sedangkan kehilangan kualitas dikaitkan dengan berubah ke arah menurunnya komponen nutrisi produk pascapanen. Berkurangnya volume atau berat produk pascapanen berkaitan erat dengan proses fisiologi yang masih terus berlangsung pada produk setelah dipetik dari tanaman. tanpa adanya pasokan bahan nutrisi dan air, produk mengalami penyusutan. Sementara itu, beruabah atau menurunnya kandungan nutrisi dalam produk pascapanen berkaitan erat dengan proses biokimia produk, yaitu tidak lancarnya daur Krebbs dalam produk (Soesanto, 2010). Menurut Winarno dan Aman (1981), secara kualitatif dapat diketahui bahwa hasil-hasil pertanian setelah di panen mengalami kerusakan yang diperkirakan 20-40%. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan karena beberapa hal, antara lain seperti panen yang terlalu matang. Berbagai kegiatan pertanian berpotensi menimbulkan kerusakan pada bahan yang diproses. Sebagai akibatnya, kualitas produk menjadi menurun dan dalam banyak kasus terjadinya kerusakan mekanis diikuti dengan pembusukan yang berlangsung cepat sehingga pada akhirnya bahan menjadi rusak total. Untuk penyimpanan dalam waktu lama, adanya bahan yang membusuk dapat merusak bahan lainnya. Jadi dapat dipahami bahwa menurunnya tingkat kerusakan mekanik mempunyai arti ekonomi yang penting. Setelah dipanen buah dapat rusak karena beberapa macam hal kerusakan yang terjadi pada buah akan menurunkan mutunya. Bila tidak ditangani dengan baik kerusakan ini dapat menimbulkan kerugian-kerugian yang lebih banyak. Menurut Satuhu (1993), kerusakan kerusakan buah dapat berupa: 1. Kerusakan fisik Kerusakan ini terjadi karena perlakuan-perlakuan fisik. Misalnya karena pendinginan (chilling injury). Dapat juga karena proses pemanasan atau case hardening yakni kerusakan dengan penggunaan suhu tinggi pada proses pengolahan. Akibat lanjutnya penampilan dan rasa buah menjadi berubah. Kerusakan fisik sangat mempengaruhi mutu dan daya simpan. 12
2.
Kerusakan biologi Kerusakan biologi disebabkan karena serangan serangga, binatang pengerat dan sebagainya. Masuknya ulat serangga kedalam buah dapat merusak bagian dalam buah. Selain itu memudahkan mikroba perusak masuk sehingga buah cepat menjadi busuk. 3. Kerusakan kimia Rusaknya kandungan zat-zat kimia pada buah karena hal apapun digolongkan kerusakan kimia. Kerusakan ini biasanya berhubungan dengan kerusakan biologi atau fisika. Misalnya aktifnya enzimatis karena kerusakan sebelumnya. Penyimpanan pada suhu tinggi dapat pula menyebabkan rusaknya kandungan kimia. 4. Kerusakan mikrobiologi Bermacam-macam kapang, bakteri maupun jamur mempunyai daya perusak. Buah akan menjadi busuk. Akibat serangan jasad renik tersebut. Luka pada permukaan kulit buah akan mempercepat terjadinya kerusakan. 5. Kerusakan mekanik Kerusakan mekanik terjadi akibat adanya benturan-benturan mekanis. Luka mekanik dapat terjadi pada saat pemanenan, sortasi, pengemasan, juga saat pengangkutan. Menurut Prabawati et al (2008), memar pada buah pisang yang sering terjadi selama penanganan dan distribusi dapat merupakan kerusakan yang merugikan. Memar mengakibatkan rusak pada kulit dan daging buah yang sangat nampak ketika buah telah matang. Berikut beberapa penyebab memar: a. Memar karena benturan. Terjadi karena terbentur akibat dijatuhkan pada permukaan yang lebih keras, misalnya buah pisang yang dilemparkan saat pemuatan dalam kemasan, atau buah pisang yang telah berada dalam kemasan jatuh atau dilemparkan saat memuat dalam angkutan. Untuk mengurangi kerusakan tersebut, dapat digunakan lapisan atau bantalan pada dasar kemasan dan penanganan yang lebih hati-hati. b. Memar akibat tekanan. Buah pisang dalam kemasan dapat mengalami kerusakan jika kemasan tidak kuat menahan tumpukan dari kemasan di atasnya. Memar akibat tekanan juga dapat terjadi akibat tumpukan antar buah pisang dalam kemasan. Buah pada bagian bawah tertekan pisang yang berada di atasnya jika tanpa disusun dengan baik dan diberi lapisan penyekat. c. Memar akibat gesekan. Kerusakan ini dapat dihindari bila penyusunan buah pisang dalam kemasan rapat dan tidak memungkinkan buah bergerak. Kondisi buah-buahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Faktor-faktor prapanen Faktor prapanen sangat berpengaruh terhadap kulitas buahan yang dihasilkan. Faktorfaktor prapanen meliputi kondisi lingkungan selama proses pertumbuhan, tingkat kemasakan, kehadiran hama dan penyakit, kultivar yang ditanam, dan tindakan-tindakan perawatan yang dilakukan selana proses pertumbuhan lainnya (Fery et al., 1991). Menurut Pantastico (1986), faktor prapanen dipengaruhi oleh dua yaitu faktor-faktor lingkungan dan pembudidayaan. Faktor lingkungan mencakup suhu, RH, Cahaya, tekstur tanah, angin, ketinggian, letak dan curah hujan. Yang termasuk pengaruh pembudidayaan adalah nutrisi mineral, pengolahan lahan, pemangkasan, penjarangan, penyemprotan dengan bahan-bahan kimia, bibit, jarak tanam, irigasi dan pengatusan, dan pembuatan lingkaran disekitar pohon.
13
2.
Faktor-faktor panen dan pascapanen Cara panen dan waktu panen (petik) buah pisang menentukan kualitas buah yang dihaslikan. Oleh karena itu, cara panen dan waktu panen harus dilakukan dengan baik dan benar serta tepat waktu. Pemanenan pisang harus disesuaikan dengan keperluan. Pemanenan yang terlalu cepat akan mempengaruhi mutunya. Mutu buah pisang akan rendah walaupun daya simpannya lebih lama. Demikian sebaliknya, bila pemananenan terlalu lambat, maka buah pisang tidak cocok lagi untuk diekspor, Karena akan cepat busuk (Satuhu dan Supriyadi, 1992). Menurut Zulkarnain (2009) penanganan pascapanen yang tidak tepat akan menyebabkan buah menjadi memar akibat saling berbenturan satu sama lain atau menjadi lembek akibat tingginya laju respirasi, yang semuanya bermuara pada pembusukkan. Pembusukkan ini akan semakin dipercepat oleh kontaminasi mikroorganisme pathogen, seperti cendawan dan bakteri, selama proses pengangkutan dan penyimpanan. 3. Faktor transportasi dan pemasaran Pengangkutan buah-buahan dengan jalan darat pada umumnya menggunakan truk dan pick up tanpa pendinginan. Untuk pengangkutan jarak jauh dalam satu pulau, yang lebih dari jam sebaknya menggunakan kereta api dengan gerbong pendingin. Sedangkan pengangkutan kurang dari 5 jam dapat melalui jalan raya tanpa truk pendingin (Purwadaria, 1992). Menurut Purwadaria (1992) menyatakan bahwa goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta dapat mengakibatkan kememaran, susut berat, memperpendek masa simpan. Hal ini terutama terjadi pada pengangkutan buah-buahan dan sayuran yang tidak dikemas. Meskipun kemasan dapat meredam efek goncangan, tetapi daya redamnya tergantung pada jenis kemasan serta tebal bahan kemasan, susunan komoditas di dalam kemasan, dan susunan kemasan di dalam pengangkutan. Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan dapat mengakibatkan kerusakan yang diderita oleh komoditi pada waktu sampai ditempat tujuan mencapai lebih kurang 30-50%. Pada umumnya hambatan-hambatan yang menyebabkan penurunan mutu tersebut adalah kegiatan penanganan pascapanen yang tidak sempurna walaupun mutu pada waktu pemanenan sudah baik. Kegiatan penanganan pascapanen meliputi masalah tempat pengumpulan, grading, sortasi, pengemasan pengangkutan, dan pemasaran atau distribusi. Menurut Pantastico (1986), tiga persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengangkutan bahan-bahan makanan yang mudah rusak adalah: Penyampaian barang-barang dengan cepat dan tepat, Pengemasan dan kondisi pengangkutan yang tepat untuk menjamin terjaganya mutu yang tinggi. Harapan adanya keuntungan yang cukup dari hasil yang bersangkutan untuk dapat membenarkan penggunaan fasilitas pengangkutan yang memadai.
2.4 Standar Mutu Pisang Ambon Kuning Klasifikasi standar mutu buah pisang ambon kuning segar, berdasarkan Standar Nasional Indonesia RSNI – TAN – 1996. Buah pisang ambon kuning segar digolongkan dalam 3 macam yaitu: ukuran kelas A, B dan C berdasarkan Panjang Jari, berat sisir, dan diameter buah. Berikut klasifikasi penggolongan ukuran buah pisang dapat dilihat pada tabel. 5.
14
Tabel 5. Klasifikasi/penggolongan buah pisang berdasarkan ukuran. Spesifikasi
Satuan
Persyaratan Kelas A
Kelas B
Kelas C
Panjang jari
Cm
18,1-20,0
16,1-18,0
14,1-16,0
Berat Sisir
Kg
> 3,0
2,5-3,0
< 2,5
Diameter Pisang
Cm
> 2,5
> 2,5
< 2,5
Pisang ambon kuning segar dikelompokkan masing-masing kelas digolongkan dalam dua jenis mutu, yaitu mutu I dan Mutu II. Berikut persyaratan mutu pisang ambon kuning segar dapat dilihat pada tabel. 6. Tabel 6. Persyaratan mutu pisang ambon Karakteristik
Satuan
Mutu I
Mutu II
a) Tingkat Ketuaan Buah
%
70-80
<70dan>80
b) Keseragaman Kultivar
Seragam
Seragam
c) Keseragama ukuran
Seragam
Seragam
d) Kadar kotoran
% bobot/bobot
0
0
e) Tingkat Kerusakan
% bobot/bobot
0
0
Fisik/Mekanis
maksimum
f) kemulusan kulit
Mulus
Kurang Mulus
g) Serangga
Bebas
Bebas
h) Penyakit
Bebas
Bebas
Catatan: Mutu I boleh menyimpang maksimal sebanyak 5 % tetapi masih memenuhi syarat mutu II. Mutu II boleh menyimpang maksimal 10 %.
2..5 Saluran Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran 2.5.1 Saluran Pemasaran Menurut Alma (2011), saluran pemasaran adalah lembaga yang saling berkait untuk menjadikan produk atau jasa siap digunakan/dikonsumsi. Tanpa saluran pemasaran yang efektif, maka sulit bagi masyarakat untuk memperoleh barang yang akan dikonsumsi. Jadi adalah tugas saluran pemasaran untuk memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Pemasaran barang dan jasa melibatkan beberapa lembaga perantaar mulai dari produsen, lembaga perantara sampai konsumen akhir. Lembaga pemasaran merupakan suatu lembaga dalam bentuk perorangan, perserikatan, atau perorangan yang melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran untuk memperlancar arus barang dari produsen ke konsumen melalui berbagai kegiatan. Fungsifungsi pemasaran tersebut dilakukan oleh lembaga perantara di dalam suatu saluran pemasaran atau saluran distribusi adalah saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya kepada konsumen dari titik produsen (Limbong dan Sitorus, 1987). Tingginya biaya tataniaga akan berpengaruh terhadap harga eceran (harga konsumen) dan harga pada tingkat petani. Banyaknya lembaga yang terlibat dalam suatu saluran pemasaran dipengaruhi oleh jarak dari produsen ke konsumen, sifat komoditas, skala produksi dan kekuatan modal yang dimiliki.
15
Menurut Alma (2011) untuk mennyalurkan barang-barang dari produsen ke konsumen ada beberapa cara: 1. Penyaluran langsung. produsen menyalurkan langsung barang ke konsumen. 2. Penyaluran semi langsung. Dalam hal ini ada satu perantara, yaitu menggunakan saluran perdagangan eceran 3. Penyaluran tak langsung, melalui lebih dari satu perantara. Bentuk tipe-tipe saluran pemasaran dapat dilihat pada Gambar 3.
P
P
P
PB
PE K
PE K
Saluran Langsung
Saluran Semi Langsung
Saluran Tak Langsung
Keterangan: P
: Produsen
PE : Pedagang Eceran
K
PB
: Pedagang Besar
K
: Konsumen
Gambar 3. Tipe-tipe saluran pemasaran 2.5.2 Efisiensi Pemasaran Margin tataniaga merupakan salah satu indikator yang digunakan mengukur apakah distribusi suatu komoditas efisien atau belum. Analisis marjin dilakukan untuk mengetahui komponen biaya pemasaran serta bagian yang diterima masing-masing pelaku pasar yang terlibat dalam pemasaran pisang ambon. Adanya perbedaan harga ditingkat petani dengan konsumen menyebabkan marjin yang diterima masing-masing pelaku pasar akan berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran dalam menjalankan fungsi pemasaran. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga pemasaran. Besarnya marjin pemasaran pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran (Limbong dan Sitorus. 1987). perhitungan marjin tataniaga secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Mi = HJi – HBi Mi = Ci + πi
16
HJi – HBi = Ci +π i Berdasarkan persamaan tadi, keuntungan tataniaga pada tingkat ke-i adalah π i = HJi – HBi – Ci Maka besarnya marjin pemasaran adalah mi = ∑ Mi
Keterangan : Mi : Marjin pemasaran pada pasar tingkat ke i (Rp/kg) HJi : Harga penjualan pada pasar tingkat ke i (Rp/kg) HBi : Harga pembelian pada pasar tingkat ke i (Rp/kg) Ci : Biaya pada pasar tingkat ke i (Rp/kg) πi : Keuntungan pemasaran pada pasar tingkat ke i (Rp/kg) i : 1, 2, 3, .... n mi : Total marjin pemasaran Berdasarkan nilai marjin pemasaran tersebut dapat diketahui tingkat rasio keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran. Rasio ini menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh terhadap biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran. Semakin tinggi nilai rasio semakin besar keuntungan yang diperoleh. Rasio tersebut diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Bagian yang diterima petani dari harga yang terjadi dikonsumen akhir dapat diketahui melalui farmer’s share. Nilai farmer’s share digunakan untuk melihat apakah pemasaran produk tersebut memberikan balas jasa yang seimbang kepada petani. Farmer’s share berhubungan negatif dengan margin pemasaran artinya semakin tinggi margin pemasaran maka bagian yang akan diperoleh petani (farmer’s share) semakin rendah. h. Farmer’s share dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan : Fs : Farmer’s share Pf : Harga yang diterima petani (Rp/kg) Pr : Harga yang dibayar konsumen (Rp/kg) Tingkat efisiensi tataniaga juga dapat diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga didefinisikan sebagai besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya di setiap rantai pemasaran maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987).
17