II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Properti Secara sederhana, properti dapat diartikan sebagai tanah dan bangunan. namun dalam perkembangannya penilaian properti dibagi dalam empat tipe properti yaitu real property, personal property, financial interest, business. Menurut SK Menteri Perumahan Rakyat no. 05/KPTS/BKP4N/1995 dalam pasal (1a: 4) pengertian dari properti (real property) adalah tanah hak dan bangunan permanen yang menjadi obyek pemilik dan pembangunan. Disisilain menurut KUH Perdata dan UU Pokok Agraria pengertian properti adalah konsep hukum. Pengertian real property adalah hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki dalam arti menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah, misalnya Hak Milik atau Hak Guna Bangunan berikut bangunan (permanen) yang didirikan di atasnya atau tanpa bangunan. 2.2. Visi dan Misi Visi adalah kemampuan untuk melihat wawasan ke masa depan dan mencoba mengantisipasinya demi menghindari kegagalan dalam mewujudkan misi dan sasaran yang hendak dicapai organisasi atau perusahaan. Filsafat yang singkat yang mendefinisikan arah yang akan ditempuh suatu organisasi atau perusahaan (Marbun, 2003). Cita-cita masa depan yang ada dalam benak pendiri yang kira-kira mewakili seluruh anggota perusahaan adalah yang disebut visi, sedangkan misi adalah penjabaran secara tertulis mengenai visi agar visi menjadi lebih mudah dimengerti atau jelas bagi seluruh staf perusahaan (Umar, 2001). Menurut Pearce dan Robinson (1997), misi perusahaan merupakan pernyataan atau rumusan umum yang luas dan bersifat tahan lama tentang keinginan atau maksud perusahaan. Misi ini mengandung filosofi bisnis dari para pengambil keputusan strategi perusahaan, menyiratkan citra yang ingin dipancarkan perusahaan, mencerminkan konsep diri perusahaan, dan mengidentifikasikan bidang bidang produk atau jasa utama perusahaan, serta kebutuhan utama pelanggan yang akan dipenuhi oleh perusahaan. 2.3 Konsep Strategi Pada dasarnya, strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Suatu strategi mempunyai skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Kata strategi berasal dari bahasa Yunani ‘strategos’ atau ‘strategus’ dengan kata jamak strategi (stratos = tentara atau militer, dan ag = memimpin) yang berarti seni berperang. Definisi lebih lengkap untuk orang Yunani, strategi
adalah ilmu perencanaan dan pengarahan sumber daya untuk operasi secara besar-besaran, melansir kekuatan pada posisi siap yang paling menguntungkan sebelum melakukan penyerangan terhadap lawan. Secara umum dapat didefinisikan bahwa strategi itu adalah rencana tentang serangkaian manuver, yang mencakup seluruh elemen yang kasat mata maupun tak kasat mata, untuk menjamin keberhasilan mencapai tujuan (Hutabarat dan Huseini, 2006). Hamel dan Prahalad dalam Umar (2005), dua orang pakar strategi mendefinisikan strategi sebagai sebuah tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan. David (2006) menyatakan strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis dapat mencakup ekspansi geografis, diversifikasi, akuisisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, pengurangan bisnis, divestasi, likuidasi dan usaha patungan. Strategi adalah tindakan potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan sumber daya perusahaan dalam jumlah yang besar. Selain itu, strategi mempengaruhi kemakmuran perusahaan dalam jangka panjang dan berorientasi ke masa depan. Strategi memiliki konsekuensi yang multifungsi dan multidimensi, serta perlu mempertimbangkan faktor-faktor eksternal dan internal yang dihadapi perusahaan. 2.3.1
Manajemen Strategik Manajemen strategi merupakan serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut (Siagian, 2004). Sedangkan Wheelen and Hunger (2001) menyatakan bahwa manajemen strategi merupakan serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan keragaan perusahaan dalam jangka panjang. Proses manajemen strategi adalah menentukan cara dan jalan yang mana yang dapat diambil para perencana strategi dalam menentukan sasaran-sasaran, kebijakan dan kegiatan pengambilan keputusan perusahaan. Secara lebih spesifik, David (2006) mendefinisikan manajemen strategi sebagai seni dan ilmu untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional yang memungkinkan suatu
organisasi mencapai tujuannya. Manajemen strategik memadukan manajemen, pemasaran, keuangan, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan serta sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi. Mulyadi (2007) mendefinisikan manajemen strategi adalah suatu proses yang digunakan oleh manajer dan karyawan untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi dalam penyediaan customer value terbaik untuk mewujudkan visi perusahaan. Pada dasarnya manajemen strategi adalah suatu upaya manajemen dan karyawan untuk membangun masa depan perusahaan. dari definisi tersebut terdapat empat frasa penting yang bisa diambil, yaitu: 1. Manajemen strategi merupakan suatu proses. 2. Proses digunakan untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi. 3
Strategi digunakan dalam menyediakan customer value terbaik untuk mewujudkan visi perusahaan.
4
Manajer dan karyawan adalah pelaku manajemen strategi. Menurut David (2006), proses manajemen strategik (strategic management
process) terdiri dari tiga tahap, yaitu : formulasi, implementasi dan evaluasi strategi. Untuk lebih jelasnya, model komprehensif proses manajemen strategik digambarkan pada Gambar 1. 1. Formulasi strategi termasuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan perusahaan, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan. 2. Implementasi strategi mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya, sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. 3. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dalam manajemen strategik. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah (1) meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, (2) mengukur kinerja dan (3) mengambil tindakan korektif.
Mengembangkan pernyataan visi dan misi
Menjalankan evaluasi internal
Formulasi
Menjalankan evaluasi eksternal Menetapkan tujuan jangka panjang
Strategi Merumuskan, mengevaluasi, dan memilih strategi
Implementasi
Implementasi strategi—Isu manajemen
Strategi Implementasi strategi—Isu-isu pemasaran, keuangan, akuntansi, penelitian dan pengembangan, sistem informasi manajemen
Evaluasi Strategi
Mengukur dan mengevaluasi kinerja
Gambar 1. Model komprehensif proses manajemen strategik (David, 2006). Penerapan manajemen strategi di dalam perusahaan mempunyai manfaat langsung maupun tidak langsung terhadap setiap aspek perusahaan, terutama ke dalam kinerja aspek
keuangan dan bisnis. Secara umum manfaat yang diperoleh perusahaan dalam menerapkan manajemen strategik (Hutabarat dan Huseini, 2006) adalah :
1. Meningkatkan performa perusahaan, baik dalam hal profitabilitas maupun keberhasilan lainnya. 2. Memperbaiki proses manajemen dan partisipasi di dalam organisasi seperti berikut : a. Mendorong bawahan untuk terlibat dalam perencanaan dan membantu memonitor, serta membuat peramalan dalam perencanaan. b. Proses manajemen lebih baik, karena melibatkan interaksi kelompok yang variatif dan didasarkan kepada spesialisasi dari anggota kelompok dalam membuat pilihan. c. Mereduksi gap (kesenjangan/celah) dan overlap (tumpang tindih) dari aktivitas individu dan kelompok dengan mengklarifikasi formasi strategi. d. Mempresentasikan kerangka untuk memperbaiki koordinasi dan pengendalian aktivitas. e. Mengintegrasikan sikap individu terhadap usaha keseluruhan perusahaan. f. Alokasi waktu dan sumber daya yang lebih efisien untuk mengidentifikasi peluang. 3. Memperbaiki pengambilan keputusan, seperti: a. Keputusan utama untuk dukungan terbaik dalam mencapai tujuan. b. Minimalisasi dampak dari kondisi dan perubahan yang merugikan. c. Lebih peduli dengan parameter yang membatasi pilihan yang ada sehingga membuatnya lebih memungkinkan menerima keputusan yang ada. 4. Memperbaiki sikap, disiplin dan motivasi individu di dalam organisasi, seperti berikut : a. Meningkatkan disiplin dalam mengelola bisnis. b. Mendorong sikap untuk berubah sesuai visi dan misi perusahaan. c. Mengerjakan basis untuk tanggungjawab individu. d. Meningkatkan motivasi dan produktivitas karyawan dengan melibatkannya dalam proses. e. Pendekatan kooperatif, terintegrasi dan bersemangat untuk menangani masalah dan peluang. 5. Memperbaiki antisipasi dan kepedulian terhadap masa depan dan peluang yang terjadi : a. Mendorong berpikir ke depan. b. Dapat mengidentifikasi, prioritas dan eksploitasi peluang. Manajemen strategik adalah tentang mendapatkan dan mempertahankan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang dilakukan dengan sangat baik oleh sebuah perusahaan dibandingkan dengan pesaingnya. Ketika sebuah perusahaan dapat melakukan sesuatu dan perusahaan lainnya tidak dapat atau memiliki sesuatu yang diinginkan pesaingnya. Hal tersebut menggambarkan keunggulan kompetitif, memiliki dan menjaga keunggulan kompetitif sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang dari suatu organisasi. Mengejar keunggulan kompetitif akan mengarah kepada kesuksesan atau kegagalan organisasi. Umumnya, sebuah perusahaan mampu untuk mempertahankan keunggulan kompetitif hanya untuk periode tertentu, karena ditiru pesaing dan melemahnya keunggulan tersebut. Sebuah perusahaan tidaklah cukup untuk memiliki keunggulan kompetitif. Perusahaan harus berusaha untuk mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) dengan (1) secara terus menerus beradaptasi dengan tren dan kejadian eksternal, serta kemampuan, kompetensi dan sumber daya internal (2) secara efektif memformulasikan, mengimplementasi dan mengevaluasi strategi yang mengambil keuntungan dari faktor-faktor tersebut. 2.3.2.
Perumusan/ formulasi strategi Teknik perumusan strategi yang penting dapat diintegrasikan ke dalam kerangka kerja pengambil keputusan melalui tiga tahap (David, 2006). Kerangka kerja ditunjukkan pada Gambar 2.
Tahap 1: Tahap Input (Input Stage) Evaluasi Faktor Eksternal (Ekternal Factor Evaluation—EFE)
Evaluasi Faktor Internal (Internal FactorEvaluation—IFE)
Tahap 2 : Tahap Pencocokan (Matching Stage)
Tahap 3 : Tahap Keputusan (Decision Stage)
Gambar 3. Kerangka Kerja Analisis Untuk Perumusan Strategi Gambar 2. Kerangka kerja manajemen strategik (David, 2006). 1. Tahap Input (Input Stage) Pada tahap ini dikuantifikasi secara subyektif selama tahap awal dari proses perumusan
strategi. Tahap ini menghasilkan faktor-faktor eksternal dan internal perusahaan. Alat analisis yang digunakan adalah EFE dan IFE. 2. Tahap Pencocokan (Matching Stage) Dengan menggabungkan hasil matriks IFE dan EFE sehingga menghasilkan matriks IE yang akan menggambarkan posisis perusahaan. 3. Tahap Keputusan (Decision Stage) Tahap keputusan menggunakan alat analisis QSPM. Alat analisis ini secara obyektif mengindikasikan alternatif strategi mana yang terbaik. 2.4. Balanced Scorecard Balanced Scorecard (BSC) didefinisikan sebagai suatu alat manajemen kinerja (performance management tool) yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan nonfinansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab-akibat (Luis, 2007). BSC menggambarkan adanya keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang, antara keuangan dan non-keuangan, antara indicator lagging dan indicator leading, dan antara kinerja eksternal-internal (Kaplan, 1996) Balanced Scorecard terdiri dari dua kata scorecard (kartu skor) dan balanced (seimbang). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan oleh personil di masa depan. jadi melalui kartu tersebut skor yang hendak diwujudkan dimasa depan dapat dibandingkan hasil kinerja yang sesungguhnya. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja yang dilakukan. sedangkan kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukan pengukuran yang dilakukan seimbang didasarkan dari dua sisi yaitu keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. oleh karena itu jika kartu skor personil digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan dimasa depan, personil tersebut harus memperhitungkan keseimbangan antara pencapaian kinerja keuangan dan non keuangan antara kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang, serta kinerja yang bersifat intern dan kinerja yang bersifat ekstern (Mulyadi, 2001:1-3) Balanced Scorecard menyediakan kerangka kerja yang komprehensif bagi para manajer untuk menerjemahkan tujuan strategis perusahaan ke dalam seperangakat pengukuranpengukuran kinerja. Balanced Scorecard, memberikan tambahan pengukuran kinerja selain pengukuran tradisional yang hanya menitikberatkan pada aspek keuangan saja dengan menambahkan tiga aspek, yaitu perspektif pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan
dan pembelajaran. melalui balanced scorecard, memungkinkan para manajer perusahaan mengukur bagaimana unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-kepentingan di masa depan, dengan balanced scorecard memungkinkan mereka mengukur apa yang telah mereka investasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur demi perbaikan kinerja di masa depan. 2.4.1. Perspektif Balanced Scorecard Balanced Scorecard memandang kinerja melalui empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. melalui keempat perspektif ini sasaran dan ukuran scorecard diturunkan dari visi dan strategi organisasi. Luis (2007) menekankan BSC sebagai alat untuk menjaga keseimbangan antara: 1)
Indikator finansial dan non finansial Umumnya perusahaan selalu berorientasi pada profit, namun orientasi berlebihan terhadap profit harus diimbangi dengan pencapaian faktor-faktor yang ada di luarnya.
2)
Indikator kinerja masa lampau, kinerja masa kini, dan masa depan Indikator kinerja masa lampau yang berupa laporan keuangan tidak bisa dijadikan patokan tunggal untuk menentukan strategi di masa yang akan datang karena laporan keuangan hanya menyajikan data-data pencapaian pada masa lampau.
3)
Indikator internal dan eksternal Keseimbangan dari faktor-faktor internal dan eksternal berkaitan dengan hubungan sebab akibat. di sini faktor internal merupakan penyebab ( input ) dan outputnya berdampak pada faktor eksternal.
4)
Indikator yang bersifat leading (cause/drivers) dan lagging (Effect/Outcome) BSC mampu menggambarkan hubungan sebab-akibat yang jelas antara indikator
eksternal dan internal. BSC memetakan penyebab yang mendorong tercapainya kinerja yang baik atau buruk, serta akibat yang ditimbulkan atau dihasilkan dari sebab-sebab tersebut. BSC berisi serangkaian tujuan dan ukuran yang saling berkaitan, konsisten dan saling mendukung yang diturunkan dari visi dan strategi dalam empat perspektif. perspektif tersebut adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan, 1996). Hubungan antara visi dan strategi dengan empat perspektif BSC dapat dilihat pada gambar 3.
FINANSIAL “untuk berhasil secara financial, apa yang harus kita lakukan kepada para pemegang saham kita?”
PELANGGAN “Untuk mewujudkan visi kita, apa yang harus kita perlihatkan kepada para pelanggan kita?”
VISI dan STRATEGI
PROSES BISNIS INTERNAL “Untuk menyenangkan para pemegang saham & pelanggan kita, proses bisnis apa yang harus kita kuasai dengan baik
PERTUMBUHAN & PEMBELAJARAN “Untuk mewujudkan visi kita, bagaimana kita memelihara kemampuan kita untuk berubah dan meningkatkan diri?”
Gambar 3. Perspektif Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996) 2.4.1.1.
Perspektif Keuangan Menurut Kaplan dan Norton (2001), BSC tetap mempergunakan perspektif keuangan karena ukuran keuangan dapat memberikan petunjuk mengenai strategi perusahaan, implementasi dan pelaksanaannya dalam kontribusi peningkatan laba perusahaan jangka panjang. Tujuan keuangan menjadi fokus tujuan dan ukuran di bagian hubungan sebab akibat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja keuangan. Tujuan keuangan sangat berbeda untuk setiap siklus hidup perusahaan.
Secara sederhana, siklus hidup perusahaan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu growth (bertumbuh), sustain ( bertahan), dan harvest (menuai). Perusahaan yang berada pada tahap growth memiliki produk dan pangsa pasar yang tumbuh secara nyata, sehingga strategi dan pengukuran kinerja perusahaan dalam perspektif keuangan difokuskan pada pertumbuhan penerimaan,
penghasilan/laba positif, serta
penigkatan penjualan dan pangsa pasar. Perusahaan yang berada pada tahap sustain memiliki produk dan pangsa pasar yang bertumbuh stabil, sehingga strategi dan pengukuran kinerja dalam perspektif keuangan dapat difokuskan pada peningkatan pendapatan
operasional,
peningkatan
tingkat
pengembalian
investasi
dan
pengingkatan laba kotor. Sedangkan perusahaan yang berada pada tahap harvest memiliki produk dan pangsa pasar yang tumbuh secara lambat, sehingga strategi
dan pengukuran dalam perspektif dapat difokuskan pada pengelolaan arus kas, nilai tambah ekonomis dan nilai tambah kas. Ukuran kinerja finansial merupakan petunjuk apakah strategi perusahaan, implementasi, dan pelaksanaanya memberikan kontribusi atau tidak kepada peningkatan laba perusahaan. Tujuan finansial biasanya berhubungan dengan profitabilitas yang diukur dengan laba operasi, return on capital employed (ROCE) atau economic value added (EVA). Tujuan financial lainya mungkin berupa pertumbuhan penjualan yang cepat atau terciptanya arus kas (Kaplan, 1996). BSC menggariskan upaya yang harus dilakukan untuk dapat berhasil secara keuangan dan bagaimana keuangan kita dalam perspektif pemegang saham (Luis, 2007) 2.4.1.2. Perspektif Pelanggan Filosofi manajemen terkini telah menunjukan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan ukuran hasil, jadi apabila pelanggan tidak puas akan mencari produsaen lain yang sesuai dengan kebutuhannya. Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik. Menurut Kaplan dan Norton (1996), perspektif pelamggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu customer core measurement dan customer value propositions (Gambar 4). a)
Customers Core Measurement, memiliki beberapa komponen pengukuran yaitu: (1) Market share, pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada meliputi jumlah pelanggan, jumlah penjualan dan volume unit penjualan (2) Customer retention, mengukur tingkat dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen. (3) Customer acquisition, mengukur tingkat dimana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru untuk memenangkan bisnis baru. (4) Customer satisfaction, menaksirkan tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan criteria kinerja spesifik dalam value proposition.
(5) Customer profitability, mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlakukan untuk mendukung pelanggan tersebut. PANGSA PASAR
AKUISISI PELANGGAN
PROFITABILITAS PELANGGAN
RETENSI PELANGGAN
KEPUASAN PELANGGAN
Gambar 4.Tolak ukur utama dalam perspektif pelanggan (Yuwono dkk, 2002) b)
Customer Value Proposition, merupakan pemicu kenerja yang terdapat pada core value proposition yang di dasarkan pada atribut berikut: (1) Produk/Service Atribut meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga dan mutu. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. dalam hal ini perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan. Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut. (2) Customer relationship menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah penyampaian waktu. Waktu merupakan komponen yang dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasanya (3) Image and reputation menggambarkan factor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun citra dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga mutu seperti yang dijanjikan.
2.4.1.3. Perspektif Proses Bisnis Internal Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis rantai nilai (Gambar 5). Manajemen perusahaan mengidentifikasi proses bisnis internal yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan. Penilaian dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnisnya berjalan dan apakah produk dan jasanya sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Kaplan dan Norton (1996) membagi proses bisnis internal ke dalam tiga proses, yaitu: a. Proses inovasi yang merupakan proses mengenali pemahaman tentang kebutuhan dari pelanggan, serta menciptakan produk dan jasa yang dibutuhkan. b. Proses operasi merupakan proses untuk membuat dan menyampaikan produk atau jasa. Proses operasi terbagi menjadi dua aktivitas, yaitu proses pembuatan produk dan penyampaian kepada konsumennya. c. Proses pelayanan purna jual, proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk atau jasa tersebut dilakukan.
Gambar 5. Model rantai nilai genetic pada proses bisnis internal Norton, 1996)
(Kaplan dan
2.4.1.4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Menurut Yuwono (2002), proses pertumbuhan dan pembelajaran ini bersumber dari faktor sumber daya manusia (SDM), sistem dan prosedur organisasi (Gambar 6). Dalam perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi. Hasil dari perspektif sebelumnya dapat menunjukan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, system dan prosedur perusahaan pada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan.
HASIL
PRODUKTIVITAS KERJA
RETENSI KERJA
KEPUASAN KERJA
Faktor yang mempengaruhi
KOMPETENSI STAF
INFRASTRUKTUR TEKNOLOGI
IKLIM UNTUK BERTINDAK
Gambar 6. Kerangka kerja ukuran pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan dan Norton, 1996) menurut Kaplan dan Norton (1996) pada perspektif ini terdapat empat tolak ukur dalam perusahaan, yaitu: a. Employee capabilities, dimana kemampuan karyawan dalam organisasi dengan perencanaan dan upaya implementasi reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi b. Informasi system capabilities. Diperlukan informasi-informasi terbaik untuk pencapaian tujuan perusahaan pada karyawan. Dengan kemampuan system informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. c. Motivation, empowerment, and alignment. Tingkat motivasi karyawan dapat diukur melalui banyaknya sasaran yang diberikan per pekerja. jumlah sasaran yang dilaksanakan dan mutu saran yang diajukan. Jumlah saran yang berhasil diimplementasikan merupakan indikator tercapainya keselarasan tujuan perusahaan maupun perorangan. 2.5.
Konsep Balanced Scorecard 2.5.1.
Konsep Manajemen Strategik dan Hubungannya Dengan BSC Manajemen strategi didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya, David (2004). Dari definisi ini dapat diketahui bahwa manajemen strategi berfokus pada upaya mengintegrasikan manajemen
pemasaran, keuangan, produksi dan operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Mulyadi (2001) mendefinisikan manajemen strategi sebagai suatu proses yang digunakan oleh manajer dan karyawan untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi dalam penyediaan customer value terbaik untuk mewujudkan visi organisasi. Menurut Pearce dan Robinson (1997), manajemen strategi adalah sekumpulan keputusan yang menghasilkan perumusan dan pelaksanaan rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran perusahaan. Menurut David (2006), proses manajemen strategi terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1. Perumusan strategi Termasuk upaya untuk mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan perusahaan, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan strategi alternatife dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Kerangka kerja perumusan strategi perusahaan terdiri dari: a. Tahap input yaitu meringkas informasi dasar yang dibutuhkan untuk merumuskan strategi perusahaan b. Tahap pencocokan yaitu menciptakan alternatife stategi yang layak dengan mencocokan faktor ekternal dan internal perusahaan c. Tahap keputusan yaitu memilih stategi yang akan diterapkan pada perusahaan 2. Implementasi strategi Implementasi strategi seringkali disebut sebagai tahap pelaksanaan dalam manajemen strategi. Tahap ini mensyarakatkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya, sehingga menjadi strategi yang telah dirumuskan dapat dijalankan. 3. Evaluasi strategi Evaluasi strategi dilakukan untuk mengetahui apakah strategi berfungsi dengan baik. Tahap ini mencakup upaya untuk meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, mengukur kinerja dan mengambil tindakan korektif. Posisi BSC dalam manajemen strategi pada awalnya hanya berperan dalam evaluasi strategi, namun pada masa berikutnya konsep BSC juga digunakan dalam
perumusan dan pelaksanaan strategi sehingga dapat dikatakan bahwa BSC menjadi inti manajemen strategi Dalam tahap perumusan strategi BSC digunakan dalam menerjemahkan tujuan strategi ke dalam sasaran strategi dalam empat perspektif, kemudian ditetapkan inisiatif strategi untuk mewujudkan sasaran-sasaran tersebut. Namun peran terbesar pada tahap ini adalah mengkomprehensifkan dan menghubungkan sasaran-sasaran strategi pada tiap perspektif. Pada tahap implementasi dan evaluasi, BSC digunakan untuk memonitor kinerja perusahaan dengan membandingkan hasil dengan target semula pada empat perspektif. sehingga apabila terdapat gap antara keduanya dapat diambil tindakan perbaikan tanpa perlu menunggu periode tertentu. sementara hasil evaluasi dapat menjadi tolak ukur menentukan konsep BSC untuk periode berikutnya. 2.5.2 Strategi dan Hubungan Dengan BSC Menurut Marbun (2003), strategi didefinisikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus dan saling berhubungan dalam hal waktu dan ukuran. Strategi perusahaan didefinisikan sebagai rentetan pernyataan yang menyatakan : a. Tujuan tiap unit. b. Metode yang akan digunakan untuk mencapainya. c. Alternatif. d. Pengalokasian sumber daya. e. Metode pengukuran keberhasilannya Berdasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan oleh Robert S. Kaplan dan David
yang dikutip Luis (2007), diketahui bahwa hanya 10 % dari perusahaan-
perusahaan di Amerika Serikat yang dapat mengeksekusi strategi dengan baik. Dari studi itu pula diketahui bahwa ada empat hal yang menghambat eksekusi strategi, yaitu: a. Hambatan pada visi Hambatan pada visi terjadi karena kurangnya sosialisasi dari visi yang telah dibangun. Kaplan dan Norton menemukan bahwa pada umumnya hanya 5% dari total jumlah karyawan yang tahu dan memahami visi organisasi dirasakan terlalu tinggi oleh para karyawan sehingga sulit diimplementasikan . Sementara strategi yang dibuat terlalu detail dengan bahasa yang sulit dicerna.
b. Hambatan pada pelaku Seluruh karyawan perusahaan di semua jenjang dalam semua struktur organisasi adalah pelaku dari visi, misi, dan strategi yang telah dibangun. Untuk memotivasinya agar efisien dan efektif dalam menetapkan strategi, penting sekali mengaitkan strategi itu dengan insentif yang bisa diterima oleh karyawan. Hal ini sendiri belum banyak dilakukan, riset ini menunjukkan bahwa perusahaan pada umumnya hanya mengaitkan 25% dari insentif pada strategi. c. Hambatan pada manajemen Para manajer pada umumnya terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan operasional sehingga jarang sekali meluangkan waktunya untuk membahas kebijakan-kebijakan perusahaan yang sifatnya strategik. Riset ini menunjukan bahwa 85% dari pihak manajemen hanya meghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan untuk membahas strategi. d. Hambatan pada sumber daya Hambatan terakhir adalah sumber daya perusahaan, yang dalam hal ini adalah anggaran perusahaan. Riset ini menunjukan bahwa 60% perusahaan tidak mengaitkan anggaran dengan strategi. Akibatnya pelaksanaan strategi menjadi tersendat karena membutuhkan anggaran. Untuk menghindari kendala-kendala tadi, maka sebuah organisasi, entitas bisnis maupun perusahaan perlu menjadi sebuah organisasi yang berfokus pada strategi. Untuk mewujudkanya, Kaplan dan Norton (2001) menyebutkan lima prinsip yang harus dijalankan, yaitu: 1.
Menerjemahkan strategi ke dalam bentuk operasional.
2.
Hubungan dan selaraskan organisasi dengan strateginya.
3.
Jadikan strategi sebagai pekerjaan rutin setiap pegawai.
4.
Jadikan strategi sebuah proses yang berkelanjutan.
5.
Kepemimpinan eksekutif untuk memobilisasi perubahan Untuk membantu mewujudkan sebuah organisasi yang berbasis strategi, sebuah
perusahaan membutuhkan alat. BSC merupakan alat manajemen yang tepat karena dapat memonitor dan mengarahkan seluruh kegiatan organisasi agar sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan oleh perusahaan. 2.5.3. Sistem Tradisional dan Balanced Scorecard Perspektif keuangan seringkali dianggap sebagai satu-satunya alat evaluasi kinerja perusahaan yang ideal, sehingga walaupun perusahaan melakukan evaluasi terhadap
perspektif lainnya namun tetap saja hasil kinerja secara keuangan yang diperhatikan, hal ini sering disebut sistem kinerja tradisional, karena perusahaan umumnya pada saat ini tidak lagi menggunakan sistem ini. Teori ini diperkuat oleh Niven (2002), metode pengukuran ini (sistem tradisional) tidak konsisten dengan realita bisnis saat ini, karena tidak hanya mengandalkan tangible assets tetapi juga intangible assets. ini dikarenakan rujukan financial merupakan gambaran keadaan masa lalu dan tidak mempunyai kekuatan untuk menentukakan masa depan. Sistem ini dapat membawa perusahaan pada beberapa masalah, diantaranya ketidaksensitifan perusahaan pada perspektif-perspektif lain seperti pelanggan, proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan perkembangan, karena tujuan strategic perusahaan tidak disejalankan dengan sasaran strategic di tingkat fungsional. 2.5.4. Critical Success Factor Critical success factor merupakan salah satu unsur penting dalam strategi yang harus dilakukan dengan baik agar strategi yang sudah ditetapkan dapat berjalan dengan baik dan target tercapai. Niven (2002) menambahkan bahwa CSF harus memiliki criteria berikut: a. Linked to strategy SCF yang ditentukan haruslah mempunyai kontribusi pada strategi perusahaan. b. Quantitative SCF ini dapat dikuantifikasi agar pengukuran pada CSF ini dapat dilakukan. c. Accessibility CSF yang biaya investasinya tinggi sebaliknya dihindari, karena dikhawatirkan biaya investasinya lebih tinggi dari hasil yang akan didapat. d. Easily Understood CSF sebaiknya mampu memotivasi tindakan yang diterapkan atau dengan kata lain dapat dengan mudah dimengerti. e. Counter Balanced CSF sebaiknya terhindar dari trade off dengan bagian lain dari perusahaan, misalnya CSF pada divisi keuangan harus mengorbankan divisi pemasaran. f. Relevan CSF harus relevan, dalam hal ini berarti dapat dilakukan perusahaan. g. Common Definition
CSF sebaiknya disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua kalangan perusahaan atau speak in one language. 2.5.5. Key Performance Indicator Key Performence Indicator merupakan ukuran untuk menilai tercapai atau tidaknya CSF yang sudah ditentukan sebelumnya. Ada dua ukuran yang perlu ditentukan untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategi, yaitu (1) Ukuran hasil (outcome measure/lag indicators) dan (2) Ukuran pemacu kinerja ( performance driver measure/lead indicators). Menurut Mulyadi (2001), ukuran hasil adalah ukuran yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pencapaian sasaran strategi, sementara ukuran pemacu kinerja adalah ukuran yang menunjukan penyebab dicapainya ukuran hasil. Gambaran lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1, dibawah ini.
Tabel 1. Ukuran hasil dan pemacu kinerja untuk setiap sasaran
strategi
Ukuran Strategik Sasaran Strategik
Ukuran Hasil (lag Indicators)
Ukuran Pemacu Kinerja (lead Indicators)
Shareholders Value S1 Pertumbuhan ROI
ROI Pertumbuhan
Revenue Mix
S2 Pertumbuhan pendapatan
Pendapatan
S3 Berkurangnya biaya
Penurunan Biaya
Cycle Effectiveness
Firm Equity F1 Meningkatnya kepercayaan Persentase Bertambahnya pelanggan pendapatan dan pelanggan baru pelanggan baru Berkurangnya F2 Kecepatan layanan F3 Quality Relationship dengan pelanggan
Throughput Time
Customer Retention
Nonvalue added time
Depth of Relationship
Organizational Capital O1 Meningkatnya proses layanan Service error rate kepada pelanggan Perbandingan nilai peralatan mutakhir dengan peralatan lama O2 State of the art technology O3Terintegrasinya proses Respond time layanan kepada pelanggan Human Capital
Berkurangnya error
service
Investasi peralatan baru
dalam
Cycle effectiveness
H1 Meningkatnya kapabilitas Karyawan
Revenue employee
per Strategic Job Coverage Ratio
H2 Meningkatnya komitmen karyawan
Kepuasan karyawan
Survei kepuasan karyawan
Sumber: Mulyadi ,2001
Niven (2002) berpendapat bahwa BSC sebaiknya terdiri dari gabungan antara lag indicators dan lead indicators, karena lag indicators tanpa lead indicators akan berakhir dengan kegagalan untuk menginformasikan perkembangan lag indicators yang diharapkan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan akan terlambat dalam mengambil tindakan korektif saat ada hambatan.
2.5.6. Inisiatif Strategik Inisiatif strategi (Mulyadi, 2001) merupakan action program yang bersifat strategi untuk mewujudkan sasaran-sasaran strategik. Menurut Luis dan Biromo (2007), inisiatif strategi adalah inisiatif-inisiatif bersifat strategik yang disusun dan perlu dilaksanakan untuk mencapai target. Pada dasarnya setiap inisiatif strategik yang direncanakan merupakan sebuah proyek, karena ada periode pelaksanaanya. Selain itu, inisiatif strategik perlu didukung oleh pelaksanaan yang kelak akan mengeksekusi proyek tersebut. Agar pelaksanaan efektif, tentu diperlukan penanggung jawab inisiatif strategik. rincian jadwal pelaksanaan, spesifikasi dan rencana anggaran. 2.5.7. Hubungan Sebab Akibat Hubungan sebab akibat atau yang disebut Strategy Map oleh Kaplan dan Norton (1996), diperkenalkan untuk melengkapi BSC yang sudah diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuan dari strategi map ini adalah: 1. Detail plan for conversion of assets and resources into desired outcomes 2. Show the cause and effect linkages by which critical objectives create desired outcomes 3. Gives employees line of sight into how their job are linked to the overall objectives of the organization. 2.5.8. Kelebihan dan Kelemahan Balanced Scorecard 2.5.8.1. Kelebihan Balanced Scorecard Keunggulan BSC dalam sistem perencanaan strategik adalah mampu menghasilkan rencana strategik yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Komprehensif Kekomprehensifan sasaran strategik merupakan respon yang relevan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. dengan mengarahkan sasaran-sasaran strategik ke dalam empat perspektif, rencana strategik perusahaan mencakup lingkungan luas, yang memadai untuk menghadapi lingkungan bisnis yang kompleks. Jika sasaran strategik hanya diarahkan dari system perencanaan strategik akan terlalu sempit, sehingga tidak memadai untuk menghadapi bisnis yang kompleks 2. Koheren BSC mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat diantara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap
sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan sebab akibat dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. System perencanaan strategik yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategic di perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis internal, pelanggan dan keuangan. 3. Seimbang Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh system perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja berjangka panjang. 4. Terukur BSC mengukur sasaran-sasaran strategik yang sulit untuk diukur. Sasaran-sasaran strategi di perspektif pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak mudah diukur, namun dalam BSC sasaran ketiga perspektif non keuangan tersebut ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga dapt diwujudkan. 2.5.8.2. Kelemahan Balanced Scorecard Lebih jelasnya kelemahan dari BSC adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya hubungan antara keuangan dengan hasil. dengan kata lain bahwa tidak ada jaminan tingkat keuntungan masa depan akan mengikuti pencapaian target pada setiap bidang non keuangan. Inilah masalah terbesar yang ada pada BSC karena adanya asumsi yang melekat bahwa tingkat keuntungan masa depan akan berasal dari pencapaian ukuran-ukuran BSC. Menentukan hubungan sebab akibat dari berbagai ukuran lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan 2. Penetapan hasil finansial. Pencapaian hasil ukuran keuangan seringkali tidak dikaitkan dengan program insentif sehingga tekanan baik dari pemegang saham maupun dari dewan direksi berpengaruh pada pencapaian target. 3. Pengukuran terlalu berlebihan. Terlalu banyaknya pengukuran akan menyebabkan manajer akan kehilangan fokus dan cenderung akan melakukan banyak hal dalam satu tahun. 4. Kesulitan dalam menentukan trade off (pertukaran). Beberapa perusahaan menggabungkan pengukuran keuangan dan non keuangan dalam satu laporan dan memberi bobot pada masing-masing ukuran. Namun kebanyakan scorecard tidak menetapkan dengan jelas bobot dari masing-masing ukuran ini. Jika bobot ini tidak
tersedia maka akan sulit untuk membuat trade off (pertukaran) antara ukuran keuangan dan non keuangan. 2.6. Penelitian Terdahulu yang Relevan Puspita (2007) melakukan penelitian BSC sebagai instrumen pengukuran kinerja pada PT. Unitex, Tbk. penelitian ini menggunakan laporan tahunan keuangan sebagai tujuan pespektif keuangan dan menggunakan kuesioner kepuasan karyawan untuk perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Inisiatif strategi yang diperoleh dilakukan pembobotan dengan menggunakan AHP. Agustina (2008) melakukan penelitian di BRI cabang Garut dengan judul Perancangan Strategi dengan Perspektif BSC. pada penelitian ini analisis internal menggunakan IFE, sedangkan analisis eksternalnya memakai EFE. dari hasil penelitian internal dan eksternal menunjukan bahwa BRI cabang Garut berada dalam posisi Grow and Build. sasaran strategi yang akan dicapai oleh perancangan BSC ini adalah meningkatkan laba, mengurangi biaya, meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pelanggan. Persamaan penelitian ini dan penelitian terdahulu adalah digunakannya konsep BSC sebagai bagian dari perancangan strategi, sedangkan perbedaannya terletak pada jenis perusahaan tempat dilaksanakanya analisis manajemen dengan BSC tersebut.