II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Bioekologi Kirinyuh 2.1.2. Taksonomi Berdasarkan taksonominya, klasifikasi kirinyuh menurut Global Invasive Species Database (modifikasi terakhir 16 Agustus 2010) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Asterales
Famili
: Asteraceae
Genus
: Austroeupatorium
Spesies
: Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob
2.1.3. Morfologi Kirinyuh adalah tumbuhan perdu dengan tinggi 1,5 – 2 meter dan kadangkadang mencapai 6 – 7 m apabila terdapat pohon-pohon yang menompangnya. Tumbuhan bersifat herba pada waktu masih muda, kemudian berkayu dan bercabang-cabang banyak. Batang hijau, berbentuk silindris dan sedikit berbulu. Daun berhadapan, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing, bergerigi kasar atau hampir rata dan permukaannya berbulu halus (Tjitrosoedirdjo 1989). Bunga kirinyuh tersusun dalam tipe malai rata, terdiri atas 25-30 kepala, bunga bertangkai 1-2 cm. Kelopak 5, bunga putih keunguan dan sedikit berbau. Mahkota bunga seperti genta, berlobi 5, masing-masing lobi berbentuk segitiga. Putik berbelah 2 dan panjang. Buah bersudut, berukuran panjang 5 mm coklat atau hitam dengan rambut-rambut pendek pada sudut-sudutnya. Kirinyuh berkembang biak dengan bijinya (Tjitrosoedirdjo 1998). Pada tingkat kepadatan yang tinggi, seperti di Pantai Gading, tumbuhan ini dapat menghasilkan sekitar 109 biji/ha. Pelepasan buah sangat memerlukan kondisi
8
cuaca yang kering dan berangin. Penyebaran buah secara khas dilakukan oleh angin dan mungkin juga oleh binatang (Binggeli 1997).
Gambar 2 Spesies tumbuhan asing invasif kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob)
2.1.4. Ekologi dan Penyebaran Kirinyuh merupakan tumbuhan asli Amerika bagian selatan (McFadyen et al. 2003).
Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Calcuta (India) sebagai
tumbuhan hias pada tahun
1840-an yang kemudian menyebar ke Myanmar,
Assam, Benggala dan Srilanka pada tahun 1920 (Tjitrosemito 1997). Setelah itu kirinyuh dengan cepat tersebar luas ke Asia Tenggara. Di Indonesia, kirinyuh pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 dari koleksi herbarium di Lubuk Pakam Sumatera Utara oleh Van Meer Mohr dan saat ini masih berada di Herbarium Bogoriense Bogor.
Saat ini, peneybaran kirinyuh meliputi seluruh wilayah
Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah lainnya (Tjitrosemito 1999). Kirinyuh merupakan gulma penting bagi sistem produksi pertanian, tumbuhan budidaya dan hutan tumbuhan industri jati karena dapat berkompetisi secara kuat dengan tumbuhan budidaya (Setiadi 1989; Syamsudin et al. 1993; Tjitrosemito 1998). Di daerah pengembalaan hutan lindung Pananjung, Jawa Barat dan Taman Nasional Baluran, keberadaan kirinyuh dapat mengurangi hamparan padang pengembalaan banteng dan rusa. Selain itu, kirinyuh juga dapat menimbulkan keracunan pada hewan-hewan ternak yang memakannya karena kandungan nitrat yang sangat tinggi terutama pada tunas-tunas muda yang tumbuh
9
kembali sesudah pemangkasan (Torres & Paller 1989). Di Afrika bagian barat, tumbuhan ini mampu menekan regenerasi spesies pohon pada daerah yang mengalami
suksesi,
sedangkan
di
Afrika
bagian
selatan,
mengurangi
keanekaragaman spesies dan merupakan ancaman pada daerah tepi hutan (Binggeli 1997). Dibalik kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan kirinyuh di suatu tempat, kirinyuh juga ternyata memiliki sejumlah potensi besar yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012), dari pengolahan gulma kirinyuh dapat dihasilkan pupuk organik, biopestisida, obat, dan herbisida. Daun segarnya dipakai untuk menyembuhkan luka-luka, mengobati malaria, serta gangguan maag dan mata. Selain itu kayu dan rantingnya yang ringan sangat mudah dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan, sekaligus dapat mengurangi dampak buruk keberadaannya. . 2.2. Spesies Tumbuhan Asing Invasif Indrawan et all. (2007) menyebutkan bahwa spesies asing atau eksotik adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya. Akibat kegiatan manusia sebaran mereka meluas. Spesies asing yang dikenal dengan sebutan alien species, dibedakan atas dua kategori, yaitu spesies asing yang tidak bersifat invasif dan spesies asing yang bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak spesies tumbuhan yang termasuk kategori spesies asing seperti karet (Hevea brasiliensis), kelapa sawit (Elaeis guinensis), cabai (Capssicum annum), jagung (Zea mays) dll, namun tidak bersifat invasif sehingga keberadaannya tidak menimbulkan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal yang ada di dalam suatu area (Utomo 2006). Menurut Tjitrosemito (2004 a) di pulau Jawa ditemui tidak kurang dari 2.000 spesies tumbuhan eksotik dan beberapa di antaranya bersifat invasif. Tjitrosemito (2004 b) menyebutkan bahwa tumbuhan eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species (IAS) adalah spesies tumbuhan yang tumbuh di luar habitat aslinya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan
10
spesies tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat tersebut. Tumbuhan-tumbuhan ini mempunyai karakter yang menyebabkan mampu mendominasi kawasan tempat tumbuhnya yaitu : 1.
Pertumbuhannya yang cepat
2.
Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji
3.
Biji yang dihasilkan juga banyak sehingga cepat mendominasi areal
4.
Metode penyebaran biji yang efektif, contoh kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium) dan babakoan (Eupatorium sordidum) yang bijinya ringan sehingga mudah terbawa angin; kecubung (Brugmansia suaveolens) yang banyak menyebar melalui air
5.
Beberapa spesies tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga penyerbuk karena dapat berkembang secara vegetatif, contoh : kecubung (Brugmansia suaveolens) , konyal (Passiflora suberosa).
6.
Mampu menggunakan penyerbuk lokal sehingga dapat memproduksi biji
7.
Cepat membentuk nuangan, produksi bunga lebih cepat daripada tumbuhan lokal sehingga memberi perlindungan dan pangan bagi penyerbuk bila sumber pangan dari spesies tumbuhan lokal belum tersedia.
8.
Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat sehingga mendominasi perakaran di sekitarnya
9.
Seringkali mempunyai allelopathy yang menghambat pertumbuhan spesies lokal, contoh : seustreum (Cestrum aurantiacum)
10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya. Invasi adalah pergerakan satu atau beberapa spesies tumbuhan dari satu tempat ke tempat lain yang pada akhirnya tempat tersebut mereka kuasai (Weafer 1938 diacu dalam Utomo 2006). Invasi merupakan proses yang kompleks dimana migrasi dan kompetisi memegang peran yang penting. Invasi ke tempat yang baru dimulai dengan migrasi (perpindahan tempat), diikuti dengan agregasi (pengumpulan) dan kompetisi (persaingan).
Invasi tumbuhan eksotik dan
dominasinya pada kawasan bekas hutan merupakan salah satu bentuk disklimaks dalam dinamika komunitas. Menurut Oosting (1948) disklimaks terjadi karena adanya gangguan manusia pada suatu kawasan dan munculnya spesies yang
11
mendominasi. Spesies dominan ini muncul karena adanya kondisi yang tidak normal dan umumnya menginvasi kawasan yang relatif luas dan cepat.
2.3. Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif Beberapa upaya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati didasarkan atas perjanjian internasional.
Perjanjian multilateral yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dan berhubungan dengan Spesies tumbuhan asing invasif antara lain adalah: Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES): CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk spesiesspesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak tahun 1975 dan merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. CITES telah terbukti efektif dalam memberikan kontribusi terhadap konservasi flora fauna melalui sistem yang ketat terhadap izin dan penerbitan sertifikat. Hal ini juga efektif dalam hal kemampuan untuk mengendalikan perdagangan komersial jika terbukti merugikan populasi spesies, oleh karena itu konvensi ini mendukung konservasi nasional dan penegakan hukum di negara-negara anggota. Namun meskipun demikian, konvensi ini belum cukup efektif dalam mengendalikan pergerakan internasional flora fauna yang beresiko tinggi atau berpotensi invasif, terutama spesies-spesies yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Convention on Biodiversity (CBD): Spesies tumbuhan asing invasif menjadi ancaman penting bagi keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tersebut melalui UU No 5 Tahun 1994. Berikut ini adalah amanat yang dihasilkan dalam beberapa
12
pertemuan anggota CBD yang berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif: COP V Article 8 – In situ conservation: CBD pada pertemuannya di tahun 2000 (COP V) telah menghimbau negara-negara anggotanya untuk mencegah pemasukan spesies-spesies tumbuhan asing invasif yang membahayakan ekosistem, habitat maupun spesies-spesies asli (COP V article 8h). COP VI Decision VI/23 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Dalam pertemuannya di tahun 2002 negara-negara anggota telah mengadopsi 15 kerangka acuan dan bimbingan untuk pencegahan, introduksi dan mitigasi dampak spesies asing yang invasive dan sejumlah keputusan lainnya untuk mengimplementasikan Article 8(h) CBD secara efektif dan maksimal. COP VII Decision VII/13 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species:
Menghasilkan beberapa artikel penting yang berhubungan dengan
penilaian resiko spesies asing invasive. COP VIII Decision VIII/27 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi yang berkaitan dengan beberapa jalur dan cara yang harus diperhatikan dalam introduksi spesies tumbuhan asing invasif. COP IX Decision IX/4 – In-depth review of ongoing work on alien species that threaten ecosystems, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi mengenai evaluasi jurang pemisah yang dimiliki antara negara maju dan berkembang didalam teknologi identifikasi dini, ilmu taksonomi mengenai spesies-spesies tumbuhan asing invasif dan teknologi pengendalian (Sastroutomo 2010). COP X Decision X/38 – Invasive Alien Species: Menghasilkan kerangka acuan tentang teknik penanganan spesies tumbuhan asing invasif sebagai hewan peliharaan, akuarium dan terrarium spesies dan bahan umpan dan penghasil makanan. Convention on Wetlands (Ramsar): Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar melalui Keppres No 48/1991. Dalam Rencana Kerja Aksi Strategis Ramsar 2003-2008 disebutkan bahwa Sekretariat Ramsar memiliki mandat untuk
13
mengembangkan petunjuk dan mempromosikan protokol serta tindakan untuk mencegah, mengendalikan dan memberantas IAS dalam sistem lahan basah. Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang spesies tumbuhan asing invasif, meskipun banyak instansi yang terlibat antara lain : Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, LIPI, Perguruan Tinggi, dll. Peraturan dan kebijakan nasional yang sudah dikembangkan dan berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif antara lain: 1.
UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya: pada Bab IV Pasal 19 ayat 3 telah dijelaskan bahwa yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam salah satunya adalah menambah spesies tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Bab VII Pasal 33 ayat 2 menjelaskan bahwa menambahkan spesies tumbuhan dan satwa lain yang bukan tumbuhan dan satwa asli taman nasional merupakan salah satu penyebab perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
2.
UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tumbuhan: peraturan ini menekankan pada perlindungan tumbuhan untuk mencegah kerugian akibat dampak dari gulma atau tumbuhan lain yang mengganggu dan tindakan eradikasi untuk memusnahkan tumbuhan pengganggu tersebut yang mampu menyebar luas di lokasi tertentu dan menekan pertumbuhan spesies tumbuhan lainnya (Bab I Pasal 1 ayat 7,8,9), sedangkan pada Bab III pasal 10 dan 21 menjelaskan tentang mekanisme masuknya spesies asing serta monitoring dan pengelolaan gulma dan spesies asing.
3.
UU No 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan: mengatur tugas pokok dan fungsi karantina hewan dan tumbuhan yang diterapkan di Bandar udara, pelabuhan, pos perbatasan negara dan pelabuhan antar pulau. Tindakan karantina dilakukan pada komoditas pangan, produk hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Tindakan ini menggunakan SPS (kesepakatan tentang penerapan tindakan sanitasi dan phytosanitary) yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tumbuhan.
14
4.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
27/1999
tentang
Penilaian
Dampak
Lingkungan: menekankan pada pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk setiap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan termasuk introduksi tumbuhan, hewan dan genetik. Peraturan ini memmerlukan pedoman teknis penelaah resiko dan manajemen resiko yang berhubungan dengan introduksi spesies. Semua kegiatan yang berhubungan dengan introduksi spesies harus diselesaikan melalui penilaian AMDAL, namun pedoman untuk pengelolaan, penilaian dan evaluasi resiko belum ada. 5.
Keputusan Menteri Kehutanan No 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar: bertujuan untuk mengendalikan spesimen tumbuhan dan satwa liar yang akan masuk kedalam wilayah Republik Indonesia (impor).
6.
Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020. Saat ini Indonesia memiliki Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang perlu dilaksanakan secara efektif untuk meminimalkan krisis keanekaragaman hayati. Strategi pengelolaan nasional ini memiliki visi untuk melestarikan dan
memanfaatkan keanekaragam
hayati secara optimal,
adil dan
berkelanjutan melalui pengelolaan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dokumen ini menyebutkan bahwa berbagai
tindakan harus diambil dalam rangka meningkatkan instrumen kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk untuk melaksanakan program pengendalian dan pencegahan penyebaran spesies tumbuhan asing invasif serta spesies budidaya (Bappenas 2003).
2.4. Analisis dan Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kemampuan
untuk
menggabungkan,
menganalisis
dan
memetakan
informasi geografis di permukaaan bumi dimiliki oleh SIG. Data geografis yang dianalisis dari SIG dapat dipergunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan terutama yang terkait dengan keruangan (spasial). Analisis spasial merupakan proses mendapatkan dan membentuk informasi baru yang berasal dari data geografis. Analisis sering juga disebut dengan pemodelan (modeling) dimana
15
tercakup proses pemodelan, pengujian model serta interpretasi hasil model (Jaya 2002). Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model juga diartikan sebagai abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Darsihardjo 2004). Jaya (2007) menerangkan bahwa model mengandung 2 pengertian; pertama yaitu abstraksi dari suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi dan kedua yaitu representasi dari data realitas. Hasibuan (1988) menyatakan bahwa suatu objek M adalah suatu model objek lain S jika memenuhi syarat; pertama yaitu ada unsur-unsur di dalam M yang masing-masing memiliki padanan dengan unsur-unsur di dalam S dan kedua yaitu ada hubungan tertentu di antara unsur-unsur di dalam M yang analog dengan hubungan antara unsur-unsur padanannya di dalam S. Namun demikian suatu model M tidak perlu merupakan duplikat yang sama persis dengan objek S. Syarat pertama tidak mengharuskan setiap unsur M memiliki padanan unsur di dalam S atau sebaliknya. Demikian pula syarat kedua tidak mengharuskan setiap hubungan yang ada di antara unsur-unsur di dalam S ada analoginya dengan hubungan di antara unsur-unsur padanannya di dalam M. Klasifikasi model adalah model kuantitatif, model kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematika, statistik, atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks yang menyatakan hubungan antarunsur dan tidak digunakan rumus-rumus matematika, statistik, atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil (Muhammadi et al. 2001). Model spasial, yang merupakan model yang berbasis data spasial, dapat dikelaskan dalam ketiga klasifikasi model tersebut bergantung pada masukan data, analisis, maupun luaran dari model tersebut. Jaya (2002) juga mengelompokkan pemodelan berdasarkan proses/teknik analisisnya yaitu; (1) pemodelan kartografi; (2) pemodelan simulasi dan (3) pemodelan prediktif. Pemodelan katografi merupakan metode umum untuk analisis dan sinthesis data geografi. Pemodelan ini menggunakan aljabar dengan
16
peta sebagai faktor utama sebagai variabel yang fleksibel untuk dimanipulasi (Tomlin 1991). Pemodelan simulasi merupakan kombinasi antara data atau informasi spasial dan non-spasial. Penyusunan model ini memerlukan keahlian sesuai model yang ingin dibangun. Pemodelan prediktif pada umumnya menggunakan teknik statistik dalam menyusun model. Teknik statistik yang digunakan biasanya adalah analisis regresi. Pada pemodelan ini digunakan variabel-variabel prediktor yang yang berasal dari data spasial. Kesesuaian
habitat
merupakan
menyediakan kebutuhan hidup.
suatu
kemampuan
habitat
untuk
Indeks kesesuaian habitat dapat menghitung
kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dipertimbangkan penting bagi suatu spesies dan seringkali menandai kualitas habitat relatif. Ndeks kesesuaian habitat didasarkan pada asumsi bahwa individu atau kelompok suatu spesies akan memilih daerah yang palinf memenuhi kebutuhan hidupnya (Coops & Catling 2002).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penggunaan suatu kawasan
menjadi habitatnya adalah suatu kawasan yang memiliki kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kawasan lain. Model
yang
dihasilkan
dari
analisis
spasial
merupakan
bentuk
penyederhanaan informasi spasial. Model akan memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam konteks spasial untuk periode waktu yang berbeda (Moreno 2007). Hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan saat ini maupun untuk memprediksi kondisi masa depan dari perubahan informasi spasial yang dihimpun. Prediksi kesesuaian habitat dapat dimodelkan dari informasi spasial variabel habitat bagi spesies terkait.