12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Tujuan pembangunan bendungan tidak akan tercapai sepanjang kebijakan dan implementasi pelaksanaan dan pemanfaatan bendungan tidak terpadu dan berkelanjutan. Guna mencapai keberlanjutan, pembangunan harus menciptakan kondisi dimana konflik pembangunan dapat ditekan seminimal mungkin dan sistem sumberdaya air diatur untuk memenuhi perubahan terhadap kebutuhan air pada saat ini dan masa depan tanpa terjadi kerusakan lingkungan (Loucks 2000). Perencanaan merupakan tahapan awal dari pembangunan yang berkelanjutan, sehingga perencanaan menjadi faktor penting dalam mewujudkan keberlanjutan dalam pembangunan bendungan.
2.2. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Bendungan Kebijakan
perencanaan
pembangunan
bendungan
walaupun
tidak
dinyatakan dalam suatu per-Undang-Undangan tersendiri, telah diatur baik tersurat maupun tersirat dalam berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk
berbagai Undang-Undang yang terkait seperti : (i) UU
No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, (ii) UU No. 23 tahun 1997 tentang LH yg digantikan UU PPLH No. 32/2009, (iii) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan (iv) UU No. 26 tahun 2006 tentang Penataan Ruang dan (v) UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disamping UU tersebut juga terdapat ‘instrument policy‘ yang mengatur lebih lanjut seperti Permendagri no. 15 tahun 1975, Kepres 55 tahun 1993, Perpres No. 36 tahun 2006 dan Perpres No. 65 tahun 2007 yang mengatur masalah pembebasan tanah, PP no. 37 tahun 2010 tentang Bendungan serta masih banyak lagi PP hingga ke Permen yang mengatur kebijakan pemerintah sehubungan dengan perencanaan bendungan. Kebijakan perencanaan pembangunan bendungan ditentukan oleh banyak faktor yang meliputi faktor teknis maupun faktor non teknis. Faktor teknis karena menyangkut ‘dam engineering’ relatif lebih jelas penanganannya berdasarkan perkembangan teknologi yang ada. Faktor non teknis sangat dipengaruhi oleh luasan tanah yang dibebaskan dan jumlah Orang Terkena Dampak (OTD) yang direlokasi. Tabel 1 memberikan gambaran bendungan yang memberikan dampak terbesar berdasarkan luas pembebasan tanah dan OTD serta produksi listrik yang dihasilkan.
13
Tabel 1. Bendungan dengan luas pembebasan tanah serta OTD terbesar di Dunia dan di Indonesia diadaptasi dari Icold (2005) Negara/Proyek MW Ha OTD ha/MW OTD/MW China Three Gorges 18,200 110,000 1,300,000 6 71 Brazil/Paraguay Itaipu 12,600 135,000 59,000 11 5 Venezuela Guri Complex 10,300 426,000 1,500 41 0 Brazil Tucurui 7,600 243,000 30,000 32 4 United States Grand Coulee 6,494 33,306 10,000 5 2 Canada Churchill Falls 5,225 665,000 0 127 0 Pakistan Tarbela 3,478 24,280 96,000 7 28 China Ertan 3,300 10,100 30,000 3 9 Brazil Ilha Solteira 3,200 125,700 6,150 39 2 Argentina/Paragu Yacyreta 2,700 172,000 50,000 64 19 Turkey Ataturk 2,400 81,700 55,000 34 23 Malaysia Bakun 2,400 70,000 9,000 29 4 India Tehri 2,400 4,200 100,000 2 42 Egypt Aswan High 2,100 400,000 100,000 191 48 Mozambique Cabora Bassa 2,075 380,000 250,000 183 120 Brazil Sobradinho 1,050 415,000 65,000 395 62 India Narmada Sagar 1,000 90,820 80,500 91 81 Pakistan Mangla 1,000 25,300 90,000 25 90 Ghana Akosombo/Volta 833 848,200 80,000 1,018 96 Nigeria Kainji 760 126,000 50,000 166 66 Laos Nam Theun 600 34,000 4,500 57 8 Indonesia/Jatigede 110 5,000 23,564 45 214 Indonesia/Kedung Ombo 23 5,898 26,340 256 1145 Indonesia/Wonogiri 12.4 8,800 68,750 710 5544 Indonesia/Cirata (PLN) 1,008 6,716 27,978 6 28 Catatan : ha = luas tanah yang dibutuhkan MW = Kapasitas Mega Watt Listrik yang diproduksi OTD = Orang Terkena Dampak (yang harus dipindahkan) OTD/MW = jumlah OTD per Mega Watt yang diproduksi (makin kecil makin baik) Walaupun Tabel 1 lebih menekankan pada bendungan dengan fungsi utama Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Bendungan Jatigede, Kedung Ombo dan Wonogiri yang memiliki fungsi utama untuk suplai irigasi dapat kita bandingkan posisinya terhadap bendungan lainnya. Untuk perbandingan yang setara disajikan data dari Bendungan Cirata yang memiliki fungsi utama untuk PLTA.
Bendungan
dengan
fungsi
utama
irigasi
lebih
cocok
memakai
perbandingan OTD terhadap luasan irigasi dibandingkan terhadap kapasitas listrik (MW) yang dapat dibangkitkan. Bendungan Jatigede memiliki luas daerah irigasi 90.000 ha, Bendungan Kedung Ombo 43.174 ha dan Bendungan Wonogiri 63.000 ha. Rasio perbandingan OTD dengan luas daerah irigasi adalah 0,26 untuk Bendungan Jatigede, 0,42 untuk Bendungan Kedung Ombo dan 1,59 untuk Bendungan Wonogiri, dengan nilai rasio ini berarti potensi masalah sosial
14
pada pembangunan Bendungan Jatigede masih lebih kecil ketimbang pada Bendungan Kedung Ombo dan Wonogiri. Melihat perencanaan
besaran
masalah
pembangunan
serta
dampak
bendungan
harus
yang
ditimbulkan
masuk
dalam
maka
kerangka
pembangunan bendungan yang berkelanjutan, dituangkan ke dalam tujuan pembangunan yaitu pendayagunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Hal ini harus dipastikan, agar pembangunan bendungan tidak menciptakan kemiskinan yang baru. Tujuan pembangunan dapat diuraikan lagi ke dalam tiga hal, yaitu : (i) terpenuhinya
kebutuhan
sosial
(kesehatan,
pendidikan,
pekerjaan
dan
kebebasan), (ii) perlindungan lingkungan (konservasi keanekaragaman hayati) dan (iii) terpenuhinya kebutuhan fisik (air, makanan, energi dan rumah). Hal ini digambarkan dalam Gambar 4.
Tujuan Pembangunan l Pembangunan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan
Mencukupi kebutuhan sosial : 1. Kesehatan 2. Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Demokrasi
Meningkatnya kesejahteraan manusia
Perlindungan Lingkungan : 1. Konservasi Keanekaragaman hayati. 2. Keluarga Berencana
Mencukupi kebutuhan fisik : 1. air 2. makanan 3. energi 4. tempat tinggal
1. penanganan sisi permintaan. 2. reduksi kerugian. 3. penanganan sisi suplai
Gambar 4. Pembangunan yang berkelanjutan (Lahmeyer International 2010). Tercapainya
tujuan
pembangunan
yang
berkelanjutan
dalam
pembangunan bendungan, ditentukan oleh tahapan pembangunan yang dilakukan. Tahapan pembangunan bendungan secara konvensional (Gambar 5) dimulai dari Identifikasi Proyek oleh Tim Teknis dan Ekonomi yang melakukan
15
kajian
optimasi
ekonomi-teknis
yang
kemudian
dilanjutkan
sehingga
menghasilkan studi pra-kelayakan dan kelayakan. Jika sudah layak maka dilanjutkan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan disusun rencana pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan dan sosial. Setelah semua tahapan tersebut selesai maka proyek melangkah ke tahap akhir untuk mencari pendanaan dan melaksanakan pembangunan konstruksi bendungan. Pada Gambar 6 disajikan tahapan pembangunan bendungan yang ideal, identifikasi proyek dilakukan melalui suatu kajian yang terpadu berbasis pengembangan daerah aliran sungai, selanjutnya dilakukan analisis multi-atribut yang saling kait mengkait dengan mempertimbangkan berbagai alternatif proyek oleh suatu tim dengan berbagai disiplin ilmu termasuk analisis amdal pendahuluan, berikutnya alternatif – alternatif proyek tersebut dikonsultasikan ke masyarakat melalui kegiatan PCM (Public Consultation Meeting) untuk membantu mendapatkan alternatif proyek yang lebih disukai masyarakat.
Identifikasi proyek oleh tim teknis dan ekonomi Kajian alternatif dan optimasi ekonomi-teknik
Kajian prakelayakan dan kelayakan Amdal
Penanganan dampak lingkungan dan sosial Pendanaan proyek dan pelaksanaan proyek
Gambar 5. Tahapan pembangunan bendungan konvensional (Lahmeyer Int. 2010).
16
Identifikasi proyek dalam studi pengembangan DAS yang terintegrasi Analisa multi atribut pada berbagai alternatif proyek oleh tim interdisiplin termasuk perkiraan pendahuluan dampak
Konsultasi Publik untuk membantu identifikasi alternatif proyek yang lebih disukai
Desain proyek oleh tim interdisiplin, desain teknis memasukan penanganan utk meminimalisasi dampak lingkungan dan sosial Amdal dan Rencana pembangunan lingkungan dan sosial Pendanaan dan Pelaksanaan Proyek
Gambar 6. Prosedur pembangunan bendungan yang ideal (Lahmeyer Int. 2010). Kegiatan lanjutannya adalah ‘desain proyek’ dari berbagai disiplin keilmuan yang menyatukan antara aspek teknis dengan penanganan untuk meminimalisir dampak sosial dan lingkungan, dimana desain ini mempunyai hubungan umpan balik (feed back) dengan Amdal serta perencanaan pengembangan lingkungan dan sosial. Setelah desain proyek disusun secara matang barulah dilakukan pencarian dana untuk proyek dan implementasi. Sejarah tahapan pembangunan bendungan yang konvensional hingga yang ideal dapat dilihat dengan perkembangan pelibatan tenaga ahli dalam tim yang menanganinya dari berbagai era (Tabel 2). Tabel 2. Tenaga Ahli yang terlibat dan era keterlibatannya (WCD 2003) No.
Tenaga Ahli yang terlibat
Era
1.
Teknik
Sebelum Perang Dunia II
2.
Teknik + Ekonomi
Sesudah Perang Dunia II
3.
Teknik+Ekonomi+Amdal
Akhir 1970-an
4.
Teknik+Ekonomi+Amdal+Sosiologi
Akhir 1980-an
5.
Teknik+Ekonomi+Amdal+Sosiologi+OTD
Awal 1990-an
6.
Teknik+Ekonomi+Amdal+Sosiologi+OTD+LSM
Akhir 1990-an
7.
Teknik+Ekonomi+Amdal+Sosiologi+OTD+LSM+
Awal 2000-an
Penerimaan masyarakat
17
2.3. Opini Kalangan Pendukung dan Penentang Pembangunan Bendungan Pada saat merencanakan pembangunan bendungan selalu ditemui pihakpihak yang mendukung dan pihak-pihak yang menentang pembangunan bendungan. Pendapat pihak yang mendukung dan pihak yang menentang harus dipertimbangkan untuk mencapai tujuan pembangunan bendungan yang direncanakan. Kontroversi di atas sebenarnya dapat diringkas ke dalam sepuluh masalah utama yaitu : (i) transparansi dan partisipasi, (ii) pengelolaan bendungan dan konservasi DAS, (iii) keseimbangan antara air dan energi terbarukan lainnya, (iv) keseimbangan antara suplai kota dan desa atau antara hulu dan hilir, (v) ukuran proyek : besar atau sedang, (vi) ranking biaya terkecil, kriteria sosial dan lingkungan, (vii) tampungan waduk vs aliran sungai (run off river ) terkait luas daerah genangan, (viii) penduduk yang dipindahkan, (ix) penanganan khusus yang harus dilaksanakan vs trade-off dari proyek dan (x) kerusakan akibat gas rumah kaca.
2.4. Kebijakan Pembangunan Bendungan dalam Pandangan Beberapa Ahli Beberapa ahli telah memberikan pandangan tentang pembangunan bendungan dalam berbagai disiplin ilmu yang terkait. Mereka memberi pandangan tentang aspek ekonomi, teknik, sosial budaya dan lingkungan dalam pembangunan bendungan. Uraian mereka dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan bendungan. Engelbertus Oud (1997), Kepala Divisi Pengembangan Air, Tenaga dan Lahan untuk Lahmeyer International, sebuah Perusahaan Teknik Jerman dan rekannya Terence Muir, merangkum aspek teknik dan ekonomi dari perencanaan dan desain untuk proyek bendungan besar. Satu kecenderungan penting dalam proyek bendungan besar adalah meningkatnya peran sektor swasta dalam pembiayaan. Hal ini akan cenderung membuat pengembang swasta memotong biaya proyek, memperpendek durasi desain dan konstruksi (pembangunan) dan membebankan sebanyak mungkin resiko ke pihak lain, khususnya pemerintah setempat. Selain itu ada beberapa pengembangan teknologi yang membuat perencanaan, pembangunan dan operasi proyek bendungan besar menjadi lebih efisien. Tren lain yang penting adalah meningkatnya perhatian publik dalam proyek bendungan besar. Hal ini mengarah pada perencanaan, desain dan operasi bendungan besar. Kajian ulang Amdal Proyek dan desain proyek,
18
sebagaimana inspeksi reguler dari pembangunan dan konstruksi bendungan, khususnya saat usia bendungan bertambah tua, oleh suatu kelompok ahli bendungan yang independen, dipandang sebagai kunci untuk mendapatkan jaminan keamanan untuk publik, pemilik bendungan, investor bendungan dan pemerintah. Kemudian juga diakui bahwa meningkatnya pemeriksaan publik dalam dampak lingkungan dan sosial akan membuat tawar menawar (trade-off) antara keuntungan dan biaya pembangunan bendungan akan semakin jelas. Thayer Scudder (2005), seorang professor pada Institut Pengembangan Antropologi di Institut Teknologi California – Amerika Serikat, menyatakan bahwa dampak sosial yang merugikan dari pembangunan bendungan, baik jangka pendek atau panjang, telah dianggap ringan. Proyek Sumber daya air dalam skala besar telah menurunkan standard hidup dari jutaan penduduk lokal. Menurut Bank Dunia, masalah resettlement penduduk menjadi masalah yang paling serius dalam proyek pembangunan bendungan. Scudder berargumentasi bahwa tujuan resettlement harus untuk mereka yang pindah dan penduduk yang dimana kepindahan mereka memberi manfaat untuk proyek. Pendapatan dan standar hidup kebanyakan orang tersebut harus meningkat sebesar mungkin. Disamping itu penduduk di daerah hilir bendungan juga harus diperhatikan, mereka sering diabaikan dalam perencanaan awal karena diasumsikan mendapat manfaat dari proyek bendungan padahal mereka sering mendapat dampak negatif dari kondisi hilir bendungan. Scudder menyarankan berbagai jalan di mana dalamnya semua orang terkena dampak akibat pembangunan bendungan dapat menjadi lebih baik. Hal ini termasuk meningkatkan partisipasi lokal, meningkatkan desain dan implementasi skim irigasi, pelatihan dan bantuan teknis untuk menggunakan perikanan waduk dan pelepasan banjir dari waduk yang memberikan keuntungan bagi pengguna bendungan di hilir. Bantuan dari berbagai pihak sangat penting untuk memastikan penduduk lokal mendapat keuntungan dari pembangunan bendungan. Teori Scudder (2005) tentang resettlement yang sukses didasarkan pada empat tahapan waktu kerangka kerja : periode pre-resettlement yang panjang, periode
resettlement,
kemasyarakatan
dan
periode
pasca
pengembangan
resettlement ekonomi
untuk
serta
pembentukan
periode
transisi
kepemimpinan dan sistem kepada generasi kedua penduduk resettlement. Berdasarkan berbagai survey diperoleh lebih banyak kasus resettlement yang gagal ketimbang yang berhasil. Cerita sukses dari kasus resettlement didapat
19
dari Proyek Mahaweli di Srilangka, Proyek Kariba di Zambia, Sardar Sarovar di India, Proyek Pengembangan Air Terpadu di Okavango Selatan di Botswana dan Proyek Grande Baleine di Quebec- Kanada. Scudder (2005) dikenal dengan teori bagaimana mengubah konflik dalam pembangunan bendungan menuju konsensus yang merupakan tujuh prioritas strategis, yaitu : 1. Mendapatkan penerimaan publik. 2. Tersedia dan tercapainya pilihan-pilihan untuk konsensus. 3. Mengambil pelajaran dari bendungan yang ada. 4. Keberlanjutan sungai dan kehidupan yang ada. 5. Mempunyai hak memiliki dan merasa bagian dari manfaat yang ada. 6. Memenuhi peraturan dan persyaratan yang ada. 7. Memberi manfaat sungai hingga melintasi batas administrasi; Saat mengkritisi praktek dahulu dan saat ini dalam perencanaan dan evaluasi bendungan, Scudder memiliki rekomendasi praktis yang sangat sesuai dengan World Commission on Dams (WCD) dengan tujuh strategi prioritasnya di atas. Dia juga merekomendasikan adanya suatu Badan Arbitrase dan compliance (kepatuhan) yang kepadanya masyarakat yang terkena dampak serta LSM yang mendampingi masyarakat dapat mengajukan banding saat mereka mulai terkena akibat yang yang buruk. Kritik yang keras juga disampaikan pada World Bank dan Badan Internasional lainnya yang dianggapnya kurang mengkaji masalah ini secara mendalam. Robert Goodland (1995), seorang penasehat pada ’pendugaan lingkungan’ di Bank Dunia menyampaikan pandangan tentang industri hidroelektrik dalam pembangunan bendungan dan kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan. Goodland memeriksa 10 isu utama dalam kontroversi pembangunan bendungan, termasuk transparansi dan partisipasi, pengelolaan ukuran bendungan, efisiensi dan konservasi, keseimbangan antara PLTA dan pembangkit listrik dari bahan terbarukan lainnya, bendungan besar vs bendungan sedang dan kecil, amdal sektoral (Sectoral Environmental Assessments) bendungan dengan waduk atau bendungan dengan aliran sungai (run off river dam), penduduk yang dipindahkan (involuntary resettlement), mitigasi khusus pada proyek dan akhirnya biaya kerusakan akibat emisi gas rumah kaca. Pada masing-masing isu dia mengkaji posisi yang diambil pendukung dan penentang pembangunan bendungan. Dia berargumentasi bahwa jalan untuk membangun bendungan dengan
20
lingkungan
yang
berkelanjutan
adalah
mengintegrasikan
antara
kriteria
lingkungan dan sosial ke dalam rangkaian biaya terendah yang tradisional melalui suatu amdal sektoral. Amdal sektoral tidak hanya mendorong pada pemilihan lokasi yang tepat, tetapi juga akan memungkinkan suatu perbandingan alternatif
suplai
energi.
Diakui
bahwa
menjamin
bahwa
pembangunan
bendungan dengan lingkungan berkelanjutan akan berarti bahwa beberapa pembangunan PLTA tidak dilanjutkan. Tetapi tanpa standar yang lebih tinggi, Goodland berargumentasi, industri PLTA akan menurun dan batubara serta energi fosil alternatif lainnya akan berkembang pesat dan lingkungan menuju ke arah kemunduran. Anthony Churchill (1997), seorang penasehat senior pada Group Energi Washington
dan
Mantan
Kepala
Penasehat
untuk
Pembiayaan
dan
pengembangan sektor swasta pada Bank Dunia, berargumentasi bahwa pembangunan bendungan berada pada persimpangan internasional. Masalah lingkungan dan sosial terkait bendungan, khususnya buruknya pemikiran dan pelaksanaan program ‘resettlement‘, telah membuat kusam reputasi industri bendungan. Masalah kinerja, seperti biaya yang meningkat dan keterlambatan proyek, juga telah melanda pembangunan bendungan. Kritikan lebih lanjut pada pembangunan bendungan terkait buruknya kualitas produk, kurangnya disiplin dan mengutamakan politik dibandingkan ekonomi dalam keputusan pembangunan. Seiring meningkatnya negara-negara menoleh pada peran swasta untuk pembiayaan proyek, semua masalah diatas mengancam hingga menurunkan minat investasi pada bendungan. Agar pembangunan bendungan sukses di masa depan, isu ‘resetlement’ harus dipecahkan.
Industri
ini
juga
harus
menjadi
lebih
kompetitif
dengan
mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi seraya meningkat sistem akuntabilitasnya. Salah satu alternatif untuk pembangunan bendungan adalah membuat pembangun bendungan benar-benar meyakinkan dengan kecukupan kapital, keahlian teknis dan kemampuan pemasaran untuk membiayai dan mengelola semua resiko yang ada dalam proyek bendungan. Pada puncaknya, apa yang dibutuhkan menurut Churchill adalah suatu model baru kerjasama swastamasyarakat, dimana sektor swasta setuju untuk mengambil peran yang lebih besar untuk menuju tujuan pembangunan dan pemerintah setuju untuk
21
mengelola bendungan sebagai suatu bisnis komersial yang tergantung pada kondisi pasar.
2.5. Tahapan Pembangunan Bendungan di Indonesia Pembangunan bendungan di Indonesia biasanya menempuh tahapan yang disebut dengan SIDLACOM, yaitu : Study-Investigation-Design-Land AcquisitionConstruction-Maintenance. Sejumlah kegiatan dilaksanakan dalam masingmasing tahapan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Studi, di dalam tahapan ini dilakukan Environmental Impact Assessment (Studi Amdal) dan Feasibility Study (Studi Kelayakan) dan LARAP (Land aqcuisition and Resettlement Plan) Study, yang akan mengkaji dampak yang terjadi serta tingkat kelayakan dari suatu rencana pembangunan bendungan serta rencana pengadaan tanah. Pada kajian Amdal akan dikaji dampak fisik-kimiawi, biologi dan sosial. Pada studi kelayakan akan dikaji kelayakan teknis dan kelayakan ekonomi. Oleh karena sudah mengkaji masalah kelayakan teknis, maka dalam kajian studi kelayakan sudah ada investigasi awal khususnya investigasi geologi dan hidrologi termasuk sedimentasi. Investigasi awal ini ditindaklanjuti dengan desain dasar (basic design) yang mencakup lokasi rencana bendungan serta bangunan yang akan dibangun. Kelayakan teknis akan didapatkan dari proses ini. Perencanaan akan tidak layak
teknis
jika
secara
geologi
pembangunan
bendungan
akan
membahayakan dan penanganan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah
geologi
tidak
proporsional
terhadap
biaya
pembangunan
bendungan. Sedangkan dari aspek hidrologi perencanaan tidak layak jika ketersediaan air dari Daerah Aliran Sungai tidak dapat mencukupi skenario operasi waduk yang diinginkan. Begitu juga dengan kajian sedimentasi, tidak layak jika sedimentasi yang terjadi sangat besar dan mengurangi umur waduk secara signifikan. Kajian kelayakan teknis selanjutnya akan digabungkan dengan kelayakan lingkungan dan sosial yang dilakukan dalam studi Amdal. Pada tahap akhir dari studi kelayakan, kajian kelayakan teknis dan kelayakan lingkungan serta sosial akan dievaluasi untuk kajian kelayakan ekonomi. Biaya atau ‘cost’ pembangunan meliputi pembangunan bendungan beserta komponennya, biaya lingkungan dan biaya sosial. Manfaat atau ‘benefit’ meliputi
22
keuntungan dari manfaat pembangunan bendungan. Pada saat menilai kelayakan ekonomi, manfaat dan biaya dibandingkan sehingga diperoleh besaran indikator kelayakan ekonomi. Ada beberapa parameter yang umum digunakan sebagai indikator kelayakan ekonomi, diantaranya Internal Rate of Return atau besaran persentase bunga bank yang diperoleh dari perbandingan manfaat dan biaya jika dihitung Net Present Value-nya. Besaran IRR ini disebut layak jika secara signifikan lebih besar dari besaran persentase bunga bank yang berlaku umum. Benefit Cost Ratio (BCR) atau besaran perbandingan antara manfaat dan biaya jika dihitung Net Present Value-nya. Besaran BCR ini disebut layak jika secara signifikan lebih besar dari 1. Seberapa lebih besar dari 1 menjadi bahan pertimbangan tingkat kelayakan yang diperoleh. Pay Back Period (PBP) adalah ukuran waktu yang menunjukan seberapa lama biaya yang dikeluarkan menjadi impas (terlunasi) dengan manfaat yang diperoleh. Semakin cepat waktu yang dibutuhkan maka tingkat kelayakannya menjadi lebih tinggi. 2. Investigasi adalah tahapan yang berisi kegiatan penyelidikan lebih rinci. Kegiatan penyelidikan mengkaji aspek geologi dan hidrologi lebih mendalam dengan
melakukan
pengeboran
lubang
uji,
pengambilan
sampel,
mengumpulkan data hidrologi dan sedimentasi. Penyelidikan mekanika tanah yang terkait dengan pembangunan bendungan juga dilakukan; 3. Desain
adalah
tahapan
yang
berisikan
kegiatan
perhitungan
dan
penggambaran bangunan bendungan dan komponennya. Perhitungan dilakukan untuk mendapatkan akurasi stabilitas bangunan dan gambar desain untuk pelaksanaan pembangunan; 4. Land Aqcuisition atau pembebasan tanah adalah proses pembelian/ pengadaan tanah dan tanaman serta bangunan yang ada diatas permukaan tanah. Pembebasan tanah adalah tahapan yang paling banyak menimbulkan masalah sosial; 5. Construction atau pelaksanaan pembangunan adalah proses pelaksanaan pembangunan bendungan berdasarkan desain yang ada. Pada saat pelaksanaan pembangunan diperlukan kehati-hatian terutama karena pembukaan lahan dengan penggalian akan menyebabkan perubahan stabilitas tanah yang ada bahkan longsoran yang berbahaya. Pembuatan ‘cofferdam’ atau tanggul sementara pengalihan aliran sungai sangat rawan
23
terhadap timbulnya banjir. Saat pelaksanaan juga menjadi saat yang peka terhadap gesekan dengan masyarakat seperti gangguan debu, suara ledakan dan banjir serta longsoran. Tahapan konstruksi merupakan tahapan yang paling banyak menimbulkan masalah lingkungan dan sosial; 6. Operation and Maintenance atau operasi dan pemeliharaan adalah kegiatan memanfaatkan dan mempertahankan kondisi bendungan sehingga tetap dapat berfungsi normal dalam masa operasi dan pemeliharaannya. Berdasarkan tahapan diatas, idealnya jika dilaksanakan dengan benar akan menciptakan kondisi pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Guna mencapai kondisi tersebut maka diperlukan suatu perencanaan pembangunan bendungan yang berkelanjutan. Bab pendahuluan telah menggambarkan beberapa kasus kebijakan yang bermasalah pada pembangunan bendungan di Indonesia.
2.6. Perencanaan Fungsi Bendungan yang Berkelanjutan Keberlanjutan dari fungsi bendungan sangat terkait dengan siklus hidrologi. Siklus hidrologi yang digerakkan tenaga matahari dan angin yang merupakan contoh sempurna dari berkelanjutan, mulai dari hujan – aliran permukaan dan aliran bawah tanah – mengalir ke laut – penguapan - hujan. Siklus tersebut berkaitan erat dengan fungsi bendungan karena curah hujan serta kuantitas dan kualitas aliran permukaan dan aliran bawah tanah yang di atas atau di bawah normal akan mempengaruhi keberlanjutan fungsi bendungan, jika berkelanjutan maka manfaat fungsi akan tercapai sesuai umur layanan. Berdasarkan pandangan sempit, berkelanjutan berarti usia bendungan adalah sepanjang mungkin. Sementara itu dalam pandangan yang lebih luas, berkelanjutan mensyaratkan bahwa biaya lingkungan dan sosial yang rendah dan tidak meningkat, khususnya tidak untuk generasi mendatang. Keberlanjutan juga berarti kontinyunya output fungsi yang dihasilkan. Fungsi yang mewakili kepentingan kalangan bawah (rakyat kecil) adalah fungsi untuk kebutuhan sosial dan lingkungan untuk menjamin penerimaan mereka. Konsep keberlanjutan dalam perencanaan bendungan secara umum dielaborasikan oleh Goodland (1995) dan Goodland and Daly (1996) adalah jika pemindahan penduduk (involuntary resettlement) yang terkena dampak atau jumlah penduduk yang dipindahkan adalah nol atau sedikit, sehingga penduduk yang dipindahkan kondisi kesejahteraannya menjadi lebih baik. Namun jika
24
kondisinya yang sama seperti sebelumnya, maka hal ini tidak dapat disebut berkelanjutan. Brazil dan Cina mengalokasikan sebagian manfaat bendungan untuk orang yang dipindahkan. Kebijakan Cina adalah menjamin bahwa orang yang dipindahkan menjadi lebih baik, sehingga dampak terhadap OTD (Orang Terkena Dampak) harus dapat diterima. Lebih lanjut diuraikan definisi keberlanjutan dalam berbagai faktor dalam pembangunan bendungan. Sedimentasi. Kapasitas waduk tidak akan terganggu karena sedimentasi. Tentu saja, usia bendungan harus lebih lama dari masa pelunasan pinjaman. Para penentang menyatakan bahwa usia waduk 50 tahun terlalu singkat bagi keuntungan
untuk
mengimbangi
biaya
lingkungan.
Desain
awal
harus
menghitung rasio ’live storage’ (tampungan netto air) ke ’dead storage’ (tampungan sedimen) untuk menentukan pemilihan bendungan. Sebagai tambahan, perlindungan DAS harus dibuat menjadi komponen integral dari semua aspek bendungan. Adalah sangat penting untuk menentukan laju sedimen terkini dan usia waduk yang diharapkan sebelum sedimen akan mengganggu fungsi. Oleh karena itu, jika bendungan dioperasikan sebagai ’run of river’ (langsung memanfaatkan aliran sungai), adalah sangat perlu menentukan implikasi dari sedimen. Isu lain terkait pemahaman potensi ’desilting’ (pengurangan sedimen). Akhirnya, sangat penting menghitung dan memonitor proses erosi di hulu. Ikan. Keberlanjutan berarti bahwa kontribusi ikan untuk nutrisi, khususnya protein tidak boleh menurun. Kecuali jika penangkapan ikan meningkat secara substansi dan permanen, kemungkinan baru yang dihadirkan oleh waduk yang baru akan sia–sia. Adalah perlu untuk memastikan berapa banyak orang yang tergantung pada ikan untuk kehidupannya (untuk konsumsi, barter atau penjualan komersial). Nilai ikan yang tidak dijual biasanya melebihi ikan yang dipasarkan. Proporsi besar pada akhir minggu atau bentuk pemancingan rekreasi membentuk suatu bagian integral dari anggaran rumah tangga yang miskin, sehingga hal ini harus ikut diperhitungkan. Potensi perikanan di waduk baru atau di bagian lainnya harus direalisasikan. Standar operasi bendungan harus dilaksanakan sehingga diperoleh optimasi perikanan dan biaya di dalamnya. Kompensasi harus disediakan untuk pengurangan produksi perikanan di hilir akibat pembangunan bendungan. Keanekaragaman hayati (biodiversity). Spesies atau keragaman genetik seharusnya
tidak
menurun
sebagai
akibat
pembangunan
bendungan.
25
Keberlanjutan berarti pembangunan bendungan tidak menyebabkan musnahnya spesies apapun. Lebih lanjut, migrasi (misalnya musiman) tidak terhalangi sehingga tidak mengganggu populasi. Sebagai contoh ’tempat ikan beranak’ (fish breeding) atau jalur perjalanan ikan (fish passage) harus dibuktikan sejak awal. Apakah perlu untuk menentukan habitat satwa liar akan hilang? Dan jika demikian, apakah perlu menentukan kompensasi berupa lahan di daerah sekitar. Peningkatan dalam net biodiversity tidaklah sulit dan harus dicari. Lahan pengganti pertanian atau kehutanan. Jika produksi pertanian menurun, lalu perlu diperjelas bahwa keuntungan dari pembangunan bendungan jelas melebihi nilai bersih dari produksi pertanian yang hilang. Luas lahan yang setara harus diperoleh untuk para penduduk yang dipindahkan. Hal ini juga berlaku untuk lahan kehutanan, luas lahan yang setara harus diperoleh untuk mempertahankan fungsi hutan. Kualitas air. Keberlanjutan berarti bahwa kualitas air akan dijaga pada tingkat yang dapat diterima. Pembangunan bendungan harus memastikan bahwa waduk tidak mengganggu kualitas air. Dapatkah tanaman air, tumbuhan yag mati dan jenis lainnya dikontrol sehingga bahwa kualitas air dapat diterima di hilir bendungan. Menentukan tingkat ’merkuri organik’ yang dilepas dari biomass dan tingkat phosphorus adalah sangat penting. Keseimbangan air. Keberlanjutan berarti mencegah dampak negatif pada penduduk di hilir (misalnya irigasi, restorasi kesuburan tanah, resesi pertanian, mencuci, pemberian air pada ternak) dan pada ekosistem hilir (misalnya mangroves, deltaic fish, lahan rawa, bantaran banjir atau flood plains). Terdapat beberapa keuntungan substansial yang akan diwujudkan dengan pengelolaan air untuk pengaturan air di hilir, apakah itu pengendalian banjir, suplai air baku untuk perkotaan dan industri, dan fungsi lainnya. Integrasi regional dan estetika. Proyek pembangunan bendungan akan lebih berkelanjutan jika diintegrasikan dengan baik ke dalam aktifitas dan masa depan wilayah tersebut (RTRW). Kehilangan pada properti kebudayaan dan estetika harus dihindarkan (Goodland dan Webb, 1989). Produksi Gas Rumah Kaca. Total produksi GRK (dari biomass, semen, besi, dan sebagainya) tidak boleh melebihi gas hasil pembakaran yang setara. Adalah penting untuk mengenali pembusukan biomass yang tertinggal di dalam waduk setelah pengisian waduk mempoduksi CO2 dan CH4 dalam jumlah yang dapat diperkirakan.
26
Muncul pertanyaan, apakah proyek bendungan besar perlu dibangun ? Jawabnya ‘Ya‘ tetapi dalam jumlah terbatas dan berada di dalam kerangka kerja institusional yang menjamin kepatuhan pada rekomendasi yang disebut di atas. Bendungan besar menurut Scudder merupakan ‘pilihan yang tidak sempurna namun dibutuhkan‘, tidak sempurna karena besarnya dampak lingkungan hidup dan sosial tapi sangat dibutuhkan untuk memenuhi keperluan hidup manusia. Ini yang disebut oleh Scrudder sebagai a tragic dilemma of our time. Negara berkembang dan negara maju agak berbeda, Scudder yang berasal dari negara maju tentu berada dalam kondisi perekonomian yang lebih baik dan stabil, sedangkan negara berkembang sedang berjuang untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya, bendungan besar merupakan salah
satu
infrastruktur
yang
dapat
meningkatkan
produksi
pangan,
mengendalikan banjir, menyuplai air baku, daerah pariwisata dan memproduksi listrik yang murah. Apakah kita bisa menolak manfaat tersebut, namun bagaimana dengan dampak lingkungan hidup dan sosial yang ada ? Ini yang perlu dikaji dalam penelitian ini. Teori Environment Kuznet Curve (1955) menggambarkan hubungan yang jelas antara kerusakan lingkungan dan pendapatan perkapita (Gambar 7). Menurutnya,
degradasi
lingkungan
akan
meningkat
pada
tahap
awal
pembangunan ekonomi, namun setelah mencapai titik puncak tertentu, pertumbuhan ekonomi lebih lanjut akan mampu mengurangi tingkat kerusakan lingkungan.
Hal
ini
seperti
menggambarkan
berkembang dengan pembangunan di negara maju.
pembangunan
di
negara
27
Sisi negara berkembang
Sisi negara maju
Gambar 7. Kurva ekonomi lingkungan Kuznet (1955) Berdasarkan uraian diatas maka dapat disusun beberapa tujuan yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan bendungan, yaitu : 1. Meningkatkan outcome untuk bangsa secara keseluruhan dan orang terkena dampak, kesempatan pembangunan untuk semua dengan menghormati hak asasi manusia memenuhi kebutuhan untuk air, pangan dan energi keberlanjutan sumber daya alam. 2. Meningkatkan outcome untuk pengambil keputusan dan pengembang berupa penghematan waktu, biaya dan berkurangnya konflik. Adanya rencana yang jelas dalam program pembangunan nasional disertai patokan yang jelas dalam pengaturan pembangunannya. 3. Mengubah konflik menuju konsensus yang merupakan tujuh prioritas strategis dari Teori Scudder.
2.7. Sedimentasi di Bendungan Pada perencanaan pembangunan bendungan, pengendalian sedimentasi merupakan salah satu hal penting terutama dikaitkan dengan fungsi bendungan. Sedimentasi yang lebih besar dari rencana akan mengurangi usia waduk dan sekaligus mengurangi manfaat yang ada sehingga akan menurunkan kelayakan bendungan yang direncanakan. Pada saat menyimpan dan menampung air dalam suatu tempat (waduk) yang direncanakan untuk digunakan pada rentang
28
waktu tertentu yang dibutuhkan, untuk itu suatu sungai akan di dam dengan menutup alur sungai sampai elevasi tertentu dengan bendungan,sehingga debit sungai tidak dapat mengalir secara bebas ke hilir, dan membuat suatu tampungan yang dalam dan luas. Hal ini juga mengakibatkan terhentinya aliran sedimen ke hilir bendungan dan mengumpul di waduk. Tampungan waduk serbaguna dibagi dan melayani empat tujuan yang berbeda (Mulyanto 2000), disajikan pada Gambar 8, yaitu : 1. Flood mitigating storage (tampungan untuk pengendalian banjir), berlokasi di elevasi air yang paling tinggi, mulai dari elevasi air maksimum yang diperbolehkan, turun sampai ke elevasi puncak bangunan pelimpah atau yang secara teknis disebut normal operation level atau normal water level. Space (ruang) ini dipergunakan sementara untuk menyimpan kelebihan inflow dan mengatur alirannya ke hilir sehingga tidak menyebabkan bencana banjr di daerah yang lebih rendah dari waduk. 2. Useful storage (tampungan efektif), berlokasi di bawah tampungan untuk pengendalian banjir, di antara elevasi normal water level dan di atas minimum water level. 3. Priority storage, yaitu bagian tertentu dari useful storage yang didesain untuk penggunaan prioritas utama, dalam hal terjadi kekritisan volume air; biasanya untuk penggunaan kebutuhan domestik. 4. Dead Storage (tampungan mati), adalah bagian yang paling rendah dari suatu tampungan yang berlokasi di antara minimum water level dan dasar waduk, yang memang didesain untuk kantong sedimen, terutama untuk menjaga penampungan material dengan butiran halus yang akan mengendap di bagian bawah waduk. Air yang ada di dalam bagian ini tidak dapat dialirkan melalui outlet untuk kepentingan lebih jauh di hilir waduk.
29
Deposit sedimen
Puncak spillway
Tampungan pengendalian banjir
Dasar saluran bawah air
Tampungan efektif Tampungan prioritas
Tampungan mati
Gambar 8. Pembagian zona sedimen dalam penampang waduk (Mulyanto 2000) Air yang mengalir menuju dan ditampung di dalam waduk juga membawa sejumlah bahan sedimen sebagai hasil proses erosi pada Daerah Aliran Sungai, dan sebagian besar dari ini terperangkap di dalam waduk. Gambar 9, menyajikan transportasi sedimen ke dalam waduk dari bagian hulu Daerah Aliran Sungai, terdiri dari tiga tipe (IHE 2002), yaitu : 1. Wash Load dengan ukuran butiran sedimen yang sangat halus; sumbernya adalah permukaan DAS, tipe sedimen ini ditransportasi oleh air dalam kondisi koloid, sehingga hanya sebagian kecil darinya yang akan dideposit di waduk, dan sebagian besar darinya akan keluar bersama air yang mengalir ke hilir; 2. Suspended Load yang terdiri dari butiran sedimen yang lebih kasar dengan ukuran diameter antara 1/100 hingga 1/10 mm yang akan ditransportasi dalam kondisi suspensi ke dalam waduk; sebagian besar dari tipe sedimen ini akan dideposit di dasar waduk mengisi bagian yang disebut ‘dead storage’ yang didesain untuk menampung sebagian besar tipe sedimen ini, sementara sebagian kecil dari sedimen ini tetap berada dalam kondisi suspensi dan mengalir ke hilir bersama ‘wash load’; 3. Bed Load, yang terdiri dari butiran sedimen yang lebih kasar dari suspended load yang ditransportasikan oleh aliran masuk (inflow), berjalan dan bergeser sepanjang dasar saluran/sungai; hampir semua load/beban jenis sedimen ini akan terdeposit di dalam waduk dan di bagian hulu sungai.
30
Batas air banjir
Sedimen kasar yang membentuk delta dan agradasi di hulu
Sedimen halus pada Dead Storage
Sedimen kasar yang mengisi saluran bawah air
Batas muka air normal
Gambar 9. Pola umum sedimentasi di waduk (IHE 2002) Pada saat menentukan apakah pembangunan suatu waduk layak atau tidak, adalah penting untuk : 1. Menentukan laju sedimentasi dan pola sedimentasi di dalam waduk; 2. Sumber material sedimen dan volume sedimen yang dihasilkan; 3. Mekanisme sedimentasi; Selama kegiatan operasi waduk, harus ditentukan alat/metoda untuk menanggulangi efek sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya pengurangan daya tampung waduk dan pelayanan waduk. Pada perencanaan tampungan waduk, pengurangan kapasitas tampungan harus diantisipasi, dan jika pada akhir masa layanan ekonomi waduk, volume sedimentasi yang terjadi diperkirakan mencapai 80% dari useful storage, maka waduk dianggap tidak layak lagi berfungsi sebagai waduk. Deposit sedimen di dalam waduk akan dapat menghalangi bukaan untuk outlet (jalan keluar air). Agradasi saluran/sungai di hulu waduk akan mengakibatkan limpahan aliran keluar tanggul sungai selama debit inflow yang tinggi. Karena sebagian besar sedimen tertahan di waduk, maka akan terjadi kekurangan material sedimen yang ditransportasikan ke hilir, hal ini mengganggu keseimbangan morfologi sungai, sehingga menyebabkan degradasi saluran di hilir. Dilihat
dari
penyebabnya,
maka
terdapat
beberapa
faktor
yang
menyebabkan proses sedimentasi, yaitu intensitas dan jumlah curah hujan, tipe tanah dan formasi geologi, tipe penutup tanah, jenis penggunaan tanah (land use), topograpi, erosi di hulu (up land erosion), aliran permukaan (run off), karakteristik sedimen dan sifat hidrolik saluran.
31
Proses erosi dalam suatu DAS sebenarnya adalah hal yang alami, sebagai bagian dari siklus erosi alami yang selalu terjadi selama kehidupan dunia. Terdapat beberapa kriteria dalam menilai kondisi masalah laju sedimentasi di waduk (Mulyanto 2000),yaitu : 1. Erosi dari 1,5 mm hingga 2,0 mm per tahun atau 16,5 ton/ha/tahun hingga 22 ton/ha/tahun, jika berat jenis dari tanah diambil 1,1 ton/m3, dianggap sebagai normal. 2. Erosi dari 2.0 mm hingga 5.0 mm per tahun atau 22 ton/ha/tahun hingga 55 ton/ha/tahun, dianggap sub kritis. Kondisi ini membutuhkan upaya perbaikan untuk mencegah kondisi menjadi semakin buruk; 3. Erosi dari 5.0 mm hingga lebih per tahun, atau lebih dari 55 ton/ha/tahun, akan menempatkan kondisi ini pada status kritis. Kondisi ini harus segera ditanggulangi untuk kembali kepada kondisi yang normal melalui rehabilitasi tanah dan program konservasi tanah. Jika suatu DAS sudah mencapai kondisi Kritis, maka akan berkembang ke kondisi Super Kritis di mana laju sedimen nya akan semakin tinggi, karena faktor yang menahan sedimen sudah hilang; aliran permukaan pada daerah ini akan memiliki kecepatan yang lebih tinggi, yang juga menyebabkan terjadinya erosi gully yang selanjutnya memproduksi material erosi lebih banyak.
2.8. Keseimbangan Air Waduk Pada Neraca Air Waduk akan dihitung ketersediaan air yang ada berdasarkan data curah hujan dan/atau data debit sungai, lalu dihitung kebutuhan air sesuai dengan fungsi waduk yang ada, misalnya kebutuhan untuk pembangkitan listrik, irigasi dan air baku. Air yang masuk ke dalam waduk (inflow) dibandingkan dengan air yang keluar (outflow) dari waduk untuk suplai air memenuhi fungsi-fungsi yang ada dan Penguapan (evaporasi) dari genangan waduk. Apabila ada kelebihan air dari inflow dikurangi (outflow + Evaporasi) maka terdapat selisih (∆) tampungan yang positif yang berarti volume tampungan waduk akan meningkat. Tetapi apabila inflow lebih kecil dari (outflow+evaporasi) maka terdapat ∆ tampungan (storage) yang negatif yang membuat volume tampungan waduk akan berkurang. Keseimbangan air waduk dapat dirumuskan sebagai berikut : Inflow = Outflow + Evaporasi ± ∆ Storage Ketersediaan air di suatu daerah sangat tergantung pada curah hujan di
32
DAS daerah tersebut. Volume rata-rata ketersediaan air relatif tetap dan sama dengan curah hujan P dikurangi dengan rata-rata tahunan evapo-transpirasi E, yang diekspresikan dengan (P-E). Pada siklus hidrologi ketersediaan air dapat diekspresikan dalam persamaan umum berikut : P – E = Aa + As + R Dimana : P
= rata – rata tahunan presipitasi/curah hujan pada DAS.
E
= rata – rata tahunan Evaporasi/penguapan dari DAS.
P-E
= ketersediaan air
Aa
= bagian dari presipitasi yang masuk/perkolasi kedalam akuifer artesis (lapisan tertekan) dan akuifer tanpa tekanan, dan sementara waktu tertahan sebagai akumulasi air tanah.
As
= bagian dari presipitasi yang mengalir ke permukaan yang rendah, mengisi dan tertahan sementara, seperti ke danau atau situ atau rawa.
R
= bagian dari presipitasi yang mengalir langsung kembali ke laut dalam bentuk sungai dan debit drainase (run off). Aa adalah relatif kecil dalam volume dan tidak dapat dipergunakan secara
bebas sebagai sumber air, karena pengisian kembalinya (recharge) atau replenishment dari hujan, dimana untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan dari volume ketersediaan air, membutuhkan waktu yang lama, walaupun akuifer ini di beberapa tempat menjadi sumber air yang penting, khususnya karena kualitas airnya yang baik dan tidak terpolusi. Hal ini membuat As menjadi sumber air yang sering digunakan dan sumber air penting yang digunakan secara luas di seluruh dunia untuk berbagai kepentingan manusia. Oleh
karena
meningkatnya
kebutuhan
terhadap
air,
ketersediaan
akumulasi air alam (di permukaan) tidak akan cukup memenuhi kebutuhan yang selalu meningkat. Hal ini juga berlaku khususnya di negara-negara tropis dengan dua musim yang berbeda, yaitu : pertama, musim basah atau musim hujan dengan curah hujan yang berlimpah yang kadangkala menyebabkan bencana banjir. Kedua, musim kemarau dengan curah hujan atau presipitasi yang sangat terbatas, menyebabkan kekurangan air. Kedua musim yang berbeda ini memberikan peningkatan pada tidak meratanya distribusi ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya air yang relatif konstan dalam volume di sepanjang tahun; yang akan mengarah kepada permasalahan penyediaan air
33
yang cukup pada kondisi yang bahkan lebih buruk. Salah satu metoda untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menyimpan sebagian besar air (di musim hujan) yang mengalir di sungai dengan membangun bangunan penahan dan penampung air buatan seperti waduk, tampungan memanjang (long storage) dan waduk muara. Dalam rangka menyimpan dan menampung air dalam suatu ruang yang direncanakan untuk digunakan pada rentang waktu yang dibutuhkan, suatu sungai akan ditutup dengan bendungan pada alur sungai sampai elevasi tertentu,sehingga debit sungai tidak dapat mengalir secara bebas ke hilir, dan membuat suatu tampungan yang dalam dan daerah yang luas. Data curah hujan dan debit sungai sangat penting untuk menghitung ketersediaan air. Dalam perencanaan bendungan tidak hanya ketersediaan yang dihitung, tetapi juga kebutuhan air untuk melayani fungsi bendungan dan terkait dengan keamanan bendungan juga dihitung rencana banjir yang terjadi. Tabel 3 menggambarkan parameter desain, jenis dan panjang data serta metoda yang digunakan dalam perhitungan hidrologi. Tabel 3. Parameter Desain, Data dan Metode Hidrologi (Nugroho 2010)
PARAMETER DESAIN
KETERSEDIAAN AIR
JENIS DAN PANJANG DATA Debit bulanan atau harian > 10 tahun Debit bulanan atau harian < 10 tahun Debit bulanan atau harian tidak ada
BANJIR DESAIN 2 ‐ 1000 TAHUN Debit banjir > 20 tahun
METODA YANG DIGUNAKAN Langsung Simulasi Neraca Air Waduk Model hubungan hujan dan debit Analisis wilayah Analisis Frekwensi