II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung 1. Jenis Jagung Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji–bijian
dari
keluarga
rumput–rumputan
(Graminae).
Jagung
diklasifikasikan ke dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).
Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour (Anonimb, 2005). Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling granula. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis
4
sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna bening. Jagung sweet memiliki kadar gula 4 – 8 kali lebih tinggi dibandingkan jagung normal. Sifat ini ditentukan oleh gen sugary (su) yang resesif (Tracy 1994). Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991). Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). 2. Morfologi dan Anatomi Biji Jagung Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat masing–masing 250–300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991). Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 μm tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed coat). Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 8284% dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati 5
sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron atau peripheral endosperm. Lapisan ini mengandung sangat sedikit granula pati yang dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy endosperm terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak. Sedangkan endosperma lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat seperti pada bagian yang keras (Watson, 2003).
Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991). Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1,1% dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan 6
mengandung 30,8% protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium, parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung No
Bagian anatomi
1 Pericarp (bran) 2 Endosperma 3 Lembaga (germ) 4 Tip cap Sumber: Watson (2003)
Jumlah (%) 5,3 82,9 11,1 0,8
3. Komposisi Kimia Biji Jagung Menurut Watson (2003), komponen kimia terbesar dalam biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang terdiri dari 86% pati dan sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan, yaitu amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%. Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (Dglukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol. Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per endosperma). Sedangkan maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat dalam jumlah sedikit. Adapun phytate (hexaphosphoric ester dari myoinositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat dalam biji jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di dalam skutelum dan 10%nya terdapat di dalam aleuron (Watson, 2003).
7
Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung Pati
Protein
Lipid
Gula
Abu
Serat
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
1 Biji utuh 73,4 2 Endosperma 87,6 3 Lembaga 8,3 4 Perikarp 7,3 5 Tip cap 6,3 Sumber: Watson (2003)
9,1 8,0 18,4 3,7 9,1
4,4 0,8 33,2 1,0 3,8
1,9 0,62 10,8 0,34 1,6
1,4 0,3 10,5 0,8 1,6
9,5 1,5 14 90,7 95
No
Komponen
Menurut Watson (2003), kadar protein pada biji jagung bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin (zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron, pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada endosperma. Tabel 3. Distribusi protein di dalam endosperma jagung Kandungan pada jagung Opaque-2 Normal (%) Floury-2 (%) (%) 1 Albumin 4,7 20,2 5,6 2 Globulin 3,5 ─ 3,4 3 Prolamin 45,8 14,6 32,3 4 Glutelin 38,0 53,2 44,3 5 Residu 9,0 12,0 14,5 Sumber: Watson (2003) No
Protein
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa komponen, yaitu α, ß, γ, dan δ-zein. α-zein merupakan prolamin terbanyak dalam biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan α-zein, ß-zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan asam amino glutamin, leusin, dan prolin. γ-zein merupakan prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya α-zein dan ß-zein, γ-zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein. Sedangkan δ-zein kaya akan asam amino metionin (Laztity, 1996). Adapun glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki 8
jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein, tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996). Menurut Watson (2003), sekitar 76-83% lipid dalam biji jagung terdapat di bagian lembaga. Kandungan lipid tersebut terutama adalah triasilgliserols (TAGs), yaitu sekitar 95%. Selain itu, biji jagung juga mengandung fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon, fitosterol (sterol dan stanol), asam lemak bebas, karotenoid (vitamin A), vitamin E, dan waxes yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan TAG. Asam lemak yang terkandung pada minyak jagung antara lain asam linoleat (59,7%), asam oleat (25,2%), asam palmitat (11,6%), asam stearat (1,8%), dan asam linolenat (0,8%). Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567 mg/kg), niasin (28 mg/kg), asam pantotenat (6,6 mg/kg), piridoksin (5,3 mg/kg), tiamin (3,8 mg/kg), riboflavin (1,4 mg/kg), asam folat (0,3 mg/kg), biotin (0,08 mg/kg), serta vitamin A (β-karoten) dan vitamin E (αtokoferol) masing-masing sebesar 2,5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Sedangkan mineral–mineral yang terdapat pada biji jagung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah mineral pada biji jagung No Mineral Rata – rata (%) 1 Fosfor 0,29 2 Potasium 0,37 3 Magnesium 0,14 4 Sulfur 0,12 5 Klorin 0,05 6 Kalsium 0,03 7 Sodium 0,03 Sumber: Watson (2003)
B. Pati Jagung Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling) dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti 9
serat kasar, lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat. Menurut Tanikawa dan Motohiro (1985), bahan pengikat berfungsi untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turunan-turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk membentuk kekentalan tertentu. Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Menurut Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Amilosa dikatakan sebagai linier dari pati. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa). Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan α-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin. Bobot molekul amilopektin berkisar antara 107–5x108 (Fennema, 1996). Fennema (1996) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73% amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn. Sebaliknya, terdapat pula varietas jagung yang mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn. Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam
10
granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah. Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Tabel 5. Karakteristik granula pati No Jenis pati Ukuran granula (µm) 1 Padi 3-8 2 Gandum 20-35 3 Jagung 15 4 Sorgum 25 5 Rye 28 6 Barley 20-25 Sumber: Hoseney (1998)
Bentuk granula Poligonal Lentikular atau bulat Polihedral atau bulat Bulat Lentikular atau bulat Bulat atau elips
Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan (Tabel 5). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn) memiliki diameter berkisar antara 2–30 μm. Jagung yang tinggi amilosa (highamylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 μm. Sedangkan pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara 5-100 μm, 4-35 μm, dan 2-55 μm (Fennema, 1996). Menurut Hoseney (1998), granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf.
C. Gelatinisasi 1. Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan
11
istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop (Hoseney, 1998). Selain itu, granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Menurut Swinkels (1985), pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-
12
lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan
ikatan
hidrogen
antara
molekul-molekul
granula,
(2)
pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3. Pati yang tergelatinisasi dan retrogradasi setelahnya sangat mempengaruhi struktur dari mi pati. Pati yang tergelatinisasi berfungsi sebagai agen pengikat (binding agent) sehingga mi dapat mempertahankan bentuknya. Gelatinisasi lebih lanjut setelah ekstrusi akan meningkatkan mutu dari pasta (mi) (Riaz, 2006). Setelah proses gelatinisasi, perlakuan pada suhu yang lebih rendah akan meningkatkan laju retrogradasi pada mi pati. Tam et al., (2004) menjelaskan bahwa retrogradasi bertanggung jawab terhadap stabilitas mi pati dan kemampuan untuk tahan terhadap suhu pemasakan. Selama retrogradasi ini, fraksi amilosa menjadi terkristalisasi yang menyebabkan struktur pada mi pati menjadi utuh atau tahan pada suhu pemasakan (Tam et al., 2004). Untuk meningkatkan sifat fungsional dan karakteristik pati maka dilakukanlah modifikasi pada pati. Salah satunya adalah dengan cara perlakuan fisik yaitu heat moisture treatment. Menurut Lorenz dan Kulp (1981), heat moisture treatment (HMT) adalah proses pemanasan pati pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi dalam kondisi semi kering, yaitu tingkat kadar air yang lebih rendah dari kondisi yang disyaratkan untuk terjadinya
proses
gelatinisasi.
Pukkahuta
dan
Varavinit
(2007)
menjelaskan bahwa bahwa modifikasi pati sagu menyebabkan profil pasta pati memiliki viskositas puncak dan breakdown yang lebih rendah, serta viskositas akhir yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan peningkatan kecenderungan pati termodifikasi untuk mengalami retrogradasi.
13
2. Suhu Gelatinisasi Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu dimana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal gelatinisasi. Pengukuran suhu gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan Brabender Visco-amylograph dan Differential Scanning Calorimetry. Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati No Sumber pati 1 Beras 2 Ubi jalar 3 Tapioka 4 Jagung 5 Gandum Sumber: Fennema (1996)
Suhu gelatinisasi (oC) 65-73 82-83 59-70 61-72 53-64
Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1981) menyatakan keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponenkomponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.
14
3. Sifat Birefringence Dengan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi (polarizing microscope) dapat diketahui keberadaan sifat birefringence pati, yaitu sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap terang. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi, intensitas sifat birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998). Pati mentah dan belum mendapat perlakuan jika diamati di bawah mikroskop polarisasi akan memperlihatkan pola birefringence yang jelas daerah gelap terangnya. Sedangkan pada pati yang dipanaskan bersama air, sifat birefringence secara bertahap akan hilang tergantung suhu dan waktu yang digunakan. Jika suhu yang digunakan di atas suhu gelatinisasi, maka hilangnya sifat birefringence disebabkan oleh pecahnya molekul pati sehingga granula pati kehilangan sifat merefleksikan cahayanya. Penetrasi panas
menyebabkan
peningkatan
derajat
ketidakteraturan,
dan
meningkatnya molekul pati yang terpisah, serta penurunan sifat kristal (Hoseney, 1998).
D. Proses Penepungan Jagung Proses penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua cara yaitu proses penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pada penggilingan kering tidak dilakukan tahap perendaman biji jagung seperti pada proses penggilingan basah. Produk yang dihasilkan pada penggilingan basah biji jagung adalah pati. Sedangkan produk yang dihasilkan dari penggilingan kering biji jagung adalah grits, meal dan flour (tepung) (Inglett, 1970). Secara garis besar, proses penepungan jagung melalui teknik penggilingan basah terdiri atas tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses penepungan jagung diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi (Inglett, 1970).
15
Tahap selanjutnya adalah perendaman. Perendaman dilakukan untuk melunakkan biji jagung dan memfasilitasi disintegrasi protein yang mengikat granula pati di dalam biji. Selanjutnya dilakukan pemisahan lembaga pada biji jagung menggunakan degerminating mill yang terdiri dari dua pelat logam yaitu pelat statis dan pelat berputar dengan projecting teeth. Alat ini bertujuan menyobek biji jagung sehingga lembaga dapat lepas tanpa harus menghancurkannya. Hasil penggilingan kasar ini selanjutnya dialirkan ke hydroclone sehingga lembaga dapat dipisahkan (Inglett, 1970). Selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan partikel kasar. Hasil penyaringan kemudian digiling menggunakan atrition mill sehingga pati benar–benar keluar. Lalu slurry hasil penggilingan dialirkan ke gyratory shaker untuk memisahkan serat halus. Hasilnya yang tersisa sekarang adalah pati dan gluten. Untuk memisahkan pati dan gluten, digunakan sentrifuse dengan kecepatan tinggi sebanyak dua kali sehingga gluten yang tersisa dapat terpisahkan. Tahap terakhir, pati dikeringkan menggunakan pengering kemudian digiling (Inglett, 1970). Tahapan proses pada penggilingan kering berbeda dengan tahapan pada proses penggilingan basah biji jagung. Tahapan pertama yang dilakukan pada penggilingan kering adalah pembersihan biji jagung, jika diperlukan dapat
dilakukan
pencucian.
Kemudian
dilakukan
tempering
dengan
penambahan air yang terkontrol. Hal ini dilakukan untuk melunakkan biji jagung sehingga mempermudah pelepasan lembaga dari endosperma jagung. Setelah tempering, dilakukan degerming untuk melepaskan kulit, tip cap, dan lembaga. Lalu dilakukan pengeringan dan pendinginan untuk persiapan fraksinasi. Fraksinasi dilakukan menggunakan serangkaian alat yaitu roller mill, sifter, gravity table separator, dan purifier untuk memisahkan komponen grits, meal, dan flour. Tahap terakhir dilakukan pengeringan jika diperlukan (Inglett, 1970).
16
E. Mi 1. Mi Basah Menurut Astawan (2004), mi basah adalah jenis mi yang mengalami pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi Nasional (1992), definisi mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b). Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein berasal dari gandum. Sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann, 2001). Hou dan Kruk (1998) mengklasifikasikan mi menjadi empat jenis berdasarkan prosesnya, yaitu mi mentah (mi yang setelah pengadonan, pembentukan lembaran, dan pemotongan tidak mengalami proses lebih lanjut), mi kering (mi mentah yang mengalami proses pengeringan alami dengan sinar matahari atau dengan ruang terkontrol), mi matang (mi mentah yang mengalami proses lanjut dengan perebusan setengah matang atau matang sempurna), dan mi kukus (mi mentah yang diproses lebih lanjut dengan pengukusan). Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 7. Produk mi umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya relatif tinggi.
17
Tabel 7. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992) No. Kriteria uji 1. Keadaan : 1.1. bau 1.2. rasa 1.3. warna 2. Kadar air 3. Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering) 4. Kadar protein ((N x 6,25) dihitung atas dasar bahan kering) 5. Bahan tambahan pangan 5.1 boraks dan asam borat 5.2 pewarna
6
7. 8.
5.3 formalin Cemaran logam 6.1 timbal (Pb) 6.2 tembaga (Cu) 6.3 seng (Zn) 6.4 raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba : 8.1 angka lempeng total 8.2 E. Coli 8.3 kapang
Satuan
Persyaratan
% b/b % b/b
Normal Normal Normal 20 – 35 Maks. 3
% b/b
Min. 3
Tidak boleh ada Sesuai SNI-022-M dan peraturan MenKes No. 722/MenKes/Per/IX/ 88 Tidak boleh ada
mg/kg
mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks 0,05 Maks 0,05
Koloni/g Maks 1,0 x 106 Maks. 10 APM/g Koloni/g Maks 1,0 x 104
2. Mi Kering Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al., 1985). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 8.
18
Tabel 8. Syarat Mutu Mi Kering (SNI 01-2974-1996) No
1. 2. 4.
5.
6.
7.
8.
Jenis Uji
Satuan
Keadaan: 1.1 Bau 1.2 Warna 1.3 Rasa Air % b/b Protein (N x 6,25) % b/b Bahan Tambahan Makanan: 5.1 Boraks 5.2 Pewarna Tambahan Cemaran Logam: 6.1 Timbal (Pb) mg/kg 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg 6.3 Seng (Zn) mg/kg 6.4 Raksa (Hg) mg/kg Arsen (As) mg/kg Cemaran mikroba: 8.1 Angka koloni/g lempeng total 8.2 E. coli APM/g 8.3 Kapang
koloni/g
Persyaratan Mutu I
Persyaratan Mutu II
Normal Normal Normal Maks. 8 Min. 11
Normal Normal Normal Maks. 10 Min. 8
Tidak boleh ada sesuai dengan SNI 01-0222-1995 Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5
Maks. 1,0 x 106
Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104
Maks. 10 Maks. 1,0 x 104
Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi yang hampir sama. Adapun yang membedakan keduanya adalah kadar air, kadar protein, dan tahapan proses pembuatan. Untuk mendapatkan mi kering, mi mentah dikeringkan dengan cara penjemuran atau di angin-anginkan atau juga dikeringkan dalam pengering pada suhu ± 50oC. Mi kering mempunyai daya simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya. Selama kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 6-12 bulan. Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan
19
umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997). Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mi kering terkandung 337 kkal energi, protein 7,9 g, lemak 11,8 g, karbohidrat 50,0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2,8 mg, vitamin B1 0,01 mg, dan air 28,9 g.
3. Mi (Pasta) Non Terigu a. Bihun Bihun berasal dari bahasa China yang artinya tepung beras (bie = beras, hun = tepung). Menurut SII No. 0228-79 (1979), bihun merupakan suatu bahan
makanan yang dibuat dari tepung beras
dengan/tanpa bahan tambahan dan berbentuk benang-benang. Menurut Yustikawati (1997), terdapat beberapa tahap dalam pembuatan bihun, antara lain pencucian beras, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengepresan,
pengulenan,
pemasakan
tahap
pertama,
ekstrusi,
pemasakan tahap kedua, dan tahap pengeringan. Perlakuan di setiap tahap tersebut dapat mempengaruhi mutu produk akhir bihun. Beras dicuci dengan air bersih dalam suatu bak cuci. Kemudian direndam bersama sodium metabisulfit selama empat jam. Sodium metabisulfit berfungsi untuk menghilangkan bau apek dan memutihkan beras. Kadar sodium metabisulfit yang digunakan sekitar 1 ppm dari jumlah beras. Setelah direndam, beras dialirkan ke mesin penggiling untuk digiling secara basah. Hasil gilingan berupa cairan encer. Kemudian cairan encer tersebut disaring dengan saringan 100 mesh dan hasilnya langsung dialirkan ke dalam alat pengepresan yaitu filter press. Di dalam alat ini terjadi pemisahan antara air dan material sehingga dihasilkan padatan yang dinamakan cake. Cake yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam screw extruder yang berfungsi untuk meratakan adonan dan membentuk adonan menjadi silinder-silinder kecil dengan ukuran panjang 5 cm dan diameter 0.5 cm. Setelah adonan dibentuk menjadi silinder-silinder kecil kemudian dikukus pada suhu
20
lebih dari 100 oC selam 2 jam. Setelah pemasakan tahap pertama, adonan dimasukkan ke dalam ekstruder untuk menghasilkan benangbenang bihun. Selanjutnya benang-banang bihun dipotong dan dikukus pada suhu 100 oC selama 45 menit. Setelah itu, bihun didinginkan dan dilipat kemudian dikeringkan pada suhu 50 oC selama kurang lebih 4 jam sampai kadar air bihun 10-11 %.
b. Mi Sagu Mi sagu merupakan salah satu mi yang menggunakan pati sebagai bahan bakunya. Produk mi sagu dikenal dengan istilah mi golosor. Mi golosor hingga saat ini diperjualbelikan dalam bentuk mi basah yang tidak dapat disimpan dalam waktu lama. Penyajian mi golosor masih terbatas sebagai hidangan pelengkap pada makanan seperti soto dan sebagainya. Utami (2006) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahap dalam pembuatan mi sagu antara lain pembuatan adonan awal, pencetakan
mi,
perebusan,
perendaman
dan
penirisan,
serta
pencampuran minyak kacang. Pembuatan adonan awal diawali dengan perebusan tawas sebanyak 1 kg dan pewarna dalam air sebanyak 10 liter. Tawas yang telah direbus kemudian dicampurkan dengan adonan sagu sebanyak 5 kg sampai terbentuk adonan yang homogen. Adonan awal yang terbentuk kemudian dicampurkan dengan tepung sagu sebanyak 20 kg di dalam molen selama 20 menit. Kemudian dicetak menjadi mi dengan menggunakan pencetak hidraulik dengan kapasitas 5 kg per 20 detik. Mi yang terbentuk kemudian direbus selama 30 detik. Selama perebusan, mi harus selalu diawasi untuk mencegah mi yang terlalu matang. Kemudian mi sagu yang telah direbus langsung direndam dalam air selama 1 jam kemudian ditiriskan selama 20 menit. Mi sagu yang telah ditiriskan kemudian dicampur dengan minyak kacang. Pemberian minyak kacang ini berfungsi agar mi tidak menempel antar untaiannya.
21
c. Sohun Sohun atau soun (suun) adalah mi halus yang dibuat dari pati. Setelah direbus atau direndam, sohun berwarna bening, bertekstur kenyal, dan memiliki permukaan yang licin. Di antara berbagai jenis pati yang bisa dijadikan bahan baku adalah pati kacang hijau, umbi (kentang, ubi jalar, tapioka), sagu, dan midro (ganyong). Proses pembuatan sohun meliputi tahapan-tahapan : pembuatan adonan, pemasakan pertama, pengulenan, ekstrusi, pemasakan tahap kedua, pendinginan dan penjemuran, serta pengemasan (Yustikawati, 1997). Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung tapioka dengan air yang telah ditambahkan tawas 0.01 % dari jumlah air. Tawas digunakan agar adonan yang terbentuk menjadi lebih keras atau tidak terlalu lembek dan untuk memutihkan tepung tapioka. Adonan yang telah terbentuk kemudian diletakkan dalam tampah dan dikukus selama kurang lebih dua jam sampai setengah masak. Kemudian adonan setengah masak tersebut digiling dengan silinder batu dan ditambahkan air mendidih hingga adonan menjadi lengket. Setelah itu adonan dimasukkan dalam ekstruder yang kemudian dihasilkan benang-benang sohun. Untaian sohun yang telah terbentuk kemudian dikukus kembali selama kurang lebih 2.5 jam hingga cukup matang. Setelah dikukus, sohun ditiriskan sampai dingin selama satu malam, kemudian dijemur hingga kering di bawah sinar matahari selam kurang lebih 5 jam. Sohun yang telah kering kemudian di kemas dalam plastik.
4. Mi Jagung Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung dapat diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan dengan pembentukan lembaran terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan,
pengukusan
pertama,
pengulian,
pembentukan
lembaran
22
(sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting), pengukusan kedua, dan pengeringan. Sedangkan proses pembuatan mi jagung basah terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan, sheeting, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak (Rianto, 2006). Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah
pencampuran
bahan
baku
dilakukan
pengukusan.
Proses
pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%). Zein sebagian besar penyusunnya adalah prolamin sama dengan gliadin dalam gandum, hanya saja karakteristik prolamin pada zein dan gliadin berbeda. Tidak seperti halnya gliadin dalam gandum, zein tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum (Soraya, 2006). Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama (Juniawati, 2003). Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori per 100 gram bahan atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori/100 g bahan), singkong (146 kalori/100 g bahan), dan ubi jalar (123 kalori/100 g bahan). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu (471 kalori/100 g bahan). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu. Selain itu, mi jagung juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi terigu. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami
23
yang disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu β-karoten, lutein, dan zeaxanthin. Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian, diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003) telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode Budiyah dengan menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) merancang proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas srikandi kuning kering panen. Rianto (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah dari bahan dasar tepung jagung. Serta Kurniawati (2006) yang juga telah mengoptimasi desain proses dan formulasi pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Dalam formulasi yang dikembangkan digunakan bahan tambahan untuk memperbaiki tekstur mi. Bahan tambahan yang biasa digunakan adalah garam dan guar gum. Garam mempunyai fungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2004). Guar gum merupakan hidrokoloid yang diperoleh dari hasil ekstraksi biji tanaman Cyamopsis tetragonoloba (Goldstein, et al., 1973). Guar gum biasanya digunakan sebagai bahan pengental dan penstabil es krim. Guar gum tersusun atas rantai β-D-manopyranosyl yang berikatan dengan ikatan 1→4, dan setiap residu kedua memiliki rantai samping D-galactopyranosyl yang berikatan dengan rantai utama melalui ikatan 1→6. Guar gum mengandung air sebanyak 10-15%, protein sebanyak 5-6%, serat kasar sebanyak 2,5%, dan abu sebanyak 0,5-0,8%. Dibandingkan biji lokus, guar gum lebih larut air karena lebih banyak tersubtitusi oleh galaktosa.
24
F. Ekstrusi Harper (1981) mendefinisikan istilah ekstrusi sebagai suatu proses membentuk suatu bahan dengan tekanan dan melalui bentukan khusus, yang sering kali bahan tersebut mengalami pemanasan terlebih dahulu. Menurut Smith (1976), proses pemasakan dengan menggunakan metode ekstrusi adalah suatu proses yang menyebabkan air, pati, dan bahan yang mengandung protein dibuat menjadi plastis dan dimasak dalam sebuah ruangan dengan kombinasi tekanan, panas, dan gesekan mekanik. Pada proses pemasakan dengan metode ekstrusi sebenarnya terjadi empat proses yaitu pencampuran, pemasakan, pembentukan, dan pengembangan (puffing atau expanding) (Matz, 1984). Ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi (Harper, 1981). Ekstruder dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat fungsional, termodinamika, kadar air, dan jumlah ulir. Menurut Harper (1981), berdasarkan sifat fungsional, ekstruder terdiri atas pasta exstruder, highpressure forming extruder, low-shear, cooking extruder, coolet extruder, dan high-shear cooking extruder. Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu : autogenous extruder, isothermal extruder, dan polythropic extruder. Berdasarkan kadar air, ektruder terbagi atas low moisture extruder, intermediate moisture extruder, high moisture extruder. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terdiri dari ektruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi : high shear ekxtruder (untuk produk–produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk–produk semi basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk–produk daging). Sedangkan ekstruder ulir ganda terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan). Ekstruder pasta termasuk ke dalam ekstruder ulir tunggal tipe low shear extruder dengan tiga zona utama, yaitu mixing dan conditioning, plasticizing, dan extrusion (Ranken et al., 1997). Menurut Ranken et al. (1997), ekstruder pasta umumnya memiliki sistem pendingin yang berfungsi untuk mengurangi panas yang ditimbulkan selama proses pengekstrusian.
25
Ekstruder pasta memiliki vacuum treatment yang berfungsi untuk memastikan tidak terdapat gelembung udara pada adonan, karena gelembung udara pada adonan akan mengurangi transparansi dan menghasilkan penampakan yang kurang baik pada produk akhir (Ranken et al., 1997). Ekstruder jenis ini memiliki deep-flight screw yang beroperasi pada kecepatan rendah dalam barrel untuk menguleni dan mengekstrusi material dengan sedikit gesekan yang kemudian diarahkan secara seragam menuju die (Fellow, 2000). Menurut Riaz (2000), ekstruder pasta dikategorikan ke dalam ekstrusi suhu rendah atau dingin (< 50 oC). Pada pengekstrusian dingin, suhu akan dipertahankan tetap untuk mencampur dan membentuk makanan serta untuk menghasilkan produk akhir dengan mutu yang baik, seperti produk pasta dan daging.
26