II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan
Hutan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi negara Indonesia. Diperkirakan hampir lebih dari setengah penduduk Indonesia menggantungkan hidup terhadap hutan. Maka dari itu, paradigma pengelolaan hutan yang menekankan prinsip sustainable harus dipakai demi menjaga kelestarian fungsi hutan. Fungsi hutan itu sendiri tidak hanya fungsi ekologis, tetapi juga meliputi fungsi ekonomi, sosial dan budaya. Pengelolaan hutan terkait dengan pengusahaan hutan dan sumberdaya hutan yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan fungsi dari hutan dan faktor ketergantungan masyarakat khususnya di sekitar hutan, pengelolaan hutan harus memperhatikan berbagai aspek. Penguasaan hutan secara sepihak akan lebih banyak menimbulkan akses yang tidak baik karena pada hakikatnya hutan adalah milik bersama. Keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan sebagai stakeholder yang secara langsung merasakan dampak dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Perlu juga diperhatikan suatu mekanisme yang menjadi aturan bagi stakeholder dalam dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasaan (Awang, 2003). Pengelolaan sumberdaya alam dan hutan dilakukan agar tidak terjadinya proses eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam dan hutan tersebut. Di Indonesia sendiri sampai sekarang ini telah berkembang beberapa pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan hutan. Secara garis besarnya model pengelolaan yang
9 Universitas Sumatera Utara
10
diterapkan yaitu: pengelolaan hutan secara terpusat (centralistic management), pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community based management). Di samping itu, ada juga pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta yang mengantongi izin pengusahaan hutan. Pengelolaan hutan oleh pihak swasta dilakukan terhadap hutan-hutan yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pemerintah atas perhitungan biaya dan tenaga, serta pandangan penguasaan hutan yang tidak sepihak. Tetapi dalam beberapa kasus yang terjadi, kenyataannya pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta justru banyak yang pada akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini terjadi akibat pengelolaan hutan yang dilakukan lebih mengedepankan dimensi ekonomi dan mengabaikan dimensi ekologis, seperti pada kasus-kasus HPH yang ada di Indonesia. Dalam perspektif pengelolaan hutan yang terjadi selama ini, hubungan hutan dan masyarakat selama ini hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, yang kemudian secara sadar "memarjinalkan" kehadiran masyarakat di dalam membangun hutan tersebut. Sebahagian masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah karena di stigmatisasi sebagai perusak sumberdaya alam hutan (SDAH). Selama ini masyarakat dianggap pesaing dalam pemanfaatan SDAH oleh pengusaha dan pemerintah. Bukannya masyarakat tidak bersahabat dengan hutan akan tetapi selama ini masyarakat memang dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah (Suporaharjo, 2005). PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) adalah istilah baru yang muncul sejak tahun 1999 di Indonesia. Istilah ini sangat dipengaruhi oleh konsep
Universitas Sumatera Utara
11
CBFM (Community Based Forest Management) yang dikembangkan oleh DENR Philipina (Department of Environment and Natural Resources) sejak tahun 1995 atau sebelumnya. Konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat merupakan bentuk pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang sesuai dengan karakteristik daerah dan adat lokal yang ada, serta dilandasi oleh semangat pengelolaan kehutanan secara sosial. Melihat fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia cukup menarik dibandingkan dengan penanganan sumberdaya alam lainnya. Sumberdaya hutan (SDH) relatif lebih "diobok-obok" oleh publik, dan hal ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa berbagai ragam perubahan memang diharapkan juga oleh instansi kehutanan, walaupun sering sekali perubahan itu hanya didefenisikan sendiri oleh institusi tersebut. Publik melihat SDH sering dengan perspektif masing-masing lalu kemudian cara publik melihat ini telah melahirkan ragam pengertian dan konsep dalam pembangunan kehutanan. Menurut ahli kehutanan Westoby, social forestry merupakan satu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat. Sementara itu FAO memperkenalkan istilah Community Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan (Awang, 2003). Menurut Foley dan Bernard (1984) dalam Awang (2003) Kehutanan Sosial adalah ilmu dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada
Universitas Sumatera Utara
12
semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara aktif guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk anggota masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat. Dalam kaitannya dengan kehutanan sosial ini, yang paling utama dalam proyek kehutanan sosial terletak dalam kata "sosial" yang berarti proyek menjamin kebutuhan lokal dengan memasukkan manfaat bagi masyarakat didalam membuat rancangan kegiatan kehutanan kembali dan pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat lokal. Sedangkan menurut Wiersum (1984) dalam Awang (2003) memandang kehutanan sosial harus merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan di bidang kehutanan.
2.2.
Mangrove Ekosistem mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh
disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Dengan demikian kawasan mangrove dapat diinterpretasikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindungi, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut, yang tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem
Universitas Sumatera Utara
13
mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai (Kusmana, 2005). Ekosistem mangrove, sering disebut dengan sebutan hutan payau atau hutan bakau. Kawasan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan sub-tropika yang khas, tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Dahuri, 2003). Menurut FAO (dalam Fahutan IPB, 2005), luas kawasan mangrove di dunia adalah sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha, sedangkan luasan ekosistem mangrove Indonesia diperkirakan seluas 3.735.250 ha yang tersebar di 13.677 pulau pada garis pantai lebih dari 81.000 km. Kawasan mangrove terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros, Scyphyphora, dan Nypa. Sementara itu jenis-jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89 jenis yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemardiharjo, et. al., dalam Fahutan IPB, 2005). Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam menjaga kawasan pantai. Secara garis besar fungsi mangrove dikategorikan kedalam tiga macam fungsi,
Universitas Sumatera Utara
14
yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomi. Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagai penjaga garis pantai dari erosi agar tetap stabil, melindungi daerah belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang. Fungsi ekologis kawasan mangrove adalah sebagai tempat mencari makan dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, udang dan lainnya. Sedangkan secara ekonomi kawasan mangrove mempunyai fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi hasil hutan seperti madu, kayu, dan tempat rekreasi (Kusmana, 2007).
2.3.
Partisipasi Masyarakat
Pembangunan merupakan cara logis yang ditempuh oleh pemerintahan manapun untuk mewujudkan tujuan masyarakatnya. Pembangunan merupakan sebuah proses yang panjang dan multi dimensional dalam suatu bangsa. Seperti yang tertulis dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Maka dalam proses pembangunan memerlukan modal pembangunan yang meliputi segala potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan ditunjang oleh sebuah pengelolaan pembangunan yang tepat agar pembangunan dapat terus berlangsung dan berkelanjutan. Adapun bentuk modal pembangunan yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), dan tentunya juga dipengaruhi oleh faktor lainnya.
Universitas Sumatera Utara
15
Sumberdaya
manusia
dimaksudkan
adalah
kualitas
manusia
yang
melaksanakan proses pembangunan, dalam mengelola modal pembangunan. Demikian juga sumberdaya alam, sebagai sumberdaya yang siap digunakan (ready to use), memiliki keragaman yang tersebar di wilayah negara ini. Selain itu, perlu dipahami juga bahwa SDA ini mempunyai keterbatasan jumlah yang harus disingkapi dengan tepat agar dapat memberikan manfaat dalam pembangunan. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa pengelolaan SDA ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukan bahwa posisi dan fungsi SDA memegang peranan penting dalam proses pembangunan. Sesuai dengan semangat landasan konstitual tersebut, maka penyelenggaraan pengelolaan SDA senantiasa mengandung semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Semangat kerakyatan berarti pembangunan ditujukan untuk kemakmuran rakyat sepenuhnya. Berkeadilan bermaksud bahwa setiap masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam pengelolaan SDA. Berkelanjutan bermaksud bahwa pengelolaan SDA, untuk masa sekarang juga harus menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Jadi tujuan dari SDA (hutan) untuk masyarakat adalah untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang ada, dan menjadikan masyarakat menjadi lebih dinamis. Dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dikatakan bahwa hutan merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Lebih dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
16
pasal 3, dikatakan tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan; menjamin keberadaan hutan, mengoptimalkan fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, dan meningkatkan kemampuan masyarakat secara partisipatif. Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, yang kehidupannya bergantung pada berbagai macam hasil hutan dengan ketergantungan yang besar maka masyarakat desa hutan memiliki pandangan terhadap hutan sebagai sumber ekonomi keluarga, sumber bahan pangan, sumber air dan sumber kebudayaan bagi mereka (Awang, 2003). Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan keterpaduan antara lingkungan hidup dan tingkat kemajuan pembangunan. Kedua hal ini sama berperan dalam mewujudkan keserasian dan keseimbangan dalam pembangunan. Lingkungan hidup berperan sebagai modal dan harapan pembangunan sedangkan tingkat kemajuan pembangunan sebagai indikator keberhasilan masyarakat dalam proses pembangunan. Disini posisi masyarakat merupakan posisi yang penting dalam proses melaksanakan pembangunan. Pembangunan akan dinilai berhasil jika pembangunan tersebut membawa perubahan kesejahteraan dalam masyarakat. Pembangunan tidak pernah mencapai tujuannya jika meninggalkan rakyat. Oleh karena itu proses pembangunan adalah merupakan proses tawar-menawar antara kebutuhan masyarakat dan keinginan pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
17
Menurut FAO (Mikkelsen, 2003) mendefenisikan salah satu dari banyak arti kata partisipasi sebagai berikut, yaitu: keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan hidup mereka. Dalam pengertian diatas dapat dilihat bahwa partisipasi adalah merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari hanya keterlibatan secara jasmaniah saja yang ditandai dengan kesediaan memberikan sumbangan dalam usaha pencapaian tujuan bersama dan juga turut bertanggungjawab terhadapi usaha yang dilakukan dalam pencapaian tujuan tersebut. Partisipasi menurut Awang (2003) adalah keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk dari tingkatan-tingkatan yang berbeda seperti: 1.
Di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
2.
Dalam pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara suka rela dan pembagian yang merata.
3.
Dalam pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek. Hal ini menjadi penting karena banyak program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata justru ditolak oleh masyarakat sendiri. Steven E. Daniels dan G. B. Walker (Suporaharjo, 2005) menyimpulkan
idealnya, partisipasi masyarakat dapat menjadi forum untuk memadukan nilai-nilai dan informasi ilmiah dari masyarakat dan lembaga pemerintah sehingga keputusan akhir diakui oleh sebahagian besar masyarakat sebagai hal perlu dijalankan dan dapat
Universitas Sumatera Utara
18
dijalankan (layak), selain membuat proses pengambilan keputusan lembaga pemerintah menjadi transparan, serta memungkinkan masyarakat dan pengadilan untuk melihat sejauh mana kesungguhan lembaga pemerintah memandang suatu persoalan. Apabila penanganannya kurang matang, partisipasi masyarakat dapat menimbulkan kekecewaan atau pengabaian perbadaan-perbedaan nilai yang mendasar. Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan (kehutanan) dapat mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga, menurut Awang (2003) partisipasi dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu; cara pandang dimana partisipasi merupakan kegiatan pembagian massal dari hasil-hasil pembangunan; cara pandang dimana masyarakat secara massal telah menyumbang jerih payah dalam pembangunan; dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan keputusan di dalam pembangunan. Hobley (dalam Awang 2003) partisipasi masyarakat di bagi dalam tiga bentuk. Pertama, partisipasi semu yaitu keikutsertaan masyarakat dalam sebuah kegiatan di mana keikutsertaan itu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja masyarakat dalam kegiatan. Kedua, partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan diwakili oleh beberapa orang tertentu saja. Ketiga, partisipasi sejati adalah keikutsertaan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok masyarakat atas dasar kehendak sendiri terhadap sesuatu
Universitas Sumatera Utara
19
yang dirasakan memberi manfaat, dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktifitas dari awal sampai akhir proses. Selanjutnya Hobley (dalam Awang, 2003) merumuskan berbagai tingkatan dan arti partisipasi berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di Nepal selama 10 tahun: 1.
Partisipasi Manipulatif Karakteristik dari model ini adalah keanggotaan yang bersifat keterwakilan pada suatu komisi kerja, organisasi, organisasi kerja, atau kelompokkelompok dan bukannya pada individu.
2.
Partisipasi Pasif Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa saja yang telah terjadi, informasi datang dari administrator tanpa mau mendengar respon dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut.
3.
Partisipasi melalui Konsultasi Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari luar mendefenisikan masalah-masalah dan proses pengumpulan informasi, dan mengawasi analisis. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam pengambilan keputusan, dan pandangan-pandangan tidak dipertimbangkan oleh orang luar.
4.
Partisipasi untuk Insentif
Universitas Sumatera Utara
20
Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumberdaya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin saja petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, tetapi tidak dilibatkan dalam proses percobaan-percobaan dan
pembelajaran. Kelemahan dari model ini
adalah apabila insentif habis, maka teknologi yang digunakan dalam program tidak akan berlanjut. 5.
Partisipasi Fungsional Partisipasi rakyat dilihat oleh lembaga eksternal sebagai tujuan akhir untuk mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin berpartisipasi melalui pembentukan kelompok untuk penentuan tujuan yang terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti ini mungkin cukup menarik, karena mereka dilibatkan alam pengambilan keputusan. Tetapi hal ini terjadi setelah keputusan utamanya telah ditetapkan oleh orang dari luar desa tersebut. Pendeknya, masyarakat desa dikooptasi untuk melindungi target dari orang luar desa tersebut.
6.
Partisipasi Interaktif Partisipasi
rakyat
dalam
analisis
bersama
mengenai
pengembangan
perencanaan aksi dan pembentukan serta penekanan lembaga lokal. Partisipasi lokal dilihat sebagai hak dan tidak hanya merupakan suatu cara untuk mencapai suatu target proyek saja. Proses pelibatan multi disiplin metodologi, ada proses belajar yang terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh kelompok dan kelompok menentukan bagaimana ketersediaan sumberdaya
Universitas Sumatera Utara
21
digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga potensi yang ada. 7.
Partisipasi Mandiri Partisipasi rakyat melalui pengambilan inisiatif secara independen dari lembaga luar untuk perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan dengan lembaga eksternal untuk advis mengenai sumberdaya dan teknik yang mereka perlukan, tetapi juga tetap mengawasi bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Dalam pelaksanaan pembangunan daerah (kehutanan), pemerintah haruslah
mendasarkan pada pengakuan akan peranan penting yang akan dilakukan oleh daerah sejak dulunya. Menurut Usman (2000) pembangunan daerah sebetulnya bukanlah semata-mata duplikasi dari pembangunan nasional, dan juga bukan merupakan bentuk yang lebih kecil dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah mempunyai karakteristik yang berbeda, dan pola serta spirit yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Keraf (2002) mengatakan hal yang paling penting dalam pembangunan pedesaan dalam perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat diseluruh dunia yang memandang dirinya, alam dan relasi diantara keduanya dalam perspektif yang religius dan spritual. Hal ini dipahami oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup dengan tujuan menata seluruh kehidupan manusia dalam relasinya dengan alam. Sehingga untuk pencapai
Universitas Sumatera Utara
22
pembangunan yang berkelanjutan ekologis, harus disesuaikan dengan pandangan masyarakat desa terhadap lingkungannya.
2.4.
Persepsi Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Selanjutnya Suwandi dan Hidayat (Rakhmad, 2000) menjelaskan bahwa persepsi dari sudut komunikasi adalah urutan proses dimana seseorang tertarik pada suatu pesan, objek, peristiwa, informasi atau rangsangan (attraction), paham pada pesan (comprehension), mau menerima pesan (acceptability), merasa terlibat didalam pesan dan merasa membutuhkan pesan (self involvement) serta adanya unsur atau sifat membujuk yang terdapat didalam pesan yang disampaikan kepada penerima pesan (persuasion). Persepsi adalah hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan sensorik yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intrapsikis. Faktor-faktor pengaruh itu dapat bersifat biologis, sosial dan psikologis. Karena adanya proses saling mempengaruhi antara kedua faktor tersebut dimana didalamnya bergabung pula proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat “gambaran psikis” (Rakhmad, 2000).
Universitas Sumatera Utara
23
Wirawan (1995) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses persepsi adalah hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi ingatan tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap dan intelegensi. Hasil pengamatan terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku. Menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) ada 2 faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor fungsional dan faktor struktural. 1.
Faktor-Faktor Fungsional Faktor fungsional biasanya disebut dengan kerangka rujukan (frame of reference). Kerangka bentuk rangsangan atau stimuli tidak menentukan persepsi tetapi karakteristik orang yang mendapat stimulan yang menentukan bagaimana pemaknaan pesan. Seseorang cenderung mempersepsikan bahwa persaingan bebas merupakan sebuah jalan untuk mencapai kemakmuran dalam pembangunan ekonomi. Ini berlaku bagi seseorang yang mempunyai latar belakang ideologi kapitalis atau yang liberal. Tetapi ketika seseorang yang memiliki dasar pemikiran Karl Marx maka keadaan itu dimaknai dengan sebaliknya bahwa persaingan bebas akan menindas kaum yang tidak mempunyai modal besar. Orang ini mempunyai latar belakang ideologi sosialis atau bahkan komunis. Faktor fungsional banyak mempengaruhi persepsi khususnya dalam proses pengambilan keputusan menentukan kategori-kategori. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi
Universitas Sumatera Utara
24
diantaranya adalah faktor-faktor biologis dan faktor sosiologis. Faktor-faktor biologis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan biologis (tubuh) manusia atau kebutuhan biologis manusia. Keadaan tubuh seseorang akan mempengaruhi pengertian tentang persepsi, panca indera yang lemah menentukan arti ketika pesan-pesan sampai pada seseorang. Faktor sosiologis juga menentukan bentuk persepsi akhir dari seseorang. Faktor ini berkaitan dengan kondisi dari psikologis kita atau keadaan lingkungan yang berada disekitar kita dimana ada kelemahan dari alat indera kita dalam mengamati suatu objek atau peristiwa. Keadaan atau kelemahan dari alat indera kita sering memberikan pengertian tentang suatu objek karena pengaruh lingkungan atau obyek yang diamati. Banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Dalam hal mempersepsikan setiap peristiwa itu, keadaan alat indera kita berperan dalam memberi pengertian terhadap suatu objek. Adakalanya indera-indera kita mengalami distorsi atau gangguan, tidak berfungsi dengan baik, maka ini bisa berakibat pada perbedaan persepsi terhadap hal yang kita amati. 2.
Faktor-Faktor Struktural Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efekefek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Faktor struktural persepsi dipengaruhi oleh pendidikan, kebudayaan dan pengalaman. Krech dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) menyatakan dalam dalil persepsi yang ketiga bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan
Universitas Sumatera Utara
25
pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Kemudian dalil persepsi yang keempat bahwa objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya benar-benar bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik. Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh individu tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu lain. Misalnya, seseorang menyebutkan definisi televisi, komputer, radio, emas dan baju adalah barang-barang berharga. Perbedaan pengelompokan ini timbul karena perbedaan pendidikan. Perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi. Seseorang yang memiliki pendidikan lebih rendah akan mempersepsikan sesuatu berbeda dengan seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Pada masyarakat yang menitikberatkan kekayaan, orang akan membagi masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang mengenal dua kelompok masyarakat pada dua kelompok; orang kaya dan orang miskin. Pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang mengenal dua kelompok masyarakat; kelompok terdidik dan tidak terdidik.
Universitas Sumatera Utara
26
Kelompok kultural erat kaitannya dengan label dan yang kita beri label yang sama cenderung dipersepsikan berbeda antara orang kaya dan orang miskin, orang yang terdidik dan yang tidak terdidik, orang pribumi dan non pribumi. Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh komunikator kredibilitasnya. Orang menjadi terhormat karena duduk berdampingan dengan anggota kabinet atau bersalaman dengan presiden. Sebaliknya, kredibilitas berkurang karena duduk berdampingan dengan orang yang nilai kredibilitasnya rendah pula. Selain faktor pendidikan dan kultur budaya, faktor pengalaman individu juga mempengaruhi persepsi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu juga berdasarkan pengalaman yang ada pada dirinya.
2.5.
Defenisi Konsep
2.5.1. Persepsi Jalaludin Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang diterima. Wirawan (1995) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses persepsi adalah hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi ingatan tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap dan intelegensi. Hasil pengamatan terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku.
Universitas Sumatera Utara
27
Dalam penelitian ini persepsi disimpulkan sebagai pemahaman dan pengetahuan masyarakat yang lahir dari proses interaksi yang terjadi dengan kawasan hutan terhadap keberadaan hutan mangrove dan fungsi-fungsinya serta pengelolaan hutan mangrove terutama setelah terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Simeulue.
2.5.2. Partisipasi Masyarakat Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan. Pengertian partisipasi dalam suatu proses pembangunan (kehutanan) dapat mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga menurut Awang (2003) partisipasi dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu: cara pandang dimana partisipasi merupakan kegiatan pembagian dari hasil-hasil pembangunan, cara pandang dimana masyarakat secara massal telah menyumbangkan jerih payah dalam pembangunan, dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Arti kata partisipasi yang di rangkum FAO, pengertian partisipasi dapat diterjemahkan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya memberikan sumbangan kepada kelompok dalam pencapaian tujuan serta ikut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam penelitian ini partisipasi masyarakat diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan mangrove yang didorong oleh pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya keberadaan fungsi-fungsi hutan mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
28
2.5.2 Pengelolaan Pengelolaan adalah proses memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Pengelolaan meliputi proses perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan kebijakan yang dilakukan dalam kawasan hutan mangrove.
2.5.3 Hutan Pengertian hutan dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Arief, 2001). Istilah hutan mempunyai pengertian sebagai suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pepohonan atau vegetasi kayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga berpengaruh dalam pembentukan iklim mikro dan kondisi ekologi yang spesifik.
Universitas Sumatera Utara