11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aglomerasi Montgomery (1988) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity), yang diasosasikan dengan klaster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Markusen (1996) menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang "tidak mudah berubah" akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Aglomerasi merupakan kumpulan klaster-klaster industri. Namun suatu klaster, atau superklaster di Brazil, atau bahkan kumpulan klaster tidak dapat diidentikkan dengan suatu kota. Namanama populer seperti Silicon Valley di AS atau Sinos Valley di Brazil menunjukkan bentuk-bentuk geografis yang berbeda. Negara Bagian Minnesota juga merupakan aglomerasi industri dari masing-masing bagian wilayah yang berspesialisasi yaitu Twin Cities untuk industri jasa, Southeast Minnesota
untuk industri mesin,
Southwest Minnesota untuk industri peralatan pertanian, Northwest Minnesota untuk industri pengolahan hasil pertanian, dan Northeast Minnesota untuk industri hasil hutan dan rekreasi (Munnich, 2005). Perkembangan konsep dan pemikiran tentang aglomerasi dapat dirangkum dalam Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa setiap studi atau teori mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau moderen. Ditinjau dari perspektif klasik, aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" (economies of agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Para pendukung perspektif ini telah
12 meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala ekonomis (Kuncoro, 2000). AGLOMERASI
KLASIK
Penghematan Eksternal
MODERN
Formasi Perkotaan
Eksternalitas Dinamis
MarshallArrow Romer
Lokalisasi vs Urbanisasi
Increasing return (Penghematan akibat skala)
Knowledge spill over akibat keanekaragaman
Pertumbuhan Kota
Jacobs
Biaya Transaksi
Central Place vs Network System
Ketergantungan skala vs netralitas
Minimisasi biaya transaksi akibat skala
Sumber: Kuncoro (2000) Gambar 1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi Jalur pemikiran tersebut dikembangkan dengan berbagai studi empiris yang mencoba menganalisis dan mengestimasi besarnya skala ekonomis. Sementara itu, para ahli ekonomi regional mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi aglomerasi secara spasial. Hal ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literatur mengenai formasi kota. Menurut Hoover (1985), penghematan aglomerasi adalah penghematan yang terjadi akibat terkonsentrasinya aktivitas ekonomi secara spasial. Penghematan tersebut dapat terjadi dalam industri yang sama atau beberapa industri yang berbeda.
13 Hoover (1985) menyatakan bahwa ada 2 macam penghematan akibat aglomerasi, yaitu penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi terjadi karena konsentrasi spasial dalam industri yang sama, meliputi penghematan transfer yang terjadi pada keseluruhan perusahaan dalam industri dan saling terkait satu sama lain. Hal ini menyebabkan penurunan biaya produksi perusahaan pada suatu industri ketika produksi total dari industri tersebut meningkat (economies of scale). Penghematan urbanisasi terjadi apabila industri-industri pada suatu wilayah terasosiasi dan terakumulasi dalam berbagai tingkatan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Penghematan urbanisasi mendorong terciptanya pendukung dari aktivitas ekonomi secara keseluruhan dan menciptakan keuntungan secara kumulatif bagi seluruh industri. Berdasarkan Pemikiran Hoover tentang localization economies dan urbanization economies, Glaeser et al. (1992) mengklasifikasikan dua macam knowledge spillovers, yaitu intraindustry spillovers dan interindustry spillovers. Intraindustry spillovers adalah knowledge spillovers yang terjadi pada suatu industri yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Romer. Sedangkan interindustry spillovers, yang dikembangkan oleh Jacob, merupakan knowledge spillovers yang terjadi antar industri yang berkaitan dalam suatu lokasi. Jacob (1969) mengembangkan pemikiran Hoover tentang penghematan urbanisasi. Jacob menyatakan bahwa terjadi ekternalitas positif antar industri berupa interindustry spillovers yang biasa disebut sebagai Jacobs externalities sebagai dampak terkonsentrasinya dan terasosiasinya industri-industri pada suatu wilayah. Henderson (1994) melengkapi pemikiran Jacob dan menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) berpengaruh positif terhadap Jacobs externalities. Perspektif moderen menunjukkan beberapa kritik terhadap teori Klasik mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, tiga jalur pemikiran dapat diidentifikasi.
14 Pertama, teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities). Kedua, mahzab pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi. Dalam kaitannya dengan aglomerasi, sebagian besar ekonom mendefinisikan kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara spasial. Quigley (1998) mengidentifikasi empat macam pemikiran studi aglomerasi dan yang diidentifikasi menjadi empat periode evolusi pemikiran. Periode pertama, yaitu beberapa dasawarsa setelah Perang Dunia I, fokus analisis adalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu kota. Pada periode kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kebanyakan studi mencoba menjelaskan daya tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul dari analisis yang intensif mengenai kota-kota utama di AS dan memperkenalkan konsep eksternalitas, yang muncul akibat skala ekonomis. Menurut Quigley (1998), saat ini kita berada dalam pertengahan periode keempat dalam mencoba memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota digunakan untuk menganalisis hakikat dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan analisis aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa formasi dan perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme konsentrasi produksi secara spasial telah dimengerti dengan benar. Kuncoro (2000) menyatakan bahwa aglomerasi tidak selalu memunculkan suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan kota terutama terletak pada perbedaan antara kesederhanaan (simplicity) dan kompleksitas. Teori klasik mengenai aglomerasi berargumen bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan akibat lokasi maupun penghematan akibat urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi yang sama: apakah
15 antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Di lain pihak, kota adalah suatu daerah keanekagaman yang menawarkan manfaat kedekatan lokasi konsumen maupun produsen.
Beberapa faktor kunci yang memiliki implikasi
terhadap skala dan keberagaman kota disajikan pada Tabel 1. Faktor-faktor ini meliputi skala ekonomis, penghematan akibat berbagi input baik dalam proses produksi maupun konsumsi, penurunan biaya transaksi, dan penurunan variabilitas akibat keanekaragaman aktivitas ekonomi. Tabel 1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman Faktor 1. Penghematan skala (Scale economies) Dalam produksi, di dalam perusahaan Dalam konsumsi
2. Berbagi bahan baku (Shared inputs) Dalam produksi Dalam konsumsi 3. Biaya transaksi (Transaction cost) Dalam produksi
Dalam konsumsi
4. Penghematan statistik (Statistical economies) Dalam produksi Dalam konsumsi
Contoh
Argumen Teori
Skala pabrik yang lebih besar Mills, Dixit Barang publik: taman, stadion olah raga Arnott & Stiglizt
Perbaikan, akuntansi, hukum, Krugman iklan Teater, restoran, kultur Rivera-Batiz tinggi/rendah
Kesesuaian pasar tenaga kerja Heisley & Strange, Acemoglu, Artle Kawasan perbelanjaan
Asuransi bagi penganggur Penjualan kembali aset Barang-barang substitusi
David & Rosenbloom Heisley & Strange
Sumber: Quigley (1998) Pendekatan lain adalah mengaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" melalui konsep eksternalitas. Scott and Storper (1992) membedakan konsep eksternalitas antara: (1) penghematan internal dan eksternal (internal economies dan external economies); dan (2)
16 penghematan akibat skala dan cakupan (economies of scale dan economies of scope). Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai pada suatu perusahaan tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi: pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya. Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Sebagaimana halnya suatu perusahaan dapat mencapai penghematan biaya secara internal dengan memperluas produksi atau meningkatkan efisiensi, suatu atau beberapa industri dapat meraih penghematan eksternal dengan beraglomerasi secara spasial. Penghematan biaya terjadi akibat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku pada daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan. Manfaat aglomerasi industri diperkuat oleh sarana dan prasarana seperti pendidikan, air, transportasi, dan hiburan, yang memungkinkan adanya penghematan biaya. Penghematan akibat skala muncul karena perusahaan menambah produksi dengan cara memperbesar pabrik (skala). Penghematan biaya terjadi dengan meningkatkan skala pabrik sehingga biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini berbeda dengan penghematan akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub-unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang bersamaan
sehingga
menghemat
biaya.
Penghematan
eksternal
maupun
17 penghematan skala ekonomis dan cakupan secara khusus berkaitan dengan proses aglomerasi. Penghematan akibat aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barangbarang konsumsi, variabilitas input antara, dan angkatan kerja (Kuncoro, 2000). Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan disempurnakan oleh tiga jalur paradigma: (1) teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis yang menekankan peranan transfer informasi dan inovasi, (2) paradigma pertumbuhan perkotaan, dan (3) paradigma yang berbasis biaya transaksi. Teori-teori baru mengenai eskternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kota-kota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan eksternalitas statis, Menurut Henderson et al. (1995) eksternalitas dinamis menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antar perusahaan dalam suatu industri, yang diperoleh lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal dalam industri yang sama. Porter (1990) membuat argumen yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transfer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara spasial. Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan akibat aglomerasi. Teori skala kota yang optimal (theories of optimum city size), yang dikaji ulang oleh Fujita and Thisse (2002) menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi sebagai hasil yang menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces), yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi, adalah semua kekuatan menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan. Kekuatan sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal.
18 Ronald Coase (Pemenang Hadiah Nobel dalam llmu Ekonomi tahun 1991) merupakan ekonom yang mengembangkan analisis biaya transaksi (ABT). Menurut Coase (1992), untuk melakukan suatu transaksi pasar diperlukan identifikasi dengan siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa seseorang ingin berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti, dan seterusnya. Biaya transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi. Adanya biaya transaksi akan mendorong munculnya perusahaan. Sumber-sumber aglomerasi ekonomi
terdiri dari spillovers
(rembesan)
informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih (Mccann, 2001; Capello, 2007). Jika beberapa perusahaan pada industri yang sama terkumpul pada lokasi yang sama, ini berimplikasi bahwa pemilik perusahaan relatif mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers) informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung (Cohen, 2005). Pada situasi di mana beberapa perusahaan ada di lokasi yang sama, ada kemungkinan terdapat input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, dengan cara yang lebih efisien dibandingkan jika perusahaan terdispersi/menyebar. Konsentrasi spasial menurunkan biaya transaksi informasi. Konsentrasi spasial meningkatkan kemungkinan informasi yang tepat akan ditransmisikan, dan ketersediaan tenaga kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang terdispersi.
19 2.2. Keterkaitan Antarsektor Debat ahli ekonomi mengenai pertumbuhan seimbang (balanced growth) dan tidak seimbang (unbalanced growth) telah memberikan sumbangan bagi studi kuantitatif pola-pola pembangunan. Pendukung pertumbuhan seimbang seperti Nurkse (1953) atau Rosenstein-Rodan (1963) mengargumentasikan bahwa negara harus membanguan berbagai industri secara simultan jika ingin mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Tipe pembangunan ini sering disebut sebagai pertumbuhan seimbang pada sisi permintaan, karena pembangunan industri ditentukan oleh permintaan atau pola pengeluaran dari konsumen dan investor. Pertumbuhan seimbang pada sisi penawaran menunjukkan kebutuhan untuk membangun
beberapa industri secara bersamaan untuk mencegah kemacetan
penawaran. Salah satu masalah terkait dengan argumen
pertumbuhan seimbang
berkaitan dengan nasehat suatu negara miskin dengan sedikit atau tanpa industri disarankan untuk membangun beberapa industri secara bersamaan atau terus mengalami stagnasi. Program ini terkadang disebut sebagai big push atau critical minimum effort. Saran tersebut tidak mendorong negara miskin yang memiliki beban sumberdaya manajerial dan finansial yang membatasinya untuk mendirikan beberapa pabrik baru. Dalam pembahasan mengenai pola pembangunan industri, ditunjukkan bahwa sedikit bukti yang menunjukkan bahwa semua negara mengikuti pola tertentu. Beberapa negara memberikan penekanan pada satu industri tertentu, sedangkan negara lain terkonsentrasi pada set industri yang berbeda. Pendukung pola pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth), khususnya Hirschman (1958), menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan
20 pola pembangunan industrial yang berbeda. Suatu negara dapat mengkonsentrasikan energinya hanya pada beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya. Menurut Perkins (2001), pertumbuhan tidak seimbang yang diusulkan oleh Hirschman, tidak berisi cara melepaskan diri dari dilema pertumbuhan seimbang. Hirschman membangun ide pertumbuhan tidak seimbang tertuju bagaimana seharusnya pembangunan berjalan. Konsep sentral dari teori Hirschman (1958) adalah keterkaitan. Industri dikaitkan dengan industri lain dengan cara-cara yang dapat diperhitungkan dalam memutuskan suatu strategi pembangunan. Industri dengan backward linkages menggunakan input dari industri lain. Keterkaitan ke depan terjadi dalam industri yang memproduksi barang yang menjadi input industri lain. Keterkaitan ke depan dan ke belakang menghasilkan tekanan yang mengawali penciptaan industri baru yang pada gilirannya menciptakan tekanan tambahan dan seterusnya. Tekanan ini dapat berbentuk peluang profit baru bagi pengusaha swasta atau tekanan yang dibangun melalui proses politik agar pemerintah
mengambil
kebijakan.
Investor
swasta
misalnya
memutuskan
membangun pabrik tanpa memberikan fasilitas perumahan bagi pekerjanya. Pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun infrastruktur dan jalan. Perkins (2001) menyatakan bahwa meskipun di permukaan pola pembangunan seimbang dan tidak seimbang nampak tidak konsisten satu sama lain, namun dapat dipandang sebagai sisi yang berlawanan dari koin yang sama. Tidak ada pola tunggal dalam industrialisasi yang harus diikuti semua negara. Di sisi lain, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa beberapa pola sangat mirip antar kelompok negara. Meskipun negara dengan jumlah perdagangan luar negeri yang besar dapat mengikuti strategi tidak seimbang untuk beberapa lama, suatu negara tidak dapat
21 mengandalkan industri yang diinginkannya dan selanjutnya terfokus pada industri tersebut di seluruh tahap pembangunan negara tersebut. Konsep keterkaitan menunjukkan bahwa ketidakseimbangan yang kaku akan menghasilkan tekanan yang memaksa suatu negara kembali ke jalur pertumbuhan seimbang. Jadi, tujuan mendesaknya adalah derajat keseimbangan dalam program pembangunan. Tetapi perencana memiliki pilihan antara berusaha menjaga keseimbangan melalui proses pembangunan atau terlebih dulu menciptakan ketidakseimbangan
dengan
pemahaman
bahwa
tekanan
keterkaitan
akan
memaksanya kembali ke keseimbangan. Pilihan-pilihan tersebut adalah mengikuti jalur pertumbuhan seimbang yang ditunjukkan oleh garis lurus atau pertumbuhan tidak seimbang diperlihatkan ditunjukkan oeh garis kurva, yang dilustrasikan pada Gambar 2. Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Chenery and Clark, 1959). Peningkatan
satu unit permintaan akhir pada variabel eksogen dapat
meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan
22 pendapatan
mendorong
peningkatan
permintaan
barang-barang
konsumsi,
Output sektor A
menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.
b Jalur pertumbuhan seimbang
a Jalur pertumbuhan tidak seimbang
Output sektor B Gambar 2. Jalur Pertumbuhan Seimbang dan Tidak Seimbang Menurut Meier (1995), dua mekanisme yang bekerja dalam sektor aktivitas produksi secara langsung adalah pertama, penyediaan input yang menghasilkan permintaan atau backward linkage effects, yaitu setiap aktivitas ekonomi non primer akan mempengaruhi upaya untuk mensuplai melalui produksi domestik input yang diperlukan oleh aktivitas tersebut. Kedua, pemanfaatan output atau forward linkage effects, yaitu setiap aktivitas yang menurut sifatnya tidak menjadi barang akhir, akan mempengaruhi usaha untuk memanfaatkan output sebagai input pada aktivitas baru. Pengembangan agroindustri di satu pihak meningkatkan permintaan input antara (intermediate input) seperti bahan baku tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan dan lain-lain yang dipasok oleh sektor pertanian. Hal ini
23 disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage). Di pihak lain, sektor agroindustri meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain seperti perdagangan dan industri lainnya, di samping ada yang digunakan sendiri oleh agroindustri. Hal ini disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Jadi, kedua aspek ini yang dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), yang mengarah ke belakang dan ke depan. Selain itu, pengembangan sektor agroindustri akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, yang selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk
mengkonsumsi
barang-bararig
tersebut
merupakan
dorongan
untuk
meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan di sektor agroindustri. Hubungan ini dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect) dari efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect). 2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan Istilah agroindustri tidak dapat dipisahkan dari istilah agribisnis. Keduanya memang menyangkut unsur yang sama, yaitu agro, tetapi memiliki ruang lingkup yang berbeda. Berikut beberapa kutipan yang dapat membedakan keduanya. Davis dan Golberg dari Harvard University, yang dikenal sebagai pencetus istilah agribisnis, mendefinisikan agribisnis sebagai jumlah total dari semua operasi yang terlibat dalam manufaktur dan distribusi suplai usahatani; aktivasi produksi pada usahatani; dan penyimpanan atau pengolahan dan distribusi komoditas usahatani dan barang-barang dagangan yang dihasilkannya (Herjanto, 2003). Sedangkan, Downey and Erickson (1987) dalam memberikan pengertian tentang agribisnis mencakup semua bisnis dan aktivitas manajemen yang dilakukan perusahaan
24 yang memberikan input untuk sektor usahatani, menghasilkan produk usahatani, dan/atau pemrosesan, transport, pembiayaan, penanganan atau pemasaran produk usahatani. Austin (1992) memberikan definisi agroindustri sebagai suatu usaha yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahannya mencakup transformasi dan preservasi melalui perubahan secara fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi.
Karakteristik pengolahan dan derajat
transformasi dapat sangat beragam, mulai dari pembersihan, grading dan pengemasan, pemasakan, pencampuran dan perubahan kimiawi yang menciptakan makanan sayur-sayuran yang berserat. Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri dalam agribisnis menurut Sinaga (1998) adalah agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor pertanian dan sebagian dari sektor industri. Subsektor industri tersebut menghasilkan sarana produksi pertanian dan mengolah hasil-hasil pertanian dan dikenal sebagai agroindustri. Dari beberapa definisi di atas jelas bahwa agroindustri mempunyai ruang lingkup yang lebih kecil dibandingkan agribisnis. Agroindustri terbatas pada kegiatan pengolahan produk yang berbasiskan pertanian, sedangkan agribisnis mencakup semua kegiatan sejak menyediakan input, membudidayakan, mengolah, menyediakan dana, memasarkan, dan mendistribusikan produk-produk berbasiskan pertanian. Agroindustri dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu (upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (Sinaga, 1998). Dalam konsep pembangunan ekonomi, suatu sektor disebut sebagai sektor yang memimpin (a leading sector) jika sektor tersebut memenuhi beberapa kriteria
25 sebagai berikut: (1) memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan, (2) memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, serta (3) memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang cukup besar. Kondisi tersebut umumnya dicirikan oleh tingginya elastisitas harga untuk permintaan dan penawaran, elastisitas pendapatan untuk permintaan yang relatif besar, multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif besar, kemampuan menyerap bahan baku dan kemampuan memberikan sumbangan input yang besar, serta memiliki keterkaitan erat dengan sektor ekonomi lain yang juga memiliki pangsa yang relatif besar dalam struktur ekonomi. Berdasarkan pemikiran di atas dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih (1992) melihat bahwa agroindustri dapat berperan sebagai sektor yang memimpin. Dengan menggunakan pendekatan input-output, Saragih (1996) melakukan kajian peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Selama periode 1971-1995, pangsa agroindustri terhadap ekspor industri nonmigas mengalami pertumbuhan, demikian pula pangsa terhadap impor juga mengalami peningkatan. Meskipun keduanya mengalami peningkatan, tetapi proporsi ekspor masih lebih besar daripada impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Dengan neraca perdagangan yang terus positif, agroindustri tetap menjadi penyumbang terbesar dalam devisa non migas. Untuk mengukur kinerja ekonomi agroindustri menggunakan tiga kriteria ekonomi: nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan nilai tambah per unit input tidak termasuk modal tetap. Agroindustri dapat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi serta sebagai prime mover dalam industrialisasi pedesaan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Pryor and Holt (1998) yang menunjukkan bahwa kontribusi agrobisnis dalam perkembangan ekonomi nasional
26 (GDP) mencapai 53%, lebih tinggi dari Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun Brazil. Menurut Rusastra et al. (2005), dalam rangka mewujudkan struktur perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan
lapangan
pekerjaan,
meningkatkan
penerimaan
devisa,
dan
meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama perekonomian maka harus
memenuhi persyaratan
sebagai
berikut : berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang
besar dengan
industri
lainnya,
dan
padat tenaga kerja
(Simatupang dan Purwoto, 1990). 2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya Menurut Porter (1998), klaster adalah sekelompok perusahaan dan lembaga terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong kompetisi serta juga bersifat komplementer. Kedekatan produk dari perusahaanperusahaan ini pada tahap awal akan memacu kompetisi dan kemudian mendorong adanya spesialisasi dan peningkatan kualitas serta mendorong inovasi dalam diferensiasi pasar. Porter (1998) menggambarkan bahwa klaster merupakan konsentrasi geografis atas berbagai industri yang terkait, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukungnya. Klaster dapat berupa sebuah kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas. Bahkan klaster juga berupa sebuah wilayah lintas negara seperti Jerman Selatan dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman. Kriteria geografisnya terletak pada apakah efisien ekonomis atas jarak tersebut ada dan terwujud dalam berbagai aktivitas bisnis yang menguntungkan atau tidak.
27 Porter (1998) berpendapat bahwa klaster disebabkan oleh (1) keunggulan kompetitif, (2) sejarah, dan (3) institusi. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan kondisi penawaran dan permintaan, hubungan industri, dan persaingan lokal yang memberikan keuntungan bagi perusahaan lokal. Sejarah berkaitan dengan faktor yang mendasari industri atau penggunaan teknologi yang menyebabkan keunggulan kompetitif. Institusi adalah kelembagaan formal dan informal yang mempengaruhi pengembangan klaster guna mendukung kreasi, difusi, dan impor pengetahuan. Proses pembentukan klaster pertama kali diamati oleh Alfred Marshall pada tahun 1919. Marshall mengidentifikasi manfaat dari berkumpulnya perusahaan dalam sebuah ruang geografis tertentu. Karakteristik manfaat ini tidak dinikmati secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan serta dapat dinikmati bersama oleh perusahaan lain. Manfaat seperti ini sering juga disebut sebagai economies of localization. Menurut
Hartarto (2004), fenomena pengklasteran merupakan suatu
fenomena yang terjadi sejak permulaan awal industrialisasi. Fenomena ini terjadi dari penenunan kapas di Lancashire dan industri mobil di Detroit sampai industri tekstil di Ahmadabad dan Bombay serta penyamakan kulit di Calcutta dan Arcot. Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri beradasarkan studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal, peranan pemerintahan daerah, dan peranan asosiasi, pola klaster dibedakan menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik Satelit, dan Distrik State-anchored.
28 Kebijakan pengembangan klaster industri di Indonesia secara formal tercantum dalam Program Pembangunan Nasional 1999-2004. Dalam Program Pembangunan
Nasional
tersebut
dijelaskan
bahwa
dalam
rangka
mengkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder, dan tersier, termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster industri. Melalui pendekatan ini diharapkan pola keterkaitan antar kegiatan baik di dalam sektor industri sendiri (keterkaitan horisontal) maupun antara sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait (keterkaitan vertikal) akan dapat secara responsif menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat. Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan pengembangan klaster dan daya saing nasional. Berdasarkan RPJM Tahun 2004-2009 dan Kebijakan Menteri Perindustrian 2005-2009, peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Strategi pengembangan industri di masa depan terdiri atas strategi pokok dan strategi operasional. Strategi pokok tersebut meliputi: (1) memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai pada klaster dari industri yang bersangkutan, (2) meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai, (3) meningkatkan sumber daya yang digunakan industri, dan (4) menumbuhkembangkan industri kecil dan menengah. Sedangkan untuk strategi operasional terdiri dari: (1) menumbuh-kembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif, (2) penetapan prioritas industri dan penyebarannya, (3) pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan klaster, dan (4) pengembangan kemampuan inovasi teknologi.
29 Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi serta terbatasnya kemampuan sumberdaya pemerintah, fokus utama pengembangan industri manufaktur ditetapkan pada beberapa sub-sektor yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri, dan (4) memiliki potensi pengembangan ekspor. Diturunkan dari keempat kriteria di atas berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif, prioritas dalam tahun 2005-2009 adalah pada penguatan klaster-klaster: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolah hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit; (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, dan (10) industri petrokimia. Intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan layanan publik diarahkan pada hal-hal di mana mekanisme pasar tidak dapat berlangsung. Dalam tataran ini, aspek tersebut meliputi: (1) pengembangan riset untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi, termasuk pada pengembangan manajemen produksi yang memperhatikan kesinambungan lingkungan dan teknik produksi yang ramah lingkungan (clean production), (2) peningkatan kompetensi dan keterampilan tenaga kerja, (3) layanan informasi pasar produk dan faktor produksi baik di dalam maupun luar negeri, (4) pengembangan fasilitasi untuk memanfaatkan aliran masuk dana asing sebagai potensi sumber alih teknologi dan perluasan pasar ekspor, (5) sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk, dan (6) prasarana klaster lainnya, terutama dalam mendorong penyebaran industri ke luar Jawa.
30 2.5. Geografi dan Lokasi Industri Aktivitas
industri
membutuhkan
fasilitas
fisik,
bangunan
instalasi
permesinan, perlengkapan dan faktor lingkungan kerja. Dari seluruh fasilitas fisik, maka lokasi merupakan faktor penentu sebelum kegiatan tersebut berlangsung. Di samping itu, lokasi menjadi tempat melangsungkan suatu kegiatan dan dapat menentukan atau mempengaruhi hal teknis yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, seperti pengangkutan bahan baku, permesinan dan perlengkapan lainnya, pemasaran dan perlengkapan lainnya Sejumlah faktor yang ikut menentukan munculnya industri di suatu wilayah, antara lain faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis. Menurut Richardson (1977), faktor geografis terdiri atas bahan mentah, sumberdaya tenaga, suplai tenaga kerja, suplai air, pemasaran, dan fasilitas transportasi. 1. Bahan mentah Tak ada barang dapat dibuat jika tak ada bahan-mentahnya; misalnya untuk industri pensil dibutuhkan tambang grafit dan kayu jenis khusus tentunya. Industri kulit pasti berlatarbelakang daerah peternakan di mana jenis ternak dapat menyediakan kulit yang diperlukan. Industri semen membutuhkan jenis lempung yang mengandung kapur. Selanjutnya masih perlu dipikirkan, bagaimana mengangkut bahan mentah tersebut ke kota yang mempunyai industri tersebut. 2. Sumberdaya tenaga Sumberdaya tenaga yang diperlukan dalam industri adalah sumberdaya untuk menggerakkan mesin pabrik, yaitu tenaga air atau perlistrikan. Untuk mendatangkan bahan-bahan seperti itu, lokasi pabrik dapat mendekat ke pelabuhan pengimpor bahan tersebut atau mendekat ke lokasi sumber air dan pembangkit listrik.
31 3. Suplai tenaga kerja Suplai tenaga kerja menyangkut dua segi, yaitu kuantitatif artinya banyaknya orang yang direkrut dan kualitatif yaitu tenaga kerja berdasarkan ketrampilan tekniknya. 4. Suplai air Industri amat memerlukan persediaan air, misalnya pabrik kertas, pabrik pangan, dan pabrik kimiawi. Bahkan ada yang memerlukan air bersih atau air yang keras atau lunak secara kimiawi, serta air yang bebas dari pencemaran. Hal ini penting dalam pelayanan industri pembuatan kertas, minuman dan tekstil. 5. Pemasaran Tujuan industri adalah memproduksi barang-barang untuk dijual sehingga pemasaran mempunyai kedudukan yang penting. Pemasaran tergantung pada luasnya pasar, kuatnya pasaran, dan taraf hidup para pelanggan. 6. Fasilitas transportasi Transportasi lewat darat, air atau udara amat diperlukan bagi industri. Hal ini bertalian dengan usaha untuk mendatangkan bahan mentah dan usaha untuk melempar produksi ke pasar. Kajian lokasi industri sebagaimana dikemukakan oleh McCann (2001) bertujuan untuk menemukan lokasi optimal (optimum location) bagi setiap pabrik atau industri, yaitu lokasi yang terbaik secara ekonomis. Keuntungan tertinggi akan diperoleh apabila biaya yang ditanggung paling rendah, namun diperoleh pendapatan yang tertinggi. Teori Weber menyatakan bahwa lokasi industri mengacu pada tempat yang biayanya paling minimal. Inilah prinsip dari least cost location, di mana untuk mendapatkan hal itu perlu dilakukan evaluasi pada beberapa prakondisi sebagai berikut: (1) wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim, dan penduduknya, (2) sumberdaya atau bahan mentah, (3) upah buruh, (4) biaya
32 transportasi yang tergantung dari bobot bahan mentah dan jarak antara terdapatnya sumberdaya (bahan mentah) dan lokasi pabrik, dan (5) terdapatnya kompetisi antarindustri. Masalah lokasi bisa muncul baik sebelum pendirian suatu perusahaan maupun setelah perusahaan berproduksi. Bisa saja suatu perusahaan yang sudah lama berproduksi mendadak harus pindah lokasi, sehubungan dengan perkembangan perusahaan, perubahan pasar, atau sumber penawaran bahan baku. Dengan demikian, dalam situasi persaingan yang melibatkan masalah biaya, maka penentuan lokasi industri menjadi faktor penting. Hal ini sesuai dengan dasar teori lokasi perusahaan, yaitu penentuan lokasi perusahaan pada titik geografis yang terbanyak memberi kesempatan pada peningkatan daya saing atau potensi pasar perusahaan. Tingkat persaingan dalam pasar dapat diketahui dari posisi suatu perusahaan dalam suatu industri. Struktur (structure) menentukan perilaku (conduct) dan pada gilirannya juga akan menentukan kualitas dari kinerja industri-industri. Struktur mengacu pada sifat industri yang mempengaruhi keadaan proses persaingan. Struktur mencakup ukuran dan distribusi ukuran perusahaan, penghalangpenghalang dan syarat-syarat masuk dalam industri, diferensiasi produk, struktur harga/biaya, dan aturan pemerintah. Struktur pasar bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan (conduct), misalnya kebijakan personalia, syarat-syarat kerja, dan berbagai faktor lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap alokasi sumber daya perusahaan tersebut dan produk-produk dihasilkannya. Perilaku (conduct) perusahaan dalam industri perlu mempertimbangkan faktor-faktor desain produk, diferensiasi produk, cara penetapan harga, aktivitas-aktivitas promosi penjualan, dan iklan. Kinerja merupakan suatu penilaian tentang pencapaian
33 ekonomi dari tujuan-tujuan yang telah direncanakan, misalnya efisiensi, pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan kesempatan kerja. 2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah diintrodusksi oleh para pencetusnya dapat diketengahkan beberapa di antaranya yang dianggap penting, yaitu Von Thunen pada tahun 1826, A. Weber pada tahun 1909, W. Christaller pada tahun 1933, A. Losch pada tahun 1944, F. Perroux pada tahun 1955, W. Isard pada tahun 1956, dan J. Friedmann pada tahun 1964. Von Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Lokasi berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan tanaman pangan, perkebunan, dan sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam pasar dan jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya. Menurut von Thunen, produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral (buyers concentrated, seller dispersed). Titik sentral pada umumnya merupakan kota, dan tidak terdapat perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semua pembeli membayar suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih di antara para produsen berbedabeda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model von Thunen ini termasuk dalam kategori satu unit pasar dan banyak unit produksi.
34 Jika terdapat kenaikan biaya transpor, maka harga barang akan naik, dan sebaliknya penurunan biaya transpor akan menurunkan harga pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan yang bertambah tersebut akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih jauh, yang berarti lebih banyak penjual yang melayani suatu pasar sehingga mengakibatkan meningkatnya permintaan. Meskipun model Von Thunen masih sangat sederhana, namun sumbangan pemikirannya bagi pengembangan wilayah cukup penting yaitu mengenai penentuan kawasan (zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha (pertanian). Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah mendapat perhatian utama dalam pemikiran Alfred Weber. Ia menekankan pentingnya biaya transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua kekuatan lokasional primer, yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah mengembangkan pula dasardasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek, di antaranya yaitu penentuan lokasi yang optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri). Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat paling besar, sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun dalam tata ruang geografis, dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang
35 lebih luas dibandingkan pusat-pusat yang kecil; sedangkan secara vertikal, model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller, seluruh wilayah perdagangan dapat dilayani, sedangkan dalam kenyataannya sebagian dari wilayah-wilayah tersebut tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografis. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusatpusat kota (wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis, agar teori tempat sentral dapat menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang diformulasikan oleh Perroux. Sumbangan positif teori tempat sentral karena teori tersebut relevan bagi perencanaan dan pengembangan wilayah yaitu sistem herarki pusat merupakan sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana, jaringan wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi merupakan unsur pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada umumnya ditetapkan pada pusat-pusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat
36 urban. Perusahaan-perusahaan akan memilih lokasinya pada suatu tempat dimana terdapat permintaan maksimum. Menurut Fujita et al. (1999), ada tiga arus pemikiran teori lokasi yaitu arus pertama dari analisis von Thunen mengenai land rent dan land use. Arus kedua, berhubungan dengan Alfred Weber dan pengikutnya, memfokuskan pada permasalahan lokasi optimal pabrik. Arus ketiga teori lokasi pusat dari Christaller dan Losch menawarkan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana ekonomi skala dan biaya transportasi berinteraksi dalam menghasilkan ekonomi spasial. Berdasar struktur herarkis tempat sentral yang telah ditunjukkan oleh Christaller di atas, Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban tingkat nasional (metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri. Selanjutnya Isard mengembangkan gejala locational economies (penghematan lokasi), dan urbanization economies (penghematan urbanisasi) sebagai akibat dari pengaruh lokasi. Urutan besarnya peranan kota-kota dapat ditentukan dengan cara meranking pusat-pusat yang bersangkutan (rank size rule) menurut jumlah penduduknya. Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux, suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry dalam bahasa Inggris atau industries clef dalam bahasa Perancis) yang memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan inovasi. Suatu kutub pertumbuhan dapat merupakan pula suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Industri kunci adalah industri yang mempunyai dampak berantai ke depan (forward linkage) yang kuat. Istilah industri pendorong dan industri kunci agar digunakan secara tepat. Industri pendorong adalah yang mempunyai pengaruh penting terhadap kegiatan-
37 kegiatan pada industri-industri lainnya, baik sebagai pensuplai atau langganan untuk barang-barang atau jasa-jasa, sedangkan industri kunci adalah industri yang menentukan peningkatan aktivitas maksimum (Richardson, 1977). Konsep kutub pertumbuhan merupakan suatu konsep yang sangat menarik bagi para perencanaan wilayah. Persoalan utama yang dihadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri kunci atau industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika perturnbuhan. Dalam kasus suatu kompleks
industri
yang
harus
diperhatikan
yaitu
mengidentifikasikan
ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan proses pemindahan perturnbuhan, serta dimensi lokasional dan geografis dari kegiatankegiatan tersebut. Pemilihan industri yang menonjol yang ditetapkan di kutub perturnbuhan pada umumnya merupakan industri terberat atau terbesar yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini tidak hanya menyangkut pengertian dampak berantai ke belakang dan ke depan, tetapi berkaitan pula dengan jaringan ketergantungan secara teknik dan ekonomi. Di daerah-daerah non industri banyak mengalami gejala-gejala bahwa industri-industri yang dianggap menonjol tidak memiliki ciri-ciri sebagaimana dinyatakan dalam konsep di atas karena keterbatasan skala teknik dan ekonominya, sehingga penerapan kriteria pemilihan industri-industri tersebut tergantung pada kondisi setempat, artinya bersifat relatif. Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada aglomerasi. Dinyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala tempat, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Perroux lebih memberikan tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap industri pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk menunjang pembangunan selanjutnya.
38 Dimensi geografis telah dimasukkan dalam pengaruh kutub pengembangan. Antara kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat, satu sama lain saling melengkapi seperti dikemukakan Isard (1956). Friedmann (1964) meninjau dari ruang lingkup yang luas dengan menampilkan teori core region (wilayah inti). Wilayah inti dikaitkan dengan fungsinya yang dominan terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah inti disebut wilayah-wilayah pinggiran (periphery regions). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam, yaitu biaya transportasi yang terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi ataupun daya tarik lainnya berupa penghematan-penghematan lokasional dan penghematan-penghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah dimasukkan sebagai variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan. 2.7. Skala Pengembalian Skala pengembalian (returns to scale) menunjukkan hubungan perubahan input secara bersama-sama (dalam persentase) terhadap perubahan output. Menurut Nicholson (2000), skala pengembalian merupakan suatu keadaan di mana output meningkat sebagai respon adanya kenaikan proporsional dari seluruh input. Berkaitan dengan efek skala, skala pengembalian dibedakan menjadi tiga macam yaitu skala pengembalian konstan (constant returns to scale), skala pengembalian menurun (decreasing returns to scale), dan skala pengembalian meningkat (increasing returns to scale).
39 Sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukkan skala pengembalian konstan (constant returns to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Jika penggandaan seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukkan skala pengembalian menurun (decreasing returns to scale). Jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing returns to scale). Menurut Sugiarto et al. (2002), spesialisasi pekerja dan teknologi skala besar sering disebut sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi baik increasing returns to scale maupun decreasing returns to scale. Sebagai ilustrasi, pekerja spesialis biasanya memiliki kinerja yang membaik dengan bertambahnya waktu dan pengalaman. Tetapi bila mereka secara terus menerus menggeluti pekerjaan tersebut, kemungkinan timbul kejenuhan yang pada akhirnya menurunkan kinerja. Teknologi skala besar terkait dengan economic of scale. Sampai pada tingkat produksi tertentu di mana kapasitas maksimal faktor produksi belum terlampaui, produksi masih bisa dioptimalkan. Namun apabila kapasitas optimal faktor produksi telah terlampaui, penambahan produksi walaupun sangat kecil akan berdampak pada peningkatan biaya produksi. Secara umum increasing returns to scale muncul pada saat skala operasi perusahaan masih kecil hingga sedang, diikuti munculnya kondisi constant returns to scale dan selanjutnya muncul kondisi decreasing returns to scale saat skala operasi perusahaan sudah besar. Gambar 3 mengilustrasikan keadaan tersebut, yaitu dari titik A ke titik D berlaku kondisi increasing return to scale, dari titik D ke titik F berlaku kondisi constant return to scale dan di atas F berlaku kondisi decreasing returns to scale.
40
Gambar 3. Skala Pengembalian
2.8. Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian Kerangka analisis dengan model I-O telah diterapkan secara luas oleh para peneliti sebelumnya untuk mengungkapkan
berbagai aspek ekonomi regional.
Beberapa peneliti seperti Sumartono (1985), Sarkaniputra (1986), dan Sastrowiharjo (1989) menggunakan kerangka analisis input output tersebut. Sumartono (1985), dalam studinya menggunakan Tabel I-O Indonesia tahun 1980 mengungkapkan keterkaitan dan ketergantungan sektor pertanian dalam struktur perekonomian di Indonesia. Studinya menemukan bahwa keterkaitan langsung sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian masih relatif lemah, yang ditunjukkan oleh koefisien keterkaitan langsung ke depan sebesar 0.44 dan koefisien keterkaitan ke belakang sebesar 0.34. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa output sektor pertanian belum banyak digunakan oleh sektor lain, sebaliknya sektor pertanian belum banyak menggunakan output sektor lain. Temuan ini menunjukkan bahwa keadaan struktur ekonomi Indonesia pada tahun 1980 belum menggambarkan
41 keadaan ekonomi yang seimbang antara sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian. Sarkaniputra (1986), menggunakan model I-O sebagai kerangka strategi pembangunan pertanian. Dari hasil studinya dirumuskan strategi pembangunan pertanian, antara lain (1) kebijakan yang berorientasi pada perluasan lapangan kerja di sektor agribisnis yang disertai dengan perbaikan penghasilan melalui sistem bagi hasil, (2) kebijakan yang berorientasi pada pembangunan organisasi yang ditujukan untuk memperkuat institusi sosial yang telah ada, pengaturan kapasitas pemilikan tanah, besar sewa dan bagi hasil, pembangunan agraria, dan pengaturan kegiatan produksi, serta (3) kebijakan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi di daerah pedesaan. Sastrowiharjo
(1989),
menggunakan
model
I-O
untuk
mengetahui
pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Provinsi Jambi. Dan hasil studinya ditemukan bahwa proses pertumbuhan perekonomian Provinsi Jambi ditentukan oleh pertumbuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah rutin, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan, investasi swasta, stok dan ekspor. Dalam jangka pendek, pertumbuhan permintaan akhir untuk setiap komoditi bersifat independen, artinya tidak ditentukan oleh sistem produksi itu sendiri, tetapi oleh faktor-faktor lain. Temuan lainnya yaitu struktur perekonomian provinsi Jambi pada tahun 1984 mengalami perubahan yang jelas, di mana kelompok sektor pertanian yang pada tahun 1978 memberikan sumbangan PDRB sebesar 53.46% turun menjadi sebesar 44.46% tahun 1984. 2.9. Studi Terdahulu Aglomerasi Industri Penelitian tentang aglomerasi industri dengan pendekatan ekonomi belum banyak dilakukan oleh peneliti. Dari beberapa penelitian tersebut terdapat penelitian
42 menggunakan metode ekonomi geografi, metode ekonometrika/ OLS (lihat Tabel 2), metode Input-Output (lihat Tabel 3), dan metode indeks (lihat Tabel 4). Penelitian aglomerasi dengan pendekatan ekonomi geografi dimulai dengan Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri atau aglomerasi beradasarkan studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal, peranan pemerintah lokal daerah, dan peranan asosiasi, maka pola klaster dibedakan menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik Satelit, dan Distrik State-anchored. Tabel 2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS Peneliti Kim (1995)
Kuncoro (2000)
Variabel Dependen Lokalisasi Regional
Variabel Penjelas Intensitas sumberdaya, skala ekonomis, variabel boneka industri dan variable boneka waktu
Indeks Spesialisasi Industri Manufaktur
Intensitas sumberdaya, kandungan impor, biaya tenaga kerja, skala ekonomis, orientasi ekspor, investasi asing langsung, indeks persaingan, umur, dan pendapatan per kapita
Kesimpulan Perubahan dalam penggunaan sumberdaya dan skala ekonomi, secara signifikan menjelaskan kecenderungan lokalisasi regional di Amerika Serikat Variabel-variabel yang signifikan antara lain skala ekonomis, kandungan impor, biaya tenaga kerja, orientasi ekspor, investasi asing, indeks persaingan, dan umur mempengaruhi spesialisasi regional secara signifikan. Pendapatan regional per kapita sebagai variable spesifik regional juga mampu menjelaskan spesialisasi regional dengan baik
43 Tabel 2. Lanjutan Peneliti Somik et al. (2004)
Variabel Dependen Output Industri
Subana (2005)
Produk Domestik Bruto (PDRB) kabupaten
Doriza (2005)
Output
Variabel Penjelas Kapital, Labor, Energi, Material, penghematan akibat lokal dan penghematan akibat urbanisasi Proksi investasi (modal), angkatan kerja, proksi aglomerasi tenaga kerja Kapital, Labor, Energi, Material, penghematan akibat lokal, dan penghematan akibat urban
Kesimpulan Semua variabel memiliki efek positif terhadap output industri
Proksi investasi (modal) dan urbanisasi tenaga kerja berpengaruh positif tenaga kerja Semua variabel memiliki efek positif terhadap output industri
Kuncoro (2000) menganalisis dinamika dan kekuatan aglomerasi industri di Jawa tahun 1976-1995 dengan metode ekonometrika yang menggunakan data panel dan regresi berganda OLS (ordinary least squre). Variabel penelitian yang digunakan adalah Indeks Spesialisasi Industri Manufaktur sebagai variabel dependen. Variabel penjelasnya adalah intensitas sumberdaya, kandungan impor, biaya tenaga kerja, skala ekonomis, orientasi ekspor, investasi asing langsung, indeks persaingan, umur, dan pendapatan per kapita. Wahyudin (2004) meneliti lokasi dan konsentrasi spasial industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekpor pada tingkat kabupaten/kota. Penelitian tersebut menggunakan analisis statistik deskriptif, indeks entropi theil guna mengamati konsentrasi dan dispersi. Hamzah (1997) meneliti pergerakan faktor produksi pada aglomerasi industri dengan model Cobb-Douglas yang menunjukkan bahwa perpindahan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, investasi, dan inovasi mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan Harmidi (2001) menganalisis aglomerasi
44 industri manufaktur besar dan sedang di DKI Jakarta menggunakan model linier OLS dan panel data Tahun 1975-1998. Tabel 3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Analisis Input-Output No.
Peneliti
Model
Implikasi Wilayah-wilayah industri yang beraglomerasi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup besar dibandingkan wilayah lain Industri yang beraglomerasi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup besar dibandingkan wilayah lain Wilayah yang lebih besar kekuatan aglomerasinya mempunyai indeks aglomerasi yang lebih dibandingkan daerah lain Wilayah dalam klaster mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang lebih besar dibandingkan wilayah lain
1.
Okamoto (2004a)
Multi-regional Input-output untuk China (CMRIO) untuk analisa aglomerasi dan keterkaitan intra dan inter regional China
2.
Okamoto (2004b)
Tabel Input-Output untuk analisis aglomerasi dan daya saing industri di Malaysia
3.
Kuncoro (2005)
Tabel Input-Output untuk masing-masing daerah yang diperbandingkan eksternalitas aglomerasinya
4.
Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota (2005)
Tabel Input-Output dipergunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan klaster industri
Penelitian aglomerasi menggunakan metode input-output dilakukan oleh. Okamoto (2004a) dan Okamoto (2004b). Okamoto (2004a) mengalisis aglomerasi industri di China guna melihat keterkaitan intra dan inter regional (lihat Tabel 3). Sedangkan Okamoto (2004b) mengunakan model input-output untuk menganalisis aglomerasi dan daya saing internasional produk industri Malaysia. Indikator yang digunakan Okamoto (2004a) dalam menganalisis aglomerasi adalah besarnya keterkaitan setiap industri. Industri yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar akan cenderung beraglomerasi. Penelitian klaster industri dilakukan oleh Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota (2005) di Negara Bagian Minnesota. Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan Markusen (1996) dalam menganalisis pola
45 klasternya, sedangkan keterkaitan klaster indutri menggunakan input-output dan jaringan klaster dalam pembangunan ekonomi menggunakan pendekatan Porter (1998). Beberapa peneliti aglomerasi yang menggunakan sejumlah indeks adalah Ellison and Glaeser (1999); Lafourcade and Mion (2003). Adapun indeks-indeks yang digunakan antara lain Indeks Gini Lokasional, Indeks Ellison dan Glaeser, dan Location Quotient (lihat Tabel 4). Tabel 4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks No.
Peneliti
Indeks
1.
Ellison and Glaeser (1999)
Indeks Gini Lokasional, Indeks Ellison dan Glaeser
2.
Lafourcade and Mion (2003)
Location Quotient (LQ)
Implikasi Industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural advantage dan knowledge spillover (disebut juga MarshalArrow-Romer atau MAR eksternalitas). Spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat