II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian organik Metode pertanian organik merupakan metode pertanian yang berkembang seiring semakin sadarnya masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian, masyarakat pun cenderung lebih memilih produk pangan yang aman dan ramah lingkungan. Back to Nature adalah slogan yang menjadi trend pola hidup dengan pangan dari produk pertanian yang sehat dan bergizi tinggi dan mulai mengurangi produk pertanian yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi pertanian yang holistik (keseluruhan) dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup berkualitas serta berkelanjutan6. Menurut Sutanto (2002), pengertian pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan tanah dan struktur tanah. Dapat dikatakan bahwa pertanian organik ialah suatu sistem pertanian yang mengupayakan kembalinya semua jenis bahan organik ke dalam tanah, sehingga mendukung siklus biologi dan aktivitas biologi tanah guna memperbaiki struktur tanah agar kesuburan tanah meningkat tanpa menggunakan bahan-bahan yang mengandung kimia sintetis dan tidak merusak lingkungan pada proses produksinya. Secara teknis pertanian organik dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu7 (1) Lahan yang digunakan pertanian ini harus bebas dari cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida, (2) Menghindari benih atau bibit hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Organism-GMO), (3) Menghindari 6 Goenadi, Didiek H. 2003. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi Agribisnis yang Berkelanjutan. http://www.ipord.com/art_perkebunan/dhg1.asp. Diakses 31 Maret 2010. 7 Sistem Informasi Pertanian Organik.. Komponen Pendukung Pertanian Organik. http://pramukaipb.org/organik/detailberita.php?rewardID=69. Diakses 31 Maret 2010.
27
penggunaan pupuk kimia sintetis dan zat pengatur tumbuh, (4) Peningkatan kesuburan tanah dilakukan secara alami melalui penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legume, (5) Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis, (6) Pengendalian hama, penyakit dan gulma dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman dan (7) Penanganan pasca panen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami. Pertanian organik tidak hanya dipengaruhi komponen tersebut diatas, pertanian ini dilandasi oleh empat prinsip dalam penerapannya.
Prinsip ini
merupakan dasar yang dijadikan panduan dan standar pertanian organik. Adapun prinsip pertanian organik tersebut ialah sebagai berikut8: 1.
Prinsip kesehatan Prinsip
kesehatan
yaitu
pertanian
organik
harus melestarikan
dan
meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. 2.
Prinsip ekologi Prinsip ekologi yaitu pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan, yaitu bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan.
3.
Prinsip keadilan Prinsip keadilan yaitu pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
4.
Prinsip perlindungan Prinsip perlindungan yaitu pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.
8
IFOAM. Prinsip-Prinsip Pertanian Organik. ifoam/pdfs/POA_folder_indonesian pdf. Diakses 31 Maret 2010.
http://www.ifoam.org/about-
28 12
2.2. Tujuan dan Kegunaan Budi Daya Organik Sutanto (2002) membagi tujuan budi daya organik dalam tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Adapun tujuan dari pertanian organik dalam jangka panjang adalah sebagai berikut: 1.
Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman di dalam bidang pertanian.
2.
Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan akibat residu pestisida dan pupuk serta bahan kimia pertanian lainnya.
3.
Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan (input) kimia yang berharga mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.
4.
Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk dan bahan kimia lainnya.
5.
Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki secara turun temurun.
6.
Meningkatkan peluang pasar organik, baik domestik maupun global dengan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha bidang pertanian. Adapun tujuan jangka pendek dari pertanian organik adalah:
1.
Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu kimia untuk ikut menyehatkan masyarakat.
2.
Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehinga mampu berproduksi secara berkelanjutan.
3.
Mempertahankan dan meningkatkan minat petani pada pertanian organik serta mengembangkan agribisnis dengan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha pertanian. Budidaya organik memiliki kegunaan yang pada dasarnya ialah
meniadakan atau membatasi kemungkinan adanya dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan bahan kimiawi. Pupuk organik merupakan keluaran dari setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan telah tersedia dengan sendirinya. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan berbagai macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan 29 13
sekaligus
mengkonservasikan
serta
menyehatkan
ekosistem
tanah
dan
menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkngan (Sutanto, 2002). Pupuk organik dapat berasal dari sekitar lingkungan usahatani seperti kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah serta limbah agroindustri. Kotoran hewan dapat digunakan sebagai pupuk kandang baik dari hewan ternak besar atau ternak kecil, bahan tanaman dapat berasal dari rerumputan, semak, perdu dan pohon, adapun limbah pertanaman dapat berasal dari jerami padi, batang jagung, sekam dan lain sebagainya. Tanah yang dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur tanah yang baik sehingga tanah tersebut mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organiknya rendah. Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik diantara bahan pembenah lainnya. pada umunya nilai pupuk yang terkandung pada pupuk organik terutama unsur makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) rendah, oleh karena itu kebutuhan pupuk organik haruslah dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi pupuk organik juga mengandung unsur mikro esensial yang lainnya. Selain sebagai pembenah tanah, pupuk organik juga membantu dalam mencegah terjadinya erosi dan retakan tanah. 2.3. Konsep Pertanian Ekologis dan Berkelanjutan Konsep pertanian ekologis secara umum dapat dikatakan sebagai kegiatan usaha pertanian yang tidak memberikan pengaruh negatif serta tidak merusak lingkungan. Lingkungan disini dapat dibagi dua yaitu lingkungan secara mikro dan makro, lingkungan mikro ialah mencakup wilayah di dalam areal usahatani termasuk di dalamnya keseimbangan ekobiologis, kelestarian keanekaragaman biota di permukaan dan mikro organisme yang terdapat di dalam lapisan tanah, tidak terakumulasinya limbah serta residu beracun, terjadinya kohabitasi antara serangan hama dan patogen penyakit dengan parasit, predator, kompetitor dalam keadaan seimbang (Sumarno, et al. 2008) Maka pertanian dengan ciri ekologis dan ramah lingkungan merupakan usaha pertanian yang terintregasi dengan pengelolaan lingkungan produksi dan menerapkan
teknologi
maju
adaptif
yang
ramah
lingkungan
sehingga
mengoptimalkan produktivitas tanpa harus menurunkan kualitas lingkungan. 30 14
Lingkungan di dalam pertanian ekologis didalamnya termasuk tenaga kerja sebagai pelaku usaha, produksi hasil panen, ternak dan satwa komponen habitat. Sedangkan pertanian berkelanjutan merupakan sistem produksi pertanian yang secara terus menerus mampu mencukupi kebutuhan akan pangan serta pakan dengan syarat tidak merusak sumberdaya alam pertanian bagi generasi yang akan datang. Menurut Sumarno, et al. 2008, terdapat empat kepentingan pokok yang perlu dipenuhi dalam pertanian berkelanjutan ialah: (1) tercukupinya kebutuhan pangan dan pakan untuk saat ini dan saat yang akan datang, (2) kelayakan ekonomi usaha pertanian saat ini dan masa mendatang, (3) kelestarian serta mutu lingkungan dan sumberdaya alam serta (4) kelestarian akan keanekaragaman hayati. Konsep pertanian ekologis dan berkelanjutan merupakan harapan yang harus dapat direalisasikan agar dapat memperbaiki keseimbangan antara usaha peningkatan produksi dengan lingkungan produksi. 2.4. Pengertian Budidaya Padi SRI SRI pertama kali dikembangkan pada awal tahun 1980 oleh French priest dan Fr. Henri de Laulanie, S.J di Madagascar. SRI mulai dikenal oleh beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia pada tahun 1997 yang diperkenalkan oleh seorang yang ahli yaitu Norman Uphoff (Direktur dari Cornell International Institute for Food, Agricultural and Development) dan pada tahun 1999 dilakukan percobaan SRI untuk pertama kalinya di luar Madagascar. Pada dasarnya teknologi SRI memperlakukan tanaman padi tidak seperti tanaman air yang membutuhkan air yang cukup banyak, karena jika penggenangan air yang cukup banyak maka akan berdampak tidak baik yaitu akan hancurnya bahkan matinya jaringan kompleks (cortex, xylem dan phloem) pada akar tanaman padi, hal ini akan berpengaruh kepada aktivitas akar dalam mengambil nutrisi di dalam tanah lebih sedikit, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terhambat dan mengakibatkan kemampuan kapasitas produksi akan lebih rendah. Akibat yang ditimbulkan dari penggenangan air tersebut maka budidaya padi SRI dapat diartikan sebagai upaya budidaya tanaman padi yang memperhatikan semua komponen yang ada di ekosistem baik itu tanah, tanaman, mikro organisme, makro organisme, udara, sinar matahari dan air sehingga 31 15
memberikan produktivitas yang tinggi serta menghindari berbagai pengaruh negatif bagi kehidupan komponen tersebut dan memperkuat dukungan untuk terjadinya aliran energi dan siklus nutrisi secara alami. 2.5. Keragaan SRI di Jawa Barat Penerapan SRI pertama kali dikaji oleh sekelompok petani yang tergabung dalam Kelompok Studi Petani (KSP) di Kabupaten Ciamis pada tahun 2001 yang kemudian oleh dukungan pemerintah daerah setempat mulai dikembangkan di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Tasikmalaya. Dukungan program pemerintah Jawa Barat melalui P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) yang menitik beratkan kepada efisiensi penggunaan air irigasi juga diterapkan di berbagai Kabupaten yaitu Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang dan Subang. Dukungan lainnya dari pemerintah Jawa Barat ialah penyedia lahan garapan, kajian sekolah lapang pertanian ramah lingkungan dan laboratorium petani untuk mendukung Mikro Organisme Lokal (MOL) yang akan digunakan sebagai dekomposer atau pupuk cair organik (Kuswara, 2003, diacu dalam Anugrah, 2008 ). Penggunaan MOL ini hanya dilakukan di Jawa Barat sehingga metode ini disebut SRI Jabar sedangkan SRI diluar Jabar mengaplikasikan SRI dengan pupuk anorganik dan pestisida. 2.6. Prinsip Dasar Penerapan SRI 2.6.1. Kesehatan Tanah Menjaga kestabilan dan kesehatan tanah baik itu menjaga sifat-sifat tanah dan produktivitas dari tanah itu sendiri dapat dilakukan dengan menambahkan bahan organik, bahan organik tersebut selain jerami membutuhkan sebanyak 5-7 ton/ha. Bahan organik ini dapat berupa sampah dari sisa-sisa tanaman, limbah dapur, kotoran hewan, hijauan, kompos, limbah organik dan bahan lainnya yang bisa terdekomposisi. Bahan-bahan organik dapat dibuat sendiri oleh petani dengan cara mengumpulkan bahan organik tersebut, dikarenakan jumlah yang dibutuhkan banyak maka petani dapat mengumpulkannya dengan cara sedikit demi sedikit atau di cicil agar masalah persedian bahan organik dapat dipecahkan, selain membuat lingkungan menjadi bersih, ketergantungan terhadap pihak luar dapat dikurangi. 32 16
Fungsi dan peranan bahan organik selain memperbaiki sifat fisik tanah yaitu mampu mengikat air, mempertahankan air di dalam tanah, memperlancar aerasi tanah, memudahkan air meresap dari permukaan tanah, tanah dapat menyerap mineral yang ada di dalam tanah serta mendukung kehidupan mikro dan makro organisme di dalam tanah, dengan adanya bahan organik maka aliran energi atau siklus nutrisi lebih lancar sehingga nutrisi bagi tanaman akan selalu tersedia. Bahan organik tersebut diberikan pada pengolahan tanah dan dikondisikan aliran air, maka biarkan tanah dalam kondisi lembab (tidak tergenang) selama 7-10 hari sambil menunggu persemaian siap ditanam. 2.6.2. Pemilihan Benih Benih yang digunakan untuk penanaman padi dengan sistem SRI dapat menggunakan benih jenis dan varietas apa pun, dengan syarat benih yang akan di semaikan diharapkan dapat tumbuh semuanya, selain dinantikan selama empat bulan bisa menghasilkan dan juga mengurangi resiko penyulaman jika benih tersebut tidak dapat tumbuh. Oleh karena itu benih yang akan dipilih harus merupakan benih padi unggul dan bersertifikat yang sudah terjamin mutu dan kualitasnya karena telah melalui serangkaian proses pemeriksaan dan pengujian dari pihak terkait yang berwenang. Pengujian secara sederhana yang dapat dilakukan oleh petani juga dapat dilakukan dengan memasukan benih padi ke dalam larutan garam, maka benih yang terapung ialah benih yang hampa sedangkan benih yang digunakan untuk persemaian ialah benih yang tenggelam. Cara tersebut merupakan cara yang mudah dan dapat dilakukan oleh petani. 2.6.3. Kebutuhan Benih dan Menyemai Benih Benih yang dibutuhkan dengan sistem SRI ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan konvensional, benih yang diperlukan dengan SRI sebanyak 5-7 kg/ha sedangkan konvensional memerlukan benih sebanyak 30-40 kg/ha. Benih padi pada media tanah yang gembur, baik tekstur dan strukturnya agar proses perakaran lebih kondusif. Persemaian dilakukan dengan cara menanam benih padi pada media tanah yang dicampur dengan kompos dengan komposisi masing-masing 1:1, benih sebelum disemai dapat direndam terlebih 3317
dahulu selama semalam untuk merangsang kecambah atau dapat langsung di sebar pada media semai, pemeliharaan persemaian dilakukan dengan menyiram agar tetap lembab, benih yang ditanam berumur tujuh hari atau di bawah 12 hari, dihitung tumbuh dari kecambah. Benih muda yang ditanam diharapkan dapat tumbuh tunas lebih awal dan akan tumbuh banyak tunas primer sebagai tunas yang produktif, selain itu pembentukannya akan lebih cepat. 2.6.4. Model Tanam SRI Benih padi ditanam pada petakan yang di sekelilingnya dibuat parit atau saluran air dengan jarak tanam minimal 27 x 27 cm atau 30 x 30 cm dan 35 x 35 cm, diharapkan kedalaman tanah lapisan olah berkisar antara 25 hingga 30 cm, hal ini dilakukan agar perakaran lebih baik dan pergerakannya dapat maksimal dalam pengambilan nutrisi sedangkan jarak tanam yang lebar dimaksudkan untuk member kesempatan pada tanaman terutama pada pembentukan anakan, pertumbuhan akar dan jalannya sinar matahari yang masuk kedalamnya. Benih padi yang ditanam jumlahnya satu atau satu tunas, hal ini dilakukan dengan alasan agar tumbuh anakan lebih banyak dan tumbuh kuat serta besar, Hal tersebut dapat menjaga kondisi tanah terhindar dari asam (pH rendah) karena tunas yang banyak, sehingga akar pun mendominasi di dalam tanah. Dengan demikian penyerapan nutrisi dari tanah yang mengeluarkan H+ merespon tanah menjadi asam. Benih (tunas) dari persemaian di cabut dan langsung di tanam, waktu yang dibutuhkan dari cabut sampai tanam haruslah tidak lebih dari 15 menit. Hal ini dilakukan untuk menjaga aktivitas proses membangun energi dan penumbuhan nutrisi di dalam tanaman agar tidak terhenti, bulir dalam benih tetap dipertahankan dan kondisi akar pada posisi horizontal sehingga membentuk huruf L. Dengan demikian, diharapkan akar tanaman langsung tumbuh dan nutrisi pada bulir tetap efektif yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman tersebut. Benih ditanam dangkal antara 0,5–1 cm hingga bagian bulir terbenam, hindari kondisi air yang menggenang cukup basah atau lembab. Hal ini dikarenakan ketika tanaman ditanam dangkal, jika air terlalu banyak hingga menggenang maka akan timbul resiko kematian atau busuk akar, jika ditanam terlalu dalam akan terjadi pembusukan akar di ruas pertama. Pembentukan ruas 34 18
atau buku pada tanaman muda yang ditanam akan menentukan jumlah anakan dan produktivitas tanaman. 2.6.5. Pemeliharaan pada Tanaman Fase Vegetatif Pemeliharaan yang dilakukan pada tanaman padi ketika memasuki fase vegetatif diarahkan kepada penyulaman yang dilakukan ketika ada gangguan serangan hama seperti belalang, penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur tujuh sampai 10 hari, penyiangan dilakukan dengan tujuan menghilangkan rumput (gulma) sekaligus memberikan dukungan pada kondisi pertukaran dan perputaran udara agar tetap lancar, penyiangan berikutnya dilakukan maksimal setiap 10 kali sehari atau tergantung pada kondisi lahan di lapangan yang minimal sebanyak empat kali penyiangan. Penambahan cairan MOL (Mikro Organisme Lokal) diarahkan untuk memperbaiki kondisi tanaman maupun tanah, hal ini dimaksudkan untuk menambah unsur yang dibutuhkan tanaman pada saat nutrisi pada tanah sangat terbatas, pemberian MOL dilakukan pada tanaman setelah berumur tujuh sampai 10 hari, berikutnya dilakukan selang 10 hari sekali hingga empat sampai enam kali aplikasi. Kondisi air tetap dalam keadaan basah (tidak menggenang), kecuali pada saat mau menyiangi sebelumnya digenangi terlebih dahulu, tujuannya untuk memudahkan penyiangan karena tanah lebih berstruktur. 2.6.6. Pemeliharaan pada Tanaman Fase Generatif Tanaman menjelang umur generatif yaitu pada anakan maksimal (umur 45-50 hari kondisi air dikeringkan, sehingga bagian tanah kering atau bahkan sampai kelihatan sedikit retak selama 10 hari. Hal dimaksudkan untuk menjaga tunas atau anakan tidak terus menerus tumbuh, menghindari tumbuhnya tunas yang tidak produktif, menjaga tanaman agar tidak tumbuh terlalu tinggi yang berdampak pada habisnya nutrisi sehingga memperlambat pertumbuhan bulir serta menjaga dan mempertahankan agar tunas yang tumbuh mempunyai kemampuan untuk tumbuh malai dan bulir seluruhnya. Setelah 10 hari dikeringkan, tanah diberi air kembali sehingga tanah dalam kondisi yang lembab atau basah, hal ini nutrisi akan masuk ke dalam tanaman melalui akar yang dibantu oleh air. Melalui proses fotosintesis dan metabolisme 3519
maka tanaman akan lebih cepat merespon semua nutrisi. Pemberian MOL pada fase ini sangat menentukan, sehingga pengaplikasian MOL dilakukan kembali. Kondisi air seminggu sebelum panen, ketika terlihat bulir mulai bernas dan kuning dikeringkan guna menjaga agar tidak tumbuh tunas tersier yang akan mengganggu pemasakan bulir. 2.6.7. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Padi (Hama/Penyakit) Pengendalian organisme pengganggu tanaman padi adalah upaya mengendalikan berbagai unsur-unsur ekosistem padi sawah, hal ini dilakukan lingkungan secara alami yang akan memberi dukungan terhadap tumbuhnya tanaman dan keberadaan keanekaragaman hayati lainya, sehingga diharapkan kehidupan serangga tidak berubah status menjadi hama. Pengendalian organisme yang merusak dan merugikan lainnya dilakukan dengan cara pengendalian hama terpadu yang lebih mengutamakan secara biologis dan
menghindari
praktek-praktek
pengendalian
yang
akan
merusak
agroekosistem. Pengendalian OPT ini dapat diaplikasikan melalui pemggunaan pestisida nabati yang terbuat dari bahan-bahan alami. 2.7. Manfaat SRI Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut9: 1.
Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30 persen dari kebutuhan air untuk cara konvensional.
2.
memulihkan
kesehatan
dan
kesuburan
tanah,
serta
mewujudkan
keseimbangan ekologi tanah. 3.
Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka.
4.
membuka lapangan kerja di pedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani.
9
Mutkin, Jenal. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification). http://www.garutkab.go.id/download_files/article/ARTIKEL SRI.pdf. Diakses 31 Maret 2010.
3620
5.
menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia.
6.
mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang.
2.8. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Penelitian tentang analisis pendapatan dan persepsi petani padi yang menerapkan metode SRI (System Rice Intensification) di Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat belum pernah dilakukan sebelumnya. Deskripsi tentang studi terdahulu yang dapat diperoleh penulis tentang topik yang berkaitan dengan penelitian, adalah penelitian yang dilakukan oleh Fitriadi (2005) penelitian mengenai analisis pendapatan dan margin pemasaran padi ramah lingkungan dan padi konvensional (Kasus di Desa Sukagalih, Kecamatan Sukaharja, Kabupaten Tasikmalaya) dengan menggunakan alat analisis pendapatan usahatani, R/C Rasio (R/C) analisis margin dan analisis chi-square. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat pendapatan usahatani padi ramah lingkungan dan konvensional, menganalisis saluran dan struktur pasar padi ramah lingkungan, menganalisis marjin pemasaran pada saluran pasar padi ramah lingkungan dan mengkaji persepsi petani dan karakteristik individu yang berkaitan dengan persepsi terhadap keberadaan padi ramah lingkungan metode SRI. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa R/C rasio yang diperoleh atas biaya total menunjukkan bahwa petani padi ramah lingkungan memiliki R/C lebih besar dibandingkan dengan petani konvensional. R/C rasio yang diperoleh oleh petani pemilik sebesar 3,39, sedangkan untuk petani penyakap R/C rasionya 1,16 dan untuk petani konvensional R/C rasionya untuk petani pemilik sebesar 1,86, sedangkan untuk penyakap R/C rasionya 1,23. Untuk lembaga-lembaga pemasaran yang terdapat dalam saluran pemasaran padi ramah lingkungan metode SRI adalah petani, Pedagang Pengumpul Tingkat Daerah (PPTD), Pedagang Besar Luar Daerah (PBLD) dan pengecer serta terdapat empat saluran pemasaran padi ramah lingkungan, yaitu : 1) Saluran 1 yaitu petani, PPTD dan konsumen dengan marjin sebesar 55,56 persen, 2) Saluran 2 yaitu petani, PPTD, pedagang pengecer dan konsumen, dengan marjin yang melalui took adalah 64,29 persen sedangkan untuk pemasaran yang melalui swalayan adalah 37 21
62, 96 persen, 3) Saluran 3 yaitu petani, PPTD, PBLD dan konsumen dengan marjin pemasarannya adalah 64,29 persen dan 4) Saluran 4 yaitu petani, PPTD, PBLD, pengecer dan konsumen, besar marjin pemasarannya yang melalui toko adalah 69,70 persen dan yang melalui swalayan sebesar 67,74 persen. Persepsi petani mengenai manfaat, keuntungan dan kemudahan yang dirasakan dengan adanya metode SRI berdasarkan hasil chi-square menunjukkan karakteristik umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan lama bertani tidak ada hubungannya dengan manfaat yang dirasakan oleh petani, sedangkan untuk jumlah tanggungan keluarga dan status penguasaan lahan ada hubungannya dengan manfaat yang dirasakan. Persepsi mengenai keuntungan yang dirasakan menunjukkan bahwa karakteristik umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan status penguasaan lahan tidak ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakan oleh petani, sedangkan untuk tingkat pendapatan dan lama bertani ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakan. Persepsi mengenai kemudahan yang dirasakan menunjukkan karakteristik umur, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakan oleh petani, sedangkan untuk tingkat pendapatan, status penguasaan lahan dan lama bertani ada hubungannya dengan keuntungan yang dirasakan oleh petani padi ramah lingkungan. Penelitian yang dilakukann Astuti (2007) dengan judul penerapan teknologi system of rice intensification di Desa Margahayu, Tasikmalaya. Tujuan penelitian ini ialah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi SRI, menganalisis pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani padi SRI. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi keadaan umum usahatani padi dan evaluasi penerapan teknologi SRI, analisis R/C rasio, analisis penggunaan faktor-faktor produksi serta efisiensi faktor produksi. Hasil dari penelitian tersebut adalah lebih dari 50 persen petani responden telah melakukan unsur teknologi SRI. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada umumnya petani responden sudah melaksanakan sebagian besar unsur-unsur teknologi sesuai dengan anjuran. Berdasarkan hasil regresi, teknologi SRI di Desa tersebut dapat diterapkan pada petani yang 38 22
memiliki pendapatan non padi rendah dan tidak menjadi pekerjaan utama, petani dengan pengalaman berusahatani belum lama, status kepemilikan lahan sebagai penggarap dan tingkat pendidikan minimal SMU. Hasil analisis pendapatan usahataninya menunjukkan bahwa pendapatan bersih usahatani padi SRI sebesar Rp. 3. 757.800,08 dengan rasio R/C atas biaya total adalah 1,43. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usahatani SRI efisien dari sisi pendapatan. Namun, penggunaan faktor produksi lahan, MOL pertumbuhan dan tenaga kerja tanpa panen tidak efisien sehingga perlu dikurangi. Sementara itu faktor produksi yang belm efisien sehingga penggunaannya perlu ditambah ialah benih, pupuk organik padat, MOL buah dan pestisida organik. Penggunaan faktor produksi yang tepat akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh, pada kondisi optimal diperoleh penerimaan sebesar Rp. 23.115.817,70 dan biaya total sebesar Rp. 6.065.154,19. pendapatan petani padi SRI pada kondisi optimal memiliki rasio R/C yang lebih besar, yaitu 3,81 dibandingkan dengan kondisi aktual. Penelitian lainnya mengenai analisis pendapatan petani dengan metode SRI dilakukan oleh Ubaydillah (2008) dengan judul analisis pendapatan dan margin pemasaran padi ramah lingkungan metode SRI studi kasus pada Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis usahatani padi ramah lingkungan dan usahatani padi konvensional 2) Menganalisis saluran dan lembaga pemasaran, 3) Menganalisis margin masing-masing pelaku pasar dan farmer’s share pada pemasaran padi ramah lingkungan dan 4) Menganalisis hubungan karakteristik responden dengan persepsinya mengenai kelebihan dan kekurangan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa usahatani padi ramah lingkungan metode SRI lebih menguntungkan dibanding usahatani padi konvensional meskipun membutuhkan biaya usahatani padi konvensional. Berdasarkan tingkat pendapatan petani terhadap biaya total input produksi yang digunakan dapat diketahui efisiensi dari kedua usahatani (SRI dan konvensional) terlihat pada nilai R/C rasio atas biaya total masing–masing yaitu 1,61 untuk SRI dan 1,23 untuk usahatani konvensional. Sedangkan tataniaga padi ramah lingkungan ini memiliki tiga saluran pemasaran yang melibatkan lima lembaga pemasaran, yaitu petani, 39 23
pedagang pengumpul lokal, pedagang pengumpul tingkat daerah, grosir dan pengecer. Berdasarkan hasil uji chi-square diketahui bahwa semua karakteristik responden tidak memiliki hubungan terhadap manfaat yang dirasakan oleh responden. Hal ini dapat diartikan pembagian karakteristik responden pada kategori tertentu tidak mempengaruhi persepsi tentang kelebihan dan kelemahan usahatani padi ramah lingkungan metode SRI. Hasil analisis usahatani padi ramah lingkungan dan padi anorganik yang dilakukan oleh Ridwan (2008) menunjukkan bahwa berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan total untuk usahatani padi anorganik lebih besar dibandingkan penerimaan total usahatani padi ramah lingkungan. Pandapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani pemilik padi anorganik lebih besar dibandingkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total usahatani padi organik ramah lingkungan, sedangkan untuk petani penggarap, pendapatan usahatani padi ramah lingkungan lebih besar dari pada pendapatan usahatani anorganik. Berdasarkan analisis R/C rasio, usahatani padi ramah lingkungan dan padi anorganik sama-sama menguntungkan untuk dilaksanakan karena nilai R/C rasio atas biaya tunai untuk petani pemilik usahatani padi ramah lingkungan sebesar 2,392 sedangkan nilai R/C rasio atas biaya tunai untuk petani pemilik usahatani anorganik hanya sebesar 2,275. Pada penelitiannya, untuk petani pemilik, nilai B/C rasio sebesar 1,132 yang artinya perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik memberikan tambahan manfaat yang lebih besar dari pada tambahan biaya. Petani penggarap nilai B/C rasionya sebesar 0,801 artinya perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani penggarap memberikan tambahan manfaat lebih kecil daripada tambahan biaya. Berdasarkan dua faktor sensitivitas yang dianalisis, faktor penurunan harga beras lebih sensitif dibandingkan faktor kenaikan harga biaya tunai. Penelitian
yang
dilakukan
Rachmiyanti
(2009)
tentang
analisis
perbandingan usahatani padi organik metode system of rice intensification (SRI) dengan padi konvensional di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat, bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis pengaruh perubahan sistem usahatani dari usahatani non organik menjadi 4024
usahatani organik metode SRI yang dilakukan oleh para petani terhadap tingkat pendapatannya. Adapun hasilnya berdasarkan analisis pendapatan diketahui bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organiK metode SRI (Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani padi konvensional, yaitu Rp 2,46. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp 1,54 sedangkan petani padi konvensional lebih besar, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI. Persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian ini memiliki kesamaan dalam unsur alat analisis yang digunakan, yaitu penelitian ini menggunakan alat analisis usahatani (analisis biaya, analisis penerimaan dan analisis pendapatan) untuk menganalisis tingkat pendapatan petani dan analisis efisiensi pendapatan usahatani (R/C Rasio). Oleh karena itu penelitian terdahulu digunakan sebagi referensi mengenai alat analisis yang akan digunakan pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada lokasi penelitian yang akan diteliti. Penelitian akan dilakukan di Desa Cipeuyeum, Kelurahan Haurwangi, Kabupaten Cianjur.
41 25