3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah salah satu andalan pembangkit tenaga listrik yang merupakan jantung untuk kegiatan industri dimana PLTU menggunakan bahan bakar berupa batubara. Batubara tersebut harus disediakan dengan kualitas tertentu dan untuk jangka waktu yang lama. PLTU Suralaya terletak di wilayah Merak, Banten tepatnya di bagian barat laut ujung Pulau Jawa dan berhadapan langsung dengan Selat Sunda. PLTU Suralaya merupakan PLTU batubara yang didirikan pertama kali di Indonesia, yaitu pada tahun 1984 dengan kapasitas terpasang 4 x 400 MW. PLTU ini dikembangkan dari unit 1-7 dengan kapasitas masing-masing 600 MW/unit (Gambar Lampiran 1). Saat ini, PLTU Suralaya telah berkapasitas 3.400 MW, berfungsi untuk menyediakan energi listrik 50% untuk produksi PT. Indonesia Power atau 25% dari kebutuhan energi listrik se Jawa-Bali. PLTU Suralaya
memerlukan
kurang
lebih
32.000
ton/hari
batubara
untuk
membangkitkan seluruh energi listrik tersebut (Sukandarrumidi, 2006). Batubara PLTU Suralaya berasal dari tambang batubara Bukit Asam, Sumatera Selatan dari jenis subbituminus dengan nilai kalor antara 5000-5500 Kkal/kg. Selain batubara, PLTU Suralaya juga menggunakan solar dan minyak residu sebagai bahan bakar cadangan. Hasil proses pembakaran batubara oleh PLTU Suralaya menghasilkan limbah abu terbang sebanyak 878,8 ton/hari atau 24.000 ton/bulan (Hayati, 2010).
2.2. Batubara dan Limbah yang Dihasilkan Batubara adalah bahan organik yang dapat terbakar, berasal dari sisa-sisa fosil tumbuhan yang mengendap dan telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia karena pengaruh suhu, waktu, dan tekanan. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara disebut pembatubaraan (coalification) (Raharjo, 2006). Dewasa ini banyak industri yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam menghasilkan uap. Hal ini disebabkan karena pemakaian
4
batubara dianggap lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian minyak bumi yang harganya terus meningkat sedangkan cadangannya semakin berkurang. Selain tersebar merata di seluruh dunia, batubara merupakan bahan yang siap dieksploitasi secara ekonomis karena terdapat dalam jumlah yang banyak, sehingga menjadi bahan bakar yang paling lama dapat menyokong kebutuhan energi dunia (Kartika, 2009). Batubara memiliki sifat yang heterogen. Apabila dibakar, senyawa anorganik yang ada diubah menjadi bentuk senyawa oksida yang berukuran butir halus berbentuk abu. Abu ini merupakan kumpulan dari bahan pembentuk batubara yang tidak terbakar (non combustible materials) atau yang dioksidasi oleh oksigen. Pembakaran batubara yang dimanfaatkan sebagai energi panas pada PLTU akan menghasilkan abu yang terpisah. Abu batubara tersebut terdiri atas abu terbang dan abu dasar (bottom ash) sekitar 5-10%. Persentase masing-masing abu yang dihasilkan adalah abu terbang sebesar 80-90% dan abu dasar sebesar 1020% (Sukandarrumidi, 2006). Prijatama dan Sumarnadi (1996) mengatakan penggunaan batubara selain menghasilkan energi juga menghasilkan limbah dalam bentuk gas dan padatan. Gas buangan sisa pembakaran seperti SO3, NOx, atau CO2 akan langsung terbang ke udara, sedangkan limbah lainnya berupa abu batubara yang terdiri dari abu terbang dan abu dasar akan lebih sulit penanganannya karena merupakan bahan padat yang tidak mudah larut atau menguap. Apabila tidak ditangani dengan baik, limbah batubara tersebut dapat mencemari lingkungan dan berpengaruh buruk terhadap kesehatan.
2.3. Tinjauan Umum Abu Terbang Abu terbang adalah bubuk halus dan ringan bagian dari abu bakar yang diambil dari campuran gas tungku pembakaran yang menggunakan bahan bakar batubara pada pusat pembangkit listrik tenaga uap. Sifat kimia abu terbang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal tersebut bergantung pada bahan induk batubara yang dipergunakan, efisiensi dari pulverisasi, suhu pembakaran (tergantung pada jenis tungku yang digunakan untuk pembakaran batubara), dan cara pengendapan abu dari gas pembakaran (Supriyono dan Sutopo, 1994).
5
Selama proses pembakaran batubara, abu terbang bersama-sama aliran gas memasuki cerobong asap. Selama proses tersebut, abu terbang akan terkumpul pada alat pengontrol emisi atau keluar melalui cerobong asap dan akan beterbangan menyebar di udara. Sifat-sifat fisika, kimia, dan mineralogi abu terbang tergantung pada komposisi batubara awal, kondisi pembakaran, kinerja dan efisiensi alat pengontrol emisi, penanganan dan penyimpanan, serta iklim. Pada tahun 2005, terhitung lebih dari 150 juta ton abu terbang dihasilkan oleh PLTU seluruh dunia setiap tahunnya. Setengah dari jumlah tersebut belum dimanfaatkan dan menimbulkan polusi terhadap lingkungan (Sukandarrumidi, 2006). Di Indonesia, abu terbang dihasilkan diantaranya oleh PLTU yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. PLTU Suralaya sendiri menghasilkan 400.000 ton abu terbang per tahunnya. Abu tersebut selanjutnya dipindahkan ke lokasi penimbunan abu (landfill) dan terakumulasi di lokasi tersebut dalam jumlah yang sangat banyak. Akumulasi abu terbang PLTU Suralaya yang terdapat di landfill bertambah 219.000 ton setiap tahunnya. Semakin bertambahnya jumlah abu batubara, maka usaha-usaha untuk memanfaatkan limbah padat tersebut juga harus semakin meningkat. Sebagian dari abu terbang tersebut telah dimanfaatkan dalam industri konstruksi, produksi semen, dan pembuatan keramik. Selain itu, abu terbang juga digunakan untuk reklamasi dan stabilisasi daerah berlumpur. Namun sebagian besar dari abu terbang tersebut hanya dimanfaatkan sebagai bahan penimbun, sehingga menimbulkan masalah lingkungan antara lain pelepasan unsur-unsur beracun ke dalam air tanah dan penurunan aktivitas mikrobia (Ramadina, 2003). Sampai saat ini, pemanfaatan abu batubara tersebut masih rendah, sebatas untuk keperluan industri semen dan beton, bahan pengisi untuk bahan tambang dan bahan galian serta berbagai pemanfaatan lainnya oleh masyarakat sekitar. Tingkat penggunaannya baru sekitar 200.000 ton/tahun (Hayati, 2010).
2.4. Karakteristik Kimia dan Fisik Abu Terbang Secara kimia, abu batubara merupakan mineral alumino silikat yang banyak mengandung unsur-unsur Ca, K, dan Na disamping juga mengandung
6
sejumlah kecil unsur C dan N. Bahan nutrisi lain dalam abu batubara yang diperlukan dalam tanah diantaranya ialah B, P dan unsur-unsur mikro seperti Cu, Zn, Mn, Mo dan Se (Damayanti, 2009). Menurut Ardha (2006), abu terbang merupakan material oksida anorganik mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses pembakaran pada suhu tinggi. Abu terbang bersifat aktif, yaitu dapat bereaksi dengan komponen lain untuk membentuk material baru yang tahan suhu tinggi. Menurut Wasim (2005), secara kimia umumnya komposisi dan kandungan paling tinggi pada abu terbang dapat ditunjukkan dengan persentase seperti di bawah ini :
SiO2 Al2O3 SO3 Fe2O3 CaO MgO
: 52,00% : 31,86% : 11,85% : 4,89% : 2,68% : 4,66%
Selain senyawa-senyawa di atas yang diperkirakan terdapat pada abu terbang dalam kisaran 95-99%, abu terbang juga tersusun atas Na, P, K, sebesar 0,5-3,5% dan sisanya disusun oleh fase gelas amorf, fase kristalin, serta unsurunsur mikro (trace elements). Abu terbang memiliki hampir semua elemenelemen yang dikandung tanah kecuali karbon dan nitrogen organik, dimana bahan-bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan tambahan untuk pertanian. Abu terbang mempunyai sifat aktif, yaitu dengan adanya air dapat bersenyawa dengan hidroksida Ca(OH)2 pada suhu kamar, membentuk senyawa yang mempunyai sifat seperti semen yang dapat mengeras dalam waktu tertentu (Supriyono dan Sutopo, 1994). Abu terbang umumnya bersifat alkalin di alam, namun pH abu terbang dapat bervariasi dari 4,5-12. Nilai pH abu terbang sebagian besar ditentukan oleh kandungan S dalam bahan induk batubara, tipe batubara yang digunakan selama pembakaran, dan kandungan S dalam abu terbang (Haynes, 2009). Ukuran abu terbang sangat halus, yaitu 0,01-100 µm (65-90% berukuran <10 µm), luas permukaan tinggi dan tekstur ringan (silt loam), bobot isi (bulk density) rendah (1,00-1,33 gr/cm). Partikel abu terbang umumnya berbentuk bola,
7
sebagian berongga (cenospheres) dan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristal-kristal yang lebih kecil (plerospheres). Fraksi cenospheres merupakan bagian terbanyak dalam abu terbang khususnya pada fraksi sangat halus (Basu et al., 2009 dalam Hayati, 2010).
Gambar 1. Struktur Mikro Abu Terbang. (atas) Scanning Electron Microscopy perbesaran 4000x, (bawah) Scanning Electron Microscopy perbesaran 1000x. (Ardha, 2006)
2.5. Potensi dan Pemanfaatan Abu Terbang untuk Pertanian Abu terbang dapat
digunakan untuk tujuan pengapuran karena
mengandung CaO dan MgO. Kemampuan pengapuran atau daya netralisasi abu terbang mempunyai variasi yang besar tergantung pada sumber abu dan proses pelapukan. Daya netralisasi abu terbang berkorelasi negatif dengan kandungan Fe dan Si serta berkorelasi positif dengan Ca dan Mg (Haynes, 2009). Sengupta (2002) juga mengemukakan bahwa abu terbang dapat digunakan sebagai soil conditioner untuk meningkatkan daya hantar hidrolik, porositas, dan kapasitas memegang air pada tanah-tanah masam. Pengaplikasian abu terbang
8
juga memberikan sumber hara esensial bagi tanaman seperti Ca, Mg, K, P, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Abu terbang telah berhasil diaplikasikan pada kondisi agroklimat dan jenis tanah yang berbeda di beberapa negara bagian India dengan dosis yang berbeda. Menurut Wasim (2005), abu terbang juga memiliki potensi yang besar dan memberikan keuntungan dalam menurunkan bobot isi, memperbaiki tekstur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air tanah, merubah pH tanah, meningkatkan hasil produksi, dan sebagai penambah unsur-unsur hara mikro seperti Fe, Zn, Cu, Mo, B, dan lain-lain serta unsur-unsur hara makro seperti K, P, Ca, dan lain-lain. Abu terbang juga dapat digunakan pada tanaman ladang dan sayuran, kehutanan, reklamasi dari lahan tercemar, dan digunakan pada tanah alkali salin yang tererosi pada zona kering. Abu terbang dapat meningkatkan bobot kering polong pada tanaman kacang tanah (Subagyo, 1989 dalam Lestari et al., 2004) dan meningkatkan diameter batang pada anakan sengon (Budianti, 1998 dalam Lestari et al., 2004). Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan baku penetral pH pada air asam tambang batubara (Abidin dan Setiadi, 1996 dalam Lestari et al., 2004). Lestari et al., (2004) juga melaporkan bahwa pemberian abu batubara dalam dosis yang rendah (<2%) pada tanah dapat meningkatkan kandungan unsur hara dalam tanah hingga menjadi lebih baik. Pemberian abu batubara menunjukkan respon yang cukup baik untuk diameter batang, tinggi tanaman, dan bobot kering tajuk terutama pada abu dasar dengan dosis < 2% dan abu terbang dengan dosis < 1%. Abu terbang telah banyak digunakan untuk budidaya tanaman pangan di India seperti gandum, jagung, kentang, kacang kedelai, kacang tanah, kapas, tebu, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Efek residunya juga dapat meningkatkan hasil tanaman 20-50% tanpa adanya logam berat dan radioaktivitas dalam tanah, badan air, dan produksi tanah (Sengupta, 2002). Selain itu, Putri (2008) menginformasikan bahwa konversi abu terbang batubara menjadi zeolit dan adsorben merupakan contoh lain pemanfaatan efektif dari abu terbang batubara bagi bidang pertanian. Keuntungan adsorben berbahan baku abu terbang batubara adalah biaya yang murah. Adsorben ini juga dapat
9
digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair. Abu terbang batubara dapat dipakai secara langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik tertentu sebelum menjadi adsorben. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ramadina (2003), penambahan abu terbang dengan dosis 5, 10, 15, dan 25 ton/ha pada tanah gambut dapat meningkatkan pH dan basa-basa secara nyata. Kadar unsur-unsur dalam filtrat pada percobaan dengan metode Batch dan perkolat pada percobaan leaching test tidak melebihi ambang batas kriteria mutu air untuk mengairi pertanaman (kelas II) yang terdapat dalam PP No. 82 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Limbah abu terbang banyak dimanfaatkan oleh Jepang sebagai amelioran seperti zeolit buatan. Bahan-bahan magnetis dan besi dalam contoh dipisahkan dengan menggunakan High Intensity Wet Separator (HIWS) karena komponen tersebut tidak dibutuhkan untuk sintesa zeolit buatan. Sintesa zeolit buatan dilakukan dengan cara mereaksikan limbah abu terbang dengan NaOH pada beragam konsentrasi (1-4 M) dan waktu reaksi dengan mempertahankan temperatur reaksi pada 100oC. Zeolit buatan terbukti memiliki nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan daya serap terhadap ion-ion logam berat lebih tinggi daripada zeolit alam (Sembiring dan Suwardi, 1997). Abu terbang masih sangat potensial untuk dikembangkan pada produk pertanian yang dapat dimakan, namun perlu diterapkan beberapa faktor dalam pemanfaatannya, seperti batas asupan logam berat per hari yang diperbolehkan, pengembangan pemanfaatan abu terbang lebih diutamakan pada tanaman penghasil biji dan tanaman penghasil minyak, serta penggunaan kultivar yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakumulasi logam berat (Hayati, 2010).