II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
2.1.1. Konsep Desentralisasi Terjadinya suatu negara kesatuan yang sentralistik ternyata banyak menimbulkan dampak negatif yang tidak mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Sentralisasi kekuasaan tidak memberikan insentif kepada daerah-daerah untuk meningkatkan produktivitasnya, mauoun dalam memelihara sumberdaya dasar wilayah kearah berkelanjutan. Oleh karena itu adanya wacana desentralisasi, kekuasaaan pusat yang dilimpahkan kepada daerah=daerah otonom diharapkan akan memperbaiki kinerja ekonomi secara lebih produktif dan berkelanjutan di masa depan (Anwar, 2000). Dalam isitilah ketatanegaraanyang dimaksud dengan desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan kekuasaan dari pusat ke daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sesndiri. Logeman dalam Lumbessy (2005) mengemukan bahwa kelaziman desentralisasi dapat dibagi menjadi: a.
Dekonsentrasi (deconcentratie) atau “ambtelijke desentralisatie” yaitu berkaitan dengan pelimpahan kekuasaan dari alat kelengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahnya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintah.
b.
Desentralisasi ketatanegaraan atau “staatkundige decentralisatie” yang sering disebut
sebagai desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan
perundangan dan pemerintah kepada daerah otonom di dalam lingkungannya. Di dalam desentralisasi semacam ini, rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) untuk ikut serta dalam pemerintahan. Sesuai batas wilayah masing-masing. Osborne dan Gaebler (1995) mengemukan ada beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan diterapkannya sistem desentralisasi, yaitu:
9
a.
Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi. Lembaga tersebut dapat memberi respon dengancepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan.
b.
Lembaga
yang
terdesentralisasi
jauh
lebih
efektif
daripada
yang
terdesentralisasi. Para pegawai yang berada dilini depan, paling dekat dengan masalah dan peluang serta mereka yang lebih tahu dengan apa yang terjadi sebenarnya, sehingga akan lebih cepat mengambil keputusan yang diperlukan. c.
Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dibanding yang tersentralisasi. Inovasi biasanya tidak terjadi pada seseorang yang berada pada pucuk pimpinan, tetapi sering muncul dari gagasan baik pegawai yang benar-benar melaksanakan pekerjaan dan berhubungan dengan pelanggan.
d.
Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, sehingga banyak komitmen dan lebih besar produtivitasnya. Peberian kepercayaan kepada pegawai utnuk mengambil keputusan yang penting dalam tugasnya dapat menjadi motivasi bagi mereka, sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas kerjanya. Menurut Abe (2002) desentralisasi memberikan sisi positif, antara lain: (a)
bagi pemerintah pusat desentralisasi tentu akan menjadi jalan yang mengurangi beban pusat; (b) program atau rencana-rencana pembangunan yang hendak diwujudkan akan lebih realistis, lebih mengena dan lebih dekat dengan kebutuhan lokal; (c) memberi kesempatan kepada daerah untuk belajar mengurus rumah tangganya sendiri dan dengan demikian belajar untuk bisa menangkap dan merumuskan aspirasi masyarakat setempat; (d) dengan adanya pemberian wewenang (politis ke arah devolusi), maka berarti akan membuka peluang bagi keterlibatan rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintah. 2.1.1. Konsep Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang atau perudangan sendiri (Izelf Wetgeving). Manan dalam Malia (2009) mendefinisikan otonoami sebagai kemandirian untuk
10
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan kewenangan serta tanggung jawab badan pemerintah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manivestasi desentralisasi. Mahwood dalam Agusniar (2006) mendefinisikan otonomi lebih sederhana, yaitu kebebasan dari pemerintah daerah dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan sedangkan Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ciri utama yang mewujudkan suatu daerah mampu berotonomi teletak pada kemampuan daerah, artinya daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya (Anwar, 2005). Kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah harus mengatur secara pasti pengalokasian dana perimbangan. Smith dalam Malia (2009) membedakan dua sudut pandang kepentingan: kepentingan Pemerintah Pusat dan kepentingan Pemerintah Daerah. Sedikitnya ada empat tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah: pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara, bila dilihat dai sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan pertama, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai Political Equity. Ini berarti bahwa melalui pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan akan lebih membukakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisasi dalam berbagai aktivitas politik di
11
tingkat lokal. Tujuan kedua, adalah untuk menciptakan local accountability. Tujuan ketiga, adalah untuk mewujudkan apa yang disebut dengan local responsiveness, karena pemerintah daerah dianggap lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat. 2.2. Pemekaran Wilayah Rasyid (1996) menjelaskan bahwa jika pembangunan atau pemekaran wilayah pemerintahan akan dilakukan, maka kebijakan itu harus memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan yang ada memiliki kemampuan yang cukup untuk memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintahan. Asumsi yang menyertainya adalah bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan itu akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa yang mandiri menuju kemandirian bersama. Menurut Rasyid (1996) ada tiga pola dalam pembentukan wilayah pemerintahan di daerah selama ini, yaitu: 1. Pembentukan wilayah-wilayah pemerintahan yang sekaligus menjadi daerah otonom (provinsi, kabupaten/kota) dengan persyaratan yang cukup obyektif seperti jumlah penduduk dan potensi ekonomi (terutama terlihat di Jawa dan Sumatera). 2. Pembentukan wilayah-wilayah administratif dan daerah otonom berdasarkan pertimbangan politis dengan jumlah penduduk relatif kecil tapi memiliki potensi ekonomi yang besar (seperti Papua) serta potensi ekonomi dan penduduk yang sedikit tetapi secara historis dipandang khas. 3. Pembentukan
wilayah
administrasi
pemerintah
tanpa
disertai
pembentukan daerah otonom seperti lazim terjadi untuk pembentukan wilayah. Daerah yang wilayahnya relatif luas, sehingga menyulitkan jangkauan pemerintah untuk melayani warga masyarakat dipandang perlu untuk dimekarkan menjadi beberapa daerah otonom. Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Daerah Otonomi, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
12
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat 4 dikatakan bahwa “Syarat teknis pembentukan daerah berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”. Dalam mengoptimalkan jangkauan pelayanan pada masyarakat suatu pemekaran wilayah harus didasarkan pada: 1. Pengembangan wilayah pemerintahan atau pemekaran daerah harus selaras dan sesuai, sehingga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan tetap dengan konsep lingkungan kerja yang ideal, dengan ukuran organisasi dan jumlah instansi terjamin. 2. Pengembangan wilayah pemerintahan atau pemekaran daerah bertolak dari pertimbangan atas prospek pengembangan ekonomi yang layak dilakukan berdasarkan kewenangan yang akan diletakkan pada pemerintahan yang baru. 3. Kebijakan pengembangan wilayah harus menjamin bahwa aparatur pemerintahan di daerah yang dibentuk memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dan mendorong lahirnya kebjakan yang konsisten mendukung peningkatan kualitas pelayanan publik. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 5 manyatakan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administrasi,
teknis,
dan
fisik
kewilayahan.
kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan
Syarat
administrasi untuk
DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
13
Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah bertujuan untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui: a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat b. Percepatan pertumbuhan demikrasi masyarakat c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah d. Percepatan pengelolaan potensi daerah e. Peningkatan keamanan dan ketertiban f. Peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah Pasal 3 dalam Peraturan tersebut dinyatakan pula bahwa pembentukan daerah baru didasarkan pada syarat-syarat sebagai berikut: a. Kemampuan ekonomi b. Potensi daerah c. Sosial budaya d. Sosial politik e. Jumlah penduduk f. Luas daerah g. Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil usaha perekonomian yang berlangsung di suatu daerah provinsi, kabupaten/kota yang dapat diukur dari:
14
a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan b. Penerimaan daerah sendiri, yaitu penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah, bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan dan penerimaan dari sumberdaya alam. Sementara itu potensi daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminan tersedianya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dan memberi sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari: a. Lembaga keuangan b. Sarana ekonomi c. Sarana Pendidikan d. Sarana kesehatan e. Sarana transportasi f. Sarana pariwisata g. Ketenagakerjaan Selanjutnya aspek sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi budaya masyarakat dapat diukur dari: a. Tempat peribadatan b. Tempat /kegiatan institusi sosial dan budaya c. Sarana olah raga Sedangkan aspek sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan cerminan kondisi sosial Politik masyarakat yang dapat diukur dari: a. Kemampuan ekonomi b. Potensi daerah Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu daerah. Yang dimaksud dengan luas tertentu suatu daerah adalah besaran luas suatu daerah yang telah memenuhi syarat sesuai dengan pengukuran dan penilaian suatu daerah yang diatur dalam peraturan pemerintahan ini.
15
Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf g, merupakan pertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari: a. Keamanan dan ketertiban b. Ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan c. Rentang kendali d. Provinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kabupaten dan atau kota. e. Kabupaten yang telah dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan. f. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan. Tujuan pemekaran menurut Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 adalah: a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat b. Percepatan pertumbuhan demokrasi masyarakat c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah d. Percepatan pengelolaan potensi daerah e. Peningkatan keamanan dan ketertiban f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
2.3. Pendapatan Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah mulai diberlakukan pada 1 Januari 2001, hal ini berarti daerah mulai menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan dengan kewenangan yang lebih luas termasuk kewenangan untuk memperoleh sumbersumber pembiayaan yang berasal dari daerah sendiri atau yang dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD sesuai UU Nomor 25 Tahun 1999 terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik negara dan hasil pengolahan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. PAD merupakan salah satu penerimaan daerah (Kunarjo, 2002).
16
Menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiscal terdiri atas: (a) Pendapatan Asli Daerah, (b) Dana Perimbangan, dan (c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.3.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tenang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan Undang Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut oleh hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktis merupakan pungutan yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak kecuali provinsi dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Ditinjau dari kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah, sampai saat ini distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dengan pusat terjadi ketimpangan yang relatif besar. Demikian juga distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang sekali dan bervariasi (ratio PAD tinggi dengan terendah mencapai 600 kali). Peranan pajak dalam pembiayaan daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi juga terjadi
17
karena adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat (Saefudin, 2005). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa ketergantungan pada transfer pemerintah pusat yang kini mencapai sekitar 90 persen dari total pendapatan daerah (kotamadya 84 persen) dan kabupaten 92 persen dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) bukanlah tujuan jangka panjang. Transfer tersebut harus dipandang sebagai perangsang bagi daerah untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang harus terus dikurangi baik melalui penciptaan sistem perpajakan baru sesuai dengan kebutuhan daerah maupun melalui pertumbuhan ekonomi. 2.3.2. Dana Perimbangan Berdasarkan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, dana perimbangan terdiri dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana Bagi Hasil, bersumber dari pajak dan sumber daya alam sementara Dana Alokasi Umum dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Dana Alokasi Khusus, dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional serta mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. a. Dana Bagi Hasil Merupakan bagian daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing). Untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah. Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan perentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin).
18
Bagi hasil penerimaan Negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak aatas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, serta perikanan. b. Dana Alokasi Umum Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri). Berdasarkan perimbangan tersebut, khususnya DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU bagi suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tesebut, distribusi DAU kepada daerahdaerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan memperoleh DAU yang lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang memiliki fiscal capacity lebih besar dari fiscal needs memiliki hitungan DAU yang akan negatif. c. Dana Alokasi Khusus Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai
kebutuhan
khusus.
Pengalokasian
memperlihatkan tersedianya dana dalam APBN.
DAK
ditentukan
dengan
19
Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. 2.3.3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan dari hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, sedangkan hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri harus dilakukan melalui pemerintah. Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah. Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber PAD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh presiden. 2.4 Perekonomian Wilayah Pengertian pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Pengembangan adalah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Keduanya dilakukan untuk
kemakmuran
dan
kesejahteraan
masyarakat.
Pembangunan
dan
pengembangan dapat merupakan pembangunan fisik atau pengembangan fisik, dan dapat merupakan pembangunan sosial ekonomi atau pengembangan sosial ekonomi. Pembangunan dan pengembangan regional meliputi suatu wilayah dan mempunyai tekanan utama pada perekonomian dan tekanan yang kedua adalah pada keadaan fisik (Rustiadi, E., S. Saefulhakim, D. R. Panuju, 2007).
20
Menurut Todaro dan Smith (2006) bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Anwar (1996) mengatakan bahwa penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan sehingga
dapat
meminimalisasikan
inkompabilitas
antar
sektor
dalam
pemanfaatan ruang; mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang; dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumberdaya. Menurut Anwar (2001) bahwa paradigma pembangunan wilayah diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Oleh karena itu berdasarkan paradigma pembangunan wilayah ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second Fundamental of Welfare Economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada pembangunan spasial adalah untuk mencari keseimbangan kemajuan pembangunan yang lebih merata secara regional (regional balance) dengan memanfaatkan potensi dan jenis keunggulan yang terdapat pada masing-masing wilayah dan mengurangi sampai menghapuskan terjadinya urban bias. Secara umum, suatu wilayah adalah suatu area geografis, teritorial atau ruang/tempat yaitu bisa suatu negara, negara bagian, daerah, teluk, blok atau desa, akan tetapi wilayah tidak selalu beraplikasi terhadap suatu ruang atau area yang
21
khusus karena dapat juga dilihat sebagai satu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administratif, klimatik atau geografis menurut keperluan atau tujuan suatu studi (Shukla, 2000). Pada penetapan batas-batas wilayah, terdapat pengelompokan berdasarkan kriteria homogenitas, nodal dan administratif. Konsep homogenitas menetapkan wilayah berdasarkan beberapa persamaan baik fisik, sosial maupun ekonomi. Konsep nodal menetapkan wilayah berdasarkan perbedaan struktur tata ruang karena terdapat sifat ketergantungan secara fungsional, misalnya antara wilayah pusat (inti) yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri dan jasa, seperti pasar bahan mentah dan biasanya merupakan kawasan perkotaan dengan wilayah belakang (hinterland) yang biasanya kawasan perdesaan dan berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari industri dan jasa. Menurut Anwar (2001) bahwa pertimbangan pembangunan wilayah membutuhkan pendekatan multidimensi terutama yang menyangkut : 1) peranan teknologi dalam produktivitas, 2) pembangunan sumberdaya manusia (terutama menyangkut pendidikan dan kesehatan), 3) pembangunan fisik infrastruktur dengan memperhatikan aspek
lingkungan hidup, dan 4) pembangunan
administrasi dan finansial (termasuk mendorong partisipasi luas kepada masyarakat dan memperhitungkan aspek politik-institusional). Dimensi pembangunan kota dan wilayah tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga meliputi pembangunan ekonomi dan sosial. Kemiskinan merupakan kendala yang penting dalam pembangunan ekonomi dan keadaan ini merupakan gejala umum yang terdapat pada wilayah hampir dimana-mana, maka masalah ini termasuk persoalan pokok yang harus dipecahkan dalam pembangunan wilayah. Oleh karena itu, apabila kita tidak mampu mengatasinya, maka konsekuensi yang timbul adalah bahwa tingkat pendapatan nasional kebanyakan akan habis dikonsumsi dan karenanya hanya sedikit sisanya untuk dapat ditabung sehingga tidak ada finansial yang dapat membiayai investasi untuk pembangunan ekonomi (Anwar, 2001).
22
Menurut Todaro dan Smith (2006), pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Jadi pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga diketahui runtutan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu : i) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), ii) meningkatkan rasa harga diri (self esteem) masyarakat sebagai manusia, dan iii) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. 2.5 Kesejahteraan Masyarakat Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada umumnya dihubungkan dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan perbaikan pemerataan (equity). Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dianggap secara otomatis akan menghilangkan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik antar kelompok masyarakat maupun antar wilayah. Namun demikian, banyak bukti menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak bias memecahkan permasalahan pembangunan yang mendasar seperti kemiskinan dan taraf hidup masyarakat secara luas (Arsyad, 1999). Pertumbuhan ekonomi memang benar meningkatkan kesejahteraan nasional dan juga memiliki potensi untuk mengurangi kesenjangan dan mengatasi permasalahan sosial lainnya, namun pengalaman sejarah menunjukkan banyak contoh dimana pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan pembangunan manusia, yang justru menimbulkan permasalahan sosial ekonomi semakin besar seperti semakin tingginya tingkat kesenjangan, pengangguran ayng tinggi, kedudukan politik yang tidak seimbang dan sebagainya (Saefudin, 2005).
23
Dua hal penting menurut Su’ud (1991) mengenai kesejahteraan adalah: (1) kesejahteraan menurut adanya kekayaan yang meningkat yaitu mengukur kesejahteraan dengan keluaran fisik dan (2) kesejahteraan tercapai bila ada distribusi dari pendapatan yang dirasa adil oleh masyarakat. 2.6 Strategi Pengembangan Wilayah Baru Pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah. Diperlukan strategi-strategi yang efektif untuk suatu percepatan pembangunan. Kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan pendekatan pembangunan yang terbaik. Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategy dan supply side strategy. Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. Sedangkan pengertian dari strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan komoditi yang pada umumya diproses dari sumberdaya alam lokal. Keuntungan penggunaan strategi supply side adalah prosesnya cepat sehingga efek yang ditimbulkannya cepat terlihat. Beberapa permasalahan yang sering muncul dari digunakannya strategi ini adalah: (1) timbulnya enclave karena keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keahlian, dan kompetensi) penduduk lokal, sehingga seringkali hanya masyarakat tertentu dengan jumlah yang terbatas atau pendatang dari luar kawasan saja yang menikmatinya, dan (2) sangat peka terhadap perubahan-perubahan ekonomi diluar wilayah (Rustiadi, E., S. Saefulhakim, D. R. Panuju, 2007).