II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Xilan Lignoselulosa merupakan komponen utama biomassa yang mencakup sekitar setengah dari bahan hasil fotosintesis. Lignoselulosa mengandung tiga tipe polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin yang tersusun secara kuat dan secara kimia berikatan melalui ikatan non-kovalen dan ikatan silang kovalen. Selulosa dan hemiselulosa merupakan molekul makro dari gula yang berbeda dan lignin adalah polimer aromatik yang disintesis dari prekursor fenilpropanoid. Komposisi dan persentase masing-masing polimer ini bervariasi antara berbagai jenis tanaman. Komposisinya pada suatu tanaman bergantung pada umur tanaman, fase pertumbuhan tanaman dan kondisi lainnya (Perez et al. 2002). Hemiselulosa merupakan komplek polimer karbohidrat yang menyusun sekitar 25–30 % berat kering total kayu. Hemiselulosa termasuk suatu polisakarida dengan berat molekul yang lebih rendah dari selulosa. Hemiselulosa terdiri atas monomer-monomer gula, antara lain: D-xilosa, D-manosa, Dgalaktosa, D-glukosa, L-arabinosa, asam 4-O-metil glukuronat, asam Dgalakturonat
dan
asam
dihubungkan
melalui
D-glukuronat.
ikatan
Monomer-monomer
β-1,4-glikosidik
dan
ikatan
gula
tersebut
β-1,3-glikosidik.
Komponen utama hemiselulosa kayu keras adalah glukuronoxilan dan pada hemiselulosa kayu lunak komponen utamanya adalah galaktomanan. Perbedaan utama hemiselulosa dengan selulosa adalah hemiselulosa memiliki percabangan dengan rantai lateral pendek yang terdiri atas gula yang berbeda. Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa merupakan polimer yang mudah dihidrolisis, tidak membentuk agregat meskipun hemiselulosa diko-kristalisasi dengan rantai selulosa (Perez et al. 2002). Xilan pada tanaman terletak antara lignin dan kumpulan serat-serat selulosa di bagian bawah. Konsisten dengan struktur kimia dan substitusi rantai sampingnya, xilan terlihat berselang-seling, tersusun dan terikat secara kovalen pada berbagai titik dengan lapisan ‘sarung’ lignin, serta membentuk mantel yang menyelubungi rantai-rantai selulosa melalui ikatan hidrogen. Lapisan xilan dengan ikatan kovalennya pada lignin dan interaksi non-kovalennya dengan selulosa penting dalam pemeliharaan integritas selulosa in situ dan membantu melindungi serat-serat tersebut dari degradasi oleh selulase (Beg et al. 2001).
5
β-XILOSIDASE
Ikatan β-1,4-D-xilopiranosa
Cincin D-xilopiranosa Ikatan α-1,2-4-O-metilD-asam glukuronat
ENDOXILANASE
ASETIL-XILAN ESTERASE Ikatan α-1,3-Larabinofuranosa
α-GLUKURONIDASE
α- L- ARABINOFURANOSIDASE
Cincin-α-O-metil-Dasam glukuronat
Ac : gugus asetil R-H : asam p-kumarat R-OCH3 : asam ferulat
FERULIL dan p-KUMAROIL ESTERASE
Gambar 1. Struktur Kompleks Xilan pada Tanaman (Beg et al. 2001) Xilan merupakan suatu komplek heteropolisakarida yang terdiri atas rantai utama β-xilopiranosa yang tersusun oleh gugus xilosa dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Xilan dapat dibedakan menjadi linier homoxilan, arabinoxilan, glukuronoxilan dan glukuronoarabinoxilan. Selain xilosa, xilan juga tersusun dari arabinosa, asam glukuronat atau 4-β-metil ester, asam asetat, asam ferulat, dan asam ρ-kumarat, seperti tersaji pada Gambar 1. Frekuensi dan komposisi percabangan xilan tergantung pada sumber xilannya (Beg et al. 2001, Saha 2003) Xilan berbeda komposisinya tergantung sumber tanamannya seperti dari rumput-rumputan, sereal, kayu lunak maupun kayu keras. Rice bran neutral xylan mengandung 46 % xilosa, 44.9 % arabinosa, 6.1 % galaktosa, 1.9 % glukosa dan 1.1 % asam anhidronik. Wheat arabinoxylan mengandung 65.8 % xilosa, 33.5 % arabinosa, 0.1 % manosa, 0.1 % galaktosa dan 0.3 % glukosa. Corn fiber xilan adalah salah satu komplek heteroxilan yang terdiri atas gugus xilosa dengan ikatan β-1,4 yang memiliki komposisi 48–58 % xilosa, 33–35 % arabinosa, 5–11 % galaktosa dan 3–6 % asam glukuronat (Saha 2003).
6
Potensi aplikasi bioteknologi xilan dan xilanase menarik perhatian para peneliti. Produk akhir utama dari xilan yang dianggap penting saat ini adalah furfural dan xilitol. Xilan yang terhidrolisis akan menjadi xilosa, yang apabila mengalami dehidrasi akan menjadi furfural, sedangkan proses hidrogenasi menyebabkan pembentukan xilitol. Produksi furfural utamanya diperoleh dari limbah pertanian sedangkan xilitol dihasilkan dari limbah kayu. Produk hasil hidrolisis xilan (xilosa dan xilooligosakarida) banyak diaplikasikan dalam industri makanan sebagai bahan pengental dan sebagai substitusi lemak serta sebagai bahan tambahan pangan untuk anti beku. Xilan dalam industri farmasi digunakan sebagai agen ‘direct tabletting’ dan dalam kombinasi dengan komponen lain dapat digunakan untuk menunda peluruhan tablet. Produk hasil hidrolisis xilan dapat juga dikonversi secara bertahap menjadi bahan bakar cair, protein sel tunggal, pelarut dan pemanis buatan rendah kalori (Kulkarni et al. 1999).
2.2. Enzim Xilanolitik Berdasarkan heterogenitas dan struktur kompleksnya, hidrolisis xilan secara lengkap memerlukan berbagai golongan enzim xilanolitik yang berbeda. Jadi tidak mengherankan jika sel pendegradasi xilan menghasilkan suatu komplek protein pendegradasi polimer. Sistem enzim xilanolitik menghidrolisis xilan, yaitu: endo-1,4-β-xilanase, β-xilosidase, α-L-arabinofuranosidase, asetil xilan esterase, α-glukuronidase, dan asam fenolat (asam ferulat dan asam ρ-kumarat) esterase. Seluruh enzim-enzim ini berperan secara bersama-sama untuk mengkonversi xilan menjadi berbagai konstituen gula (Beg et al. 2003). Endo-1,4-β-xilanase
(1,4-β-D-xilan
xilanohidrolase
E.C.
3.2.1.8)
mendepolimerisasi xilan melalui hidrolisis rantai utama xilan secara acak. Endoxilanase dilaporkan membebaskan xilosa selama hidrolisis xilan tetapi tidak memiliki aktifitas untuk xilobiosa yang dengan mudah dihidrolisis oleh β-xilosidase. Endoxilanase terutama dihasilkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi (Subramaniyan dan Prema 2002). 1,4-β-D-xilosidase (1,4,β-D-xilan xilohidrolase E.C. 3.2.1.37) menghidrolisis rantai utama xilan dan membaginya menjadi beberapa oligosakarida. Beberapa kajian melaporkan bahwa Bacillus sp. dan beberapa fungi menghasilkan β-xilosidase intraseluler (Subramaniyan dan Prema 2002).
7
Ekso-1,4-β-xilosidase
(1,4-β-D-xilan
xilohidrolase,
EC
3.2.1.37)
mengkatalisis hidrolisis 1,4-β-D-xilo-oligosakarida melalui pelepasan secara berturut-turut gugus D-xilosa dari bagian ujung non reduksinya. Kelompok rantai samping dibebaskan melalui hidrolisis xilan oleh α-L-arabinofuranosidase,
α-glukuronidase,
galaktosidase,
dan
asetil
xilan
esterase (Gambar 1). α-L-arabinofuranosidase (EC 3.2.1.55) menghidrolisis bagian terminal dan non pereduksi gugus α-L-arabinofuranosil pada arabinan, arabinoxilan dan arabinogalaktan. Sejumlah mikroorganisme termasuk fungi, aktinomiset
dan
bakteri
yang
lainnya
dapat
menghasilkan
α-L-arabinofuranosidase (Subramaniyan dan Prema 2002). Enzim α-D-glukuronidase (EC 3.2.1.1) dibutuhkan untuk menghidrolisis ikatan 1,2-α-glikosidik antara xilosa dengan asam D-glukuronat atau ikatan 4-O-metil eter (Gambar 1). Hidrolisis ikatan 1,2-α merupakan rantai utama dalam hidrolisis enzimatik xilan dan dilaporkan α-D-glukuronidase memiliki kebutuhan substrat yang berbeda. Serupa dengan ikatan lignin karbohidrat, ikatan 4-O-metil asam glukuronat membentuk suatu penghalang dalam degradasi kayu. Sejumlah mikroorganisme
dilaporkan
dapat
menghasilkan
α-D-glukuronidase
(Subramaniyan dan Prema 2002). Hidrolisis secara lengkap glukuronoxilan memerlukan esterase untuk melepaskan ikatan asam asetat dan asam fenolat (Gambar 1). Esterase memutuskan ikatan xilosa dengan asam asetat (asetil xilan esterase EC 3.1.1.6), gugus rantai samping arabinosa dengan asam ferulat (feruloil esterase) dan gugus rantai samping arabinosa dengan asam ρ-kumarat (ρ-kumaroil esterase). Pemecahan grup asetil, feruloil dan ρ-kumaroil dari xilan sangat membantu dalam menghilangkan lignin, yaitu dengan memutuskan ikatan ester antara lignin dan hemiselulosa sehingga meningkatkan kelarutan lignin. Esterase bersama dengan xilanase dan enzim pendegradasi xilan yang lain pada biobleaching pulp, dapat secara sebagian mengganggu dan melonggarkan struktur dinding sel (Subramaniyan dan Prema 2002). Menurut Beg et al. (2001), saat ini enzim xilanolitik mendapat perhatian terutama karena memiliki potensi yang besar untuk diaplikasikan pada berbagai industri. Beberapa aplikasi xilanase diantaranya adalah : 1. Xilanase digunakan untuk konversi xilan menjadi xilosa pada air limbah pada industri makanan dan hasil pertanian, serta memberikan prospek baru dalam penanganan limbah hemiselulosik.
8
2. Xilanase bersama dengan selulase dan pektinase dimanfaatkan untuk menjernihkan sari buah, ekstraksi kopi, minyak nabati dan pati, likuifikasi buah dan sayuran. 3. α-L-Arabinosidase
dan
β-D-glukopiranosidase
digunakan
untuk
memberikan aroma pada jus anggur yang belum difermentasi (must), minuman anggur (wine) dan jus buah. 4. Xilanase bersama dengan enzim lain, seperti mananase, ligninase, xilosidase, glukanase, glukosidase dan lain-lain, dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bakar nabati (biofuel) seperti etanol, serta xilitol dari bahan berlignoselulosa. Proses produksi bahan bakar etanol memerlukan delignifikasi lignoselulosa untuk melepaskan selulosa dan hemiselulosa dari kompleks lignoselulosa yang diikuti dengan depolimerisasi polimer karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) untuk menghasilkan gula, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi campuran pentosa dan heksosa untuk menghasilkan etanol.
2.3. Streptomyces Berbagai macam mikroba, baik bakteri, cendawan, aktinomiset dan khamir dilaporkan mampu menghasilkan xilanase. Bakteri dari genus Bacillus, cendawan dari genus Trichoderma dan Aspergillus, aktinomiset dari genus Streptomyces diketahui merupakan mikroba berpotensi penghasil xilanase. Pada mikroba patogen tanaman, β-xilanase bersama dengan selulase diketahui berperan penting pada proses invasi awal. Aktinomiset diklasifikasikan dalam domain Bacteria, phylum Actinobacteria, kelas Schizomycetes dan Ordo Actinomycetales dengan genus Streptomycetes saat ini sebagai satu-satunya anggota famili Streptomycetaceae. Aktinomiset merupakan mikroba uniseluler yang dikelompokkan ke dalam bakteri Gram positif dengan DNA yang kaya kandungan basa G dan C sekitar 57–75 %. Aktinomiset, terutama genus Streptomycetes, banyak mendapat perhatian untuk diteliti karena kemampuannya dalam menghasilkan berbagai senyawa metabolit antara lain: antibiotik, enzim, inhibitor enzim, biopigmen dan immunomodifier (Hayakawa 2003, Lo et al. 2002). Aktinomiset memiliki diferensiasi morfologi yang unik dalam siklus hidupnya dimulai dengan spora berkecambah membentuk miselium vegetatif diikuti
9
pembentukan hifa yang masuk ke dalam medium. Hifa aerial terbentuk pada permukaan
medium
dan
mengalami
fragmentasi
menghasilkan
spora.
Diferensiasi rantai spora nampak seperti pada hifa aerial yang berhubungan dengan produksi metabolit sekunder dan tidak berfungsi langsung bagi pertumbuhan Aktinomiset. Morfologi Aktinomiset (kelompok prokariot) dan cendawan (kelompok eukariot) mirip dalam hal bentuk koloni, tumbuhnya miselium dan adanya spora tetapi miselium cendawan lebih tebal daripada miselium Aktinomiset (Miyado 2003). Aktinomiset mudah dibedakan dari bakteri lain dilihat dari bentuk koloninya di medium padat. Koloni Aktinomiset keras seperti tumbuh akar dalam medium agar-agar sedangkan bakteri lain koloninya lunak. Koloni Aktinomiset bentuknya bulat cembung dengan tepian rata dan tidak beraturan dengan permukaan bertepung, licin, kasar atau keriput. Keistimewaannya berupa hifanya yang bersifat hidrofobik tetapi miselium vegetatifnya bersifat hidrofilik (Miyado 2003). Identifikasi Aktinomiset dapat dikelompokkan menjadi Streptomyces dan non-Streptomyces dengan cara membedakan morfologi dan analisis komponen dinding sel asam diaminopimelat (A2pm atau DAP). Pengamatannya meliputi ada tidaknya hifa, miselium, spora, rantai spora atau sporangium. Genus Streptomyces umumnya tumbuh subur, membentuk banyak sekali hifa bercabang, miselium substrat jarang yang bersekat, miselium aerial cepat matang membentuk spora dari pucuk belahannya dan membentuk rantai spora panjang (> 50 spora) yang menggulung. Selain itu kondisi biakan yang bervariasi, warna hifa dan miselium yang bermacam-macam, penggunaan berbagai karbohidrat, model sporulasi (vertisilata atau tidak), morfologi rantai spora (lurus sampai lentur, melengkung, berputar atau spiral) dan permukaan spora (halus, berbintil-bintil, berduri, berambut, rugose atau knobby) juga dapat digunakan untuk standar taksonomi sampai tingkat spesies (Miyado 2003). Genus Streptomyces banyak ditemukan pada berbagai habitat seperti tanah, laut, sungai dan udara, tetapi ada beberapa isolat berperan sebagai patogen pada manusia, hewan dan tanaman. Populasi Aktinomiset pada tanah rizosfer (sekitar perakaran) rumput mendekati 40 % dari total mikroflora tanah. Keberadaan Aktinomiset tergantung kondisi tanahnya terutama kandungan bahan organik dan pH tanahnya sebagai habitat hidupnya. Aktinomiset terutama hidup pada lingkungan dengan pH cukup tinggi (6.5 – 8.0) dengan kondisi tanah setengah kering sampai kering. Pertumbuhan optimum Aktinomiset tercapai pada
10
kondisi pH netral dengan suhu 25–35 oC, tetapi ada juga yang dapat tumbuh pada kisaran suhu 45–55 oC. Aktinomiset umumnya tergolong bakteri aerob yang bersifat saprofit, dorman dalam bentuk spora yang akan berkembang menjadi miselium apabila nutrisi, suhu, kelembaban dan kondisi lainnya sesuai dengan syarat tumbuhnya (Alexander 1961; Hasim 2003; Miyado 2003). Meskipun terdapat perbedaan pada kondisi pertumbuhan mikroba (seperti pH, agitasi, aerasi) dan kondisi aktivitas optimum xilanase, namun terdapat beberapa kesamaan pada biologi molekuler dan biokimia xilanase mikroba prokariotik dan eukariotik (Subramaniyan dan Prema 2002).
2.4. Amobilisasi Xilanase Amobilisasi enzim merupakan suatu metode untuk menempatkan atau melokalisasi enzim dalam suatu ruang tertentu tanpa kehilangan aktivitas katalitiknya.
Enzim Bebas Pengikatan
Penjerapan Penjerapan dalam matriks
Penjerapan Adsorbsi dengan membran (fisik atau ionik)
Pengikatan secara kovalen Dengan matriks
Di antara membran makroskopik
Mikroenkapsulasi
Gambar 2. Metode Amobilisasi Enzim (Shuler dan Kargi 2002).
Dengan enzim
11
Metode amobilisasi yang digunakan dapat diklasifikasi menurut Worsfold (1995), sebagai berikut: 1. Penjerapan (entrapment) Penjerapan enzim di dalam matriks (tipe lattice) maupun membran, yaitu tipe mikroenkapsulasi atau penjerapan diantara membran makroskopik. 2. Pengikatan (bounding) Pengikatan enzim dengan ikatan kovalen, yaitu pengikatan enzim dengan matriks serta pengikatan silang antar enzim (cross linking), maupun pengikatan enzim dengan matriks secara adsorpsi (ikatan fisik atau ionik).
Pada metode amobilisasi dengan penjerapan tipe lattice, enzim tetap bebas dalam larutan tetapi dibatasi pergerakannya di dalam struktur berpori dari suatu matriks polimer yang berikatan silang dan tidak larut dalam air. Berbeda dengan penjerapan di dalam matriks, penjerapan dengan membran membatasi pergerakan enzim di antara membran makroskopik atau di dalam membran polimer semi permeabel. Kedua struktur ini tetap memungkinkan aliran substrat, kofaktor dan produk. Kelemahan utama dari metode ini adalah adanya kemungkinan keluarnya enzim dari struktur secara lambat selama pemakaian sinambung, serta adanya pembatasan difusional dan hambatan sterik terutama ketika menggunakan substrat protein dan pati. Enzim dapat dijerap dalam polimer alami seperti agar, agarose, gelatin, alginat dan karagenan, polimer sintetik seperti gel poliakrilamid, resin photo-crosslinkable, prepolimer poliuretan dan polimer akrilik, ataupun hidrogel albumin-poli etilen glikol (Rosevear et al. 2005b). Pada amobilisasi enzim dengan adsorpsi, enzim terikat pada matriks melalui interaksi antar permukaan dengan gaya elektrostatik seperti gaya van der Waals, interaksi ionik dan ikatan H serta gaya hidrofobik, yang umumnya lemah tetapi memberikan banyak kemungkinan terjadinya pengikatan pada permukaan. Metode ini mudah, murah, reversibel dan amobilisasi dapat dilakukan dengan cepat. Oleh karena adsorpsi memanfaatkan interaksi permukaan antara enzim dan matriks, maka metode ini tidak membutuhkan aktivasi atau modifikasi dengan bahan kimia sehingga tidak menyebabkan perubahan kimia terhadap enzim maupun matriks. Kelemahan dari metode adsorpsi adalah kemungkinan terjadinya desorpsi atau lepasnya enzim dari matriks, terjadinya pembatasan
12
difusional dan transfer massa akibat dari pengikatan non-spesifik substrat, kofaktor atau kontaminan pada matriks, kemungkinan berlebihnya kapasitas enzim yang teradsorpsi pada matriks, serta penghambatan sterik oleh bahan penyusun matriks. (Rosevear et al. 2005a). Metode
amobilisasi
dengan
pengikatan
kovalen
berdasar
pada
pembentukan ikatan kovalen antara gugus fungsional pada matriks dan enzim. Gugus fungsional pada enzim tersebut adalah gugus amino (NH2) pada lisin dan arginin, gugus karboksil (COOH) pada aspartat dan glutamat, cincin fenol pada tirosin, gugus tiol pada sistein, gugus hidroksil (OH) pada serin dan treonin, gugus imidazil pada histidin, serta gugus indol pada triptofan (Goel 1994). Kelebihan metode ini adalah bersifat stabil yang mencegah elusi enzim ke dalam cairan reaksi, serta memiliki berbagai pilihan matriks dan metode ikatan yang memberikan fleksibilitas dalam mendisain enzim amobil dengan karakteristik fisik dan kimia yang spesifik. Metode pengikatan kovalen merupakan metode yang relatif mahal dan memiliki prosedur yang rumit. Situs aktif dapat mengalami modifikasi akibat reaksi kimia yang digunakan untuk membentuk ikatan kovalen. Aktivitas enzimatis dapat menurun karena enzim terpapar lingkungan yang buruk dan bahan kimia (Kim 2005). Amobilisasi enzim dapat dilakukan dengan ikatan silang antar molekul enzim (cross linking) membentuk struktur 3-D yang besar tanpa matriks, secara kimia (ikatan kovalen) atau fisik (flokulasi). Metode ini mahal dan tidak efisien karena beberapa molekul enzim dijadikan sebagai matriks/support sehingga aktivitas enzimatisnya relatif rendah. Umumnya, metode ini digunakan bersama dengan metode amobilisasi enzim yang lain, misalnya untuk mencegah hilangnya enzim dari gel poliakrilamid atau menstabilkan enzim teradsorbsi (Rosevear et al. 2005a). Dibandingkan dengan enzim bebas, enzim amobil memiliki kelebihan yaitu peningkatan stabilitas, pemanenan dan purifikasi produk yang lebih mudah, dapat dipakai berulang dan dapat digunakan dalam proses teknologi yang sinambung (Zubriene et al. 2003). Penggunaan kembali enzim dapat mengurangi biaya dan menyederhanakan proses secara global (Ai et al. 2005). Pemisahan enzim dari produk dan larutan reaksi lebih mudah sehingga dapat menghentikan reaksi dengan cepat (atau vice versa), mengurangi masalah effluen, dan dapat digunakan dalam pengembangan sistem reaksi multienzim (Kim 2005). Enzim
13
amobil banyak dimanfaatkan pada produksi industrial, pengolahan limbah dan pengobatan penyakit, dengan berbagai aplikasi (Cano et al. 2006). Amobilisasi xilanase dengan metode kovalen telah dilakukan sebelumnya pada matriks polimer, seperti polivinil alkohol (PVA) (Rao dan Misra 1984) atau membran polisulfon (Cano et al. 2006), dan secara non kovalen menggunakan manik-manik silika serta hidrogel (Dumitriu dan Chornet 1997), polyurethane foam (Haapala 1994), manik-manik gelas berpori (Simpson et al. 1991) atau kain nilon (Gawande dan Kamat 1998a). Amobilisasi xilanase dapat pula dilakukan pada polimer terlarut-tidak terlarut secara reversibel, seperti EudragitTM S100 (Sardar et al. 2000, Gawande dan Kamat 1998b). Tabel 1. Amobilisasi berbagai Xilanase dengan EudragitTM Xilanase dari
Matriks Amobilisasi
Xilanase komersial PectinexTM 3XL (Novo Nordisk Ferment. Ltd. Switzerland)
EudragitTM S 100
Tyagi et al. 1998
Aspergillus sp. 5 dan Aspergillus sp. 44
EudragitTM S 100
Gawande dan Kamat 1998b
Aspergillus niger
EudragitTM L 100
Sardar et al. 2000
Thermomyces lanuginosus SSBP Melanocarpus albomyces IIS 68 Scytalidium thermophilum Streptomyces olivaceoviridis E-86
Referensi
TM
S 100
Edward et al. 2002
TM
L 100
Roy et al. 2003
TM
L 100
Gaur et al. 2005
TM
S 100
Ai et al. 2005
Eudragit
Eudragit
Eudragit Eudragit
EudragitTM S100 adalah produk polimer enterik dari Rohm Pharma GmbH (Weiterstadt, Jerman) dan merupakan kopolimer anionik yang tersusun oleh metil metakrilat dan asam metakrilat, dengan berat molekul 135 kDa yang kelarutannya tergantung pada pH. Rasio gugus karboksil terhadap gugus ester pada polimer adalah 1:2 (Anonim 2004).
Gambar 3. Struktur Kimia EudragitTM
14
EudragitTM S100 memiliki karakter yang menarik sebagai matriks amobilisasi protein, yaitu harganya relatif murah, mudah didapatkan, tidak bersifat toksik (biasa digunakan untuk salut tablet dan pil pada industri farmasi) serta larut dalam air. Polimer ini menunjukkan interaksi non spesifik yang minimal, dan pengikatan yang disebabkan oleh interaksi afinitas (Gawande dan Kamat 1998b). Matriks EudragitTM S100 dapat digunakan dalam bentuk terlarut pada reaksi yang diinginkan, sehingga dapat mengurangi hambatan transfer massa dan hambatan sterik seperti yang terjadi pada matriks yang tidak larut (Gawande dan Kamat 1998b). Dengan sifat ketidak larutannya pada pH dibawah 4.0, enzim mudah di-recovery dari proses katalisis dengan menurunkan pH (Roy et al. 2003), sehingga dapat memfasilitasi hidrolisis dengan lebih baik pada substrat yang tidak larut (Ai et al. 2005). Polimer EudragitTM S100 merupakan polimer yang cerdas atau responsif terhadap stimulus, yang memberikan respon terhadap perubahan lingkungannya dengan perubahan dramatis pada karakter fisiknya. Polimer EudragitTM S100 bersifat larut-tidak larut secara reversibel pada media cair dan membentuk hidrogel. Hidrogel merupakan jaringan polimer hidrofilik yang meluas atau mengembang dengan menyerap 10 – 20 % sampai ribuan kali berat keringnya di dalam air. Hidrogel ini terikat dengan gaya non kovalen dan memiliki struktur yang tidak homogen, yaitu memiliki domain hidrofilik dan hidrofobik. Ketika penyerapan air, hidrasi terjadi pertama pada bagian hidrofilik (air terikat primer), kemudian pada situs hidrofobik (air terikat sekunder) dan pada ruang antara rantai dan pori-pori (air bebas) (Roy dan Gupta 2003).