II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KARAKTERISTIK GABAH/BERAS 2.1.1. Asal Usul dan Varietas Gabah Padi (Oryza sativa L.) L.) merupakan salah satu tanaman yang penting di dunia, dan diproduksi di semua benua. Padi menjadi tanaman yang penting sebelum penulisan sejarah dimulai. Salah satu pusat asal-usul pembudidayaan padi diperkirakan adalah Asia Tenggara yaitu India Timur, Indo Cina, Cina Selatan, dan kemugkinan lain adalah Afrika (Adair, 1972). Di tanah asalnya yaitu bagian utara dari Benggala, terdapat paling banyak varietas-varietas padi yang diusahakan orang maupun jenis-jenis yang tumbuh liar. Menurut penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan belakangan ini menyatakan bahwa Oryza sativa L, yaitu jenis padi yang banyak diusahakan orang dewasa ini, terjadi karena perkawinan silang yang berlangsung berkali-kali antara banyak sekali bentuk-bentuk padi liar. Dari bentuk-bentuk padi yang banyak itu, yang dapat dianggap sebagai induk dasar dari varietas padi yang dipelihara orang adalah Oryza L.f. spontanea dan Oryza officianalis Wall (Soemartono, dkk. 1972 di dalam Agar, S.B, 1978). Adapun varietas padi yang ditanam di Indonesia umumnya termasuk jenis Oryza sativa L. Jenis ini dibagi atas dua golongan yaitu utilissima utilissima dan glutinosa (ketan). Yang disebut pertama dibagi lagi atas communis dan minuta. Golongan padi yang banyak ditanam di Indonesia termasuk golongan communis, yang masih dibagi lagi ke dalam dua sub golongan yaitu padi Bulu dan padi Cere (Soemartono, dkk. 1972 di dalam agar S.B. 1978).
2.1.2. Struktur Anatomi dan Komposisi Beras Pada saat masih berupa gabah, caryopsis (beras pecah kulit) dilindungi oleh sekam yang terdiri dari palea dan lemma. Pada proses pecah kulit, palea dan lemma akan terpisah sehingga didapat beras pecah kulit yang masih dilindungi oleh beberapa lapisan. Struktur Struktur anatomis beras dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur anatomi beras
Gabah sebagai sumber karbohidrat terletak di bagian dalam (endosperm) sifat sangat rapuh, mudah rusak terhidrolisa (terurai menjadi pecahan yang sederhana) oleh air. Bagian ini diselimuti dengan lapisan katul (aleuron layer) yang berlapis lapis; sedangkan bagian luarnya ditutupi dengan jaket “sekam” yang mengandung silica dan tahan terhadap perubahan cuaca. Sekam sebagai bagian yang paling berjasa, ternyata setelah dikupas, digiling menjadi barang yang kurang berharga. Di Indonesia pemanfaatannya masih sangat terbatas. Lapisan katul yang kaya protein lebih banyak menjadi makanan ternak, sedangkan berasnya inilah menjadi produk utama yang dikonsumsi dan diperdagangkan manusia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, khusunya terhadap beras hasil pengadaan Bulog bahwa dalam setiap 100 gram gabah murni, apabila dilakukan pengupasan (husking) dan penyosohan (milling-polishing), maka akan terbentuk komponen sekam, beras utuh, menir dan katul dengan komposisi sebagai berikut:
Tabel 1. Prosentase perbandingan komponen beras Komponen Sekam
Satuan (%) 20-23 77
Beras PK Beras Putih
67-68
Broken
15
Menir
1
Dedak Katul
8-10
Sumber: Sumawikarta (2005)
Menurut De Padua, dkk. (1976), beras pecah kulit (pk) yang berkadar air 14% mengandung 8,3% protein, lemak 1,9% dan karbohidrat 74,9%. Sedangkan pada beras yang telah disosoh pada kadar air yang sama, kandungan proteinnya sebesar 7,1%, lemak 0,5%, dan karbohidrat 77,8%. Komposisi kimia beras pecah kulit dan beras sosoh dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia beras pecah kulit dan beras sosoh Satuan
Beras PK
Beras Sosoh
%
14
14
Kcal/100g
352
354
Protein
g/100g
8,3
7,1
Lemak
g/100g
1,9
0,5
Kandungan Kadar air Energi makanan
Total karbohidrat
g/100g
74,9
77,8
Serat
g/100g
0,7
0,4
Abu
g/100g
1,1
0,6
Ca
Mg/100g
9
8
Phosphor
Mg/100g
183
104
Fe
Mg/100g
0,29
0,10
Ribaflavine
Mg/100g
0,07
0,05
Niacin
Mg/100g
3,9
2,3
Sumber: Araullo, dkk. (1976) Caryopsis atau yang dikenal dengan beras pecah kulit terdiri atas pericarp, tegmen, aleuron, embrio (lembaga) dan endosperm yang berpati. Menurut Juliano (1972) proporsi berat masing-masing bagian beras pecah kulit adalah sebagai berikut: pericarp dan tegmen 1-2%, aleuron dan testa 4-6%, germ 2-3%, dan endosperm 89-94%. Caryopsis atau beras pecah kulit dibungkus oleh pericarp yang brserat dan bervariasi tebalnya. Pericarp ini terdiri atas lapisan epicarp yang terbentuk paling luar dan hypoderm atau mesocarp yang terletak di bawahnya. Tegmen merupakan lapisan yang tepat berada di bawah lapisan pericarp. Lapisan tegmen ini banyak mengandung lemak. Endosperm atau embrio tertutup oleh aleuron yang terletak di bawah tegmen. Lapisan aleuron terdiri atas sel-sel parenchym yang berbentuk bujur sangkar atau belah ketupat dengan dinding yang berukuran 2 mikron. Sel-sel ini diisi dengan serpih aleuron yang kecil dan kaya akan protein. Embrio atau lembaga berbentuk sangat kecil dan terletak pada bagian ventral dan caryopsis. Pada bagian longitudinal dari biji, permukaan luar dari embrio tampak berbentuk lentikular. Embrio ini bagian luarnya tertutup oleh lapisan aleuron. Endosperm terdiri dari sel parenchym yang berdinding tipis biasanya memanjang secara radial dan terisi penuh dengan granula-granula tepung serta beberapa partikel protein. Selain pengelompokan berdasarkan sifat fisik, saat ini beras juga dikelompokkan, pada kelompok: a. Fragrance rice (beras beraroma) : adalah kelompok beras yang apabila di tanak timbul bau wangi (flavor) serta rasa nasi (taste) yang khas. Timbulnya kekhasan tersebut pada umumnya disebabkan oleh varietas (genetika) yang dibawanya. Di Indonesia dikenal dengan beras Cianjur, Rojolele, Basmati (Pakistan), homely (jasmine rice-Thailand) dsb. b. Non Fragrance Rice, adalah beras umum yang tidak memiliki kekhasan rasa dan aroma, namun tidak sedikit terdapat juga beras dengan rasa yang relatif enak. Berkaitan dengan tingkat rasa dan kepulenan, maka kualitas tanak nasi (cocking quality), beras dikelompokkan ke dalam nasi pulen (sticky rice) dan beras pera (non-sticky rice). Untuk mengetahui kualitas tanak nasi selain dilakukan dengan test masak, juga dapat dilakukan analisa kimia yang ditujukan pada perbandingan kandungan amylosa terhadap amylopekstin dalam beras. Beras pulen umumnya mempunyai perbandingan kadar amylopektin relatif tinggi terhadap amylosanya, atau amylosanya rendah (kurang dari 25%). Sedangkan beras pera adalah beras yang kadar amylosanya diatas 25% yang berarti kandungan amilopektinnya relatif lebih rendah dengan beras pulen pada umumnya.
2.1.3. Kualitas Beras 2.1.3.1. Standar Kualitas Beras Standar kualitas merupakan suatu ukuran/dasar penilaian baik bagi produsen maupun konsumen guna mencapai nilai kepuasan transaksi, maupun konsumsi atau pemakaiannya. Dengan patokan standar kulitas tersebut, penetapan harga yang merupakan kesepakatan produsen dan konsumen atas barang tersebut dapat secara adil disepakati. Standar kualitas diterbitkan oleh lembaga yang berwenang seperti SNI (Standar Nasional Indonesia), SII (Standar Industri Indonesia), JIS (Japan Internatinal Standard dan sebagainya. Dalam kaitan perdagangan beras terdapat SNI No. 01-6128-1999 yang diterbitkan Departemen Perindustian, yaitu sebagai berikut:
Tabel 3. Standar kualitas beras menurut SNI SNI No.
Komponen Mutu
Satuan Mt.I
Mt.II
Mt.III
Mt.IV
Mt.V
1
Derajat Sosoh
%
100
100
100
95
85
2
Kadar Air
%
14
14
14
14
15
3
Beras Kepala
%
100
95
84
73
60
4
Butir Utuh
%
60
50
40
35
35
5
Butir Patah
%
0
5
15
25
35
6
Butir Menir
%
0
0
1
2
5
7
Butir Merah
%
0
0
1
3
3
8
Butir Kuning
%
0
0
1
3
5
9
Butir Kapur
%
0
0
1
3
5
10
Butir Asing
%
0
0
0.02
0.05
0.2
11
Butir Gabah
%
0
0
1
2
3
Sumber: Sumawikarta (2005)
SNI mutu I dengan kategori beras kepala atau bahkan diatasnya dimana beras kulitas super hanya terdiri beras utuhnya saja, sedangkan mutu II dan III masuk pada kualitas beras komersial mutu
menegah. SNI mutu III dan IV sebagai beras medium sampai dengan mutu rendah dipasarkan pada pasar-pasar tradisional (termasuk didalamnya beras pengadaan dalam negri Bulog). Pada perdagangan beras internasional, standar kualitas pada dasarnya merupakan kesepakatan antara pembeli (buyers) dengan exporter yang dituangkan dalam kontrak. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan ekonomi pedesaan, pemerintah telah menetapkan impress No.2 tahun 2005 tentang kebijakan perberasan yang salah satu dictum diantaranya adalah melaksanakan kebijakan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah. Dalam aplikasinya sebagai pelaksana kebijakan pembelian/pengadaan gabah/beras dalam negri, Bulog juga menetapkan persyaratan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif beras, yaitu: a. Persyaratan umum kualitas beras: 1. Bebas hama dan penyakit yang hidup; 2. Bebas bau apek, asam atau bau-bau asing lainnya; 3. Bersih dari campuran dedak dan katul; 4. Bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan baik secara visual maupun secara organoleptik. b. Persyaratan khusus kualitas beras: Persyaratan khusus kualitas beras dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persyaratan khusus kualitas beras No.
Komponen Mutu
Max/Min
Satuan
Mutu IV
1
Derajat Sosoh
Min
(%)
95
2
Kadar Air
Max
(%wb)
14
3
Beras Kepala
Min
(%)
78
4
Butir Utuh
Min
(%)
35
5
Butir Patah
Max
(%)
20
6
Butir Menir
Max
(%)
2
7
Butir Merah
Max
(%)
3
8
Butir Kuning/Rusak
Max
(%)
2
9
Butir Mengapur
Max
(%)
3
10
Benda Asing
Max
(%)
0.02
11
Butir Gabah
Max
Butir/100g
1
12
Campuran varietas lain
Max
(%)
5
*) Modifikasi SNI No. 01-6128-1999 pada Butir Patah dari 25% menjadi 20%, penambahan komponen Beras Kepala 73% menjadi 78%.
2.1.3.2. Pengertian Komponen Kualitas Beras a.
b.
Persyaratan Umum: 1. Hama dan Penyakit. Ada/tidaknya kehadiran hama (serangga, ulat, dsb) dan/atau penyakit (cendawan dsb) yang hidup dan terdapat dalam contoh beras yang diperiksa (contoh primer). Bebas hama/penyakit berarti secara visual tidak ditemui hama/penyakit yang hidup dalam contoh gabah yang diperiksa (contoh primer). Bangkai serangga hama dikategorikan sebagai benda asing. 2. Bau. Menyangkut bau yang dapat ditangkap dengan indra pencium (hidung) pada contoh beras yang diperiksa. Bau yang ditolak adalah bau busuk, asam, apek atau bau-bau asing lainnya yang jelas berbeda dengan bau beras yang sehat. 3. Dedak dan Katul. Ada atau tidaknya dedak/katul yang terlepas (bebas). Beras harus bersih dari campuran dedak dan katul. 4. Bahan Kimia. Sisa-sisa bahan kimia seperti pupuk, pestisida dan bahan-bahan kimia lainnya yang membahayakan bagi kesehatan/keselamatan manusia. Persyaratan Khusus: 1. Beras Giling. Beras utuh atau patah yang diperoleh dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi (Orizae sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas atau sebagian lembaga dan katul telah dipisahkan serta memenuhi persyaratan kuantitatif dan kualitatif seperti tercantum dalam persyaratan kualitas beras giling pengadaan dalam negri. 2. Derajat Sosoh. Tingkat terlepasnya lapisan katul (pericarp, testa dan aleuron) dan lembaga dari butir beras. Derajat Sosoh 100% (Full Slyp) berarti tingkat terlepasnya seluruh lapisan katul, lembaga, dan sedikit endosperm dari butir beras. Sedangkan Derajat Sosoh 95% berarti tingkat terlepasnya sebagian besar lapisan katul, lembaga dan sedikit endosperm dari butir beras sehingga sisa yang belum terlepas sebesar 5%. Penilaian dilakukan secara visual dengan atau tanpa zat pewarna yang kemudian dibandingkan dengan contoh baku dari varietas yang bersangkutan. 3. Kadar Air. Jumlah kandungan air di dalam butir beras yang dinyatakan dalam satuan persen dari berat basah (wet basis). 4. Ukuran butir beras. Beras Kepala (Head Rice) adalah penjumlahan butir utuh dan butir patah besar (Big Broken). Butir Utuh (Whole Kernel) adalah butir beras baik, sehat maupun cacat, yang utuh (10/10) tanpa ada bagian yang patah. Butir Patah Besar (Big Broken) adalah butir patah baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 6/10 (BPB6/10) bagian dari ukuran panjang rata-rata butir beras utuh yang dapat melewati permukaan cekungan idented plate dengan persyaratan ukuran lubang 4,2 mm. Butir Patah adalah butir beras patah baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 6/10 bagian tetapi lebih besar dari 2/10 bagian ( 2/10
utuh. Butir Menir adalah butir beras patah baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih kecil atau sama dengan 2/10 bagian butir utuh (BM 2/10), penggunaan ayakan menir standar dengan lubang berukuran garis tengah minimal 1,8 mm dan maksimal 2,0 mm. 5. Butir Merah. Adalah butir beras utuh, patah besar, patah dan menir yang 25% atau lebih permukaannya diselaputi oleh kulit ari yang berwarna merah atau seluruh endospermnya berwarna merah. 6. Butir Kuning/Rusak. Butir Kuning adalah butir beras utuh, patah besar, patah dan menir yang berwarna kuning, kuning kecoklat-coklatan atau kekuning-kuningan (kuning semu). Butir Rusak adalah butir beras utuh, patah besar, patah dan menir yang rusak dan berubah warna karena air, hama/penyakit, panas dan sebab-sebab lain. Beras yang berbintik kecil tunggal yang tidak potensial (kemungkinan tidak menjadi rusak) tidak termasuk butir rusak. 7. Butir Hijau/Mengapur. Butir Hijau adalah butir beras yang berwarna kehijauan dan bertekstur lunak seperti kapur akibat dipanen terlalu muda (sebelum proses pemasakan buah sempurna), hal ini ditandai dengan patahnya butir-butir hijau tadi. Butir berwarna hijau dan utuh yang keras dikategorikan sebaga butir sehat (bukan butir hijau). Sedangkan Butir Mengapur adalah butir beras patah yang separoh bagiannya atau lebih berwarna putih seperti kapur (chalky) dan yang bertekstur lunak. 8. Butir Ketan. Adalah butir beras yang berasal dari varietas Oryzae sativa L glutinosa. Butir ketan yang berwarna putih, utuh yang tercampur dalm beras dikategorikan sebagai butir beras baik, sedangkan butir beras ketan yang putih yang tidak utuh dikategorikan sebagai butir kapur. Untuk butir beras ketan hitam dikategorikan sebagai benda asing. 9. Campuran varietas lain. Varietas yang bukan merupakan varietas dominan dari gabah/beras tersebut termasuk beras ketan (Oryzae sativa L glutinosa). 10. Benda Asing. Benda-benda asing yang tidak tergolong beras, misalnya butir-butir tanah, butir-butir pasir, batu-batu kerikil, jerami, malay, potongan logam, potongan kayu, tangkai padi, biji-bijian lain, bangkai serangga hama, dan lain sebagainya. 11. Butir Gabah. Butir beras yang sekamnya belum terkupas atau hanya terkupas sebagian, termasuk butir beras patah yang masinh bersekam.
2.2. PENYIMPANAN BERAS 2.2.1. Tujuan Penyimpanan Beras Imdad dan Nawangsih (1995) mengemukakan hal-hal yang menjadi tujuan penyimpanan hasil pertanian seperti beras, yaitu: a. Untuk menunggu jumlah hasil yang cukup banyak sebelum dipasarkan sehingga tidak mengalami kerugian. b. Untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik saat terjadi lonjakan hasil panen. c. Sebagai persediaan pangan yang dimanfaatkan secara bertahap sesuai kebutuhan. d. Untuk memenuhi kebutuhan benih yang akan digunakan pada musim tanam berikutnya.
e.
Karena keadaan yang kurang menguntungkan seperti cuaca dan faktor alam lainnya. Sedangkan tujuan penyimpanan beras yang terkait tugas dan peran Bulog antara lain (Syaifullah, 2001): a. Menyangga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi. b. Memberikan perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen. c. Menciptakan perbedaan harga yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum agar merangsang perdagangan. d. Menciptakan hubungan harga yang wajar antara harga domestik dengan harga internasional.
2.2.2. Metode Penyimpanan Beras Mudiastuti dan Semat (1979) mengemukakan beberapa metode atau sistem penyimpanan bijibijian. Penyimpanan biji-bijian dapat dibagi menjadi beberapa sistem, yaitu: a. Penyimpanan jangka pendek, yaitu waktu penyimpanan hingga 3 bulan. b. Penyimpanan jangka sedang, dengan lama penyimpanan antara 3 sampai 12 bulan. c. Penyimpanan jangka panjang, dengan lama penyimpanan 1 hingga 2 tahun. Menurut macam dan bentuk bahan yang disimpan, macam-macam sistem penyimpanan bijibijian antara lain: a. Sistem gedengan. Pada sistem ini bahan yang disimpan berbentuk ikatan-ikatan yang butir bijinya belum dilepaskan dari tangkainya. b. Sistem curah. Yaitu bahan-bahan yang disimpan berbentuk butiran yang telah terlepas dari tangkainya atau yang sudah terkupas dari kulitnya. Butir-butir ini dituangkan langsung ke dalam tempat penyimpanan. c. Sitem karungan. Bahan yang disimpan terlebih dahulu dimasukkan kedalam karung kemudian karung-karung tersebut ditumpuk didalam tempat penyimpanan. Imdad dan Nawangsih (1995) mengemukakan bahwa hasil pertanian pada umumnya disimpan dalam tiga macam keadaan, yaitu dionggokkan (bulk), dihamparkan, atau dikemas. Beberapa macam media penempatan yang biasa digunakan untuk bahan-bahan yang disimpan adalah sebagai berikut: a. Lantai Lantai merupakan media penyimpanan hasil pertanian dalam keadaan curah atau onggokan (bulk). Bangunan lantai sederhana dapat berupa lantai tanah yang dipadatkan dan letaknya dapat di dalam maupun diluar bangunan penyimpanan. Lantai bentuk permanen berupa lantai yang permukaannya diperkeras dengan semen olahan atau tegel. Dasar onggokan dapat dilapisi dengan plastik, tikar, karung, atau dedaunan kering. Tujuannya agar bahan yang berada pada tumpukan paling bawah tidak mudah lembab. b. Rak Rak merupakan media yang dapat dipergunakan untuk menyimpan hasil pertanian dengan cara dihamparkan. Rak dapat memberi keadaan yang lebih baik karena seluruh permukaan bahan memperoleh udara segar yang dapat menjaga mutu bahan. Selain itu, rak dapat menghemat tempat atau ruang karena konstruksinya dapat dibuat bersusun. Terdapat macam-macam bentuk rak yang umum digunakan, yaitu: 1. Bangun segiempat. Pada bentuk seperti ini, pengaruh sirkulasi udara mudah diatur sehingga permukaan bahan tetap terjaga kekeringannya. Dengan demikian dapat dicegah timbulnya proses pembusukan.
2.
Bangun segitiga. Pada bentuk seperti ini bahan tidak dihamparkan, tetapi diletakkan dengan posisi menggantung. Dalam keadaan seperti ini, permukaan bahan yang disimpan mudah mendapatkan udara yang segar sehingga mutunya akan terjaga baik. 3. Para-para. Media penyimpanan ini mempunyai konstruksi dasar yang sama dengan rak penyimpanan model segiempat. Konstruksi disesuaikan dengan fungsinya yaitu agar dapat menggantung pada bangunan dasar atap rumah diatas perapian dapur. Para-para digunakan untuk menempatkan produk pertanian seperti jagung (tongkolan), padi (ikatan), bawang ikatan, dan produk biji-bijian lain. c. Kemasan Kemasan adalah wadah atau media yang dimaksudkan untuk mempermudah pengaturan, pengangkutan, penempatan dari dan ke tempat penyimpanan, serta memberi perlindungan pada bahan secara awal. Beberapa media kemasan yang umum digunakan yaitu karung, silo, kotak kayu besar, keranjang bamboo, tong, gentong (belanga besar), kaleng, kantung kedap udara, dan box Styrofoam. Dasar tumpukan kemasan ditopang dengan menggunakan kayu balok yang dibentuk, batu bata, dan alat penumpu lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari sentuhan langsung antara dasar tumpukan dengan lantai bangunan penyimpanan. Apabila menghendaki waktu simpan yang lama (6 bulan lebih), kemasan karung disimpan dengan sistem berkelompok, antara kelompok diberi jarak sebagai jalan control, melancarkan sirkulasi udara, dan mempermudah kegiatan fumigasi. Apabila jangka waktu simpanannya pendek (3-4 bulan), kemasan dapat disusun secara rapat dan padat dalam tumpukan missal tanpa dibuat jarak antar kelompok.
2.2.3. Sorpsi Isotermi Penyimpanan Biji-Bijian Pengertian biji-bijian meliputi: (1) padi-padian/serealia, antara lain padi, jagung, gandum, sorgum/cantel, barley, dan rye, merupakan makanan pokok sumber karbohidrat, (2) kacang-kacangan (Famili Leguminosa), misalnya kedelai, kacang hijau, dan lain-lain, merupakan sumber protein nabati, (3) tanaman perkebunan/hasil pertanian lainnya seperti kopi, lada, biji kapuk (randu), biji bunga matahari, dan lain-lain. Secara alami komoditas pertanian bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekeliling, dan juga sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini digambarkan dengan kurva isotermik, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RH) atau aktivitas air (Aw) pada suhu tertentu. Aktivitas air menggambarkan sifat dari bahan pangan itu sendiri, sedangkan RH menggambarkan sifat lingkungan atmosfir yang berada dalam keadaan setimbang dengan bahan tersebut. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pada suatu keadaan lingkungan tertentu tergantung pada RH. Model sorpsi isotermi bahan pangan pada umumnya berbentuk sigmoid (Gambar 2). Van de Berg and Bruin (1981) membagi sorpsi isotermi bahan pangan kedalam tiga daerah menurut kadar air yang berada dalam bahan. Daerah I merupakan absorpsi air yang bersifat satu lapis air (monolayer) dan berada pada RH antara 0-20%, daerah II menyatakan terjadinya pertambahan lapisan di atas satu lapis molekul air (multilayer) yang terjadi pada RH antara 20-70%, dan daerah III merupakan daerah dimana kondensasi air pada pori-pori mulai terjadi (kondensasi kapiler).
Gambar 2. Bentuk umum kurva sorpsi isotermi air bahan pangan (Van den Berg and Bruin, 1981)
Masalah sorpsi isotermi pada bahan pangan pada dasarnya menyangkut penyerapan atau penguapan air dari bahan yang bersangkutan. Penyerapan air dari udara ke dalam bahan yang kering adalah adsorbsi, sedangkan proses penguapan air dari bahan yang basah ke udara sekelilingnya disebut desorpsi. Sorpsi isotermi dipengaruhi oleh (1) varietas biji-bijian, (2) tingkat kematangan, (3) sejarah atau asal-usul biji-bijian, (4) metode penetapan RH, dan (5) metode penentuan kadar air kesetimbangan. Sorpsi isotermi dapat dipergunakan sebagai alat untuk meramalkan batas kelembaban relatif udara dalam ruang penyimpanan untuk mencegah agar bahan tidak mengalami kerusakan. Desain lumbung/gudang penyipanan biji-bijian dan benih di daerah tropis perlu memperhatikan pengendalian kelembaban relatif udara, hal ini dapat dilakukan apabila sorpsi isotermi bahan yang disimpan telah diketahui. Dengan bantuan model sorpsi isotermi peramalan kadar air bahan dapat dilakukan. Kadar air dalam biji-bijian memang sangat penting sebab kadar air yang tinggi dapat mengakibatkan kebusukan pada komoditas yang disimpan. Nilai aktivitas air minimum untuk pertumbuhan beberapa jenis mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Batas Aw minimal untuk pertumbuhan beberapa mikroorganisme Aw Minimal untuk Mikroorganisme
Aspergillus clavatus A. flavus
Pertumbuhan
Produksi Toksin
0.85
0.99 (patulin)
0.78 – 0.80
0.83 – 0.87
A. ochraceus
0.77 – 0.83
0.83 – 0.87 (ochratoxin)
A. parasiticus
0.82
0.87 (aflatoxin)
0.93 – 0.95
0.94-0.95
Clostridium botulinum Sumber: Beuchat (1981)
Beberapa model persamaan kadar air keseimbangan telah dikembangkan baik secara teoritis, semiteoritis, maupun empiris. Beberapa model sorpsi isotermi antara lain: model Chung-Pfost, model Henderson, dan model GAB. Chung dan Pfost (1967) mengemukakan suatu persamaan yang berdasarkan asumsi bahwa perubahan energi bebas berhubungan dengan kandungan air bahan (Lomaru, 1984). Menurut Brooker et al. (1981), model Chung-Pfost cocok untuk menerangkan sorpsi isotermi biji-bijian pada selang Aw antara 0,20-0.90. Bentuk persamaan model ini adalah sebagai berikut:
Dimana m dan k adalah konstanta. Henderson dan perry (1976) telah membuat model persamaan sorpsi isotermi yang menyatakan hubungan antara kadar air, kelembaban relatif, dan suhu. Model Henderson ini berlaku untuk bijibijian dan bahan pangan pada seluruh Aw. Persamaan model ini adalah: Konstanta k dan n tergantung dari jenis komoditinya. Tabel 6 memperlihatkan nilai k dan n untuk model Henderson.
Tabel 6. Nilai k dan n dalam persamaan model Henderson untuk beberapa komoditi pertanian k
n
Jagung pipil
1.10 x
1.90
Sorgum
3,40 x !
2.31
Kedelai
3.20 x
1.52
Gandum
5.29 x
3.03
Jenis Komoditi
Sumber: Sabdo Yuwono, dkk. (2006)
Pada perkembangannya model Henderson telah mengalami modifikasi menjadi:
" # $ % &$ &' ( )
Dimana:
RH
= Kelembaban Relatif (dec)
T
= Suhu ()
&'
= Kadar Air (% db)
A, B, C = Konstanta
Untuk beras (Rice à Rough Rice à Short Grain), nilai konstanta A = 4,8524 * , B = 2,0794, C = 45,646. (Sumber: ASAE Standards 1998)
Van den Berg (1983), telah mencoba menggunakan suatu model persamaan sorpsi isothermal GAB (Guggenheim, Anderson, de Boer) untuk beberapa bahan pangan dengan hasil yang cukup teliti. Model GAB dapat menerangkan sorpsi isotermi bahan pangan sampai kelembaban relatif 90%. Model ini merupakan perbaikan dari model BET (Braunauer, Emmet, dan Teller, 1938). Persamaan model GAB adalah sebagai berikut: & * , * + , , % &, atau &, -, , . &, . % % . &,+ &,+ &,+ Dimana Mo adalah kandungan air monolayer, sedangkan C dan K adalah konstanta.
2.2.4. Perubahan Sifat Beras Akibat Penyimpanan Gabah ataupun beras merupakan struktur bahan hayati yang kaya zat gizi dan masih melakukan kegiatan metabolisme. Oleh sebab itu pada penyimpanannya dapat mengalami perubahan, baik secara fisik, kimiawi, enzimatik dan mikrobiologis yang kompleks, yang mempengaruhi kualitas dan kuantitasnya. Namun demikian penyimpanan yang lama, atau sering dinamakan pengusangan (aging) dalam batas-batas tertentu dapat meningkatkan mutu gilingan dan mutu tanak beras. Perubahan pengusangan dapat juga mempengaruhi rasa dan nilai gizi, serta nilai komersial beras (Barber, 1972). Mutu tanak beras tergantung pada banyak faktor, di antaranya varietas dan lama penyimpanan (Grist, 1986). Semua varietas mempunyai mutu tanak yang kurang baik jika langsung ditanak segera setelah prosesing gabah yang baru dipanen. Pada saat penanakan, beras cenderung mudah membentuk pasta, tidak mengembang, kehilangan zat padat lebih banyak dan cenderung terjadi pemecahan biji. Sifat ini makin berkurang apabila beras disimpan.
Gabah ataupun beras akan mengalami perubahan fisikokimiawi dan mutunya pada penyimpanan selama 4-6 bulan pertama, terutama jika suhu penyimpanannya di atas / (Villaeral dkk., 1976). Dengan pengusangan, rendemen beras kepala dapat diperoleh lebih banyak; pada penanakan berasnya dapat diperoleh penyerapan air dan pengembangan volume nasi lebih besar, pemipihan nasi lebih meningkat dan pengurangan zat padat terlarut. Pengusangan dapat dilakukan dengan cara pemanasan kering maupun dengan pemanasan basah terhadap gabahnya (parboiling). Komposisi udara dalam penyimpanan mempengaruhi aktivitas enzim dan jasad renik. Konsentrasi oksigen berpengaruh terhadap mutu beras. Jika gabah disimpan tanpa aerasi, udara pada ruang penyimpanan menjadi kekurangan oksigen sebagai akibat respirasi gabah atau kegiatan jasad renik yang menggunakan oksigen. Beras yang disimpan dalam lingkungan dengan kandungan oksigen rendah mengalami keasaman ekstraknya dalam air dan juga penigkatan gula reduksi, meskipun aktivitas amilase tidak terpengaruh oleh kandungan oksigen udara. Sejumlah alcohol yang mudah menguap juga dihasilkan, dan terjadi pula kehilangan berat selama penyimpanan (Isawaki dan Tani, 1967). Hal ini menunjukkan bahwa pada penyimpanan dengan kandungan oksigen rendah terjadi penguraian komponen yang berbeda terhadap penguraian pada penyimpanan dengan lingkungan udara yang normal. Kecepatan dan besarnya perubahan sifat-sifat gabah terutama disebabkan oleh suhu penyimpanan dan kadar air. Makin tinggi suhu dan kadar air, makin besar perubahan yang terjadi (Barber, 1972; Dhaliwal; dkk., 1991; Villareal dkk., 1976). Kadar total pati dalam beras giling tidak berubah selama penyimpanan 12 bulan pada suhu 0. Kadar amilosa meningkat selama penyimpanan, terutama pada suhu yang lebih tinggi (Chrastil, 1990).
2.3. DESAIN FUNGSIONAL BANGUNAN PENYIMPANAN 2.3.1. Fungsi dan Peranan Bangunan Penyimpanan Kelayakan rancangan fungsional bangunan dilihat pada kemampuannya untuk menjaga kualitas dan kuantitas beras selama penyimpanan. Berikut adalah beberapa fungsi dan peranan bangunan penyimpanan (Mudiastuti dan semat, 1979), yaitu: a. Melindungi dari pengaruh langsung sinar matahari diwaktu siang. b. Melindungi dari pengaruh langsung air hujan dan embun (kontaminasi dengan air). c. Mencegah dan mengurangi kehilangan dan kerusakan biji-bijian akibat serangan tikus, serangga, burung, dan hama lainnya. d. Menghambat pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit yang dapat menyerang bijibijiaan. e. Menghindarkan dari pencurian. f. Memungkinkan dilakukannya pengendalian suhu, kelembaban, dan peredaran udara dengan sebaik-baiknya. g. Memungkinkan pemberian perlakuan yang dibutuhkan, seperti fumigasi dan lain-lain. h. Memungkinkan dilaksanakannya pendistribusian dengan lebih teratur, baik dari segi jumlah atau waktu.
2.3.2. Persyaratan Bangunan Penyimpanan
Menurut Hall (1970), struktur yang dibangun untuk memenuhi kriteria penyimpanan yang aman memiliki syarat-syarat: a. Anti cuaca secara menyeluruh. b. Memungkinkan untuk perlakuan fumigasi. c. Memiliki ventilasi terkontrol. d. Anti tikus dan burung. e. Bebas celah dan sudut yang dapat menjadi tempat berkumpulnya debu atau bahan sisa. f. Bebas dari area tembus cahaya pada atap untuk menghindari suhu tinggi pada bagian atas produk yang disimpan. g. Didesain untuk penambahan fasilitas dikemudian hari. Sedangkan persyaratan bangunan penyimpanan ditinjau dari segi letaknya (Mudiastuti dan Semat, 1979) adalah: a. Strategis baik dari sumber produksi maupun dari daerah penyaluran atau pemasaran. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan, pembelian, serta penjualan. b. Dekat dengan sarana angkutan umum agar pengumpulan dan penyaluran dapat berjalan dengan lancar. c. Terpisah dari bangunan rumah tinggal dan perkantoran. Tidak boleh dekat dengan industri atau pabrik. Hal ini untuk menghindarkan dari kemungkinan bahaya kebakaran, gangguan keamanan, serta gangguan kelancaran pekerjaan. d. Mudah untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, seperti sumber air, penerangan, dan sebagainya. e. Jauh dari hutan, semak belukar, dan tumbuhan yang rapat untuk menghindarkan dari hama tikus, burung, serangga, dan binatang liar lainnya. f. Jauh dari tempat-tempat atau sumber pencemaran lingkungan, seperti tempat pembuangan sampah, kotoran, dan buangan-buangan lain. Ini bertujuan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan. g. Disesuaikan dengan rencana induk kota atau daerah agar tidak terjadi pembongkaran yang tidak diinginkan. h. Areal memungkinkan untuk perluasan dikemudian hari. Kenaikan temperature diluar tempat penyimpanan dapat meningkatkan temperatur massa bahan yang ada didalamnya. Hal ini terjadi apabila tempat penyimpanan terbuat dari logam atau tidak diberi naungan yang cukup. Untuk menghindari perubahan udara akibat lingkungan yang tidak stabil dapat dilakukan dengan cara mengurangi timbulnya perbedaan temperatur diluar dan didalam bangunan melalui pengaturan sirkulasi udara yang baik. Rancang bangun tempat penyimpanan perlu direncanakan, terutama cara membuat dan menempatkan ventilasi udara (Imdad dan Nawangsih, 1995). Akumulasi uap air dapat dicegah dengan mengalirkan udara didalam gudang untuk menjaga keseragaman suhu. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain memasang ventilasi alami, ventilasi mekanis, dan penggunaan bahan insulasi pada permukaan bangunan gudang penyimpanan (Hall, 1980). Suatu atap gudang yang baik sangat penting untuk melindungi biji-bijian dari hujan dan uap air. Untuk melindungi dari kelembaban tanah, dapat dibangun lantai beton yang anti lembab dan datar (tidak ada cekungan yang dapat menyebabkan genangan air), atau dapat dibuat dari bahan konstruksi lain dengan ketinggian 46 cm dari tanah (Gray, 1955). Kondisi penyimpanan dapat ditingkatkan dengan selalu menjaga kebersiahan dan memperbaiki kerusakan pada tempat penyimpanan, serta hanya menyimpan beras yang berkondisi baik (Lindblad
dan Druben, 1976). Kebersihan ruang penyimpanan adalah hal yang utama dalam pengendalian hama binatang pengerat. Penjagaan kebersihan harus dilakukan secara teratur dan kontinyu (Hall, 1980). Struktur bangunan anti tikus dapat diterapkan dengan menggunakan bahan konstruksi yang tahan dari gigitan tikus, menjaga semua bukaan yang ada agar selalu tertutup rapat, dan menjaga interior bagunan agar tidak terdapat celah atau ruang yang dapat dijadikan sarang oleh tikus (Hall, 1980). Lantai dan pondasi gudang yang terbuat dari beton juga dapat mencegah masuknya tikus dari lubang didalam tanah. Hal-hal dibawah ini dapat menjadi pertimbangan dalam membuat kontruksi bangunan anti tikus (Winarno, 2001): a. Lubang kecil dengan diameter 1,2 cm masih dapat dilalui oleh tikus, dan lubang berdiameter 0,6 cm masih dapat dilalui oleh mencit (tikus kecil). b. Tikus dapat melompat sampai sejauh 0,9 m ke arah tegak lurus dan 1,2 m ke arah horizontal. c. Tikus mampu memanjat secara vertikal pipa-pipa, kabel, cabang pohon, dan dinding-dinding yang kasar. Areal di sekitar gudang harus dijaga dari vegetasi yang dapat dijadikan sarang serta mempermudah jangkauan hewan liar termasuk tikus terhadap gudang. Perangkap, fumigasi, rodentisida serta racun tikus disekitar areal gudang dapat dipertimbangkan untuk digunakan, namun perlu pengawasan dalam penggunaannya agar tetap terkendali (Hall, 1970).
2.3.3. Tipe-tipe Bangunan Penyimpanan Menurut Hall (1980), konstruksi unit penyimpanan biji-bijian dapat diklasifikasikan atas tipe horisontal dan tipe vertikal. Konstruksi horizontal didefinisikan bila tinggi konstruksi lebih kecil daripada panjang atau lebarnya, sedangkan konstruksi vertical didefinisikan bila tingginya lebih besar dari diameter atau lebar konstruksi. Pemilihan konstruksi tipe horisontal dan vertikal tersebut didasarkan pada hal-hal berikut: a. Biaya konstruksi b. Harga dan ketersediaan tanah c. Harapan umur konstruksi d. Periode pengisian dan pengosongan (pengeluaran) e. Hubungan unit penyimpanan dan proses pengolahan selanjutnya f. Sifat bahan dan cara penanganannya Tipe-tipe bangunan penyimpanan yang ada antara lain (Mudiastuti dan Semat, 1979): a. Tipe Lantai Datar. Tipe ini masih umum digunakan untuk penyimpanan padi, gabah, atau beras seperti gudang. Sebenarnya tipe ini khusus untuk sistem penyimpanan secara karungan, namun banyak pula digunakan untuk penyimpanan curah atau gedengan. b. Tipe Silo. Tipe ini semula diperuntukkan bagi penyimpanan rumput kering makanan ternak (silage) di Amerika dan Eropa. Kemudian tipe ini digunakan pula untuk penyimpanan hasil-hasil pertanian yang berbentuk biji-bijian seperti gandum, sorghum, dan serealia lainnya. Tipe silo ini dirancang khusus untuk penyimpanan secara curah. c. Tipe Panggung. Tipe ini hampir merata digunakan di pedesaan, seperti di Indonesia. Umumnya dipakai untuk penyimpanan padi atau gabah, dan jarang digunakan untuk penyimpanan beras atau biji-bijian lainnya. Di Indonesia sangat dikenal dengan nama Lumbung. Di Amerika atau Eropa dinamakan Bin. Dinamakan tipe panggung karena lantai tidak langsung terletak diatas tanah atau pondasi tetapi antara lantai dan tanah terdapat ruang sehingga lantai lebih tinggi seperti
panggung. Dilihat dari gaya arsitekturnya, tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, dan merupakan kebudayaan warisan nenek moyang. d. Tipe Galian. Tipe ini berupa lubang-lubang atau ruang dibawah permukaan tanah. Di Indonesia tidak ditemukan, tetapi terdapat beberapa negara lain seperti India, Thailand, Ethiopia, serta negara-negara di Amerika dan Eropa. Beberapa contoh bangunan penyimpanan tradisional menurut Imdad dan Nawangsih (1995), antara lain: a. Lumbung, merupakan bangunan penyimpanan yang digunakan untuk menyimpan hasil bumi, terutama padi (gabah) untuk pemenuhan kebutuhan atau konsumsi secara massal menghadapi musim paceklik (krisis pangan). Lumbung biasanya dibangun dengan model dan konstruksi yang khas. Kerangka dasar bangunan dibuat dari bambu utuh (glondongan) atau kayu balokan. Dinding bangunan terbuat dari bambu tipis yang dianyam dan dilapisi dengan cat atau tinta berwaran hitam. Lantai bangunan terbuat dari papan yang disusun rapat, letaknya jauh dari permukaan tanah. Dengan demikian bentuk utuh bangunan menyerupai rumah panggung, oleh karena itu untuk mencapainya dibantu dengan tangga. b. Balai-balai, merupakan bangunan penyimpanan yang masih dapat disamakan dengan lumbung, namun biasanya ukurannya lebih kecil karena dimilki perorangan. Kerangka bangunan balai-balai kebanyakan terbuat dari kayu balok dan kayu lempengan sebagai dinding dan lantai bangunan. Konstruksi lain dapat dibuat lebih sederhana dengan kerangka dasar dari kayu dan bambu, lantai dari papan yang disusun, sedangkan dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang dikombinasi dengan papan. c. Penyimpanan di rumah, yang berupa bilik (kamar) atau ruangan yang keadaannya tertutup dengan ventlasi seadanya. Biasanya para petani atau pedagang menimbun hasil pertaniannya di rumah untuk menunggu harga jual yang lebih baik atau tujuan lain (persediaan barang) untuk keperluan jual-beli.
2.3.4. Struktur Bangunan Penyimpanan Kelayakan struktural suatu bangunan tergantung pada besarnya beban dan gaya yang harus ditahannya, kualitas bahan konstruksi yang digunakan, serta perlindungan terhadap pengaruh iklim luar, sehingga suatu bangunan dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu.
2.3.4.1. Jenis-Jenis Bangunan
1. 2. 3. 4. 5.
Frick (1988) membagi jenis-jenis bangunan menurut bahan bangunan yang digunakan, yaitu: Konstruksi kayu (konstruksi rangka tersusun, konstruksi rangka terusan dan sebagainya) Konstruksi batu buatan (tradisional, secara biologis atau teknis/modern) Konstruksi beton bertulang Konstruksi baja Konstruksi campuran
Menurut tempat pembuatannya dapat pula dibedakan menjadi:
1.
Bangunan tradisional (semua atau seluruhnya dibangun dan dikerjakan pada tempat bangunan, sesuai dengan tuntutan pembangunan biologik). 2. Bangunan pasangan atau pre-fabricated (bagian-bagian bangunan dapat disediakan di pabrik atau bengkel sehingga ditempat bangunan tinggal memasang saja). Sedangkan menurut cara konstruksi bangunan membentuk suatu ruang atau menurut hubungan antara bagian bangunan yang menerima beban dan bagian yang membagi bangunan, dapat dibedakan atas: 1. Konstruksi bangunan masif. Ruang terbentuk oleh bagian bangunan yang menerima beban, atau dengan kata lain, semua bagian bangunan menerima beban. Contohnya konstruksi tanah, tanah liat, dan lempung. 2. Konstruksi bangunan berkotak. Pada konstruksi ini hanya dinding-dinding yang searah saja yang menerima beban. Contohnya konstruksi batu alam dan batu merah. 3. Konsruksi bangunan rangka. Bagian bangunan yang menerima beban dan bagian yang membagi bangunan menjadi sesuai dengan prinsipnya yang terpisah. Contoh konstruksi kayu dan bambu.
2.3.4.2. Jenis-jenis Beban Bangunan pertanian harus direncanakan agar dapat menahan gaya-gaya dan beban atau muatan yang bekerja padanya. Beban-beban yang bekerja pada atap harus ditunjang oleh rangka atap. Beban ini diteruskan ke bagian-bagian bangunan yang lebih bawah melalui beberapa anggota rangka bangunan sampai ke pondasi dari banguan tersebut. Angin dan gempa menyebabkan timbulnya gaya yang merupakan beban pada bangunan dan harus ditahan oleh anggota rangka bangunan. Bahanbahan yang disimpan seperti gabah, beras, dan biji-bijian lainnya merupakan beban yang harus ditunjang oleh lantai. Berat dari bahan yang menyusun bangunan itu sendiri harus pula ditunjang oleh rangka bangunan (Mudiastuti dan Semat, 1979). Menurut Lindley dan Whitaker (1996), beban yang bekerja pada bagian-bagian bangunan dikelompokkan menjadi: a. Beban mati Beban ini vertikal, tak berubah, dan termasuk berat bahan-bahan yang digunakan dalam konstruksi bangunan, seperti beton pada pondasi, kayu dan material lain pada kusen, lantai, kudakuda, dan fasilitas yang terpasng permanen. Beban mati merupakan suatu bagian integral dari struktur yang bersifat permanen dan statis. b. Beban hidup Beban ini termasuk kedua beban statis dan dinamis yang dihasilkan oleh penggunaan bangunan. Beban statis dihasilkan oleh berat atau tekanan dari peralatan yang diam, ternak, dan produk yang disimpan. Beban dinamis dihasilkan dari efekdinamis dari traktor, alat-alat pertanian, kendaraan, dan lain-lain. Distribusi beban-beban tersebut harus dipertimbangkan dalm mendesain bangunan. c. Beban lingkungan. Beban ini termasuk beban angin, gempa bumi, dan sebagainya yang diperkirakan berdasarkan kondisi meteorologi suatu daerah. Beban angin bekerja secara tegak lurus terhadap permukaan bangunan, dan gempa bumi memberikan beban yang besar pada bagian sambungan pada bangunan.
2.3.5. Sanitasi Gudang Penyimpanan dan Lingkungan
Sanitasi merupakan istilah/kata yang berasal dari bahasa inggris yaitu sanitation (sanitary) yang artinya penjagaan kesehatan atau kebersihan. Istilah sanitary sangat berkaitan dengan lingkungan hidup, dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan atau mendefinisikan dalam istilah sanitasi lingkungan atau Environmental Sanitation yang artinya adalah usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Didalam lingkungan Bulog khususnya dalam penyimpanan komoditas/bahan pangan di gudang-gudang, sanitasi lingkungan tersebut dianalogikan sebagai usaha pengendalian dari semua factor-faktor lingkungan fisik komoditas yang disimpan di dalam gudang yang mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan atau merusak komoditas yang disimpan. Lingkungan gudang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Lingkungan fisik Meliputi bangunan gudang, flonder, air, udara, temperature, tanah, serta interaksi satu sama lainnya diantara faktor-faktor tersebut. 2. Lingkungan Biologi Meliputi semua organisme yang hidup baik serangga/hama dan penyakit di dalam beras/gudang dan tumbuhan disekitar gudang serta manusia. Upaya pengendalian kedua faktor lingkungan gudang tersebut meliputi beberapa kegiatan yaitu dengan cara pemeriksaan/inspeksi yang kantinyu dan cara pemeliharaan/pengaturan kebersihan gudang. Kedua cara tersebut tidak hanya menyangkut aspek fisik saja seperti gudang yang bersih, atap tidak bocor, tidak terdapat bangkai-bangkai hama dan lain sebagainya akan tetapi juga menyangkut aspek disiplin kebiasaan yang baik/ketertiban yang teratur.
2.3.5.1. Inspeksi/pemeriksaan secara kontinyu terhadap kondisi lingkungan gudang. Dengan adanya pemeriksaan yang teratur, maka akan dapat memonitor perubahan-perubahan yang terjadi baik di dalam gudang maupun disekitar gudang sehingga dapat segera diambil keputusan upaya penyelesaiannya. Obyek yang harus diamati dalam pemeriksaan ini meliputi: 1. Pemeriksaan terhadap kondisi umum gudang seperti; atap, lantai, dinding, ventilasi apakah terdapat kerusakan, kurang bersih, dan lain sebagainya. Apabila diketahui ada kebocoran, keretakan dinding, keretakan lantai, kerusakan ventilasi, adanya lubang-lubang bekas gerekan tikus agar segera diperbaiki. 2. Pemeriksaan terhadap stapel/tumpukan komoditas, apakah sudah dipisah-pisahkan berdasarkan: a. Jenis barang b. Kondisi kualitas barang (khususnya barang rusak seperti sweeping, basah/busuk, kena oli dlsb.) c. Ukuran lorong (lorong pokok, lorong kebakaran, lorong stapelan) d. Ukuran staple (tinggi stapelan) berdasarkan kemasan barang, serta spesifikasi gudang. Disamping itu diperiksa kebersihan staple, apakah sudah cukup bersih, apakah komoditas rusak (sweaping, busuk, kena minyak dlsb) sudah dipisahkan dengan staple yang baik atau belum; apakah lorong staple cukup. 3. Pemeriksaan tingkat serangan hama dan penyakit (serangga, tikus, burung, dlsb.) 4. Pemeriksaan kondisi kualitas bahan pangan yang disimpan; pemeriksaan terhadap bahan pangan turun mutu/rusak dan perawatannya
5. 6. 7.
Pemeriksaan hasil dari fumigasi/spraying/fogging dlsb. Pemeriksaan terhadap peralatan pergudangan seperti: timbangan, pemadam kebakaran, flonder, dlsb. Pemeriksaan lingkungan disekitar gudang seperti: drainase, vegetasi, kondisi kebersihan, dlsb.
2.3.5.2. Pengelolaan Sanitasi Gudang Kebersihan baik di dalam maupun diluar gudang merupakan salah satu faktor penting didalam pemberantasan hama dan perawatan kualitas. Hal ini disebabkan karena: a. Kotoran seperti sampah, sweeping, dan karung bekas merupakan tempat yang sangat baik untuk persembunyian serangga hama gudang. b. Penggunaan insektisida kotak (spraying) akan lebih efektif apabila dilakukan didalam gudang dalam keadaan bersih. c. Pengamatan populasi hama didalam gudang akan lebih mudah. d. Beberapa serangga pemakan hama akan lamban perkembangannya bila bangkai tersebut disapu bersih. e. Sisa-sisa kaleng insektisida, serbuk oksida aluminium/magnesium, sisa postoxin/gastoxin/detia dapat membahayakan pekerja gudang dan konsumen. f. Tikus sangat senang berkumpul dan berkembang dalam keranjang sampah dan menggunakannya sebagai sarang. Dalam rangka pengaturan kebersihan meliputi seluruh aspek gudang dan lingkungan baik bangunan fisik gudang (lantai, dinding, lekukan dinding), halaman gudang. Secara rutin yang harus dibersihkan adalah bagian dinding, lantai, atap, ventilasi, dan tempat-tempat sekitarnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: a. Lantai gudang harus dibersihkan dari kotoran maupun beras yang berceceran terutama sebelum diisi, setelah ada stapelan, pada gang-gang diantara stapelan, sehabis penyaluran kepada konsumen, demikian pula terhadap serangga yang mati baik yang menempel pada karung maupun dilantai terutama setelah pelaksanaan spraying/fumigasi (antara lain agar dapat menekan populasi psocids) b. Dinding harus dibersihkan dari jaring laba-laba c. Peralatan kebersihan terdiri dari sapu, vacuum cleaner, dan lai-lain. d. Lekukan dinding pada kasa pintu gudang, sambung-sambungan dinding agar benar-benar diperhatikan. e. Gudang yang baru selesai pemasukan maupun pengeluaran harus segera dirapikan dan dibersihkan. f. Kotoran-kotoran sapuan tidak ditumpuk di dalam gudang tetapi segera dikeluarkan dan dibakar sedangkan beras sweeping segera dirawat. Tumpukan karung beras dan sweeping/rusak jangan ditempatkan menjadi satu dengan komoditas yang baik (dipisahkan dan dijauhkan dari komoditas yang baik). Jika memungkinkan segera dilakukan pengolahan terhadap komoditas tersebut karena merupakan sumber hama. Hamahama yang mati dan menempel pada stapelan komoditas harus segera dibersihkan setelah fumigasi/spraying. Stapelan komoditas baik dan rusak harus selalu dijaga kebersihannya dari bangkai serangga, debu-debu dan kotoran lainnya. Oleh karena itu untuk gudang-gudang yang dekat dengan alat reprosesing harus selalu diersihkan agar dedaknya tidak menempel pada stapelan bahan pangan dan ruang sekitarnya. Alat pergudangan seperti timbangan, pemadam kebakaran, moisture tester, alat handling, alat pengolahan, dan lain sebagainya harus selalu dibersihkan secara rutin.
Drainase gudang agar dijaga dengan baik dan tetap bersih. Tidak adanya genangan-genangan air disekitar gudang karena akan mengakibatkan kelembaban di dalam gudang. Rumput dan semaksemak yang tidak terpelihara agar dibersihkan karena akan menimbulkan kelembaban dan merupakan tempat persembunyian hama, dan bila diperlukan dapat dilakukan spraying disekitar gudang. Perbaikan fisik perlu dilakukan apabila ada bagian bangunan yang rusak seperti: atap yang bocor, penutupan lubang nat lantai gudang, normalisasi saluran drainase, pagar keliling banguanan, perbaikan flonder, dlsb. Teknik penumpukan/penyimpanan komoditas di dalam gudang merupakan faktor yang cukup dominan terhadap kerusakan barang. Dalam penumpukan agar stapel komoditas yang baik dengan komoditas yang rusak dipisahkan. Stapelan tidak menempel pada dinding adalah agar tidak menyulitkan pembersiahan, fumigasi, spraying, dan menyebabkan akumulasi udara panas serta menyulitkan penghitungan stapel. Penggunaan flonder sangat penting supaya kelembaban lantai tidak mempengaruhi tumpukan komoditas. Lorong-lorong stapel/gang diuat secukupnya. Pengaturan lorong-lorong tersebut dimaksudkan untuk memperlancar pengaturan lalulintas penyusunan komoditas dalam gudang dan agar terdapat peredaran udara yang memadai. Lorong-lorong stapelan dibedakan menurut kegunaannya antara lain lorong pokok, lorong silang, staple, dan lorong kebakaran. Faktorfaktor yang harus diperhatiakan dalam penyimpanan barang di dalam gudang adalah: a. Pengaturan alas/flonder Sisi flonder yang berlubang harus menghadap ke lorong pokok untuk kelancaran aerasi. b. Pengaturan Stapel Stapel barang di dalam gudang harus diatur seemikian rupa sehingga jarak antar stapel merupakan lorong dengan ukuran sesuai ketentuan yaitu: 1. Lorong pokok (lorong antar pintu) dengan lebar minimal 1,50 m. 2. Lorong silang dengan lebar minimal 1,00 m. 3. Lorong kebakaran (lorong antar dinding dan stapel) dengan lebar minimal 0,75 m. 4. Lorong stapel/tumpukan (lorong antar stapel) dengan lebar minimal 0,50 m. 5. Tinggi stapel tidak di perkenankan melebihi batas lubang ventilasi. Untuk komoditas dengan kemasan karung goni maksimum ditumpuk dengan tinggi 25 lapis, sedangkan dengan kemasan karung plastik tinggi susunan maksimum 22 lapis. 6. Penyusunan tumpukan harus mengikuti kunci tertentu seperti untuk karung goni dengan kunci lima, dan kunci delapan, sedangkan untuk karung plastik dengan kunci bata mati. 7. Penumpukan harus berdasarkan jenis barang, dan diusahakan dalam satu gudang kondisi barang “sehomogen” mungkin, artinya tidak dicampur, misalnya barang rusak ditumpuk didalam gudang tersendiri. Apabila didalam gudang terdapat tumpukan barang dengan kondisi kualitas baik dan tumpukan barang rusak, maka barang rusak harus dikeluarkan sesegera mungkin. Disekitar gudang vegetasi harus diatur/dirapikan, tidak boleh ada semak-semak yang dapat menjadi sarang tikus, serta pohon tidak boleh berlebihan sehingga dapat mempengaruhi lengas udara. Ventilasi gudang dibutuhkan untuk aerasi gudang pada komoditas yang disimpan seperti beras, gabah, palawija, bungkil kedele, fishmill namun tidak diperlukan untuk komoditas gula pasir. Beras merupakan hasil pertanian yang mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi dan mudah mengalami kerusakan baik oleh faktor internal maupun faktor eksternal seperti suhu udara, kelembaban udara, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi pengaruh suhu udara yang tinggi diwaktu siang hari pada saat tidak hujan/udara cerah maka pintu gudang bagian luar harus dibuka antara jam 08.00 sampai dengan jam 16.00, sedangkan pada waktu hujan ditutup kembali demikian pula pada malam hari.
2.4. LINGKUNGAN MIKRO PENYIMPANAN Dasar tujuan bagi sebagian besar bangunan pertanian adalah untuk memenuhi berbagai modifikasi terhadap kondisi iklim alami yang sudah ada. Namun tidak banyak tempat di bumi yang memiliki iklim yang optimum secara kintinyu untuk kegiatan-kegiatan pertanian, seperti penyimpanan produk, dan lain-lain. Beberapa parameter iklim mikro yang dapat dijadikan pertimbangan dalam membuat bangunan penyimpanan antara lain:
2.4.1. Suhu dan Kelembaban Udara Suhu ruangan dan kelembaban merupakan faktor lingkungan fisik yang terpenting, karena keduanya menentukan lamanya suatu bahan dapat disimpan di dalam tempat penyimpanan. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban relatif, dan defisit tekanan uap air. Kelembaban mutlak adalah kandungan uap air (dapat dinyatakan dengan massa uap air atau tekanannya) per satuan volume. Kelembaban relatif membandingkan antara kandungan atau tekanan uap air aktual dengan keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap air. Sedangkan defisit tekanan uap air adalah selisih antara tekanan uap jenuh dan tekanan uap aktual (Handoko, 1995). Penyebab utama suhu dan kelembaban ruang penyimpanan tidak konstan adalah sinar matahari yang masuk ke dalam ruang penyimpanan dengan cara konduksi, konveksi, dan radiasi yang akan menghantarkan panas ke dalam ruang penyimpanan. Penghantaran panas ini dipengaruhi oleh sifat dari bahan penghantar, jumlah sinar yang masuk, dan luas areal yang dapat menerima sinar itu (Hall, 1970). Ruang penyimpanan produk biji-bijian yang baik mempunyai kisaran suhu -/ -1 dengan kelembaban udara 70-75% (Imdad dan Nawangsih, 1995). Menurut Soegijanto (1999), orientasi bangunan yang paling sedikit menerima radiasi matahari adalah jika bangunan membujur Timur-Barat. Jika orientasi tidak dimungkinkan dilakukan, diperlukan cara lain yaitu dengan pemilihan orientasi dan luas jendela, serta penggunaan kaca khusus dan alat peneduh. Urutan permukaan yang menerima radiasi matahari dimulai dari yang paling besar adalah: 1. Permukaan horisontal atau mendekati horisontal, misalnya atap datar dan atap miring. 2. Permukaan Barat atau Timur. 3. Permukaan Utara untuk lokasi di Selatan khatulistiwa dan permukaan Selatan untuk lokasi di Utara khatulistiwa. Perlu diperhatikan bahwa urutan tersebut hanya berlaku untuk kondisi langit tanpa awan. Pada keadaan yang sebenarnya urutan tersebut sangat dipengaruhi oleh cuaca.
2.4.2. Kecepatan Angin dan Ventilasi
Kecepatan angin adalah suatu besaran vektor yang memiliki baik besar (nilai) maupun arah. Bangunan pertanian yang tertutup mempunyai suatu sistem ventilasi buatan, atau dapat pula terbuka dan bergantung pada ventilasi alami. Bangunan berventilasi alami memungkinkan kontrol yang sedikit atas aliran udara (distribusi dan pertukaran). Namun , ventilasi alami lebih efisien energi, sederhana, dan ekonomis. Aerasi atau ventilasi dapat mencegah transfer uap air karena temperatur seragam dapat dijaga. Laju udara yang dianjurkan untuk temperatur yang seragam pada biji-bijian sekitar 0.025-0.15 23 4 /menit per gantang biji-bijian (Neaubauer dan Walker, 1961)
2.4.3. Intensitas Cahaya Intensitas cahaya yang diterima biji-bijian saat penyimpanan tidak sebesar intensitas cahaya diluar tempat penyimpanan. Biji-bijian perlu dihindarkan dari intensitas cahaya yang tinggi selama penyimpanan, agar biji-bijian selalu dalam keadaan sejuk. Karena biji-bijian yang hangat dapat mempercepat perkembangbiakan serangga.
2.5. HAMA DAN PENYAKIT DALAM GUDANG PENYIMPANAN Pengertian hama dan penyakit masih sering rancu dalam penggunaannya, padahal hama dan penyakit berbeda. Hama adalah binatang yang merusak dan merugikan tanaman maupun produksinya, baik yang belum atau sudah diolah. Hama gudang adalah hama yang merusak material yang disimpan didalam gudang. Khusus untuk penyimpanan beras atau gabah, hama yang dimaksud adalah serangga, tikus, dan burung. Penyakit adalah jasad renik (mikro organisme) dan penyebab lainnya yang merugikan tanaman maupun produksinya, baik yang belum atau sudah diolah. Yang dinamakan jasad renik adalah jamur, bakteri, dan virus, sedangkan yang khusus menyerang penyimpanan beras digudang adalah jamur. Penyerangan hama dan penyakit yang terjadi dalam gudang tergantung pada faktor-faktor lingkungan, yaitu faktor luar yang mempengaruhi kehidupan hama serta penyakit yang menyerangnya antara lain faktor makanan dan iklim.
2.5.1. Serangga Hama Gudang Salah satu jenis organisme yang menjadi hama di gudang adalah serangga. Serangga hama gudang tersebut mempunyai spesifikasi umum sebagai berikut: 1. Tubuhnya terdiri dari tiga bagian: kepala, dada, dan perut. 2. Tubuh tertutup oleh kulit luar (external skeletons). 3. Selama hidupnya mengalami perubahan bentuk (metamorphosa). Metamorphosa dibedakan menjadi: a. Metamorphosa sempurna: telur-larva/ulat, pupa/kepompong, dan imago/dewasa. b. Metamorphosa tidak sempurna: telur, nympha/serangga muda, dan imago. 4. Serangga dewasa mempunyai tiga pasang kaki. Aktivitas serangga dan kerusakan yang disebabkannya sangat terkait dengan temperatur dan kelembaban gabah atau beras yang disimpan. Kondisi beras yang lembab serta keadaan penyimpanan yang hangat dapat membuat serangga semakin banyak berkembang, karena kondisi tersebut sangat
cocok bagi pertumbuhan serangga. Serangga juga menyebabkan kondisi yang memungkinkan pertumbuhan jamur (Lindblad dan Druben, 1976). Hall (1970) mengemukakan bahwa kebanyakan serangga mengalami dormansi pada suhu dibawah 10
dan mati pada suhu diatas 37$
Menurut Imdad dan Nawangsih (1995), ada beberapa jenis serangga yang umumnya menyerang gabah atau beras, yaitu: 1. Laser Rice Weevil (Sitophilus oryzae; Calandra oryzae) yang dapat hidup pada lingkungan ideal bersuhu 25-30 2.
3.
4.
5.
dengan kelembaban 70% dan kadar air bahan 10-15%.
Kumbang padi karatan atau Rust Red Grain Beetle (Cryptolestes ferrugineus) yang hidup pada lingkungan bersuhu - dan kelembaban ruang 75%. Siklus hidupnya lebih pendek pada suhu 56 dengan kelembaban 75%, dan akan mengalami kematian pada kelembaban ruang dibawah 50%. Khapra Beetle atau Trogoderma granarium merusak biji-bijian yang berminyak dan beras. Lingkungan yang ideal untuk pertumbuhannya adalah pada suhu 35dengan kelembaban 73%, dan masih dapat bertahan hidup pada suhu -/. Kumbang penggerek gabah atau Laser Grain Borrer (Rhizopertha dominica) menyerang gabah atau beras baik yang belum atau telah dikemas. Serangga ini dapat hidup pada suhu 50 dengan kelembaban 70%. Ngengat gabah atau Angoumois Grain Moth (Sitotroga cereallea) merupakan hama utama pada gabah atau beras yang disimpan. Pada suhu lingkungan 5 dengan kelembaban 80% ulat akan berubah menjadi ngengat dewasa hanya dalam waktu 19 hari.
2.5.2. Jamur Dalam Komoditas Yang Disimpan Komoditas yang disimpan secara alami telah mengandung sejumlah mikroorganisme. Kemampuan mikroorganisme tersebut tumbuh dan kemudian berkembang tergantung kepada faktorfaktor lingkungan, baik yang bersifat biotis maupun abiotis yang menyertainya. Kadar air disamping temperatur dan kelembaban merupakan faktor lingkungan abiotis yang besar pengaruhnya terhadap kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan terus berkembang, sehingga akhirnya banyak menimbulkan efek-efek yang merugikan pada bahan makanan yang ditempatinya. Sedangkan kehadiran binatang perusak seperti tikus dan serangga disamping bendabenda asing yang menyertainya dalam bentuk tanah, kotoran,air seni, sisa-sisa tanaman, merupakan faktor biotis yang mempercepat kehadiran dan kemudian perkembangan mikroorganisme. Selama penyimpanan, biji-bijian akan mengalami susut, baik kualitas maupun kuantitasnya yang disebabkan antara lain oleh serangga, tikus, dan aktivitas biji-bijian tersebut serta mikroorganisme. Diantara mikroorganisme yang ada, jamur adalah penyebab utama kerusakan. Jamur (lapuk, cendawan, fungi) sebagai kelompok besar mikroorganisme yang dapat tumbuh dan berkembang didalam bahan makanan, disamping mengakibatkan banyak kerugian pada bahan-bahan makanan tersimpan, juga akhir-akhir ini dikhawatirkan mampu memproduksi dan kemudian mengakumulasi toksinnya (mikotoksin) didalam bahan makanan. Sehingga kalau makanan tersebut dimakan, maka akibat-akibat lainnya yang sangat merugikan akan dapat ditimbulkan. Secara umum ditemukan dua kelompok jamur pada biji-bijian yang disimpan yaitu jamur lapangan (sawah) dan jamur dalam simpanan yang dibedakan berdasarkan ekologi jamur dan keadaan air yang diperlukan untuk pertumbuhannya (Christiansen dan Kaufman, 1974). Beberapa cirri jamur lapangan antara lain: menyerang/berada pada biji-bijian sebelum dipanen atau pada saat panen, membutuhkan kadar air biji-bijian dengan kondisi pada keseimbangan dengan kelembaban relatif
berkisar 90-100%. Sebagian besar non toksigenik dan pada umumnya relatif sedit brperan kecuali Fusarium dan Alternaria sp. Jamur yang menyerang komoditi yang disimpan mempunyai cirri-ciri antara lain menyerang/berada pada biji-bijian selama penyimpanan, membutuhkan kadar air biji-bijian pada keseimbangan dengan kelembaban relatif sekitar 65-90%, umumnya jamur tersebut mampu tumbuh tanpa air bebas dan media dengan tekanan udara tinggi (di daerah tropis spesies Eurothium dan Aspergillus yang dominan dan spesies Penicillium hanya berperan sebagian kecil. Jamur penghasil mikotoksin di daerah tropis relatif jarang dan Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoksin menyebabkan problem yang sangat besar. Perbedaan antara jamur simpan dan jamur sawah kadangkadang kabur. Hal ini disebabkan beberapa jamur simpan termasuk Aspergillus flavus dan spesiesnya yang berdekatan. Sekarang diketahui menyerang kacang-kacangan dan jagung sebelum dipanen (Pitt dan Hocking, 1991). Jamur yang menyerang komoditi yang disimpan berukuran sangat kecil sehingga sering tidak terlihat pada beras. Pada keadaan hangat dan kondisi yang lembab, jamur akan tumbuh dan menghasilkan hyphae. Hyphae tersebut akan menembus lapisan luar dan menyerang bagian dalam beras. Jamur dapat menurunkan kualitas gabah untuk makanan dan pasar, beberapa jamur menghasilkan zat kimia yang dapat menjadi racun bagi manusia (Lindblad dan Druben, 1976). Perkiraan suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk pertumbuhan jamur penyimpanan pada gabah atau beras ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Suhu tumbuh untuk beberapa jenis jamur Suhu tumbuh (
)
Jamur Maksimum
Minimum
Optimum
5-10
30-35
40-45
A. Glaucus
0-5
30-35
40-45
A. Candidus
10-15
45-50
50-55
A. Flavus
10-15
40-45
45-50
Penicillium
-5-0
20-25
35-40
Aspergillus restrictus
Sumber : Christensen (1963)
Semua jamur penyimpanan dapat tumbuh pada bahan-bahan yang kadar airnya seimbang dengan RH antara 70-90%. Sebagai contoh, jamur A. restrictus dan A. glaucus adalah jenis yang dapat tumbuh pada gabah dengan kadar air seimbang RH 78-80%. Kemudian diatas kisaran angka tersebut, jenis lain yang dapat tumbuh adalah A. candidus, A. ochraceus, A. versicolor, A. flavus, dan Penicillium (Christensen, 1963). Christiansen dan Kaufmann (1969) menyatakan bahwa kalau bahan makanan atau komoditas ditumbuhi oleh jamur yang disertai oleh faktor lingkungan yang optimum, maka akibat-akibat yang akan ditimbulkannya adalah: 1. Penurunan daya kecambah
2. 3. 4. 5. 6.
Perubahan warna Penurunan berat dan volume Kenaikan temperatur dan kelembaban Perubahan biokimia di dalam bahan Produksi dan akumulasi mikotoksin Tingggi rendahnya akibat yang ditimbulkan oleh adanya pertumbuhan jamur didalam bahan makanan, tergantung oleh beberapa faktor lingkungan biotis dan abiotis serta faktor jamur sendiri, antara lain: 1. Kemampuan dari jamur untuk dapat hidup dan kemudian berkembang didalam bahan makanan. 2. Sifat dan toleransi dari jamur terhadap lingkungan dimana bahan makanan tersebut disimpan. 3. Kemampuan dari jamur untuk menghasilkan mikotoksin. 4. Nilai mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur didalam bahan makanan tersebut. Disamping jamur ada mikroorganisme lainnya yang berasosiasi dengan komoditas yang disimpan yaitu yeast (menyerupai jamur). Yeast tersebut tumbuh pada kondisi dengan kelembaban relatif minimum 22% dan temperature -2-47. Yeast umumnya terdapat pada silo kedap udara dimana suplai oksigen rendah dan kandungan kadar air biji-bijian tinggi. Berikut adalah beberapa cara pengendalian jamur simpan: 1. Menurunkan kadar air dan temperatur 2. Pengendalian atmosphere (misalnya dengan menggunakan CO2 pada kadar diatas 80%) 3. Menggunakan fumigant phospine 4. Menggunakan fungisida (misalnya Benomyl) 5. Pemanfaatan antioksidan (Butulated Hydroxytoluene/BHT dan Endox dry) 6. Kombinasi asam-asam organik tertentu dan irradiasi (misalnya asam propionic dikombinasikan irradiasi dengan dosis tertentu) 7. Menggunakan bahan-bahan material dari tanaman tertentu (ekstrak bawang putih/Allium Sativum) 8. Perbaikan genetik melalui pemuliaan tanaman Pemberantasan penyakit secara kimiawi yaitu dengan memakai fungisida belum dapat/jarang dilaksanakan, tetapi dapat diadakan pencegahan yaitu dengan teknik pengawasan yang baik, misalnya beras yang akan disimpan tidak boleh terlalu tinggi kadar airnya (maksimal 14%). Cara penyimpanan yang baik, menyediakan gudang yang kondisinya baik untuk penyimpanan. Daftar keseimbangan (equilibrium moisture content) antara gabah dengan udara luar pada temperatur 25 (Breese, Mh 1956) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kadar air kesetimbangan gabah pada suhu 25 Kelembaban (%)
Absorpsi(%)
Desorpsi(%)
10
3,9
4,6
20
5,3
6,5
30
6,8
7,9
40
7,9
9,4
50
9,2
10,8
60
10,4
12,2
70
11,4
13,4
80
13,6
14,8
90
16,6
16,7
Sumber: Winarno (2001)
2.5.3. Pengendalian Hama Salah satu cara pengendalian hama adalah dengan menggunakan pestisida. Sedangkan yang dimaksud pestisida adalah suatu bahan/senyawa kimia atau campuran suatu bahan, yang dimaksudkan untuk pencegahan, membunuh, mengurangi atau mengendalikan hama dan termasuk bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk pengaturan tumbuh, perusak/perontok daun defoliant atau pengering suatu bahan (dissicant). Pengertian-pengertian tersebut tidak termasuk pupuk dan antibiotik atau senyawa kimia lain yang ditujukan untuk binatang, dengan maksud lain seperti merangsang pertumbuhan atau mempengaruhi kegiatan reproduksinya. Sealain itu batasan pestisida menurut Undang-Undang RI No 12 tahun 1992 (tentang budidaya tanaman) adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan terhadap tanaman. Namun yang dimaksud pestisida secara sederhana adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk membunuh, mengurangi, atau mengendalikan hama, baik serangga, tikus, burung, dan lain sebagainya. Pestisida yang digunakan untuk membasmi serangga/hama gudang lebih dikenal dengan nama insektisida. Sedangkan senyawa kimia yang pada suhu dan tekanan atmosfir tertentu berwujud gas, serta dalam konsentrasi tertentu dapat mematikan hama, disebut fumigant. Pestisida disamping diidentifikasikan dalam bentuk bahan aktif, pengelompokan dalam unsur dasar kimiawi juga dikenal sehubungan dengan tingkat toksisitas dan metode penanggulangannya apabila kerancuan terjadi. Pengelompokan menurut golongan/bahan dasar kimia diantaranya: Chlorinated carbon (Organochlorine), Organophosphorus, Carbamate, Pyretroids, Arsenik, Halogen, Cyanide, Phospine, serta beberapa kelompok Herbisida dan Rodentisida. Pestisida yang digunakan di Bulog hingga saat ini umumnya tergolong pada kelompok: 1. Organophosphorus: Dampin, Nuvan, Satisvar, Silosan, dsb 2. Pyretroids/synthetic pyretroids: Fendona, Responsar 3. Phosphine: Phostoxine, Detia Gas, Gastoxin, Deltox, dsb 4. Halogen: Methyl Bromide
5.
Coumarins: Racumin, Ratilan (Rodentisida)
Beberapa upaya pengendalian hama ditinjau dari segi aktivitasnya antara lain adalah: 1. Spraying Spraying adalah aktivitas pengendalian hama yang dilakukan dengan menyemprotkan insektisida. Insektisida adalah senyawa kimia yang bersifat racun dan digunakan untuk tujuan pemberantasan serangga. Karena sifatnya yang beracun, insektisida tidak hanya membunuh serangga melainkan juga dapat membunuh hewan lainnya serta manusia. Jenis insektisida yang banyak digunakan untuk memberantas hama gudang adalah jenis insektisida kotak dan gas, sedangkan bagaimana cara meracuni seluruh tubuh serangga sehingga serangga tersebut mati adalah melalui poripori dan pernafasan serangga. Formulasi insektisida yang digunakan berbentuk EC (Emulsifiable Consentrate) adalah insektisida dalam bentuk cairan dengan konsentrasi pekat, dengan kandungan bahan aktif bervariasi dari 20 s/d 95 % dan dalam aplikasinya dicampur dengan air. Bentuk formulasi insektisida yang lain adalah WP (Wettable Powder), D (Dust), LC (Liquid Consentrate), SC (Soluble Consentrate), dan G (Granula). 2. Fogging Fogging merupakan salah satu cara yang efektif untuk memberantas serangga hama yang aktif terbang di dalam ruang tertutup seperti rumah kaca dan gudang. Pada pemberantasan hama secara fogging biasanya menggunakan insektisida yang mudah menguap (volatile insektisida). Dengan menggunakan mesin fogging insektisida diubah dan dihembuskan dalam bentuk fog (kabut). Fog dapat terjadi bila droplet aerosol dengan diameter kurang dari 15 7m, mengisi volume udara pada suatu ruang sehingga visibilitas (jarak-pandang) berkurang. Ada dua jenis mesin yang dapat digunakan untuk menghasilkan fogging yaitu thermal fogging machine dan cold fogger. Pada thermal fogging machine, insektisida dilarutkan di dalam minyak. Panas yang dihasilkan oleh mesin disalurkan melalui exhaust (knal-pot) menguapkan insektisida yang telah dilarutkan dalam minyak. Kabut yang tebal akan terjadi akibat kondensasi campuran minyak dan insektisida ketika dihembuskan oleh mesin ke atmosfer. Sedangkan Cold Fogger merupakan alat penghasil kabut (fog) insektisida yang digerakkan dengan motor listrik dan dapat dijalankan serta dimatikan pada waktu tertentu. Disamping itu insektisida yang digunakan tidak dicampur dengan minyak seperti pada thermal fogging machine, akan tetapi hanya dengan air bersih biasa. 3. Fumigasi Fumigant adalah senyawa kimia yang pada temperatur dan tekanan tertentu berbentuk gas, dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh hama. Fumigasi dapat membunuh hama melalui sistem pernafasan, dengan demikian daya bunuhnya sangat tergantung dari aktifitas pernafasan. Keadaan yang paling baik bagi kerja fumigant adalah pada waktu hama mempunyai aktifitas pernafasan paling tinggi atau pada stadia dewasa. Pada temperatur lebih rendah dimana aktifitas hama berkurang diperlukan dosis yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama. Efektifitas fumigant dipengaruhi oleh stadia hama, stadia hama dalam keadaan tidak aktif sangat tahan terhadap pengaruh fumigant, misalnya stadia pupa paling sulit dibunuh, larva yang sedang berdiapose (larva Trogoderma granarium/khapra beetle) resisten terhadap fumigant sehingga untuk membunuhnya diperlukan dosis yang sangat tinggi. Fumigan yang digunakan dalam fumigasi di gudang-gudang Bulog saat ini terdiri dari Phosphine dan Metyl Bromide. 4. Pengendalian Hama Tikus di Gudang a. Perilaku Tikus Tikus adalah mamalia yang memakan biji-bijian, umbi-umbian, dan beberapa jenis buahbuahan. Disamping itu tikus memiliki kebiasaan menggigit benda-benda seperti kayu, plastik,
kabel, dan lain-lain. Tujuannya menggigit benda-benda tersebut adalah untuk mengasah giginya agar tetap tajam dan juga mengatur pertumbuhan gigi serinya. Pada umumnya tikus membuat sarang didalam tanah. Mereka menggali lubang yang berliku-liku dengan kedalaman setengah sampai satu meter dan membuat beberapa lubang tipuan agar tidak mudah diserang oleh pemangsanya. Tikus aktif pada malam hari. Mereka melakukan pergerakan pada radius 50-100 m untuk mencari makan. Apabila makanan didaerah sekitarnya telah habis atau karena ada gangguan oleh manusia atau hewan lain, mereka dapat melakukan migrasi. (pindah ketempat lain). Tikus memiliki indra penglihatan yang sangat lemah bahkan hampir buta warna. Jenis-jenis tukus yang umum ditemukan dan merusak di gudang adalah: 1. Bandicota indica (tikus wirok). 2. Rattus norvegius (tikus riol). 3. Rattus argentiveter (tikus sawah). 4. Rattus diardi (tikus rumah). 5. Mus musculus (mencit rumah). b.
Cara untuk mengetahui ada atau tidaknya tikus di gudang Untuk mengetahui ada atau tidaknya tikus di gudang dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut: 1. Pemeriksaan dropping (faeces, kotoran); Dropping tikus dapat ditemukan diatas lantai gudang yang terinvestasi oleh tikus. 2. Melihat kerusakan/bekas serangan tikus. Kerusakan/bekas serangan tikus misalnya karung goni yang sobek, beras/gabah berceceran di lantai, kabel listrik rusak, dan lain-lain. 3. Adanya sarang didalam/diluar gudang; Didalam gudang kemungkinan tikus akan bersarang dibawah flonder, diantara tumpukan karung atau ditempat-tempat lain yang terlindung. Diluar gudang tikus akan membuat sarang di tanah terbuka sekitar gudang. Tempat sampah yang hanya menggunakan lubang tanah tanpa dibeton/disemen dindingnya, merupakan tempat yang disenangi oleh tikus untuk membuat sarang, begitu juga sisa-sisa kayu yang sudah melapuk. 4. Tracking (penyidikan jejak kaki tikus). Yang dimaksud dengan “Tracking” adalah merekam jejak kaki tikus dengan tepung halus (powder) yang ditabur secara merata diatas lembaran triplek berukuran 30 x 30 cm. Track diletakkan didekat pintu dan dibeberapa tempat didalam gudang. Apabila track ini diinjak (dilewati) oleh tikus, maka jejak kakinya akan tertinggal pada track tersebut. Dengan tracking ini dapat diketahui ada atau tidaknya tikus didalam gudang, arah pergerakan tikus (dari luar ke dalam atau sebaliknya), daerah yang biasa dilewati tikus dan penyebaran pergerakan tikus didalam gudang. c. 1.
Cara pengendalian tikus Rodent Proofing Gudang yang akan digunakan untuk pelaksanaan perawatan beras dengan CO2 harus benar-benar bebas dari gangguan tikus. Kehadiran satu ekor tikus saja didalam gudang tersebut akan dapat merusakkan plastik sungkup dalam waktu singkat. Oleh karena itu sebelum pelaksanaan perawatan CO2 dimulai, gudang yang akan digunakan tersebut harus dibuat anti terhadap tikus (Rodent proof). Caranya adalah dengan menutup semua lubang/jalan yang dapat dilewati oleh tikus untuk keluar masuk gudang. Kondisi gudang-gudang Bulog (GBB) banyak sekali lubang/celah yang dapat dilewati oleh tikus terutama pada bagian pintu, batas antara dinding beton dan dinding seng. Dalam pembuatan rodent proofing gudang, yang dapat dilakukan antara lain:
a. b. c.
Celah pada pintu (khususnya pintu kedua) harus ditutup dengan plat baja yang di las-kan pada pintunya. Lubang pada plafon ditutup dengan lembaran seng. Lubang pada batas antara dinding beton dan seng ditutup dengan cor semen. Disamping itu tikus juga dapat memanjat kabel penangkal petir, pipa saluran air, dan benda lain yang menempel di dinding. Untuk melengkapi rodent proofing gudang, maka pada kabel penangkal petir dan pipa air ini dibuatkan “barrier” (penghalang) yang terbuat dari seng dan dibuat melingkar pada kabel/pipa tersebut.
2.
Eradikasi Setelah pembuatan rodent proofing selesai, kemudian dilakukan eradiasi (pemberantasan) tikus baik yang ada didalam maupun yang diluar gudang. Pemberantasan tikus dilakukan dengan cara: a. Didalam gudang 1. Bila gudangnya dalam keadaan kosong dan tikusnya dapat dilihat dengan mata, maka pemberantasan dapat dilakukan dengan cara gropyokan. 2. Bila didalam gudang terdapat stapel beras, karung goni atau tumpukan flonder, maka dapat dilakukan fumigasi. 3. Alat pengusir tikus elektronik (sebagai preventif) b. Diluar gudang 1. Emposan Dengan belerang, yaitu memasukkan asap belerang kedalam lubang/sarang tikus dengan menggunakan ala tempos. 2. Keropyokan Menghancurkan semua sarang/lubang tikus yang ada dan membunuh tikus-tikus yang ditemukan. 3. Trapping Memasang trap (penangkap) yang diberi umpan dan diletakkan pada tempat-tempat yang bisa dilalui oleh tikus. 4. Saniatsi lingkungan Membersihkan lingkungan sekitar gudang sehingga tikus tidak dapat membuat sarang disekitarnya. Menyediakan bak sampah yang dindingnya dibeton atau dari drum bekas. Tindakan eradikasi ini hanya dilakukan pada saat populasi tikus digudang dalm keadaan tinggi, yaitu setelah panen, dimana pada saat itu tikus mulai menyerang ke gudang karena makanan disekitar gudang telah habis. Kegiatan yang harus dilakukan secara rutin adalah pengumpanan dengan rodentisida anticoagulant (racumin dan lain-lain). 3.
Pengumpanan dengan rodentisida antikoagulant Pengumpanan dengan rodentisida anticoagulant bertujuan untuk mengendalikan/menghambat pertumbuhan populasi tikus diluar/disekitar gudang. Rodentisida antikoagulant yang digunakan adalah Racumin powder. Racumin dicampur dengan beras atau jagung, dengan komposisi 5% racumin per satuan berat beras/jagung, lalu dicampur sedikit dengan tepung ikan atau tepung daging agar menimbulkan aroma yang menarik bagi tikus. Setiap tempat umpan diisi 50 gram umpan, kemudian tempat umpan tersebut diletakkan pada tempattempat yang biasa dilalui tikus yaitu: a. Pada semua pintu besar (antara pintu luar dan pintu dalam) masing-masing satu buah. b. Disamping kiri dan kanan gudang masing-masing satu buah untuk setiap jarak 50m.
Monitoring terhadap umpan dilakukan minimal sekali dalam seminggu pada bulan pertama pelaksanaan pengendalian ini. Pada bulan kedua dan seterusnya, monitoring dapat dilakukan sekali dalam dua minggu (bersamaan dengan monitoring konsentrasi CO2). Setiap umpan yang telah dimakan oleh tikus harus diganti/ditambah dengan umpan yang baru. Satu jenis umpan (misalnya racumin+beras+tepung ikan) hanya boleh dipakai untuk jangka waktu dua bulan, setelah dua bulan umpannya harus diganti dengan jenis yang lain, misalnya racumin+jagung+tepung daging/ikan. Tujuan penggantian umpan ini adalah untuk menghindarkan kebosanan tikus terhadap umpan yang sama.