II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TEH 2.1.1 Tanaman Teh Tanaman teh (Camellia sinensis) termasuk suku (famili) Tehaceae. Berasal dari daerah subtropis kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia hingga tropis. Tanaman teh dapat tumbuh dan berproduksi optimal di daerah tropis pada ketinggian 400 – 1500 m di atas permukaan laut. Syarat tumbuh tanaman ini yaitu daerah yang memiliki curah hujan 2.000 – 2.500 mm dengan jumlah hujan pada musim kemarau tidak kurang dari 100 mm dan suhu udara berkisar antara 14 – 25 oC serta intensitas yang cukup (Setyamidjaja 2000). Klasifikasi teh menurut Graham (1984); Steenis (1987); dan Tjitrosoepomo (1989), genus Camellia dibedakan menjadi beberapa spesies teh yaitu sinensis, assamica, irrawadiensis. Sejak tahun 1958 semua teh dikenal sebagai suatu spesies tunggal Camellia sinensis dengan beberapa varietas khusus, yaitu sinensis, assamica dan irrawadiensis. Tanaman teh Camellia sinensis O.K.Var.assamica (Mast) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji) Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka) Kelas : Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah) Sub kelas : Dialypetalae Ordo (bangsa) : Guttiferales (Clusiales) Familia (suku) Genus (marga) Spesies (jenis) Varietas
: Camelliaceae (Tehaceae) : Camellia : Camellia sinensis : Assamica
Pertumbuhan tanaman teh di dataran rendah lebih cepat daripada di dataran tinggi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan air dan cuaca yang baik sepanjang waktu. Kecepatan pertumbuhan tanaman teh ini mengakibatkan pertumbuhan pucuk lebih cepat sehingga berpengaruh terhadap waktu pemetikannya. Tanaman mengalami proses penguapan yang sangat kurang di dataran tinggi sehingga fungsi daun sangat terbatas dan dinding sel daun tersebut tidak menjadi terlalu keras dan elastisitas daun tersebut lebih besar sehingga mudah digulung (Nasution dan Tjiptadi 1985). Pertumbuhan tanaman teh memiliki pola yang khas yaitu terjadinya periodesasi pada pertumbuhan tunas yang tidak berhubungan dengan keadaan iklim dan lingkungan. Pola pertumbuhan ini dikenal dengan periodesitas yaitu ritme terbentuknya kuncup peko (flush) untuk pertumbuhan maksimal dan burung (banjhi) untuk pertumbuhan minimal. Periodesitas ini berpengaruh terhadap produksi pucuk teh, oleh karena itu frekuensi pemetikan harus mengikuti ritme periodesitas sehingga periode burung tidak mengganggu daur pemetikan, kecepatan periode pertumbuhan tidak terpotong dan tingkat produksi pucuk tidak terganggu (Setyamidjaja 2000). Komoditas teh dihasilkan dari pucuk daun tanaman teh melalui proses pengolahan tertentu. Secara umum berdasarkan cara pengolahannya, teh dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam (Arifin 1994). Pucuk teh sebagai bahan baku industri pengolahan teh, baik teh hitam, teh hijau maupun teh oolong serta jenis teh olahan
22
lainnya harus bermutu tinggi sehingga dapat dihasilkan produk teh yang bermutu tinggi pula. Oleh karena itu, mutu pucuk teh harus diusahakan dan dipertahankan agar tetap tinggi sejak pemetikan, pengumpulan maupun pengangkutan ke pabrik (Setyamidjaja 2000). 2.1.2 Pemetikan Teh Menurut Paimin dan Nazaruddin (1996), pemetikan merupakan pekerjaan mengambil pucuk teh yang terdiri dari kuncup, ranting muda, dan daunnya. Pemetikan harus dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan sistem petikan dan syarat-syarat pengolahan yang berlaku untuk menjaga produksi teh tetap tinggi dan tanaman tidak rusak karena proses pemetikan. Pemetikan yang tidak teratur menyebabkan tanaman teh menjadi cepat tinggi, bidang petik tidak rata dan jumlah petikan tidak banyak sehingga akan berpengaruh terhadap nilai ekonominya. Suwardi (2000) menyatakan bahwa sistem petikan adalah berapa daun muda yang dipetik di bawah kuncup peko. Sistem petikan mempengaruhi mutu dan jumlah produksi teh, waktu pemetikan berikutnya, serta kelangsungan hidup tanaman teh itu sendiri. Jenis petikan yang umumnya dikehendaki adalah jenis petikan medium dengan komposisi minimal 70% pucuk medium, maksimal 10% pucuk halus dan 20% pucuk kasar. Gambar 1 menunjukan bagian pucuk daun teh dan cara pemetikannya. Menurut Suwardi (2000), sistem petikan dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu : 1. Petikan halus, apabila pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko (p) dengan satu daun atau pucuk burung (b) dengan satu daun muda (m). Petikan halus sering ditulis dengan rumus p + 1 atau b + 1. 2. Petikan medium, apabila pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko dengan dua daun atau tiga daun muda, serta pucuk burung dengan satu, dua atau tiga daun muda. Petikan ini dirumuskan p + 2, p + 3, b + 1m, b + 2m dan b + 3m. 3. Petikan kasar, apabila pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko dengan empat daun atau lebih dan pucuk burung dengan beberapa daun tua. Rumus petiknya adalah p + 4 atau lebih dan b + (1 - 4t). Keseragaman hasil pucuk dipengaruhi oleh panjang daur petik. Makin panjang daur petik, hasil pucuk makin tidak seragam dan kasar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 tentang hubungan antara standar petik dan persentase tipe pucuk yang dihasilkan (Setyamidjaja 2000). Tabel 1. Hubungan Standar Petik dan Daur Petik dengan Presentase Tipe Pucuk Persentase Tipe Pucuk (%) Standar Petik dan Daur Petik P+2 P+3 P+3 Petik halus, daur petik pendek
71,55
24,23
4,42
Petik Medium, daur petik 5 – 7 hari
54,48
40,32
13,47
Petik Kasar, daur petik 10 -14 hari
35,59
35,59
18,90
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (2008)
23
Gambar 1. Bagian Pucuk Daun Teh dan Cara Pemetikannya (Ghani 2002). Pemetikan pucuk teh merupakan ujung tombak produksi karena pemetikan sangat menentukan aroma dan cita rasa teh. Hal ini didukung analisis quality functional deployment (QFD) oleh Karmila (2004), menunjukkan bahwa pengaruh paling kuat terhadap peningkatan kualitas teh berdasarkan analisis harapan konsumen adalah pada peningkatan mutu pucuk teh. Keberhasilan pemetikan merupakan kunci keberhasilan dalam bisnis teh secara keseluruhan. Hal ini berdasarkan bahwa pemetikan teh paling banyak menyerap tenaga kerja dan biaya. Dalam pemetikan teh harus diperhatikan faktor keseimbangan antara kualitas hasil dan regenerasi pucuk. Menurut Mabbet (1997), faktor penting dalam pemetikan teh ialah mengetahui bagian yang akan dipetik dan mengetahui waktu yang tepat untuk memetik. 2.1.3 Pemangkasan Tanaman Teh Menurut Ghani (2002), pemangkasan pada tanaman muda dimaksudkan untuk membentuk percabangan. Pada tanaman menghasilkan pemangkasan bertujuan untuk menurunkan tinggi perdu tanaman agar dapat dipetik, memperluas cabang, agar pertumbuhan tanaman tetap pada masa vegetatif, dan mengatur fluktuasi produksi agar tetap stabil dan seimbang. Ada beberapa jenis pangkasan pada tanaman menghasilkan, yaitu sebagai berikut: 1. Pangkas leher akar, yaitu pangkas berat pada ketinggian 10 – 20 cm dari tanah 2. Pangkas dalam, yaitu pangkas pada ketinggian 40 cm. 3. Pangkas bersih, yaitu pangkas dengan membuang dan membersihkan cabang ukuran diameter kurang dari 1 cm pada ketinggian 45 – 60 cm. 4. Pangkas tengah bersih, yaitu hanya bagian tengah yang dibersihkan pada ketinggian 45 – 65 cm. 5. Pangkas kepris, yaitu pada bidang bekas pangkas rata seperti meja tanpa pembersihan ranting, tinggi pangkas 65 – 70 cm.
24
6. Pangkas ajir/jambul, yaitu pangkas bersih dengan meninggalkan 1 – 2 cabang di bagian pinggir kanopi (tersisa 50 – 100 lembar daun). 7. Skiffing, yaitu pangkas ringan untuk menurunkan bidang petik. Siklus pangkas tergantung pada ketinggian tempat dan pola pemetikan. Di dataran tinggi, siklus pangkas lebih lambat dibandingkan dataran rendah karena di dataran tinggi pertumbuhan teh lambat. Pengaturan tinggi pangkas bertambah 5 cm setiap siklus pangkas, dimulai dari ketinggian 40 cm sampai 65 cm, lalu kembali pada ketinggian 40 cm (Ghani 2002). 2.1.4 Pengolahan Teh Hitam CTC Perkebunan teh yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1828 (Spillane 1992). Sejak saat itu industri teh indonesia mulai berkembang. Pada saat itu, yang dimaksud dengan industri teh adalah industri yang mengolah pucuk teh sebagai hasil perkebunan menjadi teh curah (bulk tea). Teh curah yang dihasilkan terdiri dari tiga jenis, yaitu teh hitam, teh hijau dan teh oolong. Perbedaaan ketiga jenis teh tersebut ditentukan oleh proses pengolahannya. Pengolahan teh hitam dilakukan dengan serangkaian proses fisik dan mekanis yang diikuti dengan proses oksidasi enzimatis (fermentasi). Pada teh hijau dalam proses pengolahannya tidak dilakukan proses fermentasi, sedangkan teh oolong merupakan hasil olahan semi fermentasi (PPTK 1994). Mesin pengolahan teh hitam CTC (Crushing, Tearing, and Curling) ditemukan oleh Marshall dan Davidson dari Inggris, dan banyak dikembangkan di India. Di Indonesia, umumnya menggunakan mesin giling gabungan dari sistem giling CTC Kenya dan India Utara (Doars) yaitu 1 x GLS (Green Leaf Sifter) – 1 x BLC 15” (Barbora Leaf Condition) – 3 x CTC 30”. Untuk fermentasi dipakai Countinuous Fermenting Machine, sedang pengeringan umumnya memakai Fluid Bed Dryer 6 section. Diagram alir pengolahan teh hitam CTC seperti tertera dalam Gambar 2. Pucuk teh yang halus (minimal 60%) dan utuh merupakan bahan baku yang berpotensi kualitas tinggi di samping faktor lainnya. Umumnya perkebunan teh yang melaksanakan pengolahan sistem CTC pemetikan pucuknya halus (medium murni). Pucuk yang halus sangat membantu kelancaran dalam proses penggilingan. Pelayuan pucuk teh hitam CTC hampir sama dengan pucuk teh orthodox. Perbedaannya terletak pada tingkat layu pucuk yang dikehendaki sangat ringan, yaitu derajat layu 32-35% (kadar air 65-68%). Secara fisik pelayuan ini hanya memerlukan waktu 4-6 jam, tetapi masih diperlukan pelayuan kimia (chemical withering) hingga diperpanjang menjadi 12-16 jam. Pemakaian hembusan udara panas hanya dilakukan apabila pucuk dalam keadaan basah, sedangkan pembalikan dan pengiraban tetap dilakukan agar hasil layuan (pucuk layu) menjadi rata. Pucuk yang dihamparkan di atas palung layuan berkisar 25-30 kg/m3. Proses pengayakan pucuk layu sangat berguna dalam pengolahan teh hitam CTC, yaitu memisahkan pucuk dari pasir, kerikil, dan benda-benda asing lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan pada pisau dan memacetkan roller CTC. Pada tahap ini menggunakan mesin Green Leaf Sifter. Persiapan penggilingan menggunakan Barbora Leaf Conditioner (BLC 15”) sebelum pucuk layu teh digiling pada mesin CTC. Pada tahap ini juga untuk membersihkan dari partikel besi atau paku. Pada proses penggilingan memakai mesin Triplex CTC. Ukuran bubuk basah giling pertama kedua, dan ketiga berturut-turut adalah besar, agak besar, dan kecil. Suhu bubuk berkisar 30-320C.
25
Fermentasi bubuk basah memerlukan suhu udara rendah dan kelembaban yang tinggi. Mesin yang digunakan adalah CFM 6”. Lamanya fermentasi diatur agar jangan terlalu lama maupun terlalu pendek, umumnya berkisar 80-85 menit. Alat yang digunakan pada tahap pengeringan adalah FBD (Fluid Bed Dryer). Kadar air hasil pengeringan teh hitam CTC berkisar 2,5-3,5% tanpa mengalami gosong. Sortasi kering teh hitam CTC lebih sederhana dari teh orthodox. Teh kering hampir seragam, dan serat-serat yang tercampur tinggal sedikit karena telah banyak yang dikeluarkan selama pengeringan. Proses ini memisahkan serat-serat teh, partikel lembaran teh, serta memisahkan teh yang ukurannya seragam. Tinggi rendahnya persentase serat yang terkandung dalam teh kering sangat dipengaruhi oleh tingkat kehalusan pucuk. Makin halus pucuk makin sedikit seratnya. Teh dikemas dalam kantong kertas yang telas dilapisi alumunium dibagian dalamnya. Berat maksimum adalah 50 kg per kantong, tergantung pada jenis mutu tehnya. Mulai
Pucuk daun Pelayuan Pengayakan pucuk layu Persiapan penggilingan Penggilingan CTC Fermentasi Pengeringan Sortasi kering Pengemasan
Selesai
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Teh Hitam CTC (PPTK 1994)
2.2 MODEL Model adalah suatu representatif atau formulasi bahasa tertentu yang disepakati dari suatu sistem nyata. Adapun sistem nyata adalah sistem yang berlangsung dalam kehidupan. Dengan demikian, pemodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu (Simatupang 1996). Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menentukan peubahpeubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah (Eriyatno 2003).
26
Menurut Simatupang (1996), ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam memodelkan suatu sistem, antara lain : (a) model harus mewakili (merepresentasikan) sistem nyatanya dan (b) model merupakan penyederhanaan dari kompleksnya sistem, sehingga diperbolehkan adanya penyimpangan pada batas-batas tertentu.
2.3 MODEL PERENCANAAN Model adalah suatu representatif atau formulasi bahasa tertentu yang disepakati dari suatu sistem nyata (Simatupang 1996). Dikutip dari Harjanto (2008), perencanaan adalah suatu proyeksi tentang apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan absah dan bernilai. Dalam investorword.com didefinisikan “The process of setting goals, developing strategies, and outlining tasks and schedules to accomplish the goals”. Perencanaan adalah proses menetapkan tujuan, mengembangkan strategi, dan menguraikan tugas dan jadwal untuk mencapai tujuan. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa sebuah perencanaan adalah merupakan proses menuju tercapainya tujuan tertentu. Atau dalam istilah lain merupakan persiapan yang terarah dan sistematis agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Sehingga model perencanaan dapat disimpulkan yaitu suatu representatif dari suatu nyata dalam rangka persiapan yang terarah dan sistematis agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
2.4 PENJADWALAN Menurut Machfud (1999), penjadwalan operasi produksi merupakan penetapan waktu (timing) dan penggunaan sumber daya dalam kegiatan operasi produksi. Penetapan waktu berkenaan dengan masalah pengurutan (sequencing) dan penggunaan sumber daya untuk kegiatan operasi produksi berkenaan dengan masalah penugasan kerja (job assignment) kepada fasilitas produksi baik orang maupun mesin (loading). Bedworth (1987) mengidentifikasi beberapa tujuan dari aktivitas penjadwalan sebagai berikut: 1. Meningkatkan penggunaan sumber daya atau mengurangi waktu tunggunya sehingga total waktu proses dapat berkurang dan produktivitas dapat meningkat. 2. Mengurangi persediaan barang setengah jadi atau mengurangi sejumlah pekerjaaan yang menunggu dalam antrian ketika sumber daya yang ada masih mengerjakan tugas yang lain. 3. Mengurangi beberapa keterlambatan pada pekerjaan yang mempunyai batas waktu sehingga akan meminimalkan penalty (biaya keterlambatan). 4. Membantu pengambilan keputusan mengenai perencanaan kapasitas pabrik dan jenis kapasitas yang dibutuhkan sehingga penambahan biaya yang mahal dapat dihindarkan.
2.5 MODEL ARIMA (Auto Regressive Integrated Moving Average) Box dan Jenkins (1976), menemukan suatu teknik untuk analisis deret waktu. Teknik ini kemudian dikenal dengan teknik Box-Jenkins. Teknik ini mengidentifikasi model dari analisis data masa lalu apakah merupakan Model Autoregresi (AR) atau Model Moving Average (MA) atau bahkan gabungan dari Autoregresi dan Moving Average. Jika suatu deret data dari segi prosesnya merupakan suatu integrasi antara proses Autoregresi dan proses Moving Average maka model
27
deret data tersebut adalah model ARIMA (Auto Regressive Integrated Moving Average). Model umum ARIMA dinyatakan dengan rumus sesuai persamaan (1): ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)s (1) Dimana: p = menunjukkan ordo proses AR d = menunjukkan tingkat pembeda agar deret data bersifat stasioner q = menunjukkan ordo proses MA S = menunjukkan panjang periode musiman P = ordo AR untuk data musiman D = indeks kecenderungan untuk data musiman Q = ordo MA untuk data musiman Makridakis et al. (1999), menjelaskan teknik Box – Jenkins secara garis besar terdiri dari beberapa tahap yaitu identifikasi, estimasi parameter, diagnosis dan implementasi. 1. Tahap Identifikasi Tahap identifikasi pada dasarnya adalah menentukan nilai parameter p, d, q, P, D, Q dan S yaitu untuk menentukan pola data masa lalu. a. Identifikasi Stasioner dan Tidak Stasioner Identifikasi stasioner dilakukan berdasarkan deret data aktual yang tersedia (Xt), dicari nilai koefisien autokorelasi time lag ke-k (rk, k = 1,2 ... m), kemudian nilai rk diuji. Jika secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol, berarti rk adalah acak, yang juga berarti Xt bersifat acak. Deret data Xt adalah stasioner apabila hasil plot nilai rk menunjukkan fluktuasi (tidak beraturan) disekitar nol. Dalam hal ini nilai parameter d = 0. Jika plot nilai rk menunjukkan ada kecenderungan maka deret data Xt tidak stasioner. Untuk menentukan nilai parameter d dilakukan pembedaan (differencing) sampai data bersifat stasioner. Pembedaan ordo pertama dinotasikan sebagaimana pada persamaan 2. X’t = Xt - Xt -1 = (1-B)1 Xt (2) Dimana: B adalah Backward Shift operator dan BXt = Xt – 1 Pembedaan ordo kedua notasinya seperti pada persamaan 3: X’’t = (1-B)2 Xt (3) Jika sampai dengan ordo ke-d, deret data sudah stasioner maka model ARIMA-nya adalah (0, d, 0) dan rumus dasarnya adalah pada persamaan 4. (1-B)d Xt = et (4) Dimana : et = Nilai kesalahan (1-B)d = Pembeda ordo ke-d b. Identifikasi Proses Autoregresi (AR) Identifikasi ada tidaknya proses AR dilakukan pada data yang stasioner atau sudah distasionerkan. Untuk mendeteksi apakah suatu deret data merupakan AR(1) atau AR(2), dilihat dari nilai-nilai koefisien autokorelasi, autokorelasi parsial dan garis spektrum. Jika data tidak dibangkitkan oleh proses AR, koefisien autokorelasi parsialnya tidak berbeda nyata terhadap nol. Jika data merupakan AR(1), maka nilai koefisien autokorelasi parsial ordo pertama nyata (p = 1), jika data merupakan AR(2) atau (P = 2) maka nilai koefisien autokorelasinya menurun mengikuti gelombang sinus. Model autoregresi ordo ke-p atau AR(p) ditunjukkan dengan model pada persamaan 5.
28
ARIMA (p,0 ,0) (1 – F1 B – F2 B2 - … - Fp Bp) Xt = u + et (5) Xt = u + F1 Xt-1 + F2 Xt-2 + … + Fp Xt-p + et Dimana: u = Konstanta Φp = Parameter auto regresi ke-p et = nilai kesalahan pada saat t c. Identifikasi Proses Moving Average (MA) Untuk mengidentifikasi proses MA diperlukan plot nilai-nilai koefisien autokorelasi, autokorelasi parsial dan garis spektrum dari data yang stasioner atau telah distasionerkan. Jika data merupakan MA(1) atau (q = 1) maka hanya ada satu koefisien autokorelasi yang berbeda nyata yaitu untuk time lag 1 dan untuk MA(2) maka koefisien autokorelasi pada time lag 1 dan 2 adalah nyata. Model ARIMA deret data merupakan proses MA ordo ke-q yaitu sesuai pada persamaan 6. ARIMA (0,0,q) Xt = u + et - q1 et-1 + q2 et-2 + … + qp et-p (6) Dimana: u = konstanta Θq = autokorelasi ke-q et = nilai kesalahan pada saat t d. Identifikasi Campuran Proses AR dan MA atau ARIMA Deret data yang dibangkitkan oleh campuran proses AR(1) dan MA(1) atau ARIMA (1,0,1) modelnya sesuai pada persamaan 7: (1 – F1 B) Xt = u + (1 – q1 B) et atau AR(1) MA(1) (7) Xt = u + F1 Xt-1 + q1 et-1 Deret data yang merupakan ARIMA (1,1,1) modelnya sesuai dengan persamaan 8. (1 – B) (1 – F1 B) Xt = u + (1 – q1 B) et (8) Dimana : (1 – B) = Pembedaan pertama untuk memperoleh data stasioner (1 – Φ1 B) = AR(1) (1 – θ1 B) = MA(1) e. Identifikasi Musiman Deret data yang memiliki sifat musiman, akan terdapat suatu pola dimana antar selang periode tertentu yang berurutan terdapat suatu pola yang sama. Pola data musiman diidentifikasi berdasarkan plot nilai koefesien autokorelasi, autokorelasi parsial dan garis spektrum dari data yang stasioner atau telah distasionerkan. Jika pada selang periode tertentu terdapat nilai rk yang menonjol, maka hal ini menunjukkan adanya musiman dengan panjang periode musiman (S) sejumlah selang periode tersebut. Aspek musiman dari suatu data dapat dipisahkan dengan melakukan pembedaan (differencing) dengan jumlah periode pembeda sama dengan panjang periode musiman. Model persamaan pembedaan sesuai dengan persamaan 9. X’t = Xt - Xt-s (9) Setelah dipisahkan aspek musimannya, data diidentifikasi nilai P, D, dan Q dengan cara yang sama dengan penetapan nilai p, d, dan q tetapi dari data yang telah dipisahkan aspek musimannya.
29
2. Tahap Estimasi Parameter Parameter dalam model ARIMA seperti parameter AR (Φ), parameter MA (θ) perlu ditetapkan agar model ARIMA dapat digunakan untuk melakukan prakiraan. Pendugaan nilai parameter ini memerlukan penurunan matematik/statistik yang rumit. Berbagai paket program komputer seperti SYSTAT, SPSS dan MINITAB sudah tersedia untuk menghitung parameter-parameter tersebut. 3. Tahap Diagnosis dan Implementasi Setelah parameter-parameter ARIMA diduga, perlu dilakukan pemeriksaan apakah model yang diidentifikasi sudah sesuai. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meneliti nilai sisa, untuk melihat apakah masih terdapat pola pada nilai sisa dan meneliti nilai-nilai statistik contoh dari hasil yang sudah diperoleh. Model ARIMA dapat diimplementasikan untuk melakukan prakiraan bila hasil diagnosis telah sesuai dengan yang ditetapkan. Pemilihan model ARIMA yang digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan data yang digunakan merupakan data deret waktu. Selain itu, berdasarkan penelitian Anugrah (2007), nilai eror ARIMA lebih kecil dibandingkan dengan jaringan saraf tiruan dalam meramal curah hujan. ARIMA juga dapat digunakan pada data yang bersifat stasioner dan nonstasioner serta pada data bersifat musiman atau tidak musiman. Menurut Hanke et al (2003), pendekatan ARIMA bersifat fleksibel dan dapat mewakili rentang yang lebar dari karakteristik deret waktu.
2.6 REGRESI LINIER Definisi teknik atau analisis regresi menurut Gujarati (1997) adalah suatu analisis yang berkenaan dengan studi ketergantungan suatu peubah, pada satu atau lebih peubah lain dengan maksud menaksir dan atau meramalkan nilai rata-rata hitung atau rata-rata peubah tak bebas, dipandang dari nilai yang diketahui atau tetap peubah yang menjelaskan. Menurut Rangkuti (2002) persamaan umum regresi berganda adalah sebagaimana pada persamaan 10. Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + ... bk Xk + e (10) Dimana : b1, b2, b3, ... bk adalah koefisien regresi X1, X2, X3 ... Xk adalah variabel bebas e adalah eror atau sisa (residual) Koefisien–koefisien regresi dapat dihitung dengan rumus pada persamaan 11. ƩX1 = na + b2 ƩX2 + b3 ƩX1 (11) ƩX1 X2 = a ƩX2 + b2 ƩX22 + b3 ƩX2X3 ƩX2 X3 = a ƩX3 + b2 ƩX2X3 + b3 ƩX32 Sebelum regresi yang diperoleh akan digunakan dalam membuat kesimpulan, maka harus diperiksa terlebih dahulu kelinieran, korelasi, dan keberartiannya. Jika tidak linier, maka pengujian bisa dilakukan dengan model lain. Pemeriksaan ini ditempuh melalui pengujian hipotesis. Untuk mempermudah melihat apakah model linier ini atau bentuk lainnya, dapat juga dibantu dengan diagram pencar (scatter plot). Uji keberartian yang digunakan adalah keberartian regresi itu sebagai suatu kesatuan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melalui pengujian hipotesis bahwa koefisien korelasi multipel tidak berarti melawan tandingan bahwa koefisien korelasi multipel berarti. Statistik yang digunakan untuk pengujian hipotesis ini adalah statistik F. Selain diperiksa keberartian regresi sebagai suatu kesatuan, juga dapat diperiksa keberartian tiap koefisien regresi. Untuk menguji
30
koefisien regresi yang bertalian dengan peubah Xi tidak berarti melawan tandingan koefisien itu berarti digunakan statistik atau uji t pada taraf signifikansi tertentu.
2.7 PROGRAM LINIER Program linier ialah salah satu metode penyelesaian masalah dalam ruang lingkup riset operasi. Pada dasarnya penggunaan program linier bertujuan untuk menentukan pilihan yang optimal dari masalah pengambilan keputusan dalam batasan beberapa kendala. Program linier banyak digunakan dalam optimasi alokasi sumberdaya-sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan tertentu di berbagai bidang (Astika 1994). Empat langkah dasar menyelesaikan persoalan program linier ialah: (1) Formulasi permasalahan dalam bentuk kata dan koleksi informasi serta data. (2) Menerjemahkan permasalahan ke dalam konvensi matematika. (3) Mengaplikasikan aturan matematika dan prosedur ke dalam persoalan untuk memperoleh penyelesaian. (4) Interpretasikan penyelesaiaan dan penjelasan kepada khalayak. Tiga elemen dasar dari model atau formulasi matematika dalam program linier harus mempunyai bentuk khusus, yaitu (1) fungsi objektif dan pembatas berbentuk linier dan deterministik (tidak mengandung elemen acak); (2) variabel keputusan harus kontinyu dan non negatif (France dan Thornley 1984). Notasi standar program linier dinyatakan sebagai berikut. Untuk aktivitas j (j=1,2,3,...,n), cj ialah peningkatan tujuan Z yang dihasilkan dengan bertambahnya xi (tingkat aktivitas j). Untuk sumberdaya i (i=1,2,3,..,m), bi ialah jumlah sumberdaya yang tersedia untuk aktivitas-aktivitas. aij ialah jumlah dari sumber daya i yang dikonsumsi oleh setiap unit aktitivitas j. Himpunan data aij, bi dan c merupakan parameter atau konstanta input bagi model program linier. Model program linier tersebut disajikan pada fungsi tujuan pada persamaan 12 dan kendala-kendala pada persamaan 13. Tujuan Maksimum/Minimum Z= c1x1 + c2x2 + c3x3 + ... + cnxn
(12)
Kendala a11x1 + a12x2 + a13x3 + ... + a1nx1n <= b1 a21x1 + a22x2 + a23x3 + ... + a2nx1n <= b2 a31x1 + a32x2 + a33x3 + ... + a3nx1n <= b3
(13)
...
am1x1 + am2x2 + am3x3 + ... + amnx1n <= bm
2.8 TITIK PESAN KEMBALI Pada dasarnya, pengendalian persediaan meliputi dua aspek yaitu pada saat kapan pengadaan logistik dan berapa banyak yang harus ada. Pembagian model pengendalian persediaan ditentukan oleh karakteristik dari permintaan atau kebutuhan terhadap persediaan selang waktu sejak dilakukan pemesanan hingga persediaan tersedia (waktu tunggu), serta parameter-parameter biaya lainnya (Machfud 1999).
31
Model persedian Kuantitas Pesanan Ekonomis (Economic Order Quantity) merupakan satu model klasik akan tetapi banyak dikenal dalam teknik pengendalian logistik. Titik pesan kembali banyak digunakan karena mudah penggunaannya. Menurut Rangkuti (2002), EOQ dihitung dengan menganalisa total biaya. Total biaya (TC) pada suatu periode yang merupakan jumlah dari biaya pemesanan (Cs) ditambah dengan biaya penyimpanan selama periode tertentu. Dengan demikian berdasarkan model yang terilustrasi pada Gambar 3, maka: (Q/2) x Cc = Biaya penyimpanan per periode (D/Q) x Cs = Biaya pemesanan per periode Jumlah persedian (Unit) Q
Q/2
Tingkat persediaan
Waktu
0
Gambar 3. Grafik Persediaan dalam Model EOQ (Machfud 1999) Dengan demikian total biaya per periode (TC) pada persamaan 14. TC = (Q/2) x Cc + (D/Q) x Cs (14) Dengan demikian untuk mendapatkan EOQ menurut persamaan 15. EOQ D Cs Cc Q
EOQ = √( (2D x Cs) / Cc) : jumlah pemesenan optimal : jumlah permintaan dalam satu periode : biaya pemesanan : biaya penyimpanan : jumlah pemesanan
(15)
2.9 PENELITIAN TERDAHULU Maghfiroh (2005) melakukan penelitian mengenai model penjadwalan pemetikan pucuk teh. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sistem. Hasil dari penelitian tersebut berupa aplikasi menentukan jadwal pemetikan beserta jumlah teh yang harus dipetik dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Faktor yang mempengaruhi model ini hanya faktor iklim, khususnya untuk mengestimasi produksi. Model estimasi faktor iklim digunakan untuk melakukan prakiraan kondisi faktor iklim dimasa yang akan datang dengan metode ARIMA. Model penjadwalan pemetikan belum bisa diterapkan langsung karena membutuhkan modifikasi. Sulistiyanto (2005) melakukan penelitian mengenai model penjadwalan pemetikan dan pengangkutan teh. Model ini digunakan untuk Perkebunan Tambi Unit Perkebunan Tanjungsari. Sistem dikembangkan dalam satu paket program komputer. Penjadwalan pemetikan disusun berdasarkan gilir petik yang ditetapkan perusahaan dengan memperhatikan jumlah blok dan total luas kebun, sedangkan pengangkutan pucuk ditentukan berdasarkan jumlah kegiatan pengangkutan yang harus dilakukan. Penjadwalan pengangkutan disusun berdasarkan teknik pengurutan. Feriyanto (1992), melakuakan penelitian mengenai model estimasi produksi, kebutuhan tenaga kerja pemetik dan penjadwalan pengangkutan pucuk teh. Penelitian ini dilakukan dengan
32
pendekatan berencana. Kelemahan penelitian ini terletak pada penentuan lokasi pemetikan yang berpengaruh terhadap penentuan luas petikan. Restiati (2006) menyusun model penjadwalan pemetikan pucuk teh yang merupakan studi kasus di perkebunan Gunung Mas PTPN VIII Jawa Barat. Metode yang dipergunakan untuk menyusun model penjadwalan tersebut ialah formulasi program linier non-fuzzy dan program linier fuzzy dengan fungsi tujuan memaksimumkan produksi pucuk basah dan dua buah fungsi kendala yaitu kendala luas lahan dan kendala tenaga pemetik yang tersedia. Program linier nonfuzzy dan program linier fuzzy tersebut memberikan solusi berupa luas areal petik yang menghasilkan nilai maksimum. Yusuf (2009) melakukan penelitian dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan penjadwalan dan meningkatkan handling pucuk dari mulai pemetikan, penyimpanan pucuk teh di kebun dan pengangkutan hingga penerimaan di pabrik sehingga dapat mengoptimumkan penggunaan sumber daya dan tujuan produksi dapat tercapai. Penentuan kebutuhan tenaga kerja pemetik ditujukan agar jadwal pemetikan terlaksana dengan baik di kebun. berimbang. Hasil simulasi model penjadwalan pemetikan pengangkutan memperinci pembagian tugas bagi truk pengangkut pucuk teh. Penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni menentukan faktor produktivitas yang dapat diukur seperti faktor iklim dan tanaman. Faktor iklim yang dimaksud adalah curah hujan dan hari hujan dan faktor tanaman yang dimaksud yaitu umur pangkas tanaman dan gilir petik. Prakiraan produktivitas ditetapkan dari faktor tersebut seperti yang dilakukan Yusuf (2009) dan Maghfiroh (2005). Optimasi Pemilihan penjadwalan menggunakan program linier seperti yang dilakukan Restiati (2006). Integrasi yang dilakukan terhadap pemenuhan bahan penunjang produksi, papersack dan kayu bakar. Kebutuhan pemetik juga dilakukan berdasarkan hasil optimasi penjadwalan.
33