II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kelapa Sawit Kelapa sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad
ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif hingga 25–30 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Produk utama kelapa sawit adalah CPO dan CPKO, yang selanjutnya menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun non pangan. Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar (Sastrosayono, 2003).
2.1.1 Klasifikasi Kelapa Sawit Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Palmales
Famili
: Palmaceae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis Guineensis Elaeis odora (tidak ditanam di Indonesia) Elaeis melanococca
Varietas
: Elaeis guineensis dura Elaeis guineensis tenera Elaeis guineensis pisifera
2.1.2
Morfologi Kelapa Sawit
a.
Akar Kecambah kelapa sawit yang baru tumbuh memiliki akar tunggang, tetapi
akar ini mudah mati dan segera diganti dengan akar serabut. Jika aerasi cukup baik, akar tanaman kelapa sawit dapat menembus kedalaman 8 meter di dalam tanah, sedangkan yang tumbuh kesamping bisa mencapai radius 16 meter. Keadaan ini tergantung pada umur tanaman, sistem pemeliharaan, dan aerasi tanah. Sistem perakaran seperti ini menyebabkan tanaman tidak mudah tumbang. b.
Batang Pada tahun-tahun pertama, sejak kecambah tumbuh menjadi tanaman
kelapa sawit tidak tampak adanya pertumbuhan memanjang. Awalnya terbentuk poros batang dan disekitar poros terbentuk daun-daun yang ukurannya semakin bertambah besar. Setelah tanaman berumur 4 tahun, batang mulai memperlihatkan pertumbuhan
memanjang.
Ketebalan
batang
tergantung
pada
kekuatan
pertumbuhan daun-daunnya. Tanaman kelapa sawit secara alami bisa mencapai umur 100 tahun. Namun, tanaman kelapa sawit yang ditanam di perkebunan harus diremajakan sebelum mencapai umur tersebut, karena produksi buahnya sudah menurun. c.
Daun Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Setiap bulan biasanya akan tumbuh
dua lembar daun. Daun pupus yang tumbuh keluar masih melekat dengan daun lainnya. Arah pertumbuhan daun pupus tegak lurus keatas dan bewarna kuning. Anak daun (leaf let) pada daun normal berjumlah 80-120 lembar. Kedudukan daun pada batang dapat dirumuskan dengan rumus daun (phylotaxis) 3/8, pada setiap putaran terdapat 8 daun. Setiap tahun, tanaman kelapa sawit bisa mengeluarkan 20-24 lembar daun. d.
Bunga Susunan bunga terdiri dari karangan bunga yang terdiri dari bunga jantan
(tepung sari) dan bunga betina (putik). Namun, ada juga tanaman kelapa sawit yang hanya memproduksi bunga jantan.
Umumnya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam dua tandan yang terpisah. Namun, adakalanya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam tandan yang sama. Masa reseptif (masa putik dapat menerima tepung sari) adalah 3x24 jam. Setelah itu, putik akan berwarna hitam dan mengering. Jika diawetkan, tepung sari bisa mencapai umur 10 minggu. Pengawetan tepung sari bisa dilakukan dengan cara mengeringkannya di dalam oven dengan suhu konstan 60°C selama 24 jam. Tepung sari awetan biasanya digunakan untuk bantuan penyerbukan (assisted pollination). Pada tanaman kelapa sawit muda (sampai umur 6 tahun), bunga betina lebih banyak daripada bunga jantan. Karena itu, kelapa sawit muda membutuhkan bantuan penyerbukan oleh manusia. e.
Buah Tandan buah tumbuh di ketiak daun. Daun kelapa sawit setiap tahun
tumbuh sekitar 20-24 helai. Semakin tua umur kelapa sawit, pertumbuhan daunnya semakin sedikit, sehingga buah yang terbentuk semakin menurun. Meskipun demikian, tidak berarti hasil produksi minyaknya menurun. Hal ini disebabkan semakin tua umur tanaman, ukuran buah kelapa sawit akan semakin besar. Kadar minyak yang dihasilkannya juga semakin tinggi. Berat tandan buah kelapa sawit bervariasi, dari beberapa ons hingga 30 kg . Tanaman kelapa sawit mulai berbuah saat berumur 18 bulan setelah tanam, tetapi kadar minyaknya masih sedikit dan persentase limbah (lumpur) banyak. Karenanya, di perkebunan kelapa sawit, bunga-bunga yang tumbuh pada tanaman muda akan dibuang (kastrasi) agar tidak menjadi buah. Buah muda Elaeis guineensis dura, Elaeis guineensis tenera, dan Elaeis guineensis pisifera berwarna ungu tua sampai hitam. Warna ini disebabkan adanya dominasi zat anthocyanin.
2.1.3
Syarat Tumbuh Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu
tumbuh dan berproduksi secara optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama bagi pertumbuhan kelapa sawit, disamping faktor-faktor lainnya seperti genetis, budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.
a.
Faktor Iklim
Curah Hujan Jumlah dan curah hujan yang baik untuk kelapa sawit adalah 2000-2500
m/tahun, tidak memiliki defisit air, hujan agak merata sepanjang tahun (Rambey, 2010). Hujan yang merata sepanjang tahun kurang baik karena pertumbuhan vegetatif akan lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga buah atau bunga yang terbentuk relatif lebih sedikit (Setyamidjaja, 2006). Sebaliknya, curah hujan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan timbulnya masalah terutama sulitnya upaya peningkatan kualitas jalan, pembukaan lahan, pemeliharaan, pemupukan, dan pencegahan erosi (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Suhu dan Elevasi Temperatur yang optimal adalah 24-28°C dan tertinggi 32°C. Diatas atau
dibawah selang tersebut, produktivitas
akan lebih rendah karena rendahnya
proses assimilasi, gagalnya perkembangan bunga dan pematangan buah (Yahya, 1990 dalam Nurmala, 2009). Suhu udara terutama suhu minimum, berhubungan erat dengan elevasi. Di daerah beriklim tropis, secara umum suhu udara bukan merupakan faktor pembatas pada elevasi di bawah 400 m dpl. Sebaliknya, diatas 400 m dpl meskipun faktor iklim lainnya seperti curah hujan sudah sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit, suhu udara minimum yang terlalu rendah bisa menjadi faktor pembatas, tetapi masih berpotensi untuk budidaya kelapa sawit. Elevasi juga berkaitan dengan penyinaran matahari dan kelembaban udara.
Kelembaban dan Penyinaran Matahari Kelembaban 80% dan penyinaran matahari 5-7 jam/hari, karena
kelembaban yang tinggi akan meransang perkembangan penyakit. Kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Angin yang terlalu kencang akan menyebabkan tanaman baru menjadi miring (Lubis, 1992 dalam Harahap, 1999).
b.
Faktor Edafik
Tanah Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti podsolik,
latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, organosol, dan aluvial. Sifat-sifat fisika dan kimia tanah yang harus dipenuhi untuk pertumbuhan kelapa sawit secara optimal adalah sebagai berikut: 1.
Solum cukup dalam (>80cm) dan tidak berbatu agar perkembangan akar tidak terganggu.
2.
Tekstur ringan dan yang terbaik memiliki pasir 20-60%, debu 10-40%, dan liat 20-50%.
3.
Struktur tanah baik, konsistensi gembur sampai agak teguh, dan permeabilitas sedang.
4.
Drainase baik dan permukaan air tanah cukup dalam. Tanah yang berdrainase jelek dengan permukaan air tanah yang dangkal sebaiknya dihindari. Tanah yang berdrainase jelek sebaiknya diberi saluran drainase.
5.
Reaksi tanah (pH) 4,0-6,0 dan pH optimal 5,0-5,5. Tanah yang ber-pH rendah seperti tanah gambut/organosol sebaiknya dilakukan pengapuran.
6.
Tanah yang memiliki kandungan hara cukup tinggi (Setyamidjaja, 2006).
2.1.4
Pemelihara Kelapa Sawit
a.
Pengendalian Gulma Gulma di perkebunan kelapa sawit harus dikendalikan supaya secara
ekonomi tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil produksi. Adanya gulma di perkebunan kelapa sawit akan sangat merugikan. Alasannya, gulma mengganggu dan menghambat jalan para pekerja, gulma menjadi pesaing tanaman kelapa sawit dalam menyerap unsur hara dan air, serta kemungkinan gulma menjadi tanaman inang bagi hama atau penyakit yang menyerang tanaman kelapa sawit. Jenis-jenis gulma di perkebunan kelapa sawit adalah krisan, Mikania scandes, eupathorium (babandotan), melastoma (harendong), pakis kawat, pakis gajah, keladi dan alang-alang. Selain menggunakan herbisida, pengendalian gulma bisa dilakukan dengan cara manual memakai cangkul dan garpu.
b.
Pengendalian Hama dan Penyakit Menurut Pahan (2008), pengendalian hama dan penyakit tanaman pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan. Upaya mendeteksi hama dan penyakit pada waktu yang lebih dini mutlak harus dilaksanakan. Selain akan memudahkan tindakan pencegahan dan pengendalian, keuntungan deteksi dini juga bertujuan agar tidak terjadi ledakan serangan yang tak terkendali atau terduga. Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit diantaranya kumbang tanduk, ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, Adoretus, dan Apogonia, serta babi hutan. Penyakit utama kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit, penyakit antraknosa dan bercak daun. Konsep yang digunakan dalam pengendalian hama, penyakit, dan gulma di perkebunan kelapa sawit adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Integrated Pest Management (IPM) (PPKS, 2006). Berbagai cara yang dilakukan dalam PHT diantaranya adalah: 1.
Hama ulat (Tasea asigna, Stora nitens, dan Darnarima sp.) dikendalikan dengan menyemprotkan Dipterex atau Bayrusil.
2.
Hama kumbang (Apogania sp. dan Oryctes rhinoceros) dikendalikan dengan menyemprotkan larutan Azodrin yang bersifat sistemik.
3.
Hama tikus dikendalikan dengan racun Tomorin, Warfarin, atau Racumin. Penyakit pada tanaman kelapa sawit hingga saat ini, belum ditemukan cara
pemberantasan yang efektif, sehingga hanya dapat dilakukan pembatasan penyebaran penyakit. Caranya, menebang tanaman kelapa sawit yang terserang penyakit ini, pangkal batang dan sisa-sisa akar dibakar di tempat tersebut (Sastrosayono, 2003). c.
Pemupukan Kemampuan lahan dalam penyediaan unsur hara secara terus-menerus
bagi pertumbuan dan perkembangan tanaman kelapa sawit yang berumur panjang sangatlah terbatas. Keterbatasan daya dukung lahan dalam penyediaan hara ini harus diimbangi dengan penambahan unsur hara melalui pemupukan. Manfaat pemupukan memberikan kontribusi yang sangat luas dalam meningkatkan produksi dan kualitas produk yang dihasilkan.
Salah satu efek pemupukan yang sangat bermanfaat adalah meningkatnya kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat produksi tanaman menjadi relatif stabil serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan penyakit dan pengaruh iklim yang kurang menguntungkan. Pupuk yang umum digunakan dalam perkebunan kelapa sawit adalah pupuk anorganik (buatan) dan pupuk organik. Pemupukan kelapa sawit dilakukan pada 3 tahap perkembangan tanaman, yaitu pada tahap pembibitan dan TBM yang mengacu pada dosis baku, tahap TM yang ditentukan berdasarkan perhitungan faktor-faktor dasar, serta konsep neraca hara (nutrient balance).
Tabel 1. Jenis dan Spesifikasi Pupuk Tunggal yang Direkomendasikan oleh PPKS Hara Pupuk
Spesifikasi
Urea
46% N
Za
21% N, 23% S
K
MOP (KCL)
K2O : 60%
Mg
Kieserit
MgO : 26%, S :21%
N
MgO : min 18% CaO : min 30% Al2O3 + Fe2O3 : maks 3% SiO2 : maks 5% Kadar air : maks 5% Ni : maks 5 ppm Kehalusan (lolos saringan 100 mesh) Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 1997
2.1.5
Pemanenan pada Kelapa Sawit Kelapa sawit dapat mulai dipanen pada umur 30 bulan. Dalam keadaan
normal, 90-100% dari seluruh pokok sudah matang panen. Tandan yang cukup besar dan siap untuk diolah adalah yang padat isinya dan beratnya sekitar 3 kg. Kriteria panen yang digunakan yaitu dua brondolan artinya sudah ada 2 buah lepas dari tandannya atau jatuh kepiringan pohon. Untuk tandan yang beratnya lebih dari 10 kg, dipakai 1 brondolan yang jatuh ketanah. Kapasitas pemanenan tergantung pada produksi/ha yang dikaitkan dengan umur tanaman, topografi areal, kerapatan pohon dan intensif.
2.1.6
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis pada Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) penginderaan jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Sedangkan, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, transformasi, dan penampilan data digital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu. Produk teknologi penginderaan jauh adalah berupa citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi, memberikan visual permukaan bumi sangat detail. Citra satelit merupakan suatu gambaran permukaan bumi yang direkam oleh sensor (kamera) pada satelit pengideraan jauh yang mengorbit bumi, dalam bentuk image (gambar) secara digital. Teknologi SIG dan RS telah dimanfaatkan oleh para ahli untuk studi kelapa sawit (Morrow, 1995 dalam Sitoms, 2004). Kelapa sawit dalam pertumbuhannya akan mengalami perubahan fisik sehingga dapat dipantau dengan data inderaja, yaitu dengan mengamati pengaruh umur tanaman terhadap reflektansi band spektral maupun indeks spektral yang dapat diturunkan dari data Landsat-TM.
Umur tanaman kelapa sawit dapat diteliti dengan menggunakan penginderaan jauh karena tanaman kelapa sawit memiliki pola penanaman yang teratur, yaitu pengelompokan penanaman dalam setiap blok secara teratur berdasarkan tahun tanam yang sama (Sitoms, 2004). Selain itu, Lukman dan Poeloengan (1996) dalam Laju dan Chen (2011) sukses memanfaatkan citra satelit Landsat TM (Tematic Mapper) dan SPOT (Satellite Pour Observation de la Terre) untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah tumbuh kelapa sawit dan memetakan perbedaan usianya pada masa awal pertumbuhan. Haryani et al (2005) menggunakan data penginderaan jauh Landsat 7 ETM Tahun 2005 dan SIG untuk kajian potensi dan pengembangan perkebunan kelapa
sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Dari hasil penelitian yang dilakukan berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan input kesesuaian lahan, kerapatan vegetasi, dan penggunaan lahan diperoleh arahan pengembangan tanaman komoditas kelapa sawit di Kabupaten Rokan Hilir.
Dalam penelitiannya Sinaga (2011), merancang SIG untuk areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara yang disajikan dalam bentuk tulisan, tabel, dan peta. Tulisan disini berupa informasi umum mengenai penjelasan Provinsi Sumatera Utara dan informasi tentang kelapa sawit sehingga bermanfaat dan memberikan kemudahan bagi pihak manajemen perkebunan dalam mendapatkan informasi dan mempercepat pengambilan keputusan. Tabel menyajikan data luas lahan dan produksi perkebunan pada tahun 2009 dan 2010, sedangkan peta memberikan gambaran mengenai letak lokasi perkebunan tiap kabupaten. Secara nasional Kementrian Pertanian sudah melakukan pemetaan kelapa sawit dengan menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 dengan pemetaan di seluruh wilayah Indonesia. Selain untuk pemetaan kelapa sawit, Kementrian Pertanian bekerja sama dengan Sucofindo, P4W, dan LPPM IPB juga melakukan pemetaan untuk komoditas tanaman perkebunan lain selain kelapa sawit yaitu karet dan kakao dan industrinya di seluruh Indonesia (Barus et al, 2011).
Penggunaan Citra ALOS AVNIR-2 dalam pemetaan kelapa sawit karena citra ALOS AVNIR-2 memiliki biaya yang lebih murah dalam operasional, ataupun dapat digunakan untuk tujuan analisis lain khususnya jika digabungkan dengan data lain baik yang ada dalam sistem data base maupun setelah dilakukan penggabungan dengan data lain dari sumber berbeda. Secara lebih lengkap Satelit ALOS AVNIR-2 dibahas dalam sub bab selanjutnya.
2.2.
Satelit ALOS AVNIR-2 Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit
generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS milik Jepang (Gambar 1). JAXA di Tanagashima Space Center Jepang yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ini merupakan satelit penginderaan jauh (inderaja) terbesar yang dibangun oleh Jepang untuk pengamatan daratan. Satelit ini memiliki periode kunjungan ulang (revisiting period) 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. ALOS dapat digunakan untuk kartografi, observasi regional, pemantauan bencana dan peninjauan sumberdaya.
Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC,1997)
Satelit ALOS mempunyai 5 misi utama, yaitu: 1.
Untuk memberikan kontribusi terhadap aplikasi kartografi.
2.
Untuk memberikan kontribusi terhadap pengamatan regional.
3.
Untuk memberikan kontribusi terhadap pemantauan bencana alam.
4.
Untuk memberikan kontribusi terhadap penelitian sumberdaya alam.
5.
Untuk meningkatkan teknologi pengamatan daratan (pengembangan teknologi).
Tabel 2. Spesifikasi ALOS No
Tipe
Karakteristik
1
Bobot
4 ton
2
Jangka Waktu
3-5 Tahun
3
Ketinggian Orbit
691, 65 Km (di khatulistiwa)
4
Periode Orbital
98,7 menit
5
Tipe Orbit
Sun-synchronous Subrecurrent
6
Inklinasi
98,16 deg
7
Siklus kunjungan ulang
46 hari
8
Power
Approx. 7 kW (pada akhir operasional)
Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS (diakses 14 Agustus 2011)
Untuk pencapaian misi, satelit ALOS dilengkapi dengan tiga buah sensor penginderaan jauh dengan kemampuan pandangan sisi (side looking). Tiga buah sensor tersebut terdiri dari dua buah sensor optik yaitu sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infared Radiometer Type-2), sebuah sensor gelombang mikro atau radar yaitu PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) untuk pengamatan lahan sepanjang siang sampai malam diseluruh kondisi cuaca. Satelit ALOS ditunjukkan pada Gambar 3 untuk pemanfaatan data sepenuhnya yang diperoleh dari sensor, ALOS dirancang dengan dua teknologi maju yaitu pertama adalah kecepatan tinggi dan kapasitas data yang besar dalam menangani teknologi dan kedua adalah presisi posisi pesawat ruang angkasa dan kemampuan penentuan ketinggian.
2.2.1
Sensor ALOS AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infared Radiometer Type-2) Tujuan utama dari satelit ALOS AVNIR-2 adalah untuk pemetaan penutup
lahan, pemantauan bencana alam dan untuk pemantauan lingkungan regional. Sensor ALOS AVNIR-2 adalah suatu pencitraan multispektral dengan 4 kanal spektral pada daerah tampak dan inframerah dekat untuk pengamatan daratan dan zona garis pantai. Lebar liputan satuan citra sebesar 70 km dengan resolusi spasial 10 meter. Dengan kemampuan side looking dari sensor, dan kemampuan sensor untuk melakukan pandangan menyilang jejak satelit (cross track) (+/- 44°), pengamatan daerah-daerah bencana dalam waktu pengulangan 2 hari dapat dilakukan, dan lebar liputan dapat mencapai 1500 Km. Dengan karakteristik teknis ALOS AVNIR-2, maka tujuan utama dari AVNIR-2 untuk pemetaan penutup lahan dan pemantauan bencana alam akan dapat dicapai. Citra hasil pengamatan AVNIR-2 akan efektif digunakan untuk menghasilkan peta-peta penutup lahan dan peta klasifikasi tata guna lahan untuk pemantauan lingkungan regional.
Gambar 2. Sensor ALOS AVNIR-2 (JAXA EORC-1997)
Gambar 3. Prinsip Geometri ALOS AVNIR-2 (JAXA EORC-1997)
Karakteristik umum sensor ALOS AVNIR-2 disajikan pada Tabel 2, namun demikian sensor ALOS AVNIR-2 tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88, 4° Lintang Utara dan 88, 5° Lintang Selatan.
Tabel 3. Karakteristik ALOS AVNIR-2 Tipe N
Spesifikasi
Jumlah 1 Band
4
Panjang 2 Gelombang
Band 1 : 0,42-0,50 mikrometer Band 2 : 0,52-0,60 mikrometer Band 3 : 0,61-0,69 mikrometer Band 4 : 0,76-0,89 mikrometer
Resolusi 3 Spasial
10 m (at Nadir)
Lebar 4 Petak(Swath Width)
70 km (at Nadir)
Jumlah 5 Detektor
7000/Band
Pointing 6 Angle
-44 +44
Bit 7 Length
8 bit
Sumber : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS (diakses 14 Agustus 2011)
2.3
Karakteristik Lahan Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat
kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan.
Karakteristik lahan (land characteristics) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan sebagainya. Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap tersedianya air, mudah tidak tanahnya diolah, kepekaan erosi, dan lain-lain. Bila karakteristik lahan digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan, maka kesulitan dapat timbul karena adanya interaksi dari beberapa karakteristik lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.4
PT. Perkebunan Nusantara VIII Dalam upaya mengkonsolidasi peran Perusahaan Negara (BUMN) sektor
perkebunan dalam kerangka pembangunan nasional dan pembangunan ekonomi serta menyiapkan diri menghadapi gerakan ekonomi global, maka pihak pemerintah bersama Departemen Pertanian melakukan program konsolidasi bagi semua Perkebunan Negara. PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII adalah salah satu diantara perkebunan milik negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1996, seperti yang dinyatakan dalam akta Notaris Harun Kamil, S.H., No. 41 tanggal 11 Maret 1996 dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman
Republik
Indonesia
melalui
Surat
Keputusan
C2-
8336.HT.01.01.TH.96 tanggal 8 Agustus 1996. Akta pendirian ini selanjutnya mengalami perubahan sesuai dengan akta Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo, S.H., No.05 tanggal 17 September 2002 dan telah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. C-20857 HT.01.04.TH.2002 tanggal 25 Oktober 2002.
Perusahaan
ini
didirikan
dengan
maksud
dan
tujuan
untuk
menyelenggarakan usaha di bidang agro bisnis dan agro industri, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya perseroan untuk menghasilkan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Kegiatan
usaha
perusahaan
meliputi
pembudidayaan
tanaman,
pengolahan/produksi, dan penjualan komoditi perkebunan teh, karet, kelapa sawit, kina, dan kakao. 2.4.1. Sejarah PT. Perkebunan Nusantara VIII Perusahaan perkebunan milik negara di Jawa Barat dan Banten berasal dari perusahaan perkebunan milik pemerintah Belanda, yang ketika penyerahan kedaulatan secara otomatis menjadi milik pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Lama. Antara tahun 1957 – 1960 dalam rangka nasionalisasi atas perusahaanperusahaan perkebunan eks milik swasta Belanda/Asing (antara lain : Inggris, Perancis dan Belgia) dibentuk PPN-Baru cabang Jawa Barat. Dalam periode 1960 – 1963 terjadi penggabungan perusahaan dalam lingkup PPN-Lama dan PPN-Baru menjadi : PPN Kesatuan Jawa Barat I, PPN Kesatuan Jawa Barat II, PPN Kesatuan Jawa Barat III, PPN Kesatuan Jawa Barat IV dan PPN Kesatuan Jawa Barat V. Selanjutnya selama periode 1963 – 1968 diadakan reorganisasi dengan tujuan agar pengelolaan perkebunan lebih tepat guna, dibentuk PPN Aneka Tanaman VII, PPN Aneka Tanaman VIII, PPN Aneka Tanaman IX dan PPN Aneka Tanaman X, yang mengelola tanaman teh dan kina, serta PPN Aneka Tanaman XI dan PPN Aneka Tanaman XII yang mengelola tanaman karet. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan, pada periode 1968 – 1971, PPN yang ada di Jawa Barat diciutkan menjadi tiga Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) meliputi 68 kebun, yaitu :
PNP XI berkedudukan di Jakarta (24 perkebunan), meliputi perkebunanperkebunan eks PPN Aneka Tanaman X, dan PPN Aneka Tanaman XI;
PNP XII berkedudukan di Bandung (24 perkebunan), meliputi beberapa perkebunan eks PPN Aneka Tanaman XI, PPN Aneka Tanaman XII, sebagian eks PPN Aneka Tanaman VII, dan PPN Aneka Tanaman VIII;
PNP XIII berkedudukan di Bandung (20 perkebunan), meliputi beberapa perkebunan eks PPN Aneka Tanaman XII, eks PPN Aneka Tanaman IX, dan PPN Aneka Tanaman X. Sejak tahun 1971, PNP XI, PNP XII dan PNP XIII berubah status menjadi
Perseroan Terbatas Perkebunan (Persero). Dalam rangka restrukturisasi BUMN Perkebunan mulai 1 April 1994 sampai dengan tanggal 10 Maret 1996, pengelolaan PT Perkebunan XI, PT Perkebunan XII, dan PT Perkebunan XIII digabungkan di bawah manajemen PTP Group Jabar. Selanjutnya sejak tanggal 11 Maret 1996, PT Perkebunan XI, PT Perkebunan XII, dan PT Perkebunan XIII dilebur menjadi PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero).
2.4.2. Komoditi PT. Perkebunan Nusantara VIII PT. Perkebunan Nusantara VIII merupakan BUMN yang bergerak pada sektor perkebunan dengan kegiatan usaha meliputi pembudidayaan tanaman, pengolahan, dan penjualan komoditi perkebunan seperti teh, karet, dan sawit sebagai
komoditi
utamanya,
serta
kakao
dan
kina
sebagai
komoditi
pendukungnya. PTPN VIII mengusahakan komoditi teh, karet, kina, kakao, sawit dan gutta percha dengan areal konsesi seluas 118.510,12 hektar. Budidaya teh diusahakan pada areal seluas 25.981,67 ha, karet 27.245,06 ha, kina 4.305,18 ha, kakao 4.335,64 ha, sawit 5.056,69 ha. Selain penanaman komoditi pada areal sendiri ditambah inti, PTPN VIII juga mengelola areal Plasma milik petani seluas 8.479,28 ha untuk tanaman kelapa sawit seluas 6.033,28 ha dan karet 2.446 ha. Jawa Barat menyumbang 60% dari produksi teh nasional dan 80% nya berasal dari teh produksi PTPN VIII. Sampai saat ini, PT Perkebunan Nusantara VIII mengelola 41 kebun dan 1 unit rumah sakit. yang tersebar di 11 kabupaten/kota di Jawa Barat dan 2 kabupaten di Propinsi Banten (PTPN VIII, 2011).