II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGGORENGAN HAMPA (VACUUM FRYING) Menggoreng merupakan satu dari cara memasak yang tertua untuk menciptakan aroma (flavor) dan tekstur yang unik. Keuntungan pemrosesan bahan pangan dengan teknik menggoreng menurut Thompson dalam Hui (1996) adalah : 1). Rasa dan tekstur yang enak di mulut dengan flavor lebih baik,
2). Adanya
bahan pelapis (coating), karena perlakuan pra penggorengan,
3). Warna yang
lebih tajam, 4). Penambahan minyak, 5). Kemudahan alat,
6). Suhu pada
proses penggorengan akan membuat bahan menjadi pucat,
7).
Inaktivasi
mikroorganisme dan bakteri patogen, 8). Adanya pindah panas. Ada dua jenis teknik menggoreng, yaitu : deep-fat frying dan pan frying (shallow frying) . Deep-fat frying adalah menggoreng dengan menggunakan banyak minyak sehingga bahan dapat terendam dalam minyak, sedangkan pan frying adalah menggoreng dengan sedikit minyak. Proses penggorengan secara merendam (deep-fat frying) menggunakan lemak atau minyak sebagai media pindah panas yang menghantarkan energi dari permukaan wajan penggorengan ke minyak panas, dan dari minyak panas ke permukaan bahan yang terendam. Terdapat dua cara pindah panas yang terjadi selama proses penggorengan, yaitu konduksi dan konveksi. Pindah panas secara konduksi pada kondisi tidak tunak (unsteady state) terjadi di dalam bahan, dipengaruhi oleh kondisi thermal bahan, seperti difusifitas thermal, konduktivitas thermal, panas spesifik dan densitas. Pindah panas secara konveksi terjadi antara bahan dengan minyak. Interaksi minyak dan bahan ini dipengaruhi oleh kecepatan air yang keluar dari bahan ke minyak (Sharma et al., 2000).
Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 1. Gelembung air yang keluar dari bahan menyebabkan turbulensi (pergolakan) dalam minyak dan mencegah pindah panas. Jika proses penggorengan dilanjutkan, lebih banyak air yang dapat diuapkan dan suhu akan meningkat diatas titik didih.
19
Air yang menguap
Minyak
Gambar 1. Gelembung air yang keluar dari bahan selama proses penggorengan (Sharma et al., 2000). Proses penggorengan dapat dibedakan dalam 4 tahap (Sharma et al., 2000), yaitu : 1. Pemanasan Awal (initial heating) Pada tahap ini, permukaan bahan yang terendam dalam minyak dipanaskan sampai suhunya sama dengan suhu titik didih minyak. Pindah panas antara minyak dengan bahan terjadi secara konveksi alami dan tidak ada penguapan air dari permukaan bahan. 2. Pendidihan Permukaan (surface boiling) Pada periode ini terjadi penguapan air yang dimulai dari bagian permukaan bahan dan awal tebentuknya kerak pada permukaan bahan. Pindah panas yang terjadi berubah dari konveksi alami menjadi konveksi dengan tekanan yang menyebabkan turbulensi pada minyak di sekeliling bahan. 3. Laju Penurunan (falling rate) Semakin banyak air yang keluar dari bahan dan suhu di bagian dalam mendekati titik didih minyak. Pada tahap ini terjadi beberapa perubahan fisiko kimiawi seperti gelatinisasi pati dan denaturasi protein. permukaan bahan
Lapisan kulit di
secara kontinyu bertambah tebal dan laju penguapan
menurun. 4. Bubble End Point Tahap ini teramati jika proses penggorengan dilanjutkan untuk waktu yang lama. Laju perpindahan kadar air berkurang dan tidak ada lagi gelembung yang
20
keluar dari permukaan bahan.
Jika proses penggorengan dilanjutkan, maka
ketebalan kulit akan bertambah. Menurut Blumenthal dalam Hui (1996), bahan pangan dapat digoreng dalam minyak panas karena mengalami pindah massa (mass transfer) dan pindah panas (heat transfer). Pindah massa terjadi ketika air yang berada dalam bahan berpindah ke dinding dan berpindah ke luar permukaan bahan. Peristiwa pindah panas ini dianalogkan sebagai sistem pemompaan (pumping), dimana air dipompa oleh sebuah mesin dari bagian dalam ke luar. Fenomena pindah massa diterangkan sebagai tiga peristiwa berikut : penyerapan minyak ke dalam pori-pori bahan, keluarnya sejumlah kecil materi dalam bahan yang larut air seperti air yang dipompa dan keluarnya komponen yang bersifat cair dari bahan. Air memegang peranan penting dalam peristiwa pindah panas dari minyak ke pori-pori bahan. Air membawa energi termal dari minyak panas di sekeliling bahan. Perpindahan energi dari permukaan bahan pangan menghalangi hangusnya bahan karena dehidrasi yang berlebih. Konversi air menjadi uap terjadi selama air keluar dari bahan oleh kontak energi dengan minyak. Selama masih ada air yang keluar dari bahan, bahan yang digoreng tidak akan menjadi hangus. Beberapa tahapan yang terjadi selama proses penggorengan menjadi pedoman bagaimana suatu sistem penggorengan didesain. Selama proses penggorengan, air dari bahan akan menguap dan proses dehidrasi terjadi dari minyak panas ke air panas.
Produk akan dipanaskan sehingga mencapai karakteristik yang diinginkan
seperti warna kecoklatan dan kerenyahan. Adanya proses penggorengan akan merubah dimensi produk, menyusut, mengembang atau relatif sama dengan bahan awalnya dan mengalami perubahan densitas. Sifat kimiawi minyak dan perbedaan kemampuan pindah panasnya akan menghasilkan kualitas produk yang berbeda. Ada tiga perubahan yang terjadi pada proses deep-fat frying (Fillion and Henry, 1998), yaitu : -
proses fisik, seperti transfer air dalam bahan dan minyak, konversi air menjadi uap, migrasi lemak dari bahan ke minyak dan sebaliknya.
-
perubahan kimia pada bahan yang disebabkan oleh suhu dan kehilangan air.
-
interaksi kimia antara minyak dan komponen dalam bahan selama proses penggorengan Teknik deep-fat frying melibatkan perubahan fisik dan kimia pada makanan,
seperti gelatinisasi pati, denaturasi protein, penguapan air dan pembentukan kulit.
21
Beberapa faktor yang mempengaruhi tekstur dan mutu bahan yang digoreng adalah laju pemanasan, penetrasi minyak pada bahan, interaksi minyak-bahan, dan degradasi minyak (Sharma et al., 2000). Beberapa faktor seperti suhu minyak yang dipanaskan, waktu penggorengan dan tipe proses penggorengan (batch atau kontinyu) mempengaruhi proses deep-fat frying. Komposisi kimia minyak, konstanta fisika dan psikokimia dan adanya zat aditif dan pengotor juga mempengaruhi proses penggorengan. Rasio bobot bahanvolume minyak dan rasio area permukaan -volume menentukan besarnya penetrasi lemak pada produk (Moreira, 2001) Waktu penggorengan menjadi faktor penting pada bahan hasil penggorengan. Kandungan minyak bertambah, kadar uap menurun, ketebalan kulit bertambah dan produk menjadi lebih renyah berdasarkan lamanya waktu penggorengan (Moreira, 2001). Penggorengan hampa termasuk dalam kategori deep-fat frying dengan menggunakan alat penggoreng yang beroperasi pada kondisi vakum.
Proses
penggorengan terjadi pada tekanan sekitar 70 cmHg. Dalam kondisi ini, titik didih minyak turun menjadi 80oC, lebih rendah dibandingkan titik didih minyak pada tekanan normal yaitu 180oC. Proses penggorengan yang dilakukan di industri makanan umumnya menggunakan metode deep-fat frying. Metode ini sangat penting, karena prosesnya cepat, mudah dan produknya mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai. Proses penggorengan ini bersifat ekonomis, karena panas hanya terkonsentrasi pada sedikit bagian alat dan membuang sedikit gas dan listrik (Lawson, 1995). Produk hasil penggorengan diusahakan mempunyai kandungan minyak yang rendah dan kerusakan minimal atas kandungan bahan alami seperti zat-zat nutrisi, serat, protein dan vitamin. Pada tahap akhir proses penggorengan menggunakan sistem vakum, lapisan uap air permukaan bahan akan dilepaskan sehingga peranannya sebagai lapisan pelindung akan hilang.
Selanjutnya, minyak akan
masuk dan mengisi rongga-rongga dalam jaringan yang telah mengering (Block, 1964).
Untuk mengeluarkan minyak yang mengisi rongga-rongga bahan, maka
diperlukan sebuah alat sentrifugasi yang memperbesar gaya G, sehingga minyak dipaksa keluar.
22
B. PERUBAHAN KUALITAS MINYAK SELAMA PROSES PENGGORENGAN Pada proses penggorengan secara batch, suhu minyak akan menurun dan meningkat secara perlahan mendekati suhu yang telah ditetapkan pada mesin penggoreng. Moreira (2001) berhasil membuat grafik perubahan suhu antara hasil pengamatan dan perkiraan selama proses penggorengan batch tortilla. Perubahan suhu minyak selama penggorengan mengikuti model seperti yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Perubahan suhu minyak pada proses penggorengan tortila secara batch (Moreira, 2001).
Reaksi yang terjadi pada minyak selama proses penggorengan merupakan hasil dari hubungan panas, udara dan kadar air. Degradasi minyak meliputi reaksi polimerisasi, oksidasi dan hidrolisis.
Adanya panas menjadi katalis yang
mempercepat pembentukan asam lemak bebas dan reaksi polimerisasi pada minyak. Minyak yang terlalu panas dapat menimbulkan noda hitam pada mesin penggoreng dan seringkali menyebabkan reaksi polimer termal.
Perubahan-
perubahan yang terjadi pada minyak selama proses penggorengan ditunjukkan pada Gambar 3.
23
Gambar 3. Perubahan pada minyak selama proses penggorengan (Gebhardt di dalam Hui, 1996). Reaksi terpenting dalam proses penggorengan adalah reaksi hidrolisis (Lusas dan Rooney, 2001).
Air yang ada dalam bahan pangan berperan dalam
menguraikan trigliserida menjadi asam lemak bebas, monogliserida, digliserida dan gliserin. Dengan adanya panas, gliserin akan terdegradasi menjadi akrolein (CH2CHCHO) pada suhu didih 126oF (52.7oC) dan menguap secara cepat, selanjutnya terkondensasi dan terpolimerisasi di dalam cerobong pengeluaran. Molekul asam lemak bersifat lebih rentan terhadap oksidasi dan menjadi katalis hidrolisis. Titik api minyak akan turun dengan bertambahnya asam lemak bebas, ikatan tidak jenuh dan panjang rantai minyak. Selain itu, sebagai surfaktan, asam lemak bebas, monogliserida dan digliserida akan mengurangi tegangan permukaan minyak sehingga menambah kemampuan untuk pembasahan dan melekat pada
24
produk. Asam lemak bebas yang berlebih menyebabkan minyak menjadi berbau kurang enak (Blumenthal di dalam Hui, 1996). Beberapa konstituen yang mudah mengalami oksidasi adalah asam lemak tidak jenuh dan persenyawaan-persenyawaan yang menimbulkan aroma, flavor, warna dan sejumlah vitamin. Lusas dan Rooney (2001) menambahkan bahwa pada permulaan proses oksidasi, beberapa minyak akan mengalami perubahan karakteristik bau. Sebagai contoh, minyak biji kapas akan sedikit berbau seperti kacang, minyak kacang akan mempunyai rasa
seperti kacang panggang,
sedangkan minyak jagung berbau seperti popcorn, minyak sawit beraroma agak manis, sedangkan minyak kedelai berbau seperti rumput atau kacang-kacangan. Pada proses penggorengan, minyak dengan banyak ikatan jenuh akan lebih cepat teroksidasi, tetapi minyak jenis ini akan mengalami oksidasi lanjut dan membatasi umur simpan. Menurut Lawson (1995), selain suhu, beberapa faktor yang mempengaruhi laju oksidasi adalah : 1) laju minyak yang terserap bahan pangan dari sistem dan digantikan oleh minyak baru, 2) jumlah permukaan minyak yang terkena oksigen, 3) adanya logam seperti tembaga dan kuningan yang mempercepat oksidasi (prooxidants), 4) adanya antioksidan seperti metil silkon yang memperlambat oksidasi, 5) kualitas minyak goreng. Kedua reaksi polimerisasi, baik polimerisasi oksidasi maupun polimerisasi termal membentuk hasil dekomposisi yang menguap (volatil) dan tidak menguap (non volatil).
Produk dekomposisi volatil meliputi peroksida, monogliserida dan
digliserida, aldehid, keton dan asam karboksilat, sedangkan produk dekomposisi non volatil adalah komponen polar, monomer (siklik dan non siklik), dimer, trimer dan komponen dengan bobot molekul tinggi (polimer). Adanya polimer akan menghasilkan pembentukan gum (gumming) dan busa (foaming). Pembentukan gum dapat dilihat pada sisi alat penggorengan, yaitu pada keranjang penggorengan dan sabuk konveyor, dimana permukaan minyak dan logam mengalami kontak dengan oksigen dari udara. Peningkatan jumlah polimer menyebabkan adanya asam lemak pada minyak dengan panjang rantai yang berbeda. minyak
Perbedaan panjang rantai ini yang menyebabkan pembusaan pada (Lawson, 1995).
Kelebihan protein dalam proses penggorengan juga
membantu pembentukan busa, meskipun dalam jumlah kecil. Menurut Blumenthal dalam Hui (1996), yang menjadi tolok ukur kerusakan minyak pada proses penggorengan adalah : FFA (free fatty acid, asam lemak
25
bebas), WET (water emulsion titratable), bilangan peroksida, bilangan anisidin, polimer, warna minyak, padatan terlarut, viskositas, adanya busa, titik asap(smoke point) dan sifat elektrolitnya. Asam lemak bebas sebagai hasil degradasi trigliserida dinyatakan sebagai persen FFA, yaitu jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak. Persen FFA pada produk digunakan untuk memprediksi umur simpan produk, yaitu dengan mengamati peningkatan ketengikan. Semakin tinggi nilai %FFA, semakin berkurang umur simpan produk, karena meningkatnya ketengikan produk. Sabun alkali dan air adalah penyebab lain adanya kerusakan minyak secara kimia. Seperti halnya dengan FFA, parameter ini tidak cocok untuk memprediksi kualitas produk. Sabun alkali dibentuk karena reaksi antara logam dan asam lemak bebas dengan adanya air. Peningkatan konsentrasi sabun dan surfaktan organik lainnya seperti fosfolipid dapat mempengaruhi penetrasi panas, terserapnya minyak ke dalam kulit bahan, meningkatkan jumlah minyak yang
dibutuhkan untuk
menggantikan minyak yang terserap ke dalam bahan. Peroksida adalah komponen organik yang tidak stabil yang terbentuk dari trigliserida karena proses oksidasi. Pada suhu penggorengan, peroksida akan rusak dan terbentuk kembali selama pendinginan (Blumenthal dalam Hui, 1996). Besarnya bilangan peroksida dihitung berdasarkan jumlah milliliter Natrium thiosulfat yang dibutuhkan untuk mengikat iod bebas dalam Kalium Iodida (KI) yang dibebaskan oleh peroksida. Peroksida
yang
terbentuk
selama
proses
oksidasi
akan
mengalami
dekomposisi, sehingga membentuk senyawa-senyawa yang dapat menguap, seperti aldehid, keton, alkohol, hidrokarbon dan komponen-komponen laiinya. Bilangan anisidin menunjukkan jumlah aldehid dan digunakan untuk menentukan jumlah bahan peroksida yang rusak. Degradasi minyak lebih lanjut akan menghasilkan polimer. Polimer-polimer yang ada dalam minyak yang telah rusak meliputi dimer, trimer, tetramer dan lainlain yang terbentuk melalui proses oksidasi dan reaksi termal. Bercak hitam pada dinding penggorengan merupakan salah satu contoh adanya polimer. Beberapa tahun lalu, warna dijadikan sebagai indeks kualitas minyak. Padahal tidak semua minyak yang berwarna
gelap menghasilkan produk yang jelek.
Pengukuran warna minyak dilakukan dengan menggunakan Lovibond. Blumenthal dalam Hui (1996) menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara kapasitas
26
termodinamika pada minyak terhadap kemampuannya untuk menghasilkan produk berkualitas. Proses penggorengan dilakukan untuk menghasilkan produk dengan flavor yang lebih baik, tetapi minyak yang digunakan selama proses tidak menguntungkan bagi kesehatan manusia. Berbagai usaha dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan stabilitas minyak yang digunakan untuk menggoreng dan menciptakan produk yang lebih sehat, salah satunya dengan memodifikasi minyak nabati.
Modifikasi
komposisi asam lemak spesifik seperti minyak canola yang tinggi asam oleat, minyak safflower dan bunga matahari dengan kadar linoleat rendah dan minyak kedelai dapat meningkatkan nilai nutrisi dan stabilitas minyak. Keuntungan yang diperoleh dari modifikasi ini adalah stabilitas yang lebih baik, sedikit atau tidak terhidrogenasi dan kadar asam lemak jenuh yang rendah (Blekas dan Boskou, 1999). Su dan White (2004) meneliti tentang bread cubes yang digoreng dalam minyak kedelai dengan berbagai modifikasi komposisi asam lemaknya, yaitu minyak kedelai dengan kadar asam oleat (OA) (79% OA), 65% OA, 51% OA, 37% OA, minyak kedelai dengan linolenat rendah (LL) dan minyak kedelai biasa sebagai kontrol. Hasil peneltian memperlihatkan bahwa flavor dan stabilitas bread cubes yang lebih baik secara berurutan didapat pada minyak LL, 79% OA, 65% OA, 51% OA, 37% OA dan kontrol. Modifikasi dapat juga dilakukan dengan mencampur minyak dengan minyak atau lemak yang lain.
Pangloli et al. (2002)
menyatakan bahwa berdasarkan
bilangan peroksida, keripik kentang yang digoreng pada campuran 20 – 40% minyak sawit ke dalam minyak bunga matahari mempunyai stabilitas penyimpanan yang lebih baik dibandingkan dengan keripik yang digoreng pada minyak bunga matahari atau minyak sawit saja. Tetapi flavor yang dihasilkan tidak berbeda nyata untuk masing-masing perlakuan. C.
PERUBAHAN BAHAN PANGAN SELAMA PENGGORENGAN Selama proses penggorengan, terjadi reaksi kimia pada bahan, yang
disebabkan oleh suhu dan kehilangan air. Suhu permukaan bahan akan meningkat dan air akan menguap. Meskipun suhu minyak selama penggorengan tinggi, antara 130 – 200oC atau lebih, tapi hanya bagian permukaan bahan yang mencapai suhu di atas 100oC, sedangkan bagian dalam bahan hanya mencapai suhu 70 - 98oC (Pokorny, 1999). Penggorengan tortilla pada suhu 150oC dan 190oC memperlihatkan
27
peningkatan suhu tortilla sampai titik didih air dengan laju yang sama dengan suhu minyak. Semakin tinggi suhu minyak, maka koefisien difusi dan transfer massa uap menjadi lebih tinggi. Pada suhu penggorengan 190oC, suhu tortilla meningkat lebih cepat, gradien suhu minyak yang lebih tinggi dan kadar air bahan menurun lebih cepat dibandingkan suhu 150oC. Untuk mencapai kadar air produk 2 % (b/b), tortilla yang digoreng pada suhu 190oC membutuhkan waktu 60 detik, sedangkan tortilla yang digoreng pada suhu 150oC membutuhkan waktu yang lebih lama.
Kadar
minyak minyak pada produk dipengaruhi juga oleh suhu minyak selama penggorengan.
Pada suhu yang lebih rendah, maka minyak yang diserap bahan
menjadi lebih sedikit.
Fenomena ini berhasil digambarkan oleh Moreira (2001)
seperti yang terlihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Grafik peningkatan suhu di dalam produk, perubahan suhu minyak, penurunan kadar air dan absorpsi minyak pada penggorengan tortilla (150oC dan 190oC) (Moreira, 2001) Proses penggorengan akan mengubah karakteristik warna, citarasa dan aroma bahan, dikarenakan adanya kombinasi antara reaksi Maillard pada bahan dengan komponen-komponen yang diserap dari minyak. Beberapa faktor yang
28
mempengaruhi perubahan warna dan aroma pada bahan yang digoreng, adalah : 1) jenis minyak goreng yang digunakan, 2) umur dan lama pemanasan minyak, 3) tegangan antarmuka antara minyak dengan bahan, 4) suhu dan waktu penggorengan, 5) ukuran, kadar air dan sifat permukaan bahan, 6) perlakuan setelah penggorengan (Fellons, 2000). Menurut Pinthus et al. (1993), besarnya minyak yang terserap pada produk keripik meliputi kualitas minyak, suhu dan lamanya proses penggorengan, bentuk dan kandungan bahan (kadar air, padatan, lemak, kekuatan gel dan protein), perlakuan pra penggorengan (pengeringan, penggorengan dan pencelupan) dan pelapisan (coating).
Pada beberapa produk, minyak yang terserap dapat melebihi
45% bobot produk (Saguy dan Pinthus, 1995). Sedangkan Pokorny (1999), menyatakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya lemak ke bahan selama penggorengan adalah :
1) suhu dan lama waktu penggorengan,
2) besarnya kadar air, terutama di bagian permukaan,
3) tipe, ukuran dan
bentuk bahan yang akan digoreng, 4) perlakuan yang diberikan pada bahan sebelum digoreng, seperti pelapisan (coating), 5) tipe dan mutu minyak. Suhu penggorengan yang tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan penyerapan minyak yang lebih banyak dan kehilangan vitamin dalam jumlah besar. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan produk mentah di bagian dalamnya, tapi bagian luarnya mungkin sudah hangus (Weiss, 1983). Suhu yang tinggi juga akan mengakibatkan perubahan warna menjadi lebih gelap dan kerusakan struktur bahan. Sedangkan menurut Gebhardt dalam Hui (1996), suhu penggorengan yang terlalu rendah dan semakin lama waktu bahan tinggal di minyak menyebabkan tingginya absorpsi minyak ke bahan. Penyerapan minyak oleh bahan dapat dilihat dari anatomi bahan hasil penggorengan
tersebut.
Menurut Robertson (1967), bahan hasil penggorengan
mempunyai struktur yang sama, yaitu inner zone (core), outer zone (crust) dan outer zone surface. Penampang melintang produk hasil penggorengan dapat dilihat pada Gambar 5. Outer zone surface Inner zone (core)
Outer zone (crust)
Gambar 5. Penampang melintang produk hasil penggorengan (Robertson, 1967)
29
Outer zone surface adalah bagian paling luar dari produk hasil penggorengan yang berwarna coklat kekuning-kuningan. Warna coklat merupakan hasil “browning reaction” atau “Maillard reaction”.
Warna bagian ini dipengaruhi oleh komposisi
bahan dan lama penggorengan. Outer zone (crust) adalah bagian luar produk yang merupakan hasil dehidrasi pada waktu proses penggorengan.
Kadar air “crust” yang merupakan hasil
penguapan air akan diisi oleh minyak. Jumlah minyak yang terserap tergantung pada perbandingan crust dan core. Makin tebal crust, makin banyak jumlah minyak yang akan diserapnya. Bagian dari produk yang disebut inner zone (core) adalah bagian produk yang masih mengandung air. Pada produk yang tipis, bagian core hampir tidak ada, yang ada hanya bagian crust saja. Oleh karena itu, produk yang tipis mempunyai daya serap minyak yang lebih besar daripada produk yang tebal. Tekstur produk hasil penggorengan dihasilkan karena perubahan pada protein, lemak dan karbohidrat.
Perubahan kualitas protein terjadi sebagai hasil reaksi
Maillard dengan asam amino pada lapisan kulit (Fellons, 2000). Protein sebagai nutrient penting, selalu ada pada produk hasil penggorengan, dalam jumlah banyak atau sedikit. Reaksi utama protein selama proses penggorengan adalah denaturasi protein. Senyawa aktif seperti enzim menjadi inaktif karena proses penggorengan, sehingga
produk
hasil
penggorengan
pada
umumnya
lebih
stabil
dalam
penyimpanan dibandingkan produk mentahnya. Karbohidrat dan mineral cenderung berkurang dalam jumlah kecil, sedangkan kadar lemak produk meningkat karena absorpsi oleh minyak. Reaksi utama pada gula adalah reaksi Maillard (browning non enzimatis) dengan asam amino bebas atau grup amino bebas dari protein dan peptida.
Pada
produk daging yang digoreng, reaksi pencoklatan tidak disebabkan oleh reaksi Maillard, dikarenakan kandungan glukosa dalam bahan yang rendah. Pencoklatan ini lebih disebabkan karena reaksi degradasi asam amino dan protein. Polisakarida mempunyai peran lain pada produk hasil penggorengan. Selama proses penggorengan, polisakarida membentuk lapisan yang kompak di bagian permukaan bahan pada saat awal penggorengan. Pembentukan lapisan ini akan mencegah migrasi lemak ke dalam produk dan kehilangan kadar air dari bahan. Lapisan ini menghasilkan lapisan renyah yang disukai konsumen (Pokorny, 1999).
30
D. PENDUGAAN UMUR SIMPAN Kondisi bahan pangan selama penyimpanan dan distribusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya dapat memicu beberapa mekanisme reaksi yang menyebabkan kerusakan bahan pangan.
Kerusakan selama penyimpanan dan distribusi mengakibatkan produk
menjadi rusak di tangan konsumen dan membahayakan jika dikonsumsi. Menurut Singh dalam Allen dan Hamilton (1983), perubahan yang terjadi selama proses penyimpanan dan distribusi meliputi perubahan fisika, kimia dan mikrobiologi. Kerusakan fisika produk hasil penggorengan antara lain adalah meningkatnya kadar air bahan karena disimpan pada kelembaban tinggi. Kerusakan kimia dapat disebabkan oleh faktor internal bahan dan eksternal lingkungan. Sebagai contoh, reaksi oksidasi lemak menyebabkan perubahan flavor, adanya asam lemak tidak jenuh menjadi penyebab utama ketengikan selama penyimpanan.
Perubahan
secara mikrobiologi dihitung dari laju pertumbuhan mikrobial sebagai fungsi faktor lingkungan. Menurut Spiegel (1992), penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk mengalami kerusakan. Umur simpan produk berkaitan erat dengan nilai kadar air kritis, suhu dan kelembaban. Hal lain dari penentuan umur simpan pada kemasan plastik adalah waktu yang diperlukan oleh komponen material kemasan untuk bermigrasi pada bahan makanan sampai batas maksimal kadar yang diperkenankan.
Berbeda dengan kemasan
metal dan gelas, pada kemasan plastik dalam suhu kamar, senyawa dengan berat molekul kecil masuk ke dalam makanan secara bebas baik yang berasal dari aditif maupun dari plasticizers. Semakin panas kondisi bahan makanan yang dikemas, semakin tinggi peluang terjadinya migrasi zat-zat plastik ke dalam makanan. Menurut Hine (1987), proses perkiraan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data tentang : 1. mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas 2. unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk 3. mutu produk dalam kemasan 4. bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan 5. mutu produk pada saat dikemas
31
6. mutu minimum dari produk yang masih dapat diterima 7. variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan 8. resiko
perlakuan
mekanis
selama
distribusi
dan
penyimpanan
yang
mempengaruhi kebutuhan kemasan 9. sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk. Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS).
ESS atau yang sering disebut metode konvensional adalah penentuan
tanggal kadaluarsa dengan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari.
Selama penyimpanan, dilakukan pengamatan terhadap penurunan
mutu yang terjadi hingga mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, tapi membutuhkan waktu yang lama dan analisa parameter yang relatif banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan.
Kelebihan metode ini adalah waktu
pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan yang tinggi. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagi kriteria kadaluarsa. 2. Pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat.
Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan
pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982) menggunakan pendekatan Arrhenius. Persamaan Arrhenius yang digunakan adalah : k = k0. e–Ea/RT keterangan : k
=
konstanta kecepatan reaksi
32
k0 =
konstanta pre eksponensial
Ea =
energi aktivasi (KJ/mol)
R =
konstanta gas (1.986 kal/mol)
T
suhu mutlak (K)
=
Persamaan di atas dapat diubah menjadi : ln k = ln k0 – (Ea / RT) Dari persamaan tersebut akan diperoleh kurva berupa garis linier pada plot nilai ln k terhadap 1/T dengan slope –Ea/R seperti pada Gambar 6 berikut :
ln k -Ea/R
1/T Gambar 6. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius. Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada produk pangan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.
a. Reaksi Ordo Nol Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinerja ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi (Labuza, 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan berikut :
--
dA =k dt
33
Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan : At
t
A0
0
∫ dA = − ∫ k .dt
sehingga menjadi : At - Ao = -kt Dimana :
At =
jumlah A pada awal waktu t
Ao =
jumlah awal A
b. Reaksi Ordo Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi : ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off flavor (penyimpangan flavor) oleh mikroba pada dasing, ikan dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein dan lain sebagainya (Labuza, 1982). Persamaan reaksinya :
--
dA = k.A dt
Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan : At
∫
A0
t
dA = − ∫ k .dt dt 0
sehingga menjadi : ln At – ln Ao = -kt dimana :
At =
jumlah A pada awal waktu t
Ao =
jumlah awal A
34
E. SOSIS Istilah sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu
salsus yang berarti digarami.
Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan sosis yaitu untuk mengawetkan daging segar.
Berdasarkan SNI 01-3820-1995, sosis daging
didefinisikan sebagai produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis. Ada dua jenis selongsong (casing) yang digunakan pada pembuatan sosis, yaitu selongsong alami (natural casing) dan sintetis (synthetic casing). Selongsong alami dibuat dari usus babi atau domba, dengan cara membalik mencuci dalam larutan klorin 0.5% dan membilasnya dengan air.
usus hewan, Lemak dan
jaringan pengikat yang masih tertinggal dihilangkan dengan menyikat usus menggunakan sikat yang lembut. Selongsong jenis ini dikemas dalam larutan garam jenuh dan disimpan dalam cold room atau freezer. Ketika sosis dimasak, maka selongsong akan terdenaturasi. Selongsong sintetik dibuat dari bahan kolagen atau selulosa yang tidak dapat dimakan (edible) (Hui et al., 1999). Sosis adalah contoh dari emulsi minyak dalam air dimana lemak berfungsi sebagai fase diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu, sedangkan protein daging terlarut sebagai emulsifier.
Umumnya emulsifier yang terdapat di dalam daging
adalah protein yang larut dalam garam, yaitu protein aktin dan myosin. Protein yang larut dalam air dan protein jaringan ikat yang tidak larut mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk mengemulsi lemak. Protein daging selain dapat mengemulsi lemak juga dapat mengikat air. Jika salah satu dari fungsi ini tidak berjalan, maka emulsi tidak akan stabil dan cenderung rusak selama pemasakan sosis (Kramlich, 1971). Berdasarkan karakteristik produk dan metode pengolahannya, sosis terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : sosis segar, sosis asap (cured sausage) dan sosis fermentasi (fermented sausage) (Hui et al., 1999). Kramlich (1971) membagi sosis dalam 6 kelas, yaitu : 1). sosis segar, 2). sosis kering, semi kering,
3). sosis
masak, 4). sosis masak dan diasap, 5). sosis masak tapi tidak diasap dan 6). bola daging (cooked meat specialties). Sosis segar adalah jenis sosis yang tidak dimasak, seperti breakfast sausage, sausage patties, whole hog sausage, bratwust, Italian-style sausage dan Polish style sausage.
Semua jenis sosis ini mengandung lebih dari
50% bahan daging.
35
Pada umumnya, sosis segar menggunakan edible casing sebagai selongsongnya dan dijual dalam bentuk tidak dimasak serta disimpan dalam kondisi beku. Pembuatan sosis asap (cured sausage) dilakukan dengan mencampurkan daging dengan bahan-bahan lainnya, kemudian dicincang dan diemulsi. Pencampuran dan pencincangan dilakukan secara simultan. Produk sosis yang termasuk dalam jenis sosis asap adalah frankfurters dan bologna.
Proses pembuatan bologna dan
frankfurters adalah sama. Yang membedakan adalah ukuran diameter sosis dan jenis bumbu yang ditambahkan. Bologna mempunyai diameter lebih besar dibandingkan frankfurters. Sosis fermentasi atau yang lebih dikenal dengan nama salami dibuat dengan bantuan bakteri grup asam laktat pada proses fermentasinya. Proses ini telah ada di Cina pada 2000 tahun yang lalu. Istilah salami (salamee) diturunkan dari bahasa Latin, yaitu sale, yang berarti garam.
Sosis fermentasi dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sosis kering (dry sausage) dan sosis semi kering (semi dry sausage). Sesuai dengan namanya, keduanya mempunyai perbedaan pada besarnya kadar air. Sosis kering mempunyai kadar air antara 30 – 40%, sedangkan sosis semi kering antara 40 – 50%. Mikroorganisme yang digunakan sebagai starter pada fermentasi adalah dari genus Lactobacillus, Pediococcus, Lactococcus (ketiganya termasuk golongan homofermentatif) dan Micrococcus ( untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit). Spesies yang sering dimanfaatkan adalah L. plantarum, P. acidilactici dan L. lactis sub sp. Lactis. Proses pengeringan pada pembuatan sosis fermentasi kering dan pemasakan pada sosis fermentasi semi kering dimaksudkan untuk inaktivasi Trichinella, tapi tidak untuk bakteri non patogen. Suhu untuk inaktivasi Trichinella ada pada kisaran 58.3oC (Varnam dan Sutherland, 1995). Lamanya waktu fermentasi berbeda untuk sosis jenis kering dan semi kering. Menurut Ferrel dalam Hui et al. (1999) sosis kering membutuhkan waktu fermentasi lebih lama (1 – 3 hari) dibandingkan sosis semi kering (8 – 20 jam). Pada produksi sosis kering, daging yang telah difermentasi diletakkan pada ruangan kering (suhu 7 –13oC, kelembaban relatif antara 70 – 72%) untuk mempercepat dehidrasi dan peningkatan aroma.
Waktu untuk pengeringan berbeda-beda tergantung pada
diameter sosis dan tipe produk yang diinginkan, tetapi umumnya antara 10 hari sampai 3 bulan. Sosis kering tidak membutuhkan suhu beku setelah diproduksi, dikarenakan rendahnya kadar air (aw < 0.91) dan pH, sehingga lebih tahan lama. Sosis semi kering setelah difermentasi kemudian dimasak pada suhu di bawah
36
68oC. Kadar air yang tinggi pada sosis semi kering (aw ~0.95) menyebabkan sosis semi kering harus ditempatkan pada suhu dingin untuk kerusakan karena mikroba. Pembuatan sosis didasarkan pada faktor ekonomi, yaitu memanfaatkan daging berkualitas rendah seperti jeroan, tetelan dan daging sisa trimming
(Hui, et al.,
1999). Semua jenis daging ternak dapat digunakan sebagai bahan baku sosis. Meskipun bahan bakunya merupakan daging berkualitas rendah, tapi daging tersebut harus segar dengan jumlah total mikroba yang rendah. Pada pembuatan sosis, dapat ditambahkan daging berlemak untuk memberikan rasa lezat. Penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan, yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging (Kramlich, 1971). Penambahan lemak yang terlalu banyak akan menghasilkan sosis yang tidak enak dan keriput setelah pemasakan, sedangkan penambahan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering. Air sebagai komponen dominan pada sosis, berjumlah kira-kira 45 - 55% (Kramlich, 1971). Air yang ditambahkan berupa es. Es berfungsi untuk menurunkan suhu selama proses cuttering (pencacahan), memperbaiki sifat fluiditas emulsi sehingga mudah diisikan ke dalam selongsong serta mempengaruhi tekstur dan kekuatan produk akhir. Air juga berfungsi untuk membantu distribusi bahan non daging dan menambah rendemen produk
(Hui et al., 1999).
Beberapa bahan tambahan yang diberikan pada pembuatan sosis adalah : -
garam, berfungsi sebagai pemberi citarasa, pengawet dan melarutkan protein
-
nitrit, untuk mengembangkan warna daging menjadi merah terang, mempercepat proses curing, preservatif microbial dan memperbaiki flavor dan antioksidan
-
fosfat, untuk meningkatkan daya ikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan, menghambat ketengikan oksidatif bersama-sama askorbat dan memperbaiki tekstur.
-
bahan pengikat. Bahan pengikat adalah bahan non daging yang dapat meningkatkan daya ikat air produk dan mengemulsi lemak.
Bahan pengikat
mengandung protein dalam jumlah tinggi, seperti : natrium kaseinat (protein 90%), ISP (protein 90%), gluten gandum (protein 80%) dan SCP (protein 70%)
37
-
bahan pengisi. Bahan pengisi merupakan produk-produk karbohidrat yang dapat menyerap air dalam jumlah banyak, tapi sifat emulsinya kurang bagus. Contoh bahan pengisi adalah tepung sereal dan pati.
-
bumbu, untuk menambahkan citarasa spesifik
-
pewarna
-
selongsong (casing)
38