II. TINJAUAN PUSTAKA
A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM Agroindustri sutera alam secara terintegrasi mencakup usaha memproduksi kokon, yang merupakan bahan baku agroindustri benang sutera. Benang sutera merupakan bahan baku untuk industri tenun sutera yang pada tingkat berikutnya digunakan pada industri hilir yang menghasilkan kain atau sarung sutera dan produk kerajinan berbasis kain sutera.
1. Usaha Produksi Kokon Usaha produksi kokon terdiri dari dua kegiatan usaha yang tidak dapat dipisahkan, yaitu kegiatan budidaya tanaman murbei dan kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga menjadi kokon. a. Budidaya Tanaman Murbei Menurut Ryu (2000) tanaman murbei termasuk ke dalam genus Moraceae dan spesies Morus. Klasifikasi tanaman murbei secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi tanaman murbei Divisi
Phanerogame
Kelas
Angiospermae
Ordo (bangsa)
Dicotyledoneae
Famili (suku)
Apetalae
Genus (marga)
Moraceae
Spesies (jenis)
Morus
Tanaman murbei termasuk anggota dari Famili Moraceae, seperti pohon bergetah, pohon ara, tanaman rami, dan lain-lain. Perbedaan tanaman pada famili ini berdasarkan pada bunga, daun, dan cabangnya. Tanaman murbei pada dasarnya mempunyai bunga kelamin tunggal, meskipun kadang-kadang juga berkelamin rangkap (Atmosoedarjo et al., 2000).
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) tujuan menanam tanaman murbei adalah untuk memproduksi daun murbei berkualitas tinggi dalam jumlah yang cukup. Ketersediaan daun murbei untuk pakan ulat sutera merupakan unsur terpenting keberhasilan agroindustri sutera alam, karena itu pembudidayaan tanaman murbei mutlak dilakukan sebelum melakukan pembudidayaan ulat sutera. Tanaman murbei tumbuh baik pada suhu 13-40 oC dan suhu optimum berkisar antara 24-28
o
C. Tanaman murbei dapat tumbuh
dengan curah hujan antara 800-3500 mm/tahun. Kondisi curah hujan yang
baik
adalah
tersebar
sepanjang
tahun
selama
musim
pertumbuhan tanaman murbei dengan curah hujan sekitar 150 mm/bulan. Beberapa faktor iklim lainnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman murbei yaitu kelembaban, sanitasi, angin, dan hujan (Ryu, 2000). Menurut Ryu (2000) kondisi tanah akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman murbei. Kondisi tanah sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah. Kondisi fisik tanah lebih penting, sebab sangat sulit untuk dirubah. Sebaliknya, kondisi kimia tanah dapat diubah, yaitu dengan cara pemeliharaan. Komposisi fisik tanah yang ideal untuk tanaman murbei dapat dilihat pada Gambar 1.
Air 25% Bahan Organik 5%
Udara 25%
Bahan Lainnya 45%
Gambar 1. Komposisi fisik tanah yang ideal untuk tanaman murbei
5
Untuk melakukan budidaya tanaman murbei perlu pemilihan bibit tanaman yang baik agar dapat meminimalkan kegagalan budidaya. Ada berbagai macam bibit murbei, seperti anakan dari biji (seedling), bibit hasil sambungan (grafting), bibit dari layering, stek batang, stek daun, dan kultur jaringan. Diantara macam-macam bibit ini, bibit yang berasal dari biji tidak dapat digunakan karena penampilannya
terlalu
beragam
yang
disebabkan
oleh
sifat
heterogenik dari tanaman murbei. Bibit yang berasal dari sambungan dan layering memerlukan banyak tenaga kerja dan biaya. Bibit yang berasal dari stek daun dan kultur jaringan baru pada tingkat percobaan. Bibit yang paling murah dan cukup manjanjikan adalah bibit yang berasal dari hasil stek batang (Atmosoedarjo et al., 2000). Jumlah daun murbei dalam suatu kebun akan berpengaruh pada jumlah ulat sutera yang dapat dipelihara. Produksi daun murbei dipengaruhi oleh jumlah cabang per pohon, panjang cabang yang mengandung daun (cabang bebas daun gugur), dan berat cabang serta daun.
b. Pemeliharaan Ulat Sutera Klasifikasi ulat sutera diperlihatkan pada Tabel 2 (Atmosoedarjo et al.2000). Ulat sutera adalah serangga yang masuk ke dalam ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu-kupu. Ulat sutera adalah serangga holometabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Ryu, 2000).
Tabel 2. Klasifikasi ulat sutera Phyllum
Arthropoda
Kelas
Insecta
Ordo (bangsa)
Lepidoptera
Famili (suku)
Bombycidae
Genus (marga)
Bombyx
Spesies (jenis)
Bombyx mori L
6
Pemeliharaan ulat sutera sudah dimulai di Cina sejak berabadabad yang lalu. Leluhurnya adalah ulat sutera liar yaitu spesies Bombyx mandarina, yang ditemukan di pohon murbei di Cina, Jepang, dan negara lain di Asia Timur. Ulat sutera menurut daerah asalnya dibagi dalam empat ras, yaitu ras Jepang, ras Cina, ras Eropa, dan ras Tropika. Jenis ulat sutera komersial yang biasa dipelihara di Indonesia adalah bivoltine yang merupakan hasil persilangan ulat sutera ras Jepang dan ras Cina. Ulat sutera termasuk serangga yang selama hidupnya mengalami metamorfosis sempurna. Dimulai dari telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago (kupu-kupu). Lama periode hidup mulai dari saat lahir (telur menetas) sampai masa membuat kokon adalah sekitar satu bulan, namun hal ini sebenarnya bisa berubah dipengaruhi oleh iklim dan suhu tempat pemeliharaan (Atmosoedarjo et al.,2000). Menurut Ryu (2000) tahapan pemeliharaan ulat sutera adalah sebagai berikut : · Penanganan telur ulat sutera Penanganan awal telur ulat sutera yang baru tiba dari produsen telur adalah dengan melakukan inkubasi telur. Inkubasi telur adalah penempatan telur pada suatu wadah yang disebut kotak penetasan telur dan diletakkan di dalam lemari inkubasi dengan suhu optimum 25oC dan kelembaban 85%. Selama melakukan inkubasi telur ruangan dibuat menjadi gelap total, hal ini dilakukan agar pada saat penetasan telur didapatkan hasil yang merata. · Pemeliharaan ulat sutera kecil Tahapan pemeliharaan ulat sutera kecil atau yang lebih dikenal dengan ulat kecil dimulai setelah hakitate. Hakitate adalah pekerjaan pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke kotak pemeliharaan disertai dengan pemberian pakan pertama kali. Pemeliharaan ulat kecil dilakukan dengan dilapisi dan ditutupi oleh kertas parafin.
7
Larva yang baru menetas mengandung air yang rendah (75-78%) dan akan meningkat dengan teratur hingga instar II (87%), oleh karena itu diharapkan kandungan air yang tinggi pada daun yang diberikan untuk ulat instar I dan II. Kandungan air yang cukup tinggi pada tanaman murbei diperoleh pada daun bagian atas tanaman (4-7 daun dari pucuk). Sedangkan untuk pemberian pakan pada instar III adalah daun ke 8-11 dari pucuk tanaman murbei. Kondisi lingkungan yang optimum untuk pemeliharaan ulat kecil adalah pada suhu 26-28 oC dengan kelembaban 80-90%. Pada umumnya daun murbei perlu diberikan empat kali sehari selama instar I, II, dan III. Lampiran 2 menggambarkan bagan pemeliharaan ulat kecil untuk satu boks telur ulat sutera (±25.000 butir telur) (Ryu, 2000). · Distribusi ulat sutera kecil Pemeliharaan ulat kecil berakhir sampai dengan ulat instar III. Ulat disalurkan pada saat tidur memasuki instar IV. Penyaluran ulat sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari. Ulat didistribusikan pada kotak khusus yang disebut boks pendistribusian ulat. · Pemeliharaan ulat sutera besar Pemeliharaan ulat sutera besar dilakukan setelah proses distribusi ulat kecil kepada petani. Kondisi lingkungan yang baik dalam pemeliharaan ulat sutera besar adalah pada suhu 22-25oC dan kelembaban 70-75%, serta harus mendapatkan cahaya dan aliran udara yang baik. Fase ulat besar mencakup instar IV dan instar V. Akan tetapi kedua instar ini secara fisiologi sangat berbeda. Karena instar IV lebih dekat kepada fase ulat kecil, maka titik pemeliharaan harus ditekankan pada pemeliharaan lingkungan yang bebas penyakit, dan cukup pakan daun murbei segar dan bergizi tinggi sehingga ulat sutera akan tumbuh dengan baik dan sehat. Pada ulat sutera instar V, berat kelenjar suteranya bertambah dengan cepat sampai 40% dari jumlah berat tubuhnya bahkan
8
mungkin lebih. Ini merupakan fase yang penting dalam produksi sutera. Keperluan pakan dalam fase ini hampir 90% dari jumlah keperluan semua fase pertumbuhan ulat. Ini adalah fase dimana daun murbei harus dimanfaatkan secara efisien dan tenaga kerja harus dihemat untuk kegiatan panen daun dan pemberian pakan ulat. Pada umumnya daun murbei perlu diberikan empat sampai enam kali sehari selama instar IV, dan V. Lampiran 3 menggambarkan bagan pemeliharaan ulat besar untuk satu boks telur ulat sutera (±25.000 butir telur) (Ryu, 2000). · Desinfeksi tubuh ulat sutera Desinfeksi tubuh ulat sutera dilakukan untuk mengurangi adanya kemungkinan tubuh ulat yang luka selama proses pergantian kulit. Desinfeksi tubuh ulat dilakukan dengan menggunakan kapur atau kaporit 5%. Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan ayakan plastik. Kapur atau kaporit 5% ditaburkan merata di atas tubuh ulat. Desinfeksi dilakukan sembilan kali, yaitu pada saat permulaan hakitat, sebelum dan sesudah pergantian kulit pada setiap fase pertumbuhan ulat. Pengokonan dan panen kokon merupakan tahapan terakhir dalam pemeliharaan ulat sutera. Bila tahapan ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan berpengaruh buruk pada kualitas filamen kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Persiapan yang perlu dilakukan sebelum pengokonan adalah dengan melakukan pencucian, pembersihan, dan desinfeksi terhadap alat pengokon. Menurut bentuk dan strukturnya, alat/tempat pengokonan dapat diklasifikasikan menjadi alat pengokon berputar (rotary), alat pengokon berombak, bambu spiral, sarang plastik (seriframe), dan lain-lain. Material dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filamen, serta terhadap tenaga kerja untuk membantu proses pengokonan dan panen kokon. Persyaratan utama untuk alat pengokonan adalah harus kuat,
9
struktur alat cocok untuk proses pengokonan, alat pengokonan harus memberi kemudahan ulat dalam mengokon dan memberi kemudahan pekerja dalam melakukan panen kokon (Wibowo, 1998). Peletakan ulat pada alat pengokonan harus dilakukan tepat waktu. Jika pengokonan dilakukan pada saat belum dewasa atau sudah lewat matang, maka daya pintal (tingkat kemudahan filamen kokon terurai pada saat pemintalan) menjadi kurang dan panjang filamen yang didapat berkurang (Atmosoedarjo et al., 2000) Kualitas kokon dipengaruhi oleh keadaan suhu, kelembaban, peredaran udara di dalam ruang pengokonan, dan intensitas cahaya yang ada di dalam ruangan. Suhu yang ideal untuk pengokonan adalah 24oC. Kelembaban yang baik selama proses pengokonan adalah 60%90%. Sirkulasi udara di dalam ruang pengokonan harus diatur dengan baik, oleh karena itu ruangan harus mempunyai jendela yang cukup. Kebutuhan cahaya untuk proses pengokonan antara 10-20 lux (diibaratkan seperti keadaan cahaya di bawah meja). Cahaya harus merata, karena bila cahaya hanya datang dari salah satu arah, ulat akan mengokon di tempat yang lebih gelap dan mengumpul, sehingga banyak terjadi kerusakan kokon (Departemen Kehutanan, 2007). Menurut Ryu (2000) waktu yang diperlukan ulat dari mulai mengokon sampai menjadi pupa dipengaruhi oleh temperatur dan varietas ulat. Pada umumnya ulat selesai membuat kokon dalam dua hari dan dua hari kemudian digunakan untuk merubah diri menjadi pupa. Pupa yang mula-mula berwarna keputihan dan lunak dalam dua hari akan berubah menjadi berwarna cokelat tua dan keras. Kokon akan dipanen pada hari ke enam dan ke tujuh setelah mengokon.
2. Agroindsutri Benang Sutera Proses produksi pada agroindustri benang sutera dibagi menjadi dua, yaitu proses produksi pembuatan benang sutera mentah dan proses produksi pembuatan benang sutera (thrown silk) (Ryu, 2000). Proses
10
produksi pembuatan benang sutera mentah secara singkat dijabarkan pada Gambar 2.
FRESH COCOON
FLOSSING
SELECTION DRYING SELECTION COOKING REELING RE-REELING INSPECTION
RAW SILK Gambar 2. Proses produksi pembuatan benang sutera mentah
Flossing adalah pembersihan kokon segar dari kapas-kapas yang melekat pada kulit kokon. Kapas-kapas tersebut dinamakan Flossom (Ryu, 2000).
Pengeringan
(drying)
kokon
bertujuan
untuk
mencegah
berkembangnya pupa menjadi kupu-kupu dan untuk mengurangi kandungan air di lapisan sutera dan pupa, sehingga dapat memungkinkan menyimpan kokon dalam jangka waktu yang lama. Pemasakan (cooking) merupakan tahapan yang bertujuan untuk menguraikan filamen kokon sehingga dapat dipintal (Atmosoedarjo et al., 2000). 11
Proses pemintalan benang (reeling) adalah proses penyatuan beberapa filamen untuk dipintal menjadi benang sutera. Jumlah filamen kokon yang disatukan untuk mendapatkan sehelai benang mentah berbedabeda tergantung ukuran benang yang dikehendaki. Proses pemintalan ulang (rereeling) adalah proses pemindahan benang sutera yang sudah dipintal dari gulungan dengan keliling yang lebih kecil ke gulungan yang lebih besar (keliling = 1,5 meter) (Atmosoedarjo et al., 2000). Setelah melalui proses pemintalan ulang dan inspeksi akhir maka produk yang didapatkan dinamakan benang sutera mentah. Sebelum dapat dijadikan kain, benang sutera mentah terlebih dahulu diproses menjadi benang sutera. Proses perubahan benang sutera mentah menjadi benang sutera dijabarkan pada Gambar 3. RAW SILK
SOAKING
DRYING WINDING DOUBLING TWISTING SETTING REWINDING INSPECTION
THROWN SILK Gambar 3. Proses produksi pembuatan benang sutera (Thrown Silk)
12
Perendaman (Soaking) adalah proses yang dilakukan untuk menghilangkan protein serisin dari filamen kokon. Menurut Jumaeri (1997) di dalam Purwaningrum (2007) protein serisin adalah protein yang tidak mengandung belerang, dan merupakan protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak di dalam air panas, dan larut dalam alkali lemah atau
sabun. Serisin menyebabkan benang sutera mentah
pegangannya kaku dan kasar, dan merupakan pelindung serat selama pengerjaan mekanik. Agar kain sutera menjadi lembut, berkilau dan dapat dicelup, protein serisin tersebut harus dihilangkan. Proses penghilangan protein serisin dilakukan dengan pemasakan di dalam larutan sabun. Dalam proses pemasakan ini, lilin dan garam-garam mineral ikut hilang. Winding adalah proses pemindahan benang dari bentuk gulungan besar (skein) ke dalam bobin (gulungan benang yang terbuat dari kayu) dengan panjang benang yang diinginkan untuk dikerjakan lebih lanjut. Doubling atau penggandaan adalah proses membuat benang menjadi rangkap. Benang dapat dibuat menjadi rangkap 2,3,4,6 sesuai kebutuhan (Ryu, 2000). Twisting merupakan proses penggintiran benang untuk mencegah pecahnya benang, memberi daya penutup (covering capacity) yang lebih besar. Pada proses twisting gulungan benang dipindah dari bobin ke silinder (gulungan benang yang terbuat dari logam). Rewinding adalah proses menggulung kembali benang sutera dari gulungan benang yang berbentuk silinder menjadi bentuk gulungan besar (Atmosoedarjo et al., 2000).
B. MODEL PERENCANAAN UNTUK PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM Model adalah suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu yang disepakati dari suatu sistem nyata. Adapun sistem nyata adalah sistem yang berlangsung dalam kehidupan. Dengan demikian, pemodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu (Simatupang, 1996). Sedangkan menurut
13
Kosasi (2002), model merupakan penyederhanaan dari sesuatu. Model mewakili sejumlah obyek atau aktivitas tertentu dari sebuah entitas. Perencanaan industri adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dan akan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan sumber-sumber untuk mendapatkan keuntungan (benefit) (Gray et al., 1992). Menurut Sutojo (2002), proses perencanaan industri melalui tahapan-tahapan persiapan, implementasi, dan operasi. Tahap persiapan (project preparation) merupakan rangkaian kegiatan yang akhirnya harus ditunjang denga sejumlah studi dan dokumen-dokumen untuk memungkinkan pengambilan keputusan apakah suatu rencana investasi dapat dilaksanakan atau tidak. Tahap persiapan dalam perencanaan industri merupakan kegiatan menganalisis aspek-aspek keadaan produk (product description), keadaan pasar (description of market), jenis teknologi (technology variety), ketersediaan faktor produksi, prakiraan biaya (cost estimate), prakiraan keuntungan (profit estimate), dan lokasi (Umar, 2007). Model-model
yang
digunakan dalam
perencanaan
pendirian
agroindustri sutera alam terdiri dari model prakiraan permintaan benang sutera mentah, model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam, model teknologi proses, model perencanaan tata letak pabrik, model kelembagaan usaha, dan model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam.
1. Model Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Industri dirancang dalam rangka memenuhi permintaan produk atau komoditas tertentu, dengan demikian perlu dirancang besaran kapasitas produk atau industri yang didasari potensi permintaan produk pada masa yang akan datang. Model prakiraan permintaan benang sutera mentah dibuat untuk menentukan permintaan atau kebutuhan produk benang sutera mentah di Indonesia dengan menggunakan teknik-teknik prakiraan. Prakiraan
atau
forecasting
dilakukan
untuk
mengatasi
ketidakpastian di masa yang akan datang. Menurut Machfud (1999),
14
prakiraan adalah suatu usaha untuk menduga apa yang akan terjadi pada masa mendatang dengan menggunakan suatu metode ilmiah. Metode peramalan dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif dapat dibagi menjadi dua yaitu metode deret waktu dan metode kausal. Metode kualitatif terbagi juga menjadi dua kelompok yaitu metode yang bersifat eksploratif dan metode yang bersifat normatif. Metode yang digunakan dalam forecasting adalah dengan menggunakan time series analysis (deret waktu). Pada teknik ini, pendugaan terhadap masa mendatang dilakukan atas dasar nilai peubah dan atau galat (error) masa lalu. Teknik deret waktu bertujuan untuk mengungkapkan
pola
deret
waktu
masa
lalu
dan
kemudian
mengekstrapolasikan pola deret data tersebut ke masa mendatang (Machfud, 1999).
a. Teknik Perataan Bergerak Tunggal Menurut Machfud (1999) prakiraan dengan teknik perataan bergerak tungal didasarkan pada proyeksi serial data yang dimuluskan dengan rata-rata bergerak. Nilai prakiraan untuk suatu periode merupakan rata-rata dari nilai observasi N periode terakhir. Serial data yang digunakan jumlahnya selalu tetap dan termasuk data periode terakhir. Rumus prakiraan dengan metode rata-rata bergerak tunggal adalah sebagai berikut : F(t + 1) =
=
+
− 1+. . +
−
+1
Keterangan : Xt
= data observasi pada periode t
N
= panjang serial waktu yang digunakan
Ft+1
= nilai prakiraan periode t + 1
15
b. Teknik Perataan Bergerak Ganda Menurut Machfud (1999) prakiraan dengan teknik perataan bergerak ganda hampir sama dengan teknik perataan bergerak tunggal, hanya saja teknik ini lebih menunjukkan apabila pola data terdapat kecenderungan (trend). Dasar dari teknik ini adalah dengan menghitung perataan bergerak kedua dimana perataan bergerak kedua ini diperoleh dari perataan bergerak dari hasil perataan bergerak pertama. Hasil perataan bergerak pertama disimbolkan dengan St’ dan perataan bergerak kedua disimbolkan dengan St”. Teknik perataan bergerak ganda dirumuskan sebagai berikut : F
= a + b dimana
a = 2S − =( = =
−
)×
" 2 ( − 1)
+
+ ⋯+
+
+⋯+
Keterangan : Xt
= data observasi periode t
M
= banyaknya periode peramalan
N
= panjang serial waktu yang digunakan
S’t
= perataan bergerak pertama periode t
St’’
= perataan bergerak kedua periode t
Ft+m
= nilai prakiraan periode t + m
c. Teknik Prakiraan Pemulusan Eksponensial Teknik prakiraan pemulusan eksponensial pada dasarnya adalah suatu teknik perataan bergerak dimana pembobotan terhadap data historis digunakan untuk menentukan angka prakiraan yang diberikan secara eksponensial. Pada teknik pemulusan eksponensial terdapat satu parameter pemulus yang akan menentukan seberapa besar bobot yang
16
diberikan terhadap data historis. Nilai parameter pemulus berkisar antara 0 dan 1. Penggunaan teknik ini memerlukan inisiasi penetapan nilai dimana F2 = X1 (Machfud, 1999). Rumus teknik prakiraan pemulusan eksponensial adalah sebagai berikut: + (1 − )
= Keterangan : Xt
= data observasi periode t
α
= nilai parameter pemulus
Ft+1
= nilai prakiraan periode t+1
d. Teknik Linear Brown Satu Parameter Menurut Machfud (1999) teknik linear Brown serupa dengan teknik perataan bergerak ganda, tetapi dengan proses pemulusan yang berbeda pada setiap periodenya. Prakiraan untuk m periode ke depan dirumuskan sebagai berikut : F
= a + b dimana :
a = 2S − =(
)×
−
" (1 − )
dan : =
+ (1 − ) ′
′ =
+ (1 − ) ′′
dengan nilai inisiasi =
= =
=
{(
−
)+ ( 2
−
)}
17
Keterangan : Xt
= data observasi periode t
m
= banyaknya periode peramalan
α
= nilai parameter pemulus
St’
= perataan bergerak pertama periode t
St’’
= perataan bergerak kedua periode t
Ft+m
= nilai prakiraan periode t + m
e. Teknik Linear Holt Dua Parameter Menurut Machfud (1999) teknik ini serupa dengan metode Brown yang cocok digunakan terhadap pola data yang mempunyai kecenderungan (trend). Teknik linear Holt terdapat proses pemulusan terhadap tren yang dilakukan secara terpisah karena dapat dimuluskan denga menggunakan parameter pemulus yang berbeda. Teknik ini menggunakan dua parameter pemulus yaitu α dan δ yang bernilai berkisar antara 0 dan 1. Prakiraan untuk m periode mendatang dirumuskan sebagai berikut : =
+
dimana : = =
+ (1 − )( (
−
+
)
+ (1 − )
Dengan nilai inisiasi : = =
{(
−
)+ ( 2
−
)}
18
Keterangan : Xt
= daun observasi peride t
m
= banyaknya periode peramalan
α
= nilai parameter pemulus pertama
δ
= nilai parameter pemulus kedua
St’
= perataan bergerak pertama periode t
St’’
= perataan bergerak kedua periode t
Ft+m
= nilai prakiraan periode t + m
2. Model Pemilihan Lokasi Alternatif Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam Model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam merupakan model yang dibuat untuk menentukan prioritas lokasi alternatif untuk pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam. Analisis lokasi alternatif dilakukan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk menghitung total nilai dari masing-masing alternatif lokasi. Menurut Manning (1984) di dalam Eriyatno (1996), MPE merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengambilan keputusan dari beberapa alternatif keputusan dengan kriteria majemuk. Metode ini dikembangkan dengan cara mengubah penilaian kualitatif yang berasal dari subyektifitas pengambil keputusan menjadi nilai kuantitatif. Eriyatno (1996) menambahkan bahwa MPE digunakan sebagai pembantu bagi individu mengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun yang telah terdefinisi dengan baik tiap tahap proses. MPE digunakan
untuk
membandingkan
beberapa
alternatif
dengan
menggunakan sejumlah kriteria yang ditentukan berdasarkan hasil survei dengan pakar terkait. MPE adalah salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Metode ini mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor menggambarkan urutan
19
prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. Menurut
Marimin
(2004)
dalam
menggunakan
metode
perbandingan eksponensial ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total pada setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metoda perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut : Total Nilai (
)=
(
)
Keterangan : TNi
= Total nilai alternatif ke-i
RKij
= Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
TKKj = Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0;bulat n
= Jumlah pilihan keputusan
m
= Jumlah kriteria keputusan Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara
wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat, sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif, semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial (Marimin, 2004).
3. Model Teknologi Proses Suatu keputusan yang berkaitan dengan proses (atau transformasi) adalah pendekatan yang digunakan organisasi dalam mentransformasikan
20
sumber daya-sumber daya yang ada menjadi suatu barang atau jasa. Tujuan dari perancangan (pendesainan) proses adalah mencari jalan untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi keinginan konsumen dan spesifikasi produk yang berada dalam jangkauan keterbatasan biaya atau hambatan manajerial lainnya. Proses yang diseleksi akan mempunyai dampak jangka panjang terhadap efisiensi dan produksi, serta fleksibilitas biaya, dan mutu barang yang diproduksi. Oleh karena itu, kebanyakan strategi perusahaan ditentukan bersamaan dengan keputusan proses ini (Render dan Heizer, 1997). Sebenarnya, setiap barang atau jasa dibuat dengan menggunakan beberapa variasi dari satu atau tiga strategi proses, yaitu fokus proses, fokus proses berulang, dan fokus produk. Strategi proses yang fokus pada proses memiliki ciri-ciri yaitu produksi dilaksanakan di seputar proses, dan peralatan produksinya diatur di seputar proses. Strategi proses yang fokus pada produk (fokus produk) memiliki ciri-ciri proses yang terjadi dalam jumlah produk besar namun variasinya sedikit, peralatan produksinya diatur di sekitar produk. Strategi proses fokus produk juga biasa disebut sebagai proses yang terus menerus. Strategi proses fokus proses berulang memiliki ciri-ciri bahwa proses berulang ini menggunakan modul. Modul adalahsuku cadang atau komponen yang sebelumnya sudah disiapkan, sering kali dengan proses yang terus menerus. Strategi fokus proses berulang mempunyai struktur yang lebih banyak dan konsekuensinya adalah fleksibilitasnya lebih rendah dibandingkan dengan pabrik yang berfokus pada proses (Render dan Heizer, 1997).
4. Model Perencanaan Tata Letak Pabrik Tata letak (layout) merupakan salah satu keputusan yang menentukan efisiensi operasi perusahaan dalam jangka panjang. Tata letak memiliki berbagai implikasi strategis karena tata letak menentukan daya saing perusahaan dalam hal kapasitas, proses, fleksibilitas, biaya, dan mutu kehidupan kerja (Render dan Heizer, 1997). Render dan Heizer (1997)
21
menambahkan bahwa tata letak yang efektif dapat membantu perusahaan mencapai hal-hal seperti : · pemanfaatan yang lebih besar atas ruangan, peralatan, dan manusia. · Arus informasi, bahan baku, dan manusia yang lebih baik. · Lebih memudahkan konsumen. · Peningkatan moral karyawan dan kondisi kerja yang lebih aman. Tujuan dari strategi tata letak adalah untuk mengembangkan tata letak yang ekonomis yang dapat membantu pencapaian keempat hal di atas sementara tetap memenuhi kebutuhan perusahaan untuk bersaing.
5. Model Kelembagaan Usaha Menurut Yuti (2007) kelembagaan adalah sekumpulan jaringan dari relasi sosial yang melibatkan orang-orang tertentu, memiliki tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Kelembagaan dapat berbentuk sebuah relasi sosial yang melembaga (non formal institution), atau dapat berupa lembaga dengan struktur dan badan hukum (formal institution). Dalam kaitannya dengan pengembangan agribisnis di pedesaan setidaknya ada delapan kelembagaan yaitu kelembagaan penyedian
input usaha tani,
kelembagaan penyedia permodalan,
kelembagaan pemenuhan tenaga kerja, kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi, kelembagaan usaha tani, kelembagaan pengolahan hasil pertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan kelembagaan penyediaan informasi (teknologi, pasar, dan lain-lain). Tiap kelembagaan dapat dijalankan dengan dua cara, yaitu secara individual (berstruktur lunak) atau secara kolektif (berstuktur keras). Yuti (2007) menambahkan bahwa pada prinsipnya suatu hubungan sosial (social relation) dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu orang yang terlibat, komponen kepentingan yang membuat orang-orang yang terlibat tersebut saling berinteraksi,
komponen
aturan,
dan
komponen
struktur
yang
menggambarkan posisi dan peran masing-masing orang yang terlibat.
22
6. Model Analisis Kelayakan Finansial Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam Analisis finansial dilakukan untuk memprakirakan jumlah dana yang diperlukan, baik untuk dana modal investasi tetap maupun modal kerja awal. Analisis finansial adalah suatu analisis yang membandingkan antara biaya-biaya dengan manfaat (keuntungan) untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Sutojo, 2002). Model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam dibuat berdasarkan perhitungan kriteria investasi. Kriteria investasi menurut Kadariah dan Gray (1999) adalah metode untuk mencari ukuran secara menyeluruh tentang baik tidaknya
suatu investasi untuk
dilaksanakan yang ditinjau dari sisi finansial. Kriteria-kriteria itu tergolong ke dalam kriteria dinamis karena memasukkan faktor nilai uang berdasarkan waktu dan suku bunga. Menurut Christina et al. (2001) anggaran modal membantu dalam mengambil keputusan untuk menolak ataupun menerima sebuah usulan investasi. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk menentukan penilaian suatu investasi beserta teknik-teknik perhitungan pendukungnya. Tahap pertama adalah menetapkan investasi awal (initial outlays) dari investasi yang akan dilakukan. Tahap kedua adalah menentukan modal atau
sumber dana yang akan digunakan. Tahap
ketiga adalah
memprakirakan pola arus kas dari investasi yang diusulkan. Tahap keempat adalah melakukan perhitungan arus kas masuk (cash inflow). Tahap kelima adalah melakukan penilaian kelayakan investasi. Ada berbagai parameter yang digunakan dalam melakukan penilaian investasi seperti yang dijabarkan pada Gambar 5.
23
Metode Penilaian Investasi Berdasarkan Pendekatan Keuntungan Akuntansi
Berdasarkan Pendekatan Cash Flow Tidak Memperhatikan Time Value of Money Payback Period Method
Memperhatikan Time Value of Money
Net Present Value
Iinternal Rate of Return
ARR (Average/Accounting Rate of Return)
Profitability Index
Gambar 4. Tahapan dalam melakukan penilaian investasi
a. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value) Nilai bersih sekarang (NPV) merupakan selisih antara nilai sekarang dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaanpenerimaan kas bersih di masa yang akan datang (Umar, 2007).
Keterangan : NPV
= Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value)
Bt
= total pendapatan yang diperoleh pada tahun ke-t (Rp)
Ct
= total biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rp)
i
= tingkat suku bunga yang digunakan (%)
t
= umur proyek (tahun)
n
= jumlah tahun
Suatu investasi dikatakan layak secara finansial jika nilai NPV > 0.
24
b. Pengembalian atas Investasi atau Aset (Return On Investment) Menurut Soeharto (1998) Return On Investment (ROI) adalah perbandingan dari permasukan (income) per tahun terhadap dana investasi.
ROI =
Pemasukan neto sebelum pajak x 100% Biaya pertama
Semakin besar nilai ROI suatu rencana investasi maka semakin disukai oleh calon investor. Pengguna kriteria ini sebaiknya terlebih dahulu menentukan berapa besar nilai ROI yang akan menjadi patokan/acuan.
c. Indeks Keuntungan (Profitability Index) Parameter ini menghitung perbandingan antara nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa datang dengan nilai sekarang investasi (Christina et al., 2001).
PI = atau PI =
Suatu usulan investasi dikatakan layak diterima bila nilai indeks keuntungan (PI) lebih besar dari satu (PI > 1). Keuntungan perhitungan PI adalah menggunakan arus kas sebagai dasar perhitungan, memperhatikan nilai waktu dari uang, konsisten dengan tujuan perusahaan yaitu memaksimumkan kekayaan pemegang saham (Christina et al., 2001).
25
d. Periode Pengembalian Modal (Payback Period) Payback Period (PBP) adalah suatu metode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas (Umar, 2007). Metode PBP mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali. Kriteria penilaian yang digunakan adalah kriteria investasi yang dinilai berdasarkan arus kas kumulatif yang akan diterimanya sehingga sampai dengan investasi semula (Christina et al., 2001).
PBP =
ℎ
e. Break Even Point (BEP) Laba perusahaan merupakan selisih antara penjualan dan biaya dalam periode akuntansi tertentu. Oleh karena itu, perencanaan laba dalam suatu periode akan berhubungan dengan perencanaan atas penjualan dan biaya pada periode yang bersangkutan. Analisis BEP merupakan teknik perencanaan laba dalam jangka pendek atau dalam satu periode akuntansi tertentu dengan mendasarkan analisinya pada variabilitas penjualan (Christina et al., 2001). Dalam menghitung BEP biasanya ada tiga pendekatan yang digunakan,
yaitu
pendekatan
persamaan,
pendekatan
marjin
kontribusi, dan pendekatan grafik.
1. Pendekatan persamaan BEP (unit) =
−
Keterangan: FC
= total biaya tetap (Fixed Cost)
P
= harga jual per unit (price)
VC
= biaya variabel (Variable Cost)
26
2. Pendekatan marjin kontribusi
BEP (unit) =
Keterangan : FC
= total biaya tetap (Fixed Cost)
MK
= harga jual per unit dikurangi biaya variabel per unit
3. Pendekatan grafik Dengan pendekatan grafik, BEP digambarkan sebagai titik perpotongan antara garis penjualan dan garis biaya total.
27