II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Lahan dan Lanskap Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan diperlukan di setiap kegiatan manusia. Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 2004). Terjadinya kerancuan penggunaan istilah lahan (land) dengan tanah (soil), karena sering penggunaan istilah ini dianggap memiliki arti yang sama. Tanah menurut Sitorus (2000) adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan sebagai hasil kerja faktor iklim dan jasad hidup (organisme) terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh keadan topografi dalam jangka waktu tertentu. Menurut Arsyad (2000) tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas dan mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk oleh hasil kerja interaksi anatara iklim (i) dan jasad hidup (o) terhadap suatu benda induk (b) yang dipengaruhi oleh relif tempatnya terbentuk (r) ditambah waktu (w) yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi sebagai berikut : T = ƒ (i,o,b,r,w) Dinyatakan pula bahwa ilmu tanah memandang tanah dari dua konsep utama, yaitu : 1. Sebagai hasil hancuran bio- fisik-kimia. 2. Sebagai habitat tumbuh-tumbuhan. Sebagai sumberdaya alam untuk pertanian, tanah mempunyai dua fungsi utama yaitu : 1. Sebagai sumber unsur hara. 2. Sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tana h tersimpan dan tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan. Requir (1977) dalam Arsyad (2000), menyatakan sumberdaya alam utama, tanah dan air mudah mengalami kerusakan dan degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh :
8 1. Kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran. 2. Terkumpulnya garam didaerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman. 3. Penjenuhan tanah oleh air (waterfogging). 4. Erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman/ tumbuhan atau menghasilkan barang dan jasa. Menurut Jayadinata (1999) dalam Badri (2004), lahan (land) adalah sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana sumberdaya alam ini terdiri dari : 1. Sumberdaya yang abstrak, yaitu hal- hal yang tidak tampak tetapi dapat diukur seperti lokasi, tapak, situasi, bentuk wilayah, jarak, waktu dan sebagainya. 2. Sumberdaya nyata yang terdiri atas : a. Bentuk
daratan
(landform),
yang
merupakan
pembicaraan
dalam
geomorfologi, yaitu ilmu yang mempelajari mengenai permukaan bumi. b. Air yang terdiri atas air laut, air permukaan dan air tanah atau air dasar. c. Iklim yang terdiri dari unsur-unsur temperatur, hujan, tekanan, angin, sinar matahari, kelembaban, penguapan, awan dan sebagainya. d. Tubuh tanah (soil) yaitu, batuan yang telah melapuk, yang merupakan lapisan terluar dari kulit bumi. e. Vegetasi yaitu, tumbuh-tumbuhan yang asli dari suatu wilayah. f. Hewan yang berguna bagi kehidupan manusia. g. Mineral atau pelikan yaitu, barang tambang yang diperlukan dalam kegiatan sosial ekonomi dan sering disebut sebagai kemakmuran. Lahan (land) atau sumberdaya lahan (land resources) menurut Sitorus (2000) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan tanah. Dalam hal ini tanah juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam diperlukan dalam setiap kehidupan.
9 Menurut Mintzberg (1997), lahan adalah hamparan di muka bumi berupa suatu tembereng, (segment) sistem terestik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Lahan juga merupakan wahana sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu wilayah (regional), yaitu suautu satuan ruangan berupa suatu lingkungan hunian masyarakat manusia dan masyarakat hayati yang lain. Menurut pengertian ekologi, lahan adalah habitat. Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (interfensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik material maupun spiritual (Sitorus, 2000). Dalam hal ini dapat berupa penggunaan lahan utama atau penggunaan pertama dan kedua (apabila merupakan penggunaan ganda) dari sebidang tanah, seperti tanah pertanian, tanah hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah untuk menjaga dan mempertinggi produksi lahan tersebut (Sitorus, 2000). Lanskap adalah gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik
permukaan
tanah,
yang
meliputi
aspek
spasial,
tekstural,
komposisional dan dinamika tanah (Marsh, 1983). Irwan (1992), menyatakan lanskap merupakan wajah dan karakter lahan atau panorama dengan segala kehidupan apa saja yang ada didalamnya, baik yang bersifat alami, non alami atau gabungan keduanya yang merupakan bagian total lingkungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya. Motloch (1993), menyatakan lanskap dalam definisi kontemporernya meliputi daerah yang masih liar dan daerah yang terhuni. Daerah yang masih liar adalah lanskap alami dan daerah yang berpenghuni adalah lanskap buatan. Lanskap juga berarti suatu keadaan pada suatu masa yang merupakan bagian ekspresi dan pengaruh dari unsur-unsur ekologi, teknologi dan budaya. Pada lahan pasca tambang terjadi perubahan kemampuan dari muka bumi, sehingga secara estetika tanah pasca tambang tidak baik, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Untuk itu perlu dilakukan sesuatu upaya reklamasi lahan agar dapat meningkatkan kualitas lingkungan secara keseluruhan dan tanah dapat bermanfaatkan kembali.
10 2.2. Karakteristik Lahan Pasca Penambangan Kegiatan
pertambangan
mempunyai
karakteristik
lahan
yang
khas
dibandingkan dengan karakteristik kegiatan lainnya, terutama menyangkut sifat, jenis dan lokasinya. Kegiatan pertambangan melibatkan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan sering ditemukan pada lokasi- lokasi yang terpencil. Selain itu pembangunan membutuhkan investasi yang besar terutama untuk membangun fasilitas infrastruktur. Karakeristik yang penting lainnya bahwa jumlah cadangan sumberdaya alam tidak dapat diketahui dengan pasti, pasar dan harga sumberdaya mineral menyebabkan industri pertambangan dioperasikan pada tingkat resiko yang tinggi baik dari segi aspek fisik, perdagangan, sosial ekonomi maupun aspek politik. Kekurangan hara merupakan pembatas untuk pertumbuhan tanaman pada lahan pasca tambang. Menurut Powel et al. (1977) dalam Badri (2004), fosfor (P) tersedia sangat rendah untuk tanaman dan ini dapat diperbaiki dengan pemberian 56-112 kg pupuk P per hektar yang diberikan sebelum penanaman. Ketersediaan hara N pada tanah gusuran tambang, umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang relatif tinggi. Penambangan mengakibatkan hara tanah terganggu sedangkan kelarutan unsur- unsur yang meracun meningkat. Kegiatan penambangan terdapat dua jenis yaitu (Sitorus, 2000) : 1. Penambangan permukaan (surface/ shallow mining), meliputi tambang terbuka, penambangan dalam jalur dan penambangan hidrolik. 2. Penambangan dalam (subsurfarce/ deep mining). Kegiatan penambangan terbuka (open mining) dapat mengakibatkan gangguan seperti : 1. Menimbulkan lubang besar pada tanah. 2. Penurunan muka tanah atau terbentuknya cekungan pada sisa bahan galian yang dikembalikan kedalam lubang galian. 3. Bahan galian tambang apabila di tumpuk atau disimpan pada stock fliling dapat mengakibatkan bahaya longsor dan senyawa beracun dapat tercuci ke daerah hilir.
11 4. Mengganggu proses penanaman kembali reklamasi pada galian tambang yang ditutupi kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan beracun, kurang bahan organik/humus atau unsur hara telah tercuci. Sistem penambangan yang diterapkan oleh PT. Aneka Tambang Tbk dan yang dikerjakan oleh kontraktor PT. Yudistira Bumi Bhakti adalah sistem tambang terbuka (Open Cut Mining) dengan membuat jenjang (Bench) sehingga terbentuk lokasi penambangan yang sesuai dengan kebutuhan penambangan. Metode penggalian dilakukan dengan cara membuat jenjang serta membuang dan menimbun kembali lapisan penutup dengan cara back filling dan dengan sifat selective mining yang diterapkan per blok penambangan serta menyesuaikan kondisi penyebaran bijih nikel, (Suhala et al., 1995). Setiadi (1999), mendefinisikan revegetasi sebagai suatu usaha manusia untuk memulihkan lahan kritis di luar kawasan hutan dengan maksud agar lahan tersebut dapat kembali berfungsi secara normal, sedangkan Parotta (1993) dalam Latifa (2000), menyatakan bahwa reklamasi dengan spesies-spesies pohon dan tumbuhan bawah yang terpilih dapat memberikan peranan penting dalam mereklamasi hutan tropika. Reklamasi dengan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, penambahan bahan-bahan organik dan produksi serasah yang dihasilkan sebagai mulsa untuk memperbaiki keseimbangan siklus hara dalam tanah reklamasi. Selanjunya Setiawan (1993) dalam Latifa (2000), mengemukakan sya ratsyarat tanaman penghijauan ataun reklamasi sebagai berikut : 1. Mempunyai fungsi penyelamatan tanah dan air dengan persyaratan tumbuh yang sesuai dengan keadaan lokasi, baik iklim maupun tanahnya. 2. Mempunyai fungsi mereklamasi tanah. 3. Bernilai ekonomis baik dimasa yang akan datang dan disukai masyarakat. 4. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kendala dalam melakukan aktivitas reklamasi lahan pasca penambangan adalah kondisi tanah yang marginal bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Untuk mengatasi masalah tersebut maka karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah perlu diketahui.
12 2.2.1. Kondisi Fisik Tanah Berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan menyebabkan rusaknya struktur, tekstur, porositas dan bulk density sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Akar tidak dapat berkembang dengan sempurna dan fungsinya sebagai alat absorpsi unsur hara akan terganggu, akibatnya tanaman tidak dapat berkembang dengan normal. Rusaknya struktur dan tekstur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk menyimpan dan meresap air pada musim hujan, sehingga aliran air permukaan (surface run off) menjadi tinggi. Sebaliknya tanah menjadi padat dan keras pada musim kering sehingga sangat berat untuk diolah yang secara tidak langsung berdampak pada kebutuhan tenaga kerja. 2.2.2. Kondisi Kimia Tanah Dalam profil tanah yang normal lapisan tanah atas merupakan sumber unsurunsur hara makro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah banyak seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan belerang dan mikro yaitu mangan, boron, tembaga, besi, zeng serta molibdenum yang sangat esensial bagi pertumbuhan tanaman (Soepardi, 1983). Selain itu juga berfungsi sebagai sumber bahan organik untuk menyokong kehidupan mikroba. Hilangnya lapisan tanah atas (top soil) yang proses pembentukannya memakan waktu ratusan tahun (Bradshaw, 1983) dalam Badri (2004), dianggap sebagai penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada
lahan bekas
pertambangan. Kekahasan unsur hara esensial seperti nitrogen dan fosfor, toksisitas mineral dan kemasaman tanah (pH yang rendah) merupakan kendala umum dan utama yang ditemui pada lahan pasca penambangan. Lahan bekas tambang yang akan ditanami biasanya berupa campuran dari berbagai bentuk bahan galian yang ditimbun satu sama lainnya secara tidak beraturan dengan komposisi campurannya sangat berbeda satu tapak ke tapak lainnya. Hal ini tentunya mengakibatkan sangat bervariasinya reaksi tanah (pH) dan kandungan unsur hara pada areal-areal yang ditanami.
13 2.2.3. Kondisi Biologi Tanah Hilangnya lapisan top soil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama buruknya kondisi populasi mikroba tanah. Hal ini secara tidak langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di permukaan tanah tersebut. Keberadaan mikroba tanah potensial dapat memainkan peranan sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara, tetapi juga aktif dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat memperbaiki struktur tanah. Sebaran tanah di areal penelitian, ditetapkan dengan mengacu pada studi terdahulu yang pernah dilakukan (Dokumen AMDAL PT. Aneka Tambang Tbk, 2006). Klasifikasi tanah yang dilihat langsung dilapangan menggunakan sistem klasifikasi (USDA 1977). Sebaran tanah pada areal penelitian terdiri dari 2 Ordo tanah yaitu : Inceptisol dan Oksisol. Ordo tanah ini menurunkan tiga grieat group masing- masing Dystropepts, Haplortox dan Akrothox. Sifat fisik tanah meliputi struktur, tekstur, permeabilitas, berat volume dan porositas. Hasil pengukuran selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisik tanah di lokasi penambangan nikel Tanjung Buli Parameter Pasir (Sand) Lanau (Silt) Liat (Clay) BD Ruang pori total Struktur Permeabilitas
Satuan
Dystropepts 1 2 3
Haplortox 1 2
Akrothox 1 2
% % % g/cc
40 40 20 0,94
44 40 16 0,82
26 42 32 1,11
22 36 42 1,25
24 32 44 1,23
30 44 26 1,14
46 36 1,16 57,5
%vol cm/jam
64,5 5,4
69,1 5,54
58,1 1,34
52,8 1,22
53,6 1,15
58,4 2,24
4 2,32
Sumber : Dokumen AMDAL PT. Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel Daerah Operasi Maluku Utara , 2006
Berdasarkan Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa sifat fisik tanah di areal penelitian bervariasi. Tekstur tanah yang merupakan perbandingan antara fraksi pasir, lanau dan liat menunjukkan variasi untuk masing- masing jenis tanah, demikian pula untuk sifat fisik tanah yang lain. Secara umum perbedaan sifat fisik
14 tersebut akan berpengaruh pada kemampuan tanah untuk menahan erosi. Menurut Handayani (2002), agregat tanah terbentuk diawali dengan suatu mekanisme yang menyatukan partikel-partikel primer (pasir, debu dan liat) membentuk gumpulan atau kelompok dan dilanjutkan dengan adanya komponen yang bertindak sebagai pengikat partikel-partikel tanah agar partikel-partikel tanah menjadi lebih kuat. 2.3. Tahap Persiapan Penambangan Suhala et al. (1995), menyatakan ada beberapa tahap persiapan penambangan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum penambangan yang mencakup : 2.3.1. Perintisan (Pioneering) Perintisan (Pioneering) adalah kegiatan persiapan yang mencakup pembuatan sarana jalan angkut dan
penanganan sarana air drainase (saluran). Dalam
pembuatan jalan, lebar dan kemiringan jalan harus sesuai dengan yang direncanakan sehinggga hambatan- hambatan dalam pengangkutan bijih (ore) mineral dapat diatasi dan tingkat keamanan pengguna jalan lebih terjamin. Untuk pembuatan jalan dapat dilakukan dengan menggunakan bulldozer. Permasalahan air tambang mencakup pembuatan saluran, sumuran dan kolam penggendapan. Dimensi saluran, sumuran dan kolam penggendapan harus disesuaikan dengan
debit air yang ada, sehingga air tambang tidak langsung
mengalir ke air bebas yang dapat menimbulkan masalah lingkungan. 2.3.2. Pembabatan (Clearing) Pembabatan (Clearing) adalah kegiatan atau pekerjaan pembersihan daerah yang akan ditambang dari semak-semak, pohon-pohon kecil dan tanah maupun bongkahan-bongkahan yang menghalangi pekerjaan selajutnya. Peralatan yang sering digunakan untuk kegiatan pembersihan tanah tambang adalah tenaga manusia seperti gergaji, bulldozer, truk cungkil dan penggaruk (ripper). 2.3.3. Pengupasan Tanah Penutup (Stripping) Pengupasan tanah penutup (Stripping) yang dilakukan pada lapisan tanah penutup biasanya dilakukan bersama-sama dengan clearing dan menggunakan bulldozer. Pekerjaan dimulai dari tempat yang lebih tinggi (puncak bukit) dan tanah penutup didorong ke bawah kearah tempat yang lebih rendah sehingga alat dapat bekerja dengan bantuan gaya gravitasi.
15 2.3.4. Pembuatan Jenjang (Bench) Pembuatan bench kelompok blok dan dimensi dari pada endapan akan turut mempengaruhi. Bagian lereng bukit yang akan dipotong pada waktu pembuatan bench tersebut jika mempunyai kadar yang cukup untuk di tambang maka akan diambil dan dianggap sebagai bijih produksi, akan tetapi jika kadarnya rendah maka bagian tersebut didorong kesamping. Untuk menentukan lokasi dan jumlah bench yang akan dibuat yaitu berdasarkan pada tebal dan penyebaran dari pada endapan bijih dan diusahakan agar alat-alat mekanis yang digunakan dapat bergerak dengan baik, serta ketinggian bench maksimal 4 meter. 2.4. Reklamasi Lahan Pasca Penambangan KEPMEN Pertambangan dan Energi No. 1211.K/008/M.PE/1995 yang dimaksud reklamasi adala h kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Suhartanto (2007), reklamasi lahan adalah suatu upaya pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kesuburan lahan yang rusak secara alami maupun pengaruh
manusia
melalui
penerapan
teknologi
maupun
pemberdayaan
masyarakat. Tujuan akhir reklamasi lahan pasca penambangan adalah pilihan optimal dari berbagai keadaan dan kepentingan. Selain itu perlu diingat bahwa reklamasi merupakan kepentingan masyarakat banyak, sehingga tujuan reklamasi tidak boleh
hanya
ditentukkan
sendiri
oleh
perusahaan
pertambangan
yang
bersangkutan. Penetapan tujuan reklamasi dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut : a. Jenis mineral yang di tambang. b. Sistem penambangan yang digunakan. c. Keadaan lingkungan setempat. d. Keadaan dan kebutuhan sosial-ekonomis masyarakat setempat. e. Keekonomian investasi mineral. f. Perencanaan tata ruang yang telah ada.
16 Beberapa penelitian tentang reklamasi lahan pasca penambangan telah dilakukan, baik oleh pihak perusahaan, civitas akademik, ilmuwan, stakeholder dan LSM. PT. Kaltim Prima Coal, Tbk menjalankan pemantauan kondisi lingkungan ekstensif berdasarkan rangkaian tolak ukur (udara, air, geokimia penutup) dan reklamasi dengan penanaman kembali lahan pasca penambangan dengan menggunakan tanaman-tanamah hutan yang telah ada sebelumnya. Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) 2004, pada lokasi pasca penambangan yang berupa sumuran (pit) dapat dipilih beberapa metode reklamasi sesuai dengan kondisi lapangan. Pertama dengan menimbun kembali lokasi pasca penambangan dan selanjutnya dilakukan menyebaran tanah pucuk sebagai media penanaman kembali. Kedua adalah dengan melandaikan lereng pasca penambangan dan selanjutnya penyebaran tanah pucuk dilakukan di lereng dan dengan demikian penanaman tumbuhan dilakukan di lereng pasca penambangan. Hal inilah yang mendasari bahwa kemiringan lereng harus relative landai agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Metode lainya adalah dengan menjadikan pasca lokasi penambangan sebagai kolam untuk budidaya ikan. Metode penerapan reklamasi dengan penanaman kembali sangat bergantung pada ketersediaan top soil, sedangkan metode yang membentuk kolam tergantung pada kuallitas air (asam atau tidak, ada tidaknya zat-zat berbahaya atau logam berat). Badri (2004), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa karakteristik tanah, vegetasi dan air kolong pasca penambangan berbeda menurut sebaran umur penambangan. Kombinasi pemberiaan pupuk kandang, inokulum mikoriza dan tanaman lamtoro merupakan teknik reklamasi pasca penambangan terbaik. Menurut penelitian Notohadiprawiro (2006), reklamasi lahan yang terkena buangan tambang dan yang terkena wesh, tidak saja sulit akan tetapi juga sangat mahal dan memakan waktu lama. Diketahui bahwa tumbuhan air eceng gondok dapat membersihkan badan air dari logam dan banyak pohon hutan (seperti Betula spp dan Salix spp) mampu hidup pada tanah dengan kandungan Pb dan Zn tinggi.
17 2.5. Strategi Menurut Mintzberg (1997), strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu, yang umumnya adalah kemenangan. Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali mencampuradukkan kedua kata tersebut. Contoh berikut menggambarkan perbedaannya, strategi untuk memenangkan keseluruhan kejuaraan dengan taktik untuk memenangkan satu pertandingan. Pada awalnya kata ini dipergunakan untuk kepentingan militer saja tetapi kemudian berkembang ke berbagai bidang yang berbeda seperti strategi bisnis, olahraga (misalnya sepak bola, tenis dan catur), ekonomi, pemasaran, perdagangan, industri, manajemen strategi dan lain- lain. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan secara garis besar memiliki empat dimensi yaitu : ekologis, sosial ekonomi dan budaya, sosial politik serta hukum kelembagaan. Pembanguan berkelanjutan berhubungan erat dengan pemanfaatan sumberdaya mineral secara berkesinambungan, industri pertambangan salah satu bentuknya. Keberadaan industri pertambangan di daerah tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Jika lahan pasca penambangan tidak di reklamasi maka lahan-lahan tersebut akan membentuk kubangan-kubangan yang besar dan hamparan tanah gersang yang bersifat masam. Disamping itu, kegiatan pertambangan dapat memberikan perubahan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Menurut Salim (2005), bahan tambang merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, sehingga keberlanjutan pembangunan akan terhabat oleh susutnya sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, orientasi hasil pertambangan dan rekla masi pasca penambangan harus digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam yang diperbaharui. Bila bahan tambang habis tersusut, sudah tersedia mesin- mesin penggerak pembangunan lain yang berbasis sumberdaya ala m yang diperbaharui, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata dan penge mbangan sumberdaya manusia.
18 Menepatkan berbagai strategi di bidang reklamasi, maka kelayakan biofisik (biophyssical sustainability) dari rekla masi lahan pasca penambangan harus diidentifikasi terlebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysic requirmet) setiap strategi rekla masi, kemudian dipetakan atau dibandingkan dengan karakteristik biofisik rekla masi pasca pena mbangan itu sendiri sehingga dengan cara ini akan dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap strategi. Apabila kelayakan biofisik strategi ini dipetakan dengan informasi tentang perencanaan perusahaan pertambangan, maka kertersediaan biofisik strategi dapat ditentukan sehingga rekla masi akan terlaksana secara optimal. Penepatan strategi yang sesuai akan menjamin keberhasilan teknik kegiatan reklamasi yang dimaksud dan secara sosial budaya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Industri mineral memerlukan komitmen terhadap pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat tempat perusahaan beroperasi. Ini mencakup komitmen untuk meminimalkan dampak negatif pertambangan pada masyarakat sekitar serta mengkaji cara mepertahankan atau meningkatkan kesejahteraan dan keberlanjutan sosial (social sustainability) pada masyarakat ya ng terkena dampak. Program pengembangan masyarakat menyediakan sebuah mekanisme penting sebagai sarana kontribusi perusahaan pertambangan terhadap keberlanjutan sosial ini. Pengembangan masyarakat terutama berfokus pada peningkatan kekuatan dan efektivitas masyarakat dalam menentukan dan mengelola masa depanya sendiri. Pendirian operasi penambangan hampir selalu menghadirkan infrastruktur penting ke lokasi tambang, masyarakat lokal dan wilayah lebih luas, yang dapat digunakan sebagai bagian untuk peningkatan peluang pengembangan usaha. 2.6. Kebijakan Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan institusi atau lembaga yang diamati atau pelajari. Kebijakan merupakan keputusan tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) perilaku untuk memecahkan persoalan yang ditetapkan tersebut (Jones, 1996). Oleh karena itu, kebijakan adalah bersifat dinamis dikarenakan konsistensi dan pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum.
19 Selanjutnya (Davis et al., 1993), menyebutkan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (single decision) dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetap bagian dari proses antar hubungan. Oleh karena itu kebijakan dapat dikatakan sebagai satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Kebijakan tidak boleh sekedar dibuat atau karena ada kesempatan menyusun kebijakan. Pembuat kebijakan sekedarnya dapat menimbulkan kebijakan yang tidak tepat. Caiden (1971),
mengemukakan bahwa sulitnya melakukan ketepatan
disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, baik yang sulit disimpulkan, adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda-beda antar sektor dan instansi, umpan balik keputusan bersifat sporadis dan proses perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan benar. Oleh karena itu untuk terciptanya kebijakan secara tepat (apropriateness), pemerintah harus bekerja melalui proses kebijakan seperti rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan, pelaksanaan di lapangan dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses rancangan kebijakan. Selanjutnya dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode, strategi dan tehnik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak yang terkait. Agar tercapainya keinginan, tujuan dan sasaran, maka kebijakan harus dirancang sebaik mungkin yang pada akhirnya dapat berbentuk negatif seperti larangan atau bentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan. Demikian pula yang disampaikan Rees (1990), bahwa pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Dengan
demikian
dalam
implementasinya,
penyusun
kebijakan
sangat
dipengaruhi oleh : (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif; (2) karakteristik dan badan eksekutif; (3) metode yang digunakan untuk menggunakan
sumberdaya
alam
dan
peraturan
yang
digunakan
untuk
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Faktor- faktor inilah yang membuat kebijakan tampak sangat dinamis. Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan seperti Gambar 2 (Rees, 1990), di sebutkan bahwa kebijakan itu tampaknya
20 irasional, karena kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Untuk itu kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing- masing pelaku kebijakan.
Formulasi kebijakan (Perundang-undangan dan Peraturan)
Penetapan tujuan-tujuan secara detail
Menetapkan metode yang tepat
Sistem informasi
Membentuk organisasi/ institusi yang tepat
Pelaksanaan rencana
Operasional rutin
Analisis hasil (uji berdasarkan sasaran yang tepat)
Gambar 2. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Rees, 1990) Abidin (2002), menyebutkan bahwa pemilihan pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dipenuhi kriteria kebijakan yang biasa digunakan sebagai berikut : 1. Efektifitas (Efectiveness), mengukur apakah sesuatu pemilahan sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi suatu strategi
kebijakan dipilih dan dilihat dari
21 kapasitasnya
untuk
memenuhi
tujuan
dalam
rangka
memecahkan
permasalahan masyarakat. 2. Efisiensi (Economic Rationality), mengukur besarnya pengorbanan biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu. 3. Cukup (Adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada. 4. Adil (Equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan biaya atau ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat. 5. Terjawab (Responsiveness), dapat meme nuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat. 6. Tepat (Aproprianteness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya. 2.6.1. Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure) Aspek kegagalan dalam merumuskan kebijakan failure dapat diindikasikan dengan masih banyak kebijakan pembangunan yang tidak holistik termasuk UUD 1945 yang tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup, kebijakan tentang tenurial dan property rights yang tidak memberikan jaminan hak pada masyarakat adat, kebijakan yang sentralistik dan seragam dan kebijakankebijakan yang tidak mendukung pemerintah yang terbuka atau open Government. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam kajian kebijakan yang terbatas (kebijakan yang dihasilkan pemerintah transisi di Tahun 1998-1999). Pengelolaan sumberdaya alam dengan menggunakan 8 (delapan) tolak ukur yaitu delapan elemen yang harus terintergrasi dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pemanfaat sumberdaya alam. Menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah transisi belum mendukung, good environmental governance. Kedelapan elemen tersebut adalah : (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) Konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan (clarity) dan (8) Daya penerapan dan penegakan (implementability and enforceability) (Santosa, 2001).
22 2.6.2. Analisis dan Proses Kebijakan Analisis mempunyai tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan. Jenis analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang proses kebijakan. (Gordon et al., 1977 dalam Parson 2005), secara definitif menetapkan variasi ini di sepanjang sebuah kontinum seperti terlihat dalam Gambar 3. Analisis Kebijakan
1
2
Analisis Untuk Kebijakan
3
4
Analisis Determinasi Analisis Monitoring dan Informasi untuk Kebijakan Isi Kebijakan Evaluasi Kebijakan Kebijakan
5 Advokasi Kebijakan
Gambar 3. Variasi analisis kebijakan (Gordo et al., 1997 dalam Parson, 2005) Gambar 3 diatas menerangkan bahwa dalam analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan dan isi kebijakan. Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan dibuat. Sementara isi kebijakan adalah analisis yang mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana ia berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya atau analisis ini bisa juga didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik terhadap kebijakan. Selanjutnya monitoring dan evaluasi kebijakan, fokus analisis ini adalah mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Variasi terakhir dari kontinum di atas adalah analisis untuk kebijakan yang mencakup advokasi kebijakan berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintah, sedangkan informasi untuk kebijakan adalah sebentuk analisis yang dimaksudkan untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan, ini bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal atau internal yang terperinci tentang aspek kualitas dan judgemental dari suatu kebijakan.
23 Sebagai sebuah istilah, analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam tehnik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan. (Quade, 1976 dalam Parson, 2005), misalnya mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik ketimbang yang dibuat pihak lain, jadi analisis ini berhubungan dengan manipulasi efektif dunia nyata. Untuk melakukan hal ini analisis tersebut mesti melalui tiga tahap : 1). Penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia, 2). Penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan, 3). Implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternatif itu menjadi tidak memuaskan (Quade, 1976 dalam Parson, 2005). Tiga bentuk analisis kebijakan yaitu : Pertama, analisis kebijakan yang bersifat prospektif yaitu analisis tentang kebijakan yang berlangsung sebelum aksi kebijakan. Analisis ini meliputi tahap-tahap identifikasi masalah, prakiraan, identifikasi alternatif-alternatif strategi kebijakan, pilihan dan rekomendasi kebijakan. Kedua, analisis kebijakan restrospektif yakni analisis yang dilakukan sesudah aksi kebijakan. Analisis ini dilakukan untuk menilai sesudah aksi kebijakan atau menilai proses pelaksanaan dan hasilnya. Bentuk ketiga dari analisis kebijakan adalah integrasi dan analisis prospektif dan restrospektif. Analisis ini dapat berada sebelum aksi kebijakan ataupun sesudah kebijakan (Dunn, 1994 dalam Abidin, 2002). Pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang relefan, untuk itu identifikasi masalah menghasilkan informasi tentang rumusan masalah, prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal dan masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang strategi pemecahan masalah. Pilihan strategi menghasilkan informasi rekomendasi kepada yang berwenang yang pada akhirnya menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring menghasilkan informasi tentang proses pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu. Evaluasi kebijakan memberi informasi tentang dampak dan keseluruhan suatu kebijakan. Selanjutnya oleh Abidin (2000), bahwa dari ketiga analisis kebijakan di atas, maka jenis informasi dan bentuk kebijakan dapat terlihat seperti pada Tabel 2.
24 Tabel 2. Jenis informasi dan bentuk kebijakan No.
Bentuk Kebijakan
Jenis informasi Prediksi
Deskripsi
Preskripsi
Evaluasi
1.
Prospektif
ü
-
ü
ü
2.
Retropspektif
-
ü
-
ü
3.
Integratif
ü
ü
ü
ü
Dunn (2003), mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan : Apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab dan hasil apa yang dapat diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia : definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan menyediakan informasi mengenai konsekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Pemantau (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konseskuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Rekomendasi (preskripsi) me nyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu permasalahan. Evaluasi, yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam bahasa seharihari, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Kelima prosedur analisis tersebut disajikan pada Gambar 4.
25 Kinerja Kebijakan
Meramalkan
Mengevaluasi
Hasil Kebijakan
Perumusan Masalah
Masalah Kebijakan
Pemantauan
Perumusan Masalah
Masa Depan Kebijakan
Rekomendasi
Aksi Kebijakan
Gambar 4. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003) 2.6.3. Kebijakan Pengelolaan Pertambangan di Indonesia Pilihan paradigma pembangunan yang berbasis negara (state-based resources development) mengandung konsekwensi pada manajemen pembangunan yang bercorak sentralistik dan semata- mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang didukung oleh instrumen hukum dan kebijakan yang bercorak refresif. Ada sejumlah peraturan perundangan bidang pertambangan yang berlaku di Indonesia. Keseluruhan peraturan ini menginduk pada sebuah undang-undang No. 11 Tahun 1967 yang biasa disebut juga dengan UU pokok pertambangan/ 1967. UU ini dikeluarkan untuk mengganti UU No. 37/Prp/ Tahun 1960 yang lahir sebagai pengganti Indischen Minjwet 1899, sebuah UU pertambangan produk pemerintah kolonial Hindia-Belanda (Bachriadi, 1998). Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, telah mengantar Indonesia pada pilihan pembangunan yang berorientasi pada kekuatan modal besar. Pilihan ini yang kemudian diyakini hingga kini bahwa industri pertambangan hanya akan memiliki nilai ekonomis jika dikelola dalam skala besar dan oleh suatu investasi modal yang besar pula.
26 Keyakinan ini kemudian mewarnai berbagai macam kebijakan pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang pada akhirnya membawa kita kepada berbagai macam persoalan mendasar dan kompleks bagi kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Reklamasi harus dilaksanakan secepatnya sesuai dengan kemajuan tambang dan merupakan bagian dari skenario pemanfaatan lahan pasca penambangan. Berdasarkan laporan Departemen ESDM (2006), Terdapat 186 perusahaan pertambangan yang aktif melakukan kegiatannya (15 Kontrak Karya/KK, 25 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B, dan 146 Kuasa Pertambangan/KP). Dengan melihat banyaknya perusahaan pertambangan yang masih aktif. Penggunaan luas lahan untuk kegiatan tersebut semakin luas, untuk mengantisipasi terjadinya penurunan kualitas sumberdaya lahan, pemerintah menyusun
kebijakan
pengelolaan
petambangan,
reklamasi
lahan
pasca
penambangan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Kebijakan reklamasi diatur dalam : • UU No. 11/1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. • PP No. 32/1969, tentang Pelaksanaan UU No. 11/1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan. • PP No. 75/2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969. • KEPMENTAMBEN No. 1211.K/1995, tentang Pecegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum. • KEPDIRJEN PU No. 336/1996, tentang Jaminan Reklamasi. 2.7. Perlindungan Lingkungan Hidup Berkenaan dengan pengelolaan lingkungan, UU No. 11 Tahun 1967 tidak mengatur secara jelas dan rinci cara lingkungan wilayah pertambangan harus dikelola. Undang-undang ini hanya memuat satu pasal mengenai pengelolaan lingkungan, itupun hanya menyentuh soal lahan bekas galian, yaitu pasal 30 yang berbunyi : itupun hanya menyentuh soal lahan bekas galian, pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambanga n yang bersangkutan diwajibkan
27 mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Undang-undang ini tidak mengatur soal sanksi apabila hal ini dilanggar. Tentunya hal ini sangat menguntungkan bagi pengusaha pertambangan, karena tidak ada sanksi apabila hal ini dilanggar, jika setelah kuasa pertambangan atau kontrak karya habis masa berlakunya yang berarti habis pula hubungan antara pemegang kuasa penambangan atau kontrak karya dengan lingkungan pasca penambangan. Selain itu pasal 30 UU No. 11 Tahun 1967 hanya mengatur soal pengelolaan lingkungan secara minimal, yaitu pengusaha pertambangan untuk mengembalikan tanah bekas galian agar tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan di sekitar areal penambangan serta bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Perundangundangan ini menyerahkan proses reklamasi lahan bekas galian penambangan kepada proses suksesi alamia yang tentunya memakan waktu yang sangat lama, sebelum areal tersebut menjadi berguna kembali untuk kegiatan ekonomi masyarakat. Berdasarkan kondisi yang terjadi areal penambangan, pengusaha pertambangan di wajibkan untuk melakukan usaha-usaha reklamasi lahan pada areal bekas penambangan agar tidak terjadinya degradasi lahan dan lingkungan yang lebih berbahaya dan bisa memberikan nilai ekonomi pada masyarakat sekitarnya. Sementara undang-undang pokok pengelolaan lingkungan hidup (UndangUndang No. 4 Tahun 1982), menegaskan soal sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan lingkunan hidup yang dinyatakan dalam pasal 20 dan 22 yang menyatakan bahwa pelaku perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup dapat dikenai sanksi pidana selain diharuskan membayar ganti rugi kepada rakyat yang terrugikan dan kepada negara untuk pemulihan kembali lingkungan yang rusak atau tercemar. Pasal 20 menyatakan : barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 20 ayat 1), barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup kepada negara (pasal 20 ayat 3), sedangkan pasal 22 menegaskan bahwa : barang siapa dengan sengaja (pasal 22 ayat 22), melakukan
28 perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam UU ini, diancam pidana dengan penjara selama-lamanya 10 Tahun dan atau denda sebanyak Rp. 100.000.000 (lanjutan pasal 22 ayat 1 dan ayat 2). Penegasan soal sanksi-sanksi ini berkaitan dengan penegasan pasal 5 dan pasal 7 dari UU yang sama yang menyatakan bahwa : setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 5 ayat 1), setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta mena nggulangi pencemaran dan pencemarannya (pasal 5 ayat 2), setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan (pasal 7 ayat 1). Kewajiban sebagaimana tersebut dalam ayat 1 pasal ini dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (pasal 7 ayat 2). Tetapi efektifitas pelaksanaan sanksi atas sejumlah pelanggaran pasal-pasal di atas perlu dipertanyakan. Sejumlah pencemaran atau perusakan lingkungan yang membuat hak-hak orang atau masyarakat yang hidup di sekitar daerah penambangan menjadi terganggu tidak mendapat sanksi yang sewajarnya untuk tidak mengatakannya tidak ada sanksi apapun. Berbagai kasus pencemaran dalam dunia pertambang hingga kini tidak terselesaikan dengan baik. Sangat disadari komitmen penghormatan dan perlindungan lingkungan hidup yang dianut oleh pemerintah saat ini hanya sekedar internasional public relation. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan para pengusaha pertambangan yang jika beroperasi di negaranya harus berhadapan dengan standard pengelolaan lingkungan hidup yang sangat ketat. Buruknya kebijakan pengelolaan dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat ditelusuri dari proses persetujuan AMDAL. Otoritas persetujuan suatu dokumen AMDAL saat ini masih sepenuhnya berada pada Ketua Komisi AMDAL, WALHI selalu menolak managemen lingkungan yang digunakan perusahaan pertambangan, namun pada akhirnya dokumen tersebut mendapat persetuj uan Komisi AMDAL, itulah yang menyebabkan WALHI memperkarakan Menteri Pertambangan dan Energi di peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, berkaitan dengan persetujuan AMDAL PT. Freeport beberapa tahun silam.
29 Selain banyaknya kelemahan dalam persidangan dan persetujuan AMDAL, penegakan hukum lingkungan dan pengawasan lingkungan yang dilakukan oleh departemen terkait juga sangat lemah, contohnya PT. Freeport
Indonesia
melakukan pembuangan limbah tailing secara langsung ke sungai Ajkwa, pencemaran di sungai Muro dan Manawing oleh PT. Indo Muro Kencana, ataupun hanyutnya drum-drum sianida PT. Kelian Equatoria Mining di sungai Mahakam, tidak mendapat tindakan yang tegas dari pemerintah. Jika di negara asal perusahaan itu berada, dapat dipastikan kegiatan itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, tetapi di Indonesia, banyak sekali alasan yang diberikan oleh pemerintah, agar perusahan itu dapat beroperasi lagi dengan aman. Berbagai kelemahan dalam penghormatan lingkungan hidup itu juga dapat dilihat dalam Kontrak Karya. Penghormatan terhadap lingkungan hidup hanya dicantumkan dalam suatu klausal dan tidak dijadikan syarat yang tegas dalam suatu perjanjian. Padahal tidak satupun dari kegiatan penambangan yang terlepas dari persoalan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan, baik wilayah kegiatannya maupun wilayah sekitar yang terkena dampak dari kegiatan penambangan tersebut. Rendahnya
komitmen
Departemen
Pertambangan
terhadap
persoalan
lingkungan hidup semakin kelihatan dengan diizinkannya beberapa perusahaan untuk melakukan kegiatan eksplorasi di taman nasional seperti taman nasional Lorentz. Meski mendapat protes keras dari masyarakat maupun LSM, namun hingga kini izin kegiatan tersebut belum lagi dicabut. 2.8. Penyelenggaraan Pemerintah Yang Baik Terhadap Lingkungan Hidup Ada hubungan erat antara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Bahkan ada korelasi sangat positif antara penyelenggaraan pemerintah yang baik dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup yang baik mencerminkan
tingkat
penyelenggaraan
penyelenggaraan pemerintah
pemerintah
yang
baik.
Tanpa
yang baik, sulit mengharapkan akan adanya
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
30 Menurut Keraf (2002), penyelenggaraan pemerintah yang baik akan menentukan komitmen penyelenggara pemerintah terhadap lingkungan hidup. Tentu saja, pemerintah perlu menyadari dan merasa yakin mengenai
betapa
pentingnya pengelolaan lingkungan hidup yang baik bagi kepentingan masyarakat dan bangsa. Pemerintah juga perlu menyadari bahwa keteledoran dan kelalaian terhadap lingkungan hidup akan membawa dampak yang merugikan bagi masyarakat, bangsa dan negara, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pemerintah sendiri perlu menyadari
secara serius bahwa kesalahan
kebijakan pada bidang lingkungan hidup akan sangat merugikan, baik dari segi ekonomi, sosial, kesehatan, lingkungan hidup itu sendiri, kehancuran budaya masyarakat yang terkait dengan lingkungan hidup, ketahanan sosial dan kualitas kehidupan manusia. Oleh karena itu, lingkungan hidup harus menjadi bagian integral dan keseluruhan kebijakan pembangunan. Lingkungan hidup tidak boleh menjadi sekedar aspek pinggiran dan perhatian terhadap lingkungan hidup tidak boleh hanya menjadi urusan sampingan setelah ekonomi. Kesadaran ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai aturan perundang-undangan yang menjadi pegangan bagi setiap penyelenggaran negara dan masyarakat dalam mengelola dan menjaga lingkungan hidup. 2.9. Prinsip Good Environmental Governance (GEG) Terciptanya good governance
merupakan prasyarat dari pengelolaan
lingkungan yang efektif. Namun pemerintah yang sudah mampu mewujudkan good governance belum tentu memiliki kepedulian terhadap aspek keberlanjutan ekosistem. Oleh sebab itu pemerintah yang telah mengupayakan aktualisasi prinsip-prinsip good governance masih memerlukan persyaratan tambahan yaitu mengaitkan seluruh kebijakan pembangunan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) (Santosa, 2001). Menurut Siahaan (2004), azas-azas penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola lingkungan dengan prinsip keberlanjutan sumber daya (sustainability) disebut dengan prinsip good governance (GEG). Prinsip GEG ini didasarkan pada pasal 8 ayat 2 UU Pengelolaan Lingkungna Hidup (UUPLH) 1997. Unsur-unsur penting dan GEG ini ialah adanya :
No. 23 Tahun
31 1. Kedaulatan (soveireignty). 2. Kekuasaan (power). 3. Kebijakan (policy). 4. Pengendalian (controlling). 5. Pengembangan (developing) dan tanggung jawab (responsibility and liability) atas lingkungan hidup. Prinsip GEG menurut pasal 8 UUPLH No. 23/1997, yaitu kekuasaan dan kompetensi Negara menguasai serta mempergunakan sumberdaya alam demi kemakmuran
rakyat,
menyebutkan
bahwa
pemerintah
mengatur
dan
mengembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup (pasal 8 ayat 2 butir a, b, c dan d). Pemerintah mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan
hidup,
mengendalikan
kegiatan-kegiatan
yang
mempunyai dampak sosial, disamping mengembangkan pendanaan bagi upaya pembinaan fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip di atas selain menjadi dasar hak dan kewajiban masyarakat, setidaknya juga menyiratkan bahwa negara memiliki tanggungjawab pengelolaan lingkungan hidup, termasuk segala aspek yang berkenaan dengan tindakan preventif dan representif atas pencemaran serta kerusakan lingkungan. Apabila masalah pertanggung jawaban dilihat dan visi pengaturan UUPLH
No. 23/1997,
maka didapat beberapa perbedaan. Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang dianut oleh UUPLH No. 23/1997 antara lain secara eksplisit menunjukkan kepada prinsip tanggungjawab negara (state
responsibility),
prinsip
pembangunan
berkelanjutan
(principle
of
sustainability), prinsip manfaat dengan tujuan mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya (environmentally sustainable development principle). Ketiga prinsip ini dapat dilihat pada pasal 3 UUPLH No. 23/1997, yang mana ketiganya saling berkaitan erat sehingga lebih mencerminkan kepentingankepentingan yang lebih padu (holistic) dalam berbagai dimensi. Keterpaduan holistik dan menyeluruh dilakukan antara negara dengan rakyatnya, antar masa atau generasi kini dengan masa atau generasi yang akan datang, individual (manusia Indonesia pribadi yang seutuhnya) dengan masyarakat (seluruh manusia
32 Indonesia), serta kehidupan dalam perspektif fisik atau jasmani dengan kehidupan dalam persepktif rohaniah yang relegius. Selanjutnya Soemarwoto (2004) mengemukakan bahwa pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, generasi sekarang, melainkan juga untuk anak cucu kita, generasi yang akan datang. 2.10. Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) dikenal dengan istilah proses hirarki analitik (PHA) atau analisis jenjang keputusan (AJK), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada Tahun 1990-an. Untuk mendapatkan skenario optimal dalam
pengelolaan
kualitas
lahan
pasca
penambangan
nikel
pada
PT. AnekaTambang Tbk, maka digunakan pendekatan AHP. Analisis hirarki proses (AHP) merupakan metode yang memodelkan permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Pada dasarnya, AHP ini di desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melaui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Saaty (1993), menyatakan bahwa Proses Hirarki Analisis adalah model luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan- gagasan dan mendefenisikan persoalan dengan cara membuat asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. Metode AHP memasukkan faktor kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia. Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Proses ini dengan jelas menunjukkan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam situasi yang komplek diperlukan penetapan prioritas dan melakukan perimbangan. AHP adalah mengidentifikasi, memahami dan menilai interaksi- interaksi suatu sistem sebagai suatu keseluruhan. Data yang dianalisis meliputi data struktur hierarki keputusan berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner dengan pendekatan AHP yang menggunakan analisis komparasi berpasangan. Untuk menggambarkan perbandingan berpasangan berpengaruh relatif atau berpengaruh pada setiap elemen terhadap masing- masing tujuan yang setingkat di atasnya dilakukan perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan
33 dengan melakukan penilaian terhadap tingkat kepentingan antara satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala prioritas AHP. Dalam penyelesaian permasalahan dengan AHP, ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami, antara lain 1. Decompsisi, memecahkan
setelah
didefinisikan
persoalan
yang
menginginkan hasil yang akurat
maka
utuh
dilakukan
menjadi
dekompsisi yaitu
unsur-unsurnya.
Jika
maka dilakukan pemecahan unsur- unsur
tersebut sampai tidak dapat dipecahkan lagi sehingga didapat beberapa tingkat dari persoalan tadi. 2. Comparative Judgment, prinsip ini berarti membuat penilian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitanya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk perbandingan berpasangan (pairwise comparation). 3. Synthis of Priority, dari setiap matriks pairwise comparation kemudian dicari eigen vektornya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matriks pairwise comparation terdapat suatu tingkat maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakuan sistesis berbeda menurut bentuk hirarki. 4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, makna pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dikelompokkan sesuai dengan keragaan dan relevasinya. Kedua, adalah tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 5. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan dengan yang lainnya. Jika hasil perhitungan menunjukkan nilai Consisten Ratio (CR) < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Untuk menganalisis data ini
34 digunakan computer dengan bantuan program expert choice 2000. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada Tabel 3. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu persoalan kompleks dan tidak terstruktur serta bersifat strategi, melalui upaya penataan rangkaian variabelnya dalam suatu hierarki. Keunggulan lain dari AHP adalah dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam proses bersangkutan. Dengan memakai metode AHP, proses keputusan yang bersifat kompleks dapat diuraikan menjadi sejumlah keputusan yang lebih kecil (terbatas), sehingga dapat ditangani dengan lebih mudah.
Selain itu dalam aplikasinya, metode ini juga menguji
konsistensi berbagai penilaian, khususnya apabila terjadi penyimpangan penilaian terlalu jauh dari penilaian konsistensi yang sempurna. Menurut Eriyatno et., al (2007), dalam pengambilan keputusan kelompok (Group Decision Support) dengan memanfaatkan survei pakar, biasanya digunakan metode Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT), untuk merumuskan strategi kebijakan. Namun banyak para ahli mempertanyakan kehandalan SWOT, karena kelemahannya SWOT yang tidak dilengkapi dengan alat/ teknik untuk mampu menganalisis tingkat kepentingan masing- masing faktor atau penilan kesesuaian antara faktor dan alternatif keputusan. Untuk mengatasi kelema han ini, beberapa peneliti menggabungkan SWOT dengan teknik lain, misalnya AHP atau OWA (Ordered Weighted Averaging).
35 Tabel 3. Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat Keterangan Kepentingan 1 • Kedua elemen pentingnya
Penjelasan sama • Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan
3
• Elemen yang satu sedikit lebih • Pengalaman dan penilaian sedikit penting dari pada elemen yang mendukung satu elemen lain dibandingkan elemen lainnya
5
• Elemen yang satu lebih • Pengalaman dan penilaian sangat penting dari pada elemen yang kuat mendukung satu elemen lain dibandingkan elemen lainnya
7
• Elemen yang satu jelas lebih • Pengalaman dan penilaian sangat penting kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen • Penting dari pada elemen yang lainnya lain • Satu elemen dengan kuat didukung • Elemen yang satu mutlak lebih dan dominan terlihat dalam praktek penting dari pada elemen yang • Bukti yang mendukung elemen yang lain satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi • Nilai-nilai antara dua nilai yang mungkin menguatkan pertimbangan yang berdekatan • Jika untuk aktivitas i mendapat • Nilai ini diberikan bila ada satu angka bila dibandingkan dua kompromi diantara dua pilihan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
9
2,4,6,8 kebalikan
Su mber : Saaty, T. L. 1993