5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batik dan Sejarahnya Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya, batik mengalami banyak perkembangan. Selanjutnya dengan penggabungan berbagai corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik lukis seperti sekarang ini (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, 1987). Sejarah perbatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Jenis dan corak batik tradisional amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Pada awalnya batik dikerjakan terbatas hanya dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari para pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya masingmasing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, pria dan wanita, hingga kini. Sebelum tahun 1900 penggunaan batik hanya untuk jarik (tapih),dodot, kemben,selendang dan ikat kepala. Sedangkan motif-motif yang digunakan mempunyai arti filosofis, sebagai contoh: a. Batik dengan motif sidomukti biasa digunakan oleh mempelai pada upacara akad nikah maupun upacara “panggih” (Jawa) dengan maksud supaya si mempelai setelah melangsungkan pernikahan dikaruniai Tuhan
6
kebahagiaan, terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mendapatkan kedudukan yang tinggi. b. Pada tahun 1769, 1784, 1790, di kasunanan Surakarta diterbitkan surat keputusan Sri Sunan yang berisi larangan menggunakan batik khusus dengan motif yang mengandung sawat (sayap burung garuda), motif Parang Rusak, motif Udan Liris, Motif Cemukan , bagi masyarakat umum (bukan anggota keluarga kerajaan). Berbagai motif batik yang disebutkan di atas dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini
Motif Parang Rusak
Motif sawat (sayap burung garuda)
Motif Sidomukti
Motif Udan Liris
Sumber: Departemen Perindustrian-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (1987).
Gambar 2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri Dalam perkembangan selanjutnya, setelah tahun 1900 (terutama setelah dihapuskannya larangan penggunaan motif batik tertentu dan munculnya desain batik modern) maka penggunaan batik tidak terbatas untuk busana tradisional saja, tetapi berkembang lebih luas lagi antara lain dipakai sebagai alat
7
perlengkapan rumah tangga (seperti tirai, taplak meja, sprei, hiasan dinding, tas, kursi, gaun, kemeja pria, dsb). Jadi, kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku Jawa, yaitu setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad ke XIX. Semua batik yang dihasilkan adalah berupa batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi pakaian tradisional Indonesia, dan bahkan sudah menjadi salah satu fashion yang sedang trend dan digandrungi tidak hanya oleh penduduk Pulau Jawa. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa dan luar negeri sekalipun sudah mulai mengenal batik dan mengenakannya dengan bangga. Namun, popularitas batik sekarang ini lebih banyak karena didukung oleh kecenderungan trend dan mode pakaian yang dicetuskan pertama kali oleh para perancang pakaian. Orang banyak mengenakan batik lebih karena “sedang trend”, dan bukan karena terdorong rasa cinta dan pengetahuan yang mendalam terhadap karya seni batik itu sendiri. Kebanggaan yang dimiliki bangsa Indonesia berkenaan dengan batik adalah dengan diakuinya kerajinan tradisional batik sebagai warisan budaya takbenda secara internasional. Kerajinan batik yang dimiliki bangsa Indonesia memang unik, dimana ini terletak pada seni proses pembuatan batik itu sendiri. Proses pembuatan batik yang mengikuti alur kerja tertentu dimulai dari menggambar motif menggunakan canting sampai proses pewarnaan dan penjemuran, merupakan kemahiran kerajinan tradisional yang tidak dimiliki bangsa lain. Hal ini merupakan tradisi budaya yang harus tetap dijaga dari generasi ke generasi. Pada kenyataannya, pengetahuan akan seni batik dirasa kurang bagi generasi masa kini. Berbagai bentuk dan corak batik yang ada, jarang dapat dipahami dengan benar, terutama bagi mereka yang tinggal di luar kota-kota penghasil batik seperti Bandung, Jakarta, atau luar jawa.
Sebagian besar
mereka hanya tahu bahwa kain tersebut adalah kain batik, tetapi tidak tahu corak apa saja yang tergolong batik dan bagaimana membedakannya , bagaimana proses
pembuatannya,
bagaimana
merawat
batik
dengan
benar,
dll.
Pengetahuan akan seluk beluk batik termasuk pengenalan sejarah batik, corak, proses pembuatan dan perawatan dirasa perlu sebagai upaya untuk menjaga
8
dan melestarikan kesenian batik, yang telah menjadi tradisi dan ciri khas bangsa Indonesia sejak jaman dulu. Proses pembuatan batik merupakan pengetahuan yang sangat menarik untuk digali. Proses membatik secara tradisonal ini dari masa kemasa tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya, peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan cara membatik yang juga masih tradisional. Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik. Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dan menghasilkan seni batik tradisional. Membatik dengan cara tradisional ini (menggunakan canting) memang tidak dapat menghasilkan kain batik dalam jumlah banyak dengan waktu singkat. Tidak mengherankan bila hasil karya membatik tradisional ini dihargai dengan harga yang cukup tinggi. Gambar alur pembuatan batik dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 di bawah ini.
Sumber : Widayati, 2002
Gambar 3. Proses pembuatan batik
9
Sumber : Widayati, 2002
Gambar 4. Alur proses pembuatan batik 2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam Riwayat perbatikan di daerah Jawa Timur adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan
Wetan
(Departemen
Perindustrian
-Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Industri, 1987). Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari, ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan
10
sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo. Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayukayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia. 2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian.
Namun
perkembangan
selanjutnya,
oleh
masyarakat
batik
11
dikembangkan menjadi komoditi perdagangan (Departemen Perindustrian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987). Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya baik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan "Sidomukti" dan "Sidoluruh". Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-1 dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah di Desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada tingkatan pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton. Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga rajaraja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulung Agung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu. Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut Pangeran Diponegoro mengembangkan batik. Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik,
12
Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota Lain Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan
kuning.
(Departemen
Perindustrian
-Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987). Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina, disamping mereka juga berdagang bahan batik. Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerahdaerah lainnya yaitu sekitar abad XIX. Perkembangan pembatikan didaerahdaerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo. Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk mata pencaharian. Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya, dilihat dari proses dan desainnya banyak
13
dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya merupakan buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembuatan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris. Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekalongan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen sehingga para buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto pun banyak yang lebih tertarik ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula. Sedang pembatikan dikenal di Tegal pada akhir abad XIX dan bahan yang dipakai pada waktu itu merupakan bahan buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan seperti pace atau mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya adalah bahan tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu. Setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah mencapai kawasan luar daerah antara lain Jawa Barat , dimana batik tersebut dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha dengan berjalan kaki dan menurut sejarah merekalah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatangpendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah. 2.2. Pengertian Wisata Wisata adalah kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat tinggal dan tempat rutinitas bekerja, untuk tujuan rekreatif dan non rekreatif dengan aktivitas selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan fasilitas yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Gunn, 1994). Sementara itu Soemarwoto (1996) menyatakan bahwa wisata atau pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan, dimana tujuan pariwisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi. Wisata juga dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat membuat suatu area terhubung dengan destinasi dengan rute perjalanan antara dua lokasi tersebut ( Boniface dan Cooper dalam Gunn, 1994).
14
Tujuan travelling dalam pariwisata memang bervariasi. Menurut WTO ( World Tourism Organization (1991), yang diperkuat oleh UN Statistical Commission dalam Holden (2000) dikatakan bahwa pariwisata terdiri dari aktivitas orang yang melakukan travelling dan menetap di suatu tempat di luar lingkungan yang biasa mereka diami untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun untuk kepentingan bersenang-senang, bisnis atau tujuan lainnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan oleh Davidson dalam Holden (2000) bahwa rekreasi atau kesenangan merupakan tipe utama dari wisata, termasuk perjalanan untuk mengisi hari libur, olahraga, acara budaya, dan mengunjungi teman dan saudara, atau bahkan untuk kepentingan
bisnis, studi atau
pendidikan , agama dan tujuan kesehatan. Alasan utama mengapa orang mengunjungi suatu tempat adalah adanya daya tarik atau magnet tertentu dari tempat tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa alasan tersebut terletak pada sumberdaya yang ada di tempat tujuan/destinasi, baik itu sumberdaya alam dan budaya, dan juga atraksi yang berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pada umumnya istilah “sumberdaya alam” mengacu pada lima fitur alam mendasar seperti air, perubahan topografi, vegetasi, kehidupan alam liar, dan iklim. Sumberdaya budaya termasuk semua sumberdaya kecuali yang kita sebut alami. Diantaranya adalah situs bersejarah, situs prasejarah, tempat keetnikan, legenda dan pendidikan; industri, pusat perdagangan, dan galeri-galeri; dan tempat – tempat penting untuk hiburan, kesehatan, olah raga dan agama. Kedua kategori sumberdaya ini dapat digunakan untuk mengklasifikasi atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata. Smith (1989) mengkategorikan faktor-faktor atraksi dalam area wisata dalam lima kategori utama yaitu faktor alami, faktor sosial dan budaya, faktor sejarah, faktor rekreasional dan faktor infrastruktur wisata. Atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata merupakan komponen suplai yang sangat berperan penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan segala hal yang dikembangkan di lokasi, yang direncanakan dan dikelola untuk kepentingan pengunjung, untuk aktivitas dan untuk dinikmati (Gunn, 1994). Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam wisata tidak dapat terlepas dari hukum penawaran dan permintaan. Semakin menarik penawaran yang diberikan, maka akan semakin banyak pula permintaan yang datang. Perencanaan dan pengelolaan yang tepat di sisi penawaran (dalam hal ini adalah tempat tujuan wisata) tidak hanya akan menambah daya tarik wisatawan atau
15
menambah sisi permintaan, tetapi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan tujuan wisata. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa yang dapat ditawarkan adalah di tempat tujuan wisata adalah sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang mampu mempertahankan keberlangsungan kawasan dan lingkungan adalah tujuan utama dari seorang perencana kawasan wisata. 2.3. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Menurut Inskeep (1991) secara umum yang dimaksud dengan perencanaan adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan tertentu. Berkaitan dengan perencanaan wisata, Inskeep (1991) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata. Pendekatan perencanaan dengan mempertimbangkan keberlanjutan kawasan dan lingkungan adalah salah satunya. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik karena kondisi fundamental yang terdiri dari lingkungan manusia, kehidupan budaya, dan kehidupan alam yang senantiasa terjaga, selalu menjadi pertimbangan utama selama perkembangan terjadi. Lebih merupakan
lanjut
suatu
Nurisjah
bentuk
alat
(2000) yang
menyatakan sistematis
bahwa
yang
perencanaan
diarahkan
untuk
mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan. Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. Dikatakan pula bahwa perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif yang minimal. Pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas memberi arahan bagi seorang perencana kawasan khususnya dalam hal ini adalah perencana kawasan wisata untuk mempertimbangkan banyak faktor yang berpengaruh dalam wisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk kepentingan keuntungan secara materi bagi industri wisata sendiri, tetapi mempertimbangkan
kepentingan
lain
yang
menyertai
keberlangsungan
16
kehidupan industri wisata itu sendiri seperti masyarakat lokal, lingkungan, kehidupan ekonomi dan budaya, serta alam. Pemilihan pendekatan perencanaan yang tepat merupakan kunci sukses dalam keberhasilan sebuah perencanaan. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan wisata adalah sebagai berikut. 2.3.1. Sumberdaya Wisata Untuk
merencanakan
suatu
kawasan
wisata
perlu
diperhatikan
sumberdaya dan permintaan wisata. Sumberdaya wisata merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Sumber daya wisata adalah potensi wisata yang dapat berupa objek-objek wisata baik alami maupun objek-objek buatan manusia. Objek-objek alami meliputi iklim, pemandangan alam, wisata rimba, flora dan fauna, sumber air, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan objekobjek buatan manusia antara lain yang bercirikan sejarah, budaya dan agama, sarana dan prasarana wisata dan pola hidup masyarakat (Hardjowigeno,2001). Menurut Darsoprajitno (2002), sumber daya wisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata baik wisata binaan, lingkungan alam yang masih murni alami, maupun yang sudah terpengaruh oleh budidaya manusia yang bersifat tetap atau temporal di suatu kawasan tertentu. Selanjutnya Avenzora (2008), menyatakan sumber daya wisata (recreation resources) adalah suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi. Supply atau penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level harga. Sedangkan tourism supply adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan karakteristik sosial ekonomi yang dengan sebaik mungkin dapat mendukung atraksi dan objek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata (Jafari, 2000). Dalam tourism supply, perlu dipahami pengertian tentang : (1) apa dan berapa yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan,dan (3) kepada siapa dapat diberikan (Avenzora, 2008). Selain sumberdaya fisik dan alami maka sumberdaya lain seperti aspek budaya maupun sejarah, menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung pengembangan kawasan wisata. Hal ini didukung oleh keterkaitan etnik yang
17
tinggi yang dimiliki oleh suatu kawasan. Namun demikian walaupun mempunyai potensi untuk dikembangkan tapi bila
tanpa dukungan sarana prasarana
tranportasi, atraksi yang menarik, maupun pelayanan yang baik serta informasi dan promosi, maka akan kurang dikenal. Oleh karena itu sumber daya wisata dapat dikembangkan menjadi suatu pariwisata yang marketable jika memenuhi persyaratan sebagaimana gambar di bawah ini.
Atraksi
Transportasi
Servis
Informasi
Promosi
Sumber : Gunn, 1994 Gambar 5.. Komponen fungsi dari suplai Perencanaan dan pengembangan suatu kawasan wisata harus memperhatikan semua sumberdaya alam dan budaya, serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi sumber daya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata, selain itu juga harus menonjolkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat (Gunn, 1994). Salah satu sumber daya wisata adalah budaya kehidupan masyarakat. Pemahaman terhadap budaya suatu masyarakat tidak hanya dapat membantu melestarikan kelestarian budaya itu sendiri, namun juga dapat menjadi salah satu atraksi menarik bagi wisatawan yang menginginkan pengalaman untuk merasakan budaya yang berbeda dengan budaya daerah asal mereka. 2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata Aspek sosial budaya adalah suatu kondisi sosial budaya masyarakat yang
ada
dan
berpengaruh
dalam
lingkungan
hidupnya.
Menurut
Koentjaraningrat (1986), budaya sebagai bagian kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral. hukum, adat istiadat dan
18
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai budaya fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan, maka sifatnya paling konkret. Sementara itu Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa unsur-unsur kebudayaan bersifat universal (cultural universal) yang terdiri dari tujuh unsur yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial. Sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian. Dalam aspek sosial budaya berhubungan erat dengan
lanskap
budayanya (cultural landscape) yaitu suatu model atau bentuk lanskap binaan yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan, adat istiadat, kesenian dan struktur lainnya (Nurisjah, 2001). Pola-pola budaya yang perlu diketahui termasuk struktur masyarakat, sistem nilai, kebiasaan, gaya hidup dan perilaku yang akan disesuaikan dengan pengembangan wisata dan pemakaian tenaga kerja setempat ( Inskeep ,1991). Menurut Inskeep (1991), sosial budaya dalam wisata adalah: 1. Pengembangan wisata yang dapat memikat tanpa menimbulkan kerusakan pada kehidupan sosial budaya dan aktifitas masyarakat, 2. Tingkatan wisata yang dapat membantu memelihara monumen budaya, seni, sistem kepercayaan, pakaian dan tradisi tanpa efek merusak.
19
Perlu diketahui bahwa mau tidak mau pasti akan terjadi dampak akibat adanya wisata. Dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya wisata adalah terjadinya interaksi antara wisatawan yang memiliki kebudayaan yang berbeda
dengan
kebudayaan
penduduk
lokal
sehingga
terjadi
saling
mempengaruhi antara penduduk lokal dengan wisatawan. Dampak ini dapat memberi pengaruh positif seperti semakin meluasnya cakrawala pandangan penduduk lokal, saling pengertian dan saling menghargai antara wisatawan dan penduduk lokal. Di lain pihak juga memberi dampak negatif seperti adanya komersialisasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan merosotnya mutu kesenian, meningkatnya prostitusi dan kriminalitas (Soemarwoto, 1996). Pertimbangan perencanaan yang dapat meminimalisir dampak negatif dan memperkuat dampak positif, sangat perlu dilakukan. 2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata Menurut Suwantoro (2004), dikatakan bahwa pembangunan dan pengembangan
pariwisata
harus
melibatkan
masyarakat
setempat
dan
sekitarnya secara langsung. Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa keikutsertaaan sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan ekonomi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian kawasan wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata. Dalam suatu kawasan budaya yang dilindungi, perlu adanya kerjasama antara 3 mitra yang saling menguntungkan untuk bersama-sama melindungi dan menjaga agar lingkungannya tetap terus berkelanjutan, yaitu komunitas, pengunjung, dan situs itu sendiri. Komunitas ini terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah daerah, LSM, forum perwakilan masyarakat, maupun pengusaha sebagai investor. Komunitas yang saling berkoordinasi menyamakan misi dan visi dalam membangun dan melindungi kawasannya akan mendororng keberlanjutan
lingkungannya
melalui
apresiasi
dan
kebanggaan
atas
20
keistimewaan
budaya
yang
mereka
miliki.
Ketika
sebuah
komunitas
menunjukkan rasa bangga dan wibawanya atas kawasan budaya yang dilindungi dan dijaga dengan hati-hati ini, maka hal ini akan menarik para tamu atau pengunjung yang juga menunjukkan rasa penghargaan atas kekagumannya. Jika lingkaran ini sudah terbentuk, maka akan lebih mudah memelihara kawasan budaya yang dilindungi tersebut dan menjaganya agar tetap langgeng hingga generasi berikutnya. Memahami preferensi dan persepsi komunitas dan pengunjung merupakan hal yang sangat penting dalam merencanakan suatu kawasan wisata budaya. 2.3.4. Apresiasi Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh anggota tubuh (Carmona et al. 2003). Nasar (1998), mengatakan ada lima atribut untuk mengatakan bahwa suatu lingkungan itu disukai. Kelima atribut tersebut adalah: 1) naturalness (lingkungan yang natural atau unsur alamiahnya lebih dominan dibanding elemen terbangun); 2) upkeep/civilities (lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara) ; 3) openness and defined space (perpaduan antara ruang terbuka dengan panorama
dan
vista
significance/content
dari
(lingkungan
elemen2 yang
yang
menarik);
membentuk
4)
historical
ingatan/memori
yang
dharapkan); dan 5) order (dalam arti keteraturan, koheren (tepat ), kongruen (sesuai), legible (mudah dipahami), dan ada kejelasan (clarity)). Untuk ruang terbuka yang berupa jalan atau street, Carmona et al. (2003), mengatakan bahwa terdapat pertimbangan untuk menilai kualitas visual salah satunya adalah architectural rhythm. Dimensi visual lainnya adalah pengalaman kinestetik (kinaesthetic experience). Cullen (1961) dalam Carmona et al. (2003) mengatakan tentang ‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti misalnya juxtaposition dalam bidang arsitektur.
Bosselmann (1998) dalam
Carmona et al. (2003) mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya dengan “jarak ritmik” yang berkaitan dengan pengalaman visual dan spasial.
21
Lebih lanjut Bosselmann mengatakan bahwa seseorang yang mengambil jarak tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya. 2.4.
Perencanaan Lanskap Wisata Budaya
2.4.1. Lanskap Budaya Kebesaran suatu bangsa tidak hanya cukup diukur oleh tingkat kesejahteraan dan kemantapan perekonomian saja, tetapi juga oleh apresiasi dan sikap bangsa dalam melestarikan nilai dan warisan budaya lama serta keanekaragaman biologis dan ekosistemnya. Warisan alam dan budaya, merupakan sumber yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan mahluk hidup di muka bumi ini. Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah unsur yang relatif sulit diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds, 1983). Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis (1979) diacu dalam Meinig (1979)). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lanskap budaya adalah segala bagian dari muka bumi yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia. Lanskap budaya menurut Sauers (1978) diacu dalam Tishler (1982), adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar masa lalu. Sebagai arsitek lanskap merupakan tanggung jawab professional untuk menentukan lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan unsur keberlangsungan sebagai langkah perlindungan warisan bersejarah.
22
2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda Menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah yang tergolong dalam monumen, kelompok bangunan, dan situs. Yang dimaksud dengan monumen antara lain hasil karya arsitektural, hasil karya patung dan lukisan yang monumental. Elemen atau struktur alam yang arkeologis, naskah, gua dan kombinasi fiturnya, dimana nilainya bersifat universal, baik dari sudut pandang sejarah, seni sekelompok bangunan yang saling berhubungan maupun yang terpisah, baik karena bentuk arsitekturnya, keseragamannya dalam suatu lanskap, atau nilainya yang secara universal sangat hebat, baik dari segi sejarah, seni maupun ilmu pengetahuan. Untuk situs, yang tergolong di dalamnya adalah hasil karya manusia atau kombinasi antara alam maupun karya manusia, dan area-area seperti situs bersejarah yang nilainya secara universal tergolong hebat, baik dari segi sejarah, estetika, etnologis maupun antropologis. Masih menurut UNESCO, bahwa cultural heritage terdiri dari tangible cultural heritage (materiil cultural heritage) dan Intangible cultural heritage (Immateriil cultural heritage). Tangible cultural heritage dapat terdiri dari: 1) warisan budaya yang dapat dipindahkan (lukisan, patung, koin, naskah kuno); 2) warisan budaya yang tidak dapat dipindahkan (monumen, situs arkeologis); 3) warisan budaya di bawah air (kapal karam, situs dan reruntuhan di bawah air). Sedangkan Intangible cultural heritage terdiri atas tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual. Menurut Konvensi UNESCO 2003 mengenai Warisan Budaya Takbenda menyebutkan bahwa warisan budaya takbenda mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan Budaya Takbenda (WBTB) ini bagi masyarakat, kelompok dan perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, dan cara mereka hidup bermasyarakat. Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari potensi kreatif manusia, warisan takbenda secara terus-menerus diciptakan oleh para penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu ke individu lain dan dari generasi ke generasi. Warisan budaya takbenda sebagaimana didefinisikan di atas diwujudkan antara lain di bidang :1) tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai
23
wahana warisan budaya takbenda; 2) seni pertunjukan ; 3) adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan; 4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; 5) kemahiran kerajinan tradisional. Budaya takbenda juga dikenal dengan istilah “budaya hidup”. Melihat dari definisi dan perwujudan bidang dari warisan budaya takbenda, maka kerajinan tradisional batik tergolong
sebagai Warisan Budaya Takbenda
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh UNESCO di tahun 2004 yang lalu. Menurut ICOMOS-International Cultural Tourism Charter (2002) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah ekspresi tentang cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah komunitas dan diteruskan dari generasi ke generasi termasuk adat istiadat, praktek, tempat-tempat, obyek-obyek, ekspresi dan nilai artistik. Cultural heritage ini seringkali diungkapkan dalam bentuk Intangible atau Tangible Cultural Heritage. Berkaitan dengan cultural heritage, terdapat istilah cultural heritage significance yang berarti estetika, sejarah, sosial , spiritual atau karakteristik khusus lainnya dan nilai sebuah tempat, sebuah objek atau adat istiadat yang mungkin dimiliki untuk generasi kini maupun generasi yang akan datang. Wisata hendaknya dapat membawa manfaat bagi masyarakat lokal dan menjadi alat dalam memotivasi mereka untuk menjaga budaya dan warisan budayanya. Wisata yang berhasil adalah yang mampu menyampaikan signifikansi suatu tempat bersejarah atau signifikansi warisan budaya, sehingga mampu dipahami oleh pengunjung maupun masyarakat lokal. Menurut Burra Charter Australia (1999), cultural significance adalah sebuah konsep untuk membantu dalam mengestimasi nilai suatu tempat atau ruang yang memiliki signifikansi untuk dapat memahami masa lampau untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang. Terdapat banyak penilaian yang digunakan dalam cultural significance Burra Charter Australia, seperti aesthetic (estetika), historic (kesejarahan), scientific (keilmuan) dan social (sosial) serta penilaian lain dapat digunakan sesuai dengan konteks permasalahan pada ruang tersebut. Penjelasan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut: a. Historic value, sebagai nilai yang berasal dari kerangka, kejadian dan aktivitas sejarah yang mempengaruhi sebuah ruang b. Aesthetic value, sebagai nilai yang berasal dari persepsi yang diterima dengan kriteria-kriteria tertentu, kriteria tersebut dapat berupa bentuk, skala, dan proporsi, warna tekstur dan sebagainya
24
c. Scientific value, nilai yang berasal dari ketersediaan dan tingkat representasi serta kontribusi informasi d. Social value mencakup kualitas suatu tempat terhadap lingkungan sekitar. Pengaruh tersebut dapat berupa spiritual, politik dan budaya. e. Pendekatan lain sebagai tambahan dapat digunakan untuk memahami cultural significance dari suatu kawasan Menurut Kerr (1985), Sidharta dan Budihardjo (1989), kriteria dalam aesthetic value dalam cultural significance adalah estetika dari bangunan atau bagian dari kota yang dipreservasi karena merepresentasikan pencapaian tertentu dalam era bersejarah tertentu. Konstruksi bangunan juga bisa termasuk, jika punya kekhususan seperti bangunan terpanjang, tertua, terbesar, atau bangunan pertama, dll. Pengukuran estetika berkaitan dengan nilai-nilai arsitektural dan seperti bentuk, skala, struktur, tekstur, material, bau, suara yang berkaitan dengan sebuah tempat dan ornamennya Sedangkan nilai historis (historic value) suatu tempat, Menurut Kerr (1985) memberi pengaruh atau dipengaruhi oleh figure bersejarah, events ataupun fase terjadinya suatu hal yang bersejarah termasuk lokasi tempat suatu peristiwa bersejarah berlangsung. Cultural significance menjadi lebih besar nilainya jika tempat tersebut mengandung event yang masih berkaitan erat atau bahkan settingnya masih tetap lengkap. Masih menurut Kerr (1985) bahwa cultural significance melibatkan kualitas tempat yang menjadi tempat pusat spiritual, politik, nasional dan komitmen budaya lainnya untuk perorangan maupun kelompok, baik yang mayor maupun minor. Dalam lanskap sejarah dan budaya juga tidak terlepas dari kehadiran arsitektur yang merupakan bukti sejarah perkembangan budaya manusia selama periode tertentu di kawasan tertentu. Penilaian terhadap arsitektur juga penting karena arsitektur merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya dan sangat merepresentasikan ciri sebuah kawasan atau kota. Menurut ICOMOS, The Burra Charter (Australia) (1999), yang dimaksud dengan fabric adalah materi fisik dari suatu tempat termasuk komponen, fitur, konten dan objek. Fabric juga dapat berupa interior bangunan, dan sisa-sisa yang masih tertinggal di permukaan, maupun material yang sudah diangkat dari permukaan.
25
2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi Soekadijo (1996) menyatakan objek dapat menjadi tujuan wisata budaya karena memiliki atraksi wisata, yang terdiri dari sumber daya kepariwisataan dalam bentuk budaya, yang dapat berupa peninggalan-peninggalan atau tempattempat bersejarah (artifact) maupun perikehidupan, adat-istiadat , yang berlaku di tengah-tengah masyarakat (kebudayaan hidup). Menurut Gunn (1994) wisata budaya adalah kegiatan wisata dengan atraksi utamanya adalah sumberdaya budaya. Kategori sumberdaya budaya meliputi tapak pra-sejarah, tapak bersejarah, tempat berbagai etnik dan tempat suatu pengetahuan dan pendidikan, lokasi industri, pusat perbelanjaan, dan pusat bisnis, tempat pementasan kesenian, museum dan galeri, tempat hiburan, kesehatan, olah raga dan keagamaan.Wisata budaya akan berhasil bila dibantu dengan perencanaan jalur interpretasi yang dapat menghubungkan cerita antara satu objek budaya dengan objek lainnya sehingga membentuk suatu jalinan cerita yang utuh dan menyeluruh dan membentuk satu pengertian yang baru bagi pengunjung. Interpretasi merupakan program yang termasuk dalam perencanaan, dalam hal ini adalah perencanaan kawasan wisata budaya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perencanaan kawasan wisata budaya hendaklah mempertimbangkan pelestarian kehidupan budaya itu sendiri, maka dengan demikikan upaya interpretasi merupakan upaya yang dirasa perlu untuk mencapai tujuan perencanaan. Interpretasi akan memberikan pemahaman baru tentang suatu kawasan, baik tentang budaya maupun sejarah kawasan tersebut, bagi para pengunjung. Pemahaman ini diharapkan akan melahirkan keinginan dan semangat bagi pengunjung yang datang untuk turut melestarikannya, baik di dalam kawasan itu sendiri maupun ketika mereka sudah kembali ke tempat asal masing-masing. Seorang pakar arkeologi , Hodder (1991), menyatakan bahwa warisan budaya tidak hanya memiliki publik yang tunggal tetapi jamak. Masing-masing pihak merasa punya kepentingan dan ingin mengambil manfaat dari warisan budaya. Berbagai kepentingan ini hendaknya disatukan dalam suatu program sehingga memudahkan masyarakat dan berbagai pihak untuk ikut menyelami, memahami dan meresapi apa yang terkandung dalam warisan budaya tersebut. Wisata interpretatif merupakan salah satu solusi dalam menjembatani informasi antara masyarakat yang ingin tahu tentang budaya, maupun yang tidak
26
ingin tahu sama sekali tentang budaya, sehingga upaya pelestarian budaya dan pemasyarakatan informasi tentang budaya dapat tercapai dengan baik. Dari sini kita dapat melihat bahwa warisan budaya dapat menjadi asset penting dalam pengembangan industri pariwisata dalam konteks upaya pelestarian dengan sistem yang tepat. Sistem yang tepat inilah yang terus diupayakan , agar tujuan pelestarian budaya dan pariwisata dapat berjalan seiring dengan harmoni dan sustainable. Salah satunya adalah dengan mengembangkan kawasan wisata budaya tersebut sebagai kawasan wisata budaya interpretatif. 2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan Menurut
Inskeep
(1991),
sustainable
tourism
atau
wisata
yang
berkelanjutan adalah suatu industri wisata yang mempertimbangkan aspekaspek penting dalam pengelolaan seluruh sumberdaya yang ada guna mendukung wisata tersebut baik secara ekonomi, sosial dan estetika yang dibutuhkan dalam memelihara keutuhan budaya, proses penting ekologis, keragaman biologi dan dukungan dalam sistem kehidupan. Adapun tujuan sustainable tourism menurut Inskeep (1991) adalah 1) Untuk
pengembangan
yang
lebih
besar
dari
pengetahuan
dan
pemahaman tentang kontribusi yang signifikan dari wisata yang dapat mengubah lingkungan dan ekonomi. 2) Untuk kemajuan sewajarnya dalam pengembangan suatu industri wisata. 3) Untuk memperbaiki kualitas kehidupan dari komunitas kawasan. 4) Untuk
memberikan
suatu
kualitas
yang
tinggi dari pengalaman
pengunjung. 5) Untuk memelihara kualitas lingkungan sebagai obyek yang dapat diandalkan. Menurut Moscardo dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan 1) Peningkatan Kesejahteraan masyarakat 2) Mempertahankan keadilan antara generasi dan intragenerasi 3) Melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi 4) Menjamin integritas budaya.
27
Menurut EAHTR (European Association Heritage Towns and Regions) (2006), pendekatan sustainable cultural tourism dapat dilakukan dengan mempertimbangkan : 1. Pengunjung (kebutuhan, kepuasan dan kenyamanannya) 2. Industry (kebutuhan pariwisata untuk memperoleh keuntungan) 3. Komunitas (menghormati nilai-nilai dan kualitas hidup masyarakat lokal) 4. Lingkungan (melindungi lingkungan fisik dan budaya) Dalam peningkatan/pengembangan wisata yang harus diperhatikan adalah bagaimana menarik turis sekaligus dapat mempertahankan lingkungan. Oleh karena itu baik pengunjung dan asset wisata, keduanya harus diperhatikan dan dilindungi, begitu juga komunitas yang ada di sekitarnya (Gunn, 1994). Perencanaan multidimensional bertujuan untuk mengintegrasikan semua aspek pendukung, meliputi aspek sosial, ekonomi, antropologi serta fisik yang terpusat pada masa lalu, sejarah dan yang akan datang (Gunn, 1994). Untuk dapat merencanakan lanskap wisata budaya yang baik, perlu memahami secara mendalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh dan berpotensi dalam lanskap budaya tersebut, termasuk kualitas dan signifikansi dalam lanskap budaya.