II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nilam dan Lingkungan Tumbuh Tanaman nilam (Pogostemom cablin Benth) diklasifikasikan ke dalam kelas dicotyledonea, ordo Lamiales, famili Labiatae dan genus Pogostemon (Hayne 1987) dan umumnya dikenal dengan nama Patchouly. Menurut Trease dan Evan dalam Dhalimi et al. (1998), genus Pogostemom memiliki 40 species, namun dari jumlah tersebut yang dikenal sebagai tanaman nilam hanya tiga species, yaitu P. cablin Benth, P. hortensis, dan P. heyneanus. Tanaman nilam (P. cablin Benth) berasal dari Filipina yang bahasa lokalnya disebut “ Kabling ” (Reglos et al. 1991), selanjutnya menyebar ke Malaysia, Madagaskar, Paraguay, Brasil dan Indonesia. Di Indosesia tanaman nilam mula- mula ditanam di Jawa pada tahun 1889 dan ditanam di Aceh pada tahun 1908 (Heyne dalam Syukur 1998) dan selanjutnya dibudidayakan di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Narpati 2000). Di Lampung juga sudah mulai banyak diusahakan oleh petani dan umumnya ditanam sebagai tanaman sela tanaman lada (Pujiarti et al. 2000). Tanaman nilam tumbuh berupa semak setingi 0.5 - 1.0 m, percabangannya banyak dan bertingkat melingkari batang dan berbulu. Batangnya beruas-ruas, berkayu dan berbentuk segi empat, berwarna keungu-unguan, sedangkan daunnya tersusun dalam pasangan berlawanan, berbentuk bulat lonjong dengan ujung agak meruncing. Di Indonesia dikenal tiga jenis tanaman nilam, yaitu nilam Aceh (Pogestenom cablin Benth), nilam Jawa (P. heyneanus Benth).) dan nilam sabun (P. hortensis Backer. ) (Guenther dalam Nuryani (1998). Dari ketiga jenis tanaman nilam tersebut, hanya nilam Aceh yang mengandung kadar dan mutu minyak yang tinggi, yakni kadar minyaknya antara 2.5 – 5.0 %, sedangkan kedua jenis nilam lainnya hanya 0.5 – 1.5 %. Berdasarkan alasan tersebut, sehingga nilam Aceh banyak diusahakan di Indonesia dan negara lainnya. Disebut nilam Aceh karena banyak dibudidayakan di Nangro Aceh Darussalam. Tanaman nilam adalah salah satu jenis tanaman penghasil minyak atsiri yang dihasilkan dari hasil destilasi daun tanaman nilam. Minyak ini disebut juga minyak eteris atau minyak terbang (volatile) karena jenis minyak ini mudah 8 menguap pada suhu 25 o C. Kandungan unsur kimia minyak nilam terdiri patchouly alcohol(C 15 H 26 OH) sebagai penciri utama, patchouly camphor, eugenol benzoat, benzaldehide, cinnamic aldehide, dan cadinene (Larasati 2004). Minyak nilam dikenal secara popular dalam perdagangan internasioal dengan sebutan “ oil of Patchouli ” . Minyak nilam mempunyai sifat alami mengikat yang kuat dan sebagai salah satu bahan dasar yang sangat penting dalam pembuatan parfum yang tidak dijumpai pada bahan dasar lainnya (De Gusman et al. 1994). Selain itu, minyak nilam digunakan sebagai bahan pembuat sabun mandi, dan deterjen serta pestisida (Espino et al. 2002). Minyak nilam baunya spesifik yang menusuk, kuat dan tahan lama serta agak “ apek ” atau “ musty ” sehingga minyak nilam dijuluki sebagai “ King of the Indonesian Essential Oil ” atau rajanya minyak atsiri Indonesia (Narpati 2000). Hingga saat ini, plasma nutfah nilam baru mencapai 65 aksesi yang diperoleh dari hasil eksploirasi dan hasil variasi somaklonal serta dari fusi protoplast. Dari 65 aksesi tersebut, terdapat 8 nomor yang sudah diseleksi dan dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman, yaitu Cisaroni, Cirateum, Lhockseumawe, Meulaboh, Tapak Tuan, Sidikalang, Aceh Merah, dan Kultur Jaringan (Nuryani et al. 1997). Empat klon diantaranya telah mengalami pengujian dan siap dilepas sebagai klon harapan, yaitu : Sidikalang, Tapak Tuan, Cisaroni,
Lhokseumawe, dengan kandungan patchouli alcohol berturut-turut : 37.3, 35.0, 33.1, dan 30.5 %. (Mauladi dan Asman 2004). Tanaman nilam dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah, namun untuk memperoleh produksi dan kualitas minyak yang tinggi maka dibutuhkan tanah yang drainasenya baik, dan kaya bahan organik. Tanaman nilam tumbuh dan berproduksi baik mulai dari dataran rendah sampai pada daerah ketinggian 1200 m dpl, namun optimum pada 10 - 400 m dpl. Tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 2300 – 3000 mm/tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun (Rosman et al. 1998).Temperatur optimum untuk tanaman nilam adalah 22–28 o C dan kelembaban rata-rata 75 o C (Reglos 1991). Werekopen dalam Rosmam et al. (1998) menyebutkan bahwa nilam dapat diusahakan pada daerah bercurah hujan rendah (1700 – 2500 mm/tahun ) dengan pemberian naungan dan mulsa. Adanya musim kemarau selama 3-5 bulan, menyebabkan tanaman berada dalam kondisi 9 yang kurang menguntungkan karena dapat mengalami cekaman kekeringan selama periode tumbuh tanaman nilam. Struktur akar nilam yang dangkal menyebabkan tanaman mengalami kesulitan mengabsorbsi air di saat air sering menjadi faktor pembatas, khususnya pada musim kemarau. Di Aceh dan Sumatera Utara, tanaman nilam diusahakan masyarakat dari dataran rendah hingga 1.500 dpl ( Hayati 1992). Tanaman nilam yang diusahakan di dataran rendah kandungan minyaknya lebih tinggi dari dataran tinggi, namun kandungan patchouly alcohol lebih rendah (Rosman et al. 1998). Di Bengkulu, tanaman nilam umumnya dibudayakan sebagai tanaman sela di antara tanaman kelapa sawit, sedangkan di Pasaman, Sumatera Barat ditanam diantara tanaman jeruk. Di Purwokerto, Jawa Tengah para petani menanam nilam sebagai tanaman sela dari tanaman pisang, rambutan dan mangga. Tanaman nilam yang ditanam dibawah naungan mempunyai rendemen minyak yang rendah, sedangkan tanpa naungan rendemen minyaknya lebih tinggi (Soepadio et al. 1978). Hasil Penelitian Hasan (1994), menunjukkan bahwa tanaman yang ditanam di sela tanaman kelapa kandungan minyaknya lebih rendah yakni 79.8 l ha -1 sedangkan pada lahan tanpa naungan 89.3 l ha -1 . Mutasi Dalam Pemuliaan Tanaman Prinsip dasar dari induksi mutasi (mutagen) yang harus diketahui oleh para pemulia tanaman adalah macam kejadian yang terjadi antara saat energi masuk ke dalam sistem biologi (tanaman) hingga tahap yang mungkin memberikan efek yang nampak pada perubahan secara biologi. Proses dari transfer energi dalam memberikan pengaruh kerusakan dalam sistem biologi meliputi 4 tahap perubahan yaitu secara fisik, kimia, biokimia dan secara biologi (Gambar 2). Mutasi adalah perubahan genetik baik gen tunggal, sejumlah gen ataupun susunan kromosom, dapat terjadi pada setiap bagian tanaman terutama bagian yang aktif melakukan pembelahan sel (Micke dan Donini 1993). Secara luas mutasi dihasilkan oleh segala macam tipe perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan fenotipe yang diturunkan, termasuk keragaman kromosom maupun mutasi gen. Mutasi juga dapat disebut sebagai perubahan materi genetik pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen sehingga menyebabkan terjadinya 10 keragaman genetik (Soeranto 2003). Mutasi dapat terjadi secara tiba-tiba dan acak, dan merupakan dasar sebagai sumber keragaman bagi tanaman dan bersifat terwariskan (heritance). Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam (spontaneous mutation) dan dapat terjadi melalui induksi (induced mutation) (Koornneef 1991). Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara mutasi yang terjadi secara alami dan mutasi hasil induksi. Keduanya dapat menimbulkan variasi genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman
(Soeranto 2003). Mutasi induksi dapat dilakukan pada tanaman dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji, stek batang, serbuk sari, akar rizome, kalus dan sebagainya (Soeranto 2003). Mutagen yang sering digunakan dalam pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia dan mutagen fisik (Koornneef 1991; Micke dan Donini 1993). Frekuensi dan spektrum mutasi tergantung dari jenis mutagen dan dosis yang digunakan. Mutagen fisik yang telah luas penggunaannya adalah sinar-X dan sinar gamma, keduanya mempunyai penetrasi yang baik, bersifat sebagai radiasi pengion (ionizing radiation) (Micke dan Donini 1993). Sedangkan mutagen kimia pada umumnya berasal dari senyawa alkyl seperti ethyl methane sulphonat (EMS), diethyl sulphate (dES), metthyl metane sulphonat (MMS), hydroxylamine, nitrous acids dan sebagainya (Soeranto, 2003). Mutasi induksi menggunakan radiasi sinar-X dan sinar gamma paling banyak penggunaannya sebagi metode untuk mengembangkan varietas mutan. Hal ini terlihat dari 2250 varietas mutan yang dilepas di seluruh dunia dalam kurun waktu 70 tahun terakhir (Maluszynki et al. 2000), 89 % dari 1585 varietas yang dilepas sejak tahun 1985 adalah dikembangkan dari induksi mutasi secara langsung, 64 % diantaranya adalah dikembangkan dengan menggunakan sinar gamma, sedangkan penggunaan sinar-X hanya 22 %. (Ahloowalia et al. 2004). Secara relatif, proses mutasi dapat menimbulkan perubahan pada sifat-sifat genetis tanaman baik kearah positif maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat juga kembali normal (recovery). Mutasi yang terjadi ke arah sifat positif dan terwariskan ke generasi berikutnya merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia tanaman pada umumnya (Soeranto 2003). Mutasi induksi dapat memperluas variabilitas genetik tanaman. Teknik mutasi induksi 11 pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif lebih efektif karena dapat mengubah satu atau beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya (Nagatomi 1996). Mutasi dapat dibedakan atas, mutasi genom, mutasi kromosom dan mutasi gen. Mutasi genom dapat diakibatkan oleh perubahan jumlah set kromosom baik penambahan mapun pengurangan jumlah set kromosom. Poliploidi pada tanaman mencerminkan adanya penambahan satu set kromosom atau lebih. Mutasi kromosom terdiri atas perubahan jumlah dan struktur kromosom (Wattimena 1992). Perubahan jumlah kromosom dapat dibedakan menjadi euploidi dan aneuploidi (Suzuki 1993). Mutasi kromosom dapat terjadi akibat pecahnya benang kromosom, meliputi empat kelompok yaitu translokasi (translocations), inversi (inversion), duplikasi (duplication), defesien (deficiens) (Soeranto 2003) Mutasi gen terjadi karena perubahan pada struktur primer dari DNA. Mutasi gen dapat terjadi karena subtitusi, tambahan ataupun hilangnya satu atau lebih basa-basa di dalam sebuah molekul DNA (Micke dan Donini 1993; Van Harten 1998). Smith dan Wood (1991) mendifinisikan mutasi gen adalah perubahan sekuen nukleotida pada gen yang menghasilkan perubahan asam amino dan produk protein mutan. Mutasi gen juga didefinisikan sebagai perubahan satu bentuk alel menjadi bentuk alel lainnya. Perubahan tersebut terjadi dalam satu gen pada satu lokus kromosom atau disebut juga mutasi titik (Suzuki et al. 1993). Mutasi gen digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu microlessions dan macrolessions, yang dicirikan oleh adanya perubahan basa pada DNA (Van Harten 1998). Menurut Suzuki et al. (1993) ada empat tipe perubahan basa (1) transisi, yaitu penggantian satu basa purin dengan satu purin atau penggantian satu basa pirimidin dengan pirimidin, (2) transversi, yaitu penggantian satu basa pirimidin oleh basa purin atau sebaliknya, (3) delesi , yaitu pasangan basa tertentu
menghilang sehingga terjadi susunan nucleotida yang berbeda (4) dan inversi pasangan basa, yaitu terjadi perubahan orientasi susunan pasangan basa. DNA sangat sensitif terhadap radiasi, sehingga radiasi sinar gamma dapat meyebabkan perubahan DNA pada makhluk hidup (Van Harten 1998). 12 Efek Iradiasi Sinar Gamma Iradiasi dapat menyebabkan perubahan genetik di dalam sel somatik (mutasi somatik), dapat diturunkan dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan fenotip Perubahan tersebut dapat terjadi secara lokal pada tingkat sel atau kelompok sel sehingga individu dapat menjadi kimera (Ismachin 1988). Iradiasi dapat menginduksi perubahan struktur kromosom yaitu terjadi pematahan kromosom. Pada dosis yang rendah dapat menyebabkan terjadinya delesi, semakin tinggi dosis akan menimbulkan duplikasi, inversi dan translokasi. Iradiasi sinar gamma sering digunakan dalam usaha pemuliaan tanaman karena dapat meningkatkan variabilitas, sehingga dapat menghasilkan mutan baru (Wattimena 1992; Al-Safadi et al. 2000). Untuk tujuan tertentu, misalnya menciptakan variabilitas baru, dapat digunakan mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma dan sinar UV, serta perlakuan mutagen kimia seperti Ethyl Methane Sulphonate (EMS) dan nitroso guanidine. Mutagen tersebut dapat digunakan bersamasama dalam kultur in vitro untuk meningkatkan frekuensi munculnya tanaman mutan (Kuksova et al. 1997). Respon tanaman terhadap efek iradiasi sinar gamma, selain dipengaruhi oleh jenis kultur yang digunakan, juga tergantung dari laju dosis iradiasi yang digunakan. Laju dosis iradiasi adalah jumlah dosis terserap per satuan waktu (rad per detik atau Gy perdetik). Satuan sinar radiasi adalah Gray (Gy) atau rad. 1 rad = 100 erg per gram = 10 joule per kg. 1 Gy = 100 rad = 0.1 krad. Alat yang digunakan untuk mengukur besarnya dosis radiasi adalah dosimeter. Dosimeter yang umum digunakan adalah “ Fricke ” yaitu mampu mengukur dosis sinar gamma antara 40 – 400 Gy. Pengukuran diluar selang dosis tersebut dilakukan kalibrasi (Ismachin 1988).
14 Beberapa hasil penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma menyebutkan bahwa iradiasi sinar gamma pada dosis rendah dapat menginduksi perubahan secara fisiologi dan biokimia (Berezina dan Kaushankii 1989), menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan pembungaan lebih awal (Charbaji dan Nabulsi 1999). Iradiasi sinar gamma pada dosis rendah pada kultur jaringan meningkatkan bobot kalus tanaman jeruk dan wortel (Al-Safadi dan Simon 1996). Charbaji dan Nabulsi (1999), melaporkan bahwa penggunaan dosis 5 Gy memberikan pengaruh nyata pada bobot kering tanaman anggur secara in vitro dibandingkan dengan tanaman kontrol. Hasil penelitian Mariska et al. (1997), memperoleh 23 varian tanaman nilam hasil iradiasi sinar gamma dengan menggunakan dosis 0.0; 1.0; 1.5 dan 2.0 Krad pada kalus yang mengalami subkultur yang lama. Tiga klon diantaranya, mempunyai kandungan minyak yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrol. Hasil penelitian Edi (2004), memperoleh 5 genotipe padi yang toleran terhadap Al tinggi dan pH rendah yang diradiasi dengan dosis letal 1.5 krad. Hasil iradiasi pada tanaman anggerek pada dosis 31.88 Gy (3.188 krad) merupakan LD 50 berdasarkan persentase tumbuh setek (Sukandari et al. 1999). Roux et al. (1994) melaporkan bahwa penggunaan dosis sinar gamma 35 Gy mampu menginduksi mutasi pisang klon GN-60A menghasilkan 50 % tanaman hidup. Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya. Menurut Levitt (1980) cekaman kekeringan yang diistilahkan “ drought stress ” pada tanaman dapat disebabkan dua hal yaitu kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air walaupun keadaan air tanah cukup tersedia. Kekeringan dalam terminologi meteorologi, diartikan sebagai suatu periode tanpa curah hujan yang cukup yang terjadi secara alamiah pada lahan kering dan hal ini dapat menyebabkan defisit air (Passioura 1996). Dengan demikian tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering seperti tanaman nilam, akan mengalami kekeringan, yang umumnya terjadi pada musim kering. Cekaman kekeringan yang 15 terjadi pada keadaan ini, lebih disebabkan oleh pasokan air yang tidak tersedia di zona perakaran. Cekaman kekeringan akan berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan tanaman yang mencakup, aspek morfologis dan anatomis, fisiologi dan biokimia tanaman (Raper dan Kramer 1987). Adanya cekaman kekeringan dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat menurunkan hasil, meskipun besar kemungkinannya tergantung pada fase pertumbuhan pada saat stres terjadi dan lamanya stres. Cekaman kekeringan merupakan faktor pembatas, karena dapat menghambat proses fotosintesis dan translokasi fotosintat (Savin dan Nicolas 1996; Yakushiji et al. 1998), menghambat pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Yoshiba et al. 1997), menurunkan transpirasi air dan tranportasi fotosintat (Pookpadi et al. 1990; Viera et al. 1992), menurunkan luas area dan kandungan kloropil daun (Shimada et al. 1992), menurunkan kecepatan fiksasi dan akumulasi N (Masyudi dan Patterson 1991). Pada fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air akan berpengaruh pada beberapa aspek morfologis dan fisiologis, antara lain menurunnya kecepatan fotosintesis dan luas daun. Pengaruh cekaman kekeringan selain berpengaruh terhadap fase vegetatif, juga berpengaruh terhadap fase reproduktif (Savin dan Nicolas 1996; Pimental et al. 1999), hal ini berarti bahwa cekaman kekeringan saling mempengaruhi antara vegetatif dan generatif. Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung pada jumlah air yang hilang, tingkat kerusakan dan lama cekaman
kekeringan, macam species dan genotype tanaman, umur dan fase perkembangan,, tipe organ dan tipe sel. Kehilangan air pada tingkat selluler dapat menyebabkan perubahan konsentrasi senyawa osmotik terlarut, perubahan volume sel dan bentuk membran, perubahan gradien potensial air dan kehilangan turgor (Bray 1997). Menurut Khirkham (1990), pembelahan dan perluasan sel merupakan komponen yang lebih peka terhadap cekaman kekeringan. 16 Mekanisme Resistensi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Mekanisme resistensi kekeringan dapat dikelompokkan dalam 3 katergori yaitu “ escape drought ” (melepaskan dari cekaman kekeringan), “ avoidance ” (penghindaran dari kekeringan) dan toleran. Tanaman dapat menggunakan lebih dari satu mekanisme pada saat yang bersamaan saat terjadinya kekeringan (Mitra 2001). Resistensi escape yaitu kemampuan tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami kekurangan air yang serius, mekanisme ini meliputi perkembangan fenologi yang cepat misalnya pembungaan dan pematangan buah yang lebih awal, perkembangan plastisitas jaringan dan remobilisasi pembentukan assimilat ke biji. Resistensi penghindaran yaitu, kemampuan tanaman tetap menjaga potensial jaringan dengan cara meningkatkan penyerapan air atau menekan kehilangan air. Mekanisme ini meliputi pemeliharaan turgor melalui penambahan kedalaman akar, efesiensi sistem perakaran dan konduktivitas hidrolik dan mengurangi kehilangan air melalui reduksi epidermal (stomata), mengurangi absorbsi cahaya matahari dengan cara penggulungan atau pengguguran daun. Resistensi toleransi adalah kemampuan tanaman menjaga turgor melalui pengaturan osmotik ( “ osmotic adjustment ” ). Toleransi terhadap stres kekeringan dapat terjadi jika tanaman dapat survive terhadap stres yang terjadi dan adanya toleransi atau mekanisme yang memungkinkan untuk menghindar dari situasi stres tersebut. Tanaman mempunyai toleransi yang berbeda terhadap stres kekeringan karena perbedaan dalam mekanisme morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler (Perez-Molphe- Balch et al. 1996). Toleransi stres kekeringan melibatkan akumulasi senyawa yang dapat melindungai sel dari kerusakan yang terjadi pada saat potensial air rendah (Jensen et al. 1996). ABA (abscisic acid) dan prolin merupakan senyawa yang memegang peranan penting untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Kim dan Janick 1991; Pruvod et al. 1996; Nambara et al. 1998; Hanson dan Hitz 1982). Peningkatan sintesis ABA di akar, antara lain bertujuan untuk meningkatkan laju penyerapan air oleh akar untuk mengimbangi laju transpirasi. Dalam hal ini ABA berperan sebagai pengatur signal transpor air secara radial (Quintero et al. 1998; Roberts 1998). Penyerapan air di akar ditentukan oleh besarnya gradien 17 hidrostatik atau gradien osmotik. Supaya air tetap dapat mengalir dari tanah ke arah jaringan akar maka potensial osmotik dari akar harus lebih negatif dari tanah. Dalam kondisi tercekam kekeringan, ABA juga dapat ditranslokasikan melalui xylem ke bagian tanaman yang lain seperti tunas dan daun. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya peningkatan konsentrasi ABA pada cairan xylem jika tanah mengering (Schurr dan Gollan 1990; Zhang et al. 1990; Schurr et al. 1992). Dibagian tajuk tanaman, ABA akan mempengaruhi penutupan stomata. ABA dapat membatasi masuknya ion-ion K + ke dalam sel penjaga (stomata) dan menyebabkan pembukaan channel ion K + sehingga memungkinkan pengeluaran ion K + dari sel stomata. Akibatnya, sel stomata menjadi kehilangan turgor dan stomata akan menutup (Quintero et al. 1998). Dari hal tersebut, ABA berperan sebagai signal dari akar bagi pucuk tanaman ketika mengalami stres kekeringan (Schurr et al. 1992). Kemampuan untuk mengatur turgor pucuk juga merupakan suatu karakteristik tanaman yang toleran
terhadap cekaman kekeringan. Akumulasi prolin pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan disebabkan oleh meningkatnya biosintesis prolin dan inaktivasi degradasi prolin (Madan et al. 1995; Yoshiba et al. 1997; Nambara et al. 1998). Hasil penelitian hubungan ekspresi gen-gen untuk enzim yang terlibat dalam biosintesis dan metabolisme prolin dan akumulasi prolin di bawah kondisi tercekam kekeringan menunjukan bahwa, level prolin pada tanaman diatur pada level transkripsi selama terjadi stres kekeringan (Yoshiba et al. 1997). Pada tanaman, prolin disintesis dari glutamin atau dari ornitin. Lintasan dari glutamin merupakan rute primer untuk biosintesis prolin dalam kondisi tercekam kekeringan (Madan et al. 1995, Yoshiba et al. 1997). Akumulasi prolin dalam respon terhadap tercekam kekeringan telah dilaporkan pada beberapa tanaman secara in vitro dan in vivo (Handa et al. 1986; Sarkar 1993; Madan et al. 1995; Girousse et al. 1996). Jumlah prolin yang meningkat dianggap merupakan indikasi toleransi terhadap cekaman kekeringan karena prolin berfungsi sebagai senyawa penyimpan N dan osmoregulator dan/atau sebagai protektor enzim tertentu (Kim dan Janick 1991; Madan et al. 1995; Prasad dan Potluri 1996; Yoshiba et al. 1997). Sel, jaringan atau tanaman yang over produksi prolin dianggap mempunyai sifat toleransi terhadap stres 18 kekeringan yang lebih baik. Selain sebagai osmoregulator, prolin juga berperan penting dalam menjaga pertumbuhan akar pada potensial osmotik air rendah (Sharp 1994; Ober dan Sharp 1994). Kultur Jaringan Tanaman Nilam Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh (Bhojwani dan Razdan 1983). Pada prinsipnya teknik kultur jaringan berdasar pada fenomena totipotensi (total genetic potensial), yaitu suatu fenomena dimana sel tanaman mempunyai kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman utuh bila ditumbuhkan pada lingkungan yang cocok (Pierik 1987). Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT, serta kondisi ruang kultur dimana suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita 2003). Keberhasilan penggunaan kultur jaringan dipengaruhi oleh jenis eksplan yang dikulturkan (meliputi bagian organ yang digunakan, umur fisiologi, ukuran, dan kualitas tanaman), media kultur dan lingkungan tumbuh dimana kultur ditumbuhkan. Hal tersebut terkait dengan tahapan dalam kulltur jaringan, meliputi (1) pemilihan dan penyiapan tanaman induk sebagai sumber eksplan, (2) inisiasi kultur (culture eatablishment), (3) multiplikasi atau perbanyakan propagul, (4) perpanjangan tunas, induksi dan perkembangan akar aklimatisasi planlet ke lingkungan luar (5) aklimatisasi planlet ke lingkungan eksternal. Eksplan yang dikondisikan dalam media dengan penambahan ZPT tertentu (jenis dan konsentrasi) akan mengarahkan apakah eksplan akan terinduksi membentuk organ melalui proses organogenesis atau embrio melalui proses embryogenesis (Yusnita 2003). Teknik kultur jaringan tanaman nilam umumnya diinduksi untuk organogenesis. Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar baik secara langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Nisbah sitokinin dan auksin yang tinggi mendorong pembentukan tunas, sedangkan nisbah sitokinin dan auksin yang rendah mendorong pembentukan akar, jika sitokinin dan auksin 19 dalam jumlah yang seimbang akan mendorong pembentukan kalus (Bhojwani dan Razdan 1983). Sitokinin berfungsi dalam menginduksi pembelahan sel, mendorong poliriferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari kalus dan organ,
serta sintesis protein (Watimena 1992). Beberapa senyawa sitokinin yang biasa dipakai dalam kultur jaringan antara lain : Benzilamino purin (BAP), 6-benzil adenine (BA), 2Isopentenil adenine (2-iP), Zeatin dan 6-Fulfurilamino purin (kinetin), picloram, dan lainlain. Auksin berfungsi dalam pembelahan sel, diferensiasi akar, induksi pemanjangan tunas (Bhojwani dan Razdan, 1983). Auksin juga berperan dalam inisiasi akar adventif, akar primer maupun akar lateral (Moore 1979). Beberapa auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan diantaranya 3-Indoleacetic acid (IAA), 3-Indolebutyric acid (IBA),1- Naphtaleneacetic acid (NAA) dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Dicamba (3,6 dichloro-α anisic acid) dan Picloram (4-amino 3,5,6 trichloro pyridine-2carbocylic acid) (Krikorian 2004). Beberapa hasil penelitian tanaman nilam secara in vitro menggunakan ZPT dalam menginduksi tunas atau kalus, diantaranya : untuk regenerasi tunas tanaman nilam secara in vitro menggunakan eksplan satu ruas yang ditanam media MS + kelompok vitamin yang diperkaya dengan BA 0.1 mg.l -1 , sedangkan untuk menginduksi kalus mengunakan eksplan potongan daun pada media MS + BA 0.1 mg. l -1 + 2,4-D 0.5 mg. l -1 (Mariska et al. 1997). Regenerasi tunas adventif langsung dan tidak langsung (melalui kalus) dilakukan dengan menggunakan eksplan meristem pucuk dalam media MS dengan komposisi BAP, NAA dan GA3 yang berbeda (Hayati 1992). Hutami et al. (1998) menggunakan batang terminal dan batang satu buku sebagai eksplan untuk proliferasi tunas nilam kimera pada media MS yang diberi vitamin maupun Morel Wetmore dengan penambahan 2-iP 1 mg l -1 . Keberhasilan metode regenerasi kalus membentuk planlet tanaman nilam melalui organogenesis merupakan salah satu syarat untuk dapat melakukan seleksi in vitro. Kalus dapat dikembangkan dari eksplan daun, eksplan batang, maupun bagian organ yang meristematik. Tomes dalam Sutjahjo (1994), menjelaskan bahwa terdapat dua macam kalus yang terbentuk dalam kultur in vitro suatu tanaman, yaitu (1) kalus embriogenik dan (2) kalus non embriogenik. 20 Kalus embriogenik adalah kalus yang mempunyai potensi untuk beregenerasi menjadi tanaman melalui organogenesis atau embryogenesis. Sedangkan kalus non embriogenik adalah kalus yang mempunyai kemampuan sedikit atau tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman. Kalus embriogenik yang mempunyai struktur kompak, tidak tembus cahaya dan pertumbuhan relatif lambat merupakan tipe yang dikehendaki dalam seleksi in vitro tanaman. Menurut Green et al.(1984) dalam Sutjahjo (1994), kalus seperti ini disebut kalus tipe-I, sebaliknya kalus yang kurang kompak, remah dan pertumbuhan cepat disebut kalus tipe-II. Kemampuan regenerasi kalus umumnya menurun sesuai lamanya jaringan dikulturkan, namun beberapa kultur kalus kemampuan regenerasinya dapat bertahan dalam jangka waktu relatif panjang (George dan Sherrington 1984). Kalus nilam dapat bertahan selama 24 bulan dengan subkultur 2 bulan sekali (Mariska et al. 1997). Variasi Somaklonal Istilah variasi (keragaman) somaklonal pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan Scowcroft tahun 1981 yang didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik (seperti sel daun, akar dan batang) maupun sel gamet (Sutjajo 1994). Selanjutnya oleh Skrivin et al. (1993), mendifinisikan variasi somaklonal adalah keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi ini berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan. Variasi somaklonal yang terjadi dalam kultur jaringan merupakan hasil kumulatif dari mutasi genetik yang dapat disebabkan oleh bahan eksplan dan kondisi in vitro. Variasi somaklonal merupakan perubahan genetik yang bukan disebabkan oleh
peristiwa segregasi atau rekombinasi gen seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan (crossing). Thrope (1990) memberikan istilah pre-existing cellular genetik yaitu keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan. Keragaman ini dapat muncul akibat penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan perubahan sitoplasma (Kumar dan Mathur 2004). 21 Keragaman somaklonal dapat dikelompokkan menjadi keragaman yang mewaris ( “ heritable ” ) yang dikendalikan secara genetik dan keragaman yang tidak mewaris yang dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang dikendalikan secara genetik biasanya stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke generasi selanjutnya sedangkan keragaman epigenetik biasanya akan hilang ketika tanaman diperbanyak secara seksual (Skirvin et al. 1993). Itulah sebabnya maka kepentingan atau manfaat kultur jaringan bagi pemuliaan tanaman adalah merangsang keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan genetik. Menurut Wattimena dan Mattjik (1992) keragaman genetik pada kultur jaringan dapat dicapai melalui fase tak berdiferensiasi (fase kalus dan sel bebas) yang relatif lebih panjang, untuk membuat kestabilan genetik pada kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara menginduksi sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi. Terjadinya variasi somaklonal dalam kultur in vitro disebabkan oleh : jenis zat pengatur tumbuh dan konsentrasi yang digunakan, lamanya fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan, (sel, protoplasma, kalus, jaringan), serta digunakan atau tidaknya media selektif dalam kultur in vitro (Skirvin et al. 1993; Jain 2001). Variasi somaklonal biasanya terjadi akibat adanya amplifikasi gen, aktivasi transposable elemen, metilasi DNA, ketidakstabilan kromosom, mutasi gen tunggal, atau poliploidi (Linacero dan Vazquez 1992; Jayasankar 2005). Faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal meliputi : fisiologi, genetik dan biokimia. Biasanya kelompok auksin 2,4-D dan 2,4,5 –T dapat menyebabkan variasi somaklonal. Perlakuan 2,4-D pada kultur kalus tanaman kelapa sawit mampu beregenerasi, namun menunjukkan keragaman somaklonal waktu ditanam di lapang Keragaman genetik yang terjadi selama proses kultur jaringan merupakan perubahan tingkat kromosom. Penyimpangan biokimia merupakan faktor yang paling sering menyebabkan keragaman somaklonal dalam kultur in vitro (Jayasankar 2005). . Beberapa karakter dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun karakteristik yang lain tetap menyerupai tanaman induknya (Hawbaker et al. 1993). Dengan demikian variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk merubah satu atau beberapa karakter tertentu yang diinginkan dengan tetap 22 mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dipunyai oleh tanaman induk. Menurut Mattjik (2005), dalam kasus perbanyakan secara kultur in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang mutasi saat membelah kemudian membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi ini akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya. Seleksi In vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Keragaman somaklonal yang dihasilkan dari kultur in vitro dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan metode seleksi in vitro sehingga dapat bermanfaat dalam program pemuliaan tananaman (Ahloowalia 1990; Mattjik 2005). Identifikasi varian somaklonal yang diinginkan biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik seleksi in vitro. Dalam hal ini kondisi selektif tertentu dapat digabungkan dalam media kultur in vitro dan dipakai untuk menumbuhkan varian-varian somaklon yang telah diperoleh. Tanaman hasil regenerasi dari jaringan yang dapat
mengatasi kondisi selektif tersebut, besar kemungkinannya juga akan mempunyai fenotipe toleran terhadap kondisi selektif. Hal ini sangat menguntungkan karena proses seleksi yang dilakukan in vitro akan sangat efisien mengingat tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, kondisi selektif dapat dibuat homogen, dan efektifitas seleksi akan sangat tinggi. Menurut Bhojwani (1990), kombinasi antara induksi keragaman somaklonal dan seleksi in vitro merupakan salah satu kesempatan yang menawarkan kemudahan dalam menghasilkan individu dengan karakter yang spesifik. Menurut Cresswell dalam Widoretno (2003), terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam usaha mendapatkan variasi somaklonal hasil seleksi in vitro, yaitu : (1) tanaman lengkap dengan fenotipe yang diinginkan harus dapat diregenerasikan dari eksplan melalui metode in vitro tertentu. Hal ini memerlukan ketersediaan prosedur baku teknik in vitro, misalnya menghasilkan kalus dari eksplan. (2) Adanya sumber variasi genetik atau epigenik. Hal ini dapat berasal dari adanya variasi diantara sel-sel somatik tanaman yang dipakai sebagai eksplan, dari sel yang mengalami mutasi selama proses in vitro atau sel yang diinduksi mengalami mutasi buatan (radiasi atau mutagen kimia). (3) Tersedianya prosedur 23 baku untuk menyeleksi, mengindentifikasi dan memelihara sel-sel varian yang telah diinduksi dan diproduksi secara in vitro. Untuk mendapatkan tanaman yang toleran cekaman kekeringan melalui seleksi in vitro, senyawa osmotikum ditambahkan ke dalam media kultur untuk menstimulasi kondisi kekeringan di lapang. Senyawa osmotikum yang digunakan antara lain manitol (Gulati dan Jaiwal 1993; Rajashekar et al. 1995) dan PEG (Santoz-Diaz dan Ochoa-Alejo 1994; Dami dan Huges 1997). Penggunaan PEG lebih disarankan daripada manitol atau sorbitol karena PEG (terutama PEG > 4000) tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman (Verslues et al. 1998). Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan diantaranya tanaman padi (Adkins et al. 1995), sorgum (Duncan et al. 1995), Brassica juncea (Gagopadhyay et al. 1997), tanaman legum Vigna radiata (Gulati dan Jaiwal 1993), tanaman serealia Triticum sp. (Tuchin dan D ’ Yachuc 1994), Prunus (Rajashekar et al. 1995), tembakau liar (Sumaryati et al. 1992) dan tanaman kentang (Banzal et al. 1991). Widoretno (2003), berhasil menyeleksi sel-sel yang memperlihatkan toleransi yang meningkat terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kedelai dengan menggunakan PEG (BM= 6000).