II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MOTOR BAKAR DIESEL 2.1.1
Pengertian Umum
Motor bakar adalah suatu mesin kalor yang mengubah energi termal menjadi energi mekanik. Dengan kata lain, motor bakar adalah alat mekanis yang menggunakan energi termal untuk melakukan kerja mekanik (Arismunandar, 2005). Ditinjau dari tempat terjadinya proses pembakaran, motor bakar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu motor bakar eksternal dan motor bakar internal. Motor bakar eksternal adalah motor bakar yang proses pembakarannya berlangsung di luar silinder seperti motor uap, sedangkan motor bakar internal proses pembakarannya terjadi di dalam silinder seperti motor bakar bensin (Otto) dan motor bakar diesel (Arismunandar, 2005).
2.1.2
Bagian Utama Dari Konstruksi Motor Bakar Diesel
a. Unit Tenaga Unit tenaga terdiri dari blok silinder, kepala silinder, piston, batang penghubung, poros engkol, dan roda gaya. Blok silinder adalah bagian dasar yang menyokong unit tenaga. Blok silinder dilengkapi dengan kepala silinder yang sekaligus menjadi ruang pembakaran dan tempat bertumpunya sistem klep. Di dalam blok silinder terdapat piston yang merubah tenaga panas hasil pembakaran menjadi tenaga mekanis dengan bergerak maju-mundur (transalasi) sepanjang silinder (Jones, 1963). Piston dilengkapi dengan cincin piston yang berfungsi untuk menahan kompresi dan rembesan tenaga hasil pembakaran, melumasi dinding silinder, mengurangi gesekan antara piston dengan dinding silinder, mencegah masuknya minyak pelumas ke dalam ruang pembakaran, dan merambatkan panas dari piston ke dinding silinder (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Batang penghubung berfungsi untuk menghubungkan piston dengan poros engkol. Pada ujung batang penghubung terdapat bantalan pena piston, sedangkan pada bagian pangkalnya terdiri dari dua bagian yang diberi bantalan untuk sambungan ke poros engkol (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Poros engkol berfungsi untuk mengubah gerak translasi dari piston menjadi gerak rotasi (putaran). Dalam motor bakar bersilinder banyak, bentuk poros engkol disesuaikan dengan susunan penyalaan silinder untuk memperkecil fluktuasi momen putar poros. Pada ujung poros engkol dipasang roda gaya yang berfungsi untuk meratakan momen putar yang terjadi pada poros agar kecepatan poros engkol menjadi stabil (Arismunandar dan Tsuda, 2008). b. Sistem Penyaluran Bahan Bakar Komponen-komponen yang menyusun sistem penyaluran bahan bakar pada motor bakar diesel antara lain tangki bahan bakar, saringan, selang, pompa, pipa penyalur, dan injektor. Bahan bakar dari tangki disalurkan ke pompa melalui selang setelah melewati saringan, kemudian bahan bakar dipompakan melalui pipa penyalur menuju ke injektor. Dari injektor, bahan bakar yang sudah bertekanan disemprotkan ke dalam ruang pembakaran.
3
c. Sistem Penyalaan Bahan Bakar Penyalaan bahan bakar pada motor bakar diesel berlangsung secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh hasil kompresi udara di dalam ruang pembakaran. Penyalaan bahan bakar terjadi sedikit demi sedikit sampai bahan bakar yang disemprotkan habis terbakar (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Ruang pembakaran merupakan tempat pencampuran bahan bakar dengan udara agar dapat terbakar dengan baik. Beberapa jenis ruang pembakaran pada motor bakar diesel antara lain ruang pembakaran terbuka, ruang pembakaran kamar muka, ruang bakar turbulen, dan ruang bakar pembantu. Motor bakar diesel dengan ruang pembakaran terbuka disebut juga dengan motor bakar diesel penyemprotan langsung, sedangkan untuk yang lainnya disebut motor bakar diesel penyemprotan tidak langsung (Arismunandar dan Tsuda, 2008).
2.1.3
Prinsip Kerja Motor Bakar Diesel
Pembakaran pada motor bakar diesel terjadi karena bahan bakar yang diinjeksikan ke dalam silinder terbakar dengan sendirinya akibat suhu udara kompresi dalam ruang bakar. Berdasarkan jumlah langkah kerjanya, motor bakar diesel merupakan motor bakar 4 langkah. Motor bakar diesel 4 langkah adalah motor bakar yang melengkapi satu siklusnya dalam 4 langkah atau dua kali putaran poros engkol. Langkah pertama, piston bergerak dari titk mati atas (TMA) ke titik mati bawah (TMB) yang disebut dengan langkah pemasukan (intake stroke). Pada langkah ini katup pemasukan terbuka dan udara masuk ke dalam silinder, sedangkan katup pembuangan dalam keadaan tertutup. Langkah kedua piston bergerak dari TMB ke TMA yang disebut dengan langkah kompresi (compression stroke). Pada langkah ini posisi katup pemasukan dan pembuangan dalam keadaan tertutup. Pada akhir langkah kompresi, tekanan dan suhu di dalam silinder menjadi sangat tinggi yaitu sekitar 30 kg/cm2 dan 550°C. Sesaat sebelum piston mencapai TMA, bahan bakar disemprotkan ke dalam silinder dan penyalaan bahan bakar terjadi secara spontan karena suhu hasil kompresi udara melebihi suhu yang dibutuhkan untuk penyalaan. Langkah ketiga adalah langkah tenaga (power stroke). Langkah ini terjadi saat piston bergerak dari TMA ke TMB karena tenaga panas yang dihasilkan dari pembakaran. Pada langkah ini katup pemasukan dan pembuangan dalam posisi tertutup. Langkah yang keempat adalah langkah pembuangan (exhaust stroke). Pada langkah ini piston bergerak dari TMB ke TMA dan katup pengeluaran dalam keadaan terbuka sementara katup pemasukan tertutup. Piston bergerak dari TMB mendorong gas hasil pembakaran keluar melalui katup dan saluran pembuangan. Suhu gas buang hasil pembakaran ini dapat mencapai 750-800°F (398.9-426.7oC) yang diukur pada pangkal saluran pengeluaran (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Siklus motor Diesel empat langkah dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Siklus motor Diesel empat langkah (Miftahuddin, 2009)
2.1.4 Energi Panas Gas Buang Motor Bakar Diesel Panas yang dihasilkan pada pembakaran bahan bakar tidak seluruhnya dapat digunakan secara efektif. Hanya sekitar sepertiga dari hasil pembakaran yang dimanfaatkan untuk melakukan kerja, sedangkan sisanya terbuang dalam sistem pendinginan dan terbawa oleh gas buang. Keseimbangan ini disebut juga neraca panas seperti yang ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Neraca Panas Motor Bakar Diesel Uraian
Neraca Panas (%)
Kerja poros (BHP) 30-45 Pendinginan 36-15 Gas buang dan radiasi 34-40 Sumber : Arismunandar dan Tsuda (2008)
2.1.5
Bahan Bakar Diesel
Minyak bumi terdiri dari 84-85% karbon, 12-14% hidrogen, dan sisanya adalah unsurunsur seperti nitrogen, oksigen, dan sulphur. Menurut Khovhakh (1976), komposisi bahan bakar Diesel menurut massanya terdiri dari 87% karbon, 12.6% hydrogen, dan 0.4% oksigen. Karakteristik bahan bakar diesel dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik bahan bakar Diesel Fuel Spesific energi (MJ/Kg) Viscosity @ 40oC (cSt) Centane number Solidification point (oC) Iodine Value Saponification value Sumber : Bradley (2008)
Diesel Oil 45.3 4 45-55 -9 -
Coconut Oil 42 20 60 24 10 268
Palm Oil 39.6 37 50 35 54 199
5
Bahan bakar Diesel yang sering disebut solar (light oil) merupakan suatu campuran hidrokarbon yang didapat dari penyulingan minyak mentah pada temperatur 200-340oC. Minyak solar yang sering yang digunakan adalah hidrokarbon rantai lurus (hetadecene (C16H34)) dan alpha-methilnapthalene. Bahan bakar yang sebaiknya digunakan dalam motor diesel adalah jenis bahan bakar yang dapat segera terbakar (sendiri) yaitu yang dapat memberikan periode persyaratan pembakaran rendah. Bahan bakar motor diesel yang mempengaruhi prestasi dari motor diesel antara lain: penguapan (Volatility), residu karbon, viskositas, kandungan belerang, abu dan endapan, titik nyala, titik tuang, sifat korosi, mutu penyalaan, dan cetane number (Saipul, 1994). a. Penguapan (volatility) Penguapan dari bahan bakar Diesel diukur pada 90% suhu penyulingan. Penguapan bahan bakar ini menandakan pada suhu berapa bahan bakar berubah fase dari cair menjadi uap. b. Residu Karbon Residu karbon adalah karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran habis. Bahan yang diuapkan dari minyak, diperbolehkan residu karbon maksimum 0.10%. c. Viskositas Viskositas minyak dinyatakan oleh jumlah detik yang digunakan oleh volume tertentu dari minyak untuk mengalir melalui lubang dengan diameter tertentu, semakin rendah jumlah detiknya berarti semakin rendah viskositasnya. d. Belerang Belerang dalam bahan bakar terbakar bersama minyak dan menghasilkan gas yang sangat korosif yang diembunkan oleh dinding-dinding silinder, terutama ketika mesin beroperasi dengan beban ringan dan suhu silinder menurun. Kandungan belerang dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 0.5-1.5%. e. Abu dan Endapan Abu dan endapan dalam bahan bakar adalah sumber dari bahan mengeras yang dapat mengakibatkan keausan mesin. Kandungan abu maksimal yang diijinkan 0.01% dan endapan 0.05%. f. Titik Nyala Titik nyala merupakan suhu yang paling rendah yang harus dicapai dalam pemanasan minyak untuk menimbulkan uap terbakar sesaat ketika disinggungkan dengan suatu nyala api. Titik nyala minimum untuk bahan bakar Diesel adalah 150oF. g. Titik Tuang Titik tuang adalah suhu minyak mulai membeku/berhenti mengalir. Titik tuang maksimum untuk bahan bakar Diesel adalah 0oF. h. Sifat Korosif Bahan bakar minyak tidak boleh mengandung bahan yang bersifat korosif dan tidak boleh mengandung asam-basa. i. Mutu Penyalaan Istilah ini menyatakan kemampuan bahan bakar untuk menyala ketika diinjeksikan ke dalam pengisian udara tekan dalam silinder mesin Diesel. Suatu bahan bakar dengan mutu penyalaan yang baik akan siap menyala, dengan sedikit keterlambatan penyalaan. Bahan bakar dengan mutu penyalaan yang buruk akan menyala dengan sangat terlambat. Mutu penyalaan adalah salah satu sifat yang paling penting dari bahan bakar Diesel untuk dipergunakan dalam mesin kecepatan tinggi. Mutu penyalaan bahan bakar tidak hanya
6
7menentukan mudahnya penyalaan ketika mesin dalam keadaan dingin tetapi juga menentukan jenis pembakaran yang diperoleh dari bahan bakar. Bahan bakar dengan mutu penyalaan yang baik akan memberikan mutu operasi mesin yang lebih halus, tidak bising, terutama akan lebih terlihat pada tingkat beban kerja yang ringan. j. Bilangan Centana (Centane Number) Mutu penyalaan diukur dengan indeks yang disebut Cetana. Mesin Diesel memerlukan bilangan centana sekitar 50. Bilangan centana bahan bakar adalah persentase volume dari cetana dalam campuran cetana dengan alpha-methyl naphthslene. Centana mempunyai mutu penyalaan yang sangat baik dan alpha-methyl naphthslene mempunyai mutu penyalaan yang kurang baik. Bilangan cetana 48 berarti bahan bakar cetana dengan campuran yang terdiri atas 48% cetana dan 52% alpha-metyl naphthalene.
2.2 TANAMAN NYAMPLUNG Tanaman nyamplung (Gambar 1) dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti ‘bintangor’ di Malaysia, ‘hitaulo’ di Maluku, ‘nyamplung’ di Jawa, ‘bintangur’ di Sumatera, ‘poon’ di India, dan di Inggris dikenal dengan nama ‘Alexandrian lzaurel’, ‘tamanu’, ‘pannay tree’, serta ‘sweet scented calophyllum’ (Dweek dan Meadows, 2002). Taksonomi tanaman nyamplung menururt Hyene (1987) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Guttiferales Suku : Guttiferae Marga : Calophyllum Jenis : Calophyllum inophyllum L. Nama umum : Nyamplung
Gambar 2. Tanaman nyamplung Di Indonesia, nyamplung dapat ditemui hampir di seluruh daerah, terutama di daerah pesisir pantai, antara lain : Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Ujung kulon, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata Batu Karas, Pantai Carita Banten, Pulau Yapen Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak (wilayah Papua), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), dan Taman Nasional Berbak (Pantai Barat Sumatera). Luas areal tegakan tanaman nyamplung mencapai 528 ribu ha yang tersebar dari Sumatera sampai Papua (Balitbang Kehutanan, 2008). Daerah penyebaran nyamplung diantaranya adalah
7
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan NTT (Tabel 3). Tabel 3. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia Luasan Lahan Potensial Budidaya Nyamplung (ha) No.
Wilayah Bertegakan Nyamplung
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Irian Jaya Barat Papua Seluruh Wilayah
Tanah Kosong dan Belukar
Total
7 400 2 200
16 800 3 400
24 200 5 600
15 700
4 700
20 400
19 200 5 900 9 700 34 900 16 400 107 100
29 300 9 000 18 100 62 900 96 200 284 200 528.000
10 100 3 100 8 400 28 000 79 800 177 100 Total (Sumber : Balitbang Kehutanan, 2008)
Hutan nyamplung dikelola secara profesional oleh Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Selatan Jawa Tengah dengan luas mencapai 196 ha. Nyamplung juga dikembangkan oleh masyarakat Cilacap khususnya di sekitar kecamatan Patimuan dan daerah Gunung Selok kecamatan Kroya/Adipala. Mereka memanfaatkan kayu nyamplung untuk pembuatan perahu nelayan. Sejak tahun 2007, Dinas Kehutanan Perkebunan Kabupaten Cilacap telah menanam 135 ha di lahan TNI Angkatan Darat sepanjang pantai laut selatan, dan pada tahun 2008 direncanakan menanam tanaman nyamplung seluas 300 ha.
A
B
Gambar 3. Buah (A) dan biji (B) nyamplung Buah nyamplung (Gambar 3) memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak nyamplung, terutama biji yang sudah tua. Kandungan minyaknya mencapai 50-70% (basis kering) dan mempunyai daya kerja dua kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah.
8
Tabel 4. Kandungan biji nyamplung Kandungan Minyak
Nilai (%) 50-70
Abu
1,7
Protein kasar
6,2
Pati
0,34
Air
10,8
Hemiselulosa
19,4
Selulosa
6,1
(Sumber : Kilham, 2003)
2.3 MANFAAT NYAMPLUNG Tanaman nyamplung berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan September-November. Produktivitas biji keringnya tinggi, yaitu ± 10 ton dari jarak tanam 5 x 10 m. Kadar minyak yang dihasilkan dari biji nyamplung cukup tinggi, berkisar antara 50-70% dari kapasitas total minyak yang diekstrak. Selain itu cangkang bijinya dapat digunakan untuk membuat briket arang dan arang aktif. Selain minyak, kayu pohon nyamplung telah lama menjadi kayu komersial, terutama sebagai bahan baku pembuatan kapal, furniture, dan material pembuatan rumah, karena kayu ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap organisme penggerek kayu di laut serta rayap (Balitbang Kehutanan, 2008). Minyak nyamplung banyak mengandung resin dan senyawa lain yang dapat dijadikan produk samping seperti coumarine, calanolide-A dan calanolide-B yang berkhasiat sebagai obat HIV/AIDS, soulattrolide yang berperan sebagai anti HIV, calanon sebagai antitumor dan antibakteri, dan xanthone yang memiliki antiproliferasi yang kuat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker dan bersifat apoptosis atau mendukung penghancuran sel kanker (Hartati, 2001).
2.4 MINYAK NYAMPLUNG Minyak nyamplung merupakan minyak kental, berwarna coklat kehijauan, beraroma menyengat seperti karamel dan beracun. Minyak nyamplung dihasilkan dari buah yang telah matang dan mempunyai fungsi penyembuhan untuk jaringan terbakar (Kilham, 2003). Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen – komponen tak tersabunkan diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan kapelierat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Debaut et al. (2005), karakterisasi asam lemak penyusun minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan minyak nyamplung tergolong tinggi dibandingkan tanaman lainnya, seperti jarak pagar (40-60%) dan sawit (46-54%). Menurut Heyne (1987), minyak nyamplung digunakan sebagai obat oles dengan nama ndilo-olie. Minyak nyamplung di beberapa daerah digunakan untuk penerangan (Dweek dan Meadows, 2002).
9
Tabel 5. Karakteristik minyak nyamplung Karakterisasi Warna Kondisi cairan Bilangan Iod (mg Iod/ g minyak) Berat jenis pada suhu 20 oC (g/cm3) Indeks Refrasi Bilangan Peroksida (meq/kg) Fraksi lipid Jenis asam lemak (%) :
Komposisi Hijau Kental 100 – 115 0,920 – 0,940 1,4750 – 1,4820 < 20,0 98 – 99,5%
Asam Palmitat (C16 : 0)
15 – 17
Asam Palmitoleat (C16 : 1)
0,5 – 1
Asam Stearat (C18 : 0)
8 – 16
Asam Oleat (C18 : 1)
30 – 50
Asam Linoleat (C18 : 2)
25 – 40
Asam Arakhidat (C20 : 0)
0,5 – 1
Asam Gadoleat (C20 : 1)
0,5 – 1
Komponen tidak tersabunkan (unsaponifiable) : Fatty alkohol, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan kapelierat (Sumber : Debaut et al., 2005)
0,5 – 2%
2.5 PEMURNIAN MINYAK Pure Plant Oil (PPO) atau biofuel adalah minyak nabati yang telah melalui proses pemurnian seperti proses degumming (penghilang gum) dan netralisasi. Pada proses pembuatan PPO tidak diperlukan proses bleaching (pemucatan) dan deodorisasi (penghilang bau) (Prihandana et al., 2006).
2.5.1 Degumming Salah satu perlakuan yang umum dilakukan terhadap minyak yang akan dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (degumming). Tujuan proses degumming adalah untuk memisahkan minyak dari getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Kotoran-kotoran yang tersuspensi tersebut sukar dipisahkan bila berada dalam kondisi anhydrous, sehingga dapat diendapkan dengan cara hidrasi. Hidrasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap, penambahan air, atau dengan penambahan larutan asam lemah (Dijkstra dan Van Opstal, 1990). Proses degumming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat (H3PO4) untuk mengikat senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak. Kemudian senyawa tersebut dipisahkan berdasarkan pemisahan berat jenis yaitu senyawa fosfatida berada di bagian bawah dari minyak tersebut. Hasil dari degumming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna jernih. Proses degumming juga bertujuan untuk mengurangi pemakaian tanah pemucat (clay) atau campuran tanah pemucat dengan arang aktif pada proses pemucatan. Melalui tahapan ini
10
1.
2.
2.5.2
a.
upaya mengurangi senyawa fosfolipida dan sejumlah zat-zat pewarna lain akan dapat dicapai (Ketaren, 1986). Asam fosfat merupakan cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Asam fosfat lebih disukai penggunaannya oleh refiner minyak sawit di Malaysia karena biayanya yang lebih murah dan penanganannya lebih mudah (Morad et al., 2006). Penambahan asam fosfat sebelum netralisasi ke dalam minyak yang mengandung fosfatida yang bersifat nonhydratable umum dipraktekkan untuk menjamin bahwa semua gum telah hilang selama deasidifikasi. Hidrasi dilakukan untuk membuat fosfatida yang larut dalam minyak (tidak larut dalam air) menjadi tidak larut dalam minyak (larut air) dengan penambahan senyawa asam (Basiron, 2005). Menurut Dijkstra dan Van Opstal (1990) asam yang biasa digunakan adalah asam fosfat. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 7080oC setelah ditambahkan asam fosfat (H3PO4) 0,3-0,4% (b/b) dengan konsentrasi 20-60% (b/b). Sementara menurut Akoh dan Min (2002) sebelum netralisasi minyak diberi perlakuan dengan 0,02-0,5% asam fosfat pada suhu 60-90oC selama 15-30 menit, membuat fosfatida yang kurang larut dalam minyak menjadi lebih mudah dihilangkan. Proses pemisahan gum atau degumming menurut Ketaren (1986) perlu dilakukan sebelum proses netralisasi, dengan alasan : Sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. Netralisasi minyak yang masih mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi rendemen trigliserida. Menurut Basiron (2005) perlakuan pendahuluan pemurnian minyak diawali dengan degumming dengan asam fosfat. Konsentrasi asam fosfat yang digunakan adalah 80-85% dengan jumlah 0,05 – 0,2%, dipanaskan sampai 90-110oC dalam waktu 15-30 menit. Tujuan penambahan asam fosfat adalah untuk mengendapkan fosfatida yang bersifat nonhydratable menjadi hydratable sehingga dapat dipisahkan dari minyak melalui proses pencucian. Sedangkan menurut O`Brien (2004) asam yang biasanya digunakan adalah asam fosfat 85%, didispersikan dalam minyak pada suhu 80-100oC sebanyak 0,05-1,2% berat minyak.
Netralisasi Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara netralisasi dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa sehingga membentuk sabun (soapstock). Alkali yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH). Proses ini dikenal dengan istilah ”caustic deacidification” (Bhosle dan Subramanian, 2005). Basa yang dipilih untuk digunakan dalam percobaan ini adalah NaOH karena NaOH memiliki reaktifitas yang lebih baik (Yang, 2003). Di samping itu, secara ekonomis harganya lebih murah dan mudah didapat di Indonesia. (Paryanto, 2007). Netralisasi dengan Kaustik Soda Netralisasi melalui proses kimia dengan alkali, saat ini yang paling umum digunakan adalah dengan kaustik soda. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran seperti fosfatida dan protein dengan cara membentuk emulsi, dan dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi (Andersen, 1962). Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi, dan dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi. Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun
11
b.
secara mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan fosfatida, protein, resin, dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor dalam minyak yang berupa sterol, klorofil, vitamin E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi ini (Ketaren, 1986). Efisiensi netralisasi dinyatakan dalam Refining Factor (RF), yaitu Kehilangan total (%) Refining Factor (RF) = Kadar asam lemak bebas dalam minyak (%) Makin kecil nilai RF, maka efisiensi netralisasi makin tinggi. Pemakaian kaustik soda dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan bereaksi sebagian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih konsentrasi dan jumlah kaustik soda yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih konsentrasi larutan alkali yang digunakan dalam netralisasi, antara lain kadar asam lemak bebas dari minyak kasar. Makin besar jumlah asam lemak bebas, maka makin besar pula konsentrasi alkali yang digunakan. Selain itu jumlah minyak netral (trigliserida) yang tersabunkan diusahakan serendah mungkin dengan menggunakan larutan alkali secara tepat, karena makin besar konsentrasi larutan alkali yang digunakan, maka kemungkinan sebagian trigliserida yang tersabunkan semakin besar pula sehingga angka RF bartambah besar. Namun semakin encer larutan kaustik soda, semakin besar tendensi larutan sabun untuk membentuk emulsi dengan trigliserida yang menyebabkan kehilangan minyak juga semakin tinggi. Begitupun suhu netralisasi yang dipilih sedemikian rupa, sehingga sabun yang terbentuk dalam minyak dapat mengendap dengan kompak dan cepat. Karena pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak (sebagian minyak diserap oleh sabun) (Ketaren, 1986). Tahap Netralisasi Minyak dimasukkan ke dalam tangki kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 70oC dan dicampur dengan kaustik soda (konsentrasinya tergantung kadar asam lemak bebas dalam minyak mentah) pada suhu 70-80oC selama 10-15 menit. Selanjutnya campuran disentrifugasi untuk memisahkan sabun kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa sabun (Ayorinde et al., 1995). Penambahan alkali dengan jumlah berlebih (excess) bertujuan untuk mengurangi kesalahan perhitungan kebutuhan alkali, sehingga penambahan alkali (kaustik soda) pada netralisasi lebih tepat dan sesuai. Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah dengan kadar asam lemak bebas < 5%, lebih baik dinetralkan dengan alkali encer (konsentrasi lebih kecil dari 0,15 N atau 5 oBe), sedangkan asam lemak bebas dengan kadar asam lemak bebas tinggi, lebih baik dinetralkan dengan larutan alkali 10-24oBe (Basiron, 2005). Suhu dan waktu yang digunakan dalam proses netralisasi minyak harus dipertimbangkan dengan baik dan dipilih sedemikian rupa sehingga sabun yang terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat. Proses pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak, sebab sebagian minyak akan diserap oleh sabun. Suhu proses yang tinggi serta waktu proses yang lama dapat merusak pigmen alami minyak (Ketaren, 2005). Pengadukan dilakukan dengan menggunakan agitator, yang dilengkapi
12
dengan lengan penyapu yang masing-masing terdiri dari paddle. Alat ini berfungsi untuk Vmendorong cairan ke arah atas selama pengadukan. Kecepatan pengadukan yang digunakan pada agitator sebesar 8-10 rpm sampai dengan 30-35 rpm. Pemecahan emulsi dapat terjadi pada suhu sekitar 60oC dan sabun terpisah dari minyak jernih dengan membentuk flokulan kecil (O`Brien, 2004). Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH dapat dilihat pada Gambar 4.
O
R – C – OH
O
+
NaOH
R – C – ONa
+
H2O
Asam LemakGambar Bebas 4. Reaksi Basa netralisasi asam Sabunlemak bebas Air
Kotoran yang terpisah pada proses netralisasi adalah asam lemak bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan hasil samping oksidasi (Hendrix, 1990). Netralisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara kering dan cara basah. Cara kering dilakukan dengan mereaksikan basa tanpa pencucian. Sedangkan cara basah dilakukan pada suhu 60-65 oC, dengan larutan basa encer dan dilanjutkan dengan pencucian. Jumlah NaOH yang digunakan merupakan jumlah stoikhiometri ditambah ekses sebanyak 0,1 - 0,5% tergantung pada minyak yang akan dinetralkan (Bernardini, 1983). Menurut Sonntag (1982), untuk minyak nabati dan lemak hewan dengan kandungan gum dan pigmen rendah dapat digunakan ekses 0,1 – 0,2% b/b minyak. Satuan konsentrasi NaOH dalam larutan adalah derajat Baume (oBe).
2.6 VISKOSITAS Viskositas atau kekentalan adalah ukuran tahanan alir dari suatu cairan. Viskositas menjadi pertimbangan penting untuk bahan bakar (minyak). Berdasarkan pengujian, nilai kekentalan berkisar antara 43,5 – 29 centipoise. Dengan pemurnian, mampu menurunkan kekentalan minyak awal yang sebesar 63 menjadi 43,5 – 29 centipoise. (Fathiyah. 2010) Hal ini dikarenakan zat – zat pengotor serta senyawa polimer hasil dari kerusakan minyak telah dihilangkan. Menurut Ketaren (1986) tingginya kekentalan minyak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan senyawa – senyawa polimer didalam minyak. Senyawa ini terbentuk dari proses pemanasan pada suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya polimerisasi thermal, maupun polimerisasi oksidasi yang akan menghasilkan senyawa dengan bobot molekul yang tinggi dan cenderung memiliki viskositas yang tinggi. Selain itu didalam minyak nyamplung ini terdapat senyawa resin yang mempengaruhi kekentalan minyak.
2.7 PINDAH PANAS (HEAT TRANSFER) Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari suatu daerah ke daerah lainya sebagai akibat dari perbedaan suhu antara daerah-daerah tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.
13
2.7.1
Konduksi
Jika pada suatu benda terdapat gradien suhu, maka akan terjadi perpindahan energi dari bagian bersuhu tinggi ke bagian bersuhu rendah. Konduksi adalah cara perpindahan panas melalui suatu zat, dimana molekul-molekul zat tersebut tidak ikut berpindah. Karena molekulmolekul zat yang dilewati energi panas secara konduksi tidak ikut berpindah, maka perpindahan energi panas secara konduksi hanya terjadi pada zat padat. Besarnya energi panas per satuan waktu yang melewati penampang benda yang dilewatinya disebut laju aliran panas (Kreith, 1973; Kamil; 1983). Laju aliran panas dapat diketahui melalui persamaan berikut: Q = kA (T1-T2) / L
(1)
= Laju aliran panas (Watt) = Konduktivitas termal bahan (W/moC) = Luas penampang bahan, diukur tegak lurus terhadap arah aliran panas (m2) T1-T2 = Perbedaan Suhu (oC) L = Panjang bahan (m)
Dimana :
Q K A
Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa laju aliran panas bertambah apabila nilai konduktivitas suhu, luas penampang, angka konduktivitas termal bahan bertambah dan panjang bahan berkurang. Nilai konduktivitas termal menunjukan tingkat kemudahn suatu bahan dilewati oleh energi panas. Bila nilai konduktivitas termal besar, bahan tersebut semakin mudah dilewati oleh panas. Nilai konduktivitas termal juga dipengaruhi oleh suhu (Kamil, 1983).
2.7.2
Konveksi
Konveksi adalah perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan masaa atau molekul zat yang dipanaskan. Umumnya konveksi hanya terjadi pada zat cair ataupun gas (fluida). Bila perpindahan massa fluida disebabkan oleh perbedaan berat jenis fluida karena adanya perbedaan suhu, maka perpindahan panas ini dapat disebut konveksi alami. Namun bila perpindahan massa fluida terjadi karena bantuan suatu alat seperti kipas, blower, kompresor, ataupun pompa, maka perpindahan panas ini dinamakan konveksi paksa (Kamil, 1983). Besarnya laju aliran panas konveksi dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Q = h A (T1-T2) Dimana :
Q H A T1-T2
(2)
= Lajuran aliran panas (Watt) = Koefisien pindah panas konveksi (W/moC) = Luas permukaan perpindahan panas konveksi (m2) = Perbedaan suhu antara permukaan yang dipanasi dengan suhu fluida di lokasi yang ditentukan, umumnya jauh dari permukaan ( oC)
14
Nilai koefisien pindah panas konveksi selalu berbeda untuk setiap titik pada fluida, namun biasanya digunakan nilai konveksi pindah panas rata-rata untuk mempermudah perhitungan. Karena perpindahan panas secara konveksi juga menyangkut gerakan massa fluida, maka konveksi tidak hanya tergantung pada sifat zatnya saja, namun juga tergantung pada sifatsifat aliran fluida (Kamil, 1983).
2.7.3
Radiasi
Berbeda dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi, dimana perpindahan panas terjadi melalui perantara, perpindahan panas secara radiasi sama sekali tidak memerlukan zat perantara. Sifat-sifat perpindahan panas secara radiasi sama dengan sifat-sifat gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh adalah perpindahan panas dari matahari ke bumi (Kamil, 1983). Besarnya laju airan panas radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: Q = Є σ A T4 Dimana: Q Є Σ A T
(3)
= laju aliran panas (Watt) = Angka emisi permukaan yang meradiasikan panas dan merupakan ukuran kemampuan meradiasikan energi panas = Angka tetapan Stefan-Boltzman (5.67x10-8W/m2K4) = Luas Permukaan (m2) = Suhu Permukaan yang bersangkutan (oC)
2.8 ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) Heat Exchanger adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan energi panas dari suatu fluida ke fluida lainnya. Pada dasarnya alat penukar panas dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu regenerator, alat penukar panas terbuka, dan alat penukar panas tertutup (Kamil, 1983). Regenerator adalah alat penukar panas dimana terdapat salah satu bagian dari alat tersebut yang berada dalam arus fluida pemanas dan fluida yang dipanaskan. Pada waktu bagian alat tersebut berada dalam arus fluida pemanas, bagian alat tersebut menyerap energi panas dan melepaskannya sewaktu berada dalam arus fluida yang dipanaskan. Jenis alat penukar panas terbuka merupakan jenis yang paling sederhana. Alat ini memiliki sebuah wadah dimana fluida yang memiliki suhu lebih tinggi dan fluida yang memiliki suhu lebih rendah dicampur secara langsung. Dalam sistem demikian kedua fluida akan mencapai suhu akhir yang sama yang disebut suhu kesetimbangan sehingga jumlah panas yang berpindah dapat ditentukan dari jumlah panas yang hilang dan jumlah panas yang diterima oleh fluida-fluida tersebut (Kreith, 1973). Alat penukar panas yang umum digunakan adalah alat penukar panas tertutup, dimana suatu fluida terpisah dari fluida lainnya dipisahkan oleh suatu dinding atau sekat yang dilalui oleh panas. Heat Exchanger jenis ini disebut rekuperator (recuperator) (Holman, 1993). Berdasarkan konstruksinya, alat penukar panas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tipe selubung dengan pipa (Shell and tube Heat Exchanger) dan tipe plat (plat Heat Exchanger). Dari kedua tipe ini, alat penukar panas dapat digolongkan lagi berdasarkan arah alirannya. Ketiga jenis aliran tersebut adalah aliran searah (parallel flow), aliran berlawanan (counter flow), dan aliran melintang (cross flow) (Cengel, 2003).
15
Menurut Cengel (2003), dalam analisis pindah panas elemen pemanas, ada beberapa kondisi yang diasumsikan dan selalu dianggap seragam sepanjang waktu, yaitu: 1. Elemen pemanas beroperasi dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada perubahan kondisi fisik. 2. Laju aliran massa kedua fluida selalu konstan. 3. Tidak ada perubahan dari sifat-sifat fluida. 4. Permukaan luar elemen pemanas terinsulasi sempurna. Untuk memudahkan perhitungan, kondisi sebuah sistem biasanya dianggap ideal, namun karena hal itu nilai keakuratan dalam analisis sederhana elemen pemanas menjadi berkurang. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, hukum termodinamika pertama dapat diterapkan dalam perhitungan ini: Q = m C (Tout-Tin) Dimana:
Q m C T
(4)
= Laju pindah panas (Watt) = Laju aliran massa (kg/s) = Panas jenis (kJ/kg °C) = Suhu (°C)
Menurut Cengel (2003), laju pindah panas dalam elemen pemanas dapat mengacu pada hukum pendinginan Newton (Newton’s law of cooling): Q = U A ∆Tm Dimana:
Q U A ΔTm
(5)
= Laju pindah panas (Watt) = Koefisien pindah panas keseluruhan = Luas area pindah panas (mm2) = Perbedaan suhu rata-rata antara kedua fluida (°C)
Besarnya suhu antara kedua fluida bervariasi sepanjang elemen pemanas, maka untuk analisis pindah panas ini digunakan perbedaan suhu rata-rata logaritmik (Logarithmic Mean Temperature Difference) atau LMTD (ΔTlm).
(6)
Dimana:
ΔT1 = Tin (gas buang) – Tout (minyak nyamplung) ΔT2 = Tout (gas buang) – Tin (minyak nyamplung)
16
2.9 DESAIN (PERANCANGAN) Menurut Harsokoesoemo (1999) perancangan adalah kegiatan awal dari usaha merealisasikan suatu produk yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat untuk meringankan hidupnya. Perancangan terdiri dari serangkaian kegiatan berurutan, oleh karena itu perancangan kemudian disebut sebagai proses yang mencakup seluruh kegiatan yang terdapat dalam proses perancangan tersebut. Menurut Harsokoesoemo (1999), proses perancangan di anggap dimulai dari dengan diidentifikasinya kebutuhan produk yang diperlukan masyarakat. Berawal dari diidentifikasikannya kebutuhan produk tersebut maka proses perancangan berlangsung. Kegiatan-kegiatan dalam proses perancangan disebut fase. Salah satu deskripsi proses perancangan adalah deskripsi yang menyebutkan bahwa proses perancangan terdiri dari fase-fase seperti terlihat pada gambar di bawah ini. . Kebutuhan Analisis masalah, spesifikasi produk, dan perancangan proyek Perancangan konsep produk
Perancangan Produk
Evaluasi produk hasil rancangan
Dokumen untuk pembuatan produk
Gambar 5. Diagram alir proses perancangan (Harsokoesoemo, 1999)
17