II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT (EMERGENCY FOOD PRODUCT) Pangan darurat (Emergency Food Product/EFP) merupakan bentuk pangan yang dikonsumsi saat terjadi bencana, seperti kebakaran, banjir, kekeringan, wabah penyakit, maupun bencana akibat kesalahan manusia, seperti dalam kecelakaan industri. Pangan darurat (EFP) diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian yang direkomendasikan sebesar 2100 kkal. Pangan darurat harus dapat memenuhi kebutuhan gizi dari segala usia di atas 6 bulan, dapat digunakan sebagai sumber penghidupan hingga 15 hari, dapat diterima dari berbagai etnis dan budaya, serta dari berbagai latar belakang agama, mudah dikonsumsi tanpa persiapan khusus, minimal stabil hingga 3 tahun, dan penyalurannya dapat dilakukan baik dari pengiriman darat atau udara (IOM 2002). Pangan darurat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu produk pangan yang dirancang untuk kondisi, dimana air bersih dan bahan bakar untuk memasak masih tersedia, serta produk pangan yang dirancang untuk menghadapi situasi dimana air bersih tidak tersedia serta tidak bisa memasak. Pangan darurat untuk korban bencana, terutama yang bersifat siap santap, sampai saat ini belum dikembangkan di Indonesia tetapi sudah banyak berkembang untuk kepentingan tentara di lapangan (Syamsir 2008). Terdapat lima karakteristik kritis keberhasilan dalam mengembangkan pangan darurat, yaitu; 1) Aman, 2) Memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen (penampakan, warna, rasa, aroma), 3) Mudah didistribusikan, 4) Mudah digunakan, dan 5) Gizi lengkap, Zoumas et al. (2002) menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat selama pengungsian, yaitu: 1. Konsumsi pangan darurat bagi wanita hamil sedang menyusui, diasumsikan lebih dari 2100 kkal untuk mendukung kebutuhan energi selama mengandung dan menyusui. 2. Pangan darurat tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan energi atau gizi bagi orang yang sedang hamil tetapi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi wanita normal. 3. Pangan darurat tidak didesain untuk individu yang mengalami penyakit gizi buruk yang membutuhkan perlakuan medis khusus. 4. Pangan darurat bukan Therapeutic Nutritional Supplement. 5. Pangan darurat bukan merupakan makanan substitusi untuk anak menyusui yang berusia dari 0-6 bulan. 6. Pangan darurat bukan dirancang untuk memenuhi seluruh kebutuhan dari young infants (0-6 bulan), tetapi pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air untuk menghasilkan nasi sebagai makanan pelengkap bagi older infants (7-12 bulan). Pangan darurat memiliki karakteristik energi yaitu mengandung lemak 35-45% per 2100 kkal, dengan kadar air yang rendah. Minimal energi dari pangan darurat per 50 gram harus 233 kkal (McMahon et al. 2009). Komposisi lemak untuk pangan darurat harus didefinisikan secara rinci yaitu: total lemak harus menyumbang kalori pada interval 35-45% dari total energi, energi dari lemak jenuh paling sedikit harus 10% dari total energi, energi dari total PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) harus 7-10% dari total energi, dan perbandingan antara asam linoleat dengan linolenat harus 5:1 (McMahon et al. 2009). Standar gizi pangan darurat
4
yang dipakai merujuk pada Institute of Medicine (IOM) yaitu sebesar 2100 kkal dengan komponen makronutrien dan mikronutrien seperti terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi produk pangan darurat Zat gizi
Rentang Usia
Jumlah Minimum Densitas Gizi per 1000 kkal a
Lemak
-
-
Protein b
-
-
-
-
Karbohidrat c
Natrium
2-5 tahun, anak-anak
1.3 gram
2-5 tahun, anak-anak
1.7 gram
2-5 tahun, anak-anak
2.0 gram
Kalsium
9-13 tahun, anak-anak
768 mg
Fosfor
9-13 tahun, anak-anak
740 mg
Magnesium
14-18 tahun, laki-laki
190 mg
Kromium
-
13 µg d
Tembaga
51 tahun ke atas, perempuan
560 µg d
Iodine
1-3 tahun, anak-anak
105 µg d
Mangan
1-3 tahun, anak-anak
1.4 mg
19-50 tahun, perempuan
16 mg d
Selenium
14-18 tahun, perempuan
28 µg d
Seng
14-18 tahun, laki-laki
10.5 mg d
Vitamin A
14-18 tahun, laki-laki
500 µg d
Vitamin D
51-70 tahun, perempuan
5.2 µg d
Vitamin E
14-18 tahun, perempuan
16 mg d
Vitamin K
19-50 tahun, laki-laki
Vitamin C
51 tahun ke atas, laki-laki
100 mg d
Thiamin
1-3 tahun, anak-anak
12 mg d
Riboflavin
14-18 tahun, laki-laki
1.2 mg d
Niasin
14-18 tahun, laki-laki
11.2 mg d
Vitamin B6
51 tahun ke atas, perempuan
1.2 mg d
Folat
14-18 tahun, perempuan
310 µg d
Vitamin B12
14-18 tahun, perempuan
12 µg d
As Pantotenat
14-18 tahun, perempuan
3.9 mg d
Biotin
51 tahun ke atas, perempuan
24 µg d
Kolin
51 tahun ke atas, laki-laki
Kalium c
Klor
Besi
c
e
60 µg
366 mg d
a
rasio yang dibuat pada jumlah energi 2100 kkal/hari (IOM 1995) berdasarkan berat IOM (1995), nilai berdasarkan desirable intake d,e diadopsi dari nilai densitas gizi, berdasarkan nilai bioavailabilitas dari besi b,c
5
Kebutuhan energi lainnnya akan dipenuhi dari protein dan karbohidrat. Saat proses pembuatan pangan darurat tidak boleh dilakukan suplementasi asam amino, karena dapat mengakibatkan perubahan rasa, meningkatkan biaya produksi, dan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah akibat salah perhitungan premixing, karena kadar protein di dalam pangan darurat 10%-15% dari total keseluruhan sumber energi (Briend & Golden 1993). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama pada produk pangan darurat selain lemak dan protein. Karbohidrat memiliki beberapa fungsi dalam penyusunan pangan darurat, yaitu sebagai sumber energi, memberi rasa manis, menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan pada produk, dan juga berperan dalam penyerapan natrium (Na) untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit tubuh. Konsumsi pangan darurat yang diatur oleh Institut Medis didasarkan pada perhitungan kebutuhan energi rata-rata per kepala untuk pangan darurat (IOM 1995). IOM mendeskripsikan kebutuhan energi sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan rasio metabolisme basal (BMR). Perhitungan kebutuhan gizi ini dibuat berdasarkan penelitian pada warga Amerika Serikat (IOM 1995).
B. RETORT POUCH (RP) Teknologi retort yaitu teknologi pemasakan dengan menggunakan uap atau air superheated untuk pemasakan pangan yang telah terlebih dulu dikemas, banyak digunakan untuk menyiapkan Meal Raeady to Eat (MRE). Teknologi ini dapat digunakan untuk mengolah dan mengawetkan aneka produk pangan, bahkan campuran aneka pangan dalam suatu menu jika diperlukan. Dengan sedikit imajinasi, teknologi retort bisa digunakan untuk menghasilkan MRE dengan mudah. Retort pouch (RP) merupakan kemasan yang bersifat fleksibel dan tahan suhu sterilisasi. RP ini umumnya terdiri dari tiga lapisan, lapisan bagian luar yaitu Poliester trephtalat yang dapat dicetak untuk menghasilkan tampilan yang lebih menarik dan mempunyai daya simpan mirip kemasan lain (gelas jar dan kaleng). Alumunium pada bagian tengah RP, yang mempunyai daya penahan terhadap cahaya, gas dan air, oksigen serta mikroorganisme sehingga dapat menentukan kestabilan bahan pangan. Bagian terdalam yang terdiri dari modified propilen mempunyai kemampuan kelim yang baik, bersifat adhesif terhadap lapisan diatasnya dan bersifat inert (Blakiestone 2003). Keunggulan dari kemasan RP ini antara lain lebih praktis dibandingkan kaleng dan gelas jar, mudah dibuka, menghemat ruang penyimpanan, serta mudah didistribusikan terutama pada kondisi darurat. Selain itu, produk yang dikemas relatif tidak mengalami overcooked dan nilai gizi produk relatif sedikit pengurangannya (Brody 2003). Kemasan ini relatif tipis sehingga proses sterilisasinya hanya sekitar 30-50% dari kebutuhan total untuk produk dalam kaleng (Sampurno 2009). Pada pengisisan produk, harus diperhatikan proses pengemasan produk dalam RP. Pengisian jumlah bahan kedalam kemasan harus seragam untuk mempertahankan keseragaman rongga udara (headspace) dan memperoleh produk yang konsisten (USDA 2011). Penghampaan udara dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam kemasan selama pemanasan. Kondisi vakum diperoleh secara manual dengan pengisisan produk kedalam kemasan dengan suhu awal yang tinggi dan segera dikelim pada headspace tertentu (USDA 2011). Headspace kemasan RP harus diperhitungkan dengan baik karena RP merupakan kemasan yang fleksibel. Headspace yang kecil akan menyebabkan pecahnya kemasan karena selama proses sterilisasi tekanan kemasan akan mengembang (Blakiestone 2003).
6
Winarno (2006) selanjutnya menyebutkan keunggulan lain dari retort pouch, yaitu sangat efektif dalam melindungi bahan pangan dari penetrasi gas maupun masuknya sinar ultraviolet. Kemasan ini dapat digunakan untuk mengemas bahan pangan yang mengandung lemak dan minyak. Untuk sayuran umumnya digunakan retort pouch yang tidak dilaminasi alumunium foil, baik dua lapis maupun tiga lapis plastik dengan umur simpan sampai 6 bulan (suhu diatas 400C), 3 tahun pada suhu ruang, dan sampai 5 tahun pada lemari pendingin (Sampurno 2009). Kemasan retort pouch dapat dibuat dalam bentuk tembus pandang yang biasanya terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan nilon dan polipropilen (Winarno 2006). Kemasan retort pouch dan salah satu model retort pouch chamber ditampilkan pada Gambar 1.
Sumber: www.packworld.com
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Kemasan retort pouch dan (b) Alat retort pouch chamber
C. PENGALENGAN PANGAN DAN STERILISASI KOMERSIAL PADA RETORT POUCH Teknologi pengalengan (canning) merupakan salah satu metode pengawetan pangan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pengawetan terjadi disebabkan adanya pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas. Pemanasan basah (uap) lebih efektif dibandingkan pemansan kering (Kim & Foegeding 1999). Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch, tetrapack®, kaleng alumunium, glass jar, kemasan plastik, dan sebagainya. Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak dapat dimasuki udara, uap air, ataupun mikroba (Hariyadi et al. 2006). Istilah sterilisasi komersial digunakan pada proses sterilisasi produk pangan karena kondisi steril absolut (kondisi bebas mikroba) sulit dicapai (Hariyadi 2000). Sterilisasi komersial merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme yang hidup. Pemanasan dalam proses sterilisasi ini dilakukan pada suhu di atas 100oC dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Hariyadi et al. 2006).
7
Sterilisasi komersial biasa dilakukan terhadap sebagian besar makanan dalam kaleng, plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksik) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Spora bakteri nonpatogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi et al. 2006). Tabel 2. Ketahanan panas beberapa bakteri (Hariyadi et al. 2006) Katahanan Panas
Golongan Bakteri
D (menit) Bahan Pangan Asam Rendah (pH>4.5)
Z (0F)
D121.10C
Termofilik (spora) Golongan flat sour (B. sterarothermophilus)
4.00 – 5.00
14 - 22
Golongan pembusuk/produksi gas (C. Thermosaccharolitycum)
3.00 – 4.00
16 – 22
Golongan pembentuk H2S (C. nigrificans)
2.00 – 3.00
16 – 22
Putrefaktif anaerob (C. sporongenes)
0.10 – 1.50
14 – 18
C. botulinum
0.10 – 0.21
14 – 18
C. sporogenes
1.50
11
0.40
7
Mesofilik
B. subtilis Bahan Pangan Asam (pH = 4.0 – 4.5)
D1000C
Termofilik (spora) 0.01 – 0.07
14 – 18
B. polymixa dan B. macerans
0.10 – 0.50
12 – 16
C. pasteurianum
0.10 – 0.50
12 – 16
B. coagulans Mesofilik
Bahan Pangan Asam Tinggi (pH < 4.0) Lactobacillus sp. Leuconostoc sp Mycobacterium tuberculosis Brucella spp. Coxiella burnetti Salmonella spp. Salmonella seftenberg Stapylococcus aureus Streptococcus pyrogenes Mikroorganisme pembusuk (sel vegetatif. kapang. khamir)
0
D65
C
0.50 – 1.00
8 - 10
0.20 – 0.30 0.10 – 0.20 0.50 – 0.60 0.03 – 0.25 0.80 – 1.00 0.20 – 2.00 0.30 – 2.00 0.50 – 3.00
4.4 – 5.5 4.4 – 4.5 4.4 – 5.5 4.4 – 5.5 4.4 – 6.7 4.4 – 6.7 4.4 – 6.7 4.4 – 6.7
Makanan-makanan yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, atara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan
8
wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi (Fellows 2000). Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai Z. Nilai D adalah waktu (menit) yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai Z adalah selang suhu (0F) terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan 90% organisme atau spora atau pembinasaan seluruhnya (Singh & Heldman 2009). Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 65oC. Nilai Z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan khamir berkisar 5-8oC, dan nilai Z untuk bakteri pembentuk spora adalah berkisar 6-16oC (Garbutt 1997). Pada suhu 121oC, nilai D bakteri pembentuk spora, kapang, dan khamir berkisar antara 0-5 menit (Kusnandar et al. 2006). Nilai D dan nilai Z beberapa jenis mikroba yang umum tumbuh pada produk pangan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2 .
D. KECUKUPAN PROSES TERMAL 1. Penetrasi Panas Penetrasi panas kedalam bahan pangan yang dikemas dapat berlangsung secara konduksi, konveksi, dan gabungan antara konduksi dan konveksi. Ketika bahan pangan tersebut ditempatkan dalam retort maka pindah panas akan terjadi secara konduksi ke dalam kemasan, kemudian dari kemasan ke bahan yang dikalengkan pindah panas terjadi secara konduksi atau konveksi tergantung jenis bahan pangannya. Untuk makanan yang berbentuk jus, penetrasi panas terjadi secara konveksi cepat; produk yang berbentuk irisan-irisan kecil dalam larutan perendam, penetrasi panas terjadi secara konveksi lambat; sedangkan produk yang berbentuk padat penetrasi terjadi secara konduksi (Hariyadi et al. 2006). Pemanasan konduksi makanan dalam kemasan retort pouch memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai kondisi proses yang diinginkan dibandingkan jika dikemas dalam kaleng atau gelas jar (Christianini & Massaguer 2002). Pengukuran penetrasi makanan dalam makanan kaleng dapat dilakukan dengan menggunakan termokopel. Termokopel terbentuk bila dua kawat logam yang berbeda disambung menjadi satu pada ujung-ujungnya. Bila ujung-ujung kawat ditempatkan pada suhu yang berbeda, maka akan timbul suatu tegangan terukur yang besarnya sebanding dengan perbedaan suhu antara kedua ujung atau simpul termokopel. Dengan merangkainya pada suatu alat pengukur yang sesuai (potensiometer) pada termokopel, dan perubahan suhu di dalam kemasan yang dipanaskan di dalam retort dicatat pada rekorder (Winarno 2006). Semua titik di dalam suatu kemasan yang dipanaskan tidak berada pada suhu yang sama. Daerah pemanasan yang terdingin disebut titik dingin suatu kemasan, dan merupakan posisi yang sukar untuk disterilisasi sebab kurang mendapat pemanasan. Pada produk-produk yang penetrasi panasnya secara konveksi, titik terdingin terletak pada sumbu vertikal di dekat dasar kemasan. Produk yang penetrasi panasnya secara konduksi mempunyai titik terdingin terletak dibagian pusat kemasan pada sumbu vertikal (Hariyadi et al. 2006).
9
2.
Perhitungan Kecukupan Panas Proses Kecukupan proses termal sangat bergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas yang digunakan (Fellows 2000). Laju penurunan jumlah mikroba oleh panas hingga level yang aman mengikuti orde satu atau menurun secara logaritmik. Secara matematis. penurunan jumlah mikroba atau siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: S = Log [No/Nt] dimana Nt adalah jumlah populasi mikroba setalah proses termal t menit dan No adalah jumlah mikroba awal sebelum proses termal dilakukan. Menurut Toledo (2007), pemusnahan semua flora dan sel vegetatif dari C. botulinum merupakan persyaratan keamanan minimum untuk pangan berasam rendah yang dikalengkan. Proses sterilisasi minimun yang harus dilakukan untuk menjamin pemusnahan C. botulinum menggunakan konsep 12D. Arti dari konsep 12D adalah proses termal yang dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus logaritma atau F = 12D (Hariyadi et al. 2006). Kecukupan proses termal untuk membunuh mikroba target hingga pada level yang diinginkan dinyatakan dengan nilai Fo. Secara umum nilai Fo didefinisikan sebagai waktu (biasanya dalam menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu. Nilai Fo biasanya menyatakan waktu proses pada suhu standar. Secara matematis, nilai Fo merupakan hasil perkalian antara Do pada suhu standar dengan jumlah logaritmik (S) yang diinginkan dalam proses. Nilai Do harus dinyatakan juga pada suhu standar yang sama. Data hasil pengukuran penetrasi panas perlu diolah dengan tujuan menentukan nilai sterilitas (Fo) dari proses yang dilakukan. Menurut Winarno (2006), ada dua metode untuk menganalisis data penetrasi panas, yaitu metode umum (improved general method) dan metode formula (Ball). Dengan membandingkan nilai Fo pada desain proses termal yang dilakukan dengan nilai Fo pada suhu standar, maka dapat ditentukan apakah proses termal yang diterapkan sudah memenuhi kecukupan proses panas atau belum. Apabila nilai Fo proses yang diperoleh dari hasil pengukuran penetrasi panas lebih besar dari nilai Fo standar maka proses termal yang dilakukan telah mencukupi. Sedangkan apabila nilai Fo proses kurang dari Fo standar, proses termal belum mencukupi (underprocess) (Hariyadi et al. 2006). Metode umum biasanya digunakan untuk evaluasi proses panas yang telah dilakukan. Menurut Toledo (2007), letalitas proses ditentukan dengan integral nilai letalitas (L) menggunakan data suhu terhadap waktu proses, yang dirumuskan sebagai berikut: Fo = ∫ Efek letalitas dari proses pemanasan bahan selama proses termal akan berbeda pada suhu yang berbeda. Pada kenyataanya, dalam proses termal suhu akan berubah selama waktu pemanasan maupun pendinginan dan masing-masing suhu tersebut
10
berkontribusi dalam pembunuhan mikroorganisme. Efek letalitas pada suhu tertentu dibandingkan suhu standar disebut nilai LR (Lethal Rate) atau LV (Lethal Value). Nilai LR suatu proses sterilisasi dapat dihitung dengan mengonversi waktu proses pada suhusuhu tertentu ke waktu ekivalen pada suhu standar. Secara matematis, nilai LR dihitung dengan persamaan berikut: LR = 10 [(T – 250)/Z] atau LR = 10 [(T – 121.1)/Z] LR tidak memiliki satuan. Nilai LR pada suhu standar (250 0F) adalah 1. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu standar, maka nilai LR lebih besar dari satu, sedangkan pada suhu dibawah suhu standar, nilai LR lebih kecil dari satu. Nilai letalitas umumnya memberikan nilai yang nyata pada suhu diatas 900C. Menurut Hariyadi et al. (2006), untuk menghitung nilai F pada suhu lain (bukan suhu standar) dapat digunakan rumus sebagai berikut: FT = Fo/LRT Sedangkan untuk metode formula (Ball) didasarkan pada tabulasi nilai untuk letalitas yang diekspresikan dalam parameter fh/U (Toledo 2007). Nilai ini sudah dikalkulasikan sebelumnya untuk berbagai macam kondisi pemanasan dan pendinginan saat perbedaan suhu proses aktual dengan suhu yang ingin dicapai diekspresikan sebagai nilai g. Persamaan kurva penetrasi panas untuk metode formula adalah sebagai berikut: tB = fh (log jh.ih – log g) tP = tB – 0.42 CUT Keterangan: tB
=
fh
=
Jh Ih g
= = =
tP
=
CUT
=
waktu proses yang belum dikoreksi dengan waktu untuk memanaskan retort sampai mencapai suhu proses (menit) waktu yang diperlukan bagian garis lurus kurva semilogaritma pemanasan untuk bergerak sebanyak satu siklus log (menit) faktor kelambatan (lag factor) perbedaan suhu retort dengan suhu awal bahan (0F) perbedaan antara suhu retort dengan suhu maksimum yang dicapai bahan pangan dalam kemasan pada titik tertentu (0F) waktu operator yang telah dikoreksi dengan waktu untuk memanaskan retort sampai mencapai suhu proses (menit) Come up time yaitu waktu yang diperlukan sejak medium pemanas dialirkan sampai retort mencapai suhu retort yang diinginkan (menit)
E. BURAS SEBAGAI PANGAN TRADISIONAL Pangan tradisional adalah makanan atau minuman, termasuk jajanan serta bahan campuran yang dikonsumsi dan digunakan secara tradisional serta telah berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia (Widowati 2004). Biasanya pangan tradisional
11
diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat setempat dengan bahan yang diperoleh dari sumber lokal dan memiliki citarasa yang sesuai dengan masyarakat setempat (Widowati 2004). Salah satu makanan tradisional yang dikenal masyarakat dan masih dipertahankan keberadaanya hingga saat ini adalah buras. Buras merupakan pangan tradisional yang terbuat dari beras non ketan dengan atau tanpa isi. Isi yang digunakan biasanya berupa oncom, orek tempe, sayur, maupun daging. Di provinsi Sulawesi Selatan, buras dikenal sebagai makanan yang terbuat dari beras dan santan yang kemudian dibungkus daun pisang atau kelapa (janur) serta biasanya tanpa isi. Cara pengolahannya yaitu dengan pengukusan dan disajikan dengan sambal poyah. Sedangkan di Jawa Tengah (Jawa), makanan sejenis buras lebih dikenal dengan nama „Arem-arem‟. Berbeda dengan buras, arem-arem memiliki memiliki isi. Di Jawa Barat (Sunda), makanan tradisional serupa lebih dikenal dengan nama buras meskipun memiliki isi (Anonim 2010). Selain itu, juga dikenal „Doclang‟ yakni makanan khas tradisional Bogor yang masih bertahan sejak zaman dulu hingga saat ini. Isi dari doclang yakni terdiri atas irisan lontong ukuran besar yang dibungkus daun patat, kentang, tahu, kerupuk, dan telur rebus. Berbagai bahan ini kemudian disiram bumbu kacang yang dicampur aneka macam rempah dan sedikit pedas. Kemudian, bahan-bahan tersebut ditambah kecap secukupnya, dan sambal bagi yang suka pedas (Anonim 2010). Pangan tradisional lain sejenis buras namun terbuat dari beras ketan dan isi yaitu lemper. Pangan ini masih sangat digemari dan masih banyak dijual di pasaran. Bahkan lemper masih sering dijumpai sebagai hidangan pada acara-acara besar seperti hari-hari besar keagamaan, acara hajatan, syukuran, dan di pasar-pasar tradisional. Lemper terbuat dari beras ketan dan biasanya berisi abon atau suwiran daging ayam dan dibungkus dengan daun pisang. Pembuatan lemper mencangkup persiapan daging ayam dan pengukusan tepung ketan (biasanya dengan santan kelapa). Selanjutnya, daging ayam yang sudah disuwir-suwir atau abon dibungkus dengan ketan yang sudah diaron. Lalu ketan yang sudah dibentuk dibungkus lagi dengan daun pisang. Baru selanjutnya dikukus (Valentina 2009). Terdapat variasi dari Lemper, yang menggunakan pembungkus bukan daun pisang tetapi krep (crepe) yang dikenal sebagai „Semar Mendem‟ (Anonim 2010). Foto berbagai pangan tradisional yang dijadikan acuan, dapat dilihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber: Wikipedia.com (2010)
Gambar 2. Produk-produk penganan tradisional Indonesia yang digunakan sebagai acuan formulasi
EFP, diantaranya: a) Lemper; b) Arem-arem (khas Jawa); c) Buras khas Sulawesi Selatan; d) Doclang khas Bogor
12
F. BERAS Tanaman padi (Oryza sativa L.) diduga berasal dari Asia. Terdapat sekitar 20.000 varietas padi di dunia (Haryadi 2008). Beras merupakan hasil proses pasca panen dari tanaman padi, yaitu setelah tangkai dan kulit malainya dilepaskan dan digiling. Beberapa negara di dunia, beras merupakan komponen yang penting dalam makanan sehari-hari. Beras, yang termasuk dalam golongan Porceae gramnae ini, sudah dikonsumsi manusia selama paling sedikit 5000 tahun. Sampai saat ini, sebanyak 75% masukan kalori harian masyarakat negara-negara di Asia berasal dari beras (Bao & Bergman 2004). Di Indonesia sendiri, produksi beras tahun 2005-2010 terus mengalami peningkatan (Tabel 3). Produksi beras mendapat prioritas dibandingkan produk pangan non beras karena potensi produksinya yang besar dalam jangka pendek dan sangat pentingnya peranan beras dalam perekonomian Indonesia (BPS 2011). Tabel 3. Produksi beras di Indonesia tahun 2005-2010 (BPS 2011) Tahun
Area (Ha)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
11.839.060 11.786.430 12.147.637 12.327.425 12.883.576 13.253.450
Produktivitas (Kw/Ha) 45.36 46.20 47.05 48.94 49.99 50.15
Produksi (Ton) 54.151.097 54.454.937 57.157.435 60.325.925 64.398.890 66.469.344
1. Struktur Beras Biji padi atau gabah terdiri atas dua penyusun utama, yaitu 72-82% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (disebut beras pecah kulit atau brown rice) dan 18-28% kulit gabah atau sekam. Kariopsis tersusun dari 1-2% perikarp, 4-6% aleuron dan testa, 2-3% lemma (sekam kelopak), dan 89-94% endosperm (Haryadi 2008). Gambar 3 menunjukkan potongan longitudinal gabah.
Sumber: www.teksengmill.com
Gambar 3. Potongan longitudinal gabah
13
Menurut Haryadi (2008), pada proses penggilingan gabah, kulit atau sekam dipisahkan. Dari penggilingan gabah, dihasilkan biji beras atau disebut beras pecah kulit. Beras ini jarang langsung digunakan untuk konsumsi tetapi perlu penyosohan terlebih dahulu. Pada penyosohan beras pecah kulit akan diperoleh beras giling dan dedak yang berasal dari lapisan perikarp, aleuron, dan sebagian endosperm bagian luar. Lapisan aleuron adalah lapisan dalam dari lapisan nucellus yang membungkus endosperm dan lembaga. Pada saat beras pecah kulit disosoh, kulit ari dan lembaga terpisahkan yang berarti juga kehilangan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang lebih banyak terdapat pada bagian luar tersebut. Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas dari padi. Beras ketan memiliki butir pati berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasanya butir patinya seperti pecahan kaca dan keras. Beras ketan biasanya dibedakan dengan beras berdasarkan perbedaan kandungan amilosa dan amilopektinnya (Legowo 1984).
2. Sifat Kimia Beras Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Menurut Juliano (1980), bagian gabah yang dapat dimakan adalah kariopsis yang terdiri dari 75% karbohidrat dan 8% protein pada kadar air 14%. Bagian endosperm atau bagian gabah yang diperoleh setelah penggilingan yang kemudian disebut beras giling yang mengandung 78% karbohidrat dan 7% protein. Penyusun-penyusun tersebut tidak tersebar merata pada seluruh bagian beras. Lapisan terluar beras (aleuron dan lembaga) kaya akan komponen nonpati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati. Dengan kata lain, komponen terbesar beras adalah pati sehingga ciri-ciri inderawi utama khususnya tekstur ditentukan oleh sifat dan perilaku pati. Komposisi kimia lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi kimia beras pecah kulit, beras sosoh, dan beras ketan (USDA 2010) Komposisi Kadar Air (%) Kalori (kkal/100 g) Protein (g/100 g) Lemak (g/100 g) Karbohidrat (g/100 g) Serat Kasar (g/100 g) Abu (g/100 g) Kalsium (mg/100 g) Fosfor (mg/100 g) Riboflavin (mg/100 g) Besi (mg/100 g) Thiamin (mg/100 g) Niacin (mg/100 g)
Beras Pecah Kulit 14.00 352.00 7.50 2.68 76.17 0.70a 1.27 33.00 264.00 0.07 1.80 0.41 4.30
Beras Sosoh 14.00 354.00 6.61 0.58 79.34 0.40a 0.58 9.00 108.00 0.05 0.80 0.07 1.60
Beras Ketanb 12.00 362.00 6.70 0.70 79.40 2.80 0.49 12.00 148.00 0.06 0.80 0.16 2.15
Keterangan: aJuliano 1980, bDirektorat Gizi DepKes RI (1993)
Menurut Winarno (1993), pati merupakan nonpolimer glukosa dengan ikatan αglukosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
14
terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Kadar amilosa beras beragam tergantung varietas beras, dapat berkisar antara 7-37% dari berat kering atau 8-37% dari berat pati yang terkandung. Beras dengan varietas yang sama dapat mengandung amilosa yang beragam hingga 6%, misalnya beras PB 8 mempunyai kadar amilosa 27-33.5%. Berdasar kadar amilosanya, beras dapat dikelompokkan menjadi beras beramilosa rendah, yaitu kadar amilosanya 10-20%; beras beramilosa sedang, yaitu mengandung 2025% amilosa; dan beras beramilosa tinggi, yang lazim disebut “beras keras” mengandung amilosa 25-33% (Haryadi 2008). Perbandingan berat amilopektin dan amilosa dalam beras merupakan faktor repenting dalam penentuan mutu rasa dan tekstur nasi. Makin tinggi kadar amilosa, volume nasi yang diperoleh makin besar tanpa kecenderungan mengempis karena amilosa mempunyai kemampuan retrogradasi yang lebih besar. Beras ketan adalah beras yang mengandung sedikit amilosa yaitu kira-kira 1-2%, sedangkan beras biasa mengandung 12-37% amilosa. Kandungan amilopektin pada beras ketan sangat tinggi yaitu 76-77% (Legowo 1984). Beras mengandung lipid yang terutama terdapat dalam lembaga dan lapisan aleuron yang terkumpul dalam bentuk bulatan-bulatan kecil lipida atau sferosom. Kadar lemak beras pecah kulit adalah 2.4-3.9% dan 0.3-0.6% pada beras giling. Lipida terdapat dalam bentuk asam lemak bebas atau lipida polar. Varietas beras yang berbeda menunjukkan kandungan lipida berbeda pula. Perbandingan berat antara lipida netral (trigliserida) dan lipida polar (asam lemak bebas) pada endosperm adalah 49:51 dan pada pati 37:63. Asam lemak utama dalam lipida beras meliputi asam palmitat, oleat, dan linoleat. Pada endosperm, lipida terutama berikatan dengan bulatan-bulatan kecil protein sedangkan lipida dalam bentuk hasil hidrolisis berikatan kuat dengan fraksi amilosa pada pati (Juliano 1980). Gabah mengandung dua protein utama. yaitu glutelin (mudah dicerna) dan prolamine (sulit dicerna). Karena kesulitan dalam mencerna prolamine, maka beras tidak dianjurkan bagi orang yang memiliki gangguan ginjal.
3. Sifat Fisikokimia Beras Sifat-sifat fisikokimia sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang dihasilkan. Lebih khusus lagi, mutu ditentukan oleh kandungan amilosa, kandungan protein, dan kandungan lemak. Pengaruh lemak terutama muncul setelah gabah atau beras disimpan. Kerusakan lemak mengakibatkan penurunan mutu beras (Haryadi 2008). Selain kandungan amilosa dan kandungan protein, sifat fisikokimia beras yang berkaitan dengan mutu beras adalah sifat yang berkaitan dengan perubahan karena pemanasan dengan air, yaitu suhu gelatinisasi pati, pengembangan volume, penyerapan air, viskositas pasta, dan konsistensi gel pati. Sifat-sifat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan bekerja sama dan saling berpengaruh menentukan mutu beras, mutu tanak, dan mutu rasa nasi (Haryadi 2008). Kandungan amilosa berkorelasi positif dengan aroma nasi dan berkorelasi negatif dengan tingkat kelunakan, kelekatan, warna, dan kilap. Sifat-sifat tersebut berkorelasi kebalikan dengan kandungan amilopektin. Rasio antara kandungan amilosa dengan kandungan amilopektin merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan mutu tekstur nasi, baik dalam keadaan masih hangat maupun sudah dingin sampai dengan suhu kamar (Haryadi 2008). Kandungan amilopektin yang tinggi pada beras ketan
15
menyebabkan apabila dimasak karakteristiknya mempunyai sifat sangat mengkilap, sangat lekat dan kerapatan antar butir nasinya tinggi sehingga volume nasinya sangat kecil (Legowo 1984). Protein berpengaruh terhadap lama waktu penanakan, warna, rasa, dan aroma nasi. serta mempengaruhi kemampuan penyerapan air. Selanjutnya dikemukakan bahwa beras yang mengandung protein lebih tinggi memerlukan lebih banyak air dan lebih waktu penanakan. Hal ini berkaitan dengan struktur biji, yaitu granula pati diselubungi oleh lapisan protein sehingga protein menghalangi penyerapan air oleh granula pati dan mengakibatkan lebih lamanya waktu yang diperlukan untuk penanakan agar gelatinisasi dapat berlangsung sempurna. Selain itu, beras yang mengandung protein tinggi menghasilkan nasi yang berwarna krem dan aromanya kurang enak (Haryadi 2008). Pada beras ketan terdapat protein yang disebut oryzenin (Juliano 1980). Kandungan senyawa lain seperti vitamin dan mineral-mineral pada beras sangat sedikit termasuk beras ketan.
4. Pengaruh Proses Pemanasan terhadap Karakteristik Sensori Nasi Nasi merupakan makanan pokok sebagian warga dunia yang diolah dari beras. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki budaya konsumsi nasi yang sangat kuat terlihat dari tingginya angka konsumsi beras perkapita pertahun yang mencapai 135 kg/kapita/tahun (Hariyadi et al. 2006). Pemanfaatan nasi sebagai bahan utama pembuatan makanan darurat dinilai tepat karena nasi memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga berkontribusi baik terhadap pemenuhan kalori. Selain itu, nasi juga disukai oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dan sehingga tidak diperlukan tahap introduksi untuk mengajak masyarakat mengonsumsi nasi. Kualitas nasi sangat dipengaruhi oleh pemasakan dan kandungan gizi (Dong et al. 2007). Pengolahan beras menjadi nasi biasanya dilakukan dengan cara dikukus maupun direbus. Ketika dipanaskan dengan air beras akan terjadi pengembangan akibat penyerapan air oleh granula pati. Ketika mencapai suatu suhu kritis, beras akan mulai mengalami proses gelatinisasi yang ditandai dengan pelarutan pati dan hilangnya sifat birefringence. Suhu pada saat pati mulai mengembang karena dipanaskan dengan air dinamakan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi untuk beras berkisar antara 58-79o C (Hariyadi et al. 2006). Pengembangan granula selama gelatinisasi juga dipengaruhi oleh komponen amilosa dan amilopektin pati. Amilopektin memiliki kemampuan mengembang dan mempertahankan air yang lebih besar daripada amilosa. Adanya amilosa dalam granula pati dalam jumlah besar akan menghambat proses pengembangan granula (Bao & Bergman 2004). Perilaku pati akibat pemanasan dan rasio amilosa dan amilopektin yang terkandung pada pati beras akan sangat memengaruhi kualitas sensori nasi khususnya tekstur. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dikelompokkan menjadi beras ketan yang kandungan amilosanya 0-2% dari berat kering, beras berkadar amilosa rendah (920%), beras berkadar amilosa sedang (20-25%), dan beras berkadar amilosa tinggi (lebih dari 25%) (Hariyadi et al. 2006). Semakin tinggi kadar amilosa, maka tekstur nasi yang dihasilkan akan semakin pera (keras). Penelitian Pardon et al. (2000) menunjukkan bahwa suhu dan lama penyimpanan memengaruhi kekerasan, kelengketan, dan tingkat retrogradasi pada nasi. Suhu yang semakin rendah dan penyimpanan yang semakin lama mengakibatkan kekerasan nasi
16
meningkat dan kelengketannya menurun. Selain itu, kultivar beras yang berbeda menunjukkan kinetika retrogradasi yang berbeda pula karena perbedaan sifat-sifat patinya. Karakteristik sensori buras yang terbuat dari beras dengan kandungan amilosa rendah akan diperoleh tekstur nasi yang pulen. Waktu pemasakan buras juga harus singkat supaya tidak menghasilkan tekstur bubur ketika akan dikemas. Namun, karakter pulen juga sangat mudah mengalami sineresis selama penyimpanan, sehingga untuk mencegahnya, pada pembuatan buras, beras yang digunakan dikombinasikan dengan beras ketan putih yang memiliki kandungan amilopektin yang tinggi.
G. DAGING AYAM Daging hewan adalah bagian dari tubuh hewan yang dapat dimakan. Karkas ayam merupakan bentuk komoditi ayam potong yang paling banyak dan umum diperdagangkan. Produksi daging ayam di Indonesia tahun 2002 – 2006, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Produksi daging ayam di Indonesia tahun 2002 – 2006 (Deptan 2008) Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Daging Ayam Buras (ton) 288.34 298.51 296.42 301.42 322.78
Daging Ayam Ras Pedaging (ton) 751.90 771.10 846.09 779.10 955.75
Daging Ayam Ras Petelur (ton) 42.77 48.10 48.40 45.19 54.31
Menurut SNI 01-3924-1995, definisi karkas ayam pedaging adalah bagian dari ayam pedaging hidup setelah dipotong, dibului, dan dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker). Produksi daging ayam di Indonesia dari tahun 2002 – 2006 selalu mengalami peningkatan. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang harganya relatif lebih murah dibandingkan daging jenis lainnya. Daging ayam memiliki nilai gizi yang tinggi serta disukai oleh sebagian besar masyarakat. Kandungan gizi daging ayam dibandingkan dengan jenis daging lainnya dapat dilihat pada Tabel 6. Perbedaan daging ayam dengan daging ternak lainnya terletak pada komposisi kandungan protein dan lemak. Tabel 6. Kandungan gizi berbagai jenis daging (Prawiranegara 1981) Jenis Daging Ayam Sapi Kambing Angsa
Kalori (kkal) 302 207 154 352
Protein (g/100 g) 18.2 18.8 16.6 16.4
Lemak (g/ 100 g) 25.0 14.0 9.2 31.5
Karbohidrat (g/ 100 g) 0.0 0.0 0.0 0.0
Air (g /100 g) 55.9 66.0 70.3 51.1
Komposisi kimia daging pada hewan seperti ayam tergantung dari spesies, kondisi hewan, jenis daging, proses pengawetan, penyimpanan, dan pengemasan (Calkins & Hodgen 2007). Di Indonesia terdapat tiga jenis ayam yang digunakan sebagai penghasil daging, yaitu ayam pedaging (broiler), ayam kampung, dan ayam “cull atau afkir” (Susanti 1991). Ayam
17
kampung adalah ayam yang belum mengalami pemuliaan dan merupakan ayam paling mahal diantara ketiganya. Sumber kalori daging ayam diperoleh dari protein dan lemak. Protein pada daging ayam memiliki kualitas tinggi yang kaya akan asam amino esensial dibandingkan dengan hewan selain unggas dan mudah dicerna serta diserap oleh tubuh (Muchtadi 1992). Daging ayam memiliki serat yang empuk dan halus sehingga teksturnyapun halus. Tekstur adalah salah satu atribut kualitas paling penting pada daging (Palka & Daun 1999). Rasa dan aromanya juga dapat bercampur dengan berbagai macam bumbu, garam, dan curing agent yang digunakan (Thippareddi & Sanchez 2006). Pigmen warna pada daging dibentuk oleh mioglobin (Mancini & Hunt 2005). Daging ayam mengandung sembilan jenis asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh, termasuk asam amino tirosin. Asam amino ini dimanfaatkan oleh otak untuk menghasilkan dopamine dan nonadrenalin. yang dapat membuat seseorang lebih mudah berkonsentrasi. Selain itu, daging ayam juga mengandung haeme iron (kandungan zat besi haeme) yang juga mudah dicerna dibandingkan dengan zat besi yang berasal dari nabati (Tornberg 2005).
H. ISOLAT PROTEIN KEDELAI (IPK) Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering diekstrak atau diisolasi proteinnya. Isolat protein kedelai merupakan salah satu hasil isolasi protein dari kedelai, selain tepung dan konsentrat protein kedelai. Isolat protein merupakan hasil ekstraksi protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya sebesar 90% protein (N x 6.25) berdasarkan persentase bobot kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Muchtadi 2010). Bahan mentah yang biasa digunakan dalam produksi isolat protein kedelai adalah serpihan atau tepung kedelai yang telah diekstraksi minyaknya, dan mempunyai kandungan protein terdispersi yang tinggi. Penggunaan protein kedelai dalam industri pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok bentuk protein berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu tepung kedelai yang dibuat dengan cara mengekstrak lemaknya, mengandung 50% (berat kering) protein dan memiliki karakteristik “beanny” (langu) karena kandungan karbohidratnya yang masih tinggi, konsentrat protein kedelai yang mengandung paling sedikit 65% (berat kering) protein, masih mengandung serat dan dibuat dengan cara ekstraksi menggunakan alkohol, isolat protein kedelai yang mengandung 90% kadar protein (berat kering) dibuat dengan cara ekstraksi dengan menggunakan air (Koswara 1995). Isolat protein kedelai ini sudah banyak digunakan secara luas dalam pembuatan formulasi pangan serta menghasilkan sifat fungsional yang diinginkan dalam proses pembuatan produk pangan, seperti pembuatan daging tiruan, kecap, susu kedelai atau specialty drinks (Golbitz 1995). Isolat protein kedelai juga dapat diolah menjadi produk pengganti keju (cheese alternatives), baik keju lunak maupun keju keras (Muchtadi 2010). Selain itu, isolat protein kedelai dapat diolah menjadi non-dairy frozen dessert dan lain sebagainya. Isolat protein kedelai sangat baik digunakan ke dalam formulasi berbagai produk pangan dan memberikan kontribusi terhadap sifat seperti gelasi, viskositas, emulsifikasi, penyerapan air, viskoelastisitas, adhesi, kohesi, aerasi, kelarutan, flavor, warna, tekstur, dan bahan pengikat
18
dalam produk pangan (Muchtadi 2010). Protein kedelai dapat ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki sifat karakteristik produk pangan. Sifat-sifat fungsional protein kedelai dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam sistem pangan seperti pH, konsentrasi ion-ion, kadar padatan, kondisi pengolahan, dan sebagainya. Variabel-variabel ini harus diperhitungkan sehingga hubungan antara sifat dasar protein dan aplikasinya dalam pangan dapat dibentuk. Akan tetapi, karena kompleksitas interaksi antara bahan-bahan lain (misalnya bumbu, gula, garam, dsb) dianjurkan untuk mengevaluasi sifat fungsional protein dalam sistem pangan (Muchtadi 2010).
19