4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taksonomi dan Morfologi Menurut Prijono (2008), klasifikasi kakatua-kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea sulphurea), adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata Class
: Aves
Order
: Psittaciformes
Family
: Psittacidae
Subfamily : Cacatuinea Genus
: Cacatua
Species
: Cacatua sulphurea (Gmelin,1788)
Subspecies : Cacatua sulphurea sulphurea (Gmelin, 1788)
Kakatua-kecil jambul kuning memiliki empat subspesies yang berbeda dan ciri utama masing-masing subspesies, adalah sebagai berikut perbedaan antara kedua anak jenis yang memiliki penyebaran luas, C.s.sulphurea (gambar 1). dan Cacatua sulphurea parvula sangat kecil (C. s parvula memiliki tutup telinga kuning yang lebih pucat); sebaliknya anak jenis yang penyebarannya lebih terbatas lebih jelas bedanya, Cacatua sulphurea citrinocristata memiliki jambul berwarna oranye dan tubuh Cacatua sulphurea abbotti lebih besar daripada anak jenis lainnya.
Gambar 1 Burung Cacatua sulphurea sulphurea.
5
Kakatua-kecil jambul kuning merupakan spesies burung paruh bengkok. Ukuran tubuhnya kurang lebih 34 cm, bulu tubuhnya berwarna putih sedangkan jambulnya berwarna kuning atau jingga, tergantung anak jenisnya (Utomo 2010). Masing-masing anak jenis memiliki kharakteristik tertentu dalam ukuran sayap, ekor, paruh dan tarsus. Beberapa hasil pengukuran yang diberikan oleh Forshaw dan Copper (1989) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1
No
Perbedaan ukuran antara keempat anak jenis burung kakatua-kecil jambul kuning Subspesies
1 C.s.sulphurea
2 C.s.abbotti
3 C.s.parvula
4 C.s.citrinocristata
Keterangan: J
: Jantan
B
: Betina
Sex
Sayap
Ekor
Paruh
Tarsus
(mm)
(mm)
(mm)
(mm)
J
221-245
106-115
38-39
22-25
B
217-142
99-113
34-36
22-25
J
263-273
125-135
34-38
25-29
B
258-268
130-145
33-35
22-26
J
227-231
110-117
31-35
22-23
B
220-229
110-120
30-32
21-24
J
224-257
110-130
35-39
24-27
B
231-254
116-130
31-33
23-25
Keistimewaan kakatua terletak pada adanya bedak pada bulu tubuhnya, bila bulu kakatua diusap dengan tangan akan seperti terkena tepung atau bedak (berwarna keputihan), gejala ini disebut dengan bulu bedak atau bulu debu (Harrison 2005). Bulu ini tidak lain adalah bulu kapas yaitu bulu yang telah mengalami penghancuran menjadi butir-butir seperti bedak atau tepung yang berfungsi sebagai sanitasi dan kebersihan bulu kakatua (Kurniawan 2004). 2.2. Penyebaran Kakatua-kecil jambul kuning adalah spesies endemik di wilayah Wallacea, mulai dari Sulawesi ke arah selatan hingga Sumba dan ke arah timur hingga Timor serta ada populasi di Kepulauan Masalembo dan Nusa Penida, selain itu spesies ini telah diintroduksikan di China (Hongkong) dan Singapura serta dilaporkan bahwa kakatua-kecil jambul kuning dijumpai di beberapa tempat di Singapura bagian selatan dan timur, termasuk Kepulauan St John’s dan Sentosa serta di Hongkong,
6
semula burung ini merupakan burung peliharaan yang kemudian lepas menjadi liar atau feral (PHPA et al. 1998; Birdlife Internasional 2001). Di daerah penyebaran ini kakatua tidak pernah dilaporkan berada pada ketinggian di atas 1200 m dan umumnya ditemui pada ketinggian di bawah 500 m, selain itu sebagai spesies dari hutan kering atau musiman daripada hutan basah diyakini pula bahwa secara alami spesies ini tidak terdapat di hutan basah dataran rendah di berbagai bagian di Sulawesi (PHPA et al. 1998). Kakatua-kecil jambul kuning merupakan spesies yang terancam punah dengan penyebaran meliputi kawasan Wallacea, Pulau Masakambing dan Pulau Nusa Penida (Agista dan Rubiyanto 2001). Menurut PHPA et al.(1998); Agista dan Rubiyanto (2001), penyebaran keempat anak jenis kakatua-kecil jambul kuning, yaitu: 1.
Cacatua sulphurea sulphurea dari Sulawesi, Buton, Muna, Tukangbesi dan pulau-pulau di Laut Flores
2.
Cacatua sulphurea parvula dari Nusa Tenggara, bagian barat Timor sampai Bali (kecuali Sumba), dan Pulau Nusa Penida di sebelah tenggara Pulau Bali
3.
Cacatua sulphurea citrinocristata dari Sumba
4.
Cacatua sulphurea abbotti dari Kepulauan Masalembo dan Kepulauan Masakambing.
2.3. Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung. Habitat terdiri atas komponen fisik (air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang) dan komponen biotik (vegetasi, mikro dan makro fauna serta manusia) yang membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar dan saling berinteraksi (Dasman 1964; Wiersum 1973; Alikodra 1983; dan Bailey 1984 dalam Alikodra 2002) Kakatua-kecil jambul kuning menghuni hutan primer dan hutan sekunder yang tinggi, dataran rendah, hutan perbukitan, tepi hutan, belukar dan lahan pertanian (Sulawesi), hutan musim basah gugur daun dan hutan lembah sungai (Nusa Tenggara), hutan yang tinggi bersemak, semak yang pohonnya jarang, lahan
7
budidaya yang pohonnya jarang (Coates et al. 2000; pfeffer 1958; Watling 1984; dan Butchart et al. 1996 dalam Birdlife Internasional 2001). 2.4. Populasi dan Status Kakatua-kecil jambul kuning secara keseluruhan memiliki populasi yang berlimpah dengan penyebaran yang luas di pusat Kepulauan Indonesia pada abad ke sembilanbelas dan jumlah ini mampu bertahan dengan baik sampai sebelum adanya perdagangan komersil secara internasional sekitar dekade 1970-an, pada akhir dekade 1980-an terlihat adanya penurunan populasi yang sangat tajam dan mengakibatkan seluruh populasi terancam (Collar dan Andrew 1988; Andrew dan Holmes 1990 dalam Birdlife Internasional 2001). Jenis ini tertekan dengan adanya ledakan populasi yang mengejutkan selama 10-15 tahun terakhir akibat penangkapan yang berlebihan untuk perdagangan burung dalam sangkar dan sekarang langka akibat kegiatan ini (Coates dan Bishop).
Menurut Birdlife
Internasional (2001), subspesies sulphurea yang tersisa bertahan pada jumlah populasi kecil tanpa terkecuali, populasi yang kecil di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, subspesies abbotti mampu bertahan pada populasi kecil yang kritis, subspesies parvula memiliki populasi yang sangat aman di Komodo, hal ini berhubungan dengan perlindungan yang diusahakan oleh Taman Nasional Komodo, dan subspesies citrinocristata bertahan secara pasti walaupun secara perlahan mengalami penurunan populasi di Pulau Sumba. Berdasarkan jumlah populasi yang ada, burung kakatua termasuk hewan langka dan dilindungi oleh undang-undang pemerintah sehingga perlindungan semakin gencar oleh pemerintah (Purnomo 2002). Status keseluruhan burung kakatua-kecil jambul kuning sangat mengkhawatirkan, salah satu anak jenis (Cacatua sulphurea abbotti) hampir mendekati kepunahan, dua anak jenis lainnya (Cacatua sulphurea sulphurea dan Cacatua sulphurea parvula) jumlahnya sangat sedikit dengan populasi yang terisolasi sehingga tidak satu pun di antaranya yang dapat bertahan hidup dalam jangka panjang, dan anak jenis Cacatua sulphurea citrinocristata di Sumba juga kecil, menurun, dan sangat terancam tapi mungkin masih ada populasi yang masih baik di pulau ini (PHPA et al. 1998). Perlindungan terhadap satwa yang dilindungi tercantum dalam undangundang. Menurut Undang-undang RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
8
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya terutama pasal 21 ayat 2 disebutkan beberapa larangan, sebagai berikut: a. Menangkap,
melukai,
membunuh,
menyimpan,
memiliki,
memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b.
Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.
Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.
Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.
Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Ketentuan pidananya tercantum pada pasal 40 ayat 2 dan 4: Ayat 2 : Dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ayat 4 : Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 2.5. Pakan Burung kakatua mempunyai paruh yang sangat khas, yaitu membengkok dan sangat kuat, bentuk dan sifat paruh tersebut sesuai dengan jenis pakannya (Prahara 1994). Pakan kakatua-kecil jambul kuning secara umum terdiri dari biji-bijian, kacang-kacangan, buah arbei, buah-buahan dan mungkin bunga (Forshaw 1989 dalam Birdlife Internasional 2001). Schmutz (1977) dalam Birdlife Internasional (2001) melaporkan bahwa di Flores, kakatua-kecil jambul kuning menjadi hama padi dan jagung yang siap dipanen dan burung ini diindikasikan selalu
9
mengunjungi hutan yang bersemi dan menghijau dan tampaknya burung-burung ini banyak menggunakan bagian tumbuhan segar di dalam vegetasi yang sangat bersifat musim. Pakan burung di penangkaran yang baik haruslah memenuhi kebutuhan gizi seimbang yang diperlukan oleh burung seperti di alam. Menurut Prahara (1994), burung kakatua sangat menggemari jagung muda yang berbonggol, biji bunga matahari, kacang tanah, tebu, buah kenari, sedikit sayuran (kangkung dan wortel) dan buah-buahan (jambu biji, pepaya). Pakan diberikan dalam jumlah secukupnya yang diberikan 2 kali sehari, yaitu pada pagi hari setelah sangkar dibersihkan dan siang hari sekitar pukul 12.00, pakan disajikan pada nampan-nampan plastik atau ditancapkan pada kayu tenggeran yang telah dilengkapi dengan paku-paku atau kait-kait, tempat minumnya dari sebuah bak atau kolam kecil yang airnya diganti dan dibersihkan minimal satu kali sehari (Prahara 1999). 2.6. Perkembangbiakan Seperti kebanyakan burung paruh bengkok, keterikatan antara jantan dan betina sangat erat (PHPA et al. 1998). Schmutz (1977) dalam PHPA et al. (1998) melaporkan bagaimana burung betina yang pasangannya ditembak ketika menyerang lahan pertanian lalu tubuh pasangannya digantung di atas pohon, si betina kemudian kembali dan duduk diam di dekat tubuh pasangannya. Tingkah laku pada masa bercumbu berupa Bersuara dan mengangkat jambulnya, mengembangkan sayap dan mengepak-epakkannya, berjalan pada cabang-cabang kecil, jantan dan memutari betina dan menggosokkan jambul betina, leher disilangkan dan saling menjilat (PHPA et al. 1998). Musim perkembangbiakan berlangsung lama. White dan Bruce (1986) dalam PHPA et al. (1998) menyebutkan masa perkembangbiakan di Buton pada bulan September-Oktober dan Nusa Tenggara pada bulan April-Mei. Burung kakatua termasuk burung yang pemilih dalam menentukan pasangan kawinnya sehingga perlu adanya pendekatan yang dilakukan sebelum burung tersebut mencapai dewasa (Budiman 2002). Sebelum melakukan aktivitas reproduksi, menurut Campbell dkk. (2003)
dalam Burung Indonesia (2007),
individu betina secara aktif akan memilih pasangan kawin yang potensial berdasarkan ciri spesifik jantan atau sumberdaya yang dibawanya. Jantan akan
10
memperlihatkan kebolehannya (display) secara umum dalam suatu wilayah kecil (lek) dan kakatua betina akan mengunjungi lek tersebut untuk memilih jantan yang sedang melakukan display (Burung Indonesia 2007). Kakatua menghasilkan 2-3 butir telur dan dalam proses pengeraman telur serta mengasuh anak dilakukan secara bergantian oleh burung jantan dan betina (Burung Indonesia 2007). Telur kakatua memerlukan waktu 23 hari untuk menetas dengan periode pertumbuhan yaitu antara telur menetas sampai tumbuhnya bulu-bulu untuk terbang adalah 65 hari (Setiawan dkk. 1998 dalam PHPA et al. 1998). 2.7. Kesehatan Menurut Prahara (1999), kakatua termasuk burung yang cukup tahan terhadap penyakit. Dengan memenuhi semua kebutuhan dan menjaga sanitasi lingkungan hidupnya maka kesehatan burung kakatua dapat terjaga, berikut beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam perawatan kesehatan kakatua (Prahara 1999): 1.
Burung kakatua dijauhkan dari kondisi-kondisi penyebab stres (seperti populasi yang terlalu padat di dalam sangkar atau adanya burung yang terlalu dominan)
2.
Ukuran kawat sangkar rapat untuk menghindari masuknya tikus
3.
Burung kakatua dihindarkan dari kondisi alam atau cuaca yang terlalu ekstrim, misalnya kepanasan atau kedinginan
4.
Suplemen vitamin dan mineral diberikan secara teratur pada buah atau pakan lunak kesukaannya dan tidak diberikan pada biji-bijian atau air karena kurang efektif
5.
Kebersihan sangkar, tempat pakan dan minum senantiasa dijaga
6.
Burung kakatua diberi pakan yang bermutu baik
7.
Kondisi burung diperiksa minimum 2 kali sehari terutama pada saat matahari terbit.
Meskipun sudah dilaksanakan perawatan dengan baik burung kakatua masih dapat diserang penyakit terutama pada saat pergantian cuaca, maka perlu diketahui ciri-ciri burung kakatua yang sakit (Prahara 1994). Stadium pertama kebanyakan dapat terlihat melalui sinar mata burung yang bersangkutan, matanya tidak bersinar atau bahkan terpejam, burung mulai tertidur dengan kepala dilipat ke
11
dalam sayapnya walaupun kedua kakinya masih dapat bertengger, bulu-bulunya terutama di sekitar kepala akan tampak kusam dan kusut, feses tidak normal baik warna ataupun konsistensinya (Prahara 1994). Menurut Prahara (2003), gangguan fisik yang biasa diderita oleh burung kakatua, antara lain: 1. Penyakit internal adalah penyakit yang menyerang organ-organ dalam burung, misalnya usus, hati, paru-paru dan jantung. Penyakit yang bersifat internal dapat disebabkan oleh mikroorganisme dan cacing. Penyakit internal yang paling sering menimpa burung paruh bengkok adalah berak darah (coccidiosis), cacingan, monoliasis dan aspergiliosis. a) Berak darah (coccidiosis) a.1) Gejala
: Kotoran burung yang terserang tampak bercampur darah.
Selain itu, burung terlihat lemah, tidak dapat terbang, dan tidak mempunyai nafsu makan. a.2) Penyebab : Penyakit ini disebabkan oleh hewan bersel satu (protozoa) yang disebut Eimeria sp. Protozoa ini sangat menyukai lingkungan yang lembab dan kotor. Apabila protozoa ini tertelan oleh burung, di dalam tubuh burung protozoa akan memperbanyak diri dengan pembelahan sel. Protozoa ini kemudian akan menyerang usus halus dan menyebabkan berak darah serta kematian mendadak pada burung yang terserang. a.3) Pengendalian : Pengobatan dilakukan dengan obat anticoccidiosis yang banyak dijual di pasaran. Salah satu di antaranya adalah EmbacoxTM. Dosis pengobatannya adalah 5 g/l air minum, sedangkan dosis pencegahannya 2,5 g/l air minum. Lama pemberiannya 3 : 2 : 3, artinya setelah diobati selama 3 hari, diselingi dengan istirahat 2 hari lalu diberikan lagi selama 3 hari berturut-turut. b) Cacingan b.1) Gejala
: Burung tampak lemah, badan kurus, dan bulu tampak
kusam. Nafsu makan berkurang dan mata terlihat bengkak. b.2) Penyebab : Berbagai jenis cacing, seperti Cestoda (cacing pita), Trematoda (cacing daun) dan Nematoda (cacing gelang).
12
b.3) Pengendalian : Untuk pencegahan dan pengobatan dapat diberikan obat cacing sesuai dengan jenis cacingnya. Misalnya untuk jenis Cestoda dapat diobati dengan obat cacing bermerek dagang VermoxTM. Obat cacing yang berbentuk sirup ini dapat diberikan ke burung yang cacingan dengan dosis 0,1 cc per 200 g berat badan burung. Selain dapat membasmi cacing Cestoda, obat cacing ini juga dapat membasmi cacing Trematoda dan Nematoda. Cacing Nematoda selain dapat dibasmi dengan VermoxTM, juga dapat dibasmi dengan obat cacing Worm-XTM atau Stop WormTM. Dosisnya 120 ml (8 sendok makan) cairan obat yang dilarutkan dalam 20 l air minum untuk 100 ekor burung. Atau 1,2 ml cairan obat yang dilarutkan dalam 200 ml air minum untuk seekor burung. c) Moniliasis c.1) Gejala
: Penyakit ini banyak menyerang nuri. Burung yang
terserang penyakit ini akan tampak lesu dan bulunya tampak kusam. Jika bagian mulut dari burung yang terinfeksi dibuka mata akan tampak selaput putih kekuningan pada dinding mulutnya. c.2) Penyebab : Penyakit ini disebabkan oleh jamur Candida albicans. Jamur ini menyebar sangat cepat sampai ke jantung udara (air sac) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian burung karena kesulitan bernapas. c.3) Pengendalian : Penyakit ini muncul karena burung (terutama nuri) mengalami kekurangan vitamin A dalam konsumsi pakannya. Salah satu cara pengobatannya adalah memberikan vitamin A dalam pakannya. Selain itu, juga dilakukan terapi, yakni dengan mengoleskan bagian mulut yang terkena infeksi dengan obat NystatinTM atau MycostatinTM. Untuk pencegahan, diberikan vitamin A dalam jumlah cukup. d) Aspergillosis d.1) Gejala : Burung yang terserang penyakit ini terkadang hampir tidak tampak gejala apapun. Namun, gejala yang paling sering tampak adalah
13
turunnya nafsu makan serta kesulitan bernapas. Napasnya akan pendek disertai dengan terbuka dan tertutupnya paruh. d.2) Penyebab : Penyakit ini disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus yang menyerang selaput lendir sistem pernapasan. Jamur dapat mengeluarkan racun yang dapat menyerang sistem saraf pernapasan sehingga dapat menimbulkan kematian yang mendadak pada burung yang terkena. Timbulnya penyakit ini terutama jika kondisi tubuh sedang menurun akibat stres dan penyakit lain. Penyakit ini banyak diderita burung yang berasal dari pasar burung dengan kondisi lingkungan yang sangat memprihatinkan. d.3) Pengendalian : Untuk mengobati penyakit Aspergilosis ini dapat nazole dengan merek dagang seperti SemperaTM dan SporanoxTM yang juga dipergunakan untuk manusia dengan dosis 5-10 mg/kg berat badan burung yang diberikan melalui air minum atau pakan. 2. Penyakit eksternal adalah penyakit yang menyerang organ-organ luar walaupun akibatnya dapat juga menyerang organ dalam. Salah satu penyakit eksternal pada burung paruh bengkok adalah pssitacine beak and feather disease (PBDF) atau penyakit paruh dan bulu. Penyakit ini dapat menyerang seluruh burung paruh bengkok, terutama kakatua. a)
Gejala
: Gejala penyakit ini sangat mudah terlihat yaitu adanya
bulu-bulu rontok yang menyebabkan kebotakan dan atau disertai kerusakan pada paruh. b)
Penyebab : Penyakit ini belum jelas penyebabnya, tetapi diduga disebabkan oleh virus yang menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh burung atau penyakit yang serupa dengan AIDS pada manusia. Pada mulanya kondisi burung tampak normal, kemudian virus akan menyebabkan kecacatan pada bulu dan kebusukan pada paruh. Pada akhirnya virus ini akan menyebabkan kematian. Penyebarannya melalui bulu yang rontok dan lapuk, serta melalui telur.
c)
Pengendalian : Apabila menemukan burung dengan gejala seperti di atas, maka burung tersebut harus segera diisolasi di sangkar tersendiri sehingga tidak menulari burung-burung yang lain. Burung yang sakit
14
diberi pakan yang baik dan bergizi serta dijauhi dari stres. Lingkungan kandang harus selalu dijaga kebersihannya. Setiap pagi burung dimandikan dengan larutan khusus untuk burung, seperti Bird InTM dengan dosis 1 sendok makan obat yang dilarutkan dalam 1 liter air untuk mandi burung. Kemudian burung dijemur di bawah sinar matahari pagi sampai sekitar pukul 10.00. Perawatan ini dilakukan terus sampai ada perbaikan pada bulu-bulu atau paruhnya. Sampai saat ini masih belum ditemukan obat yang tepat untuk penyakit ini karena masih dalam taraf penelitian. Untuk mengetahui dengan pasti burung terkena virus PBFD harus menjalani tes DNA. Karena ada penyakit lain yang serupa, yaitu polyoma (french moult) yang disebabkan oleh Papovavirus. Pengobatan penyakit ini jauh lebih maju ketimbang penyakit PBFD. 3. Penyakit defisiensi terutama disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pakan burung. Penyakit ini sebenarnya banyak ragamnya tergantung pada kekurangan zat vitamin atau mineral. Namun, penyakit ini tidak akan timbul jika kebutuhan minimal pakan burung dapat disediakan. Penyakit defisiensi yang paling sering menyerang burung paruh bengkok adalah defisiensi kalsium. a)
Gejala
:
Burung memakan bulunya sendiri
b)
Penyebab
:
Burung kekurangan mineral kalsium
c)
Pengendalian
:
Dalam pakan burung ditambahkan zat mineral
Ca yang dapat diperoleh dari tepung tulang punggung cumi-cumi atau tepung tulang sapi. 4. Trauma a)
Gejala
:
Adanya luka-luka pada tubuh burung.
b)
Penyebab
:
Perkelahian, penangkapan, dan pengangkutan
yang tidak hati-hati atau kecelakaan, misalnya terjepit kawat. c)
Pengendalian
:
Untuk luka yang kecil dapat diberi obat luka
anti-infeksi. Untuk menghilangkan stres burung yang bersangkutan maka lingkungan sangkar atau kandang diusahakan dalam keadaan tenang. Namun, jika lukanya cukup parah, burung yang luka segera dibawa ke dokter hewan untuk memperoleh pengobatan memadai.
15
Untuk kondisi burung yang mengalami stres berat akibat upaya penangkapan, burung segera didinginkan dengan membasuh tubuhnya dengan air. Selain itu, burung juga diberi minum dan lingkungan kandang diusahakan tenang. 2.8. Teknik Penangkaran Penangkaran diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan yang meliputi pula kegiatan mengumpulkan bibit atau induk, pembiakan atau perkawinan atau penetasan telur, pembesaran anak, serta “restocking” atau pemulihan populasinya di alam (Thohari 1987). Berdasarkan atas tujuannya, penangkaran dapat dibedakan dua macam, yakni penangkaran yang ditujukan untuk melestarikan jenis-jenis satwa yang berada
dalam
keadaan
langka
yang
akan
segera
punah
apabila
perkembangbiakannya tidak dibantu oleh campur tangan manusia dan penangkaran yang ditujukan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thohari 1987). Menurut Helvoort et al. (1986), berdasarkan tujuannya penangkaran dibagi menjadi dua, yaitu untuk tujuan budidaya dan konservasi (Tabel 2). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada dua kriteria yang digunakan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkar, yaitu (Thohari 1987): a. Suatu jenis perlu ditangkar apabila secara alami populasinya mengalami penurunan secara tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah. b. Suatu jenis perlu ditangkar apabila mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatan bagi manusia terus bertambah, sehingga kelestariannya terancam. Dijelaskan pula bahwa prinsip kebijakan penangkaran jenis satwaliar adalah (Thohari 1987): a. Mengupayakan jenis-jenis langka menjadi tidak langka dan pemanfaatannya berasaskan kelestarian
16
b. Upaya pelestarian jenis perlu dilakukan di dalam kawasan konservasi maupun di luar habitat alaminya, di luar habitat alami berbentuk penangkaran baik di kebun binatang ataupun di lokasi usaha. Tabel 2
Perbedaan Antara Penangkaran Untuk Tujuan Budidaya dan Untuk Tujuan Konservasi
Aspek
Budidaya
Konservasi
Obyek
1. Beberapa individu dan ciri-cirinya
1. Suatu populasi dan ciri-cirinya
2. Ras (varietas, forma)
2. Jenis/anak jenis
3.
Jumlah
individu
total
yang 3. Jumlah total individu (N) besar
dimanipulasikan (N) terbatas Sasaran
1. Domestikasi
1. Release (pelepas-liaran)
2. Perubahan jenis (dalam arti menciptakan 2. Tidak merubah jenis ras, forma)
Manfaat
1. Komersial (terutama segi kuantitas)
1. Non komersial
2. Terkurung untuk selama-lamanya
2. Pengembalian kepada alam asli
1. Memenuhi kebutuhan material (protein, 1. kulit dan lain-lain) 2. Memenuhi kebutuhan batin dan sosial
Mempertahankan
stabilitas
ekosistem 2. Meningkatkan nilai keindahan alam
Jangka
Pendek sampai sedang (1-250 tahun)
Selama-lamanya
waktu Metode
1. Terapkan teknologi reproduksi (IB, IVF, 1. Mempertahankan sex ratio TE, dan lain-lain) 2. Jumlah mau kawin ditingkatkan
2.
Jaga
keturunan
agar
tidak
didominasi jenis tertentu 3. Penentuan pasangan diatur
3. Pasangan acak
4. Memungkinkan terjadinya in-breeding 4. Hindari in-breeding dan mutasi dan mutasi gen
gen
2.9. Aktivitas Harian Kakatua-kecil jambul kuning hidup berpasangan dan berkumpul menjadi kelompok-kelompok kecil. Menurut Anonim (2011), burung kakatua senang pamer diri dan membuat tingkah lucu dengan membentangkan sayapnya, kepalanya naik
17
turun, bermain dan berteriak. Burung kakatua sangat aktif dan selalu ingin tahu mengenai lingkungan sekitarnya, apabila mereka merasa bosan ia akan bersuara melengking dan mencabuti bulunya sendiri (Anonim 2011). Kakatua ini memiliki perilaku saat mencari makan maupun saat makan seperti menggantung pada ujung dahan dengan satu kaki, sedangkan kaki lainnya digunakan untuk memegang buah sambil paruhnya mematahkan tangkai buah dan burung kakatua cenderung memilih bentuk makanan yang mudah digenggam dengan kaki dengan paruh, makanan itu akan diiris dan dipotong hingga menjadi potongan-potongan kecil (Soemadi 2003). Burung kakatua secara umum memakan biji-bijian, kacang-kacangan, buah arbei, buah-buahan dan mungkin bunga (Forshaw 1989 dalam Birdlife Internasional 2001). Sebelum makan, burung kakatua mengupas kulit biji dengan cara meremuk, memotong atau mengirisnya dengan bantuan sisi paruh yang tajam (Soemadi 2003).