II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemekaran Wilayah (Pembentukan Daerah Otonom) Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 ayat 6 UU No.32/2004). Pembentukan daerah otonom dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersanding atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pembentukan daerah otonom harus memenuhi syarat admnistrasi, teknis, dan fisik kewilayahan (pasal 4 dan 5 UU No.32/2004). Pembentukan daerah otonom baru di Indonesia cenderung dilakukan melalui pemekaran wilayah. Pertambahan daerah otonom baru di Indonesia yang cenderung dilakukan melalui pemekaran wilayah, dikarenakan luas wilayah geografis Indonesia yang terlalu luas. Menurut Bowman dan Hampton (Oentarto, 2004), tidak ada satupun pemerintahan dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan programprogram secara efisien melalui sistem sentralisasi. Pandangan ini menggambarkan pentingnya desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah mengandung dua aspek penting, yaitu; (1) pembentukan daerah otonom dan otonomi daerah, (2) penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur pemerintahan di daerah, dalam upaya mewujudkan tujuan bernegara. Pembentukan
daerah
melalui
pemekaran
wilayah
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui; (a) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat; (b) Percepatan pertumbuhan demokrasi masyarakat; (c) Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; (d) Percepatan pengelolaan potensi daerah; (e) Peningkatan keamanan dan ketertiban; (f) Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Daerah otonom yang dibentuk melalui pemekaran wilayah mesti disertai dengan pembentukan pemerintahan daerah untuk mengelola dan mengurus daerah dalam mencapai tujuan negara yang menjadi aspirasi masyarakat. Menurut Hatta
dalam Manan (2001) pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek paham kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasib tidak hanya pada cakupan pimpinan negeri, melainkan juga pada setiap tempat di kota, di desa dan di daerah. Secara yuridis, pemekaran wilayah dengan membentuk daerah otonom sesungguhnya telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (1), bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan daerahdaerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Kemudian secara operasional diatur dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No. 129 tahun 2000 dirubah menjadi PP No. 78 tahun 2007 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan daerah. Prosedur pembentukan daerah otonom baru khususnya pembentukan kabupaten/kota dengan cara pemekaran wilayah (daerah), atau pemecahan kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih, maka kabupaten/kota induk yang akan dimekarkan telah mencapai batas minimal usia pemerintahan 7 (tujuh) tahun. Selanjutnya pembentukan kabupaten/kota melalui pemekaran daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi; (a) keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (b) keputusan Bupati/Walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (c) keputusan DPRD propinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (d) keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota, (e) rekomendasi Menteri. Syarat teknis pembentukan daerah kabupaten/kota meliputi; faktor kemampuan
ekonomi,
potensi
daerah,
sosial
budaya,
sosial
politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Syarat fisik kewilayahan meliputi; cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Syarat fisik kewilayahan pembentukan kabupaten paling sedikit memiliki 5 (lima) kecamatan, sedangkan cakupan
wilayah pembentukan kabupaten digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota. Tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota dilaksanakan sebagai berikut: (a) Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk keputusan BPD untuk desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan, (b) DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain, (c) Bupati/Walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota
berdasarkan
hasil
kajian
daerah,
(d)
masing-masing
Bupati/Walikota menyampaikan usulan pembentukan kabupaten/kota kepada Gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan: (1) dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota, (2) hasil kajian daerah, (3) peta wilayah calon kabupaten/kota; dan (4) keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan Bupati/ Walikota, (e) Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah, (f) Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi, (g) DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota; dan (h) dalam hal Gubernur
menyetujui
usulan
pembentukan
kabupaten/kota,
gubernur
mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan: (1) dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota, (2) hasil kajian daerah, (3) peta wilayah calon kabupaten/kota, (4) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan Bupati/ Walikota; dan (5) keputusan DPRD provinsi dan keputusan gubernur. Usulan pembentukan kabupaten/kota yang disampaikan Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, selanjutnya Menteri melakukan penelitian terhadap usulan pembentukan kabupaten/kota, yang dilakukan oleh Tim yang dibentuk Menteri. Berdasarkan hasil penelitian, Menteri menyampaikan
rekomendasi
usulan
pembentukan
daerah
kepada
DPOD.
Berdasarkan
rekomendasi usulan pembentukan daerah, Menteri meminta tanggapan tertulis para Anggota DPOD pada sidang DPOD. Dalam hal DPOD memandang perlu dilakukan klarifikasi dan penelitian kembali terhadap usulan pembentukan daerah, DPOD menugaskan Tim Teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan penelitian. Berdasarkan hasil klarifikasi dan penelitian, DPOD bersidang untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai usulan pembentukan daerah. Menteri menyampaikan usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran dan pertimbangan DPOD. Dalam hal Presiden menyetujui usulan pembentukan daerah, Menteri menyiapkan rancangan undangundang tentang pembentukan daerah ke DPR RI untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Setelah Undang-undang pembentukan daerah diundangkan, Pemerintah melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah. Peresmian daerah dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan daerah. 2.2. Pemerintahan Daerah Keberadaan pemerintahan oleh manusia moderen diperlukan untuk mencegah terjadinya " homo homini lupus bellum omnium contra omnes", yaitu mencegah manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, dan mencegah jangan sampai yang kuat menguasai yang lemah (Oentarto, 2004). Manusia pada tahap perkembangan masyarakat tertentu mengadakan kontrak sosial (social contract), untuk membentuk suatu lembaga pemerintahan yang bertugas mengatur hidup mereka agar tidak saling membinasakan satu dengan lainnya. Sarundayang (2005) menyebutkan bahwa di banyak negara, pemerintahan daerah sudah ada jauh sebelum pemerintah pusat atau pemerintahan nasional di bentuk. Lebih jauh, Hossein dalam Nurcholis (2005) menjelaskan bahwa local government (pemerintah daerah) dapat mengandung tiga arti, pertama; pemerintah lokal, kedua; pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal, ketiga; berarti daerah otonom. Manan (2001) menyebutkan bahwa dilihat dari kekuasaan pemerintahan daerah otonom, maka pemerintahan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok; (1) Pemerintahan dalam arti sempit yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif atau
administrasi negara, (2) Pemerintahan dalam arti agak luas yaitu penyelenggaraan kekuasaan eksekutif dan legislatif tertentu yang melekat pada pemerintahan daerah otonom, (3) Pemerintah dalam arti luas yang mencakup semua lingkungan jabatan negara dibidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lain sebagainya. Dalam UU No.22/1999 pasal 1 ayat (huruf d) Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan pemerintah daerah otonomi oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi. Kemudian perubahan UU No.22/1999 menjadi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI dalam UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, bupati/walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 2.3. Desentralisasi dan Otonomi Daerah Rasyid
dalam
Sumaryadi
(2005),
menjelaskan
bahwa
pengertian
desentralisasi dan otonomi sebenarnya mempunyai tempat masing-masing. Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada political aspect (aspek politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun dilihat dari konteks sharing of power (berbagi kekuasaan), dalam prakteknya, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah. Uraian di atas memberikan makna bahwa desentralisasi dan otonomi daerah secara terminologi dapat dipisahkan, namun dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara keduanya memiliki keterkaitan yang erat dan saling menentukan serta saling mendukung. Artinya bahwa, desentralisasi yang melandasi suatu daerah dapat dikatakan otonomi, dan otonomi daerah tidak akan ada jika tidak ada desentralisasi.
Sebaliknya desentralisasi tanpa otonomi daerah akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. 2.3.1. Desentralisasi Pemerintahan Koesoemahatmadja dalam Sumaryadi (2005), menjelaskan bahwa ditinjau secara etimologis, desentralisasi berasal dari bahasa latin, de=lepas dan centrum=pusat; sehingga desentralisasi berarti melepaskan dari pusat. Dalam Encyclopedia of the Social Science disebutkan bahwa, "The process of decentralisation denotes the transference of authority, legislative, judicial or administrative, from higher level of government to alower "(Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif, atau administratif. Cheema dan Rondinelli dalam Nurcholis (2005) memberikan definisi desentralisasi sebagai berikut, "Decentralization is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from the loco! government to in field organizations,
local
government,
or
non-governmental
organizations"
(Desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, satuan administrative daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat). Dalam UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cheema dan Rondinelli dalam Nurcholis (2005) membedakan 4 (empat) bentuk desntralisasi berdasarkan definisi desentralisasi yang
dirumuskannya,
yaitu;
(1)
Dekonsentrasi
(Deconcentralion),
(2)
Pelimpahan wewenang pada lembaga semi otonom (delegasi) (Delegation to semi -autonomous), (3) Devolusi (Devolution), (4) Penyerahan fungsi pemerintah pusat ke lembaga non pemerintah (Transfer of function from government to non governmental organizations). Litvack (1991) dalam Mardiasmo (2008) mengemukakan bahwa secara garis besar pengertian desentralisasi dapat dibedakan dalam 3 (tiga) jenis:
a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan. b. Desentralisasi
administrasi,
merupakan
pelimpahan
kewenangan,
tanggungjawab, dan sumberdaya antar berbagai tingkat pemerintahan. c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian wewenang kepada daerah untuk menggalai sumber-sumber pendapatan, hak menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi. Osborne dan Gaebler (1991) menyebutkan bahwa lembaga yang terdesentralisasi mempunyai 4 (empat) keunggulan, diantaranya; pertama, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi. Lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah; kedua, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi; ketiga, lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi; keempat, lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen, dan lebih besar produktifitas. 2.3.2. Otonomi Daerah Dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu, melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Moeliono (1998) dalam Jeddawi (2005), kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang/badan lain. Manan dalam Jeddawi (2005) menjelaskan bahwa wewenang
dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang berarti hak dan kewajiban. Wewenang dalam kaitan dengan otonomi daerah, maka hak memiliki pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Prinsip otonomi daerah sebagaimana ditegaskan dalam UU No.32/2004, menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti bahwa daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam UU No.32/2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan. peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan harus dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasaan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan
otonomi
bertanggung
jawab
adalah
otonomi
yang
dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Berdasarkan
prinsip
otonomi
daerah
yang
luas,
nyata
dan
bertanggungjawab, yang berorintasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat, maka penerapan otonomi daerah, harus lebih dimaknai substansi otonomi daerah dari aspek kerangka teoritik maupun instrumen hukumnya, agar tidak terjadi interpretasi yang sempit dan keliru terhadap otonomi daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah menjadi keharusan dan kebutuhan
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahteraan
dan
percepatan
pembangunan daerah, oleh karena pemerintah daerah akan melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan prakarsa, kreaktifitas dan partisipasi aktif masyarakat yang seluas-luasnya. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, dalam arus globalisasi dewasa ini akan memperkuat eksistensi negara bangsa, yang kini tengah digugat. Namun, penerapan desentralisasi dan otonomi yang diatur dalam UU No.32/2004, harus dilaksanakan secara konsisten dan sungguh-sungguh. 2.4. Aspirasi Masyarakat Secara terminologi, aspirasi didefinisikan sebagai harapan terhadap sesuatu hal yang disertai keinginan. Good dalam Sarwono (1999) memberikan batasan aspirasi, "aspiration is the degree to which individual sets his goals realistically in relation to his physical and mental attributes and in accordance with his environment" (aspirasi yaitu bagaimana individu mempersiapkan sekumpulan sasaran atau tujuan secara realistis dalam kaitannya dengan keadaan fisik dan mentalnya serta lingkungan sekitarnya). Terminologi tersebut, menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap istilah atau perkataan aspirasi relatif fleksibel dan kontekstual yang dalam penggunaannya tergantung pada obyek yang akan diamati. Jika idiom aspirasi diletakkan dalam perspektif politik, kekuasaan dan negara (state), maka aspirasi akan berasal (muncul) dari pemegang kedaulatan negara yaitu rakyat (civillity), sedangkan yang bertugas dan bertanggungjawab mengakomodir dan mengagregasi aspirasi adalah penyelenggara negara baik legislatif (DPR) maupun eksekutif. Dalam hal ini, aspirasi membutuhkan saluran (ruang) yang memungkinkan sebuah aspirasi akan tersalur dengan baik sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspirasi adalah sekumpulan harapan dan keinginan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, pengistilahan aspirasi tidak berdiri tunggal, tetapi sering diparalelkan dengan subyek (pelaku) yaitu masyarakat
sebagai
penyalur aspirasi
sehingga disebut
aspirasi
rakyat
(masyarakat). Masyarakat sebagai sistem sosial terdiri dari unsur-unsur yang tersusun secara sistematis, dimana setiap unsur mempunyai pola hubungan tertentu seperti pola hubungan keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama, pendidikan, dan lapisan masyarakat. Menurut Rudito dan Budiman (2003),
masyarakat sebagai sistem sosial, didalamnya terdapat aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya individu-individu sebagai anggota berinteraksi satu sama lain. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2003), masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Secara sosiologis menurut Himawan dalam Cula (2002), bahwa jika kita merujuk pada istilah society dalam bahasa Indonesia jelas berarti masyarakat. Namun demikian, dalam pengertian politik hal ini memerlukan klarifikasi. Dalam ilmu politik, menurut pandangan di satu sisi, masyarakat dapat ditempatkan dalam posisi yang berhadapan dengan negara, tetapi disisi lain ada yang menganggapnya meliputi political society dan civil society. Dalam peristilahan popular civil society sering diartikan sebagai masyarakat berbudaya atau masyarakat madani, merujuk pada Madinah sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, dimana masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pernah membangun peradaban tinggi. Menurut Madjid (2004), Madinah berasal dari bahasa Arab Madaniah yang berarti peradaban, sehingga masyarakat madani berasosiasi dengan masyarakat beradab. Terhadap beragam peristilahan ini, namun yang umum digunakan di Indonesia adalah masyarakat sebagai warga negara (bangsa), yang berbudaya dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam penelitian ini, masyarakat dimaknai sebagai seluruh warga negara (bangsa) yang hidup dalam wilayah NKRI, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Upaya memenuhi hak dan memenuhi kewajiban, masyarakat harus menyampaikan aspirasi kepada penyelenggara negara yaitu pemerintah. Aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat ke pemerintah disebut aspirasi masyarakat. Dalam penyampaiannya, didasarkan pada realitas sosial, ekonomi, budaya, sejarah, hukum dan politik yang dihadapi suatu masyarakat. Sehingga kadang kala aspirasi masyarakat dapat bersifat subjektif dan objektif. Aspirasi dikatakan subjektif apabila aspirasi masyarakat tersebut, memiliki muatan politik yang dominan, ketimbang realitas yang benar-benar dialami oleh masyarakat. Sedangkan aspirasi yang obyektif, dapat diamati substansi aspirasi dengan realitas yang terjadi di masyarakat benarbenar bersesuain.
Bentuk penyampaian aspirasi masyarakat dapat dikelompokkan menjadi aspirasi langsung dan tidak langsung. Aspirasi langsung, biasanya disampaikan dengan cara masyarakat datang langsung ke institusi negara seperti eksekutif dan legislatif. Aspirasi langsung biasanya diekspresikan dengan cara demonstrasi dengan jumlah massa yang banyak, atau hanya sekelompok orang saja. Sedangkan aspirasi tidak langsung, disampaikan dalam bentuk surat atau pernyataanpernyataan yang bersifat pengaduan dan laporan. Dari pengertian-pengertian mengenai aspirasi dan masyarakat yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspirasi masyarakat adalah sekumpulan harapan dan keinginan masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau dicita-citakan. Berkaitan dengan penelitian ini pula, aspirasi masyarakat meminta pemekaran wilayah Kabupaten Halmahera Tengah menjadi beberapa daerah otonom baru, yaitu Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan dengan harapan atau tujuan agar dengan adanya pemekaran wilayah akan tercipta kesejahteraan masyarakat dan memacu laju perkembangan pembangunan daerah Kabupaten Halmahera Timur. Oleh karena itu, aspirasi masyarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keinginan-keinginan dan harapan-harapan masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah, yang perlu diselenggarakan dalam pembangunan daerah. 2.5. Persepsi Masyarakat Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2003), kata persepsi mengandung arti, (1) tanggapan (penerimaan) langsung, (2) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Sedangkan kata mempersepsikan berarti membuat persepsi. Selanjutnya menurut Echols dan Shadily (2003), kata perception (persepsi) berarti (1) penglihatan, (2) tanggapan daya memahami atau menanggapi. Robins dalam Setiawati dan Tangkilisan (2005) menyatakan bahwa persepsi adalah
suatu
proses
dimana
seseorang
mengorganisasikan
dan
menginterprestasikan kesan-kesan sensori untuk memberikan arti tertentu bagi lingkungannya.
Lebih
jauh
Reksowardoyo
dalam
Sugiyanto
(1996),
mengemukakan bahwa persepsi masyarakat merupakan tanggapan, pengertian dan interpretasi masyarakat tentang sesuatu obyek yang diinformasikan kepada
mereka, terutama bagaimana mereka memandang sesuai dengan dirinya sendiri dalam lingkungan tempat dia berada. Sedangkan Krech dalam Khalid (2002) mendefinisikan
persepsi
masyarakat
sebagai
proses
perubahan
kognitif
masyarakat dalam menafsirkan serta memahami dunia yang berada disekitar mereka. Dari definisi dan pengertian persepsi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah tanggapan, pandangan, penilaian atau penafsiran seseorang (individu) untuk memberikan pernyataan, arti (makna) terhadap sesuatu objek, fenomena atau peristiwa tertentu. Jika persepsi dikaitkan dengan manfaat pemekaran wilayah yang diaspirasikan masyarakat, maka persepsi masyarakat dalam konteks penelitian diartikan sebagai pandangan, tanggapan, atau penilaian masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah. Persepsi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah dapat terbentuk dari dua aspek, (1) aspirasi mengenai manfaat pemekaran wilayah yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan daerah, dan (2) pembangunan daerah yang dilaksanakan pemerintahan daerah tidak didasarkan pada aspirasi masyarakat. Selanjutnya kedua faktor ini secara kognitif melalui panca indera akan membentuk persepsi masyarakat terhadap pemekaran wilayah. Dalam hubungan ini, Kemp et al. dalam Khalid (2002) menyatakan bahwa dalam proses persepsi, seseorang menggunakan pikiran untuk memahami objek atau peristiwa. Sedangkan mata, telinga dan ujung-ujung saraf merupakan alat-alat utama persepsi. Selanjutnya terdapat 2 (dua) prinsip penting, yaitu; (1) persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi terdiri atas beberapa proses penginderaan yang dihubungkan dan dipadukan menjadi suatu pola yang komplit. Inilah yang menjadi dasar pengetahuan seseorang, (2) seseorang akan bereaksi terhadap sebagian kecil saja lingkungannya. la akan memilih bagian peristiwa yang ingin ia alami dan menarik perhatian. Sarwono dalam Ridwan (1999) mengemukakan bahwa perbedaan persepsi seseorang disebabkan oleh: a. Perhatian, biasa kita tidak dapat menerima seluruh rangsangan yang ada disekitar kita sekaligus, tetapi kita dapat memfokuskan perhatian kita pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara seseorang dengan orang
lainnya menyebabkan perbedaan persepsi antara mereka. b. Set, adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul, misalnya pada seorang atlit lari yang siap digaris start, terdapat set bahwa akan terdengar pistol aba-aba untuk berlari. Pada saat itu ia harus berlari. c. Kebutuhan, kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang akan mempengaruhi persepsi orang tersebut. d. Sistem nilai, seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat, akan mempengaruhi pula terhadap persepsi. e. Ciri kepribadian, seperti watak, karakter, kebiasaan, akan mempengaruhi pula persepsi. Perbedaan persepsi yang dijelaskan di atas, memperlihatkan suatu perbedaan persepsi yang sifatnya alami atau kodrati (hukum Tuhan) dan politik. Perbedaan persepsi yang sifatnya alami, ditunjukkan dengan sistim nilai dan ciri kepribadian yang dimiliki seseorang. Sedangkan perbedaan yang sifatnya politik, ditunjukkan dengan perhatian, set dan kebutuhan. Namun demikian, perbedaan persepsi semacam ini tidak bersifat permanen (mutlak), tetapi memiliki sifat fleksibilitas yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam persepsi seseorang. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi setiap individu (manusia) dalam masyarakat, dipengaruhi oleh karakteristik setiap orang (individu) itu sendiri. Hubungannya dengan persepsi masyarakat terhadap manfaat pemekaran wilayah, maka dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh karakteristik setiap orang (individu) dalam masyarakat. Karakteristik masyarakat dapat dikelompokkan menjadi, (1) jenis kelamin, (2) asal suku, (3) tingkat pendidikan, (4) pekerjaan utama, (5) jabatan dalam masyarakat. 2.6 . Pembangunan Daerah dalam Otonomi dan Desentralisasi Secara filosofi suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al. 2009). Lebih jauh Todaro dan Smith (2007) mengemukakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar
percepatan
pertumbuhan
ekonomi,
penanganan
ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat, atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Pengertian pembangunan tersebut jika dikaitkan dengan konsep daerah atau wilayah (region) yang terdiri dari wilayah homogen, nodal, perencanaan, dan administrasi politis, maka dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah pada daerah otonom baik propinsi maupun kabupaten dan kota, digunakan pengertian daerah atau wilayah yang termasuk didalam UU No.32/2004. Dengan demikian, pembangunan daerah dapat dipahami sebagai proses pembangunan yang diselenggarakan di daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, dan pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Hadi (2001) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah atau daerah adalah proses atau tahapan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antar sumberdaya dan lingkungannya melalui kegiatan investasi pembangunan. Anwar (1998) mengemukakan bahwa dalam pembangunan wilayah lebih ditekankan kepada memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lokal yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosiokultural yang hidup di masing-masing wilayah, sedangkan Rustiadi (2001) menyatakan bahwa pembangunan wilayah harus memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial, serta antar pelaku pembangunan yang berada di dalam dan antar wilayah. Pelaksanaan pembangunan pada masa lalu yang sentralistik, telah mengabaikan aspek keterpaduan dan keterintegrasian dalam pembangunan. Sebagai akibatnya pemerintah daerah dan lokal gagal menangkap kompleksitas pembangunan diwilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat
(Rustiadi,
2001).
Pembangunan
yang
sentralistik,
tujuan-tujuan
pembangunan wilayahnya menjadi sangat tergantung kepada kebijakan yang diambil pemerintah pusat (Rustiadi, 2001). Implikasi dari pembangunan yang sentralistik juga, telah mengkibatkan berbagai ketimpangan dan kesenjangan baik antar masyarakat maupun antar daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi, memberikan peluang bagi daerah-daerah otonom untuk membenahi kekeliruan-kekeliruan pada masa lalu. Karena proses pembangunan daerah dalam otonomi daerah dan desentralisasi, didasarkan pada prinsip demokrasi, pemerataan (equity), keadilan, pertumbuhan, dan keberlanjutan (sustainable). Untuk itu, pemerintah daerah selaku
penyelenggara
pemerintahan,
yang
berkewenangan
melaksanakan
pembangunan daerah harus diarahkan pada terciptanya demokrasi, pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainable). Pembangunan sebagai suatu proses multidimensional, baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, maka pelaksanaan pembangunan daerah harus dilakukan secara sistematik, terintegrasi dan terpadu. Dengan prinsip demokrasi, pemerataan (equity), keadilan, pertumbuhan, dan keberlanjutan (sustainable), tujuan pembangunan yang diinginkan dapat terwujud. Tujuan pembangunan daerah secara khusus antara satu daerah dengan daerah lainnya tentu tidak sama, karena kondisi permasalahan yang dihadapi setiap daerah berbeda-beda. Namun, apapun perbedaan permasalahan daerah, secara hakiki pelaksanaan pembangunan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Goulet dalam Todaro dan Smith (2007) mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami arti pembangunan yang paling hakiki, diantaranya; (1) kecukupan (sustenance);
kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar, (2) harga diri (self-esteem); menjadi manusia seutuhnya, (3) kebebasan (freedom); kebebasan dari sikap menghamba, kemampuan untuk memilih. Todaro dan Smith (2007), menyebutkan bahwa proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki 3 (tiga) tujuan inti sebagai berikut; (1) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan
hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan, (2) peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultur dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan, (3) perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. 2.7. Indikator Pembangunan Daerah Menurut Rustiadi et al. (2009) indikator adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat capaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Kemudian dalam PP No.6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, indikator kinerja adalah alat ukur spesifik secara kuantitatif dan/atau kualitatif yang terdiri dari unsur masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu kegiatan. Secara umum indikator kinerja memiliki fungsi untuk, (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) meciptakan konsensu yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja (Rustiadi et al. 2009). Berdasarkan fungsi indikator yang dikemukakan tersebut, maka dalam mengukur dan menilai keberhasilan atau kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan pembangunan daerah sangat diperlukan adanya indikator yang relevan dan komprehensif. Kekeliruan dalam memahami dan menerapkan indikator dapat menyebabkan tujuan dari pelaksanaan pembangunan tidak akan tercapai.
Todaro dan Smith (2007) mengemukakan bahwa sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GNI, baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan memberikan efek penetesan ke bawah (trikle down effect). Akibatnya
timbul
berbagai
permasalahan
kemiskinan,
pengganguran,
ketimpangan serta berbagai permasalahan pembangunan lainnya. Oleh karena itu, ukuran pembangunan tidak saja dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi tetapi perlu secara utuh mencakup multidimensional. Arsyad
(1999)
mengemukakan
indikator-indikator
keberhasilan
pembangunan yang secara garis besar; (1) indikator moneter, (2) indikator non moneter, (3) indikator campuran. Indikator pembangunan moneter meliputi; (1) pendapatan per kapita, (2) indikator kesejahteraan ekonomi bersih. Kemudian indikator pembangunan non moneter meliputi; (1) indikator sosial, (2) indeks kualitas hidup dan indeks pembangunan manusia (IPM). Menurut Rustiadi et al. (2009) dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat 3 (tiga) kelompok dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni (1) indikator berbasis tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3) indikator berbasis proses pembangunan. Sejalan dengan itu, Bappenas
(2008)
dalam
studinya
mengenai
evaluasi
terhadap
kinerja
pembangunan pada daerah otonom baru, juga didasarkan pada tujuan pemekaran daerah sesuai PP No. 129/2000, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui; (1) peningkatan pelayanan masyarakat, (2) percepatan pertumbuhan demokrasi, (3) percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, (4) percepatan penggelolaan potensi daerah, (5) peningkatan keamanan dan ketertiban, (6) peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Fokus dan indikator yang digunakan Bappenas dalam melakukan evaluasi daerah pemekaran lebih lengkap disajikan dalam Tabel 2. Evaluasi untuk mengukur dan penilaian kinerja pembangunan daerah khususnya dalam upaya mencapai tujuan otonomi daerah, saat ini pemerintah telah menerbitkan PP No.6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yang didalamnya memuat aspek-aspek dan indikator-indikator kinerja pembangunan
daerah. Dalam peraturan pemerintah tersebut, selain mengukur kinerja penyelenggaraan pemerintah sekaligus mengukur tingkat kemampuan daerah otonom melaksanakan tujuan otonomi daerah melalui pelaksanaan pembangunan daerah. Dengan PP No.6/2008, pemerintah sejak tahun 2008 akan melakukan evaluasi pada seluruh daerah otonom baik propinsi maupun kabupaten dan kota di Indonesia. Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (EKPOD) dilakukan untuk menilai kemampuan daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah. Tujuan akhir pelaksanaan otonomi daerah ditujukan dengan parameter tinggi kualitas manusia yang secara internasional diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, dalam melakukan Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, IPM digunakan untuk mengecek apakah
aspek-aspek
yang
digunakan
untuk
mengukur
kemampuan
penyelenggaraan otonomi daerah dapat dipertanggungjawabkan. Aspek-aspek yang digunakan dalam mengevaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah terdiri dari, (1) kesejahteraan masyarakat, (2) pelayanan umum, (3) daya saing daerah. Tabel 2. Indikator-indikator Kinerja Pembangunan Daerah Aspek/Fokus Ekonomi Daerah
Keuangan Daerah
Pelayanan Publik
Aparatur Daerah
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3.
Sumber: Bappenas, 2008.
Indikator Pertumbuhan PDRB Non Migas PDRB per Kapita Rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB Propinsi Angka Kemiskinan Dependensi fiskal Kapasitas penciptaan pendapatan Proporsi belanja modal Kontribusi sektor pemerintah Jumlah siswa per sekolah Jumlah siswa per guru Ketersediaan fasilitas kesehatan Ketersediaan tenaga kesehatan Kualitas infrastruktur Kualitas aparatur yang berstatus PNS Persentase aparatur pendidik Persentase aparatur paramedic (tenaga kesehatan)
Berdasarkan pengertian dan indikator kinerja yang dikemukakan diatas, baik menurut Rustiadi et al. (2009), maupun yang digunakan Bappenas (2008) dalam melakukan evaluasi kinerja pembangunan pada daerah pemekaran menurut tujuan pemekaran yang diisyaratkan dalam PP No.129/2000, serta PP No.6/2008 tentang Pedoman
Evaluasi
Penyelenggaraan
Pemerintah
Daerah,
maka
dalam
menganalisis kinerja pembangunan daerah pemekaran di Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara digunakan aspek/fokus dan indikator kinerja yang secara lengkap ditampilkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Indikator-indikator Kinerja Pembangunan Daerah Aspek/Fokus Ekonomi Daerah
1. 2. 3. 4.
Indikator Pertumbuhan PDRB Non Migas PDRB per Kapita Rasio PDRB kabupaten terhadap PDRB Propinsi Angka Kemiskinan
Keuangan Daerah
1. 2. 3. 4.
Dependensi fiskal Kapasitas penciptaan pendapatan Proporsi belanja modal Kontribusi sektor pemerintah
Pelayanan Publik
1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah siswa per sekolah Jumlah siswa per guru Ketersediaan fasilitas kesehatan Ketersediaan tenaga kesehatan Kualitas infrastruktur
Aparatur Daerah
1. Kualitas aparatur yang berstatus PNS 2. Persentase aparatur pendidik 3. Persentase aparatur paramedik (tenaga kesehatan)
Kesejahteraan Masyarakat
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)