13
II. TINJAUAN PUSTAKA 22.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi m manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil m maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan bbesar yaitu pengunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam P ppenggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, ddimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). W Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah ppenilaian
lahan
(komponen-komponen
lahan)
secara
sistematik
dan
ppengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang m merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan dipandang sebagai kapasitas lahan untuk suatu macam atau tingkat K ppenggunaan umum (Arsyad, 2000). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang ddikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943) dan Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2000) menggolongkan kedalam tiga kategori M uutama yaitu kelas, subkelas, dan satuan kemampuan lahan atau pengelolaan. 22.1.1. Kelas Kemampuan Lahan Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor ppenghambat. Lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan hhuruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat bberturut-turut dari kelas I sampai VIII. Lahan pada kelas I sampai IV dengan ppengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai ppenggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. ssemusim e Lahan pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohonL ppohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal lahan kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti m
14
bbuah-buahan, tanaman hias, dan beberapa jenis sayuran bernilai tinggi dengan ppengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Lahan dalam kelas V VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad, 2006). Kelas I. Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi ppenggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai ddari tanaman semusim (dan pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang hutan, dan cagar alam. Lahan dalam kelas I mempunyai salah satu atau rrumput, u kkombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut : (1) terletak pada topografi hampir ddatar, (2) ancaman erosi kecil, (3) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (4) uumumnya berdrainase baik, (5) mudah diolah, (6) kapasitas menahan air baik, (7) subur atau responsif terhadap pemupukan, (8) tidak terancam banjir, dan (9) di ssu bbawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya. Kelas II. Lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kkerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkan ppengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi uuntuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah ddiusahakan untuk pertanian. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan se lindung, dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah li salah satu kombinasi dari pengaruh berikut : (1) lereng yang landai, (2) kepekaan sa erosi atau ancaman erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, (3) eer r kkedalaman efektif agak dalam, (4) struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, (5) salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah ((5 ddihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, tte e tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) aakan k kkeadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan. Kelas III. Lahan dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yyang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi kkhusus atau keduanya. Lahan dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih bberat dari tanah-tanah kelas II dan jika dipergunakan bagi tanaman yang
15
m memerlukan pengolahan tanah tindakan konservasi yang diperlukan biasanya le lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk ta tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman ru rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. H Hambatan yang terdapat pada tanah dalam kelas III membatasi lama penggunaan bbagi tanaman semusim, waktu pengolahan tanah, pilihan tanaman atau kombinasi ddari pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin ddisebabkan oleh salah satu beberapa hal berikut : (1) lereng yang agak miring atau bbergelombang, (2) peka terhadap erosi atau telah mengalami erosi yang agak bberat, (3) seringkali mengalami banjir yang merusak tanaman, (4) lapisan bawah yang berpermeabilitas lambat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, ttanah a padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat llapisan a ppadat (claypan) yang membatasi perakaran dan simpanan air, (6) terlalu basah aatau t masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) ssalinitas a atau kandungan natrium sedang, atau (9) hambatan iklim yang agak bbesar. Kelas IV. Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar daripada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan la tanaman juga lebih terbatas. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim ta ddiperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi lebih sulit dditerapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam ppenghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan ddan kondisi fisik tanah. Lahan di dalam kelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan tta a pproduksi, padang pengembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Hambatan atau kerusakan tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau aancaman n kkombinasi faktor-faktor berikut : (1) lereng yang miring atau berbukit, (2) kkepekaan erosi yang besar, (3) pengaruh bekas erosi agak berat yang telah terjadi, (4) ((4 4 tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) sering tergenang yyang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, (7) kelebihan air bebas dan penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase, (8) aancaman n
16
sa salinitas atau kandungan natrium yang tinggi, dan (9) keadaan iklim yang kurang m menguntungkan. Kelas V. Lahan di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi m mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan sehingga m membatasi pilihan penggunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, ppadang pengembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Tanahdi dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam ttanah a ppenggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar atau hampir datar tetapi ssemusim. e air, sering terlanda banjir, atau berbatu-batu, atau iklim yang kurang ttergenang e sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut. sse Kelas VI. Lahan dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang m menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, ppenggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan pproduksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai ppembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) terletak pada lereng agak curam, (2) at ancaman erosi berat, (3) telah tererosi berat, (4) mengandung garam larut atau an nnatrium, (5) berbatu-batu, (6) daerah perakaran sangat dangkal, dan (7) atau iklim yyang tidak sesuai. Kelas VII. Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, jika ddipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan uusaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang ddalam dan tidak peka erosi jika dipergunakan untuk tanaman pertanian harus ddibuat terras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetative untuk konservasi tanah, disamping tindakan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunyai tta a bbeberapa hambatan dan ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat ddihilangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam, (2) telah tererosi sangat bberat berupa erosi parit, dan (3) daerah perakaran sangat dangkal.
17
Kelas VIII. Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi le lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat se sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kkerusakan pada kelas VIII dapat berupa (1) terletak pada lereng yang sangat ccu curam, u atau (2) berbatu, atau (3) kapasitas menahan air sangat rendah. Beberapa kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas dan Widiatmaka, 2007) adalah : ((Hardjowigeno H 1. Iklim Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan adalah temperatur dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian tempat dari permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah, agak kering, dan kering akan mempengaruhi kemampuan lahan. 2. Lereng, ancaman erosi dan erosi yang terjadi Kerusakan
tanah
yang
disebabkan
oleh
erosi
sangat
nyata
mempengaruhi penggunaan tanah, cara pengelolaan atau keragaan tanah. Kecuraman lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kecuraman lereng dikelompokkan sebagai berikut : A = 0 sampai 3% (datar) B = 3 sampai 8% (landai atau berombak) C = 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang) D = 15 sampai 30% (miring atau berbukit) E = 30 sampai 45% (agak curam) F = 45 sampai 65% (curam) G = lebih dari 65% (sangat curam) Kepekaan erosi tanah (nilai K) dikelompokkan sebagai berikut : KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah) KE2 = 0,11 sampai 0,20 (rendah)
18
KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi) KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi) Kerusakan erosi yang telah terjadi dikelompokkan sebagai berikut : E0 = tidak ada erosi E1 = ringan : kurang dari 25% lapisan atas hilang E2 = sedang : 25 sampai 75% lapisan atas hilang E3 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang E4 = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang E5 = sangat berat : erosi parit 3. Kedalaman tanah Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut : K0 = lebih dari 90 cm (dalam) K1 = 90 sampai 50 cm (sedang) K2 = 50 sampai 25 cm (dangkal) K3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal) 4. Tekstur tanah Tekstur tanah adalah salah satu factor penting yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya. Untuk penentuan klasifikasi kemampuan lahan tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan lapisan bawah (30 – 60 cm) dikelompokkan sebagai berikut : T1 =
tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu, dan liat
T2 =
tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu
T3 =
tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung
19
berdebu, dan debu T4 =
tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus
T5 =
tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir.
5. Permeabilitas Permeabilitas tanah dikelompokkan sebagai berikut : P1 = lambat
: kurang 0,5 cm/jam
P2 = agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam P3 = sedang
: 2,0 – 6,25 cm/jam
P4 = agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam P5 = cepat
: lebih dari 12,5 cm/jam
6. Drainase Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut : D0 =
berlebihan, air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman akan sangat mengalami kekurangan air.
D1 =
baik, tanah mempunyai peredaran udara baik.
D2 =
agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran.
D3 =
agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik.
D4 =
buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat dan kekuningan.
D5 =
sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna
kebiruan,
atau
terdapat
air
yang
menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
7. Batuan dipermukaan Batuan dipermukaan yaitu adanya bahan kasar atau batuan berdiameter 7,5 cm sampai 25 cm jika berbentuk bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 cm sampai 40 cm jika berbentuk gepeng. Banyaknya batuan dipermukaan dikelompokkan sebagai berikut :
20
B0 =
tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah baik, tanah mempunyai peredaran udara baik.
B1 =
sedang : 15 sampai 50% volume tanah, pengolahan tanah mulai agak sulit dan pertumbuhan tanaman agak terganggu.
B2 =
banyak : 50 sampai 90% volume tanah, pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu.
B3 =
sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah, pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.
8. Batuan tersingkap Penyebaran batuan tersingkap dikelompokkan sebagai berikut : B0 =
tidak ada : kurang dari 2% permukaan tanah tertutup.
B1 =
sedikit : 2% sampai 10% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu.
B2 =
sedang : 10% sampai 50% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman terganggu.
B3 =
banyak : 50% sampai 90% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu.
B4 =
sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digarap.
22.1.2. Subkelas Kemampuan Lahan Pengelompokan di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor ppenghambat dan ancaman. Jadi subkelas merupakan pengelompokan unit kkemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, s sa hidrologi, dan iklim. Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang h dikenal yaitu ancaman erosi, ancaman kelebihan air, pembatas perkembangan akar d tanaman, dan pembatas iklim. ttaa Subkelas e menunjukkan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi merupakan masalah utama. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah.
21
Subkelas w menunjukkan bahwa tanah mempunyai hambatan yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan terancam banjir yang merusak tanaman. Subkelas s menunjukkan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran. Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan akar, adanya batuan dipermukaan tanah, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan dan tidak praktis dihilangkan. Subkelas c menunjukkan adanya faktor iklim (temperatur dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan. 22.1.3. Satuan Kemampuan Lahan Pengelompokan di dalam satuan kemampuan lahan adalah pengelompokan ttanah-tanah a yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap ssi sistem pengelolaan yang sama bagi usahatani tanaman pertanian umumnya atau ta tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam sa satu satuan kemampuan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan m memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternative pengelolaan bagi ta tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang hasil tanaman yang diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan yang sama se tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman merupakan kriteria yang tti i ddipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 22007). 22.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), evaluasi kesesuaian lahan uuntuk pertanian pada dasarnya mengacu pada Klasifikasi Kemampuan Lahan U USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961) atau Klasifikasi Kesesuaian Lahan yyang dikembangkan oleh FAO (1976).
Sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan
menurut kerangka evaluasi lahan FAO pada saat ini banyak digunakan di m dan negara-negara berkembang lainnya. Metode FAO dapat dipakai IIndonesia n
22
uuntuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. K Kerangka dari sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan ini mengenal empat kategori, yyaitu : (1) ordo, menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk ppenggunaan tertentu; (2) kelas, menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan; (3) ssu sub-kelas, u menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus ddijalankan dalam masing-masing kelas; dan (4) unit, menunjukkan perbedaanpperbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan ssuatu u sub-kelas. Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai uuntuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal dua ordo yaitu ordo S dan ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo S adalah lahan yang ((sesuai) s ddapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelompokan lahan akan tte m memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit rre resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Lahan yang termasuk ordo N yyaitu lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah ppenggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat ddigolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena bberbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). se Kelas kesesuaian lahan yaitu pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang m dditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Ada tiga kelas yang dipakai dalam ordo m S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N. Kelas S1 artinya sangat sesuai (highly yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk ssuitable) u ppengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nnyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 artinya cukup sesuai (moderately suitable) yaitu tte e lahan llaa
yang
mempunyai
pembatas-pembatas
yang
agak
besar
untuk
mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan m
23
m mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang ddiperlukan. Kelas S3 artinya sesuai marginal (marginally suitable) yaitu lahan yyang mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat ppengelolaan yang harus diterapkan. Kelas N1 artinya tidak sesuai pada saat ini ((currently c not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang lebih besar, m masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat ppengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kelas ssehingga e N2 artinya tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable) yaitu lahan N yyang mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan ppenggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Ahamed, Rao, dan Murthy, 22000). Subkelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam pperbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu aatau t lebih subkelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini dditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Dalam satu subkelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol D ppembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). (H 22.3. Penurunan Kualitas Sumberdaya Lahan Kegiatan pertanian sering disebut sebagai penyebab menurunnya bbiodiversitas, baik di atas maupun di dalam tanah, sehingga hal tersebut diduga menyebabkan produksi pangan dan layanan lingkungan seperti penyediaan air m bbersih, penyediaan habitat bagi fauna dan flora liar, dan kesehatan manusia menurun. Di lain pihak, kebutuhan pangan di Indonesia terus meningkat karena m penduduk yang terus meningkat dengan cepat. Peningkatan produksi jjumlah u ppertanian di Indonesia dari tahun 1995 hingga 2010 diperkirakan sekitar 1,3% setiap tahunnya (Simatupang, et al., 1995), dengan demikian produksi yang sse e ddiperoleh tidak akan mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan pangan, pemerintah menggunakan 2 strategi dasar yaitu ttu u melalui peningkatan pendayagunaan lahan pertanian yang telah ada (intensifikasi) m
24
ddan melalui perluasan lahan pertanian (eksentifikasi). Pelaksanaan kedua strategi te tersebut membutuhkan pemahaman pentingnya sumber daya lahan yang memadai aagar keseimbangan ekosistem terjaga. Dampak berkurangnya biodiversitas tanah terhadap layanan lingkungan ddan produktivitas tanaman serta upaya mempertahankan biodiversitas pada bberbagai skala (lahan, bentang lahan, regional, global) telah sering dibicarakan ppada berbagai level, namun pelaksanaan dan implementasinya masih kurang mendapat perhatian yang serius (van Noordwijk dan Swift, 1999; Jackson et al., m 22005). Hal tersebut dikarenakan tingkat pemahaman masyarakat akan keuntungan yyang diperoleh dari usaha konservasi biodiversitas masih belum memadai. Ekosistem mengalami ketidakseimbangan dimana pada musim penghujan banjir, erosi dan longsor, tetapi pada musim kemarau kekeringan dan tterjadi e kkebakaran hutan sering terjadi. Gagal panen juga sering terjadi karena adanya sse serangan hama dan penyakit. Masalah-masalah ini menunjukkan adanya ppenurunan kualitas sumberdaya lahan, dan hal ini berhubungan dengan tterganggunya fungsi hidrologi DAS (jumlah dan kualitas), menurunnya kesuburan te tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah), ta menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO2, m N2O, CH4) melebihi daya serap daratan dan lautan, berkurangnya tingkat kkeindahan lansekap, berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Salah satu penyebab terjadinya penurunan at kkualitas sumber daya lahan adalah adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan ppertanian (intensif) dengan masukan yang berlebih (van Noordwijk dan Hairiah, 22006). Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya bbeberapa kelompok fungsional organisme tanah, karena berubahnya jenis dan kkerapatan tanaman yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan ppermukaan tanah sehingga berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan jjenis je e masukan bahan organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah ((G G (Giller et al., 1997; Lavelle et al., 2001). Pada lahan-lahan pertanian umumnya aada tiga masalah pokok yang berhubungan dengan gangguan siklus atau kketersediaan hara, rusaknya kondisi fisik tanah, gangguan fungsi hidrologi
25
(t (tingkat DAS) dan serangan hama dan penyakit tanaman. Perubahan fungsi ek ekosistem terutama terjadi melalui penurunan kandungan bahan organik dan bbiodiversitas organisme tanah. Menurunnya fungsi ekosistem tersebut akan m menurunkan produksi tanaman dan kualitas lingkungan seperti meningkatnya lli limpasan i permukaan dan erosi, polusi udara, tanah dan air serta peledakan ppopulasi hama (Jackson et al., 2005). Hasil penelitian Basher dan Ross (2001) menyatakan bahwa terdapat pperbedaan jumlah tanah yang tererosi antara lahan yang diolah dengan lahan yang diolah pada petanaman bawang. Pada tanah yang diolah, erosi yang terjadi ttidak i 1,1 ton/ha sedangkan pada tanah tanpa diolah, erosinya sebesar 21,3 ssebesar e Laju infiltrasi pada tanah yang diolah yaitu 1,3 x 10-4 m/detik sedangkan tton/ha. o ppada tanah tanpa pengolahan sebesar 2,2 x 10-7 m/detik. Selanjutnya Kurnia dan S Suganda (1999) menyatakan bahwa pada lahan dengan kemiringan 35% dan curah hhujan 978 mm, ternyata arah guludan berpengaruh terhadap aliran permukaan dan eerosi r tanah. Pada pertanaman kentang dengan guludan searah lereng telah terjadi aaliran permukaan 483 m3 dan erosi 16 ton/ha. Sedangkan pada lahan dengan gguludan searah kontur, aliran permukaan yang terjadi adalah 333 m3 dan erosi tanah sebesar 10 ton/ha, serta pada lahan dengan guludan miring 45o (guludan ta ddiagonal), aliran permukaan yang terjadi sebesar 362 m3 dan erosi tanah sebesar 113 ton/ha. Jumlah tanah yang hilang saat panen kentang sebesar 8 ton/ha pada skala ppetak percobaan (Auerswald, Gerl, dan Kainz, 2006). Sedangkan hasil penelitian Jankauskas and Jankauskiene (2003) menunjukkan bahwa tanah yang tererosi JJa ppada pertanaman kentang sebesar 44,4 – 186,2 ton/ha. Pencucian unsur hara dapat terjadi apabila kapasitas dan laju infiltrasi dan pperkolasi cukup tinggi. Hasil penelitian Jalali (2005) menyatakan bahwa ppencucian nitrogen akan sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang diusahakan, ddosis pupuk, jumlah nitrogen yang diserap tanaman dan produksi tanaman. Pada ppertanaman kentang dan tanaman sayuran, jumlah NO3- yang tercuci sebesar 22 – 1133 mg/l.
26
22.4. Degradasi Lahan Erosif Pada Lahan Berlereng Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang si sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah tti timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis ((D (Dariah, D Rachman, dan Kurnia, 2004). Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia uumumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal ini sehubungan dengan tingginya dan intensitas curah hujan. jjumlah u Faktor lereng merupakan penyebab besarnya potensi bahaya erosi pada uusahatani lahan kering. Di Indonesia, usahatani tanaman pangan banyak dilakukan ppada lahan kering berlereng. Hal ini sulit dihindari, karena sebagian besar lahan kkering di Indonesia mempunyai kemiringan lebih dari 3% dengan bentuk wilayah bberombak, bergelombang, berbukit, dan bergunung, yang meliputi 77,4% dari sseluruh e daratan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan sebidang tanah pada cara ppenggunaan
yang
sesuai
dengan
kemampuan
tanah
tersebut
dan
m memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kkerusakan tanah (Arsyad, 2000). Usaha-usaha konservasi tanah ditujukan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak, dan m memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara m lestari. le Salah satu masalah pokok yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya aalam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah bbagaimana sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien dan lestari baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang (Munandar, 1995). lle Usahatani dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bila U ppenerapan teknik konservasi tanah senantiasa menjadi prioritas. Kepekaan
tanah
terhadap
erosi,
atau
disebut
erodibilitas
tanah
ddidefinisikan sebagai mudah tidaknya suatu tanah tererosi (Hudson, 1978). Menurut Young et al., 1989 dalam Veiche (2002) menyatakan erodibilitas tanah M mudah tidaknya suatu tanah untuk dihancurkan oleh kekuatan jatuhnya ssebagai e
27
bbutir-butir hujan, dan/atau oleh kekuatan aliran permukaan. Sedangkan W Wischmeier dan Mannering (1969) menyatakan erodibilitas alami tanah m merupakan sifat kompleks yang tergantung pada laju infiltrasi tanah dan kapasitas ta tanah untuk bertahan terhadap penghancuran agregat serta pengangkutan oleh hhujan dan aliran permukaan. Erodibilitas tanah dipengaruhi oleh banyak sifat-sifat tanah, yaitu sifat mekanik, hidrologi, kimia, litologi, mineralogi dan biologi, termasuk ffisik, i kkarakteristik profil tanah seperti kedalaman tanah dan sifat-sifat dari lapisan tanah (Veiche, 2002). Poesen (1983) menyatakan bahwa erodibilitas bukan hanya ((V dditentukan oleh sifat-sifat tanah, namun ditentukan pula oleh faktor-faktor erosi yaitu erosivitas, topografi, vegetasi, fauna dan aktivitas manusia. llainnya, a Selanjutnya Hudson (1978) menyatakan bahwa selain sifat fisik tanah, faktor S ppengelolaan atau perlakuan terhadap tanah sangat berpengaruh terhadap tingkat eer erodibilitas tanah. Pada prinsipnya sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erodibilitas tanah aadalah sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan kkapasitas tanah menahan air, dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan oleh butir-butir air hujan dan st aaliran permukaan. Sifat-sifat tanah tersebut mencakup tekstur, struktur, bahan oorganik, kedalaman tanah, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah ((Arsyad, 2006). Tanah dengan kandungan debu tinggi, liat rendah, dan bahan (A oorganik rendah adalah yang paling mudah tererosi. 22.5. Penerapan Teknologi pada Lahan di Dataran Tinggi Indikasi penerapan teknologi pada lahan di dataran tinggi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu teknis, ekonomi dan sosial budaya. Pendekatan m teknis ditekankan pada keberhasilan teknologi dalam meningkatkan produktivitas tte e dan atau tanaman tanpa merusak lingkungan. Pendekatan ekonomi ttanah a menyoroti dukungan pasar, kemampuan permodalan, dan adanya peningkatan m ppendapatan. Pendekatan sosial budaya ditekankan pada akseptabilitas oleh petani ddan tidak bertentangan dengan budaya bertani yang ada. Dengan demikian,
28
kkeberhasilan aplikasi teknologi dalam mendukung usahatani akan tergantung pada kkesesuaian teknologi tersebut dengan kondisi agroekologi, ekonomi, dan sosial bbudaya (Togatorop et al., 2005) Budidaya pertanian merupakan salah satu usaha yang sangat tergantung ppada kondisi sumberdaya alam. Faktor-faktor sumberdaya alam yang berpengaruh tterhadap e budidaya pertanian disebut sebagai kondisi agroekologi. Indonesia mempunyai kondisi agroekologi yang sangat beragam. m Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, agroekologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu agroekologi dataran rendah (< 700 m IIndonesia n ddpl) dan agroekologi dataran tinggi (> 700 mdpl). Menurut Oldeman, tipe iklim di Indonesia dibagi menjadi 5 yaitu tipe A apabila bulan basah >9 bulan, tipe B IIn bulan basah antara 7-9 bulan, tipe C apabila bulan basah antara 5-6 bulan, aapabila p tipe D apabila bulan basah antara 3-4 bulan, dan tipe E apabila bulan basah < 3 tti bbulan (Puslitanak, 1999). Berdasarkan tataguna lahan, lahan dapat dibagi menjadi 3 yaitu lahan kering, lahan rawa, dan sawah. Disamping keragaman tersebut, m masih ada keragaman lain yang ditunjukkan antara lain oleh beragamnya jenis tanah (termasuk didalamnya struktur tanah dan kesuburan tanah), dan topografi. ta Di Indonesia, sebagian besar unit lahan terletak di lahan kering beriklim bbasah dan ada pula di lahan kering beriklim kering. Di lahan kering beriklim bbasah didominasi oleh tanah-tanah Podsolik Merah Kuning dengan curah hujan 22.500-3.500 mm setahun atau bulan kering lebih dari delapan bulan. Tanah-tanah ini iin n umumnya memiliki pH tanah yang rendah, ancaman erosi dan degradasi lahan yyang tinggi, KTK tanah rendah, KB rendah, permeabilitas tanah rendah dan kkandungan P dan bahan organik yang rendah (Hardjowigeno, 2007). Sedangkan lahan rawa umumnya terkendala oleh tata air yang sulit dikendalikan, kesuburan lla a tanah yang rendah, dengan kandungan unsur N, P dan K rendah, KB rendah, KTK tta a ssedang, kejenuhan alumunium tinggi dan pH tanah yang rendah (Widjaja Adhi, se 11987). Sebagian besar petani di daerah lahan berlereng menunjukkan kondisi ekonomi yang hampir serupa yaitu aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (seperti eek k ppasar, sumber sarana produksi, dan lembaga keuangan) yang kurang baik, modal yyang terbatas, dan pendapatan yang relatif rendah. Oleh sebab itu, teknologi yang
29
se sesuai untuk diterapkan hendaknya mempunyai ciri menghasilkan komoditas yang m mudah dipasarkan atau tahan simpan, memerlukan modal yang relatif murah dan pperalatan yang sederhana, serta mampu meningkatkan pendapatan secara nyata. M Mayoritas petani di lahan berlereng adalah petani kecil dengan ketersediaan m modal kerja yang sangat terbatas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ppetani hanya mengaplikasikan satu atau lebih komponen teknologi yang sesuai ddengan kebutuhan dan kemampuan permodalannya (Soehardjan, 2001) Faktor jumlah tanggungan keluarga, luas penguasaan lahan dan status ppenguasaan lahan berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan paket teknologi usahatani padi. Sedangkan faktor umur, tingkat pendidikan, iintensifikasi n ppengalaman berusahatani dan tingkat ekspose teknologi berhubungan erat dengan penerapan paket teknologi usahatani padi. Petani peserta program ttingkat i lebih respon dalam menerima inovasi teknologi dibandingkan petani iintensifikasi n yyang tidak mengikuti program intensifikasi. Tingkat penerapan sembilan paket teknologi usahatani padi sawah pada ppetani peserta program intensifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti program intensifikasi. Penerapan paket teknologi berperan dalam ti meningkatkan produktivitas, hal ini terbukti dari selisih rata-rata produksi dan m selisih rata-rata penerimaan bersih yang diperoleh petani peserta program se intensifikasi lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak mengikuti program in intensifikasi. Demikian pula tingkat pendapatan petani peserta program in intensifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak mengikuti iin n pprogram intensifikasi. Hal ini diperkuat dengan tingginya nilai R/C ration, B/C rratio a dan analisis anggaran parsial (Halim, 2005). Petani di lahan dataran tinggi mempunyai budaya khas daerahnya. Budaya tersebut dapat berkaitan langsung dengan sistim usaha tani atau tidak sama sekali. tte e Masuknya teknologi baru ke permukiman akan dapat bersinggungan dengan M bbudaya baik secara langsung atau tidak. Persinggungan ini akan mendukung atau menolak teknologi baru tersebut. m
30
22.6. Kelembagaan Usahatani Kelembagaan atau institusi dapat digunakan sebagai salah satu sudut ppandang untuk menelaah sesuatu, situasi atau kondisi, sehingga apabila ddipergunakan untuk memecahkan masalah dalam usahatani, maka akan m menghasilkan rekomendasi pemecahan masalah yang sangat khas. Oleh karena itu rrumusan u dan batasan serta kegunaan kelembagaan sebagai instrument untuk memecahkan masalah juga beragam, sangat tergantung pada tujuan serta jenis m ppermasalahan yang dihadapi. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input dalam proses transformasi dari input m menjadi output dan pada saat yang bersamaan juga mengkoordinasikan distribusi m ooutput kepada para pemilik input. Pemilik input tersebut dapat berupa individu, oorganisasi, pemerintah, dan lain-lain, tergantung dari satuan analisis yang ddigunakan. Kemampuan suatu kelembagaan mengkoordinasikan, mengendalikan, aatau t mengontrol interdependensi antar pihak-pihak sangat ditentukan oleh kkemampuan kelembagaan tersebut mengendalikan sumber interdependensi dari “goods” yang dikelola (Kartodihardjo, Murtilaksono, dan Sudadi, 2004). ““g Menurut Syahyuti (2006), suatu kelembagaan merupakan pemantapan pperilaku yang hidup pada suatu kelompok orang, merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola. Kelembagaan berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam m masyarakat dan ditentukan oleh sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa m bberbentuk tradisional dan modern. Juga dapat mengefisienkan kehidupan sosial. Dengan demikian kelembagaan adalah kelompok-kelompok sosial yang D ddijalankan masyarakat, dan semua pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan uuntuk mewujudkan aturan main diantara mereka, termasuk kesepakatan dalam ppenggunaan input, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hhubungan yang sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. Kelembagaan yaitu suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki lle e struktur. Ada tujuh bentuk kelembagaan usahatani yaitu kelembagaan penyedia sst t saprodi, kelembagaan penyedia permodalan, kelembagaan pemenuhan tenaga ssa
31
kkerja, kelembagaan penyedia lahan dan air irigasi, kelembagaan pengolahan hasil ppertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan kelembagaan penyedia in informasi. 22.7. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Agroekologi Areal panen merupakan resultante kesesuaian tumbuh tanaman dengan kkondisi agroekologi yang secara implisit mencakup unsur-unsur (peubah) iklim, dan jenis tanah (Hendayana, 2003). Zona agroekologi (ZAE) merupakan ffisiografi i satu cara dalam menata penggunaan lahan melalui pengelompokan wilayah ssalah a bberdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Di dalam konsep agroekologi, ditempatkan sebagai suatu alat untuk meningkatkan kapasitas produksi tteknologi e kkomoditas pada agroekologi tertentu. Ketiga peubah pembentuk utama aagroekologi tersebut merupakan peubah yang sulit berubah, sehingga suatu w wilayah yang dikelompokkan ke dalam wilayah agroecological zone (AEZ) ssebagai e basis pengembangan suatu komoditas dengan teknologi sebagai iinstrumennya n merupakan sesuatu yang mempunyai dasar (Amien, 1997). Zona agroekologi dalam pengertian sumber daya lahan merupakan interaksi antar komponen lahan (iklim, hidrologi, topografi, tanah) dengan in kkegiatan pertanian yang ada di dalamnya. Dengan tersedianya data iklim, tanah, ddan terain berikut hasil interpretasinya dari setiap zona agroekologi, penyusunan rakitan alih teknologi pertanian akan dapat dilakukan secara akurat. Petani yang ra mengusahakan lahannya pada zona agroekologi yang sama akan memiliki m ppersamaan persepsi, baik di dalam mengelola lahan dan mengatasi permasalahan, maupun dalam hal memenuhi kebutuhan masukan dan teknologinya (FAO, 1996 m ddalam Djaenudin, 2007). Keragaman penggunaan lahan dan kegiatan pertanian di ssuatu wilayah akan terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi agroekologi su yyang berkaitan dengan aspek iklim dan tanah sebagai penentu terhadap ppertumbuhan dan produktivitas tanaman (Conway, 1987). Melalui analisis kkarakteristik biofisik dan sosial ekonomi masyarakat maka dasar pertimbangan yyang dipakai dalam mengimplementasikan konsep pembangunan pertanian bberbasis agroekologi di suatu wilayah dapat dikembangkan berdasarkan kkarakteristik topografi wilayah.
32
Berkaitan dengan persyaratan tumbuh komoditas pertanian, analisis kkualitas dan karakteristik lahan spesifik lokasi dari setiap zona agroekologi m merupakan penentu keberhasilan pengembangan komoditas pertanian (Djaenudin eet al., 2003). Data yang berhubungan dengan kebutuhan masukan dan teknologi, sse serta e keluaran yang akan dihasilkan pada tingkat manajemen tertentu merupakan pparameter untuk evaluasi lahan secara ekonomi (Rossiter and Van Wambeke, 11997). Persyaratan penggunaan lahan menurut FAO (1983, dalam Djaenudin et aal., 2003) yang digunakan dalam evaluasi lahan mencakup aspek persyaratan aagroekologi, manajemen, penyiapan lahan dan konservasi. Komoditas pertanian yyang diusahakan pada agroekologi yang paling sesuai dengan persyaratan akan mampu berproduksi optimal dengan kualitas prima hanya dengan ttumbuhnya u memerlukan masukan yang relatif rendah, sehingga produk yang dihasilkan akan m mampu berdaya saing. m Data dan informasi potensi sumber daya lahan dari setiap zona aagroekologi yang tidak hanya disajikan dalam bentuk tabular, tetapi juga dalam bbentuk spasial (peta) akan mudah digunakan oleh perencana dan pengambil kkebijakan dalam menyusun program pengembangan wilayah, dalam hal ini tidak hhanya untuk sektor pertanian, tetapi juga untuk sektor lainnya yang bberkepentingan dengan ruang. Dari data spasial akan dapat diketahui secara pasti kkeberadaan lahan yang berpotensi maupun yang bermasalah termasuk berbagai kkendala yang harus diatasi. Demikian pula kebutuhan masukan untuk mengatasi bberbagai faktor pembatas yang ada pada setiap satuan agroekologi akan dapat ddiketahui (Djaenudin et al., 2003). Pembangunan pertanian berbasis agroekologi pada dasarnya merupakan bbagian integral dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan demikian, kkebijakan pembangunan nasional perlu menempatkan pembangunan pertanian bberbasis agroekologi dalam suatu hierarki pembangunan, dengan sistem produksi ppertanian sebagai hierarki paling kecil dalam pembangunan. Hal ini penting agar kkebijakan yang diambil pemerintah untuk memberikan dukungan pembangunan ppertanian dalam bentuk masukan produksi dapat efektif dan efisien. Agar sektor pertanian mampu memberikan kontribusi dalam kualitas ppertumbuhan yang memadai maka bentuk masukan perlu dimulai dari sistem
33
pproduksi pertanian dari hierarki yang paling kecil. Dengan pemikiran bahwa m masyarakat petani yang relatif masih menghadapi berbagai bentuk keterbatasan ddalam proses pertumbuhan bisa ditempatkan sebagai subyek, dan bukan hanya se sebagai obyek atau penerima pelayanan sosial proses pertumbuhan. Perubahan ini aakan ak k membuat pertumbuhan menjadi berkelanjutan dan pada gilirannya mampu m mendorong pembangunan sosial ekonomi yang dipicu dari masyarakat sebagai ppelaku produksi pertanian (Susanto, 2006). Terwujudnya sistem usahatani berkelanjutan di lahan pegunungan atau bberlereng, yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan air. Untuk mendukung m uusahatani ini, perlu dilakukan pengembangan teknologi yang berwawasan lokal ddan berkelanjutan. Aplikasi teknologi ini harus dilakukan sejak awal penempatan uuntuk menghidari terjadinya kesalahan dalam menata lahan, memilih komoditas ddan memilih cara budidaya. Pengembangan teknologi lokal di kawasan berlereng ddiawali dengan proses pemilihan teknologi, dilanjutkan dengan diseminasi tteknologi. Pemilihan teknologi tepat guna perlu dilakukan dengan tahapan sebagai te bberikut : a. Mempelajari kondisi fisik lokasi antara lain iklim, tanah, topografi, dan elevasi. Salah satu panduan dapat menggunakan peta agroekologi yang disusun oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang ada di setiap provinsi. b. Memilih sistem penggunaan lahan dan komoditas yang sesuai. Peta komoditas unggulan yang sudah disusun BPTP setempat dapat digunakan sebagai salah satu panduan. c. Mempelajari aksesibilitas, pemasaran, ketersediaan sarana produksi dan peralatan. d. Mempelajari kondisi sosial ekonomi masyarakat termasuk kemampuan dalam membiayai penerapan teknologi, jenis-jenis komoditas yang sudah dikembangkan, teknologi yang sudah dikembangkan dan ketrampilan yang dimiliki.
34
e. Mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memilih teknologi yang akan dikembangkan sehingga teknologi terpilih betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan minat masyarakat. 22.8. Pertanian Sebagai Suatu Sistem Dalam konsep analisis ilmiah konvensional, usahatani dibagi dalam bberbagai macam disiplin ilmu dan dipandang dengan sudut profesional dari ahli aagronomi, nutrisi ternak, ekonomi, dan lain-lain. Sebaliknya, petani justru tidak memiliki bidang keahlian khusus. Mereka menganggap usahatani sebagai suatu m kkeseluruhan, dan keseluruhan ini memiliki nilai lebih dari jumlah bagian-bagian yyang dilihat para ahli. Menurut CGIAR (1978), usahatani bukanlah sekedar kkumpulan tanaman dan hewan, dimana orang bisa memberikan input apa saja dan kkemudian mengharapkan hasil langsung. Usahatani merupakan suatu jalinan yang kkompleks terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain ddan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut ssebagai e petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Petani tersebut mengupayakan output dari input dan teknologi yang ada. Usahatani tidak terlepas m ddari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan ekologis dan geografis (lokasi, iklim, tanah, tumbuhan, dan hewan setempat) yang tercermin dalam budaya ik setempat. Hal ini kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang merupakan se hhasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumberdaya setempat. Nilainnilai masyarakat pedesaan, pengetahuan, keterampilan, teknologi dan institusi mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah dan terus berkembang. ssangat a Istilah sistem pertanian mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan uusahatani yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan ssosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumberdaya yang so ddimiliki petani (Shaner et al., 1982). Usahatani dengan kegiatan-kegiatan yang dikatakan mempraktekan sistem pertanian tertentu. Istilah pertanian disini sserupa e ddipakai dalam arti luas yang meliputi bukan hanya tanaman dan ternak, tetapi juga sumberdaya alam lainnya yang ada pada petani, termasuk sumberdaya yang ssu u ddimiliki bersama orang lain. Berburu, memancing, dan memanen madu serta hhasil-hasil lainnya dari daerah hutan dan juga penggembalaan ternak yang
35
ek ekstensif di padang rumput alami, semuanya bisa menjadi bagian dari suatu sistem ppertanian. Dalam suatu sistem usahatani, sumberdaya fisik seperti tanah, air dan uudara berinteraksi hingga menciptakan kondisi suhu, angin, curah hujan tertentu ddan lain-lain yang unik. Kondisi ini mempengaruhi berfungsinya sumberdaya bbiologis. Organisme yang hidup, dengan daur hidup dari kelahiran, pertumbuhan, pperkembangbiakan dan kematian, masing-masing berinteraksi satu sama lain ddalam proses, seperti persaingan, penurunan/regenerasi, simbiosis dan alelopati. Berbagai sumber daya dan proses biologis dan fisik secara sengaja dimanipulasi B ooleh sumberdaya manusia di dalam sistem tersebut, yaitu keluarga petani dengan segala pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan energinya. Sistem usahatani sse merupakan sistem yang terbuka, berbagai input diterima dari luar, dan sebagian m ddari output meninggalkan sistemnya (Reijntjes, Haverkort dan Bayer, 1999). 22.9. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kkesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bbersama-sama memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini ddilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat ddalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi ppermasalahan yang lebih baik dalam suatu komunitas dengan membuka lebih bbanyak kesempatan bagi masyarakat untuk ikut memberikan kontribusi sehingga kegiatan berjalan lebih efektif, efesien, dan berkelanjutan. iimplementasi m Stakeholder usahatani berkelanjutan secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) beneficiaries, masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara tti i langsung maupun tidak langsung, (ii) intermediaries, kelompok masyarakat atau lla a pperseorangan yang dapat memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam uusahatani berkelanjutan antara lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bbidang pertanian, dan (iii) decision/policy makers, lembaga yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum seperti lembaga pemerintahan. m Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dalam programpprogram pemerintah maka akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sudut
36
ppandang sejauh mana partisipasi masyarakat dan pihak terkait (stakeholder) la lainnya dalam program pembangunan. Partisipasi masyarakat dilakukan mulai d tahapan kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasional-pemeliharaan, dari se evaluasi dan pengawasan. serta Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode Stakeholders S Analysis yang dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (a) identifikasi stakeholder; (b) penilaian ketertarikan stakeholder terhadap kegiatan id usahatani berkelanjutan; (c) penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap u stakeholder; dan (d) perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam st usahatani berkelanjutan pada setiap fase kegiatan (McCracken, Jennifer and u Narayan, 1998). Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan kegiatan N pembelajaran dan meningkatkan potensi masyarakat untuk secara aktif p berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki b k kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam k kegiatan usahatani berkelanjutan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan usahatani u berkelanjutan terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (i) Penolakan (resistance/opposition); (ii) m Pertukaran informasi (information-sharing); (iii) Konsultasi (consultation with no P commitment); (iv) Konsensus dan Pengambilan Kesepakatan Bersama (concensus c building and agreement); (v) Kolaborasi (collaboration); (vi) Pemberdayaan b dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing); dan (vii) Pemberdayaan d dan d Kemitraan (empowerment and partnership) (Zonneveld, 2001). Rumusan jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda tergantung pada jenis kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan p tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan, Bank Dunia ti ti memperkenalkan social assessment yang umumnya mengelompokkan 4 (empat) m jenis kebijakan atau kegiatan yaitu: (i) indirect social benefits and direct social jjee costs; (ii) significant uncertainty or risks; (iii) large number of beneficiaries and c few ffee social cost; dan (iv) targeted assistance (The Word Bank, 1994). Indirect benefits, direct social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang IInn memberikan manfaat tidak langsung kepada masyarakat tetapi menimbulkan m
37
bbiaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan insfrastruktur, kkeanekaragaman hayati, structural adjustment, dan privatisasi. SSignificant uncertainty or risk. Suatu kebijakan untuk menyelesaikan suatu ppermasalahan yang bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia iin informasi n dan komitmen dari kelompok sasaran. Contoh kegiatan ini antara lain iintervensi/pembangunan n wilayah pasca konflik. Large number of beneficiaries and few social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan L yyang jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar tetapi hanya sedikit menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan m kkesehatan, pendidikan, penyuluhan pertanian, dan desentralisasi. Targeted assistance. Suatu kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah T ppenerima manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kkegiatan ini yaitu penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan ppengungsi, reformasi kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana aalam. 22.10. Pengembangan Tanaman Hortikultura Hortikultura merupakan salah satu ragam pertanian yang dikelola intensif yyang membudidayakan beraneka macam tanaman. Secara umum hortikultura mencakup pembudidayaan tanaman bunga, tanaman buah, tanaman sayuran, dan m tanaman penyegar (Ashari, 2006). Pengembangan tanaman hortikultura khususnya ta sayuran, buah-buahan dan tanaman hias sangat ditentukan oleh kondisi ttanaman ta a aagroklimat, ketinggian tempat dan jenis tanah suatu daerah. Beberapa alternatif penggunaan lahan pada ketinggian lebih dari 700 m ddari permukaan laut, iklim basah dan kemiringan lereng 15 – 30% yaitu dengan ppenanaman komoditas jagung, ubi jalar, kentang, wortel, kubis, tomat, buncis, bbunga-bungaan, atau tembakau. Pada kemiringan lereng 31 - 45% dapat ddiusahakan komoditas teh, kopi, kayu manis, avokad, vanili dan markisa, yang mana penanamannya menurut kontur (Sabiham, 2008). m Pengembangan kawasan pertanaman hortikultura nantinya akan diterapkan bberdasarkan komoditi dan jenis usaha tani. Komoditi di sektor agrobisnis hhortikultura itu meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman
38
bbiofarmaka (obat-obatan). Pengembangan kawasan hortikultura itu, antara lain, ddilakukan melalui perbaikan kawasan yang sudah ada maupun pembentukan kkawasan baru. Dalam kawasan itu akan dibuat usaha besar-besaran yang ddilengkapi fasilitas dan faktor pendukung lainnya. Jumlah komoditi hortikultura ssa saat a ini telah mencapai 323 varietas, yang terdiri dari 80 varietas sayuran, 60 vvarietas buah-buahan, 117 varietas tanaman hias, dan 66 varietas tanaman bbiofarmaka. Sejatinya, rencana pemerintah membentuk kawasan agrobisnis hhortikultura, juga didorong oleh besarnya potensi bisnis di sektor ini. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, komoditi di sektor ini mengalami peningkatan selama kurun waktu 2001eekspor k 22005. Pada tahun 2001, volume ekspor tanaman hortikultura tercatat sebesar 3340.337 ton. Dan pada tahun 2005, volume ekspor meningkat menjadi 354.642 tton. o Dari sisi nilai ekspor menunjukkan peningkatan, dimana pada tahun 2001 nnilai ekspor hortikultura baru sebesar US$172 juta, kemudian meningkat menjadi U US$ 206,6 juta pada 2005. Negara tujuan ekspor komoditi hortikultura Indonesia, an antara lain ke Singapura, Taiwan Cina, Jepang, Singapura, Amerika Serikat, dan sejumlah negara eropa lainnya. se Volume dan nilai ekspor hortikultura dipicu oleh semakin membaiknya pproduksi tanaman hortikultura. Produksi buah-buahan, dalam lima tahun terakhir (2001-2005) (2
secara
konsisten
menunjukkan
peningkatan,
dengan
skala
ppertumbuhan rata-rata mencapai 10% per tahun. Pada 2001, produksi buahbbuahan sekitar 9.959.032 ton. Dan pada 2005 skalanya meningkat menjadi 114.313.101 ton. Produksi sayuran dalam lima tahun terakhir (2001-2005) juga ccenderung meningkat, dengan rata-rata peningkatan sebesar 5,43% per tahun. Pada tahun 2001, produksi sayuran sebanyak 7.425.861 ton, dan meningkat P menjadi 9.011.417 ton pada tahun 2005. Hal yang sama juga terjadi pada produksi m tanaman hias. Selama lima tahun terakhir (2001-2005), secara umum mengalami tta a ppeningkatan rata-rata sebesar 14% per tahun. Jika pada 2001 produksi tanaman hhias mencapai 102.774.319 tangkai, pada 2005 produksinya meningkat menjadi 1159.309.068 tangkai. Begitu pula produksi tanaman biofarmaka, dalam kurun waktu 2001-2005 produksinya menunjukkan peningkatan dengan rata-rata laju w
39
ppeningkatan sebesar 6,5% per tahun. Jika pada 2001 produksinya sekitar 193.018 to ton, pada tahun 2005 produksinya telah mencapai 282.204 ton. Jika ditotal secara keseluruhan, produksi hortikultura selama 2001-2005 m menunjukkan peningkatan sebesar rata-rata 9,49% per tahun. Produksi tanaman hhortikultura menunjukkan grafik peningkatan, hal ini didukung oleh semakin m meningkatnya luas lahan panen komoditi hortikultura. Luas panen buah-buahan lima tahun terakhir (2001-2005) cenderung meningkat. Pada tahun 2001, sselama e luas tanaman buah-buahan yang menghasilkan sebesar 482.942 hektar, meningkat llu menjadi 673.062 hektar pada tahun 2005. Peningkatan luas panen itu sejalan m ddengan peningkatan produktivitas pada periode yang sama. Luas panen sayuran selama lima tahun terakhir (2001- 2005) juga cenderung meningkat, yakni dari sse 7768.700 hektar pada tahun 2001 menjadi 1.031.896 hektar pada tahun 2005. Luas ppanen tanaman hias pada periode 2001-0005 juga meningkat. Rata-rata ppeningkatan sebesar 54,86% per tahun. Untuk tanaman biofarmaka luas panennya bberfluktuasi dan mengalami peningkatan yang tidak signifikan (BEI, 2007).