15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pembangunan Berkelanjutan
2.1.1. Konsep dan Definisi Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspekaspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya, arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang (Khanna et al. 1999). Menurut Leach dan Scooness (1997), masyarakat dilihat sebagai unit yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat. Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001) menyatakan
bahwa
berkelanjutan
(sustainability)
didefinisikan
sebagai
pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.
16
Bosshard (2000) mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu: (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan ekonomi (Greenland, 1992). Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996). Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable. World
Commision
on
Environment
and
Development
(1987)
mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam naskah tersebut terkandung dua gagasan penting yaitu : -
Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diprioritaskan.
-
Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.
Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs (1994), adalah bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan
penduduk,
pengelolaan
sumberdaya
energi
dan
proteksi
lingkungan secara harmonis. Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi
17
mendatang dapat dipenuhi. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan
oleh
Roderic
dan
Meppem
(1997),
bahwa
berkelanjutan
memerlukan pengelolaan tentang (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kajian ini Djojohadikusumo (1994) mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara terus-menerus dan sambung-menyambung. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. 2.1.2. Prinsip - Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan publikasi Our Common Future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertimbangannya adalah bahwa tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin ditentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan berkelanjutan. Mitchell (1997) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan antara lain: 1) Prinsip lingkungan/ekologi, yaitu melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global. 2) Prinsip sosial politik, yaitu mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Menurut Plessis (1999), pada awalnya pembangunan berkelanjutan hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam untuk menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang.
18
Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial. Pembangunan berkelanjutan juga harus memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan pemenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal ini perlu dijaga keseimbangannya terhadap tiga persyaratan prinsip yaitu: (1) kebutuhan masyarakat (the social objective), (2) effisiensi dalam mengelola keterbatasan sumber daya alam (the economic objective) dan, (3) perlu mengurangi beban ekosistem untuk melestarikan lingkungan (the environmental objective) (Chemical Industry dan Chemistry, 2005). Pembangunan
mempengaruhi
dan
dipengaruhi
oleh
lingkungan
hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, dan ketiga, lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai. Sitorus pembangunan
(2004)
mengemukakan
berkelanjutan
perlu
pokok-pokok
menjadi
pikirannya
pertimbangan
bahwa
karena
ada
keterbatasan planet bumi dalam empat asumsi dasar yaitu: 1) terbatasnya
cadangan
sumber-sumber yang tidak
dapat
diperbaharui
(non-renewable resources), 2) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi 3) terbatasnya lahan yang dapat ditanami 4) terbatasnya
produksi
per satuan luas
lahan,
atau
batasan
fisik
terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Sitorus (2004) selanjutnya menyatakan bahwa ciri-ciri pembangunan yang tidak berkelanjutan antara lain adalah: 1) Prakarsa biasanya dimulai dari pusat 2) Proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat pakar dan teknokrat 3) Mekanisme kelembagaan bersifat top-down
19
2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan
ini
jelas
bahwa
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Dalam rangka mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti pada Gambar 3. Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan
sumberdaya
alam
dan
berbagai
dimensinya)
dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
20
lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Pada konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain Center for international Forestry Research (CIFOR) mengembangkan
sistem
pembangunan
kehutanan
berkelanjutan
dengan
mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan
21
memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Secara
operasional,
pembangunan
berkelanjutan
sinergi
dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif, melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upayaupaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi
ekonomi
maupun
melalui
proses-proses
peraturan
dan
penataan
penggunaan lahan (Setiawan, 2003). 2.2.
Pengembangan Wilayah Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Akil, 2003). Dalam kontek ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produksi serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban) adalah saling tergantung (interdependent) dalam kontek perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja (Voith, 1998). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan
potensi
pertumbuhan
akan
membantu
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).
22
Kasikoen (2005) menyatakan bahwa ada keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan dimana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan. Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada beberapa dekade yang lalu, cara pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan yang hanya pada pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh Djajadiningrat (1997). Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi, dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh. Menurut Shukla (2000), melalui perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan dan keberlanjutan, jawaban ini dapat diuraikan sebagai berikut; -
Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumber daya fisik serta teknologi
-
Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan dimana akan mengisi kebutuhan lokal
-
Perencanaan
wilayah
membantu
mengurangi
pembangunan
yang
kurang berimbang antar dan dalam wilayah. Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah menimbulkan
dampak/masalah
yang
semakin
besar
dan
komplek
sehingga cenderung menimbulkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Erwidodo (1999) menyatakan bahwa kesenjangan pertumbuhan antara wilayah perkotaan dan perdesaan telah memunculkan permasalahan kompleks antara lain meningkatnya arus migrasi penduduk desa ke kota, meningkatnya kemiskinan masyarakat dan "pengurasan" sumber daya alam. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya "pengurasan" tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar
23
untuk mengeksploitasi sumberdaya yang terdapat di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai keterampilan dan kemampuan. Menurut Basri (1999), bahwa rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat perdesaan dipengaruhi oleh: 1) Kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi kapasitas individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dan proses produksi; 2) Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar lapangan usaha dan pendapatan rumah tangga atau masyarakat; 3) Potensi daya dukung regional (geographical setting) seperti kondisi geografis, sumberdaya alam serta infrastruktur yang mempengaruhi pola kegiatan produksi dan distribusi; 4) Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial dan jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Berdasarkan
pernyataan
tersebut
pembangunan wilayah perdesaan adalah terhadap
masyarakat
perdesaan
maka
kebijakan
masalah yang
utama
kurang
dalam berpihak
dan rendahnya kemampuan sumber daya
manusia dalam mengelola sumber-sumber daya alam guna pembangunan masyarakat perdesaan. Miyoshi (1997) mengemukakan pendapat Friedman dan Douglas, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu: (1) sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor; (2) kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi; (3) small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Pembangunan rural small
enterprise
sangat
penting
untuk
mengembangkan
pusat-pusat
pertumbuhan atau kota kecil yang berperan sebagai pusat pemasaran desa-desa di sekitarnya.
24
Akibat dari kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh terjadinya urban bias di atas, pembangunan di wilayah perdesaan mengalami kekurangan investasi modal, dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam kondisi seperti ini posisi tawar masyarakat perdesaan
menjadi
semakin
lemah
sehingga
pengambilan
keputusan
pembangunan menjadi tersentralisasi di kota-kota tanpa menghiraukan kondisi perdesaan.
Pembangunan
di
perdesaan
semakin
terpuruk
sedangkan
pertumbuhan ekonomi kota-kota relatif semakin besar yang diikuti dengan eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan. Keadaan ini mendorong terjadinya kerusakan-kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas, baik di wilayah perdesaan maupun di kawasan perkotaan sendiri. Kondisi di atas terjadi antara lain karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik (material capital: man-made and natural), sumberdaya manusia (human capital) dan sumberdaya sosial (social capital) dan kebijaksanaan pengembangan teknologi tidak diiakukan secara tepat dan memadai, bahkan di masa yang lalu terkesan banyak diabaikan. Makin meluasnya masalah-masalah sejenis di sebagian besar negaranegara berkembang, mengakibatkan para pakar pembangunan mulai berpikir untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang berimbang secara: spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, Rustiadi (2003), mengatakan bahwa pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: (1) mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. (2) Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, bahwa proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang yang merupakan suatu sistem yang terkait satu sama lainnya. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan daerah pada era otonomi ini perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah
25
bukan lagi pendekatan sektor sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Menurut Hull (1998), perencanaan tata ruang merupakan suatu mekanisme integratif untuk mengkoordinasikan berbagai strategis pembangunan. Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus
globalisasi.
Menurut
Rondinelli
(1985),
ada
tiga
konsep
dalam
pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole); (2) integrasi fungsi (functional integration), dan (3) pendekatan pendesentralisasian wilayah (decentralized territorial approaches). Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negaranegara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: pertama, industrialisasi dengan teknologi modern dapat didesentralisasikan manfaatkannya pada daerah perdesaan, kedua, keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional. Pendekatan pembangunan agropolitan merupakan bagian dari pada pengembangan wilayah skala kawasan merupakan senergitas pembangunan antara kota-desa (urban rural development). Dalam rangka mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri dan keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan, maka pendekatan agropolitan dapat menjadi salah satu pendekatan pembangunan perdesaan. Agropolitan yang dilakukan di wilayah penelitian merupakan aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang, sehingga kegiatan ini menjadi relevan dengan wilayah perdesaan
karena
pada
umumnya
sektor
pertanian
dan
pengelolaan
sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (1996). 2.3.
Agropolitan Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan
kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa
26
diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam memang merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun dan tertinggal, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat
pertumbuhan
menerima
beban
berlebih
sehingga
memunculkan
ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah secara keseluruhan. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan di sekitarnya (backwash effect). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (tricle down effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa dalam bidang ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besarbesaran. Dalam konteks wiiayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula diiihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi, regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif akan mendorong terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini telah dan sedang terjadi proses pemekaran wilayah adminstratif dengan munculnya kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah. Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah satu
27
jawaban
pemerintah
untuk
mengatasi
kesenjangan
yang
mencolok
pembangunan nasional dibanding Kawasan Barat Indonesia (KBI). Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan dipandang
sebagai
konsep
yang
menjanjikan
teratasinya
permasalah
ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah : 1. Suatu
model
pembangunan
yang
mengandalkan
desentralisasi,
mengandaikan pembangunan infrastruktur setara kota di wiiayah pedesaan, sehingga mendorong terbentuknya kota-kota di wilayah perdesaan. Dari berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan perdesaan - perkotaan selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. 2. Bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti yang selama ini terjadi yaitu migrasi desa-kota (urbanisasi) yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya alam, pemiskinan desa dll. 3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik. 4. Mendorong peningkatan produktivitas perdesaan secara ekonomi, sosial, dan kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Pendekatan agropolitan bisa mendorong penduduk perdesaan tetap tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Melalui agropolitan diharapkan dapat tercapai tujuan akhir pembangunan yaitu tercipta daerah yang mandiri dan otonom, dan karenanya dapat mengurangi kekuasaan korporasi transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat subordinatif. Pengembangan agropolitan diperlukan untuk lebih mengembangkan potensi perdesaan sehingga lebih mandiri, hal tersebut ditujukan untuk:
Mereduksi pengurasan kekayaan desa (sentra produksi) ke kota besar.
28
Menghidupkan ekonomi perdesaan/kerakyatan dengan memberdayakan potensi perdesaan/kerakyatan sehingga rnengurangi ketergantungan kepada kota besar.
Mengurangi kemacetan/aglomerasi baik pasar modal, industri, transportasi dll. ) kota-kota besar yang merusak lingkungan
Agropolis dikembangkan sebagai kekuatan yang mampu mendorong, menghela dan melayani daerah-daerah pertumbuhan
Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis dalam suatu kawasan terpiiih dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasilnya.
2.3.1. Pengertian Agropolitan terdiri dari kata "agro" yang berarti pertanian dan "politan (polis)" yang berarti kota. Sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota (Departemen Pertanian, 2002). Hasan (2003) mengemukakan bahwa kegiatan kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan pembangunan masa lalu. Menurut Saefulhakim (2004), "agro" bermakna "tanah yang dikelola" atau "budidaya tanaman", yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. "Metropolis" bermakna " a central point or principal" Agro - metropolis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentrasentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih yang pada kawasan tersebut, terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2003). 2.3.2. Batas Kawasan Agropolitan Pendekatan
pembangunan
perdesaan
melalui
konsep
agropolitan
dikembangkan oleh Friedman dan Douglass (1975). Keduanya bahkan menekankan
pentingnya
pendekatan
agropolitan
dalam
pengembangan
perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan (rural development) secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issue
29
utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan pertanian dan penyediaan pengairan, (2) desentralisasi politik dan wewenang administratif dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian. Melihat kota - desa sebagai fungsi - fungsi politik dan administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten (Douglass, 1998). Menurut
Friedman
dan
Douglass
(1975),
tujuan
pembangunan
agropolitan adalah menciptakan "cities in the field" dengan memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang berpenduduk padat dan mempunyai ukuran tertentu. Agropolitan district merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan ruang,
melalui
desentralisasi
perencanaan
dan
pengambilan
keputusan
(decentralized). Agropolitan districts dapat dikembangkan pada perdesaan dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan kesempatan tenaga kerja, dan mengurangi tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996). Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site utama untuk fungsi politik dan administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi) dan demokratisasi. Sebagai bagian dari perubahan politik, hal tersebut akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan mengenai bagaimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan. Selanjutnya
Mercado
(2002)
mengemukakan
bahwa
gambaran
agropolitan adalah pertama, skala geografinya relatif kecil. Kedua, proses perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat lokal. Ketiga, diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non pertanian. Keempat, pemanfaatan teknologi dan sumberdaya setempat. Kelima, berfungsi sebagai urban-rural industrial. Dengan luasan skala kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut: (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2) cukup luas untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi
(scope
of
economic
growth)
dan
cukup
luas
dalam
upaya
30
pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan. Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu sesuai tanggung jawab bidang masing-masing. Menurut Misra (1980), pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan bertumpu pada
masyarakat.
Pendekatan
pembangunan
tersebut
disarankan
agar
dilaksanakan melalui enam elemen dasar yaitu: (1) pembangunan pertanian dengan padat karya (labour intensive), (2) menciptakan lapangan kerja, (3) membangun industri kecil/industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4) gotong-royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan, (5) mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan, dan (6) kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor. Menurut terjadinya
Rustiadi
(2004)
pengembangan
agropolitan
memerlukan
re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini
dapat dilakukan melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan agar mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi asset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital. Di Indonesia, pembangunan agropolitan yang sifatnya masih rintisan telah dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Program ini merupakan kerjasama antara Depertemen Departemen
Pertanian
dengan
Departemen
Kimpraswil.
Pertanian bertanggung jawab terhadap penyiapan lokasi garapan
dan penyuluhan sedangkan Departemen Kimpraswil sesuai dengan core bisnisnya membangun prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan program agropolitan. Dalam pelaksanaannya belum didukung adanya kebijakan secara nasional melainkan hanya berupa Pedoman Umum Pengembangan
Kawasan
Agropolitan
dan
Pedoman
Program
Rintisan
Pengembangan Kawasan Agropolitan, yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian. Dalam pelaksanaanya, belum semua stakeholders yang diharapkan ikut bersama-sama secara terpadu menangani program agropolitan ini. Saat ini baru
31
beberapa instansi saja yang secara aktif menangani program ini. Adalah tidak mungkin kalau untuk keberhasilan program ini hanya bertumpu pada peran pemerintah, tetapi juga diperlukan keterlibatan masyarakat, swasta, dan pemerintah secara bersama-sama dan bermitra untuk menyepakati programprogram
yang
dibutuhkan
untuk
dilaksanakan
secara
terencana
dan
berkesinambungan. 2.4.
Pembangunan
Agribisnis
yang
Berkelanjutan
Berbasis
Sumberdaya Lokal Pembangunan agribisnis di Indonesia dapat dikatakan merupakan sektor yang paling mampu bertahan dan mampu menikmati keuntungan yang berlipat ganda apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini terjadi karena pengembangan kegiatan agribisnis relatif kurang mengandalkan bahan baku
yang
berasal
dari
komponen
impor,
artinya
kegiatan
agribisnis
menggunakan sebanyak mungkin komponen input yang dapat dihasilkan di dalam negeri. Pada sisi lain, output kegiatan agribisnis sebagian besar adalah jenis barang-barang yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelanjutan kehidupan
manusia
yang berupa kebutuhan pangan, sandang, papan,
kosmetika, kesehatan, dan sebagainya. Perbandingan rendahnya harga beli input dan tingginya nilai jual output kegiatan agribisnis menyebabkan keuntungan ideal yang dapat diperoleh oleh para pengusaha agribisnis di Indonesia. Akan tetapi apabila kita mengkaji lebih jauh pengelolaan usaha-usaha agribisnis yang terjadi selama ini di Indonesia, umumnya kurang memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Orientasi usaha agribisnis yang dilakukan oleh banyak pengusaha di Indonesia selama ini, baik petani kecil yang mengelola usaha skala kecil atau pengusaha besar yang mengelola lahan pertanian pada skala yang amat luas, cenderung kurang memperhatikan pola pengusahaan kegiatan agribisnis yang berkelanjutan. Kegiatan agribisnis memang berbasiskan pada sumber daya yang renewable (dapat diperbaharui), tetapi lahan usaha (tanah, hutan, air) sebagai sarana produksi yang mendasar untuk mengembangkan kegiatan agribisnis juga mempunyai daya dukung yang juga terbatas jika tidak diperhatikan usaha-usaha pengelolaannya agar tetap lestari. Keberhasilan agribisnis tidak hanya diindikasikan oleh kontinuitas dan peningkatan produksi agribisnis, tetapi juga bagaimana agar agribisnis tersebut dapat memberikan manfaat yang merata bagi
32
semua pelaku dalam sistem agribisnis secara kontinyu dan menjaga kelestarian lingkungan. Ada dua kelemahan mendasar dalam pengembangan usaha di sektor pertanian Indonesia selama ini. Pertama, adalah keuntungan hanya dinikmati oleh sekelompok pengusaha yang memiliki modal besar dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber daya pokok maupun pendukung usaha (perbankan, pasar, informasi harga dan teknologi); dan kedua, terjadinya eksploitasi besarbesaran
terhadap
sumber
daya
sehingga
menyebabkan
terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan. Dalam perencanaan kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia, khususnya dalam pengembangan agribisnis, maka penting diperhatikan strategi kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi sumber daya lokal yang ada (sumber daya alam dan sumber daya sosialbudaya) dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam kegiatan pengelolaan usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani pada zaman dahulu, banyak kepercayaan atau strategi memanfaatkan sumber daya alam yang sangat memperhatikan terjaganya kelestarian lingkungan. Contoh untuk hal tersebut adalah menggunakan pupuk tanaman yang berasal dari sisa tanaman atau kotoran hewan, menghindari melakukan eksploitasi sumber daya alam di wilayah pegunungan, upaya memberantas hama dan penyakit tanaman tanpa menggunakan
zat-zat
kimia
tetapi
dengan
menggunakan
cara-cara
pemberantasan secara alami, dan banyak lagi cara-cara lainnya yang seringkali dipandang kurang rasional oleh pengikut teori modernisasi. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal bagi pengembangan agribisnis di Indonesia merupakan strategi terbaik dalam mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam Indonesia cukup besar untuk dapat mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Indonesia, tetapi kuncinya adalah bagaimana mengelola semua itu secara benar, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang dalam jangka pendek. Pengembangan agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan pertanian di Indonesia yang berusaha meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian Indonesia di pasaran domestik dan internasional. Namun penting diperhatikan berbagai upaya yang dapat mencegah eksploitasi yang berlebihan
terhadap
sumber
daya
alam
Indonesia
dan
mengabaikan
33
pengembangan usaha yang selaras dengan lingkungan alam serta lingkungan sosial. Berbagai
kasus
pengembangan
agribisnis
beberapa
komoditas
kehutanan dan perkebunan yang telah banyak dilakukan selama ini umumnya berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang dihasilkan dalam jangka pendek, sehingga kurang memperhatikan daya dukung sumber daya alam, manusia dan kelembagaan lokal yang ada di wilayah pengembangan usaha tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak kegiatan agribisnis yang tidak berumur panjang, melakukan eksploitasi sumber daya yang berlebihan atau menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar lokasi (Tampubolon, 2002). 2.5.
Agribisnis Sapi Potong Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang
digunakan
terhadap
gugus
industri
(cluster
industry)
yang
melakukan
pendayagunaan sumberdaya hayati (Pambudy et al. 2001). Berdasarkan pendekatan etimologis, pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai basis budidaya (agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang). Dengan demikian, agribisnis sapi potong berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai usaha perdagangan sapi potong. Namun, pengertian agribisnis saat ini tIdak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etiomologis, akan tetapi telah meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global dikaitkan dengan semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang. Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis sapi potong diartikan sebagai "suatu kegiatan bidang usaha sapi potong yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana praduksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petanipeternak, perusahaan swasta dan pemerintah)". Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) sapi potong yang mencakup
34
empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah sebagai berikut: 1) Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (praduksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit sapi potong, pakan ternak, industri obat-obatan, dan inseminasi buatan; 2) Subsistem agribisnis budidaya sapi potong (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak sapi potong; 3) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam
subsistem
ini
termasuk
industri
pemotongan
ternak,
industri
pengalengan dan pengolahan daging, dan industri pengolahan kulit; 4) Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis sapi potong seperti perbankan, asuransi, koperasi,
trasportasi,
penyuluhan,
poskeswan,
kebijakan
pemerintah,
lembaga pendidikan dan penelitian. Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu:1) Subsistem pengadaan dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya, 2). Subsistem produksi atau usaha tani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, dan jagung dan lain-lain, 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4). Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis sapi potong beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
35
Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Agribisnis Budidaya
Subsistem Agribisnis Hilir
Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan : Bibit/Induk/Semen Pakan/Konsentrat Obat Hewan Lahan Kandang Tenaga Kerja
Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produk-produk primer : Pengolahan lahan Antisipasi iklim/cuaca Pencegahan penyakit Pemberantasan penyakit Pembelian Sapronak Kegiatan produksi
Sistem pengumpulan produk primer peternakan, pengolahan produk, distribusi dan pemasaran produk olahan (segar, beku, kaleng dan sebagainya) sampai ke konsumen akhir
Subsistem Lembaga Penunjang Penyedian sarana usaha (agrisupport) dan pengaturan iklim usaha (agriclimate) Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain) Kebijakan (RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain) Penyuluhan
Gambar 4. Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong 2.5.1. Subsistem agribisnis hulu Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness) dari sistem agribisnis sapi potong mencakup kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti bibit, pakan ternak, industri obat-obatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan penting dalam pengembangan sistem agribisnis terutama bibit. Skala usaha atau jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 3 ekor per petani. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar berasal dari keluarga petani yang serba terbatas. Karena kecilnya pemilikan ternak, usaha pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan. Ada dua macam teknik reproduksi ternak yang sudah dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bibit, yaitu inseminasi buatan (IB) dan kawin alam. Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan masyarakat petani ternak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan ternak terutama ternak besar. Menurut Hadi dan llham (2002), ada beberapa permasalahan dalam. industri pembibitan ternak di Indonesia, antara lain; 1). Angka pelayanan kawin per kebuntingan (service per conception - S/C) masih cukup tinggi, mencapai 2.6, 2). Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang
36
tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator dan masalah transportasi, 3). Jarak beranak (calving interval) masih terlalu panjang, dan 4). Tingginya tingkat kematian (mortality rate) pedet pra sapih, bahkan ada yang mencapai 50%. Rendahnya produktivitas ternak dalam hal pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan ternak yang bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang mengharuskan kita tetap mengimpor ternak dalam jumlah yang cukup besar. Pakan ternak dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Satu hal yang terpenting adalah pakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak vitamin, dan mineral. Hijauan untuk pakan ternak dapat berasal dari rumput alam atau limbah pertanian dan perkebunan. Berbagai hasil penelitian merekomendasikan jerami dan dedak (bekatul) serta limbah perkebunan kelapa sawit (pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, dan bungkil) merupakan sumber pakan yang cukup baik untuk ternak sapi potong (Sarwono dan Arianto, 2002) dan (Dwiyanto et al. 2003). Teknologi pengolahan pakan menjadi aspek penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis sapi potong. Ketergantungan pakan hijauan yang bersumber dari rumput alam akan menghadapi kendala pada saat musim kering. 2.5.2. Subsistem agribisnis budidaya Pada subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusiness), menurut Prasetyo (1994) ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pengembangbiakan (reproduksi) dan penggemukan. Kegiatan budidaya ternak untuk tujuan penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil (petani) maupun dalam bentuk perusahaan besar. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya peternakan adalah manajemen pemberian pakan. Pemberian pakan pada ternak peliharaan dibedakan menjadi dua golongan yaitu pakan perawatan, untuk mempertahankan hidup dan kesehatan dan pakan produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan. 2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) dari sistem agribisnis
peternakan
adalah
kegiatan
ekonomi
yang
mengolah
dan
memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri
37
pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit dan lain-lain. Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste dan pollutan, dan pengembangan teknologi produk. Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan sebagai produk bermanfaat yang bisa dimakan dan tidak bias dimakan, seperti disajikan dalam pohon industri pada Gambar 6. Menurut llham et al. (2002), keragaan saluran tataniaga ternak dan daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen daging segar. Pola umum saluran tataniaga daging dapat dilihat pada Gambar 5. Konsumen membeli daging dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal/distributor. Kelompok konsumen daging segar terdiri dari; konsumen rumah tangga, rumah makan/restoran, hotel, tukang baso, dan lain-lain.
Peternak
Pedagang
Penjagal/Pemotong
Pengecer
Konsumen
Gambar 5. Pola umum saluran tataniaga ternak dan daging
Gambar 6. Pohon industri sapi potong (judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; WWW.ristek.go.id, 200; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [09-01-2009]
38
39
2.5.4. Subsistem agribisnis lembaga penunjang Subsistem
agribisnis
lembaga
penunjang
(supporting
institution)
merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem agribisnis
lainnya.
Subsistem
ini
akan
memberikan
dukungan
secara
kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada beberapa lembaga yang berperan di dalam sub sistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis berbasis lingkungan seperti perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan hewan perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan karena hal tersebut berkaitan dengan tingkat produktivitas ternak. Kesehatan ternak menjadi faktor penentu tingkat produktifitas ternak, karena kondisi kesehatan ternak terkait dengan pertambahan berat badan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai usia dewasa kelamin. Ternak yang tidak sehat akan terganggu pertumbuhannya sehingga produktifitasnya menjadi rendah. Aplikasi teknologi kesehatan hewan berupa pelayanan kesehatan hewan seperti pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular,
pemberian
vitamin/probiotik,
pemberian
obat
cacing,
pemeriksaan kesehatan reproduksi dan lain sebagainya memerlukan pos kesehatan hewan (poskeswan) yang difasilitasi oleh pemerintah dan didukung oleh tenaga teknis di bidang kesehatan hewan (Dokter Hewan dan paramedis kesehatan hewan). Koperasi merupakan salah satu lembaga yang juga perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat petani ternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan aplikasi teknologi (Yusdja et al. 2002). Koperasi dapat menjadi media bagi petani ternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar petani ternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi potong memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Khusus aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapatkan
40
prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong beresiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return) (Karim 2002). Namun menurut Thohari (2003) ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis sapi potong antara lain adalah: kredit taskin, modal ventura, pemanfaatan laba BUMN, pegadaian, kredit BNI, kredit komersial perbankan (kupedes dari BRI, swamitra dari Bukopin, kredit usaha kecil dari: BNI, Bank Danamon, Bll, Bank Mandiri, kredit BCA, kredit pengusaha kecil dan mikro (KPKM) dari Bank Niaga, kredit modal kerja dari Bank Agro Niaga), dan pemanfaatan lembaga keuangan mikro (LKM) di pedesaan. Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis maka prasarana jalan merupakan faktor yang menentukan tingkat aksesibilitas dalam suatu kawasan. Aksesibilitas kawasan akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingginya sumbangan terhadap perekonomian wilayah dari suatu daerah akan mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan menuju kawasan agribisnis. Prasarana jalan merupakan prasarana vital untuk mengembangkan perekonomian
di wilayah.
Terbangunnya jalan
kabupaten (antar kecamatan) dan antar desa akan memudahkan pengangkutan hasil pertanian dan peternakan berupa barang produksi dan konsumsi. Prasarana jalan merupakan kebutuhan prioritas dalam pengembangan agribisnis di wilayah perdesaan. 2.6.
Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah Program pembangunan peternakan sebagai bagian dari program
pembangunan sektor pertanian mengarah langsung kepada pemberdayaan petani ternak, koperasi, dan swasta. Mekanisme pelaksanaannya dilakukan melalui pelimpahan wewenang (dekosentrasi) dan penyerahan wewenang (desentralisasi) kepada daerah kabupaten/kota sebagai pencerminan dari kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Undangundang No 32 Tahun 2004, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 serta PP No. 25 Tahun 2000, merupakan landasan yuridis formal dalam penataan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pembangunan peternakan. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan 25 Tahun 1999 kemudian dituangkan ke dalam PP No. 25 Tahun 2000 dijelaskan batas kewenangan
41
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) secara rinci pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat, dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset tersebut menjadi milik pemerintah daerah. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program tersebut,
yaitu
untuk
membentuk
kawasan
peternakan,
menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak.
2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong. Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia.
42
Tabel 1.
Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.
Tingkat Pusat Penetapan
kebijakan tata ruang peternakan & Pembinaan pengembangan kelembagaan peternakan model Perumusan pengembangan kelembagaan ekonomi peternakan seperti koperasi, kelembagaan pemasaran dan pengembangan usaha. Analisis dan pelayanan informasi pasar
Tingkat Provinsi
Tingkat Kabupaten/Kota
Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah. Analisis dan pelayanan informasi peluang investasi. Analisis pola pengembangan usaha peternakan di kawasan agroekologi. Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi.
Identifikasi potensi, pemetaan tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan pengembangan peternakan. Bimbingan dan pengawasan penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak. Bimbingan dan pengawasan ternak oleh swasta. Penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak pemerintah. Pelaksanaan promosi komoditas peternakan. Pembinaan dan pengembangan kemitraan petani ternak dan pengusaha. Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha, analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan. Bimbingan eskplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati peternakan. Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.
Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002
Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut.
43
1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.
2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif. Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan
peternakan
ditentukan
oleh
tingkat
pertumbuhan
berdasarkan
perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.
1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok
44
dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unitunit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.
3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat
kelompok
petani
yang
meningkat
kemampuannya
menjadi
kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah
KUBA
(kelompok
usaha
bersama
agribisnis),
dan
dapat
dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB, 2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan. Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging. Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan
45
teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan). Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil temak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001). 2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong Perkembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan,
ditunjang
oleh
kemampuan
manusia,
dan
kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri (Santosa, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal diantaranya infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah. Pengembangan sistem budidaya sapi potong melalui pola-pola integrasi, pada
dasarnya
mengikuti
prinsip-prinsip
ekosistem
alami
dengan
cara
memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia dan ramah lingkungan (environmental friendly) sehingga tercipta suatu keseimbangan yang dinamis dan meningkatkan produktivitas. Karena yang menjadi ciri ekosistem alami adalah adanya keanekaragaman, adanya ketergantungan dan keterkaitan, adanya keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilisasi, serta adanya manfaat dan produktivitas (Sutjahjo 2004) Menurut
Atmadilaga
(1975),
hambatan-hambatan
dalam
usaha
meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang kompleks dan bersifat biologis, ekologis, serta sosioekonomis. Hal ini akan
46
berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama ternak yang bersifat tradisional. Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji, 1995). Hal tersebut diperkuat oleh Sudrajat (2000) yang menyatakan bahwa beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : (1) Penyempitan lahan pangonan, (2) kualitas sumberdaya manusia rendah, (3) produktivitas ternak rendah, (4) akses ke pemodal sulit. (5) koordinasi lintas sektoral belum kondusif, dan (5) penggunaan teknologi masih rendah. Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Menurut Santosa (2001) secara nasional kita dihadapkan kepada persoalan-persoalan sebagai berikut.
Harga obat hewan yang semakin tinggi.
Kesulitan untuk memperoleh bibit.
Kesulitan untuk akses ke sumber modal.
Rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak.
Rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak.
Masih tingginya angka pemotong ternak betina produktif.
Manajemen pakan yang kurang baik.
Masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi IB.
Belum ada upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi
potong di Indonesia adalah : (I) permintaan pasar terhadap daging sapi semakin meningkat, (2) Ketersediaan tenaga kerja cukup besar, (3) Kebijakan pemerintah mendukung, (4) Hijauan dari sisa pertanian tersedia sepanjang tahun, (5) Usaha peternakan
sapi
lokal
tidak
terpengaruh
krisis.
Kendala
dan
peluang
pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.
2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong Sejak dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan
47
mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus menyesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional dalam
memanfaatkan,
menggunakan
kekayaan
sumberdaya
alam
dan
mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nasional dan berkelanjutan. Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan penggunaan sumberdaya tersedia, dan lebih jauh dapat meningkatkan nilai tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Gurnadi (1998) menganjurkan bahwa dalam pengembangan ternak di suatu daerah, maka perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia.
Sumberdaya tersebut
mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Potensi tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada. Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya, serta pembentukkan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, (3) Pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi. pengolahan hasil, dan pemasaran. Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng (1987) tujuan dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah: 1. Untuk
mengoptimalkan
produktivitas
pertanian
dan
peternakan
dengan menggunakan input yang tersedia 2. Untuk
memadukan
antara
beberapa
jenis
tanaman,
ternak,
limbah
peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan. Pemeliharaan ternak merupakan salah satu komponen dalam usaha tani dan ternak ini akan terintegrasi dengan komoditi lain yang diusahakan oleh
48
petani. Menurut Sabrani et al. (1981) problema yang dihadapi dalam pengembangan ternak sistem tradisional adalah ketepatan pengalokasian sumberdaya. Selanjumya dijelaskan bahwa bila usaha ternak skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara terpadu. Sistem pertanian terpadu (integrated farming system) adalah suatu usaha dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra produksi dan pasca produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa (Rusono, 1999). Selanjutnya dijelaskan bahwa keterpaduan merupakan hal penting maka suatu sistem pertanian terpadu membutuhkan dan mensyaratkan sumberdaya manusia yang berkualitas serta mampu dalam menata aliran inputoutput sedemikian rupa sehingga kombinasi input-output yang dihasilkan adalah kombinasi optimum yang menghasilkan manfaat yang besar bagi petani. Tanaman pangan atau hortikultura tidak hanya menghasilkan pangan sebagai produk utama, tetapi menghasilkan produk sampingan atau limbah ikutan misalnya jerami padi, ampas tahu, limbah tanaman kacang tanah dan sebagainya. Dengan cara sederhana limbah tersebut dapat diubah menjadi pangan yang bermutu (daging) melalui sapi potong, sehingga biaya pakan produksi ternak dapat ditekan. Disamping menghasilkan produk utama berupa daging, sapi potong menghasilkan kotoran (feses) yang diolah dengan cara sederhana dapat menjadi komoditas ekonomis atau digunakan sebagai pupuk sehingga dapat menopang kegiatan produksi tanaman pangan dan secara langsung mengurangi biaya pengadaan pupuk, dan pada akhirnya keterpaduan tersebut dapat meningkatkan tambahan pendapatan petani peternak (Suharto, 1999).
Beberapa manfaat integrasi ternak pada usaha pertanian yaitu : 1. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya lokal (domestic based resources) 2. Optimalisasi hasil usaha 3. Penciptaan produk-produk baru hasil diversifikasi usaha 4. Penciptaan kemandirian petani sehingga tidak tergantung pinjaman luar 5. Meningkatkan pendapatan petani peternak 6. Menciptakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja pedesaan
49
Pengembangan sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu pendekatan
dalam
memanfaatkan
keragaman
sumberdaya
alam.
Bila
dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Supaya sistem usaha tani terpadu dapat berkembang, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) sifat usaha tani, (2) sumberdaya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan pra sarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis, (6) orientasi usaha, dan (7) kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Rusono, 1999). 2.7.
Penggunaan Model Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah suatu penggambaran
abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord
dan
Fabrycky,
1981).
Menurut
Kholil
(2005),
untuk
dapat
menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali dengan berpikir sistemik (system thinking), sibernetik (goal oriented), holistik dan efektif. Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari pada realitas itu sendiri (Eriyatno, 2003). Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.
50
Menurut Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan menurut Hall dan John (1977), model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk meyakinkan bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak. Selanjutnya Ruth dan Hannon (1997) mengemukakan bahwa model adalah pusat pemahamannya terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan dan manipulasi fenomena nyata. Dengan membangun model dapat memahami pengaruh
positif
terhadap
keputusan
alternatif
dalam
kinerja
ekonomi,
pengelolaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Model merupakan suatu alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan baru. Dari berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. 2.8.
Analisis Kebijakan Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu
yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lain. Selanjutnya menurut Vining dan Weimer (1998) analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial, tapi kenyataannya tidak semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan kebijakan publik.
Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup
tiga hal utama, yaitu
bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Dwijowijoto,
2003). Setiap
kebijakan dirumuskan untuk tujuan
tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi dan misi) bersama yang telah disepakati. Dengan demikian, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah
kebijakan, baik
51
kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada. Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meski analisa kebijakan lebih fokus kepada perumusan, pada prinsipnya setiap analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis kebijakan menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan, menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang evaluasi, dan kondisi lingkungan kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah sistem; dan (2) kebijakan struktural,
skenario dengan tindakan yang akan
menghasilkan sistem yang berbeda (Aminullah, 2004). Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu kebijakan. Oleh karena itu seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai berikut. 1. Harus
tahu
bagaimana
mengumpulkan,
mengorganisasi
dan
mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan waktu dan akses. 2. Membutuhkan perspektif (pandangan) untuk melihat masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam konteksnya. 3. Membutuhkan kemampuan teknik agar dapat memprediksi kebijakan yang diperlukan di masa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan lebih baik.
52
4. Harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif. 5. Harus mempunyai etika (moral). Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk memperoleh
pengetahuan
tentang
cara-cara
yang
strategis
dalam
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan pemerintah. Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi
53
informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan retrospektif.
2.9.
Hasil Penelitian Terdahulu Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang
kegiatan budidaya sapi potong khususnya di Indonesia dan pendekatan pembangunan berkelanjutan sebagai metode untuk melakukan studi terhadap suatu sumberdaya alam secara keberlanjutan. Kusumawati (1999) dalam penelitiannya tentang pengaruh nilai tukar rupiah/USD terhadap usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia menyimpulkan bahwa usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia dengan cara impor bibit/bakalan tidak layak untuk dikembangkan jika kondisi nilai tukar rupiah/USD tidak stabil. Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan percepatan pengembangan bibit/bakalan bermutu dengan menggunakan
teknologi
inseminasi
buatan
dan
transfer
embrio
untuk
mengurangi ketergantungan kepada bibit/bakalan impor. Himawan,
(2001)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
strategi
pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di Provinsi Riau, dengan menggunakan metode analisis lingkungan eksternal dan internal berdasarkan konsep manajemen strategi, menyimpulkan bahwa untuk pengembangan budidaya ternak sapi di Propinsi Riau harus dilakukan dengan pendekatan kawasan dengan sistem integrasi. Susilo (2003), melakukan studi di Kepulauan Seribu dengan judul Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang
dan
menggunakan
Pulau
Pari,
pendekatan
Kepulauan konsep
Seribu,
pembangunan
DKI
Jakarta.
Dengan
berkelanjutan,
yang
bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di wilayah studi. Berdasarkan hasii analisis dengan metode MDS disimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Panggang dan Pulau Pari termasuk ke dalam kategori "cukup" berkelanjutan. Mersyah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi
54
daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan menyusun nilai indeks keberlanjutan menggunakan MDS disimpulkan bahwa budidaya sapi potong di Kabupaten Bengkulu Selatan kurang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan dapat dilakukan dengan strategi moderat-optimistik.