II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroberi
Stroberi merupakan salah satu buah-buahan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Daya pikatnya terletak pada warna merah yang mencolok pada buah dengan bentuk yang mungil, menarik serta rasa asam manis yang segar. Buah stroberi selama pertumbuhan dan perkembangannya selalu mengalami perubahan, dimana perubahan itu diawali dari keadaan muda, tua (mature), masak (ripening), layu (senesen), hingga pembusukkan. Pemanenan (pemetikan) buah stroberi dapat dilakukan setelah 14 hari bunga mekar atau ketika 3 bulan setelah tanam, umumnya pada umur tersebut buah sudah tua dan warnanya sebagian besar sudah merah. Kriteria buah yang tepat untuk dipanen adalah besarnya persentase warna merah pada buah. Stroberi berasal dari Amerika dan dibudidayakan dengan baik di daerah Amerika Utara dan Amerika Selatan. Ada beberapa jenis stroberi diantaranya stroberi jenis Fragaria virginiana terkenal akan rasanya sedangkan jenis Fragaria chiloensis terkenal dengan ukuran besarnya. Stroberi pertamakali dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Fragaria vesca L. Tanaman stroberi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
7
Kelas
: Dicotyledonae
Keluarga
: Rosaceae
Genus
: Fragaria
Spesies
: Fragaria spp (Prihatman, 2000).
Buah stroberi bagus untuk kesehatan tubuh. Manfaat dari buah stroberi adalah sebagai berikut : (1) asam ellagic yang dikandungnya dapat membantu melumpuhkan kerja aktif kanker, (2) merendahkan kadar kolesterol, (3) membantu menghaluskan kulit, (4) mencegah penyakit stroke, (5) menurunkan tekanan darah, dan (6) menurunkan resiko diabetes. Kandungan buah stroberi dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini : Tabel 1. kandungan buah stroberi 144 g bahan Komponen
Nilai
Unit
Air
132
g
Energi
43
kal
Protein
0,88
g
Total lipid
0,53
g
Karbohidrat
10,1
g
Serat
3,3
g
Kalsium
20
mg
0,55 14
mg mg
27
mg
Besi Magnesium Fosfor
Sodium 1,44 Vitamin C 82 Sumber: Harianingsih, 2010
mg mg
8
2.2 Fisiologi Pasca Panen
Dwidjoseputro (1992) menyatakan bahwa fisiologi pasca panen adalah suatu ilmu yang mempelajari atau mencari keterangan-keterangan mengenai kehidupan produk hasil pertanian setelah dipanen. Pasca panen adalah suatu penanganan buah segar yang dimulai dari bahan setelah dipanen sampai siap untuk dipasarkan atau digunakan oleh konsumen. Tujuan dari penanganan pasca panen pada buah dan sayur adalah untuk menekan tingkat kehilangan hasil panen sayur dan buah (Pujimulyani, 2012). Ahmad (2013) menyatakan bahwa penanganan pasca panen bertujuan untuk mempertahankan kualitas produk.
Buah dan sayuran mempunyai arti penting sebagai sumber mineral dan beberapa vitamin terutama vitamin C dan vitamin A. Vitamin merupakan komponen penting di dalam bahan pangan walaupun terdapat dalam jumlah sedikit. Vitamin dapat dikelompokan dalam 2 golongan. Golongan pertama vitamin yang larut didalam lemak yaitu A,D, E, dan K, sedangkan golongan keduanya vitamin yang larut di dalam air yaitu vitamin C dan golongan vitamin B kompleks. Vitamin C mudah hilang selama pengolahan dan penyimpanan, juga mudah mengalami kerusakan karena oksidasi terutama pada suhu tinggi. Buah dan sayur yang banyak mengandung vitamin C antara lain jeruk, tomat, dan cabe hijau (Winarno, 1980).
Buah dan sayuran segar merupakan jaringan hidup, karena setelah dipanen mereka masih melakukan serangkaian proses fisiologi untuk memperoleh energi yang digunakan untuk bertahan hidup. Sebagai jaringan hidup mereka terus menerus
9
berubah sebagai reaksi dengan lingkungan tetapi perubahan-perubahan ini yang akan membawa produk pada fase penuaan berujung dengan perombakan jaringan hingga jaringan itu mati (Ahmad, 2013). Proses fisiologi tersebut merupakan proses pematangan organ pada buah. Proses pematangan merupakan suatu rangkaian proses perubahan warna, cita rasa dan tekstur yang terjadi sampai keadaan atau kondisi organ panenan tersebut diterima oleh konsumen untuk dikonsumsi ataupun diolah. Proses pematangan atau pemasakan buah berkaitan erat dengan aktivitas respirasi dan fotosisntesis dari tiap tanaman. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gulagula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik dan senyawa fenolik yang mengurai masam dan kenaikan zat atsiri yang memberi rasa khas pada buah (Pantastico, 1989). Menurut Pujimulyani (2012) pada saat pematangan buah-buahan, terjadi perubahan zat penyusun antara lain perubahan karbohidrat, protein, lemak dan perubahan cita rasa maupun asam organik.
Sayur-sayuran yang mengalami respirasi dengan cepat berarti pembongkaran senyawa penyusunya seperti pati, lemak dan protein juga terjadi secara cepat (Pujimulyani, 2012). Menurut Winarno dan Aman (1981) respirasi merupakan suatu proses metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, protein, dan lemak yang menghasilkan CO2, air dan elektron-elektron. Laju respirasi tergantung pada konsentrasi O2 dan CO2 yang ada didalam udara.
Laju respirasi dipengaruhi oleh tingkat kemasakan buah dan jenis buah. Buah yang masak sesudah dipanen memiliki pola respirasi yang berbeda dengan buah yang
10
masak dipohon. Laju respirasi pada buah klimaterik mengalami peningkatan secara cepat setelah buah dipanen, sedangkan buah non klimaterik mempunyai kecepatan respirasi yang berangsur-angsur turun. Pemuncakan laju respirasi pada buah klimaterik terjadi saat buah akan matang dan menurun setelah matang. Sedangkan pola respirasi pada buah non klimaterik tidak ada peningkatan laju respirasi pada saat matang (Pujimulyani, 2012).
Pada pasca panen atau saat penyimpanan, buah dapat mengalami susut fisik (penurunan bobot buah), susut kualitas (terjadi perubahan bentuk, warna, dan tekstur buah), serta susut nilai gizi (penurunan kadar asam organik dan vitamin) (Tranggono dan Sutardi, 1990). Susut bobot terjadi karena hilangnya komponen air dan volatil lainnya pada proses respirasi (penguapan air, gas dan energi) dan transpirasi (terlepasnya air dalam bentuk uap air) selama masa penyimpanan (Alsuhendra, 2011).
2.3 Edible Coating
Dalam mempertahankan kualitas buah dapat dilakukan dengan metode teknologi kemasan edible packaging. Edible packaging yaitu salah satu pengemas yang dapat dimakan serta dapat mencegah difusi oksigen, karbodioksida, dan uap air. Ada 2 jenis edible packaging yaitu berbentuk lapisan (edible coating) dan lembaran (edible film) (Krochta, 1992 dalam Alsuhendra, 2011).
Menurut Ghaouth, (1991) dalam Harianingsih (2010) edible coating merupakan pemberian lapisan tipis pada buah yang bertujuan untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen yang dapat merusak mutu buah dan
11
proses pemasakan buah dapat dihambat. Edible coating adalah salah satu metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu buah-buah yang disimpan pada suhu ruang (Pantastico, 1989). Edible coating mampu mencegah kehilangan air dari dalam buah sehingga susut bobot pada buah yang diberi edible coating relatif rendah. Lapisan yang diberikankan pada buah tidak berbahaya jika dikonsumsi. Edible coating merupakan pelapis yang baik terhadap air dan oksigen serta dapat mengendalikan laju respirasi, sehingga banyak digunakan untuk pengemasan produk buah-buahan segar dan produk pangan lainnya, seperti daging , ayam beku, sosis, produk hasil laut dan pangan semi basah (Julianti, 2007 dalam Alsuhendra, 2011). Edible coating dapat dibentuk dari tiga jenis bahan yang berbeda yaitu hidrokoloid lipida, dan komposit.
Menurut Krochta (1992) dalam Harianingsih (2010) ada beberapa teknik dalam mengaplikasikan pelapis pada buah adalah sebagai berikut: 1. Pengolesan (brushing) yaitu dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk. 2. Pembungkusan (casting) yaitu buah dikemas (dibungkus) dengan lapisan film (edible film). 3. Penyemprotan (spraying) yaitu produk disemprot dengan pelapis (coating) secara merata, hasil yang didapat lebih tipis dari pada pencelupan. 4. Pencelupan (dipping) yaitu teknik ini dilakukan dengan menyelupkan produk pada larutan edible coating.
12
Komponen penyusun edible coating terdiri dari berbagai jenis bahan alami yang mudah didapat, yaitu hidrokoloid, lipid, dan komposit. Bahan-bahan ini sangat baik digunakan sebagai penghambat perpindahan gas, meningkatkan kekuatan struktur, dan menghambat penyerapan zat- zat volatil sehingga efektif untuk mencegah oksidasi lemak pada produk pangan.
2.4 Karagenan
Sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan yang memiliki hasil berlimpah salah satu hasil lautnya yaitu rumput laut. Rumput laut sudah umum dikenal dan diolah dalam berbagai bentuk, misalnya dibuat lalapan, acar, puding, manisan, tepung karagenan serta bahan untuk obat-obatan. Komposisi kimia rumput laut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut per 100 g bahan Komposisi Air
Nilai 19,01
Unit g
Protein
4,17
g
Lemak Karbohidrat
9,54 42,59
g g
Abu
14,18
g
Serat kasar
10,51
g
Sumber: Pujimulyani (2012) Menurut Winarno (1990) karagenan merupakan polisakarida yang berantai lurus berupa molekul galaktan. Hambleton (2009) dalam Santoso (2013) menyatakan karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari tiga tipe yaitu kappa, iota, dan lambda. Tipe karagenan yang paling banyak dalam aplikasi pangan adalah
13
kappa karagenan. Salah satu sifat dari karagenan adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau menjadi gel yang bersifat reversible hal inilah menyebabkan banyak yang mengunakan tepung karagenan, baik dalam industri pangan maupun industri non pangan (Wenno, 2009 dalam Bunga, dkk., 2013).
Karagenan dapat diperoleh dari alga merah, salah satu jenisnya adalah dari kelompok Euchema sp. Karagenan larut dalam air tapi membutuhkan panas agar bisa mencapai kondisi kelarutan yang sempurna suhu yang dibutuhkan yaitu 50-80˚C (tergantung pada kation pembentuk gelnya) (Pujimulyani, 2012). Daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kelarutan karagenan dalam berbagai media pelarut Media
Kappa
Iota
Lamda
Air panas
larut diatas 60˚C
larut diatas 60˚C
larut
Air dingin
Garam Na larut, garam K, Ca tidak larut larut
garam na larut, garam ca mendispersi thixo-tropik
larut
larut
larut
Garam Na, K,Ca tidak larut tapi mengembang Panas, larut
Tidak larut
larut
Sukar larut
larut
Larutan garam pekat Tidak larut panas
Larut panas
larut
Suhu panas Suhu dingin
Larutan Gula pekat
Sumber: Moraino (1971) dalam Pujimulyani (2012)
Karagenan telah banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetika, pangan dan non pangan. Dalam industri pangan karagenan digunakan sebagai stabilisator pada es krim, pembentuk gel pada jeli dan puding serta sebagai edible coating. Dalam bidang
14
pertanian karagenan digunakan pada pasca panen buah sebagai edible coating maupun edible film (pelapis) buah (Meyer, 1959 dalam Handito, 2011). Pujimulyani ( 2012) menyatakan pada pembuatan karamel karagenan digunakan untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur yang menarik. Tekstur karagenan di dalam dessert dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4.Tekstur karagenan pada suhu panas dan dingin Tipe karagenan
Pada suhu panas
Pada suhu dingin
Kappa
gel lunak sampai kuat
lembut dan creamy
Iota
gel elastik
semi gel
Lamda bukan pembentuk gel Cair Sumber: Descamps (1978) dalam Pujimulyani (2012)
Kappa karagenan dan iota karagenan memiliki sifat termoreversibel. Pada kondisi panas, polimer karagenan berupa kumparan-kumparan acak yang teratur, sedangkan pada kondisi dingin polimer karagenan membentuk jaringan tiga dimensi berbentuk double helik. Pendinginan lebih lanjut akan menyebabkan terjadinya pengaturan rantai double helik sehingga akan membentuk struktur gel. Sifat khusus yang dimiliki karagenan yaitu reaktifitasnya terhadap molekol protein. Kemampuan gelasi karagenan kappa dan iota tergantung pada perbandingan antara iota dan kappa karagenan, sedangkan lamda karagenan tidak memiliki kemampuan untuk membentuk gelasi (Winarno, 1990).
15
2.5 Gliserol
Gliserol merupakan salah satu plasticizer, yang biasa digunakan dalam pembuatan edible. Gliserol merupakan plasticizer yang ditambahkan dalam pembuatan edible sehingga dapat menghasilkan edible yang lebih fleksibel dan halus. Gliserol mengandung molekul hidrofilik yang relatif kecil dan mudah disisipkan diantara rantai polimer bahan dasar. Kondisi tersebut menyebabkan modifikasi struktural molekul-molekul penyusun edible.
Molekul gliserol akan mengganggu kekompakan polimer-polimer bahan dasar dengan menurunkan interaksi intermolekul dan meningkatkan mobilitas polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas edible. Kondisi tersebut menyebabkan perubahan sifat mekanik edible (Fatma, 2015). Berdasarkan hasil penelitian Sanjaya dan Puspita (2013) semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka sifat bioplastik akan semakin elastis.