II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kota Sudah umum diketahui dalam suatu wilayah ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan yang kurang terkonsentrasi. Tempat konsentrasi penduduk dan kegiatannya dinamakan dengan berbagai istilah, yaitu kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, dan pusat pemukiman. Daerah diluar pusat konsentrasi dinamakan dengan berbagai istilah seperti daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), dan daerah pertanian atau pedesaan (Tarigan, 2005). Pengertian kota pada umumnya dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan struktur bangunan yang semakin mendekati pusat kota semakin rapat. Selain itu dalam sebuah kota terjadi kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsinya sebagai tempat pemukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Eckbo, 1964). Menurut Simonds (1983) kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Karena itu faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mempengaruhi perubahan lanskap perkotaan juga akan berkontribusi terhadap lingkungan fisik perkotaan. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan stuktur jalan-jalan, sebagai suatu pemukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan saranan dan prasarana pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan (Branch, 1995). Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten. Secara umum, baik kabupaten
4
dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri (Wikipedia, 2009). Kusbiantoro (1993) dalam Komarudin (1999) menjelaskan sistem wilayah perkotaan yang ideal terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen utama, lingkungan,
dan
kelembagaan.
Komponen
utama
meliputi
sistem
aktivitas/kegiatan atau sistem demand (penduduk dan segenap kegiatannya serta ruang darat, laut, dan udara, dan beragam penggunaannya) dan sarana pelayanan sosial dan ekonomi. Komponen lingkungan terdiri atas sistem lingkungan atau sistem environment, fisik-sosial-ekonomi-politik misalnya masalah produktivitas dan kemiskinan, dan local-regional-nasional-internasional misalnya kota dengan wilayah sekitarnya dalam era borderless country. Komponen kelembagaan mencangkup sistem kelembagaan/institusional atau sistem penunjang/pelengkap, aspek legal (kebijaksanaan, hukum, dan peraturan perundang-undangan), keuangan atau sumber dana, dan organisasi (lembaga/pelaku terkait).
2.2. Ruang Ruang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Ruang merupakan suatu tempat dimana manusia berada, baik secara psikologis dan emosional, maupun dimensional. Kita dapat membayangkan ruang sebagai sesuatu yang hampa tetapi memakan tempat atau isi yang berada pada ruang tersebut, sehingga antara ruang yang satu dan yang lainnya berbeda. Menurut Tarigan, Robinson (2005) ruang adalah tempat untuk suatu benda/kegiatan atau apabila kosong dapat diisi dengan suatu benda/kegiatan. Dimana ruang disini berdimensi tiga sebagai batas dari benda/kegiatan yang merupakan isi dari ruang tersebut. Menurut Hakim dan Utomo (2003), ruang dibentuk oleh tiga komponen yaitu lantai, dinding dan atap atau penutup. Ruang disini dapat berupa ruang dalam dan ruang luar, yang mana ruang dalam dibatasi oleh suatu alas, dinding atau tembok, dan atap atau penutup. Sedangkan ruang luar
5
dibatasi oleh alas berupa hamparan tanah, dinding dapat berupa tegakan pohon atau dinding maya, dan atapnya dapat berupa kanopi pohon atau langit. Dari berbagai pendapat tentang definisi ruang, dapat disimpulkan bahwa ruang merupakan suatu wadah yang tidak nyata, tetapi dapat dirasakan keberadaannya oleh manusia, sehingga manusia dapat melalukan aktifitas didalamnya yang dibatasi oleh alas, dinding, dan atap.
2.3. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat di suatu wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia atau warga kotanya (Nurisjah, 1997). Nurisjah et al (2005) mengungkapkan fungsi RTH baik RTH public maupun privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut : Wilayah Perkotaan
Ruang Terbuka
Ruang Terbangun
Ruang Terbuka Non-Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Fungsi Intrinsik
Ekologis
Fungsi Ekstrinsik
Arsitektural
Sosial
Ekonomi
Gambar 2.1 Fungsi RTH Perkotaan (Nurisjah et al., 2005)
6
Simond (1983) menjelaskan ruang terbuka hijau mempunyai peran penting dalam membentuk suatu karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal didalamnya. Tabel 2.1 Standar Luas Ruang Terbuka Umum N o
Wilayah/ Hirarki
Jumlah KK/Wilayah
Jumlah Jiwa/Wilayah
Ruang Terbuka m2/1000 jiwa
1
Ketetanggaan
1.200
4.320
12.000
2
Komuniti
10.000
36.000
20.000
3
Kota
100.000
-
40.000
4
Wilayah/ Regional
1.000.000
-
80.000
Penggunaan Ruang Terbuka Lapangan bermain, area rekreasi, taman rumah/ pekarangan Lapangan bermain, taman, koridor lingkingan (termasuk ruang terbuka untuk ketetanggaan) Ruang terbuka umum, taman, taman bermain (termasuk ruang terbuka untuk komuniti) Ruang terbuka umum, taman, area rekreasi, hutan kota, jalur lingkar kota, sawah/kebun.
Sumber : Simond (1983)
Dengan adanya RTH sebagai „paru-paru‟ kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding dengan suhu di „luar‟nya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius (Purnomohadi, 1995). RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di „atas‟ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan
7
menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh hutan kota adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedunggedung, aspal dan baja (Forest Service Publications, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003 dalam Ruswandi, 2007)
2.4. Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Istilah penggunaan lahan memilki banyak arti yang berbeda. Menurut de Sherbinin (2002) dalam Putri (2006), penggunaan lahan merupaan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengunaan lahan oleh manusia untuk kegiatan mengubah tutupan lahan. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, sawah, kebun, hutan lindung, dan sebagainya) dan penggunaan non pertanian (pemukiman, industry, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya) (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan berhubungan dengan bagaimana lahan digunakan oleh manusia. Dengan kata lain, penggunaan lahan terkait dengan tujuan penggunaan ekonomis pada suatu lahan, seperti tujuan komersil, industrial, rekreasional, atau agricultural. Sementara itu, penutupan lahan berkaitan vegetasi, struktur, atau fitur-fitur lain yang menutupi lahan, seperti rumput, pohon, air, atau bangunan luas. Dua bidang lahan dapat memiliki penutupan lahan yang sama, namun berbeda penggunaan lahannya, begitu pun sebaliknya (Consortium for Atlantic Regional Assessment, 2006). Menurut Meyer dan Tuner (1994), perubahan penggunaan dan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial-ekonomi, politik dan budaya. Berkaiatan dengan penggunaan tanah, kehidupan kota yang dinamis mengharuskan terjadinya perubahan tata guna tanah dalam rangka pengembangan wilayah kota. Adapun perubahan yang paling sering terjadi adalah konversi lahan konservasi, terutama hutan menjadi area pertanian atau
8
pemukiman. Menurut de Sherbinin (2002) dalam Putri (2006), menyatakan bahwa peran ganda manusia sebagai pihak dalam menyebabkan perubahan, sekaligus pihak yang merasakan pengaruh global dari perubahan tersebut, menekankan pentingnya pemahaman akan interaksi antar manusia dan lingkungan, termasuk didalamnya faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan oleh manusia. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan dan penutupan lahan, yaitu pertumbuhan populasi penduduk, pertumbuhan ekonomi, demografi, harga produk pertanian dan kehutanan, serta perencanaan wilayah serta kebijakan yang terkait (Consortium for Atlantic Regional Assessment, 2006). Tabel 2.2 Klasifikasi Penutupan Lahan BPN Perkampungan Sawah Tegalan/kebun Lahan berpindah Alang-alang dan Semak belukar Dll.
USGS Perkotaan Pertanian Perternakan Hutan Air Dll.
RePPROT Hutan Perkebunan Semak Padang rumput Pertanian lahan basah Tegalan Ladang Dll.
NSDS Pemukiman Perikanan Sawah Perkebunan Pertanian lahan basah Perhubungan Dll.
Sumber : Maulana(2005), Lillesand dan Kiefer (1979) dalam Dafi (2008)
2.5. Kenyamanan Kenyamanan
(comfort)
merupakan
istilah
yang
digunakan
untuk
menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Gates (1972) menyatakan pula, kondisi yang nyaman adalah kondisi dimana sebagian besar energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif, yang berhubungan dengan usaha pengaturan suhu tubuh yang minimum. Kondisi nyaman menunjukkan keadaan yang bervariasi untuk setiap individu, sehingga kenyamanan bersifat subjektif dan berhubungan dengan keadaan tingkat aktivitas, pakaian, suhu udara, kecepatan angin, rata-rata suhu pancaran radiasi, dan kelembaban udara. Oke (1978) dalam Diena (2009), menyatakan bahwa manusia akan merasa nyaman pada suhu lingkungan 20°C sampai 25°C, pada suhu tubuh 37°C, dalam keadaan istirahat dan berpakaian. Pada keadaan ini tubuh sanggup untuk mempertahankan keseimbangan neraca kalor dengan usaha pengaturan suhu minimum.
9
Menurut Lakitan (1994), kenyamanan suatu daerah juga sangat dipengaruhi oleh iklim mikro setempat, karena secara langsung unsur-unsur iklim akan terlibat dalam aktivitas dan metabolisme manusia yang ada didalamnya. Dalam penentuan tingkat kenyamanan di suatu daerah, kita tidak bisa memasukan semua parameter iklim secara langsung, diperlukan suatu persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter untuk menentukan tingkat kenyamanan. Suhu dan kelembaban relatif merupakan parameter iklim yang biasa digunakan dalam masalah kenyamanan udara (Gates, 1972), yang dinyatakan dalam bentuk “Indeks Suhu Kelembaban” atau Temperature Humidity Index (THI). Ayoade
(1983)
dalam
Diena
(2009),
menyatakan
bahwa
Indeks
Kenyamanan dalam kondisi nyaman ideal bagi manusia Indonesia berada pada kisaran THI 20 – 26. Nilai THI ini dipengaruhi oleh besarnya suhu udara (°C) dan kelembaban relatif (%). Suhu udara setara yang nyaman bagi manusia berbanding terbalik dengan laju metabolisme, dan suhu yang nyaman cenderung turun dengan makin tingginya kerapatan uap (Campbell, 1977). Hal ini sesuai dengan perhitungan bahwa semakin tinggi suhu udara, maka kelembaban relatif harus diturunkan untuk mendapatkan nilai THI yang sama, dan begitu pula sebaliknya. Dalam Brown dan Gillespie (1995), dinyatakan bahwa unsur-unsur iklim memiliki peran yang penting dalam menentukan kenyamanan suatu wilayah/ kawasan. Salah satu faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan yakni suhu udara, sehingga semakin tinggi suhu udara maupun semakin rendah suhu udara akan mengurangi kenyamanan.
2.6. Model Model bisa diartikan sebagai penggambaran sesuatu sehingga kita menjadi lebih jelas memahaminya. Model dapat digambarkan dengan diagram dua dimensi, misalnya diagram rantai makanan atau siklus air, atau miniature tiga dimensi, misalnya maket, ataupun model matematika, seperti persamaan reaksi kimia (Teknik Lingkungan ITB, 2007). Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya
10
memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hartrisari, 2007). Menurut Suwarto (2006) dalam Diena (2009), model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan lansung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Jadi, model adalah suatu penyederhanaan dari suatu realitas yang kompleks (Diena, 2009). Model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Menurut Hartrisari (2007), model disusun untuk beberapa tujuan yaitu pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, prediksi, serta menunjang pengambilan keputusan. Berdasarkan acuan waktu, model dapat digolongkan menjadi model statik dan dinamik. 1. Model statik, yaitu model yang mengabaikan pengaruh waktu. Biasanya model ini menggambarkan sistem dalam bentuk persamaan matematika. Untuk memperoleh hasil, perhitungan dilakukan cukup satu kali saja dan variable yang digunakan dalam persamaan merupakan nilai rata-rata. 2. Model dinamik menempatkan waktu sebagai variable bebas, sehingga model jenis ini menggambarkan dinamika suatu sistem sebagai fungsi dari waktu. Untuk memperoleh hasil, perhitungan dilakukan secara berulang-ulang (iterasi) sampi tercapai nilai kesalahan (error) yang minimal (Teknik Lingkungan ITB, 2007). Menurut Suwarto (2006) dalam Diena (2009), model dinamika lebih sulit dan mahal pembuatanya, namun memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata.
2.7. Sistem Dinamik Sistem dinamik adalah suatu model untuk mempelajari dan mengatur sistem-sistem umpan-balik yang kompleks, seperti yang dapat ditemukan pada bisnis dan sistem-sistem sosial yang lain. Faktanya, sistem dinamik telah digunakan untuk memanggil secara praktis setiap jenis dari sistem umpan-balik. Ketika sistem perintah telah diaplikasikan pada tiap jenis situasi, umpan-balik adalah sebagai pendeskripsi yang membedakan disini. Umpan balik mengacu pada situasi dari X yang mempengaruhi Y dan Y pada gilirannya mempengaruhi
11
X, bisa jadi melewati suatu rantai dari sebab dan akibat. Seseorang tidak dapat mempelajari hubungan antara X dan Y, dan secara terpisah, hubungan antara X dan Y, dan memprediksi bagaimana sistem sebagai suatu sistem umpan-balik akan mengantarkan pada hasil yang tepat (System Dynamics Society, 2007). Metodologi
sistem
dinamik
telah
dan
sedang
berkembang
sejak
diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forrester pada dekade lima puluhan, dan berpusat di MIT Amerika Serikat. Sesuai dengan namanya, metode ini erat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamika sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan menggunakan sistem dinamik adalah masalah yang mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu) serta struktur fenomenanya mengandung paling sedikit satu struktur umpan-balik (Tasrif, 2006).
2.8. Sistem Informasi Geogfrafis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis (Aronoff, 1989). Menurut Prahasta (2001) SIG adalah suatu kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, meyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang berbasis geografi. SIG memiliki kemampuan untuk menguraikan unsur-unsur yang terdapat di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau converage data spasial (Prahasta, 2001). SIG dapat menyimpan dan menampilkan kembali informasi yang diperlukan mengenai sebuah lokasi geografis dengan modifikasi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi geografis di suatu wilayah. Sistem Informasi Geografis dapat diaplikasikan kepada berbagai bidang keilmuan yang berhubungan dengan suberdaya alam. Aplikasi SIG diantaranya adalah pada perencanaan tata guna lahan, analisis mengenai dampak lingkungan,
12
pertanian, kehutanan, pengelolaan kehidupan liar, teknik, geologi, jaringan jalan dan pipa, rencana penataan kota, dan sebagainya (Nurcahyono, 2003). Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini (Wikipedia, 2008). SIG (Sistem Informasi Geografis) didefinisikan sebagai suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografik. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basisdata dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial. Secara singkat, SIG terdiri atas 4 komponen yaitu input, manajemen basis data, analisis, dan output. Sedangkan secara luas SIG bisa terdiri atas 6 komponen yaitu perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna, prosedur dan organisasi/jaringan.