II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Nitrogen dalam Tanah Nitrogen merupakan unsur yang banyak mendapat perhatian dan masih
terus diteliti, karena merupakan unsur hara penentu utama produksi, dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Unsur ini mudah hilang dari tanah dan jumlahnya di dalam tanah rendah (Leiwakabessy, 1988). Nitrogen dalam tanah dibagi dalam dua bentuk, yaitu bentuk N-inorganik dan N-organik. Bentuk N-organik adalah bentuk yang terbanyak seperti asamasam amino, protein, gula amino, senyawa kompleks yang sukar ditentukan, dan lain-lain. Sedangkan bentuk N-inorganik seperti ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) yang merupakan bentuk tersedia bagi tanaman, serta nitrit (NO2-), oksida nitrous (N2O), oksida nitrit (NO), dan gas N2 (Leiwakabessy, 1988). Menurut Leiwakabessy (1988), sebagian besar nitrogen dalam tanah berada dalam bentuk N-organik. Untuk menjadi tersedia bagi tanaman, senyawa N-organik ini harus mengalami dekomposisi menjadi N-inorganik. Proses dekomposisi ini terdiri dari tiga tahap : aminisasi (transformasi protein menjadi asam amino), amonifikasi (transformasi asam amino menjadi ammonium), dan nitrifikasi (transformasi ammonium menjadi nitrat). 2.2.
Permasalahan Pupuk Nitrogen Kehilangan
nitrogen
dalam
tanah
terutama
karena
denitrifikasi,
volatilisasi, penguraian, pencucian dan diserap oleh tanaman (Sanchez, 1979 : Tisdale et al . ,1985). Sedangkan imobilisasi dan fiksasi NH4+ tidak menyebabkan kehilangan nitrogen dari tanah tetapi membuat nitrogen untuk sementara waktu tidak tersedia bagi tanaman.
Nitrogen yang hilang melalui proses volatilisasi merupakan transformasi NH4+ menjadi NH3 yang selanjutnya menguap ke atmosfer bila tanah kering. Selain itu dalam Soepardi (1983) mengemukakan bahwa reduksi nitrat atau nitrit oleh mikroorganisme menjadi senyawa gas merupakan tipe utama kehilangan N melalui volatilisasi. Volatilisasi dapat terjadi pada urea atau sumber amonium lainnya (Sanchez, 1979). Kehilangan
nitrogen melalui proses pencucian pada umumnya dalam
bentuk nitrat (Black, 1973). Bentuk NO3- ini sangat mudah tercuci karena selalu dalam keadaaan larut dalam tanah, tidak terikat dan tidak dapat membentuk senyawa sukar larut. Menurut Buckman dan Brady (1969), hilangnya bentuk NO3dari pupuk maupun dari hasil-hasil nitrifikasi melalui 4 hal, yaitu (1) digunakan oleh jasad renik, (2) digunakan tanaman, (3) terbawa air drainase keluar petakan, dan (4) hilang ke atmosfer dalam bentuk gas. Denitrifikasi Dekomposisi nitrat dalam keadaan anaerobik menjadi N2, N2O, NO, dan NO2 merupakan potensi kehilangan N pada tanah-tanah sawah. Kehilangan N melalui cara ini bisa lebih dari 20 % ( Leiwakabessy dan Sutandi, 1992). Menurut Leiwakabessy (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi besar dan laju denitrifikasi yaitu : jumlah dan sifat bahan organik, kadar air tanah, aerasi, pH tanah, suhu, serta kadar dan bentuk N organik dalam tanah.
Volatilisasi NH3 Pupuk-pupuk NH3 dan urea dapat melepaskan NH3 dan menguap. Pelepasan dari pupuk urea yang dberikan dapat mencapai 10-15% (Leiwakabessy dan Sutandi, 1992). Volatilisasi amonia dari pupuk yang diberikan selain dipengaruhi oleh faktor-faktor tanah (pH, kadar CaCO3, KTK, kation-kation dapat dipertukarkan, tekstur), suhu, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti dosis pupuk, dan dalamnya
penempatan.
Penguapan
amonia
ternyata
meningkat
dengan
meningkatnya pH, kadar CaCO3, suhu dan taraf pupuk yang diberikan. Sedangkan faktor-faktor lain yang disebutkan, pengaruhnya berlawanan (Leiwakabessy, 1988). Nitrogen yang hilang dari pupuk yang diberikan meningkat dengan menurunnya KTK tanah (IRRI, 1982). Sementara itu De Datta (1981) menyebutkan bahwa dalam keadaan pH lebih rendah dari pH netral, hilangnya nitrogen melalui volatilisasi relatif sangat kecil, sedangkan pada pH tinggi hilangnya nitrogen dengan cara ini mempunyai arti yang penting dan mempengaruhi produksi. Hilangnya nitrogen melalui volatilisasi dapat dikurangi dengan cara membenamkan pupuk pada lapisan lumpur yang agak dalam. Nitrogen yang hilang melalui volatilsasi dari pupuk yang diberikan di permukaan selalu lebih tinggi daripada pupuk yang diberikan secara sebar dan kemudian dibenamkan. Selain itu juga dapat dikurangi dengan menggunakan pupuk tersedia lambat (slow release) dan pupuk sebaiknya diberikan pada saat tanaman sudah berakar banyak karena pupuk nitrogen yang diberikan dapat langsung diambil tanaman (De Datta, 1981 dan IRRI, 1982).
Pencucian Semua nitrat larut dalam larutan tanah dan akan segera terbawa oleh air yang bergerak ke lapisan bawah dan masuk ke air tanah dan hilang melalui saluran, sungai, ataupun ke lapisan air tanah yang lebih dalam. Ion ammonium lebih sedikit tercuci tergantung dari retensi tanah dan jumlah kounter ion dalam larutan tanah. Kehilangan N melalui cara ini di daerah tropika basah sangat besar (Leiwakabessy dan Sutandi, 1992). Nitrogen ammonium lebih sedikit tercuci dari tanah dibandingkan nitrogen nitrat karena ammonium teradsorpsi pada kompleks pertukaran kation. Kehilangan nitrogen melalui pencucian terjadi terutama pada tanah yang bertekstur kasar dengan kapasitas tukar kation yang rendah. Pada tanah-tanah yang sumber muatan negatif utama dari senyawa organik dibanding anorganik, ion ammonium dapat juga tercuci melalui air perkolasi (Horada dan Katsuma, 1955 dalam De Datta, 1981). Imobilisasi Proses imobilisasi dan mineralisasi nitrogen dalam tanah oleh aktivitas mikroba terjadi secara terus menerus. Imobilisasi nitrogen organik oleh mikroorganisme akan cepat jika perkembangan sel mikroorganisme aktif dan lambat bila aktivitas mikroba rendah (De Datta, 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi imobilisasi yaitu regim kelembaban, temperatur tanah, jenis dan jumlah bahan organik. Selain itu juga dipengaruhi oleh jumlah nitrogen yang diberikan dan nitrifikasi (De Datta, 1981).
Dari hasil studi IRRI dilaporkan bahwa imobilisasi nitrogen ialah sekitar 20% dari nitrogen yang ditambahkan pada tanah sawah Filipina. Angka ini akan bervariasi pada tanah-tanah yang berbeda (Yoshida dan Padre, 1975). 2.3.
Zeolit Zeolit adalah mineral alami berbahan dasar kelompok alumunium silikat
hidrat yang berasal dari batuan beku atau tufa vulkanik. Batuan ini berwarna abuabu sampai kebiru-biruan. Para ahli mineralogi menyatakan zeolit mengandung lebih dari 30 mineral alami di antaranya: Natrolit, Thomsonit, Analit, Hendalit, Clinoptilotit dan Mordernit (Suwardi et al., 1995). Sifat fisik zeolit meliputi kerapatan isi, warna, kadar air, volume rongga, dan kekerasan. Kerapatan isi atau bobot isi zeolit lebih kecil dibandingkan dengan mineral golongan silikat lainnya, yaitu berkisar antara 1,9 – 2,4 g/cm3. Menurut Winarna dan Sutarta (2005), zeolit memiliki pori berukuran 2Å12Å dan dapat terisi molekul air dengan volume 20-30% dari total volume mineral zeolit. Keadaan ini menyebabkan zeolit mudah menahan air dan melepaskannya pada proses timbal balik adsorbsi dan dehidrasi. Di samping itu, zeolit memiliki muatan listrik negatif baik di permukan maupun dalam porinya dan umumnya memiliki nilai KTK berkisar 115-150 me/100g (bahkan dapat mencapai
545 me/100g ), sehingga dapat berperan sebagai penukar kation
(khususnya kation yang berdiameter lebih kecil dari diameter pori zeolit), pengadsorbsi dan sebagai katalis. Luas permukaan zeolit diperkirakan sebesar 900 m2/g.
Peranan Mineral Zeolit Penelitian mengenai prospek pemanfaatan mineral zeolit untuk pertanian dan pengolahan air telah banyak dilakukan di Jepang dan Amerika Serikat dengan hasil yang memuaskan. Pemanfaatan untuk kedua hal diatas adalah berdasarkan sifat hidratasi, penyerapan dan pertukaran ion (Suyartono, 1986). Penggunaan mineral zeolit di bidang pertanian telah dimulai di Jepang pada tahun 1960 dengan menggunakan bubuk batuan zeolit untuk meningkatkan pH-tanah pada tanah vulkanik masam dan untuk meningkatkan retensi nitrogen pada tanah sawah (Mumpton, 1984). Selain itu, Harjanto (1987) mengemukakan bahwa mineral zeolit di Jepang juga dipergunakan untuk menjaga kelembaban tanah (Soil Conditioner). Pemberian mineral zeolit untuk meningkatkan produktivitas tanah-tanah pertanian telah memberi pengaruh nyata terhadap kenaikan produksi tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Dalam kapasitasnya sebagai penukar kation dan pengatur pelepasan pupuk, zeolit telah banyak mendapat perhatian untuk diaplikasikan dalam bidang pertanian. Bachrein (2001) menyatakan bahwa pemberian zeolit takaran 100-400 kg/ha yang dikombinasikan dengan urea, SP-36, dan KCl dengan takaran rekomendasi (200-100-100 kg/ha) dapat meningkatkan produksi padi pada lahan sawah Grumosol Bandung dan Cianjur, serta tanah aluvial Karawang dari rerata 5,8 ton/ha (tanpa zeolit) menjadi 6,4-7,1 ton/ha tergantung takaran zeolit. Berdasarkan atas keuntungan yang diperoleh ternyata tingkat efisiensi tertinggi diperoleh dengan takaran 200 kg/ha, yaitu rerata 44,5% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa zeolit.
Pemberian zeolit pada tanaman padi menurut Suwardi (2002) dapat berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan vegetatif padi tetapi dengan kondisi vegetatif yang lebih baik dan mempunyai jumlah anakan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian zeolit. Suwardi (2002) menyatakan bahwa zeolit tidak
banyak mengandung
unsur hara kecuali kalium. Oleh karena itu, agar memberikan hasil lebih besar, zeolit perlu diberikan dalam bentuk campuran dengan bahan lain. Pernyataan ini memperkuat penelitian Suwardi (1998) yang menyatakan bahwa pencampuran zeolit dengan pupuk nitrogen dan kemudian dibuat bentuk tablet terbukti dapat meningkatkan produksi padi. Mineral zeolit dalam bidang pertanian juga digunakan sebagai pengontrol dalam pelepasan ion-ion NH4+ dan K+ dari pupuk yang diberikan ke dalam tanah, penangkap logam berat dari air limbah yang dipakai untuk pertanian dan sebagai pemantap tanah (Mumpton, 1984). Penggunaan mineral zeolit dalam bidang lainnya, antara lain : sebagai bahan tambahan makanan ternak, mencegah penyakit dan kematian ikan, tambahan makanan ikan, bahan pengawet untuk mengawetkan sayuran dan buahbuahan, pengawet ikan dan daging, penyerap bau dan warna dalam industri gula (Astiana dan Wiradinata, 1989). 2.4.
Morfologi dan Budidaya Padi Sawah Menurut De Datta (1981) klasifikasi tanaman padi (Oryza sativa L)
sebagai famili Graminae dan genus Oryza. Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif).
Organ vegetatif meliputi akar, batang, dan daun. Organ generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga (Grist, 1975 ; Ismunadji dan Manurung, 1988). Menurut Grist (1975) dan De Datta (1981) pertumbuhan tanaman padi dapat dibagi menjadi empat fase yaitu : 1. Fase vegetatif aktif, mulai dari awal pertumbuhan sampai jumlah anakan maksimum. Selama fase ini jumlah anakan meningkat pesat, juga tinggi tanaman dan bobot jerami. 2. Fase vegetatif lambat, dimulai dari jumlah anakan maksimum sampai tahap inisiasi malai. Jumlah anakan menurun, tinggi tanaman dan bobot jerami meningkat tetapi tidak secepat fase vegetatif aktif. 3. Fase reproduktif, mulai dari tahap inisiasi malai sampai pembungaan. Ada tiga tahap perkembangan pada fase reproduktif ini yaitu (a) bunting, (b) munculnya ujung malai dari pelepah daun bendera (heading), (c) mekarnya bunga. 4. Fase pemasakan, mulai tahap berbunga sampai masak penuh. Tanaman padi menyerap N pada waktu tanaman tumbuh aktif tetapi tidak selalu pada tingkat kebutuhan yang sama. Nitrogen yang diserap tiap hari per satuan tanaman maksimum pada saat muda dan berangsur-angsur menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Penyediaan nitrogen berhubungan dengan penggunaan karbohidrat. Apabila persediaan nitrogen sedikit maka hanya sebagian kecil dari hasil fotosintesis yang dirubah menjadi protein dan sisanya diendapkan. Pengendapan karbohidrat menyebakan sel-sel vegetatif tanaman menebal. Apabila persediaan N cukup maka sedikit sekali yang mengendap karena sebagian besar dirubah
menjadi protein sehingga banyak protoplasma yang terbentuk. Jika N yang diberikan terlalu banyak, tanaman biasanya mempunyai kadar air tinggi di dalam sel vegetatif yang mengakibatkan tanaman tidak resisten terhadap serangan hama dan penyakit (Anonim, 1991). 2.5.
Urea Lepas Lambat Pupuk urea yang diberikan pada tanah sawah mudah hilang. Besarnya
kehilangan urea pada tanah-tanah sawah di Indonesia diperkirakan mencapai 70% sampai 80%. Usaha membendung kerugian akibat kehilangan dalam pemupukan padi sawah ditempuh dengan berbagai cara antara lain perbaikan cara-cara pemupukan dan penciptaan pupuk yang lambat melepaskan nitrogen. Cara pemupukan yang dianjurkan untuk menekan kehilangan unsur nitrogen ialah penebaran merata di sawah, jumlahnya dibagi dan ditebarkan sesuai masa pertumbuhan padi serta diusahakan pupuk terbenam di lapisan tanah (reduction zone). Sedangkan pupuk urea yang termasuk lambat melepaskan kandungan nitrogennya dan mempunyai masa depan yang baik ialah pupuk urea yang dilapisi sulfur dan disebut Sulphur Coated Urea (SCU). Urea yang dijadikan bahan utama ialah urea granul (urea gelintiran) yang berukuran lebih besar dari urea butiran (urea
pril).
Berat
urea
butiran
kira-kira
0,0035
gram/
butir dan urea granul ± 0,01g/granul. Ukuran besar butir urea granul mudah diatur dalam proses produksi, sehingga besar butir dapat disesuaikan dengan keperluan. Fleksibilitas ini merupakan salah satu daya tarik dari pembuatan urea granul. Selanjutnya, usaha menciptakan pupuk urea yang lambat melepaskan nitrogen tidak berhenti begitu saja. Baru-baru ini telah diciptakan bentuk pupuk
urea yang lambat dalam formula yang berbeda. Pupuk urea tersebut dikombinasikan dengan bahan mineral alami yaitu zeolit dan bentuk pupuknya tetap dalam bentuk granul karena lebih sesuai daripada pril (BPPT, 2006). 2.6.
Mekanisme Slow Release Fertilizer Pupuk urea memiliki sifat higroskopis. Ketika pupuk urea diberikan ke
dalam tanah, terjadi proses hidrolisis urea dengan cepat. Segera setelah itu, urea terurai menjadi amonium. Proses selanjutnya, jika tidak menguap karena evaporasi, amonium diubah menjadi nitrat dan bentuk yang lebih tereduksi lagi (seperti ; nitrit (NO2), oksida nitrit (NO), oksida nitrous (N2O) dan unsur nitrogen bebas (N2)). Bentuk-bentuk ini mudah menguap dan mudah hilang tercuci aliran permukaan. Zeolit memiliki KTK yang tinggi, yang berguna sebagai pengadsorpsi dan pengikat dan penukar kation, karena memiliki KTK yang tinggi maka semakin banyak jumlah kisi-kisi pertukaran di dalam zeolit, sehingga semakin banyak jumlah NH4+ yang berasal dari formula SRF dan pupuk urea yangtelah mengalami hidrolisis menjadi amonium dapat dijerap oleh kisi-kisinya. Penjerapan NH4+ ini di dalam rongga / kisis-kisi zeolit, hanya bersifat sementara dan dengan mudah akan diberikan kepada tanaman pada saat diperlukan (Suwardi, 1991). Berdasarkan sifat pertukaran kation yang tinggi, zeolit dapat mengikat dan menyimpan sementara unsur-unsur hara dalam tanah kemudian melepaskan kembali ke tanah saat tanaman membutuhkan khususnya N karena sifat selektivitas adsorbsi zeolit yang tinggi terhadap ion amonium. Kemampuan zeolit dalam menyerap ion amonium, menghambat perubahan amonium menjadi nitrat sehingga kehilangan N dalam bentuk nitrat yang mudah tercuci air hujan dapat
ditekan. Jika kadar N dalam larutan tanah berkurang, N yang diadsorbsi oleh zeolit akan dilepaskan secara perlahan untuk keperluan tanaman (Suwardi, 2002). Amonium yang dijerap zeolit tidak segera dilepaskan ke dalam tanah selama kelarutan N di dalam tanah masih tinggi. Setelah kelarutan N di dalam tanah menurun, baru amonium yang terjerap dalam zeolit dilepaskan ke dalam tanah. Hal ini sangat baik untuk menjaga ketersediaan N secara kontinyu bagi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman tidak terganggu.