II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Tutupan Lahan Terbangun Daerah perkotaan merupakan pusat konsentrasi penduduk, dimana akan terjadi proses pergerakan penduduk dari daerah pedesaan. Pergerakan penduduk dari daerah pedesaan menimbulkan peningkatan jumlah penduduk didaerah perkotaan. Proses pertumbuhan penduduk didaerah perkotaan sering disebut sebagai urbanisasi. Pergerakan maupun perpindahan penduduk dari daerah pedesaan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada tutupan lahan alami sebagai tuntutan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Kepadatan kota akan mengakibatkan pergerakan perubahan tutupan lahan alami ke daerah pinggir kota yang masih bersifat pedesaan. Proses urbanisasi merupakan proses yang wajar dan tidak perlu dicegah pertumbuhannya. Karena, proses urbanisasi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, industri dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam. Perubahan penggunaan lahan, misalnya hutan menjadi pemukimanatau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air. Rawa dan empang yang diubah menjadi pemukiman akan menyebabkan aliran permukaan tidak tertampung, melainkan akan menggenangi daerah sekitarnya (Savitri, 2007). Pribadi et al. (2006), menjelaskan bahwa dengan bertambah pesatnya pembangunan di daerah perkotaan menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan, dimana ruang terbangun semakin mendominasi dan mendesak ruangruang alami untuk berubah fungsi. Tingginya desakan terhadap ruang-ruang alami seperti ruang terbuka hijau, hutan mangrove, kawasan lindung dan sebagainya, akan menyebabkan menurunnya kemampuan alami lahan untuk menyerap dan menampung air, terutama pada musim penghujan. Konsekuensi perubahan dari rural hydrology menjadi urban hydrology dapat dilihat pada sketsa Gambar 2 (Hall, 1984 dalam Yusuf, 2005). Tampak pada gambar tersebut munculnya masalah baru, yaitu sistem pembuangan air hujan, air kotor, masalah penggenangan akibat banjir yang saling terkait dan sangat tergantung dari tingkat perkembangan urbanisasi itu sendiri.
9
10
URBANISASI PERTAMBAHAN KEPADATAN PENDUDUK
PENAMBAHAN ANGKUTAN AIR BUANGAN
MENINGKATNYA KEBUTUHAN AKAN AIR BERSIH PERMASALAHAN SUMBERDAYA AIR
MEMBURUKNYA KUALITAS AIR HUJAN
PERTAMBAHAN KEPADATAN BANGUNAN
PERTAMBAHAN KAWASAN YANG KEDAP AIR
MEMODIFIKASI SISTEM DRAINASE
PERUBAHAN IKLIM KOTA
BERKURANGNYA PENGISIAN AIR TANAH
PERTAMBAHAN VOLUME RUN OFF
PERTAMBAHAN KECEPATAN ALIRAN
MEMBURUKNYA KUALITAS PENERIMAAN AIR
BERURANGNYA ALIRAN DASAR
PENINGKATAN ANGKA PUNCAK RUN OFF
BERKURANGNYA WAKTU TENGGANG DAN WAKTU DASAR
PERMASALAHAN PENGENDALIAN POLUSI
INTRUSI DAN SUBSIDEN
PERTAMBAHAN KEPADATAN PENDUDUK
Sumber: Hall, 1984 dalam Yunus 2005
Gambar 2. Diagram Pengaruh Urbanisasi Terhadap Proses Hidrologi Gallent dan Kim (2001), dalam Giyarsih (2005) menyatakan bahwa kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran (urban fringe), disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl), sehingga daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial. Proses densifikasi pemukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi
dari meningkatnya kebutuhan ruang di
daerah perkotaan. Selanjutnya menurut Nurdin et al. (2003), perkembangan kawasan terbangun yang objektif dalam wilayah perkotaan dengan pengukuran secara langsung di lapangan akan mendapatkan banyak kesulitan, membutuhkan waktu panjang dan memerlukan biaya yang besar. Untuk itu diperlukan suatu cara yang lebih praktis, lebih murah, sehingga tingkat perkembangan kawasan terbangun dapat terdeteksi. Saat ini teknologi penginderaan jauh dan remote sensing sangat membantu para peneliti dan pengambil kebijakan dalam mengetahui perkembangan suatu wilayah di atas permukaan bumi. PP no 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang secara tegas menyatakan
11
terutama dalam pembangunan areal terbangun seperti pemukiman harus memperhatikan dan menghindari kawasan yang rawan bencana. Kenyataan pada saat ini, karena kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan makin meningkat maka perencanaan dan pembangunan kawasan terbangun sering mengabaikan daerah-daerah yang memiliki resiko terkenana bencana. Meskipun pembangunan daerah tersebut telah memperhatikan rencana tataruang, namun seringkali
pembangunan
kawasan
terbangun
mengabaikan
infrastuktur
penanggulangan banjir. Pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir dengan upaya penanganan masalah harus merupakan satu kesatuan penataan ruang yang terpadu dan seimbang, sehingga kawasan tersebut dapat dibudidayakan seoptimal mungkin, antara aspek pendayagunaan, perlindungan (konservasi) sumberdaya alam yang ada. Keseimbangan ekosistem sangat terkait dengan limitasi atau batasan terhadap pemanfaatan, dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi sumber daya secara besar-besaran.
2.2. Permasalahan Banjir a. Siklus Hidrologi Air adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71 persen dari muka bumi. Dalam siklus hidrologi, jumlah air relatif tidak berubah, dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke atmosfir. Menurut Arsyad (1989) air tidak saja perlu untuk kehidupan manusia, hewan, dan tanaman tetapi juga merupakan media pengangkutan, sumber energi dan berbagai keperluan lain. Akan tetapi pada suatu saat dalam bentuk hujan lebat dan banjir, air menjadi perusak yang menimbulkan kerugian harta dan jiwa, juga menghanyutkan berjuta-juta ton tanah subur. Membahas air diatas permukaan bumi tidak bisa lepas dari siklus hidrologi (Gambar 3), yang secara singkat dapat dijelaskan “... karena adanya panas matahari, maka terjadi penguapan, uap air pada kondisi tertentu akan terjadi proses kondensasi dan merubah bentuk gas menjadi awan, jika kondisi memungkinkan awan akan berubah menjadi hujan, air yang jatuh ke bumi mengalir sebagai air permukaan, air tanah dan sebagian menguap kembali …”. Gerakan air dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer melalui berbagai
12
tingkat atau proses, sebagai hujan, aliran permukaan, infiltrasi, penguapan, dan evaporasi-transpirasi. Penyebaran hujan yang turun ke permukaan bumi dalam siklus hidrologi tidak merata di setiap daerah, karena dipengaruhi oleh fenomena alam seperti angin, maupun aktivitas manusia. Umumnya 10 – 20 persen total presipitasi jatuh di permukaan vegetasi (intersepsi), dan apabila vegetasi sangat rapat maka intersepsi dapat mencapai 35 persen. Kira-kira dua per tiga dari presipitasi yang mencapai permukaan tanah menyebar keberbagai arah dengan berbagai cara. Sebagian akan tertahan sementara dipermukaan bumi sebagai es (salju) atau genangan sementara. Sebagian lagi akan mengalir dipermukaan tanah mengalir menuju ke sungai dan saluran-saluran buatan manusia yang disebut sebagai aliran permukaan. Makin landai dan makin sedikit pori-pori tanah maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan biasanya dapat dilihat di wilayah urban. Aliran permukaan dan sebagian air bawah permukaan nanti akan terkumpul dan mengalir menuju laut (Asdak, 1995). Siklus hidrologi merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga air tidak akan pernah habis di permukaan bumi. Namun sering manusia mengabaikan keseimbangan siklus hidrologi, karena aktivitas manusia yang sering berlebihan dalam mengeksploitasi lingkungan. Keseimbangan siklus hidrologi dapat terganggu antara lain dengan seringnya pembukaan lahan dengan penebangan pohon di wilayah tangkapan hujan, pembangunan areal terbangun di pinggir sungai. Hal ini dapat mempengaruhi laju air yang mengalir, air yang terserap kedalam tanah maupun air yang menguap ke atmosfir.
Gambar 3. Siklus Hidrologi
13
b. Konsep Teori Banjir Banjir didefinisikan dengan adanya kenaikan drastis dari aliran sungai, kolam, danau, dan lainnya dimana kelebihan aliran itu menggenang keluar dari tubuh air dan menyebabkan kerusakan dari segi sosial ekonomi dari sebuah populasi (Smith et al., 1998 dalam Asy’ari et al., 2008) Menurut Isnugroho (2002), kawasan rawan banjir merupakan kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir sesuai karakteristik penyebab banjir, kawasan tersebut dapat dikategorikan menjadi empat tipologi sebagai berikut : 1. Daerah Pantai Daerah pantai merupakan daerah yang rawan banjir karena daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level) dan tempat bermuaranya sungai yang biasanya mempunyai permasalahan penyumbatan muara. 2. Daerah Dataran Banjir Daerah dataran banjir (Floodplain Area) adalah daerah di kanan-kiri sungai yang muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan local. Kawasan ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang sangat subur sehingga merupakan daerah pengembangan (pembudidayaan) seperti perkotaan, pertanian, permukiman dan pusat kegiatan perekonomian, perdagangan, industri, dll. 3. Daerah Sempadan Sungai. Daerah ini merupakan kawasan rawan banjir, akan tetapi, di daerah perkotaan
yang
padat
penduduk,
daerah
sempadan
sungai
sering
dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha sehingga apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta benda. 4. Daerah Cekungan. Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Apabila penataan kawasan tidak terkendali dan sistem drainase yang kurang memadai, dapat menjadi daerah rawan banjir. Kawasan-kawasan tersebut diilustrasikan dalam Gambar 4.
14
Sumber: Isnugroho, 2002
Gambar 4. Tipologi Kawasan Rawan Banjir Banjir yang terjadi di daerah studi mencakup tipe banjir kiriman, banjir lokal (genangan) dan banjir rob. Akibat dari peristiwa banjir yang terjadi secara periodik akan terbentuk bentuk lahan banjir dan bentuk adaptasi manusia terhadap banjir. Lahan bentukan banjir misalnya rawa belakang, beting gesik, bura pasir, dataran aluvial pantai, dataran antar gesik, kipas aliran prikoplastik, kipas fluvio vulkanik, komplek pegunungan volkan, perbukitan kapur, perbukitan vulkanik, tanggul alam. Bentukan akibat adaptasi manusia seperti banjir kanal, saluran dan sabuk drainase, tanggul sungai, tanggul pantai buatan, penimbunan atau peninggian permukaan serta bangunan penahan abrasi pantai. Banjir akan disebut sebagai bahaya, apabila banjir tersebut sudah mengganggu aktivitas manusia dan bahaya banjir bukan hanya fenomena fisik, tetapi juga fenomena sosial ekonomi. Bahaya banjir terdiri dari beberapa aspek mencakup kerusakan infrastruktur (jalan, dan perumahan), kehilangan nyawa, terkontaminasinya lingkungan yang membahayakan kesehatan, terganggunya aktivitas sosial ekonomi. Kerusakan didaerah yang terkena banjir tergantung faktor yang bekerja pada ruang dan waktu tertentu. Menurut Yunus (2005) faktor yang paling penting yang berpengaruh terhadap kerusakan akibat banjir adalah tipe penggunaan lahan, kedalaman banjir, lama dan kecepatan banjir, serta material padat yang dibawa banjir. Selanjutnya untuk menyusun Peta Bahaya Banjir dilakukan tumpang susun Peta Kerentanan Banjir dengan Peta Penggunaan Lahan dan Peta Kepadatan Penduduk. Studi kerentanan bahaya banjir didaerah perkotaan selain menjadi objek kajian geomorfologi terapan, juga menjadi objek penelitian hidrologi perkotaan. Masalah urbanisasi yang meliputi peningkatan kepadatan penduduk dan
15
bangunan, menjadi akar permasalahan hidrologi seperti masalah sumberdaya air, pengendalian banjir, pengendalian polusi, dan amblesan tanah di daerah perkotaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi banjir berkaitan dengan meningkatnya luapan air di wilayah perkotaan menurut Lohman (1985), diklasifikasikan menjadi; (1) Faktor hujan, yaitu hujan yang turun pada wilayah atas dan wilayah bawah; (2) Faktor sedimentasi, yaitu beberapa proses sedimentasi dan inundasi, meluapnya air pada titik-titik pengendapan hingga air berpencar meluas menuruni lereng; (3) Adanya perkembangan sosial, perluasan kawasan kedap air dengan tidak adanya tindakan pencegahan pada luasan wilayah tertentu. Adanya krosing pada lintasan jalan dengan adanya bangunan jembatan, pengendapan dan penyumbatan saluran drainase; (4) Pasang naik air laut, masuknya air laut yang menghambat keluarnya air pada titik muara keluaran, ketika terjadi pasang naik; (5) Faktor-faktor lain diantaranya dbit puncak semakin cepat, adanya lapisan perkerasan yang kedap air dan nilai kekerasan yang semakin halus. Dalam skala perkotaan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah; (a) Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulya banjir terutama pada topografi datar dengan kemiringan rendah, seperti pada kota-kota pantai; (b) Areal terbangun yang luas, biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin mengecil. Dalam banyak hal drainase di daerah perkotaan
sering
mengalami
penyumbatan,
pendangkalan
dan
kecilnya
penampang untuk mendukung limpasan air.
c. Aspek Geomorfologi dan Kaitannya Terhadap Permasalahan Banjir Geomorfologi adalah kajian sistemik tentang permukaan bumi, tetapi secara sederhana dapat disebut sebagai kajian bentuklahan (Strahler et al., 1968, dalam Karim, 1998).
Bentuk lahan menurut Thornburry (1969), dalam
Yusuf (2005) adalah bentukan pada permukaan bumi yang terjadi sebagai akibat proses geomorfik yang bekerja dan memodifikasi permukaan bumi. Proses geomorfologi yang bekerja di permukaan bumi tersebut menyangkut semua perubahan fisik maupun kimia yang dilakukan oleh tenaga geomorfologi. Tenaga geomorfologi adalah semua medium alam yang mampu melepas dan
16
memindahkan material bumi seperti tenaga angin, tenaga aliran air maupun tenaga gelombang. Berdasarkan fenomena geomorfologi, setiap bentuk lahan bentukan banjir dapat memberikan informasi tentang tingkat kerawanan banjir beserta karakterisriknya (frekuensi, luas dan lama genangan bahkan mungkin sumber penyebabnya). Maka dapat dikatakan bahwa, survei geomorfologi pada dataran aluvial, dataran banjir dan dataran rendah lainnya dapat digunakan untuk memperkirakan sejarah perkembangan daerah tersebut sebagai akibat terjadinya banjir.
Daerah
rawan
banjir
dapat
diidentifikasi
dengan
menggunakan
pendekatan geomorfologi khususnya aspek morfogenesa, karena kenampakan seperti teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan delta yang merupakan bentukan banjir yang berulang-ulang yang merupakan bentuklahan detil yang mempunyai topografi datar (Masahiko Oya, 1976 dalam Haryani et al., 2008). Bentuk lahan dilokasi penelitian diperkirakan terdiri atas 4 (empat) proses pembentukan lahan, yaitu; (1) proses pembentukan lahan akibat fluvial atau berasal dari bentukan peristiwa banjir (2) bentuk lahan bentukan struktural, (3) bentuk lahan bentukan karst, dan (4) bentuk lahan bentukan marine (Karim, 1998). Yusuf (2005) menjelaskan bahwa dalam penentuan tingkat kerentanan banjir langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan survey kerentanan banjir dengan berlandaskan bentuk lahan terutama bentukan-bentukan banjir, dan bentuk lahan tersebut dapat dikaji melalui peta Geomorfologi daerah tersebut. Apabila peta geomorfologi tersebut dikombinasikan dengan peta topografi kontur detail (interval 0,25 m) akan sangat membantu survei kerentanan banjir, bahkan batas serta tingkat kerentanan banjirnya pun dapat dipelajari dengan mudah. Klindao (1983), dalam Yusuf (2005) menyatakan bahwa kerentanan banjir adalah memperkirakan daerah-daerah yang mungkin menjadi Sasaran banjir. Wilayah-wilayah yang rentan banjir, biasanya terletak pada daerah datar, dekat dengan sungai, berada di daerah cekungan dan di daerah pasang surut air laut. Sedangkan bentuklahan bentukan banjir pada umumnya terdapat pada daerah rendah sebagai akibat banjir yang terjadi berulang-ulang, biasanya daerah ini memiliki tingkat kelembaban tanah yang tinggi dibanding daerahdaerah lain yang jarang terlanda banjir. Kondisi kelembaban tanah yang tinggi ini disebabkan karena bentuklahan tersebut terdiri dari material halus yang
17
diendapkan dari proses banjir dan kondisi drainase yang buruk sehingga daerah tersebut mudah terjadi penggenangan air.
2.3. Manajemen Pengendalian Bencana Alam Banjir Terjadinya serangkaian peristiwa banjir dalam waktu yang relatif pendek dan
terulang
setiap
tahun,
menuntut
upaya
yang
lebih
besar
untuk
mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat di minimalkan. Selama ini pemerintah telah berupaya melakukan penanganan kawasan rawan banjir, dengan 2 (dua) pendekatan pengendalian, yaitu: 1. Pengendalian Struktural (Pengendalian Terhadap Banjir) Pelaksanaan pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan rekayasa teknis, terutama dalam penyediaan prasarana dan sarana serta penanggulangan banjir; 2. Pengendalian Non Struktural (Pengendalian Terhadap Pemanfaatan Ruang) Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana banjir, baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui pengelolaan daerah pengaliran, pengelolaan kawasan banjir, flood proofing, penataan sistem permukiman, sistem peringatan dini, mekanisme perijinan, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan upaya pembatasan (limitasi) pemanfaatan
lahan
dalam
rangka
mempertahankan
keseimbangan
ekosistem. Menurut Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat UI (2007), penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap dari pencegahan sebelum banjir
(prevention),
pemulihan
setelah
penanganan banjir.
saat
banjir
Tahapan
(response/intervention)
tersebut
berada
dalam
dan siklus
penanggulangan banjir yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut dimulai dengan peristiwa banjir, kemudian mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan sebelum bencana banjir terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara menyeluruh berupa kegiatan fisik seperti pembangunan pengendalian banjir di wilayah sungai sampai wilayah dataran banjir, dan kegiatan-kegiatan non-fisik seperti pengelolaan tata guna lahan sampai sistem peringatan dini bencana banjir. Dalam pelaksanaan kegiatan penanganan bencana banjir, tidak akan lepas
dari
(stakeholder).
partisipasi Partisipasi
masyarakat masyarakat
dan
peran
merupakan
pemangku proses
kepentingan teknis
untuk
18
memberikan kesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada masyarakat agar
mampu
memecahkan
berbagai
perseolan
secara
bersama-sama.
Stakeholder penanggulangan banjir secara umum di kelompok menjadi tiga, yaitu: (1) masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung; (2) kelompok masyarakat atau perorangan yang dapat memberi pertimbangan atau fasilitasi dalam penanggulangan banjir, antara lain: konsultan, pakar, LSM dan profesional di bidang SDA.; (3) policy makers, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan hukum, seperti lembaga pemerintah dan dewan sumberdaya air (Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat UI, 2007). Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (i) Penolakan (resistance/opposition); (ii) Pertukaran informasi (informationsharing); (iii) Konsultasi (consultation with no commitment); (iv) Konsensus dan Pengambilan Kesepakatan Bersama (concensus building and agreement); (v) Kolaborasi (collaboration); (vi) Pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk
sharing);
dan
(vii)
Pemberdayaan
dan
Kemitraan
(empowerment and partnership). Peranan masing-masing stakeholders dalam kegiatan penanggulangan bencana banjir secara bersama-sama sangatlah penting, sehingga kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap stakeholders terhadap permasalahan banjir dapat didiskusikan dan dipecahkan secara bersama-sama. 2.4. Jenis Kebijakan dan Kegiatan Penanggulangan Banjir Rumusan jenis dan tingkat partisipasi masyarakat akan berbeda tergantung pada jenis kebijakan atau kegiatan. Untuk memudahkan identifikasi jenis dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan atau kegiatan Bank Dunia memperkenalkan social assessment yang umumnya mengelompokkan 4 (empat) jenis kebijakan atau kegiatan yaitu: (i) indirect social benefits and direct social costs; (ii) significant uncertainty or risks; (iii) large number of beneficiaries and few social cost; dan (iv) targeted assistance. a. Indirect benefits, direct social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang memberikan manfaat tidak langsung kepada masyarakat tetapi menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan insfrastruktur, keanekaragaman hayati, structural adjustment, dan privatisasi.
19
b. Significant uncertainty or risk. Suatu kebijakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang bentuk penyelesaiannya belum jelas dan tidak cukup tersedia informasi dan komitmen dari kelompok sasaran. Contoh kegiatan ini antara lain intervensi/pembangunan wilayah pasca konflik. c. Large number of beneficiaries and few social cost. Suatu kebijakan atau kegiatan yang jumlah penerima manfaat atau dampaknya sangat besar tetapi hanya sedikit menimbulkan biaya sosial. Contoh kegiatan ini antara lain pembangunan
kesehatan,
pendidikan,
penyuluhan
pertanian,
dan
desentralisasi. d. Targeted assistance. Suatu kebijakan atau kegiatan yang kelompok dan jumlah penerima manfaat atau dampaknya telah terdefinisikan secara jelas. Contoh kegiatan ini antara lain penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah, penanganan pengungsi,reformasi kelembagaan (institutional reform), dan korban bencana alam
2.5. Sistem Informasi Geografi untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir 1). Definisi Sistem Informasi Geografis Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta yang mulai dibuat dari kulit hewan, sampai peta yang dibuat dari kertas, semuanya menyajikan data geografis dalam bentuk Gambar-Gambar ataupun coretan-coretan. Apa yang tersaji dalam sebuah peta, tidak lain adalah data atau informasi tentang permukaan bumi. Namun demikian, suatu peta juga dapat mengGambarkan distribusi sosial ekonomi suatu masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peta memuat atau mengandung data yang mengacu bumi (geo-referenced data). Yang diacu tidak lain adalah posisinya yaitu sistem koordinat bumi, baik yang menggunakan sistem UTM (Universal Transver Mercator) atau sistem bujur/lintang (Paryono,1994 dalam Pratomo 2008). Baik dari jenis-jenis data yang menjadi masukannya maupun dari unsurunsur pokok yang membentuknya, dapat ditarik beberapa pengertian SIG. Demikian pula dengan definisinya, hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi SIG yang baku (Prahasta, 2001). Definisi SIG selalu berkembang, bertambah, dan bervariasi. salah satu definisi SIG adalah sistem yang
berbasiskan
memanipulasi
komputer
informasi-
yang
digunakan
untuk
informasi
geografi.
SIG
menyimpan dirancang
dan untuk
20
mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian SIG, merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi : (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. (Aronoff, 1989 dalam Prahasta,2001). 2). Subsistem dan Komponen Sistem Informasi Geografis Ada empat subsistem dalam Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2001) : a.
Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan formatformat data-data aslinya kedalam format yang dapat digunakan oleh SIG.
b.
Data Output Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagaian basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti : Tabel, grafik, peta dan lain-lain.
c.
Data Management Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit.
d.
Data Manipulation & Analysis Susbsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan
lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001) : a. Perangkat Keras Pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orangsecara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar,
21
dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian funsionalitas SIGtidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC-pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter dan scanner. b. Perangkat Lunak Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri beberapa modul, hingga jangan heran jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. c. Data dan Informasi Geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung denagn cara mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lainnya maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari Tabel-Tabel dan laporan dan laporan dengan menggunakan keyboard. d. Manajemen Suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan. 3). Cara Kerja dan Kemampuan Sistem Informasi Geografis. SIG dapat merepresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat merprentasikan dunia nyata diatas kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas dari pada lembaran peta kertas (Prahasta, 2001). SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsurunsurnya sebagai atribut-atribut didalam basisdata. Kemudian, SIG membentuk dan
menyimpannya
didalam
Tabel-Tabel
(relasional).
Setelah
itu,
SIG
menghubungkan unsur-unsur diatas dengan Tabel-Tabel yang bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsurunsur peta dan sebaliknya, unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributatributnya. Karena itu, unsur-unsur tersebut dapat dicari dan ditemukan berdasarkan atribut-atributnya. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur
22
peta dengan atribut-atributnya didalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administrasi, perkebunan dan hutan merupakan contoh-contoh layer. Kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basisdata SIG. Dengan demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang esensial didalam SIG. Rancangan basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG. Pada dasarnya, dengan memperhatikan pengertian, definisi-definisi, berikut cara kerjanya, kemampuan-kemampuan SIG sudah dapat dikenali. Kemampuan-kemampuan ini dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi analisis spasial dan atribut yang dilakukan, jawaban-jawaban, atau solusi yang dapat diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (Prahasta, 2001). 4). Penggunaan Sistem Informasi Geografi dalam Analisa Spasial Wilayah Beberapa produk SIG yang sering digunakan untuk analisis spasial wilayah adalah GIS Arc View, Arc GIS, R2V, Arc/info, ER Mapper, ERDAS, Spans GIS, dan sebagainya. Arc View merupakan salah satu perangkat lunak desktop SIG dan pemetaan yang telah dikembangan oleh ESRI, sehingga pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query, menganalisis data secara geografis, dan sebagainya. Secara umum kemampuan GIS Arc View adalah: (1) pertukaran data, membaca dan menuliskan data dalam format perangkat lunak GIS lainnya, (2)
melakukan
analisis
statistic
dengan
operasi-operasi
matematis,
(3)
menampilkan informasi (basis data) spasial maupun atribut, (4) menjawab query spasial maupun atribut, (5) melakukan fungsi-fungsi dasar GIS, (6) membuat peta tematik, (7) meng-costumize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip, (8) melakukan fungsi-fungsi GIS dengan menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan perangkat lunak Arc View (West et al., 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), kemampuan SIG melakukan analisis spasial secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, serta tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan terus menerus. Aplikasi GIS dengan program Arc View 3.3. telah dilaksanakan oleh Kumajas (1997) dengan menerapkan GIS dengan program Arc View 3.3. untuk analisis rawan bencana di Kota Manado. Kemudian, penerapan GIS untuk meneliti longsor juga diterapkan oleh Guzzetti, et al. (1999); Guzzetti (2001) di
23
Italia. Selanjutnya Zain (2002) melakukan penelitian yang berjudul ”Distribution, Structure and Function of Urban Green Space in Southeast Asian Mega-Cities with Special Reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK)” dengan menggunakan GIS program ERDAS 8.5 untuk meneliti dan mengevaluasi kestabilan tanah melalui pendekatan spasial melalui overlay data spasial berupa peta-peta. Metode yang digunakan adalah metode MAFF-Japan yang telah dikembangkan dan diterapkan pada tiga kota besar di Asia Tenggara, termasuk Jakarta, dan dihasilkan suatu rujukan bahwa Model MAFF-Japan cocok untuk wilayah-wilayah tropika basah, seperti di Indonesia. Kemudian, Prathumchai dan Samarakoon (2005) dengan judul penelitian ”Application of Remote Sensing and GIS Techniques for Flood Vulnerability and Mitigation Planning in Munshiganj District of Bangladesh” dengan menggunakan pendekatan spasial dengan unit lahan
sebagai
satuan
analisisnya.
Analisis
spasial
dilakukan
dengan
menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial parameter penentu daerah bahaya banjir untuk menghasilkan unit pemetaan baru (unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit analisis. Data spasial tersebut dalam penelitian ini adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta tanah dan peta penggunaan lahan Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan daerah bahaya banjir menggunakan perangkat lunak ArcView GIS dengan bantuan ektensi Geoprocessing. 5).
Penentuan Zonasi Daerah Rawan dan Bahaya Banjir Menurut Sukiyah et al., (2004), melakukan penelitian tentang daerah
rawan banjir dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi memperoleh hasil bahwa hasil analisis penetapan kawasan banjir menggunakan Sistem Informasi Geografis tidak terlalu jauh berbeda dengan kondisi di lapangan. Penentuan zonasi daerah rawan dan bahaya banjir dengan menggunakan pendekatan kuantitatif metode analisis kuantitatif dengan menggunakan metode pendekatan analisis tumpangsusun/overlay parameter-parameter banjir berjenjang tertimbang (pembobotan/pengharkatan) dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (Yusuf, 2005). a. Analisis tumpang susun Menumpangsusunkan peta-peta yang diperlukan dalam penentuan daerah rawan dan bahaya banjir, antara lain peta curah hujan, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta kelas kemiringan lereng dan peta tanah. Hasil tumpang susun kemudian diskor dan dikelaskan dengan mendasarkan pada
24
asumsi tertentu. Hasil dari proses tumpang susun (overlay) harus dilakukan evaluasi dan verifikasi ke lapangan. b. Pembobotan/pengharkatan Dalam menentukan skor tingkat rawan dan bahaya banjir, asumsi yang digunakan adalah keadaan dari kondisi fisik suatu wilayah dan dampak yang merugikan atau dampak yang mengorbankan manusia baik dalam arti korban
jiwa,
mundurnya
tingkat
kesehatan/sanitasi,
kebersihan
dan
keindahan lingkungan hidup manusia. Dalam hal ini daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan pemukiman yang merupakan tempat konsentrasi manusia mendapatkan skor yang tinggi, sementara daerah dengan kepadatan yang rendah dan juga lahan kosong, tambak dan industry khususnya yang padat modal dinilai lebih rendah. 2.6. Penelitian Relevan Nurdin dan Bangun Mulyo Sukojo (2003), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Perubahan Kawasan Terbangun Kota Surabaya Berdasarkan Metode Multi Temporal Citra Landsat Thematic Mapper”. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besarkah kemampuan citra landsat TM dapat diaplikasikan dalam memperoleh informasi data tentang kenampakan objek dipermukaan bumi. Dari hasil klasifikasi diharapkan citra landsat TM dapat mendeteksi perubahan kawasan terbangun di wilayah Kota Surabaya. Cakupan wilayah penelitian citra Landsat TM berpedoman kepada peta rupabumi Kota Surabaya tahun 1999. Untuk mendapatkan klasifikasi tutupan lahan dilakukan klasifikasi
terbimbing,
untuk
menguji
kebenarannya
dilakukan
verifikasi
dilapangan. Dari hasil analisis tutupan lahan dan hasil tumpang susun antara tutupan lahan tahun 1993 dan tahun 1999 diperoleh hasil perubahan tutupan lahan sebagai kawasan terbangun di Kota Surabaya sebesar 2.822, 487 hektar (6,844%) dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1,141% pertahun. Rofiq
Faudy
Akbar,
(2005)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
”Pemanfaatan Citra Landsat Thematic Mapper Untuk Estimasi Kerentanan Banjir Daerah Aliran Sungai Kupang, Jawa Tengah”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan data digital Landsat TM dalam menyajikan informasi awal kerentanan banjir dan untuk mengetahui karakteristik banjir dan peta kerentanan banjir masing-masing daerah yang didapat dari data yang disajikan oleh citra. Dalam penelitian ini analisis kerentanan banjir dilakukan dengan
25
menggunakan metode interpretasi dan analisis kerentanan banjir melalui teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Dari analisis dan interpretasi yang dilakukan dapat diketahui bahwa citra landsat dapat digunakan untuk menyajikan informasi awal kerentanan banjir suatu daerah melalui parameter-parameter yang dapat disadap dari citra, dapat diketahui pula bahwa kawasan yang mempunyai kerentanan banjir tinggi seluas 3265,242 ha(14,7%), sedangkan kawasan yang mempunyai kerentanan sedang seluas 8532,446 ha (38,5 %). Kawasan yang kurang berpotensi terlanda banjir atau rendah sebesar 5865,338 ha (26,5 %), dan 4508,32 ha ( 20,3 %) dari luas daerah penelitian sama sekali tidak berpotensi terlanda banjir. Nanik Suryo Haryani, Fajar Yulianto dan Anneke K.S. Manoppo (2008), dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Tingkat Rawan Banjir di Propinsi Jawa Timur Dari Data Penginderaan Jauh dan SIG”. Bertujuan menganalisis data satelit pengideraan jauh menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan zona potensi rawan banjir di Provinsi Jawa Timur. Penentuan zona potensi rawan banjir dilakukan dengan pembobotan setiap indikator banjir sekaligus berfungsi sebagai variabel banjir yang terdiri dari: penutup/penggunaan lahan, kelas kemiringan lereng, jenis tanah, dan jenis batuan. Dari hasil analisis dan interpretasi citra penginderaan jauh dan bantuan sistem informasi geografi melalui skoring dan pembobotan setiap variabel banjir diperoleh 5 kelas kerawanan banjir. Tingkat rawan banjir dalam kelas sangat rawan dan rawan secara berturut-turut adalah 6,95 % dan 24,52 %. Khadiyanto (1991) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh Perluasan Area Terbangun dan Jumlah Penduduk terhadap Banjir Genangan di sebagian Wilayah Kota Semarang”. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji masalah meluasnya genangan yang terjadi si sebagian wilayah Kota Semarang, sebagai akibat dari mekarnya wilayah terbangun dan meningkatnya jumlah penduduk. Penentuan luas wilayah terbangun dan luas banjir genangan digunakan peta permukiman dan kawasan terbangun serta peta genangan banjir skala 1:20.000, luasnya dihitung menggunakan planimeter. Jumlah penduduk diambil dari data statistic pada tingkat kelurahan. Untuk menghitung pengaruh dari perluasan area terbangun dan jumlah penduduk terhadap banjir genangan, digunakan analisis regresi. Sementara itu untuk menentukan arah penyebaran penduduk dan banjir genangan, digunakan analisis keruangan.
26
Hasil perhitungan menggunakan analisis regresi menunjukkan bahwa tambahan banjir seluas 30% dari tambahan luas area terbangun. Hasil analisis keruangan, ternyata arah perluasan dan penyebaran banjir genangan cenderung menuju Timur Laut, sedangkan arah pertambahan penduduk dan permukiman cenderung ke arah Barat Laut. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk mencari daerah hunian berusaha menghindari daerah banjir.