II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyimpanan Benih
Menurut Justice dan Bass (2002), penyimpanan benih adalah mengkondisikan benih pada suhu dan kelembaban optimum untuk benih agar bisa mempertahankan mutunya. Tujuan dari penyimpanan benih adalah untuk mengawetkan cadangan makanan tanaman bernilai ekonomis dari satu musim ke musim berikutnya.
Tujuan penyimpanan benih menurut Kuswanto (2003) adalah untuk mendukung kegiatan produksi tanaman dalam menyediakan benih bermutu sebelum datang musim tanam. Lamanya daya simpan benih dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu genetik dari tanaman induk, kondisi lingkungan simpan, keadaan fisik maupun fisiologis benih.
Penyimpanan benih merupakan salah satu penanganan pascapanen kedelai yang penting dari keseluruhan teknologi benih dalam memelihara kualitas atau mutu. Menurut Harnowo et al. (1992), benih kedelai relatif tidak tahan disimpan lama, sehingga penyimpanan berpengaruh terhadap mutu fisiologis dari benih kedelai. Penyediaan benih dari dan untuk petani bagi
9
musim tanam berikutnya sering harus mengalami penyimpanan terlebih dahulu, sehingga upaya merekayasa penyimpanan benih untuk memperoleh benih kedelai bermutu sangat diperlukan. Oleh karena itu, perlu teknologi penyimpanan yang baik agar vigor dan viabilitas benih tetap tinggi pada saat tanam sehingga diperoleh pertumbuhan dan hasil yang baik.
Faktor yang mempengaruhi daya simpan benih adalah vigor awal sebelum simpan dan faktor enforced. Vigor awal simpan terdiri dari faktor innate (faktor genetik) dan faktor induce (lingkungan di lapangan). Faktor enforced adalah lingkungan simpan (biotik dan abiotik) (Justice dan Bass, 2002).
Kondisi penyimpanan sangat mempengaruhi viabilitas dan vigor benih. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan benih, yaitu kadar air, kelembaban dan suhu ruang. Suhu ruang simpan berperan dalam mempertahankan viabilitas dan vigor benih selama penyimpanan. Pada suhu rendah, respirasi berjalan lambat disbanding suhu tinggi. Dalam kondisi tersebut, viabilitas benih dapat dipertahankan lebih lama. Kadar air yang aman untuk penyimpanan benih kedelai dalam suhu kamar selama 610 bulan adalah tidak lebih dari 11%. Menurut Harrington (1972), masalah yang dihadapi dalam penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air benih. Penyimpanan benih yang berkadar air tinggi dapat menimbulkan resiko terserang cendawan.
10
2.2 Viabilitas dan Vigor Benih Selama Penyimpanan
Mutu benih dapat dilihat dari viabilitas maupun vigor benih. Mutu benih dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik, lingkungan dan status benih (kondisi fisik dan fisiologi benih). Genetik merupakan faktor bawaan yang berkaitan dengan komposisi genetika benih. Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu benih berkaitan dengan kondisi dan perlakuan selama prapanen, pascapanen, maupun saat pemasaran benih. Faktor kondisi fisik dan fisiologi benih berkaitan dengan performa benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat keusangan (hubungan antara vigor awal dan lamanya disimpan), tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia, struktur, tingkat kadar air dan dormansi benih (Sutopo, 2004).
Viabilitas benih merupakan salah satu unsur dalam mutu fisiologis benih. Viabilitas dapat dilihat dari daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal. Daya berkecambah menginformasikan kemungkinan benih tumbuh normal pada kondisi lapang dan lingkungan yang optimum. Penurunan viabilitas merupakan salah satu indikator kemunduran benih. Kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisiologis yang dapat menyebabkan menurunnya viabilitas benih. Viabilitas benih merupakan proses yang berlangsung bertingkat dan kumulatif karena perubahan yang diberikan
11
kepada benih secara alami maupun buatan yang dapat merusak. Hilangnya daya berkecambah merupakan akhir dari kemunduran benih (Sadjad et al., 1999).
Benih pada saat panen biasanya memiliki kandungan air benih sekitar 16% sampai 20%. Agar dapat mempertahankan viabilitas maksimumnya maka kandungan air tersebut harus diturunkan terlebih dahulu sebelum disimpan. Untuk benih yang berminyak seperti kedelai kandungan air benih untuk disimpan harus lebih kecil dari 11%. Dalam batas tertentu makin rendah kadar air benih makin lama daya hidup benih tersebut. Kadar air yang terlalu tinggi dalam penyimpanan akan menyebabkan terjadinya peningkatan kegiatan enzim-enzim yang akan mempercepat terjadinya proses respirasi, sehingga perombakan bahan cadangan makanan dalam biji menjadi semakin besar. Akhirnya benih akan kehabisan energi pada jaringan-jaringannya yang penting. Energi yang terhambur dalam bentuk panas ditambah keadaan yang lembab akan merangsang perkembangan mikroorganisme yang dapat merusak benih (Sutopo, 2004).
Justice dan Bass (2002) mengungkapkan bahwa sangat penting menurunkan kadar air benih hingga ketingkat yang aman untuk disimpan, namun bila kadar air terlalu rendah dapat membahayakan benih. Benih yang sangat kering sangat peka terhadap kerusakan mekanis serta pelukaan. Perusakan seperti itu dapat mengakibatkan bagian penting benih mengalami pecah-
12
pecah atau retak sehingga benih tersebut peka terhadap serangan cendawan yang dapat menurunkan daya simpan. Selain itu menurut Harrington (1972), kandungan air benih dibawah 5% mempercepat kemunduran benih yang disebabkan oleh autooksidasi lipid di dalam benih. Sedangkan diatas 14%, akan terdapat cendawan gudang yang merusak kapasitas perkecambahan benih.
Vigor benih adalah kemampuan benih tumbuh normal pada kondisi lapang dan lingkungan suboptimum (Justice dan Bass, 2002). Vigor benih tinggi memiliki kekuatan tumbuh yang tinggi serta daya simpan yang tinggi. Vigor benih terdiri atas vigor genetik dan vigor fisiologis. Vigor genetik merupakan vigor benih dari galur genetik yang berbeda, sedangkan vigor fisiologis adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang sama (Sutopo, 2004).
Kehilangan vigor benih yang cepat menyebabkan penurunan perkecambahan benih. Benih yang mempunyai vigor rendah menyebabkan pemunculan bibit di lapangan rendah, terutama dalam kondisi tanah yang kurang ideal. Sehingga benih kedelai yang akan ditanam harus disimpan dalam lingkungan yang menguntungkan (suhu rendah), agar kualitas benih masih tinggi sampai akhir penyimpanan (Viera et al., 2001).
Menurut Purwanti (2004), benih kedelai mudah sekali mengalami kemunduran dibandingkan tanaman lain sehingga berpengaruh pada vigor
13
benih. Benih kedelai yang telah mengalami penurunan vigor akan menunjukkan jumlah perkecambahan di lapangan yang rendah. Hal ini akan lebih terlihat bila benih bervigor rendah ditanam pada kondisi yang kurang menguntungkan. Pencegahannya dapat dilakukan dengan penyimpanan benih pada kondisi yang sesuai dengan kebutuhan benih yaitu pada suhu rendah.
Kemunduran benih dapat dilihat dari vigor fisiologis. Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui vigor diantaranya adalah konduktivitas dan kecepatan tumbuh. Penurunan integritas membran terjadi pada benih bervigor rendah karena deteriorasi selama penyimpanan dan kerusakan mekanik. Selama proses imbibisi, benih dengan membran yang rusak akan melepaskan cairan sitoplasma ke media imbibisi. Cairan ini membawa muatan listrik yang dapat dideteksi (Copeland dan McDonald, 2001).
2.3 Pelapisan Benih (Seed Coating).
Pelapisan benih merupakan proses pembungkusan benih dengan zat tertentu yang bertujuan sebagai berikut: (1) meningkatkan kinerja benih selama perkecambahan, (2) melindungi benih dari gangguan atau pengaruh kondisi lingkungan, (3) mempertahankan kadar air benih, (4) menyeragamkan ukuran benih, (5) memudahkan penyimpanan benih dan mengurangi dampak kondisi ruang penyimpanan, (6) memperpanjang daya simpan benih (Kuswanto, 2003).
14
Dalam mempertahankan viabilitas benih, cara yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan laju respirasi. Widajati et al., (2008) menyatakan bahwa laju respirasi yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan benih cepat kehilangan energi dan persediaan cadangan makanan terutama pada daerah embrio. Sehingga untuk mengatasi peningkatan laju respirasi tersebut diperlukan suatu upaya seed treatment, agar mutu benih dapat dipertahankan setelah dilakukan penyimpanan. Salah satu upaya untuk menekan laju respirasi dapat diterapkan teknologi seed coating.
Menurut Copeland dan McDonald (2001), ada dua tipe pelapisan benih yang telah dikomersialkan, yaitu seed coating dan seed pelleting. Perbedaan utama dari keduanya adalah ukuran, bentuk, bobot dan ketebalan lapisan yang dihasilkan. Ilyas (2003) menyatakan bahwa coating memungkinkan untuk menggunakan bahan yang lebih sedikit dan bentuk asli benih masih terlihat serta bobot benih hanya meningkat 0.1-2 kali. Sedangkan pelleting dapat mengubah bentuk benih yang tidak seragam menjadi bulat halus dan seragam serta dapat meningkatkan bobot benih hingga 2-50 kali.
Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa polimer untuk pelapis benih idealnya memiliki karakter sebagai berikut: (1) larut dalam air, (2) memiliki nilai viskositas yang rendah, (3) memiliki konsentrasi yang tinggi pada kondisi padat, (4) memiliki pengaturan keseimbangan hidrofilik dan
15
hidrofobik, dan (5) dapat membentuk lapisan tipis keras setelah dikeringkan.
Desai et al. (1997) menyatakan bahwa bahan polimer untuk coating harus memiliki sifat adhesi yang baik, misalnya Arabic gum, dextran, methylcellulose, dan paraffin. Menurut Copeland dan McDonald (2001), bahan pelapis yang digunakan harus kompatibel dengan benih, sehingga kualitas benih tetap terjaga dan proses perkecambahan tidak terganggu.
Bahan pembuatan coating digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu hidrokoloid (termasuk protein dan polisakarida), lipid (asam lemak dan wax), dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Protein yang sering digunakan adalah protein jagung, kedelai,keratin, kolagen, gelatin kasein, protein susu dan protein ikan. Polisakarida yang sering digunakan adalah selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa) tepung dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, keragenan, agr) gum (arabic gum gum karaya), xantan, dan chitosan (Ilyas, 2012).
Bahan coating yang digunakan harus memiliki ktiteria antara lain dapat mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan, menghambat laju respirasi benih, tidak bersifat toxic terhadap benih, serta bersifat mudah pecah dan larut apabila terkena air, sehingga tidak menghambat proses perkecambahan benih. Berbagai formula coating telah diterapkan dan pengaruhnya spesifik pada benih (Ilyas, 2012).
16
Sari (2009) melaporkan bahwa seed coating kacang panjang dengan arabic gum + methylbacterium TD-L2 menunjukkan indeks vigor dan daya berkecambah yang tinggi (89% dan 90%). Penggunaan seed coating pada benih cabai yaitu arabic gum 0.20 g mL-1, benomil 2.5% (b/v) dan tepung curcuma 1 g L-1 (Setiyowati et al., 2007). Beberapa bahan yang cukup murah dan mudah digunakan sebagai formula coating antara lain sebagai bahan perekat carboxymethyl cellulose (CMC) dan alginat ( Zahran et al.,2008) serta sebagai bahan pelapis seperti kapur, pestisida, mikroba, dan bahan kimia lainnya yang dapat mempertahankan mutu benih (Ilyas, 2012).
Pengaruh bahan perekat tapioka 5% secara umum lebih baik daripada bahan perekat molases 90% terhadap beberapa parameter yang diamati. Tapioka merupakan salah satu bahan pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer) yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen. Daya tumbuh tertinggi ditunjukkan oleh bahan pelapis gambut:gipsum dengan perbandingan 50:50. Kombinasi tanpa bahan perekat (kontrol) dengan bahan pelapis gambut:gipsum 0:100 menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi pada 2 MST, sedangkan tinggi tanaman terendah pada kombinasi tanpa bahan perekat dengan bahan pelapis gambut:gipsum 100:0. Interaksi antara bahan perekat dan bahan pelapis menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah daun pada 2 MST. Bahan perekat tapioka 5% mampu meningkatkan bobot kering tajuk (Khodijah, 2009).
17
Palupi et al. (2012) menyatakan bahwa formula yang paling sesuai untuk coating benih padi adalah CMC 1,5 % + talc 1 % dan CMC 1,5% + gipsum 1%, yang dapat mempertahankan vigor benih (diuji setelah coating tanpa disimpan). Formula alginat 3% + gambut 1% dan CMC 1,5% + gambut 1% menyebabkan vigor benih yang lebih tinggi dibandingkan kontrol setelah disimpan selama 2 bulan, sedangkan formula arabic gum 3% + gipsum 1% dapat mempertahankan kesempatan tumbuh dan vigor benih selama 1 bulan peyimpanan pada ruang tanpa AC.