II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Evaluasi Dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Program Pendanaan Kompetisi Bidang Pendidikan 2.1.1 Pengertian dan Konsep Evaluasi
Berkaitan
dengan
konsep
keberlanjutan
atau
berkesinambungan
(sustainability) dari program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Karawang dalam hal ini Satlak PPK-IPM, maka menjadi krusial dilakukannya sebuah evaluasi, seperti yang diungkapkan Mikkelsen (2003) bahwa “konsep kesinambungan (sustainability) berkaitan erat dengan monitoring dan evaluasi. Evaluasi akan membantu menentukan apakah telah dicapai kesinambungan atau belum, mengingat bahwa data monitoring dimasukkan dalam evaluasi proyek”. Lebih lanjut Mikkelsen mengatakan bahwa, monitoring dan evaluasi partisipatoris merupakan alat untuk belajar dari pengalaman, dari keberhasilan dan kegagalan. untuk kemudian melakukan yang lebih baik di masa depan. Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi mempunyai dua tujuan: (a) merupakan alat manajemen yang dapat membantu orang meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, (b) merupakan proses pendidikan dimana para partisipan meningkatkan
kesadaran
dan
pemahamannya
akan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi situasi mereka, dan dengan demikian meningkatkan kontrol mereka terhadap proses pembangunan. Mengacu pada tujuan dilakukannya evaluasi, yakni untuk mengukur kemajuan program dan pertanggungjawaban berkait dengan anggaran yang dikeluarkan oleh pelaku program, maka evaluasi yang dilakukan, diharuskan melibatkan stakeholder yang ada, terutama masyarakat lokal. Dengan demikian,
25
bila terjadi kekurangan atau kendala atas program yang dilaksanakan dapat juga dilakukan perbaikan bersama seluruh stakeholder, terutama masyarakat lokal. Sementara untuk mengkaji efektivitas program, dapat menggunakan pendekatan sistem dan Model for Delineating Program Elements in the Evaluation Process, yang mencakup kondisi awal, faktor masukan (inputs), proses, keluaran (outputs), manfaat (outcomes) dan dampak (impacts), serta mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat baik dari lingkungan internal dan eksternal. Pendekatan sistem ini diterjemahkan dalam metode perencanaan dan evaluasi. Dalam pendekatan sistem terdapat beberapa faktor penting yang harus diketahui sebagai proses yang sistematis. Faktor-faktor tersebut, sebagai berikut :
Kondisi awal, yakni keadaan atau situasi yang terjadi sebelum program digulirkan, dapat berupa kondisi permasalahan, prioritas masalah dan kebutuhan, potensi dan sumber, intervensi/upaya yang telah dilaksanakan, kebijakan dan program yang sudah ada, dan sebagainya.
Komponen program, yakni faktor masukan (inputs) dan seluruh aktivitas program. Masukan adalah faktor-faktor utama yang digunakan dan mempengaruhi langsung jalannya aktivitas program. Aktivitas adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama program berlangsung.
Faktor-faktor antara (internal dan eksternal), yaitu berbagai faktor yang mempengaruhi secara tidak langsung dari keberlangsungan program, baik yang berasal dari dalam lingkungan program (faktor internal) maupun yang berasal dari luar lingkungan program (faktor eksternal). Faktor-faktor ini juga dapat merupakan faktor pendukung atau faktor penghambat keberhasilan program
yang
akhirnya
mempengaruhi
keseluruhan
luaran
program
(outputs). 26
Keluaran (outputs), yaitu yang dikeluarkan langsung/hasil dari kegiatan program, dapat berupa kenaikan hasil fisik, keluaran jumlah, volume, dan sebagainya. Keluaran juga merupakan indikator hasil fisik dari pencapain tujuan spesifik/khusus (objectives).
Manfaat (outcomes), yaitu kegunaan/faedah/manfaat langsung yang dapat dinikmati karena adanya investasi program, dapat berupa kenaikan hasil fisik atau hasil produksi, perubahan sikap dan perilaku, perbaikan kualitas, perubahan
tingkat
kemampuan,
kesediaan
berbuat
lebih
baik,
dan
sebagainya. Umumnya juga disebut hasil fungsional atau merupakan indikator fungsional dari pencapaian tujuan spesifik/ khusus (objectives).
Dampak (impacts), yaitu akibat yang timbul karena adanya suatu investasi program (baik positif maupun negatif). Umumnya dalam jangka waktu lebih lama dari manfaat langsung dan merupakan indikator pencapaian tujuan umum (goals). Lebih lanjut Hikmat menyatakan, berdasarkan metode tersebut, aspek-
aspek yang dievaluasi dapat mencakup : 1. Kesesuaian pelaksanaan kegiatan yaitu antara kondisi awal, masukan, aktivitas, faktor-faktor antara, keluaran, manfaat dan dampak. 2. Pencapaian target fisik (jumlah sasaran, volume kegiatan, waktu, biaya, tenaga dan sarana prasarana) dan target fungsional (perkembangan fungsifungsi sosial). 3. Dampak negatif dan positif terhadap perlindungan sosial. Jalinan hubungan antara hasil yang dicapai pada tingkat mikro (hasil program), mezzo (hasil program) sampai tingkat makro (hasil kebijakan).
27
Pengertian lebih lanjut disampaikan Claire D. Brindis et.al, 1986 (dalam Sutomo, 2002) bahwa,”evaluation is a process for describing and judging activities of the program”. Lebih rinci dikemukakan Hikmat (2004) bahwa, “evaluasi adalah proses penilaian terhadap pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja program agar diperoleh umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja program. Evaluasi dapat diartikan juga sebagai kegiatan penilaian terhadap kesesuaian antara kondisi awal, masukan, proses, keluaran, hasil dan dampak”. Mengacu pada beberapa pendapat di atas, secara global dapat dikatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses atau kegiatan penilaian suatu proyek/program
dalam
rangka
meningkatkan
kinerja
program
di
masa
mendatang. Untuk itulah penting dilakukan evaluasi seperti dikemukakan Purba bahwa, “evaluasi merupakan suatu kajian terhadap program pembangunan dengan fokus perhatian pada hasil dan dampaknya”. Evaluasi dalam konteks program pembangunan akan dikaji lebih jauh mengenai segi kemanfaatannya bagi sasaran pembangunan tersebut, dan dampak yang ditimbulkannya, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, kesesuaian dengan perencanaan berikut kajian terhadap variabel yang mempengaruhi proses ke arah hasil akhir. Kedua, dampak lanjutan atau ikutan atas hasil akhir yang dicapai serta pengaruhnya terhadap lingkungan sosial.” Berkait dengan hal tersebut, pendekatan yang dilakukan dalam evaluasi juga berbeda antara pemerhati masalah sosial, Pemerintah Daerah dan masyarakat sendiri. Ada yang menggunakan pendekatan konvensional tetapi ada pula yang cenderung menggunakan pendekatan partisipatoris. Menurut Bryant (1991:8) sebagaimana dikutip Mikkelsen, secara umum, perbedaan mendasar antara pendekatan konvensional dan pendekatan alternatif, yakni pendekatan Positivist Traditional dan the Fourth Generation Constructivist dilihat dari fokus, data, kendala data, sifat proses penilaian dan kesimpulan. Selanjutnya dapat dilihat dalam paparan sebagai berikut: 28
Fokus. Evaluasi proyek bantuan menurut pandangan seorang positivist didasarkan pada kerangka logis yang merinci tujuan dan hasil yang memang dirancang harus dihasilkan. Sedangkan menurut pandangan constructivist, fokus evaluasi adalah masalah atau situasi, bukan pada maksud semula pandangan perancang proyek. Keadaan di sini dan kini adalah yang paling penting.
Data. Para penilai positivist mencari fakta dan bertujuan mendapatkan kebenaran. Mereka ingin mengetahui secara obyektif, apa yang telah terjadi pada proyek sampai pada tanggal penilaian. Sedangkan ’generasi keempat’ (maksudnya construktivist), menaruh perhatian kepada pandangan para stakeholders, mereka pun ingin mengetahui apa yang diyakini orang sebagai sedang terjadi. Mereka bertindak lebih dari sekedar peninjau, untuk mengetahui apa arti berbagai peristiwa itu bagi masyarakat. Para penilai ’generasi keempat’ dapat menyatakan, misalnya, bahwa 100 orang telah dilatih, dan akan memperlihatkan lebih jauh dari data ini untuk menentukan apa arti jumlah yang sudah dilatih itu bagi orang banyak : apakah 100 orang yang sudah dilatih itu baik atau buruk ? Haruskah jumlah itu lebih besar ? Lebih baik ? Bagaimana hasil-hasilnya ? Apakah pelatihan merupakan syarat penyelesaian masalah ? Dan seterusnya.
Kendala data. Positivist memandang evaluasi sebagai ilmu, dan para penilai diminta untuk memperhatikan standar pengukuran, cara menjumlahkan hasil, keandalan dan keabsahan data. Ilmu evaluasi menawarkan strategi untuk memastikan bahwa data dapat diandalkan. Para penilai ’generasi keempat’ mendapatkan
kepastian
sebagian
besar
melalui
penilaian
kelebihan
informasi. Berbagai sumber memandang hal yang sama dengan cara yang sama. Jika terjadi perspektif yang berbeda selama proses evaluasi, maka
29
penilai mengetahui bahwa ada masalah yang harus diselesaikan oleh para stakeholders.
Sifat proses penilaian. Menurut pandangan seorang positivist, penilaian merupakan proses pengelolaan yang baik, dan pembagian yang cermat atas pengumpulan data, analisis dan pelaporan. Bagi seorang construcivist, penilaian merupakan proses politik, yang dipenuhi oleh negosiasi dan fasilitas, penuh kejutan dan interaksi yang terus menerus antar pelaku di berbagai lingkungan. Proses ini ditangani untuk mengemukakan masalah dan mendorong dialog.
Kesimpulan. Suatu penilaian biasanya diakhiri dengan kesimpulan mengenai apa yang terjadi dan rekomendasi untuk masa depan. Dokumen penilaian itu sendiri dianggap sangat penting karena memuat data, bukti dan hasil. Sedangkan penilaian ’generasi keempat’ lebih dipandang sebagai rekaman dalam waktu, suatu proses yang harus berlangsung terus jika diharapkan pengoperasian program meningkat. Kesimpulan dan rekomendasi memuat pernyataan
yang
memahami
potensi
kesempatan,
hambatan
dalam
pelaksanaan dan masalah-masalah yang harus dirundingkan selanjutnya supaya program dapat memperoleh manfaat dari kesempatan sekaligus mengurangi hambatan dalam kinerja. Dokumen evaluasi itu sendiri tidak sepenting proses yang dimulai oleh penilaian dan proses perundingan yang dipertahankan oleh stakeholders. Selanjutnya, sebagaimana dinyatakan PROWWESS (1990:4) yang dikutip Mikkelsen, dan Narayan, 1993 dalam Hikmat (2004), yang mempertegas kedua kubu di atas dengan melihat perbedaan pada aspek, seperti siapa, apa, bagaimana, kapan dan mengapa antara evaluasi konvensional dan evaluasi partisipatoris. Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
30
Tabel 1.
Perbedaan
antara
Evaluasi
Konvensional
dan
Evaluasi
Partisipatoris Aspek
Konvensional
Partisipatoris
Siapa (who)
Para ahli eksternal
Masyarakat, staf proyek dan fasilitator
Apa (what)
Indikator keberhasilannya ditetapkan terlebih dahulu, terutama biaya dan output produksi
Rakyat memilih sendiri indikator keberhasilannnya, yang dapat mencakup output produksi.
Bagaimana (how)
Berfokus pada obyektivitas ilmiah; menjauhkan penilai dari partisipan; keterlambatan, keterbatasan akses terhadap hasil.
Evaluasi sendiri; metode sederhana yang disesuaikan dengan budaya lokal; pembagian hasil yang terbuka dan langsung melalui keterlibatan lokal dalam proses evaluasi.
Kapan (when)
Biasanya pada waktu penyelesaian; kadang juga di pertengahan.
Menyatukan monitoring dan evaluasi; dengan demikian ada evaluasievaluasi skala kecil.
Mengapa (why)
Pertanggungjawaban biasanya merupakan ikhtisar, untuk memutuskan apakah pembiayaan akan diteruskan
Memberdayakan penduduk setempat untuk memulai, mengawasi dan mengambil tindakan perbaikan.
Sumber : PROWWESS (1990:4) dalam Britha Mikkelsen dan Deepa Narayan, Participation Evaluation. World Bank Technical Paper No. 207 (Washington D.C: The World Bank), 1993.
Namun demikian, pendekatan baru dalam evaluasi dan monitoring ini, seperti
halnya
metode
patisipatoris
lainnya,
tidak
dimaksudkan
untuk
menggantikan metode konvensional atau tradisional. Seringkali pendekatan konvensional tersebut menjadi metode yang berguna bahkan lebih efektif. Pendekatan partisipatoris ini lebih merupakan sarana untuk menciptakan dialog dan saling memahami, terutama antara pemerintah daerah dan masyarakat sebagai penerima layanan (program) mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring-evaluasi. Oleh karena itu, Program Pendanaan Kompetisi Indek Pembangunan Manusia (PPK-IPM) yang berkesinambungan tergantung pada keterlibatan beberapa stakeholder baik Satuan Pelaksana, masyarakat maupun pemerintah sebagai regulator.
2.1.2. Ragam Evaluasi Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa, evaluasi merupakan kegiatan penilaian terhadap kesesuaian antara kondisi awal, masukan, proses, 31
keluaran, hasil dan dampak. Dengan demikian, dapat dilakukan evaluasi efisiensi, efektivitas, dampak dan tujuan serta kebijakan, sebagai berikut:
Evaluasi efisiensi, yaitu analisis hubungan antara pencapaian output dengan input (efisiensi internal) dan rasio pencapaian output dengan populasi sasaran yang membutuhkan pelayanan (efisiensi eksternal).
Evaluasi efektivitas, yaitu analisis hubungan antara outputs dengan outcomes.
Evaluasi dampak dan keberlanjutan program, meliputi analisis hubungan antara dampak pelayanan yang positif dan negatif dibandingkan dengan outcomes.
Evaluasi tujuan, meliputi pengujian hubungan tingkat efisiensi dan efektivitas program.
Evaluasi kebijakan, yaitu mereview konsep kebijakan, program, dan strategi, merumuskan "exit strategy" dari perubahan kebijakan dan merumuskan alternatif model pelayanan. Selanjutnya, untuk melakukan suatu evaluasi, ada baiknya diperhatikan
prinsip-prinsip OECD/DAC untuk kerjasama teknis dan dokumen evaluasi DAC sebagaimana dipaparkan Mikkelsen, yang menekankan tiga bidang utama untuk monitoring dan evaluasi di masa depan, yaitu: •
Pengembangan lebih lanjut dari prinsip untuk keterlibatan dan kontrol penerima bantuan. Evaluasi harus mempertimbangkan prinsip ini, yang menekankan bahwa keterlibatan negara penerima harus lebih daripada sekedar partisipasi. Arti penting dari si penerima mulai dari perencanaan, monitoring
sampai
pada
evaluasi
merupakan
syarat
utama
untuk
kesinambungan. •
Pengontrolan proyek yang secara tradisional dilakukan oleh donor, seyogyanya mulai diubah dengan bantuan yang berorientasi pada sektor dan 32
program. Bantuan yang berorientasi pada proses, dengan pelaksanaan yang lebih lambat dan hasil terukur yang lebih sedikit, namun dengan dampak pembangunan yang lebih besar diperlukan. Pengembangan lebih lanjut dari konsep kesinambungan dan pengembangan indikator-indikator yang dapat diandalkan.
2.1.3. Indikator Evaluasi Untuk melihat efektivitas dan keberlanjutan dari Program Pendanaan Kompetisi Bidang Pendidikan, maka diperlukan suatu indikator. Indikator berfungsi sebagai ukuran output dan dampak, serta berfungsi sebagai Gambaran sementara bagi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan. ”Indikator-indikator merupakan ukuran obyektif yang spesifik dari hasil proyek. Indikator output biasanya sederhana (misalnya, jumlah unit yang dihasilkan, jumlah orang yang diberi pelatihan, jumlah orang yang menerima vaksinasi, dan lain-lain). Penggunaan indikator yang menunjukkan pencapaian tujuan, misalnya dampak dan akibat pembangunan, mungkin saja rumit dan mahal. Maka dalam hal seperti itu, dapat dipertimbangkan penggunaan penilaian yang kualitatif dan kurang obyektif. (Danida, 1994:9). Selanjutnya, Mikkelsen menambahkan bahwa, indikator adalah variabel yang digunakan sebagai alat untuk memantau dan mengevaluasi perubahan. Indikator merupakan ukuran obyektif untuk perubahan, atau hasil-hasil yang diperoleh dari kegiatan, suatu output dari kegiatan. Indikator memberikan standar untuk mengukur, menilai, atau menunjukkan kemajuan. Meskipun demikian, hasil kajian atau analisis dalam suatu evaluasi tidak hanya bergantung dari indikator yang ditetapkan sebelumnya. Hasil analisis dan interpretasi suatu evaluasi sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang melakukannya. Mikkelsen menjelaskan bahwa, ”kaitan antara penelitian kualitatif, 33
analisis dan interpretasi pada setiap tahap tergantung pada keterampilan, wawasan dan kemampuan serta gaya dari peneliti atau pembuat analisis sendiri. Oleh karena itu, tidak ada prasangka apriori bahwa informasi kualitatif hanya dapat
dianalisis
dan
diinterpretasikan
secara
kualitatif
pula.
Setelah
disistemasikan, maka banyak informasi kualitatif dapat ditransformasikan ke dalam angka-angka, diagram dan skala. Dalam hubungannya dengan kriteria atau indikator keberhasilan suatu evaluasi, Hikmat menyatakan bahwa, terdapat beberapa indikator berkait dengan kinerja atau proses pelaksanaan dari suatu program pembangunan, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yang terukur atau dapat dibuktikan dengan data empiris. Indikator tersebut terdiri dari, indikator masukan (inputs), indikator keluaran (outputs), indikator manfaat (outcomes) dan indikator dampak (impacts). Secara rinci sebagai berikut: 1. Indikator Masukan (Inputs) Indikator masukan yang disusun harus mengidentifikasi sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan keluaran. Indikator input mengukur jumlah sumberdaya,
seperti
pedoman/juklak/juknis,
anggaran, waktu
dan
input
SDM, lain;
peralatan, yang
digunakan
bahan, untuk
melaksanakan program. Indikator ini relatif mudah diukur dan telah digunakan secara luas, namun belum dapat menunjukkan kualitas kinerja program. Misalnya, jumlah pekerja sosial belum menunjukkan kualitas pelayanan sosial secara profesional. Pengukuran biaya seringkali tidak akurat karena banyaknya biaya yang dibebankan pada suatu program tidak memiliki kaitan dengan pencapaian sasaran program tersebut. Demikian juga, banyak biaya-biaya input seperti, gaji bulanan personalia pelaksana, biaya pendidikan dan latihan, dan depresiasi nilai uang yang digunakan, seringkali tidak diperhitungkan sebagai biaya program. 34
2. Indikator Keluaran (Outputs) Indikator output digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan oleh suatu program. Dengan membandingkan keluaran dan sasaran program, dapat diketahui apakah kemajuan pelaksanaan dan pencapaian program tersebut sesuai dengan rencana. Indikator output hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu program apabila indikator ini dikaitkan dengan sasaran-sasaran program yang didefinisikan secara jelas dan terukur. Indikator keluaran lebih menitikberatkan pada hasil fisik yang dicapai, seperti jumlah orang yang mengikuti pelatihan, jumlah anak jalanan yang datang ke rumah singgah, jumlah bantuan modal usaha yang diterima, dan sebagainya. 3. Indikator Manfaat (Outcomes) Dalam program perlindungan sosial, indikator ini sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan secara fungsional. Indikator ini mengGambarkan hasil nyata atau manfaat yang diperoleh suatu program. Namun informasi yang diperlukan untuk mengukur outcome seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karena itu setiap pengelola program perlu mengetahui berbagai metode dan teknik untuk mengukur keberhasilan program sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mengetahui manfaat yang dihasilkan program, perlu disusun indikator manfaat yang mencerminkan berfungsinya keluaran program tersebut. Contoh indikator manfaat yaitu kelangsungan pendidikan anak pada keluarga yang memperoleh bantuan usaha ekonomi produktif. 4. Indikator Dampak (Impacts) Indikator ini mengGambarkan pencapaian tujuan dalam jangka panjang seperti yang dirumuskan dalam tujuan (goals), baik dampak positif maupun 35
dampak negatif.
Indikator ini dapat diketahui, jika pengukuran dilakukan
secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama dan setelah program tersebut selesai dilaksanakan. Sebagai contoh, program Usaha Ekonomi
Produktif
kesejahteraan
telah
masyarakat,
berdampak tetapi
positif
terdapat
pada
peningkatan
dampak
negatif
taraf
berupa
ketergantungan dari masyarakat terhadap bantuan modal usaha dari pemerintah. Contoh lain dari indikator dampak lainnya adalah peningkatan status kesejahteraan anak dengan dibangunnya Panti Sosial, dampak positifnya yaitu penurunan presentase anak-anak terlantar; sedangkan dampak negatif yang dapat timbul yaitu semakin ditinggalkannya pola orang tua asuh yang dapat mengakibatkan memudarkan sistem keluarga besar (extended family). Disamping itu, kita dapat pula mempergunakan indikator yang merupakan kombinasi dari indikator-indikator di atas. Sebagai contoh efisiensi dapat diukur dengan membandingkan indikator output dan indikator input. Demikian pula, peningkatan ratio indikator inputs dengan indikator outcomes dan impacts dapat menunjukkan perkembangan efektivitas program. Dengan demikian, terlihat bahwa penggunaan indikator-indikator dalam monitoring dan evaluasi tersebut, menekankan pendekatan sistem, berorientasi pada kesinambungan program, adanya proses perkembangan program mulai dari awal hingga dilakukannya monitoring dan evaluasi termasuk adanya umpan balik
untuk
perbaikan
metode
maupun
manajemen
program
serta
mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi hasil program. Selanjutnya, berkait dengan indikator keberhasilan, lebih detail dikemukakan
oleh
Feuerstein
(1990:
25-27)
sebagaimana
dikutip
Adi
36
menerangkan bahwa, ada 9 (sembilan) indikator yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi suatu kegiatan: 1. Indikator Ketersediaan (indicators of availability). Indikator ini melihat apakah indikator yang seharusnya ada dalam suatu proses itu benar-benar ada. Misalnya, dalam suatu program pembangunan sosial, yang menyatakan bahwa diperlukan satu tenaga kader lokal yang terlatih untuk menangani 10 (sepuluh) rumah tangga, maka perlu di-cek (dilihat) apakah tenaga kader yang terlatih tersebut benar-benar ada. 2. Indikator Relevansi (indicators of relevance). Indikator ini menunjukkan seberapa relevan ataupun tepatnya suatu teknologi atau layanan yang ditawarkan. Misalnya, pada suatu program pemberdayaan perempuan pedesaan, dimana diperkenalkan kompor teknologi terbaru, tapi ternyata kompor tersebut menggunakan lebih banyak minyak tanah atau kayu dibandingkan kompor yang biasa mereka gunakan. Berdasarkan keadaan tersebut, maka teknologi yang baru ini dapat dikatakan kurang relevan untuk diperkenalkan bila dibandingkan dengan kompor yang biasa mereka gunakan. 3. Indikator Keterjangkauan (indicators of accessibility). Indikator ini melihat apakah layanan yang ditawarkan masih berada dalam ‘jangkauan’ pihakpihak yang membutuhkan. Misalnya, apakah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang didirikan untuk melayani suatu masyarakat desa berada pada posisi yang strategis, dimana sebagian besar warga desa dapat dengan mudah datang ke Puskesmas. Atau, apakah suatu posko bencana alam berada dalam jangkauan dari korban bencana tersebut. 4. Indikator Pemanfaatan (indicators of utilization). Indikator ini melihat seberapa banyak suatu layanan yang sudah disediakan oleh pihak pemberi layanan, dipergunakan (dimanfaatkan) oleh kelompok sasaran. Misalnya, 37
seberapa banyak PUS (Pasangan Usia Subur) yang memanfaatkan layanan jasa Puskesmas dalam upaya meningkatkan KB Mandiri, atau berapa banyak anak jalanan yang mengikuti kegiatan belajar baca tulis dari sekian banyak anak jalanan yang belum bisa membaca dan menulis. 5. Indikator Cakupan (indicators of coverage). Indikator ini menunjukkan proporsi orang-orang yang membutuhkan sesuatu dan menerima layanan tersebut.
Misalnya,
proporsi
orang
yang
menerima
bantuan
dana
kemanusiaan untuk mengatasi kemiskinan dari sekian banyak orang-orang miskin di suatu desa. 6. Indikator Kualitas (indicators of quality). Indikator ini menunjukkan standar kualitas dari layanan yang disampaikan kepada kelompok sasaran. Misalnya, apakah layanan yang diberikan oleh Organisasi Pelayanan Masyarakat (Human
Sevice
Organizations)
sudah
memenuhi
syarat
dalam
hal
keramahan, ke-responsif-an, dan sikap empati terhadap klien ataupun kualitas dari tangibles yang ada dalam proyek tersebut. 7. Indikator Upaya (indicators of efforts). Indikator ini mengGambarkan berapa banyak upaya yang sudah ’ditanamkan’ dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Misalnya, berapa banyak sumber daya manusia dan sumber daya material yang dimanfaatkan guna membangun sarana transportasi antar desa. 8. Indikator Efisiensi (indicators of efficiency). Indikator ini menunjukkan apakah sumber daya dan aktivitas yang dilaksanakan guna mencapai tujuan dimanfaatkan secara tepat guna (efisien), atau tidak memboroskan sumber daya yang ada dalam upaya mencapai tujuan. Misalnya, suatu layanan yang bisa dijalankan dengan baik oleh 4 tenaga lapangan, tidak perlu dipaksakan untuk mempekerjakan 10 tenaga lapangan dengan alasan untuk menghindari
38
terjadinya pengangguran. Bila hal ini yang dilakukan, maka yang akan terjadi adalah underemployment (pengangguran terselubung). 9. Indikator Dampak (indicators of impact). Indikator ini melihat apakah sesuatu yang kita lakukan benar-benar memberikan suatu perubahan di masyarakat. Misalnya, apakah setelah dikembangkan layanan untuk mengatasi kemiskinan selama tiga tahun di suatu desa, maka angka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sudah menurun.
2.1.4. Evaluasi Program Menurut Agusta (2001) Evaluasi PPK disini dilaksanakan terhadap wacana normatif yang tercantum dalam aturan main program (pedoman umum, petunjuk pelaksanaan, manual teknis/petunjuk operasional), dan efektivitas dalam mencapai hasil (outcome) proyek/kegiatan. Dengan pandangan sistemis tersebut,
evaluasi
menghasilkan
rekomendasi
bagi
perencanaan
dan
pelaksanaan program PPK. Menurut Owen (1999) mengevaluasi dampak sebuah program perlu meliputi: “(1) The range and extent of outcomes of program; (2) whether the program has been implemented as planned and how implementation has affected outcomes ; (3) evidence to funder, senior managers and politicians about the extent to which resources allocated to a program have been spent wisely; (4) informing decisions about replication or extension of the program”. Menurut Agusta (2004) studi atas impack memberikan informasi tentang efek program terhadap kesejahteraan pemanfaat secara umum. Suharto (2005) menyatakan bahwa evaluasi dapat ditujukan untuk mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan, mengukur dampak yang terjadi pada kelompok sasaran, mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi diluar rencana. Menurut Bramley (1996) untuk mengevaluasi efektivitas 39
program dilihat efektivitas perubahan individu, efektivitas perubahan tim, dan efektivitas perubahan organisasi. Menurut Chambers (2000) mengukur efektivitas program dilakukan dengan mengukur tujuan kegiatan dengan kriteria ekonomi yang baku yaitu: Adequacy, Equity, and Efficiency. The center efficiency question is always whether there is a better (least costly, more cost effective) means to achieve a given outcome. Dalam evaluasi program perspektif pekerjaan sosial akan dilihat eligibilitas program telah memadai sehingga dapat menjamin keberlanjutan program. Dalam efektifitas dapat dilihat bagaimana distribusi bantuan telah adil. Dan bagaimana tujuan akan dapat dicapai secara efisien (hemat biaya) dan efektifitas (ketepatan biaya) program bisa memuaskan semua pihak.
2.2. Pembangunan Sumber Daya Manusia 2.2.1. Pembangunan Sumber Daya Manusia Pengalaman sejarah membangun bangsa dan negara ternyata telah menumbuhkan kearifan-kearifan baru, yang kalau tidak menjadi alternatif, setidak-tidaknya menjadi komplemen, kearifan pembangunan yang selama ini menjiwai
pembangunan
mendasarkan
diri
pada
nasional. logika
Kearifan
production
pembangunan centered
lama
yang
development
telah
memberikan tempat bagi kelahiran kearifan pembangunan yang berdasarkan pada human centered development. Kedua kearifan itu memang mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang amat berbeda. Dimana Kearifan pembangunan yang mendasarkan diri pada logika production centered development
menjadikan pertumbuhan
ekonomi sebagai fokus perhatian pembangunan, dan melihat modal dan efesiensi ekonomi sebagai determinasi pertumbuhan utama, maka kearifan 40
pembangunan yang mendasarkan pada logika human centered development menjadikan manusia sebagai fokus utama pembangunan, dan aktualisasi potensi di dalam berbagai dimensinya sebagai nilai yang harus diwujudkan melalui proses pembangunan. Di dalam konteks kearifan yang mendasarkan pada human centered development ini justru kearifan, inovasi, dan daya kreasi manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh secara exponential, merupakan inex haustable determinant proses pembangunan itu sendiri. Karenanya human centered development merupakan conditio sine qua non dari pembangunan yang berkelanjutan. Di dalam konteks kecenderungan globalisasi yang makin meningkat, dimana globalisasi sumber (global sourcing) yang akan menjadi tumpuan “one world development “ akan makin manifest, kearifan pembangunan nasional yang mendasarkan diri pada human centered development itu menjadi semakin relevan, agar negara dan bangsa ini dapat memainkan peranan sebagai subjek yang mandiri dalam interaksi global. Disisi lain, fokus perhatian kearifan pembangunan ini pada manusia Indonesia di dalam konteks pembangunan seluruh masyarakat, akan menjadi titik konvergensi dari pluralitas masyarakat, yang mempunyai kecenderungan meningkat karena proses diferesiasi maupun fungsional yang inherent pada setiap prses modernisasi. Moeljarto (2002) mengatakam bahwa “human centered development ini harus mewarnai kegiatan pembangunan nasional kita, kalau kita menyadari implikasi interpretasi nasional kita tentang konsep tinggal landas, yang menurut pengamatan kita merupakan interpretasi beyond Rostows definition“. Pada berbagai statemant politik resmi dikatakan bahwa “tinggal landas” merupakan proses transformasi kualitatif jangka panjang dan berkesinambunggan yang menyangkut semua bidang pembangunan menuju tercapainya momentum pembangunan, dengan bertumpu pada interaksi dinamis sumber-sumber dalam 41
negeri. Dalam proses mencapai momentum pembangunan, sumber daya manusia akan menjadi sumber dinamika dan motor penggerak pembangunan. Kondisi semacam itu menempatkan logika human centered development pada posisi sentral pembangunan nasional.
2.2.2. Determinasi Keberhasilan Pembangunan SDM Banyak para pakar yang mempertanyakan validitas asumsi dasar kearifan produkction centered development,
yang mencapai determinan
keberhasilan pembangunan pada variabel-variabel ekonomi makro, seperti kapital, capital output ratio, sumber alam, dan sebagainya. Mereka berpaling pada determinan mikro-individual, yaitu kualitas sumber daya manusia, sebagai factor yang amat menentukan keberhasilan pembangunan nasional. David Mc Clelland (1967), misalnya, berpendapat bahwa suatu kualitas psikologis sumber daya manusia yang disebut achivement motivation, yaitu dorongan yang amat kuat untuk selalu berprestasi karena melalui proses mengejar prestasi akan terpuaskan inner feeling of personal accomplishment, menjadi determinan utama keberhasilan pembangunan. Negara yang berhasil membangun adalah negara yang mempunyai konsentrasi tinggi dari orang-orang yang mempunyai motivasi berkembang. Cendikiawan lain, Everett Hagen (1962), sependapat dengan Mc Clelland tentang peranan faktor makro individual, yaitu kepribadian, sebagai determinan keberhasilan pembangunan suatu negara, akan tetapi, dia menunjuk pada aspek lain dari keperibadian sumber daya manusia yang paling memegang peranan sentral dalam menentukan keberhasilan pembangunan ini. Menurut Hegen, ada empat unsur keperibadian sumber daya manusia, yaitu (i) intelegensi dan energi, (ii) orientasi nilai, (iii) kognisi, dan (iv) kebutuhan. Hegen berpendapat bahwa kualitas intelegensi dan energi, orientasi nilai dan 42
kognisi antara bangsa-bangsa di dunia relatif sama, yang membedakan kepribadian antara bangsa-bangsa adalah justru pada unsur kebutuhan. Keberhasilan pembangunan menuntut pribadi yang mempunyai kebutuhan mani pulatif
(kebutuhan untuk mengubah lingkungannya) yang tinggi, kebutuhan
agresif (kebutuhan untuk bertindak agresif) rendah dan kebutuhn pasif (kebutuhan untuk bertindak pasif)yang rendah. Kebutuhan pulatif ini terdiri dari 4 unsur yang lebih kecil, yaitu kebutuhan untuk selalu berprestasi, kebutuhan untuk mandiri, kebutuhan untuk hidup dalam lingkungan yang serba teratur) dan akhirnya kebutuhan untuk selalu memahami peristiwa yang terjadi yang masingmasing harus tinggi. Pendapat
tentang
peranan
sentral
kepribadian
manusia
dalam
pembangunan ini bukan monopoli cendikiawan, akan tetapi juga menjadi keyakinan sejumlah negarawan. Negarawan Park Chung Hee, melalui program Semaul Undong (Pembangunan Komunitas Baru) berupaya membentuk tipe kualitas manusia-manusia Korea Selatan, yaitu : a. Diligence, sikap rajin bekerja, dapat menghargai penunaian kerja yang paling sederhana tetapi dengan sempurna, b. Thrifty, sikap hemat, yang timbul sebagai konsekwensi sikap diligence, c. Self-help, sikap mandiri Dr. Mahatir Muhammad, mantan Perdana Malaysia menyadari suku etnhis Melayu tak mungkin mengejar ketinggalannya, kecuali
membangun
sumber dayanya, merancang kebijaksanaan Look East Policy, berkiblat ke timur ke
Jepang
dan
mengambil
langkah-langkah
bagaimana
mereka
dapat
menginternalisasikan ethos kerja dan kualitas kepribadian dari bangsa Jepang. Apa yang dikemukakan di atas menunjukan betapa para cendikiawan dan para negarawan melihat korelasi antara kualitas sumber daya manusia dengan derajat keberhasilan pembangunan. 43
2.2.3. Kualitas Sumber Daya Manusia Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa antara pendidikan berkualitas dengan produktivitas mempunyai korelasi yang positif.
Hal ini
bermuara pada kualitas SDM yang akhirnya akan dapat memungkinkan produktivitas organisasi. Sarah Tang, sebagaimana dikutip Supriadi (1996:57), mengemukakan bahwa “Pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara-negara Asia dan perubahan progresif dalam produksi menuju industri dan jasa berteknologi tinggi mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari dunia usaha terhadap perlunya tenaga (SDM) yang terampil dan terdidik (berkualitas).” Menelaah ungkapan di atas jelaslah bahwa SDM sebagai tenaga kerja sangat diperlukan keterampilannya dalam melaksanakan tugas peningkatan kualitas organisasi dan menunjang pertumbuhan ekonominya. Dalam hal ini pendidikan juga memegang peranan penting untuk pemecahan masalah tersebut. Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dalam mempertahankan keseimbangan ekonomi. Hasil penelitian yang dilakukan Bramley (1991:9) mengemukakan bahwa “Ada beberapa hasil efektif dari pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM, yaitu : pencapaian tujuan, peningkatan kualitas sumber daya (SDM dan sumber daya lain), kepuasan pelanggan, dan perbaikan proses internal.” Sebelumnya, Sutermeister (1976:3) mengemukakan bahwa “Perubahan dan peningkatan kualitas SDM dipengaruhi oleh pendidikan.
Pendidikan 44
diperhitungkan sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan aset moral, yaitu dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan merupakan investasi. Pandangan ini ditinjau dari sudut human capital (SDM sebagai unsur modal).” Konseptual tentang sosok sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara, yang dikenal dengan Manusia Indonesia Seutuhnya, di dalam menjabarkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, maka kita perlu bertitik tolak dari posisi GBHN. GBHN menegaskan bahwa karakteristik Manusia Indonesia Seutuhnya adalah : “Serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan bangsabangsa lain, dan dengan alam lingkungan“. Pemikiran di atas membagi kualitas manusia Indonesia seutuhnya menjadi dua katagori karakteristik, yaitu kualitas fisik (KF) dan kualitas non fisik (KNF) terdiri dari beberapa komponen, yaitu : 1. Kualitas kepribadian (KNF pokok yang perlu ada pada setiap individu pembangunan (kecerdasan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, keseimbangan antara emosi dan ratio); 2.
Kualitas bermasyarakat keselarasan hubungan dengan sesama manusia;
3.
Kualitas berbangsa: tingkat kesadaran berbangsa dan bernegara; kesadaran bahwa martabat negara dan bangsanya sama dengan martabat bangsa dan negara lain;
4.
Kualitas spiritual: religiositas dan moralitas;
5.
Wawasan
Lingkungan:
kualitas
yang
diperlukan
untuk
mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan; dan 6.
Kualitas kekaryaan; kemampuan mewujudkan aspirasi dan potensi diri dalam bentuk kerja nyata guna menghasilkan sesutu dengan mutu sebaik-baiknya. 45
Kualitas sebagaimana digambarkan di atas berkaitan dengan kualitas masyarakat.
Kualitas
masyarakatnya.
manusia
terbentuk
di
konsep
sosialisasi
Alwi
dalam
dalam
konteks
Dahlan,
struktur
pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya menyangkut pembangunan berbagai dimensi kualitas (i) kehidupan masyarakat keserasian sosial, kesetian kawasan sosial, disiplin sosial, kualitas komunikasi sosial; (ii) kualitas kehidupan sosial politik: pelaksanaan kehidupan berdemokrasi; persamaan dan ketrerbukaan akses untuk memasuki jalur kehidupan politik; mekanisme kepentingan yang terbuka; sarana dan prasarana komunikasi politik yang terbuka dan berkualitas; media massa yang bebas dan bertanggung jawab; (iii) kualitas kehidupan berkelompok kualitas yang menyangkut subsistem dari sistem sosial; dan (iv) kualitas lembaga dan
pranata
kemasyarakatan:
kemutakhiran
dan
keberlanjutan
pranata;
kemampuan institusi menumbuhkan kemandirian masyarakat; pemahaman dan pelaksanaan hak, kewajiban, dan tanggung jawab seseorang struktur institusi terbuka mekanisme sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya kemasyarakatan secara berkelanjutan. Karena dominan kualitas manusia seringkali merupakan konstruksi sosial satu bangsa, maka sulit melakukan argumentasi yang akan menyelesaikan permasalahanya. Karenanya tulisan ini akan mengambil posisi menerima deskripsi semi formal kualitas manusia sebagai sesuatu yang given.
2.2.4. Evaluasi Peningkatan SDM Melalui Program Pendanaan Kompetensi Bidang Pendidikan Dampak krisis yang sangat berdampak terhadap penurunan kualitas hidup masyarakat, telah menuntut terjadinya perubahan dalam konstelasi sosial politik masyarakat. Tuntutan terhadap reformasi di segala bidang melalui penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis 46
telah mendorong Pemerintah untuk menata kembali sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan etika, moral, profesionalitas aparatur melalui prinsip-prinsip good government. Demikian pula dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah, sejalan dengan bergulirnya era otonomi daerah pasca krisis ekonomi dan sosial politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1998, melalui pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka gerak dan dinamika penyelenggaran pemerintahan di Indonesia termasuk di Kabupaten Karawang diarahkan tetap konsisten untuk mencapai tujuan otonomi daerah, yaitu : 1. Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; 2. Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan; 3. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pencapaian tujuan tersebut, Pemerintah Kabupaten Karawang telah menyusun kebijakan umum yang berbasis pada kebutuhan masyarakat dengan metode perencanaan pembangunan partisipatif yang bersifat “Bottom up Planning” dimana dalam prosesnya melibatkan semua komponen masyarakat pada setiap tahapan pelaksanaan perencanaan. Dengan proses tersebut diharapkan akan memberikan fokus serta antisipasi yang jelas terhadap isu-isu yang selalu mengalami perubahan pada masa yang akan datang. Metode perencanaan tersebut disusun sesuai dengan ketentuan perundangan dalam bentuk Rencana Strategi (Renstra) dengan memuat Arah dan Kebijakan Umum serta Strategi dan Prioritas Pembangunan. Selain hal tersebut, perencanaan strategis akan diperlukan sebagai instrumen untuk lebih mengarahkan tujuan yang akan dicapai serta bagaimana cara mencapainya. Disisi lain, Rencana 47
Strategis tersebut akan mengGambarkan pula bahwa rumusannya merupakan wujud dari proses akuntabilitas pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dengan adanya ukuran yang jelas sebagai penilaian kinerja pemerintah daerah. Berkaitan dengan upaya pencapaian peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Karawang dan dengan bertitik tolak dari hasil evaluasi dan review pencapaian tujuan dan sasaran Rencana Strategis Kabupaten Karawang selama kurun waktu tahun 2001 hingga 2005, maka dapat dipertimbangkan dan dipandang perlu untuk dilakukan penyempurnaan berkaitan dengan orientasi tatanan konseptual kebijakan pembangunan selama ini. Angka-angka
kuantitatif
yang
menerangkan
perkembangan
hasil
pembangunan masyarakat secara makro tersebut sangat membantu dalam mencari pendekatan terhadap indikator keberhasilan atau kegagalan dari program dan kegiatan yang telah direncanakan. Dengan melihat perkembangan indikator makro terutama yang berkaitan langsung dengan IPM, dapat ditarik kesimpulan awal bahwa program dan kegiatan yang dilaksanakan selama ini berkaitan dengan upaya peningkatan IPM Kabupaten Karawang dapat dinilai belum menyentuh akar permasalahan pada masing-masing bidang serta belum dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien terutama pada program-program sebagai berikut : 1.
Program-program bidang pendidikan terlihat belum diarahkan sepenuhnya pada
upaya-upaya
penanggulangan
buta
aksara,
penanggulangan
penduduk putus sekolah dan peningkatan kualitas pendidikan untuk penuntasan wajar Dikdas 9 tahun, tetapi masih lebih berorientasi pada peningkatan infrastruktur bangunan sekolah dimana berdasarkan data yang ada jumlah bangunan yang rusak berat mencapai 30%. Dengan demikian
48
konsentrasi anggaran APBD masih terfokus pada fisik bangunan sedangkan akar permasalahan utama tingginya angka buta huruf dan rendahnya ratarata lama sekolah terkait erat dengan budaya masyarakat yang belum menempatkan
pendidikan
sebagai
investasi
masa
depan
belum
sepenuhnya tertangani 2.
Program-program bidang kesehatan belum menyentuh aspek peningkatan budaya sehat masyarakat, dalam arti lebih diorientasikan pada upaya-upaya penanggulangan
daripada
pencegahan.
Hal
tersebut
memberikan
Gambaran bahwa paradigma masyarakat terhadap bidang kesehatan masih mengedepankan pada aspek pemenuhan pada pelayanan kesehatan belum menyentuh aspek-aspek yang mengembangkan budaya hidup sehat (PHBS). 3.
Pada upaya-upaya yang dilaksanakan dalam bidang ekonomi sangat terlihat masih berorientasi pada upaya-upaya makro, dimana pengembangan sektor-sektor yang bersifat ekonomi yang berbasis masyarakat belum sepenuhnya dapat ditanggulangi termasuk implementasi program yang dinilai belum marata pada kantong-kantong permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami permasalahan ekonomi. Program Pendanaan Kompetisi Indek Pembangunan Manusia pada
dasarnya merupakan program akselerasi peningkatan IPM di Propinsi Jawa Barat, program ini diluncurkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dengan tujuan akselerasi peningkatan IPM Jawa Barat 80 pada tahun 2010, program PPK-IPM tersebut mencakup kegiatan bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli (ekonomi). Orientasi program pendanaan kompetisi akselerasi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Karawang khususnya bidang pendidikan
49
melalui keaksaraan fungsional (KF) pada dasarnya mengembangkan dan meningkatkan kemampuan atau kompetensi keaksaraan bagi warga belajar. Secara spesifik orientasi tersebut ditetapkan dalam mencapai angka IPM Kabupaten Karawang 77,52 pada tahun 2010, sekaligus sebagai upaya akselerasi pencapaian target Propinsi Jawa Barat yaitu 80 pada tahun 2010. Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan program berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa satuan pendidikan nonformal terdiri atas (1) lembaga kursus (2) lembaga pelatihan (3) kelompok belajar (4) pusat kegiatan belajar masyarakat, dan (5) majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Cakupan pendidikan nonformal meliputi : (1) pendidikan kecakapan hidup (2) pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kepemudaan (4) pendidikan pemberdayaan perempuan (5) pendidikan keaksaraan, (6) pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (7) pendidikan
kesetaraan,
serta
pendidikan
lain
yang
ditujukan
untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik. Adapun tujuan kegiatan keaksaraan fungsional PPK-IPM Kabupaten Karawang adalah sebagai berikut : 1. Membelajarkan masyarakat buta aksara (peserta didik) agar mampu membaca, menulis, dan berhitung, serta berbahasa Indonesia; memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar yang benar-benar bermanfaat bagi peningkatan mutu dan taraf hidupnya. 2. Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah sehari-hari yang dihadapi oleh mereka; 3. Melatih warga belajar untuk menggunakan keterampilan dan kompetensi keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari. 4. Memotivasi peserta didik sehingga mampu memberdayakan dirinya sendiri dengan menggunakan kompetensi keaksaraan. 50
5. Mengembangkan kemampuan berusaha atau bermata pencaharian sehingga mampu meningkatkan mutu dan taraf hidupnya. 6. Mengembangkan kemampuan dan minat baca warga belajar sehingga mampu menjadi bagian dari masyarakat gemar membaca dan masyarakat belajar. Dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan Program Pendanaan Kompetisi Indek Pembangunan Manusia (PPK-IPM) Jawa Barat telah ditetapkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang Program Pendanaan Kompetisi Akselerasi Peningkatan Indek Pembangunan Manusia Jawa Barat. Disamping itu agar pelaksanaan PPK-IPM tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien perlu dilakukan upaya evaluasi dengan menganalisis kondisi awal, input, output, outcome/manfaat dan impact dari kegiatan keaksaraan fungsional, hal ini dimaksudkan untuk mengukur dan menganalisis sampai sejauhmana program tersebut dapat berjalan serta diimplementasikan oleh Pemerintah Kabupaten Karawang khususnya oleh para pelaku program sehingga diketahui tingkat keberhasilan dan kegagalan dari program dimaksud. Selain itu hasil evaluasi berguna untuk melihat tingkat perkembangan dari pelaksanaan program mulai dari kondisi awal sebelum program dilaksanakan sampai dengan kondisi akhir dari capaian program sehingga dapat diketahui kemajuan program dan hasil-hasilnya serta dampak yang ditimbulkan, disamping itu mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi serta rekomendasi kebijakan/strategi untuk langkah perbaikan sehingga Program Pendanaan Kompetisi tersebut dapat berkelanjutan.
51
2.3. Kerangka Pemikiran Daya saing masyarakat Kabupaten Karawang antara penduduk pribumi dengan pendatang pada saat ini terlihat sangat timpang. Kabupaten Karawang didatangi oleh masyarakat pendatang yang bertujuan mencari pekerjaan pada kawasan-kasawan industri yang tersebar, menambah gairah perekonomian dan industri maju dengan pesat. Namun pada kenyataannya masyarakat Karawang masih terkungkung ditengah kemiskinan dan kualitas SDM yang rendah (dengan RLS 7,70 tahun) pada tahun 2006. Dengan letak yang sangat strategis karena merupakan daerah yang mempunyai akses langsung dengan ibukota negara serta dilalui oleh akses tol yang menghubungkan wilayah-wilayah ekonomi nasional (Bandung dan Jakarta) dalam dinamika pertumbuhannya, Kabupaten Karawang tumbuh menjadi sebuah kawasan yang menitikberatkan pada pengembangan industri berskala nasional dan internasional. Hal ini ditetapkan dengan terbitnya Keppres 53 tahun 1993 tentang penetapan Kabupaten Karawang sebagai daerah industri. Pada dasarnya permasalahan pendidikan di Kabupaten Karawang adalah disebabkan karena tingginya angka buta aksara yang mencapai 117.710 jiwa dengan angka melek huruf (AMH) 90,50 dan rata-rata lama sekolah baru mencapai 7,70 tahun. Hal ini menyebabkan kualitas SDM menjadi rendah. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut mengakibatkan multiplier effect di bidang kesehatan dengan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) yang rendah dan pola pikir yang sederhana sehingga mempengaruhi produktivitas di bidang ekonomi. Kondisi ini harus diantisipasi oleh Pemerintah Daerah dalam peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dengan langkah-langkah yang terkoordinasi, sinergis, effisien dan efektif.
52
Dilatarbelakangi oleh keadaan tersebut diperkuat dengan kondisi riil di lapangan maka penyelenggaraan program keaksaraan fungsional menjadi salah satu solusi peningkatan SDM di Kabupaten Karawang. Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan tersebut adalah agar budaya dan kesadaran masyarakat dapat memprioritaskan pendidikan, kemampuan ekonomi masyarakat meningkat dan mata pencaharian masyarakat yang mayoritas bergerak di sektor informal dengan kondisi keahlian rendah dan terbatas dapat ditingkatkan. Penggambaran Kerangka pemikiran, peneliti berasumsi bahwa alur pembahasan sebagai tahapan dalam kajian ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Kondisi awal pendidikan masyarakat Kabupaten Karawang menunjukkan rendahnya pendidikan masyarakat, tingginya buta aksara,budaya masyarakat yang kurang baik terhadap pendidikan dan rata-rata lama sekolah yang masih rendah akibat DO memungkinkan untuk ditelaah sehingga akan menjadi bahan prioritas untuk perencanaan program/kegiatan keaksaraan fungsional. b. Dalam masukan (input) kegiatan KF ditemukan faktor penunjang dan penghambat, hal tersebut tentunya perlu diantisipasi oleh Satlak PPK IPM bidang pendidikan yang nantinya dapat dikelola sehingga keluaran (output) kegiatan KF sesuai dengan tujuan yang diharapkan. c.
Keluaran (output) dan manfaat (benefit) kegiatan keaksaraan fungsional selanjutnya akan diukur melalui pengukuran persepsi dari warga belajar dan tenaga tutor dengan menggunakan angket menurut Likert sehingga nantinya akan dapat menunjukkan apakah keluaran dan manfaat dari kegiatan KF tersebut telah sesuai atau tidak dengan harapan warga belajar atau tutor.
d. Dari manfaat (benefit) dan dampak (impact) kegiatan keaksaran fungsional selanjutnya dilakukan evaluasi kebijakan melalui pendekatan partisipatoris untuk merumuskan alternatif kebijakan yang merupakan keberlanjutan program untuk diterapkan Satlak PPK IPM bidang pendidikan. 53
Penggunaan metoda analisis terhadap indikator-indikator yang mempengaruhi Evaluasi Peningkatan Sumber Daya Manusia melalui Program Pendanaan Kompetisi Bidang Pendidikan khususnya pelaksanaan Keaksaraan Fungsional (KF) yang memungkinkan untuk diadakan penelaahan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut. Dari uraian tersebut diatas, maka kerangka pemikiran kajian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
54
FAKTOR PENGHAMBAT o Masih kurangnya koordinasi o Masih kurangnya tenaga pengelola KF o Angka penyandang buta aksara masih tinggi
KONDISI AWAL o o o o
Rendahnya pendidikan masyarakat Tingginya buta aksara Budaya masyarakat terhadap pendidikan Rata-rata lama sekolah masih rendah (DO)
MASUKAN (Inputs) o Alokasi anggaran program per tahun o SDM pelaksana (Satlak PPK) o Sarana-prasarana o Pedoman umum/ juklak o Adanya kewenangan Satlak o Manajemen organisasi AKTIVITAS (Activities) o Sosialiasi program KF o Penyeleksian mitra kerja o Pelatihan - pelatihan o Penyaluran dan alokasi dana o Monitoring-Evaluasi o Pelaporan dan dokumentasi
FAKTOR PENDUKUNG o Komitmen dan kebijakan Pemda o Alokasi dana yang relatif besar o Dukungan dari stakeholder dan masyrakat o Peningkatan minat masyarakat terhadap pendidikan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Kajian
KEBERLANJUTAN
EvaluasiKebjakan
KELUARAN (Outputs) o Terealisasinya anggaran program o Terlaksananya sosialiasi program o Terlaksananya seleksi tenaga tutor o Tersalurkannya dana sesuai peruntukkan o Terselenggaranya pelatihan o Terlaksananya kegiatan keaksaraan fungsional (KF) o Terlaksananya monitoring evaluasi o Tersusunnya laporan kegiatan
MANFAAT (Outcomes) o Stakeholder mengetahui & terlibat dlm kegiatan KF o Masyarakat sasaran dapat memanfaatkan kesempatan belajar o Meningkatkan kemampuan masyrakat buta aksara dlm kompetensi keaksaraan o Mengembangkan kemampuan dan minat membaca masyarakat o Kualitas program dapat ditingkatkan berdasarkan monitoring-evaluasi o Tersusunnya laporan regular sebagai acuan ke depan
DAMPAK (Impacts) o Keterlibatan masyarakat dalam prog KF meningkat o Berkurangnya masyarakat buta aksara o Tumbuhnya kemandirian masyarakat o Meningkatnya kesadaran ma-syarakaterhadap pendidikan
Persepsi warga belajar
UMPAN BALIK
42