5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktoraktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan Wiradi, 1999). Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman, 1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi (dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan karena kepentingan (mutualistik atau konflik). Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban administrasi
oleh
pemerintah
kolonial
untuk
menjamin
kelangsungan
perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000). Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat 1
Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaitu hak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial. 2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, ‘Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).
6
sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA) melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro, 1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi, seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan Setiawan, 2004). Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal, keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA. Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar (developmentalism). Pertentangan antara pusat dan daerah; kewenangan yang tumpang tindih; kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan penurunan
7
kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia (Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah: 1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak atas tanah dan SDA lain. 2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA yang dimaksud. 4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA. Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe (mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan investasi US $ 600 juta untuk pertambangan dan US $ 1,1 M untuk infrastruktur5. Relasi kekuasaan di masa OTDA secara teoritis membuka kesempatan kepada negara, pasar, dan masyarakat untuk berposisi relatif setara satu sama lain. Akan tetapi, relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang muncul justru penguatan watak hubungan mutualistik antara negara dan pasar 3
Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di PTS Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta. 4 Proyek Pertambangan Pasir Besi, PT JM, 2008 5 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10 tahun pertama, dan sebesar 2 % pada periode selanjutnya diberikan untuk Regional Development dan Community Development senilai US $9.6 juta/tahun (dengan asumsi harga pig iron tahun 2007, yaitu US $320/ton). Pembagian keuntungan antara pemerintah Indonesia dengan TNC (investor) ialah 30 % : 70 % (Sumber: Anonim, 2008).
8
sebagai agen kapitalisme (negara-kapitalis), sejalan dengan marjinalisasi masyarakat (Gambar 1). Meskipun struktur penguasaan SDA empiris mengarah pada hegemoni negara-kapitalis (kelompok dominan) kepada rakyat, namun sesungguhnya kekuasaan tidaklah dimiliki oleh kelompok dominan secara mutlak, kekuasaan tidak terpusat melainkan tersebar. Hal ini tampak sebagai bentukbentuk perlawanan rakyat pada kebijakan pertambangan pasir besi itu dengan membentuk organisasi akar rumput (Grass Root Organization, GRO) dengan agenda politis. Negara
Masyarakat
Pasar
SDA
Gambar 1. Struktur Penguasaan SDA Empiris (sumber Sitorus dan Wiradi, 1999) Keterangan: Hubungan interaksi Negara dengan Pasar yang mutualistik. Hubungan interaksi Negara-kapitalis dengan Masyarakat yang bersifat hegemonik, melalui marjinalisasi. Hubungan produksi Negara-kapitalis dengan SDA yang berorientasi pasar. Hubungan produksi Masyarakat dengan SDA yang melemah.
2.2 Teori Desentralisasi Friedman membatasi desentralisasi6 sebagai pembagian kewenangan; tanggungjawab; atau fungsi oleh pemerintah di level lebih tinggi (pusat) kepada 6
Desentralisasi dibedakan dengan devolusi (desentralisasi politik) dan dekonsentrasi (desentralisasi administrasi) dalam hal sifat otonomi dari daerah otonom secara politik dan administrasi. Devolusi menuntut pelimpahan otoritas politik secara penuh, sedangkan dekonsentrasi pelimpahan administrasi tanpa otoritas politik. Desentralisasi di Indonesia berada di antara kedua kutub kepentingan devolusi dan dekonsentrasi, sehingga ada pembatasan otoritas daerah secara politik maupun administrasi (Imawan, 2005: 41-43). Pemilihan bentuk pemerintahan
9
pemerintah di level lebih rendah (daerah)7 (Imawan, 2005: 40). Definisi serupa dikemukakan oleh Litvack dan Seddon8 serta Rondinelli dengan penekanan pada pengalihan kekuasaan politik (transfer of political power), sehingga desentralisasi bertujuan politik sebagai bagian dari demokratisasi untuk pencapaian efisiensi dan efektivitas secara administratif (Wasistiono, 2005: 61). Demokratisasi dibatasi sebagai proses perubahan struktur politik otoriter menjadi struktur politik yang memungkinkan diversifikasi kekuasaan (Imawan, 2005:43). Demokratisasi muncul sebagai reaksi atas kesenjangan kekuasaan dalam tata negara, yang ditandai dengan penyempitan partisipasi rakyat oleh pemerintah9. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, bentuk demokratisasi muncul sebagai gagasan good governance10. Good governance dipopulerkan secara efektif oleh oleh World Bank dalam Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth (1989) (Pratikno, 2005). Governance dibatasi oleh World Bank sebagai cara pemerintah (the act of government) menggunakan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya dalam pembangunan11, dan oleh UNDP sebagai penggerakan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara pada semua level12. Konsekuensi dari penerimaan gagasan governance ini adalah 1) ruang pemerintahan tidak didominasi oleh pemerintah, tetapi membuka keterlibatan civil sebagai Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan, bukan Negara Federal, merupakan bukti pemaknaan desentralisasi di Indonesia yang berbeda dengan konsep devolusi dan dekonsentrasi. 7 …a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit that is assumed to have some degree of authority (Freidman dalam Shabbir 1983:35 cit. Imawan, 2005:40). 8 The transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private sector (Litvack dan Seddon, 1992: 2 cit. Wasistiono, 2005:61). 9 Laporan Johannen dan Gomez (Democratic Transition in Asia, 2001) mengenai demokratisasi di Asia, dan Gunther et al. (The Politics of Democratic Consolidation, 1995) mengenai demokratisasi di Eropa Selatan menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi nasional untuk menampung aktor-aktor baru (non pemerintah) dalam politik menjadi awal gelombang demokratisasi (Imawan, 2005: 44). 10 Pemahaman atas good governance dimudahkan oleh Thompson dengan menghadirkan istilah kebalikannya, yaitu bad governance yang dicirikan dengan 1) ketiadaan batas yang tegas antara sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi, 2) ketiadaan aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang kondusif bagi pembangunan,3) regulasi yang berisiko pada ekonomi berbiaya tinggi, 4) ketiadaan prioritas pembangunan yang konsisten, dan 5) ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan (Ibid: 46). 11 The way state power is used in managing economic and social resources for development society (Wasistiono,2005: 54). 12 The exercise of political , economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels (Ibid).
10
society dan private sector, 2) peran negara tidak lagi regulatif, melainkan fasilitatif, 3) pembangunan berkelanjutan dilaksanakan atas prasyarat legitimasi politik dan konsensus, dan 4) perampingan birokrasi. Dengan demikian, desentralisasi merupakan sistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya governance menurut definisi World Bank maupun UNDP. Pelibatan sektor swasta dan masyarakat sipil dibangun atas asumsi bahwa pemerintah merupakan sumber kegagalan pembangunan, sehingga pemerintahan yang baik (good governance)13 adalah yang less government14 (Praktikno, 2005). Pemaknaan good governance oleh World Bank sebagai sound development management dirumusan melalui Washington Consensus15 yang memengaruhi kebijakan pembangunan Indonesia di akhir 1990an. Good governance versi sound development management dikatakan oleh Peters (2001:21) cit. Praktino (2005) sebagai
pemerintahan
model
deregulasi
(deregulated
government)
atau
pemerintahan model pasar (market government). Demokratisasi dijalankan dengan memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara.
2.3 Teori Penguasaan SDA (Land Tenure) Jaminan atas hak kepemilikan (property rights) menjadi salah satu butir dalam good governance. Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral
13
UNDP mengajukan 9 kriteria good governance sebagai berikut: 1) partisipasi (participation), 2) penegakan hukum (rule of law), 3) transparansi (transparency), 4) daya tanggap (responsiveness), 5) berorientasi pada consensus (consensus orientation), 6) kesetaraan (equity), 7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness and efficiency), 8) akuntabilitas (accountability), dan 9) visi strategis (strategic vision). 14 Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber bagi kepemerintahan yang buruk (bad governance) karena dalam operasionalisasi World Bank tidak representatif dan merupakan sistem non pasar yang tidak efisien (Weiss, 2000:801 cit. Pratikno, 2005: 235). 15 Zhang (2003:127) cit. Pratikno (2005: 238) mengemukakan bahwa Washington Consensus merupakan ideologi neoliberlisme Amerika Serikat yang sejak 1980an mengendalikan kekuatan globalisasi (US-originated ideology of neo-liberalism, which, since 1980s, has been the driving force for globalization). Washington Consensus dihasilkan dari pertemuan tiga lembaga keuangan raksasa (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS) dengan butir-butir good governance sebagai berikut:1) disiplin fiskal, 2) konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), 3) reformasi perpajakan dengan perluasan basis pajak dan tarif pajak moderat, 4) bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, 5) liberalisasi perdagangan, 6) nilai mata uang yang kompetitif, 7) keterbukaan pada intervensi asing, 8) privatisasi perusahaan negara dan daerah, 9) deregulasi , dan 10) jaminan hukum untuk hak kepemilikan (property rights).
11
atas hak-hak yang muncul dari pencampuran buruh dan tanah16, sedangkan pendapat oposannya, Marx17, memandang bahwa kepemilikan adalah pemberian. Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon (1849)18 dan MacPherson (1978)19 memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Maine (1917) cit. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada pihak lain. Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights itu sebagai berikut: 1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners). 2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik. 5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan 16
…property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156). 17 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157) 18 One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155). 19 …a right in the sense of an enforceable and supported by society through law, custom, or convention (Ibid).
12
merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya. Menurut sifat kepemilikan dan aktornya, FAO (2002) membagi kepemilikan SDA menjadi empat kategori, yaitu: 1. Kepemilikan privat Hak atas sesuatu yang melekat pada seseorang, sekelompok orang, atau badan hukum, pemilik dapat mengambil manfaat sepenuhnya atas apa yang dimilikinya. Contoh: pekarangan yang dimilki oleh sebuah rumah tangga. 2. Kepemilikan komunal Hak atas sesuatu melekat pada sekelompok masyarakat tertentu di suatu kawasan secara bersama-sama, anggota masyarakat lain dapat turut mengambil menfaat jika diijinkan oleh masyarakat yang terlekati hak tersebut. Contoh: hutan adat suatu kelompok masyarakat. 3. Kepemilikan negara Hak atas sesuatu yang melekat pada negara dan pertanggungjawabannya diserahkan pada aparat negara sektoral. Kewenangan negara dalam mengakses sesuatu mengatasi kewenangan pribadi atau komunal. Contoh: hutan negara. 4. Open acces Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat mengambil manfaat atas sesuatu itu. Contoh: udara. Ellsworth (2002) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan (property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)20. Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian tenurial, yaitu:
20
Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya, property rights menjadi bagian dari tenure.
13
a. Aliran Property Rights Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah: 1) Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital. 2) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan hak kepemilikan. 3) Ketimpangan
kepemilikan
tidak
akan
terjadi
sejauh
dilakukan
kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya. 4) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk dilakukan. Aliran pemikiran ini digerakkan oleh ekonomi pasar bebas dan banyak dianut oleh pakar hukum dan ekonomi di Indonesia. b. Aliran Agrarian Structure Tradition Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini. c. Aliran Common Property Advocates Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa : 1) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan. 2) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut.
14
3) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan hukum positif. 4) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat ekonomi. Pengelolaan secara adat/berbasis masyarakat atas suatu sumberdaya adalah contoh dari penganutan aliran ini, misalnya sasi. d. Aliran Institutionalist Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro pada rejim-rejim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami bentuk rejim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini, kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk menegakkan dan mempertahankan klaim. Rejim Agrarian Structure Tradition dan Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rejim penguasaan. Jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers) (Peluso dan Ribot, 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung.
15
2.4
Teori Konflik
Kekuasaan dan konflik SDA dijelaskan oleh Teori Konflik Dahrendorf yang menyatakan bahwa konflik bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan (Vago, 1989). Kekuasaan tidak tercermin pada pemilikan alat produksi semata, tetapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam kontrol perilaku dan wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran (legitimate). Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Otoritas tidak bersifat stabil, hal ini karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan secara
imperative
(mutlak),
masyarakat
tampak
sebagai
asosiasi
yang
dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Suatu ketika seseorang berada pada posisi superordinat, di suatu ketika yang lain ia berada di posisi subordinat. Kepentingan menjadi konsep kunci untuk memahami posisi aktor sosial dan berikut otoritasnya. Kepentingan dikategorikan oleh Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (kepentingan tersembunyi yang telah disadari). Berdasarkan kesamaan kepentingannya, Dahrendorf membagi kelompok menjadi 1) kelompok semu (quasi group), yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan sama, 2) kelompok kepentingan, yaitu agen riil dari konflik kelompok, dan 3) kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Kategorisasi kelompok ini berguna untuk memetakan aktor berdasarkan kepentingannya, terutama pada konflik di berbagai aras (multilevel conflict), baik pada ranah material maupun ranah proses kebijakan. Dahrendorf mengemukakan bahwa konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan, akan tetapi penjelasan yang cukup baik mengenai fungsi konflik dijelaskan oleh Coser, The Function of Social Conflict (1956). Coser menyatakan bahwa 1) konflik dapat mempererat kelompok yang semula
16
terstruktur secara longgar, 2) konflik dapat membantu dalam pembangunan kohesi sosial melalui aliansi, 3) konflik dapat meningkatkan peran individu yang semula terisolasi, dan 4) konflik dapat membantu fungsi komunikasi pihak yang berkonflik demi suatu solusi. Kelemahan metodologis Teori Konflik Dahrendorf adalah bersifat makroskopik, sehingga konflik-konflik di tingkat individu atau yang bersifat internal terabaikan. Randall Collins, dalam Conflict Sociology (1975), mencoba membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif dengan mengamati tingkat mikro karena menurutnya stratifikasi dan organisasi didasarkan atas hubungan timbal balik dari hidup keseharian21. Berdasarkan pemikiran Marx mengenai keterlibatan kondisi material dalam pencarian nafkah masyarakat modern, Collins berpendapat bahwa 1) aktor yang mempunyai kontrol atas sumberdaya akan lebih mampu menafkahi hidupnya secara lebih memuaskan daripada aktor yang tidak memiliki kontrol sehingga ia menjual tenaganya untuk dapat mengakses alat produksi, 2) kelas sosial dominan lebih mampu mengembangkan kelompok sosial ketimbang kelas sosial subordinat, dan 3) kelas dominan lebih mampu mengembangkan simbol dan sistem ideologi yang dipaksakan kepada kelas subordinat. Menilik kembali bagian sebelumnya tentang pembentukan struktur penguasaan SDA, kekuasaan (otoritas), posisi, dan kepentingan sebagai konsepkonsep kunci dalam Teori Konflik Dahrendorf digunakan untuk memahami hubungan interaksi aktor-aktor sosial dalam struktur penguasan sumber-sumber agraria. Sedangkan dalam perspektif Marxian, hubungan aktor-aktor sosial (material forces of production: capital, technology, human) dengan sumber agraria tersebut berupa hubungan produksi (relations of productions) yang dapat membentuk kerangka kesadaran sosial (superstructures and the ideas). Di dalam kerangka pemikiran seperti apakah hubungan manusia-alam itu terbentuk berikut sifatnya, diuraikan lebih lanjut dalam Teori Ekologi Manusia.
21
Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya (Collins) terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari (Collins, 1990:72 cit. Ritzer dan Goodman, 2003: 160).
17
2.5 Teori Ekologi Manusia A. Sejarah Disiplin Ekologi Politik Ekologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan (Odum, 1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi komponenkomponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya SDA, biologi menyebutnya lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Teori Ekologi Manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik22. Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi manusia dengan lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam mengubah karakteristik suatu lingkungan (Moran, 2006)23. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas, teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria, konflik pemanfaatan SDA, gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007). Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan (Dharmawan, 2007), yang menekankan pada ekonomi politik SDA dan hubungan 22
Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis lingkungan penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetik, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia. 23 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia karya Clifford Geertz (1983) merupakan karya klasik mengenai antropologi ekologi yang banyak dikenal di Indonesia.
18
hubungan kekuasaan atas SDA (Blaikie, 1985; Bryant, 1998; Forsyth, 2003; dan Peluso, 2006). Ginealogi evolusi pengetahuan yang melahirkan ekologi politik tersaji pada Gambar 2. Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan metodologi24. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi kepastian hukum (Garner, 1999). Perbedaan utama antara ekologi politik (political ecology) dan politik ekologi (ecological politics/environmental politics) adalah sebagai berikut:
24
Environmental politics is a research field within political science that applies traditional political question to environmental matters…political ecology encompasses a wider understanding of politics than is traditionally found in environmental politics. Political ecology assesses the implications of a politicised environment (Bryant and Bailey, 2000:17)
19
Tabel 1. Perbedaan antara Ekologi Politik dan Politik Ekologi Pembeda
Ekologi Politik
Politik Ekologi
Tema sentral
Ekologi
Politik
Ranah kajian dominan
Ilmu
Ilmu politik
Lingkungan dan pembangunan, geografi, sosiologi Fokus
Manajemen kekuasaan atas SDA
Hasil
SDA
Kelembagaan SDA
Watak Metodologi
Manajemen
Kebijakan SDA
Empirik
Teoritik
20
Biologi‐Kimia‐Fisika
Antropologi
Ekologi
Antropologi Ekologi
Sosiologi
Sosiologi Lingkungan
Ekologi Politik (Political Ecology) Ekonomi Politik
Politik
Ekonomi
Politik Lingkungan (Environmental Politics)
Keterangan:
interaksi,
hasil,
cabang
Gambar 2. Ginealogi Evolusi Pengetahuan Ekologi Politik
21
B. Definisi Ekologi Politik Batasan ekologi politik mengacu pada tujuan pengkajian obyek formal. Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitikberatkan pada interaksi antara ekologi dan ekonomi politik25, Russet (1967) memberi batasan ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan lingkungan fisik26,
Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian
mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan pencermatan pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya27. Beberapa batasan ekologi politik berikut tujuannya disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini merujuk pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu ekologi politik sebagai pendekatan untuk memahami hubungan-hubungan yang kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan matapencaharian.
25
The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ). 26 As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3). 27 Political ecology, like the Marxist-inspired workers’ movement, is based on a critique—and thus an analysis, a theorized understanding, of the “order of things”. More specifically, Marx and the greens focus on a very precise sector of the real world: the humanity-nature relationship, and even more precisely, relations among people that pertain to nature (or what Marxists call the productive forces)(Ibid: 4 ).
22
Tabel 2. Batasan-batasan Ekologi Politik Sumber
Batasan
Tujuan
Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Dharmawan (2007)
Combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy.
Explain environmental change in terms of constrained local and regional production choices within global political economic forces largely within a third world and rural context.
Watts (2000) dalam An approach to understand the complex Robbins (2004) relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for environmental health and sustainable livelihoods
Explain environmental conflict especially in terms of struggles over “knowledge, power, and practice” and “politics, justice, and governance”.
Bryant
Assesses the implications of a politicized environment.
dan
Bailey A debate focuses on (1997) dalam Forsyth interactions between the state, non state aktors, (2003) and the physical environment.
23
C. Pendekatan-pendekatan Ekologi Politik Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi sehingga melahirkan rantai penjelasan (Neomarxian)28, 2) fase kedua, yaitu pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan29 sehingga melahirkan jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas SDA (Neoweberian), 3) fase ketiga ialah pendekatan post-strukturalis30 yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan (Foucauldian)31. Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis. Lebih lanjut, Bryant menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie 28
Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Blaikie (1985) 29 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Peluso (2006). 30 Post-strukturalisme sebagai bagian dari Postmodernisme memfokuskan diri dalam kerja pewacanaan pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Bahasa atau narasi sebagai pintu masuk sistem pengetahuan, selanjutnya sistem pengetahuan membentuk kesadaran (kerangka pemikiran, paradigma, ideologi). Sistem pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Struktur bahasa tertentu merefleksikan struktur kekuasaan tertentu, misalnya dalam struktur Bahasa Jawa ada hirarki Kromo Inggil, Kromo Madya, dan Ngoko yang digunakan oleh pengguna dari struktur sosial yang berbeda-beda. Kromo Inggil digunakan oleh bawahan kepada majikan, atau kepada orang yang dituakan atau dihormati, Kromo Madya digunakan dalam relasi yang lebih setara, dan Ngoko digunakan oleh majikan kepada bawahan, atau sesama bawahan sebagai ciri bahasa kelas rendah. Kosakata dalam Kromo Inggil tidak menyediakan kata-kata umpatan, sedangkan dalam Ngoko kata-kata itu tersedia, sehingga seorang bawahan tidak dapat melakukan protes secara lugas atau mengemukakan kekecewaannya kepada majikan. Perbedaan Postmodernisme dan Post-strukturalisme adalah Postmodernisme berorientasi pada kritik kebudayaan, sedangkan Post-strukturalisme berkonsentrasi pada metodologi dan epistemologinya, dapat berupa dekonstruksi, penggalian makna dan simbol/narasi, atau analisis wacana (discourse analysis). Post-strukturalisme merupakan kritik sekaligus lanjutan dari Strukturalisme (dalam kerangka menemukan struktur). Strukturalisme membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara oposisi (oposisi biner, seperti: borjuis-proletar, penindas-tertindas, manusianon manusia, lelaki-perempuan). Kritik utama Post-strukturalisme terhadap Strukturalisme 1) tentang makna adalah bahwa makna tidaklah bersifat stabil, melainkan dalam proses, 2) tentang kebenaran bahwa setiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran yang direproduksi melalui a) wacana yang diterima, b) mekanisme penyalahan, dan c) alat sanksi, dan d) dialektika yang mengukuhkan rezim dengan proses-proses pendisiplinan atau rutinisasi. 31 Whose Knowledge, Whose nature? Biodiversity, Conservation, and The Political Ecology of Social Movements karya Escobar (1998) adalah contoh dari tradisi ini.
24
dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial. Penelitian ini secara metodologis lebih dekat pada tradisi dari fase ketiga, dengan menekankan pada bentuk-bentuk hegemoni yang berangkat dari penggalian makna dan narasi (tidak sampai pada analisis wacana dan dekonstruksi). Hegemoni menurut Gramsci adalah penguasaan moral dan intelektual kelompok dominan terhadap kelompok subordinat secara konsensual, muara hegemoni adalah kontrol ideologi (Patria dan Arif, 1999; Roger, 1999; dan Sugiono, 1999). Relasi pengetahuan dan kekuasaan dijelaskan oleh Foucault sebagai dua sisi yang saling melengkapi32 keduanya
(pengetahuan dan
kekuasaan) pada akhirnya direproduksi dalam rangka menciptakan hegemoni namun dalam konteks post-struktural. Hegemoni dengan pendekatan Gramsci mempunyai keterbatasan untuk diterapkan pada kekuasaan yang tersebar, sementara gagasan knowledge/power Foucault terlampau jauh untuk mewadahi praktik-praktik yang mengarah pada hegemoni. Transisi metodologi dari hegemoni struktural Gramsci menuju relasi kekuasaan post-struktural Foucault diperlukan. Alur tersebut akan dibangun melalui Teori Kelas Dahrendorf,
Teori Akses Peluso,
hingga kemunculan
33
gagasan Governmentality .
32
Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault. Discipline and Punishment, London, Tavistock, 1977, p27.) 33 Governmentality berbeda konsep dengan Government, Governance, dan Governability. Government (pemerintah) adalah aktor penyelenggara pemerintahan. Governance (kepemerintahan) adalah tata laksana penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah, lebih mengacu pada tatakelola. Governability (the capacity of government to govern) adalah kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan. Government, Governance, dan Governability merupakan istilah-istilah dalam administrasi publik dan ilmu kepemerintahan yang berkaitan dengan bagaimana suatu pengelolaan institusi bernama negaradiselenggarakan oleh aktornya (lihat Praktikno, 2005; Wasistiono, 2005; dan Imawan, 2005). Governmentality adalah konsep yang diturunkan dari filsafat kekuasaan Foucault menyangkut ‘conduct of conduct’, dapat dipahami sebagai (www.wikipedia.org):
25
Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan sebagai pembeda kelas sosial dan sumber konflik34, teori konflik Dahrendorf memungkinkan perluasan kajian menuju relasi-relasi kekuasaan dibandingkan dengan teori konflik Marx yang membatasi pada penguasaan alat produksi. Kelembagaan SDA merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum mengenai hak-hak atas SDA. Hak atas SDA di Indonesia mengacu pada teori kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan permasalahan utama konflik sumberdaya bukanlah hak, melainkan akses yang menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers)35. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang 1) The way governments try to produce the citizen best suited to fulfill those governments' policies, 2) The organized practices (mentalities, rationalities, and techniques) through which subjects are governed 3) The "art of government" (Burchell 78), 4) "Governmental Rationality" (Gordon 1991: 1), 5) A ‘guideline’ for the analysis [Foucault] offers by way of historical reconstructions embracing a period starting from Ancient Greece (sic) through to modern neoliberalism”(Lemke 2) 6) “The Techniques and strategies by which a society is rendered governable” (Jones 174)
Li (2007) menggali makna Governmentality melalui penelusurannya atas asumsi-asumsi Foucault tentang kekuasaan, yaitu:1) Pemerintahan diterapkan pada tubuh sosial (populasi, masyarakat) dengan jalan pendisiplinan berupa pendidikan, penataan kebiasaan; aspirasi; dan kepercayaan, hal ini dikarenakan tidak mungkin mendisiplinkan tubuh sosial dengan alat-alat pendisiplinan bagi tubuh individu (sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara). 2) Tujuan pendisiplinan adalah agar tubuh sosial mengikuti kehendak pengendali dengan cara mengikuti kehendak diri sendiri (yang telah disesuaikan dengan kehendak penguasa). 3) Kehendak untuk memerintah (the will to govern), lebih khusus lagi kehendak untuk merekayasa (the will to improve) bersifat ekspansif. 4) Tujuan dari pemerintahan bukan tunggal dan dogmatis dan diselenggarakan dengan berbagai bentuk taktik yang melahirkan pembenaran (a way of thinking about government as the “right manner of disposing things” in pursuit not of one dogmatics goal , but “a whole series of specific finalties” to be achieved through “multiform tactics” [Foucault, 1991:95] dan 5) Pertanyaan analitis dari governmentality adalah bagaimana kekuasaan dioperasikan sehingga pengendalian berjalan tanpa ada perasaan terkendali pada yang dikendalikan. 34 35
Lihat Vago (1989:39) Lihat Peluso dan Ribot (2003:153).
26
mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi, seperangkat pengakuan sosial ini merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktik-praktik hegemoni dengan cara-cara represif dan koersif (Peluso, 2006)
maupun penundukan-
penundukan secara halus (subtle ways) (Li, 2002). Li (2003) memperkenalkan kerangka konseptual untuk membedah situasi konflik melalui pendekatan kekuasaan (a conceptualization of power) dan penelusuran narasi (a repertoire of terms) proyek; posisi; praktik; dan proses. Konflik SDA bekerja pada dua situasi yaitu logika kapitalisme dan kekuasaan (yang oleh Foucault dilabeli sebagai governmental)36. Proyek adalah istilah yang mengacu pada jenis kegiatan baik yang berupa proyek pemerintah, proyek ekonomi (Swasta), maupun proyek politis (LSM). Posisi mengacu pada daya tawar masing-masing aktor dalam suatu proyek, ini terkait dengan bagaimana setiap aktor memosisikan dirinya di dalam arena konflik terhadap aktor lainnya. Praktik mengacu pada bentuk konkret bagaimana suatu proyek dijalankan dan posisi itu bekerja. Proses menekankan pada dampak-dampak tak terencana dari proyek dan praktik melintasi ruang dan waktu. Pasca ORBA, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat. Relasi kekuasaan berbeda dengan relasi dominasi dalam hal distribusi kekuasaan. Relasi dominasi tidak memberi kesempatan kelompok subordinat untuk membuat pilihan selain pilihan yang sudah ditentukan oleh kelompok dominan. Sedangkan di dalam relasi kekuasaan, kemungkinan dan pilihan tindakan setiap kelompok terbuka lebar. Menurut Foucault, relasi kekuasaan kini semakin dipengaruhi dan dikontrol oleh negara (governmentalized), inilah alasan Foucault menyebut model relasi kekuasaan ini dengan governmentality. Governmentality dipahami sebagai kewenangan yang direkayasa bukan untuk tujuan-tujuan pembangunan, melainkan untuk mengendalikan populasi dan sumberdaya demi kepentingan kelompok dominan tertentu (Li, 2007).
36
Conflict over natural resources are situated rather obviously within the logic of capitalism, …but they are also situated within the field of power Foucault labelled governmental, in which experts in and out of the state machinery attempt to enhance the quality of population, rearranging landscapes, livelihood, and identities according to techno-scientific criteria (Li, 2003:5120).
27
Perbedaan hegemoni Gramsci dan governmentality Foucault terletak pada tempat berlangsungnya kekuasaan, governmentality berlangsung dalam setiap relasi sosial bukan sekadar relasi negara dengan masyarakat seperti dalam pandangan Marx atau Gramsci. Konsep governmentality Foucault menggambarkan model relasi kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat modern saat ini yang mana kekuasaan tidak hanya dijalankan melalui soverign power atau disciplinary power, tetapi justru cenderung dijalankan dengan cara‐cara yang positif. Substansi governmentality tidak beda dengan disciplinary power, yakni disiplin tubuh yang hanya dapat diketahui melalui efek‐efek dari kekuasaan itu. Jika disciplinary power diterapkan pada tubuh individu, maka governmentality diberlakukan pada tubuh sosial. Jika bentuk pengetahuan dari disciplinary power berupa rezim kebenaran, maka bentuk
pengetahuan
dari
governmentality
berupa
ekonomi
politik.
Governmentality dapat menjembatani kesenjangan metodologi struktural dan poststruktural dalam menelaah relasi kekuasaan. 2.6 Kerangka Konseptual OTDA merupakan sistem politik yang memungkinkan Pemda di tingkat kabupaten untuk mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan SDA dan lingkungan (SDA). Keputusan yang diambil oleh Pemda tersebut dilandasi oleh kepentingan ekonomi politik dan konsensus-konsensus yang membentuk rejim penguasaan atas SDA, baik itu berupa produk hukum dalam negeri maupun luar negeri; agenda-agenda lembaga internasional; dan yang tak kalah penting adalah pemaknaan terhadap SDA. Perpaduan OTDA dan rejim penguasaan SDA dimunculkan sebagai kebijakan atas SDA, dalam konteks penelitian ini adalah pertambangan pasir besi. Kebijakan atas SDA tertentu menimbulkan konflik SDA, baik itu bersifat material maupun immaterial. Konflik sebagai akibat dari kebijakan atas SDA dapat ditelaah dengan Teori Desentralisasi, Teori Property Rights, Teori Konflik, dan Teori Ekologi manusia sebagai alat analisis konseptual. Konflik tersebut pada dimensi empirik dianalisis melalui Struktur Penguasaan SDA, Proses Politik Kebijakan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA.
28
Dalam penelitian ini, istilah SDA dan agraria digunakan secara bergantian untuk merujuk pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya alam berbasis tanah. Istilah SDA dipilih untuk menjaga konsistensi penulisan, kecuali pada hal-hal yang telah dianggap lazim dipergunakan istilah agraria. Teori Desentralisasi menjelaskan asumsi dasar, konsep dasar, dan konsekuensi dari desentralisasi, yang dalam bentuk teknisnya diterjemahkan sebagai sistem OTDA. Teori Property Rights menjelaskan asumsi dasar, konsep, dan bentuk-bentuk penguasaan SDA oleh aktor-aktor ekonomi politik, yaitu negara; masyarakat; dan pasar. Teori Konflik menjelaskan akar konflik, struktur konflik, arena konflik, dan analisis konflik, dalam konteks penelitian ini adalah konflik SDA. Teori Ekologi Manusia menjelaskan relasi ekonomi politik dan sosial budaya antara manusia dengan SDA. Konsep
Governmentality
digunakan
untuk
mencermati
relasi-relasi
kekuasaan dalam konflik SDA, baik itu yang bekerja pada tingkat tindakan maupun kesadaran. Hasil dari proses pencermatan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk menilai arah konflik SDA dan arah perubahan ekosistem yang disebabkan oleh konflik tersebut. Secara sederhana, arah konflik dapat dinilai positif jika aktor-aktor yang berkonflik dapat memunculkan konsensus-konsensus baru yang menjamin kepentingan masing-masing dalam pemanfaatan ruang bersama. Namun, arah konflik dapat dinilai negatif jika keputusan-keputusan para aktor yang berkonflik justru mengarah pada krisis-krisis ekologi, sosial, dan politik. Alternatif kebijakan yang lebih adil bagi kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan tetap harus tercipta. Pemahaman terhadap konsep Governmentality adalah penting karena memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat permasalahan secara lebih luas dan mendalam, terutama jantung organisasi kepentingan atas SDA, yaitu: kekuasaan. Dengan demikian, pengambil kebijakan tidak hanya akan terjebak pada evaluasi kebijakan yang bersifat teknis, melainkan menemukan kerangka paradigmatik yang menjadi landasan bagi penyusunan suatu kebijakan. Bermula dari pemahaman pada Governmentality, pengambil kebijakan dapat memulai suatu pertanyaan : di dalam kerangka kesadaran dan kekuasaan seperti apakah suatu kebijakan SDA dilahirkan?
29
Rejim Penguasaan SDA
OTDA
Teori Desentralisasi (Teori Pendukung)
KEBIJAKAN Pengelolaan SDA
Struktur Penguasaan SDA
Teori Property Rights
Teori Konflik
Proses Politik Kebijakan SDA KONFLIKKONFLIK SDA Struktur Konflik SDA
Teori Ekologi Manusia (Teori Pendukung)
Relasi Kekuasaan SDA
GOVERNMENTALITY SDA
ARAH KONFLIK DAN PERUBAHAN EKOSISTEM Krisis-krisis SosialPolitik-Ekologi
Konsesuskonsensus Pengelolaan SDA ALTERNATIF KEBIJAKAN SDA
Gambar 3 Bagan Alir Kerangka Konseptual