II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Asuransi dan Unit Link Asuransi adalah suatu perjanjian yang mana penanggung mengikatkan diri kepada penanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu penggantian padanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu (pasal 246 KUHD). Asuransi menurut Purwosujipto adalah perjanjian timbal balik antara penanggung dengan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian dan atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan pada waktu penutupan perjanjian kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk, pada waktu terjadinya evenement, sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi (Purwosujipto, 2004). Unit link adalah suatu bentuk perusahaan asuransi yang dilengkapi dengan fasilitas reksa dana sebagai unsur investasi yang menghasilkan suatu return. Unit link merupakan suatu penggabungan sisi proteksi dan investasi (Pieloor, 2009).
2.2. Jenis-jenis Risiko dalam Asuransi Risiko merupakan suatu hal yang timbul karena adanya ketidakpastian di masa datang (Pru Fast Start,2008). Risiko dalam perusahaan asuransi, khususnya unit link dibedakan menjadi dua, yaitu risiko spekulatif (speculative risk) dan risiko murni (pure risk). Risiko spekulatif memiliki tiga kemungkinan hasil, yaitu untung, rugi, atau tidak ada perubahan. Risiko spekulatif contohnya adalah ketika seseorang membeli saham, harga saham tersebut dapat turun, naik, ataupun tidak berubah. Semua risiko yang terjadi pada saat tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pihak nasabah perusahaan asuransi berbasis unit link. Jenis risiko spekulatif tidak dapat diasuransikan oleh perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang berbasis unit link hanya menyediakan sarana pengelolaan aset bagi para nasabahnya, namun demikian satu hal yang perlu dilihat oleh nasabah perusahaan asuransi berbasis unit link adalah kinerja pengelolaan aset perusahaan tersebut. Hal ini akan mengurangi dampak risiko spekulatif pada saham.
Risiko murni merupakan sebuah risiko yang tidak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan, walaupun terjadi kerugian atau tidak. Contoh risiko murni adalah kemungkinan seseorang mengalami kecacatan. Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan seseorang tersebut menderita kerugian secara finansial, sebaliknya jika seseorang tersebut tidak mengalami kecacatan, maka seseorang tersebut juga tidak memperoleh keuntungan dalam arti tidak ada suatu hal yang lebih dari diri seseorang tersebut. Risiko demikian dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi, termasuk perusahaan asuransi berbasis unit link. Tujuan dari perusahaan asuransi memberikan jaminan terhadap risiko murni adalah untuk menjamin sebuah nilai ekonomis seseorang ketika dirinya mengalami risiko murni. Perusahaan asuransi dapat meminimalisasikan kerugian yang timbul karena terjadinya risiko murni tersebut, sehingga dampak yang terjadi pada seseorang yang mengalami risiko murni dapat dikurangi.
2.3. Pengertian Laporan Keuangan Laporan Keuangan menurut Harahap (1997) adalah suatu gambaran kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Adapun jenis laporan keuangan yang lazim dikenal adalah neraca atau laporan laba/rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan posisi keuangan. Bagi para analis, laporan keuangan merupakan media yang paling penting untuk menilai prestasi dan kondisi ekonomis suatu perusahaan. Laporan keuangan dapat menggambarkan posisi keuangan perusahaan, hasil usaha perusahaan dalam suatu periode, dan arus kas perusahaan dalam periode tertentu.
2.4. Jenis Laporan Keuangan Ada beberapa jenis laporan keuangan yang biasa dipakai oleh perusahaan. Jenis laporan keuangan tersebut terbagi menjadi laporan keuangan utama dan pendukung, yaitu : 1. Daftar neraca yang menggambarkan posisi keuangan perusahaan pada suatu tanggal tertentu. 2. Perhitungan laba/rugi yang menggambarkan jumlah hasil, biaya dan laba/rugi perusahaan pada suatu periode tertentu.
3. Laporan sumber dan penggunaan dana. Laporan tersebut memuat sumber dan pengeluaran perusahaan selama satu periode. 4. Laporan arus kas. Laporan tersebut menggambarkan sumber dan penggunaan kas dalam suatu periode. 5. Laporan harga pokok produksi yang menggambarkan berapa dan unsur apa yang diperhitungkan dalam harga pokok produksi suatu barang. Dalam hal tertentu Harga Pokok Produksi (HPPd) ini disatukan dalam laporan Harga Pokok Penjualan (HPPj). Harga Pokok penjualan adalah harga pokok produksi ditambah dengan persediaan barang awal dikurangi persediaan barang akhir. 6. Laporan laba ditahan. Laporan tersebut menjelaskan posisi laba ditahan yang tidak dibagikan kepada pemilik saham. 7. Laporan perubahan modal, menjelaskan perubahan posisi modal, baik saham dalam PT atau modal dalam perusahaan perseroan. 8. Dalam suatu kajian dikenal Laporan Kegiatan Keuangan. Laporan tersebut menggambarkan
transaksi
laporan
keuangan
perusahaan
yang
memengaruhi kas atau ekuivalen kas. Laporan tersebut jarang digunakan dan hanya merupakan rekomendasi Trueblood Committe tahun 1974.
2.5. Laporan Neraca Laporan neraca atau sering disebut daftar neraca disebut juga laporan posisi keuangan. Laporan tersebut menggambarkan posisi aktiva, kewajiban, dan modal pada saat tertentu. Laporan tersebut dapat disusun setiap saat dan merupakan opname situasi posisi keuangan pada saat tertentu. Isi laporan neraca yaitu sebagai berikut : a. Aset (harta,aktiva) Aset adalah harta yang dimiliki perusahaan yang berperan dalam operasi perusahaan misalnya kas, persediaan, aktiva tetap, aktiva yang tak berwujud, dan lain-lain. Aktiva tersebut lazimnya di Indonesia dan Amerika ditempatkan di sebelah kiri, sedangkan di beberapa Negara Eropa lazimnya ditempatkan di sebelah kanan. Pengertian asset ini secara teoritis dikemukakan oleh berbagai pihak sebagai berikut :
1. APB (Accounting Principle Board) statement (1970,hlm.132) mendefinisikan asset sebagai berikut: Kekayaan ekonomi perusahaan, termasuk di dalamnya pembebanan yang ditunda, yang dinilai dan diakui sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku. 2. FASB (Financial Accounting Standard Board) 1985 memberikan definisi sebagai berikut : Aset adalah kemungkinan keuntungan ekonomi yang diperoleh atau dikuasai di masa yang akan datang oleh lembaga tertentu sebagai akibat transaksi atau kejadian yang telah berlalu. Definisi-definisi tersebut menyatakan bahwa sesuatu dianggap sebagai asset jika di masa yang akan datang dapat diharapkan memberikan net cash inflow yang positif kepada perusahaan. Prinsip yang berlaku sekarang dalam pengakuan dan penilaian aktiva dan kewajiban sesuai yang digariskan APB adalah sebagai berikut: “Pencatatan aktiva didasarkan pada kejadian kapan perusahaan mendapatkan kekayaan atau aktiva itu dari pihak lain, sedangkan kewajiban, kapan kewajiban muncul kepada pihak lain. Penilaian keduanya didasarkan pada nilai tukar, nilai pengorbanan (exchange atau market price) pada saat pengalihan terjadi. Nilai tersebut disebut sebagai acquisition cost.” Kasus khusus dalam hal pengorbanan yang diberikan adalah aktiva, bukan uang (non moneter), maka nilai yang dipakai adalah harga pasar barang yang diserahkan. Di samping nilai pertukaran tersebut atau historical cost, dalam prinsip akuntansi dikenal juga berbagai nilai yang sering dipakai dalam penilaian aktiva. Nilai tersebut adalah : a. Book Value yaitu harga buku yang diperoleh dari nilai perolehan historis dikurangi akumulasi penyusutan yang telah dibebankan kepada pendapatan. b. Replacement cost yaitu nilai barang dimaksud jika diganti dengan barang lain yang sama kondisinya. c. Selling price yaitu harga penjualan. d. Net Realizable Value yaitu harga jual dikurangi biaya penjualannya atau dikurangi tingkat marjin yang normal.
Nilai-nilai tersebut sering dianggap tidak konsisten dengan konsep teori pengukuran yang murni. Nilai-nilai yang disebutkan di atas telah diterapkan pada berbagai macam jenis aktiva yang dianggap telah dibahas dalam akuntansi intermediate. b. Liabilities (Kewajiban/ Utang) Definisi kewajiban telah berkembang terus seperti terlihat dari dua definisi berikut : Menurut APB pengertian kewajiban adalah : “Kewajiban ekonomis dari suatu perusahaan yang diakui dan dinilai sesuai prinsip akuntansi. Kewajiban di sini termasuk juga saldo kredit yang ditunda yang bukan merupakan utang atau kewajiban.” Pengertian kewajiban tersebut lebih luas dari yang pertama karena menyangkut kewajiban ekonomis yang diartikan sebagai penyerahan harta atau jasa di masa yang akan datang. FASB memberikan definisi kewajiban sebagai berikut : “….kemungkinan pengorbanan kekayaan ekonomis di masa yang akan datang yang timbul akibat kewajiban perusahaan sekarang untuk memberikan harta atau memberikan jasa kepada pihak lain di masa yang akan datang sebagai akibat suatu transaksi atau kejadian yang sudah terjadi.” Definisi-definisi tersebut terdapat tiga sifat kewajiban: Pertama : Adanya kewajiban Kedua
: Kewajiban dimaksud tidak bisa dihindarkan
Ketiga :Kejadian yang
menyebabkan perusahaan memiliki
kewajiban telah terjadi. Pengakuan dan penilaian kewajiban : Menurut APB Statement nomor 4 serta SFAC No.5 kewajiban dinilai sebesar kejadian dalam transaksi, biasanya jumlah yang akan dibayar di masa yang akan datang biasanya didiskontokan (dinilai berdasarkan present value untuk jangka panjang), sejumlah nilai pertukaran, sejumlah nilai nominal.
c. Owner’s Equity (Modal Pemilik) Ekuitas adalah suatu hak yang tersisa atas aktiva suatu lembaga (entity) setelah dikurangi kewajibannya. Ekuitas dalam perusahaan adalah modal pemilik. Modal bagi perusahaan perseorangan merupakan modal pemiliknya sendiri, sedangkan dalam perusahaan perseroan perlu dibedakan antara modal disetor dengan modal karena pendapatan (retained earning). Dividen hanya dibayar dari laba ditahan bukan dari modal disetor. Modal disetor atau contributed capital dapat dibagi dalam modal statute (legal capital) dan modal lainnya. Modal statute adalah jumlah batas kewajiban pemilik. Modal statute tersebut dinilai sebesar harga pari atau harga nominal. Di samping modal tersebut ada pula modal lainnya seperti agio saham, modal donasi, modal dari pengeluaran kembali treasury stock, stock option, dan sebagainya. Di Indonesia mungkin juga harus dimasukkan kenaikan modal akibat revaluasi. Laba ditahan terdiri dari laba tahunan, penyesuaian atau koreksi tahun sebelumnya dan dividen. Komponen berikutnya dari modal saham tersebut adalah laba/rugi yang belum direalisasi. Dalam beberapa hal perubahan asset perusahaan tidak dilaporkan di laba/rugi, tetapi langsung dilaporkan dalam neraca, misalnya rugi dari perubahan harga surat berharga jangka panjang, laba/rugi dari transaksi luar negeri dalam mata uang asing. Pengakuan dan penilaian modal dapat dibagi dua, yaitu: transaksi modal dan transaksi yang berkaitan dengan laba. Transaksi golongan pertama menyengkut transaksi langsung dari pemilik dengan perusahaan, misalnya pembayaran dan pengambilan modal.
Golongan kedua
menyangkut transaksi yang berkaitan dengan laba, misalnya transaksi laba/rugi, koreksi tahun lalu, dan sebagainya. Penilaian terhadap transaksi modal ini sama dengan penilaian pada harta dan kewajiban yaitu berdasarkan harga paar pada saat terjadinya transaksi. Dalam hal pencatatan modal saham, maka harus dipisahkan nilai
parinya dengan nilai jualnya. Laba ditahan dicatat sebagai akumulasi laba dari tahun-tahun sebelumnya.
2.6. Laporan Laba Rugi Laporan laba/rugi memiliki beberapa elemen, yaitu: a. Laba Committee on terminology mendefinisikan laba sebagai jumlah yang berasal dari pengurangan harga pokok produksi, biaya lain, dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi. Menurut APB Statement mengartikan laba/rugi sebagai kelebihan/deficit penghasilan di atas biaya selama satu periode akuntansi. FASB Statement mendefinisikan Accounting Income atau laba akuntansi sebagai perubahan dalam equity (net asset) dari suatu entity selama satu periode tertentu yang diakibatkan oleh transaksi dan kejadian atau peristiwa yang berasal dari bukan pemilik. Dalam income termasuk seluruh perubahan dalam equity selain dari pemilik dan pembayaran kepada pemilik. b. Revenue (Penghasilan) Committee on terminology mendefinisikan revenue sebagai hasil dari penjualan barang atau pemberian jasa yang dibebankan kepada langganan, atau mereka yang menerima jasa. Definisi tersebut menggunakan pendekatan Revenue Expense. APB mendefinisikan sebagai kenaikan gross di dalam asset dan penurunan gross dalam kewajiban yang dinilai berdasarkan prinsip akuntansi yang berasal dari kegiatan mencari laba. FASB memberikan definisi revenue sebagai arus masuk atau peningkatan nilai asset dari suatu entity atau penyelesaian kewajiban dari entity atau gabungan
keduanya
selama
periode
tertentu
yang
berasal
dari
penyerahan/produksi barang, pemberian jasa atas pelaksana kegiatan lainnya yang merupakan kegiatan utama perusahaan yang sedang berjalan. Revenue akan dianggap sebagai pendapatan tergantung pada periode kapan kegiatan utama yang perlu untuk menciptakan dan menjual barang dan jasa tersebut selesai.
c. Expense (Biaya) Committee on terminology mendefinisikan biaya sebagai semua biaya yang telah dikenakan dan dapat dikurangkan pada penghasilan. APB mendefinisikan sebagai penurunan gross dalam asset atau kenaikan gross dalam kewajiban yang diakui dan dinilai menurut prinsip akuntansi yang diterima yang berasal dari kegiatan mencari laba yang dilakukan perusahaan. FASB mendefinisikan expense sebagai arus keluar aktiva, penggunaan aktiva atau munculnya kewajiban atau kombinasi keduanya selama suatu periode yang disebabkan oleh pengiriman barang,pembuatan barang, pembebanan jasa, atau pelaksanaan kegiatan lainnya yang merupakan kegiatan utama perusahaan. Biaya dikategorikan ke dalam tiga golongan, yaitu : a. Biaya yang dihubungkan dengan penghasilan pada periode tertentu b. Biaya yang dihubungkan dengan periode tertentu yang tidak dikaitkan dengan penghasilan c. Biaya yang karena alasan praktis tidak dapat dikaitkan dengan periode manapun Menurut teori matching concept biaya harus dibebankan sesuai dengan pengakuan dan periode penghasilan. Jika sukar melakukan matching, pembebanan harus dilakukan secara rasional dan sistematis. Jika biaya yang dikeluarkan masih memiliki potensi menghasilkan di masa yang akan datang, maka
dapat
ditunda
pembebanannya,
sebaliknya
jika
tidak
ada
kemungkinannya lagi sehingga langsung dibebankan.
2.7. Analisis Perbandingan Analisis perbandingan menurut Harahap (1997) adalah teknik analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara menyajikan laporan keuangan secara horizontal dan membandingkan antara satu dengan yang lain, dengan menunjukkan informasi keuangan atau data lainnya baik dalam rupiah atau dalam unit. Teknik perbandingan tersebut dapat menunjukkan kenaikan dan penurunan dalam rupiah atau unit dan juga dalam persentase atau perbandingan dalam bentuk angka perbandingan atau rasio.
Tujuan analisis perbandingan ini adalah untuk mengetahui perubahanperubahan berupa kenaikan atau penurunan pos-pos laporan keuangan atau data lainnya dalam dua atau lebih periode yang dibandingkan. Perbandingan dapat juga dilakukan antara laporan yang sudah dikonversikan ke angka indeks atau laporan bentuk common size bentuk awam. Dalam melakukan analisis laporan keuangan teknik perbandingan tersebut, dapat dilakukan dengan membandingkannya dengan angka-angka laporan keuangan tahun lalu, angka laporan keuangan perusahaan sejenis, rasio rata-rata industri, dan rasio normatif sebagai standar perbandingan (yardstick). Perbandingan antar pos laporan keuangan dapat dilakukan melalui: a. Perbandingan dalam dua atau beberapa tahun (horizontal), misalnya laporan keuangan tahun 1993, dibandingkan dengan laporan keuangan tahun 1994. Perbandingan antara tahun 1996,1995,1994, dan seterusnya. b. Perbandingan dengan perusahaan yang dianggap terbaik c. Perbandingan dengan angka-angka standar industri yang berlaku (Industrial Norm). Di Indonesia standar tersebut belum ada, tetapi di USA beberapa perusahaan mengkhususkan diri menyediakan informasi rasio tersebut, misalnya Moody’s, Standard&Poor dan lain-lain. d. Perbandingan dengan budget (anggaran) e. Perbandingan dengan bagian, divisi, atau seksi yang ada dalam suatu perusahaan. Dalam upaya perbandingan tersebut kita harus memiliki standard sebagai ukuran lain yang dijadikan untuk membandingkan laporan yang dimiliki. Tanpa standard pembanding tersebut kita tidak akan dapat menilai keadaan atau posisi perusahaan yang dinilai. Dalam melakukan perbandingan tersebut perlu diyakinkan bahwa : a. Standard penyusunan laporan keuangan harus sama b. Size dari perusahaan yang dibandingkan harus diperhatikan, bukan berarti harus sama c. Periode laporan yang dibandingkan harus sama, khususnya untuk laporan laba/rugi dan komponennya. Jangan sampai laporan laba/rugi satu tahun dibandingkan dengan laporan laba/rugi satu semester.
2.8. Risk Based Capital (RBC) Pengertian Risk Based Capital (RBC) berdasarkan Unit Link Annual Report (ULAR) PT.Prudential Life Assurance adalah perbandingan antara tingkat solvabilitas dengan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) yang ditetapkan oleh Departemen Keuangan. Rasio RBC tersebut berguna untuk mengukur kekuatan keuangan perusahaan dalam mengantisipasi resiko yang timbul akibat deviasi pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Mengingat betapa pentingnya fungsi dari rasio RBC tersebut, setiap perusahaan harus memerhatikan tingkat RBC masing-masing. Departemen Keuangan pun menetapkan suatu batas minimal rasio RBC, yaitu 120%. Hal ini berarti apabila suatu perusahaan telah memiliki RBC di bawah ketentuan Departemen Keuangan, maka perusahaan tersebut sudah tidak layak beroperasi karena jika dipaksakan beroperasi akan merugikan masyarakat. Perusahaan dengan kondisi RBC di bawah 120% akan sangat sulit mengantisipasi resiko yang terjadi, khususnya perusahaan asuransi yang rawan dengan resiko claim dan pemenuhan nilai tunai. RBC suatu perusahaan asuransi adalah rasio dari nilai kekayaan bersih perusahaan yang bersangkutan yang dihitung berdasarkan perhitungan akuntansi standar dibagi dengan nilai kekayaan bersih yang dihitung kembali dengan mengikutsertakan resiko-resiko pemburukan yang mungkin terjadi. Secara grafik ditunjukan sebagai berikut :
2.9. Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) Pengertian Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 adalah suatu jumlah
minimum tingkat solvabilitas yang ditetapkan, yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) terdiri dari komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Perhitungan BTSM dilakukan secara terpisah untuk masing-masing jenis usaha asuransi dan reasuransi. Bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang melakukan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip konvensional dan sekaligus juga melakukan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, perhitungan BTSM untuk masing-masing jenis usaha dilakukan secara terpisah. Langkah selanjutnya jumlah BTSM untuk masingmasing jenis usaha tersebut digabungkan sehingga membentuk total BTSM perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang dimaksud. Bagi produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (unit link), mengingat produk tersebut selalu mempunyai unsur proteksi, maka perhitungan BTSM adalah sebagai berikut : 1. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur proteksi produk tersebut, maka perhitungan BTSM diberlakukan sesuai dengan perhitungan BTSM bagi usaha asuransi dengan prinsip syariah. 2. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur investasi produk tersebut, yang hasil investasinya sepenuhnya mengacu kepada pasar (tidak ada jaminan atas hasil investasi minimum), maka perhitungan BTSM tidak diberlakukan, sedangkan untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur investasi tersebut, yang memberikan atas hasil investasi minimum, maka perhitungan BTSM diberlakukan. Komponen-komponen BTSM (Risk Based Capital) untuk usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip konvensional terdiri dari: 1. Kegagalan pengelolaan kekayaan (asset default) 2. Ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban (cashflow mismatch)
3. Ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang (foreign currency mismatch) 4. Perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan (claim experience worse than claim expected) 5. Ketidakcukupan premi akibat hasil investasi yang diasuransikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh (insufficient premium due to investment experience). 2.10. Belkaoui’s Bond Rating Prediction Model Model prediksi keuangan tersebut pada umumnya digunakan untuk menghitung peringkat obligasi yang dipasarkan di pasar modal. Peringkat tersebut dikategorikan berturut-turut, misalnya dalam bentuk AAA, AA, A, BBB, BB, B, dan seterusnya. Model dan peringkatan tersebut telah dikenal di Indonesia, khususnya di pasar modal, namun demikian model tersebut juga dapat dipakai untuk menilai kekuatan keuangan perusahaan secara keseluruhan. Penilaian kekuatan keuangan perusahaan dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung rasio-rasio keuangan perusahaan. Metode bond rating prediction model tersebut memakai suatu model fungsi diskriminan. Model diskriminan tersebut didasarkan pada taksiran sampel yields tahun 1981 yang merupakan suatu fungsi diskriminan untuk tiap 5 kelompok rating. Fungsi diskriminan tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan dan atau meramalkan peringkat kekuatan keuangan suatu perusahaan. Rumusnya adalah sebagai berikut: Untuk Peringkat AAA: Z = -31,6004 + 0,000737 X1 + 0,000119 X2 + 0,44234 X3 + 0,62823 X4 + 7,26898 X5 + 10,26302 X6…………………………… ………………………...…… (1) Untuk Peringkat AA : Z = -26,0425 + 0,000431 X1 + 0,000147 X2 + 0,48299 X3 + 0,67906 X4 + 6,80279 X5 + 9,76648 X6 ……………................................................................……. (2) Untuk Peringkat A : Z = -26,1304 + 0,000269 X1 – 0,000149 X2 + 0,58069 X3 + 0,60516 X4 + 7,83642 X5 + 8,13782 X6 ……………………………………………………………. (3)
Untuk Peringkat BBB : Z = -29,3824 + 0,000250 X1 – 0,000233 X2 + 0,71530 X3 + 0,79864 X4 + 8,35763 X5 + 4,27079 X6 ……………...................................................................…. (4) Untuk Peringkat BB : Z = -31,3397 + 0,000265 X1 – 0,000295 X2 + 0,76589 X3 + 0,80544 X4 + 9,15411 X5 + 1,69732 X6 ……………..................................................................…. (5) Untuk Peringkat B : Z = -34,8229 + 0,000242 X1 – 0,000357 X2 + 0,85499 X3 + 0,84459 X4 + 9,24043 X5 + 1,7366 X6 …………….................................................................……. (6) Keterangan : X1 = Total asset, merupakan penjabaran dari size perusahaan (dalam jutaan) X2 = Total utang, merupakan ukuran jumlah utang perusahaan (dalam jutaan) X3 = Utang jangka panjang/ jumlah modal yang ditanamkan. Dimasukkan sebagai alat mengukur intensivitas modal jangka panjang perusahaan. Modal yang ditanamkan dimaksudkan adalah jumlah utang, modal prioritas, dan modal saham biasa termasuk di dalamnya agio, surplus, dan laba ditahan. X4 = Utang jangka pendek/ jumlah modal yang ditanamkan, dimasukkan sebagai alat ukur intensivitas modal jangka pendek perusahaan. X5 = Aktiva lancar/ utang lancar, dimasukkan sebagai alat ukur dari likuiditas perusahaan. X6 = Subordinasi. 1 untuk subordinasi, 0 untuk yang lainnya, dimasukkan sebagai alat ukur yang paling relevan dalam membayar utang. Prosedur klasifikasi dilakukan dengan metode klasifikasi secara sederhana mencakup penggunaan fungsi diskriminan atas data yang baru. Setiap perusahaan yang akan diklasifikasi/dibuat peringkat, dihitung angka klasifikasi untuk tiap kategori peringkat dari koefisien fungsi diskriminan (kalikan data dengan koefisien dan tambahkan angka konstantanya). Perusahaan kemudian diklasifikasikan ke dalam kelompok di mana skor penggolongan yang tertinggi. Angka-angka yang diperlukan untuk menghitung rating tersebut diambil dari laporan keuangan, khususnya rasio-rasio keuangannya.
2.11. Altman’s Bankruptcy Prediction Model (Z-Score) Model tersebut memberikan rumus untuk menilai status kepailitan suatu perusahaan dalam kurun waktu tertentu (biasanya dalam kurun waktu 3 tahun ke depan). Model tersebut menggunakan rumus yang diisi (interplasi) dengan rasio keuangan, maka akan diketahui angka tertentu yang akan menjadi bahan untuk memprediksi kapan kemungkinan suatu perusahaan akan pailit. Metode Z-score tersebut merupakan suatu alat bantu bagi pihak manajemen untuk menganalisis kekuatan keuangan perusahaan. Metode tersebut juga berfungsi sebagai alat untuk mencegah terjadinya status kepailitan yang lebih buruk. Metode tersebut memungkinkan pihak manajemen untuk mengambil langkah antisipasi sebelum kepailitan tersebut benar-benar terjadi. Hal ini dikarenakan terdapat selang waktu tiga tahun sebelum perusahaan benar-benar dikenakan status pailit.Waktu tiga tahun merupakan suatu hasil analisa para pakar yang telah diuji secara empiris berdasarkan waktu dan pengalaman.