II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mangga Gedong Gincu Mangga (Magifera Indica L.) merupakan buah daerah tropis dan subtropis yang terkenal dengan aroma eksotis dan biasanya disebut sebagai raja buah (Sivakumar, 2010). Mangga juga dikenal sebagai The Best Loved Tropical Fruit yaitu buah khas daerah tropis yang mahal harganya dan banyak peminatnya di pasaran luar negeri selain manggis dan pisang (Deptan RI, 2007). Sebagai salah satu buah musiman yang mempunyai prospek baik sebagai komoditas ekspor, mangga diproduksi secara komersial oleh lebih dari 87 negara, diantaranya yang paling menonjol adalah : India, Cina, Thailand, Indonesia, Filipina, Pakistan, dan Meksiko (Tharanathan et al, 2006). Menurut Lebrun et al (2008), terdapat 49 jenis dan ribuan kultivar mangga. Buah mangga populer di pasar internasional karena rasa yang khas, aroma yang menarik, warna yang indah, dan kandungan gizinya (Arauz, 2000). Mangga gedong gincu mempunyai keunggulan dibandingkan mangga lainnya karena memiliki aroma lebih tajam, rasa manis segar, dan kulit buah berwarna merah menyala sehingga diminati oleh kelompok konsumen ekonomi menengah ke atas dan konsumen luar negeri. Disebut gedong gincu karena warna kulitnya yang merah-oranye hampir menyerupai gincu pemerah bibir wanita atau lipstik, serta bentuk buahnya bulat. Masyarakat Majalengka menyebut mangga gedong gincu sebagai mangga seraton atau mangga selera keraton karena tampilan yang memikat dan harganya yang cukup mahal, sehingga mangga gedong gincu dicitrakan sebagai mangga untuk konsumsi kalangan elit. Mangga gedong gincu merupakan kelompok dari mangga gedong. Hal yang membedakan sebutan mangga gedong dengan mangga gedong gincu adalah waktu panennya. Mangga gedong dipanen pada tingkat kematangan mencapai 60%-70%, sedangkan mangga gedong gincu dipanen saat buahnya mencapai tingkat kematangan 80-85% yaitu saat warna kulit buah masih berwarna hijau tua pada bagian atas ujung dan berwarna merah pada pangkal buah (Gambar 1a). Saat matang, daging buah mangga gedong akan berwarna kuning jingga, sedangkan
8 daging mangga gedong gincu akan berwarna merah oranye atau kuning kemerahan. Mangga gedong gincu memiliki bentuk pohon tegak dengan ketinggian 9 – 15 m, bercabang banyak, berdaun lebat, letak daun mendatar, permukaan daun sempit berbentuk lancip pada dasarnya dan datar pada pucuknya, bentuk malai bunga lancip berwarna merah (Broto, 2003). Jarak tanam yang dianjurkan untuk mangga gedong gincu adalah 8 -10 m. Untuk mendapatkan pohon mangga gedong gincu yang subur, tidak terlalu tinggi, dan berdaun lebat, maka batang dan cabang pohon harus dipangkas saat tanaman berusia 8 bulan. Pohon yang tidak tinggi akan mempermudah saat perawatan dan pemanenan. Tanaman mangga gedong gincu dapat tumbuh dan berproduksi baik di daerah dataran rendah dengan ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut (dpl), memiliki curah hujan 750-2.250 mm per tahun, suhu harian 24-28 oC, kelembaban 50-60%, jenis tanah gembur yang mengandung pasir dan kedalaman air 50-150 cm. Masa kering diperlukan sebelum dan sewaktu berbunga. Jika ditanam di daerah basah, tanaman mengalami banyak serangan hama dan penyakit serta gugur bunga/buah jika bunga muncul saat hujan. Suhu harian yang ideal untuk pembuahan antara 24 - 40 oC (Rukmana, 2007). Berdasarkan syarat tumbuh tersebut, maka selain cocok tumbuh di wilayah barat (Cirebon, Indramayu, Majalengka), mangga gedong gincu juga cocok tumbuh di wilayah timur (Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku). Namun, dalam praktiknya, untuk wilayah kering perlu memperhatikan pengairannya. Karenanya, mangga gedong gincu banyak dibudidayakan di wilayah Barat (Cirebon, Indramayu, dan Majalengka). Broto (2003) dan Satuhu (2000) mendeskripsikan bentuk mangga gedong gincu yaitu hampir bulat dengan ukuran 10 cm x 8 cm x 6 cm, lekuk pangkal buah sedikit, kulit buah tebal dan halus berlilin, kulit buah saat masak berwarna merah jingga pada bagian pangkal dan merah kekuningan pada bagian pucuk. Daging buah tebal, kenyal, berserat halus, berwarna merah oranye, banyak mengandung air dan beraroma khas harum menyengat. Berat mangga gedong gincu rata-rata 100 - 400 g. Ukuran berat mangga gedong gincu diklasifikasikan menjadi empat yaitu besar, sedang, kecil dan sangat kecil. Mangga gedong gincu dikatakan besar
9 jika beratnya > 250 g, sedang jika beratnya 200 – 250 g, kecil jika beratnya 150 199 g dan sangat kecil jika beratnya 100 – 149 g (Satuhu, 2000). Secara umum, Codex Stand 184-1993 dan SNI 3164-2009 telah mengatur ketentuan kriteria mutu minimum untuk semua kelas mutu dan pembagian kelas mutu mangga yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Kelas Mutu Mangga Berdasarkan SNI 3164-2009
Kelas mutu
Kriteria
Semua kelas (Super, A, dan B)
mutu Syarat minimum : utuh, padat, penampilan segar, layak konsumsi, bersih/bebas dari benda asing yang tampak, bebas dari memar, bebas dari hama dan penyakit, bebas dari kerusakan akibat temperatur rendah dan atau tinggi, bebas dari kelembapan eksternal yang abnormal kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin, bebas dari aroma dan rasa asing, memiliki kematangan yang cukup, serta panjang tangkai buah tidak boleh lebih dari 1 cm.
Kelas Mutu Super
Mangga berkualitas super yaitu bebas dari segala jenis cacat.
Kelas Mutu A
Mangga berkualitas baik. Cacat yang diperkenankan : sedikit penyimpangan bentuk, cacat sedikit pada kulit akibat tergores atau terbakar matahari, noda akibat getah dan bekas lecet maks 2cm2 (mangga < 250 g) dan 3 cm2 (mangga 250-350 g), serta cacat tidak boleh mempengaruhi daging buah.
Kelas Mutu B
Mangga berkualitas baik. Cacat yang diperkenankan : sedikit penyimpangan bentuk, cacat sedikit pada kulit akibat tergores atau terbakar matahari, noda akibat getah dan bekas lecet maks 4 cm2 (mangga < 250 g) dan 5 cm2 (mangga 250-350 g), serta cacat tidak boleh mempengaruhi daging buah.
Sumber: http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/9481. Diunduh 2 Februari 2012
10 Tabel 2. Kelas Mutu Mangga Berdasarkan Codex Stand 184-1993
Kelas mutu Semua kelas (Ekstra, I, dan II)
Kriteria mutu Syarat minimum : utuh, padat, penampilan segar, layak konsumsi, bersih/bebas dari benda asing yang tampak, bebas dari memar, bebas dari hama dan penyakit, bebas dari kerusakan akibat temperatur rendah dan atau tinggi, bebas dari kelembapan eksternal yang abnormal kecuali pengembunan sesaat setelah pemindahan dari tempat penyimpanan dingin, bebas dari aroma dan rasa asing, memiliki kematangan yang cukup, serta panjang tangkai buah tidak boleh lebih dari 1 cm.
Kelas Mutu Ekstra
Mangga berkualitas unggul yaitu bebas dari segala jenis cacat. Diperkenankan cacat sangat kecil, asalkan ini tidak mempengaruhi penampilan produk secara keseluruhan.
Kelas Mutu I
Mangga berkualitas baik. Cacat yang diperkenankan : cacat sedikit pada kulit akibat tergores atau terbakar matahari, noda akibat getah dan bekas lecet maks 3cm2 (mangga 200-350 g) dan 4 cm2 (mangga 300-550 g), serta cacat tidak boleh mempengaruhi daging buah.
Kelas Mutu II
Mangga yang tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam kelas lebih tinggi, tetapi masih memenuhi persyaratan minimum untuk semua mangga. Cacat yang diperkenankan : cacat bentuk, cacat sedikit pada kulit akibat tergores atau terbakar matahari, noda akibat getah dan bekas lecet maks 5 cm2 (mangga < 250 g) dan 6 cm2 (mangga 250-350 g), serta cacat tidak boleh mempengaruhi daging buah.
Sumber : http://www.codexalimentarius.org/standards/list-of-standards/en/CSX 184e.pdf. Diunduh 2 Februari 2012.
11 Satuhu (2000), menjelaskan secara umum mutu mangga dibagi menjadi dua kelas yaitu mutu I dan mutu II seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Syarat Umum Mutu Mangga Karakteristik
Mutu I
Mutu II
Keseragaman varietas
Seragam
Seragam
Tingkat ketuaan
Tua tidak matang
Tua agak matang
Kekerasan
Keras
Cukup keras
Keseragaman ukuran
Seragam
Kurang seragam
Jumlah buah cacat (%)
0
0
Kadar kotoran
Bebas
Bebas
Jumlah buah busuk (%)
0
0
1
1
Panjang tangkai buah maks(cm) Sumber : Satuhu (2000)
Selain yang telah ditetapkan, adakalanya syarat mutu masih ditambah lagi berdasarkan permintaan pasar (pihak eksportir atau pasar swalayan). Mangga untuk ekspor mempunyai syarat mutu lebih banyak daripada untuk pasar domestik. Satuhu (2000) menerangkan beberapa syarat umum mutu mangga untuk ekspor yaitu : permukaan kulit mulus (tidak berbintik, tidak berlubang, tidak ada warna hitam pada pangkal buah, tidak ada noda “scab”, bebas dari luka (luka mekanis atau mikrobiologis), bebas dari penyakit pascapanen dan bentuk normal (Gambar 1). Kriteria buah untuk ekspor masih dikatakan mulus adalah noda hitam pada permukaan kulit adalah noda getah yang kering (maksimum 5 % dari total permukaan kulit buah atau 2 cm2) dan luas noda “scab” pada permukaan kulit adalah maksimal 5 %. Kader (1992) juga menerangkan beberapa syarat mutu tambahan untuk ekspor yaitu matang fisiologis, kolorasi kuning 30 - 50%, tingkat kematangan merata dan berat serta ukuran seragam berdasarkan varietasnya. Satuhu (2000) juga menjelaskan syarat mutu mangga untuk pasar domestik (pasar swalayan) yaitu : permukaan kulit buah tidak mesti 100 % mulus, tidak luka (luka mekanis atau mikrobiologis), tidak ada bintik hitam dan lubang pada kulit, bebas penyakit pascapanen, serta bentuk normal. Khusus mangga gedong gincu, tambahan syarat mutu ekspor adalah sudah muncul warna kemerahan pada buah, ukuran di atas 200 g, dan kulit buah bersih dari bekas gigitan lalat buah atau serangga lain.
12
a.Mangga gedong gincu memenuhi kualitas ekspor karena bentuknya normal, mulus dan tidak ada noda.
b. Mangga gedong gincu yang tidak memenuhi kualitas ekspor karena bentuknya yang tidak normal (Satuhu, 2000).
Gambar 1. Mangga gedong gincu untuk ekspor 2.2. Pascapanen Mangga Gedong Gincu Sesaat setelah dipanen, buah mangga gedong gincu masih melakukan kegiatan
metaboliknya
(respirasi
dan
transpirasi)
yang
berpengaruh
terhadap mutu buah. Karena itu, diperlukan penanganan pascapanen untuk mempertahankan mutu buah mangga gedong gincu yang dilakukan mulai dari tingkat petani, pengumpul, pedagang, sampai sesaat sebelum ke tangan konsumen akhir. Menurut Setyadjid dan Syaifullah (1992), kerusakan pascapanen buah mangga dapat mencapai 30% yang disebabkan oleh perlakuan pascapanen yang tidak tepat dan adanya serangan hama penyakit. Kerusakan dan penurunan mutu adalah masalah pascapanen utama pada rantai ekspor buah segar. Dalam konsep Standard Operational Procedure (SOP) penanganan pascapanen mangga gedong untuk tujuan ekspor yang disusun oleh Dewandari et al (2009), dijelaskan bahwa diagram alir proses penanganan pascapanen mangga gedong untuk ekspor seperti pada Gambar 2.
13
Panen
Sortasi dan pencucian
Tidal layak jual Mutu II dan III/ Grade B dan C
Grading
Mutu I /Grade A
Pelilinan
Adaptasi
Labelling dan pengemasan
Penyimpanan
Pengangkutan
Gambar 2. Diagram alir penanganan pascapanen mangga gedong untuk ekspor (Dewandari et al, 2009) Hampir serupa dengan konsep SOP mangga gedong untuk ekspor yang disusun oleh Dewandari et al (2009), dalam SOP mangga gedong gincu Kabupaten Cirebon yang dikeluarkan oleh Deptan tahun 2005, dijelaskan bahwa pascapanen mangga gedong gincu meliputi : pemanenan, gudang,
sortasi,
pengkelasan
mutu
(grading),
penyimpanan, dan pendistribusian (Gambar 3).
pengumpulan di
pelabelan,
pengemasan,
14
Panen
Pengumpulan di gudang
Sortasi
Grading
Tidal layak jual
Mutu III/Grade C
Mutu I dan II /Grade A dan B
Pelabelan
Pengemasan
Penyimpanan
Pendistribusian
Gambar 3. Diagram alir penanganan pascapanen mangga gedong gincu (diolah dari Deptan, 2005) Secara tradisional, mangga dipanen berdasarkan penilaian oleh petani dengan mengamati penampilan buah. Selain dapat dilihat dari parameter fisik, fisiologis, dan kimia, tingkat kematangan juga dapat dilihat dari umur buah yaitu dihitung dari mulai berbunga, mekar penuh dan menjadi buah. Umumnya, mangga dipanen saat umur 12-16 minggu setelah bunga mekar (Yahia, 1998). Untuk mangga gedong gincu, Satuhu (2000) menjelaskan bahwa umur panennya adalah 90 - 125 hari setelah bunga mekar (hsbm). Mangga dipanen dengan bantuan alat
15 panen, misalnya tiang yang dilengkapi gunting atau pisau dan keranjang. Waktu panen adalah pagi hari saat suhu tidak tinggi karena dapat mengurangi panas lapang pada buah sehingga dapat mengurangi aktifitas metabolik buah setelah panen. Buah dipetik dengan menyisakan tangkai sekitar 1-2 cm untuk mencegah semburan getah dari tangkai buah mengenai kulit buah yang akan mempengaruhi warna kulit dan menimbulkan peluang terjadinya pembusukan. Kerugian akibat getah pada buah mangga dapat dikurangi dengan menggunakan beberapa metode yaitu : menyisakan tangkai sekitar 1-2 cm, meletakkan buah pada rak panen/hamparan dengan posisi tangkai menghadap ke bawah untuk menghentikan aliran getah, pencelupan dan penyemprotan dengan deterjen, membersihkan getah dari kulit mengunakan larutan 0,5-5% CaCO3, dan mencuci buah di aluminium sulfat 1%. Dari semua metode tersebut, metode yang direkomendasikan Holmes & Ledger (1992) adalah meletakkan buah segera setelah panen ke dalam rak panen dengan posisi tagkai menghadap ke bawah, karena merupakan metode paling efektif mengurangi kerusakan akibat getah yaitu sekitar 16%. Sortasi dilakukan untuk memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh pasar. Setelah sortasi, mangga dicuci dengan air untuk membersihkan kotoran dan sisa getah yang menempel pada permukaan kulit buah. Kemudian, dilakukan proses grading untuk memisahkan buah berdasarkan standar mutu yang ditetapkan (warna, bentuk, berat, keberadaan bahan asing/kotoran). Pelilinan dilakukan untuk menekan respirasi dan transpirasi pada buah sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. Buah kemudian dikemas untuk melindungi buah dari luka, memudahkan penyimpanan, pengelolaan dan pengangkutan, mencegah kehilangan air, serta memberikan nilai estetika pada konsumen. Kemasan transportasi untuk mangga, umumnya terbuat dari keranjang bambu, keranjang plastik, peti kayu atau kotak karton. Kemasan untuk konsumen biasanya dilakukan di tingkat pedagang eceran yaitu berupa jala busa dan kertas tipis. Secara umum, tahapan proses penanganan mangga gedong gincu meliputi : pemanenan, sortasi dan grading, pengemasan, serta pengangkutan. Penelitian Dewandari et al (2009) menjelaskan bahwa untuk tujuan pengiriman jarak jauh
16 terutama ekspor, tahapan proses dalam penanganan mangga gedong gincu meliputi : 1. Pemanenan Buah mangga dipanen dengan tingkat ketuaan 80-85% yaitu berumur 100 - 120 (hari setelah bunga mekar (hsbm) yaitu saat warna buah hijau dengan pangkal berwarna kemerahan. Waktu petik yang disarankan adalah pada pukul 07.00 - 08.00 WIB. Perlakuan saat panen juga perlu diperhatikan antara lain : buah tidak dilempar, buah yng telah dipetik tidak langsung terkena sinar matahari, dan buah dipanen dengan menyisakan tangkai 1- 2 cm. 2. Sortasi dan grading Sortasi dan grading mangga gedong gincu dilakukan manual dengan cara memisahkan dan mengelompokan buah berdasarkan ukuran, tidak cacat, utuh, tidak duduk (bentuk buah datar di ujung), tidak bernoda hitam, tidak berlubang dan tidak tergores. 3. Pelilinan Pelilinan (waxing) merupakan salah satu alternatif untuk : (a) memperpanjang masa simpan buah. karena dapat menekan laju respirasi buah sehingga dapat menunda proses pematangan, (b) memperbaiki penampilan buah, dan (c) mencegah kerusakan buah akibat serangan antracnose. Pelilinan buah dilakukan dengan cara pencelupan atau penyemprotan menggunakan emulsi lilin selama 10 - 30 detik. Kemudian dilakukan penirisan dan dianginanginkan. Dari hasil penelitian Dewandari et al (2009), pelilinan 6% yang diikuti dengan penggunaan benomyl 1000 ppm dan 0,125% glossy agent, dapat mempertahankan kesegaran buah hingga mencapai minggu ke-4 dibandingkan dengan buah tanpa pelilinan Meskipun pelilinan merupakan salah satu perlakuan yang direkomendasikan, pelilinan jarang dilakukan di tingkat kelompok tani. 4. Pengemasan Pengemasan dilakukan untuk melindungi mangga dari kerusakan yang terjadi selama distribusi. Untuk pemasaran ekspor, mangga diberi pelapis net foam. untuk mencegah kerusakan fisik akibat benturan selama dalam transportasi.
17 Kemudian mangga dimasukkan dalam kemasan karton ukuran 40x30x10 cm dan berkapasitas 2 kg per karton. 5. Adaptasi suhu Adaptasi suhu dilakukan pada cold room (suhu 15 °C selama 24 jam) untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat penyimpanan dingin (chilling injury). Setelah itu buah dipindahkan ke ruang berpendingin dengan suhu 10 °C untuk penyimpanan 6. Penyimpanan Penyimpanan buah mangga dilakukan dalam suhu dingin untuk membatasi pembusukan tanpa menyebabkan terjadinya kematangan abnormal atau perubahan-perubahan lainnya yang tidak diinginkan dan mempertahankan mutu sampai ke tangan konsumen dalam jangka waktu lebih lama. Penyimpanan buah mangga juga dapat dilakukan dengan mengkombinasikan penyimpanan Control/Modified Atmosphere (CA/MA) dan suhu dingin. 7. Pengangkutan Sivakumar et al (2010) merangkum informasi yang tersedia dan hasil berbagai penelitian untuk mempertahankan kualitas buah mangga secara keseluruhan dan untuk mengurangi kerugian pascapanen di sepanjang rantai pasok dengan mengadopsi teknologi pascapanen yang cocok, diantaranya adalah : 1. Pengendalian penyakit pascapanen melalui : penggunaan fungisida, Hot Water Treatment (HWT), penggunaan mikroba, pengaturan lingkungan ruang penyimpanan (CA/MA), pengembangan perangkat deteksi dini terhadap adanya penyakit pascapanen. 2. Pengendalian serangan lalat buah melalui : HWT dan Vapour Heat Treatment (VHT). 3. Pengaturan suhu pematangan. 4. Perlakuan
untuk
memperpanjang
umur
simpan,
mencegah
rusaknya
penampilan, mencegah terjadinya chilling injury, dan mempertahankan aroma buah. 5. Penerapan manajemen mutu di sepanjang rantai pasok mangga. Diantara teknologi
pascapanen tersebut, Sivakumar
et
al
(2010)
menjelaskan bahwa praktik teknologi pascapanen di masa mendatang akan lebih
18 berfokus pada pengendalian penyakit dan mempertahankan mutu yang melibatkan penggunaan fungisida, perlakuan panas (HWT atau VHT), dan manajemen suhu dalam penyimpanan dingin. Manajemen suhu selama penyimpanan dan pengiriman merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi mutu buah segar. 2.2.1. Penyimpanan dingin Penyimpanan adalah salah satu cara memperpanjang umur simpan, terutama untuk komoditas musiman sehingga dapat mempertahankan nilai komoditas yang disimpan. Umur pemasaran mangga dapat diperpanjang dengan metode penyimpanan yang tepat. Kondisi lingkungan optimal untuk penyimpanan mangga adalah kondisi yang memungkinkan buah tersebut disimpan selama mungkin tanpa banyak kehilangan citarasa, tekstur, dan kadar air. Jangka waktu penyimpanan juga tergantung dengan aktifitas respirasi, ketahanan terhadap kehilangan air, dan tanggapan terhadap mikroorganisme perusak. Kondisi lingkungan penyimpanan yang diinginkan dapat diperoleh dengan cara pengendalian suhu, kelembaban, sirkulasi udara atau komposisi atmosfirnya (Broto, 2003). Pengontrolan suhu untuk mengendalikan laju respirasi produk hasil pertanian sangat penting artinya dalam usaha memperpanjang umur simpan produk tersebut. Metode yang umum digunakan adalah penyimpanan dengan pendinginan karena sederhana dan efektif. Penyimpanan di bawah suhu 15 °C dan di atas titik beku bahan, dikenal dengan penyimpanan dingin. Menurut Broto (2003),
prinsip penyimpanan dengan pendinginan adalah mendinginkan lingkungan secara mekanis dengan penguapan gas cair bertekanan (refrigerant) dalam sistem tertutup. Panas yang diperlukan untuk. mengubah refrigerant menjadi uap diambil dari ruangan tempat penyimpanan hasil hortikultura. Secara umum, tujuan penyimpanan dingin adalah untuk membatasi kerusakan tanpa menyebabkan terjadinya kematangan abnormal atau perubahan lain yang tidak diinginkan dan mempertahankan mutu sampai ke tangan konsumen (Broto, 2003). Penurunan suhu dalam penyimpanan dingin akan mengurangi kelayuan, menurunkan laju respirasi, menghambat perubahan tekstur dan kehilangan vitamin C, mengurangi
19 laju pertumbuhan mikrobiologis, serta mencegah perkecambahan spora dari beberapa jamur pada bahan yang disimpan. Beberapa perubahan fisikokimia selama penyimpanan buah adalah : 1. Susut bobot dan kadar air Susut bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran buah. Semakin tinggi susut bobot, maka buah tersebut semakin berkurang tingkat kesegarannya. Peningkatan susut bobot lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi karena respirasi lebih cepat terjadi. Kader (1992) menjelaskan bahwa terjadinya susut bobot disebabkan hilangnya air dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Kehilangan bobot pada buah dan sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi. Kehilangan air bukan hanya menyebabkan susut bobot, tetapi juga menyebabkan penampilan buah menjadi kurang menarik, tekstur buruk, dan menurunkan mutu. 2. Kekerasan Kekerasan buah semakin menurun dengan semakin lama penyimpanan dan penurunan terjadi lebih cepat pada suhu tinggi. Penurunan kekerasan selama penyimpanan terjadi karena perombakan komponen penyusun dinding sel sehingga buah semakin melunak. Winarno (2002) menerangkan bahwa saat buah mulai masak dan menjadi masak, ketegaran buah berkurang karena pektin yang tidak larut (protopektin) telah dirombak menjadi pektin yang larut. 3. Total Padatan Terlarut Kandungan total padatan terlarut pada mangga adalah gula dan vitamin larut air seperti vitamin B dan C. Pengukuran total padatan terlarut dinyatakan dalam derajat brix sukrosa. Sukrosa memberikan rasa manis pada mangga sehingga semakin tinggi nilai total padatan terlarut, buah semakin manis. Pantastico (1993), menjelaskan bahwa besarnya laju degradasi pati menjadi gula yang lebih sederhana dipengaruhi oleh suhu dan enzim sehingga semakin tinggi suhu, maka degradasi pati akan semakin cepat sampai batas tertentu dimana aktifitas enzim hidrolase akan terhambat.
20 4. Total asam Total asam mangga gedong gincu semakin menurun dengan semakin lama penyimpanan dan penurunan terjadi lebih cepat pada suhu tinggi. Kays (1991) menjelaskan bahwa kandungan asam pada buah akan mengalami penurunan setelah dipanen. Hal serupa dijelaskan juga oleh Pantastico et al (1997) bahwa kandungan asam pada buah akan mencapai nilai maksimum selama pertumbuhan dan perkembangan dan akan menurun selama penyimpanan. Penurunan kandungan asam pada buah terjadi karena digunakan sebagai substrat pada respirasi. Penjelasan tersebut didukung juga oleh Eskin (1980) bahwa penurunan konsentrasi asam organik dalam buah disebabkan oleh penggunaan asam organik dalam siklus krebs respirasi. 5. Warna Pantastico (1993), menjelaskan bahwa suhu sangat mempengaruhi terjadinya degradasi klorofil dan pembentukan pigmen pada buah dan sayuran sehingga mempengaruhi perubahan warna buah selama penyimpanan. Kondisi lingkungan optimal untuk penyimpanan mangga adalah kondisi yang memungkinkan buah tersebut disimpan tanpa banyak kehilangan citarasa, tekstur, dan kadar air. Lama penyimpanan pada suhu rendah untuk mangga tergantung varietasnya. Umur simpan mangga pada umumnya terbatas untuk 14 - 21 hari pada suhu 10 -15 °C (Yahia, 1998), 14 - 21 pada suhu 13 °C (USDA, 1968), dan 22 hari pada suhu 15 – 20 °C (Satuhu 2000). Umumnya, penyimpanan pada suhu 12 °C dengan RH 85 – 90% merupakan kondisi optimum untuk mangga (Kader, 1992). Menurut Pantastico et al (1997), suhu yang aman untuk penyimpanan dingin buah mangga adalah 10 - 13°C. Bila disimpan di bawah batas aman tersebut, maka buah akan mengalami chilling injury yang ditandai dengan rasa buah menjadi tidak manis, warna kulit menjadi kusam, pematangan tidak merata, dan terdapat
bercak-bercak. Menurut Sivakumar et al (2010),
umumnya mangga disimpan dan dikirim pada suhu 8 – 13 0C dan RH 85 – 90% (tergantung varietas, lamanya penyimpanan dan pengiriman). Saat berada di rak jual, mangga sebaiknya disimpan pada suhu 8 – 14 0C. Pada suhu ruang (26-28 oC), mangga gedong gincu untuk ekspor yaitu buah mangga yang dipetik dengan tingkat kematangan 80-85 % (100 - 120 hsbm),
21 dapat disimpan selama 6 hari. Broto (2003) menerangkan bahwa mangga gedong dapat disimpan selama 28 hari pada suhu 10 0C setelah sebelumnya dilakukan adaptasi penyimpanan pada suhu 15 0C selama sehari. Saat dikeluarkan dari ruang penyimpanan dingin, buah tersebut masih bisa matang normal serta bermutu baik dalam waktu 2 - 3 hari pada suhu ruang. Adaptasi penyimpanan mangga gedong gincu pada suhu 15 0C juga dilakukan Rizkia (2004).
Selama penyimpanan
mangga gedong gincu pada suhu 13 oC, Rizkia (2004) mengamati parameter mutu yang merupakan parameter mutu kritis yaitu : laju respirasi, susut bobot, kekerasan, warna, total padatan terlarut, total kandungan asam, dan uji organoleptik terhadap : penampakan, tekstur, rasa, aroma, warna, dan tingkat penerimaan panelis. Penentuan batas penyimpanan didasarkan pada penampakan buah secara visual yang mengalami kemunduran mutu dan perubahan warna kulit yang mengarah pada kerusakan buah Hasil penelitian tersebut, mangga gedong gincu yang disimpan pada suhu 13 oC dan RH 85 – 90%, diterima baik oleh panelis sampai 21 hari penyimpanan. Saat dikeluarkan dari ruang penyimpanan, buah masih baik 4 - 5 hari pada suhu ruang. Perubahan laju respirasi, susut bobot, kekerasan, warna, total padatan terlarut, total kandungan asam, dan uji organoleptik terhadap : penampakan, tekstur, rasa, aroma, warna, dan tingkat penerimaan panelis pada mangga gedong gincu yang disimpan pada suhu 13 oC dan RH 85 – 90% dapat dilihat pada Tabel 4. Perubahan warna mangga gedong gincu selama penyimpanan pada suhu 13 oC dapat dilihat pada Gambar 4. 21 hr 14 hr 0 hr
Gambar 4. Perubahan warna mangga gedong gincu selama penyimpanan pada suhu 13 0C (Rizkia, 2004).
22 Tabel 4. Perubahan Parameter Mutu Selama Penyimpanan Mangga Gedong Gincu Pada Suhu 13 0C Parameter Mutu
Pengamatan hari ke14 21 0,59 0,99 9,73 4,08 1,01 0,76 14,50 15,73 7,5 Gy – 5 GY 5 GY -2,5 GY 4,17 3.56
0 Susut bobot (%) 0,00 Kekerasan (Newton) 28,40 Total asam 1,16 0 Total padatan terlarut ( brix) 12,10 Warna* 7,5 GY Laju respirasi (ml CO2/kg-jam) 7,53** Organoleptik*** 1. Warna 4 (1/2 orange) 5 (orange) 2. Tekstur 5( keras) 4 (agak keras) 3. Rasa 3 (agak asam) 4 (agak manis) 4. Aroma 3 (agak harum) 5(harum) 5. Tingkat kesukaan 3 (agak suka) 5 (suka) Sumber : Rizkia (2004) *) Pengukuran warna dilakukan menggunakan Chromameter (Minolta CR- 200) dengan metode Hunter dan Munsell Color GY = Green Yellow (hijau kekuningan), semakin kecil nilainya, semakin berkurang warna hijaunya atau bertambah kuningnya. **) laju respirasi setelah 12 jam dalam ruang penyimpanan (laju respirasi tertinggi selama 24 jam penyimpanan) ***) Uji organoleptik terhadap 10 panelis berdasarkan skala mutu hedonik 1 – 6 2.3. Paramater Mutu Buah Mangga Mutu hasil hortikultura segar didefinisikan Kader (1992) sebagai kombinasi dari karakteristik dan sifat-sifat yang memberikan nilai komoditas sebagai bahan makanan dan bahan kesenangan. Secara umum mutu akhir buah yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor prapanen (mutu benih/bibit, lingkungan tempat tumbuh, agroklimat dan teknik budidaya tanaman) serta faktor pascapanen (umur petik, pemanenan,dan penanganan hasil panen). Tingkat mutu yang dihasilkan saat prapanen tidak dapat diperbaiki pada saat pascapanen, dan tingkat mutu yang dihasilkan saat prapanen dapat dipertahankan dengan penanganan pascapanen. Pada sepanjang rantai pasok mangga, keberagaman mutu yang dapat ditemukan meliputi ukuran, rasa, warna, aroma, berat, dan bentuk. Menurut Kader (2002), konsumen mangga menilai perfoma mutu mangga tergantung pada parameter mutu eksternal atau penampilan visual (bebas memar, bebas getah, bebas cedera, berat, warna, dan bentuk) dan pada parameter mutu
23 internal (warna daging, kerusakan, tingkat keasaman, dan derajat kemanisan). Komponen mutu eksternal merupakan penilaian pertama yang dapat memberi gambaran tingkat mutu suatu komoditas karena dapat terlihat langsung. Dalam pemasaran, mutu visual merupakan faktor yang sangat penting, karena konsumen akan lebih dulu menilai hal yang terlihat langsung. Komponen yang berhubungan dengan mutu eksternal terdiri dari bentuk, ukuran, warna, kesegaran, kebersihan, kerusakan fisik, dan kerusakan mikrobiologis. Kerusakan atau cacat suatu komoditas dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab dan sangat berpengaruh terhadap mutu visual hasil hortikultura. Cacat fisik seperti keriput, layu, terpotong, tergores, dan memar. Cacat fisiologis meliputi kerusakan akibat penyimpanan di bawah batas suhu penyimpanan optimal, kerusakan akibat terik matahari, memar, dan sebagainya. Cacat patologis adalah pembusukan akibat jamur atau bakteri dan cacat atau kelainan/penyimpangan akibat virus. Mutu internal merupakan kondisi di dalam komoditas, terutama menyangkut jumlah yang dapat dikonsumsi (tebal kulit, rendemen jus, dan jumlah kerusakan), tekstur, citarasa, dan nilai gizi. Tingkat kekerasan merupakan faktor penting yang berkaitan dengan tingkat kesegaran (freshness) buah saat dinikmati dan juga berkaitan
dengan
kemampuan
dalam
menahan
tekanan
selama
proses
pengangkutan dan distribusi. Buah yang lunak bila dikirim jarak jauh akan mengalami kehilangan dan kerusakan cukup tinggi akibat kerusakan fisik. Citarasa merupakan penilaian terhadap rasa dan aroma beberapa komponen dalam suatu komoditas hortikultura. Umumnya, konsumen menilai komponen nilai gizi sebagai bahan pertimbangan di tahap keputusan akhir. Pada rantai pasok mangga segar, pasar lebih menekankan penampilan visual dan umur simpannya. Kriteria mutu kritis yang menentukan pada penampilan visual adalah warna dan kekerasan atau ketegaran (firmness). Perubahan warna pada buah mangga berkaitan dengan tingkat kematangan. Umumnya, konsumen mengasumsikan warna merah atau kuning kemerah-merahan merupakan warna mangga yang sudah matang. Warna eksotis mangga gedong gincu untuk tujuan ekspor adalah adanya warna merah pada pangkal buah yang terjadi jika buah matang pohon yaitu saat buah berumur 100-120 hsbm dengan tingkat kematangan 80-85%. Ketegaran buah berkaitan dengan tingkat kesegaran (freshness) buah
24 tersebut sehingga freshness merupakan kriteria mutu penting dalam tingkat penerimaan konsumen buah atau sayuran segar. Freshness dijelaskan oleh Kays (1991) sebagai suatu kriteria mutu yang berkaitan dengan tingkat kebersihan (cleanlines) dan tingkat kematangan (maturity) yang merupakan faktor yang memunculkan kondisi pertimbangan mutu termasuk kondisi mutu visual secara umum dari suatu produk. Pada buah segar, freshness menurun dengan semakin meningkatnya maturity dan semakin menurunnya firmness. Penurunan freshness, menyebabkan semakin menurun pula umur simpan (self-life) buah dan tingkat penerimaan (acceptance) konsumen terhadap mutu buah. Hal ini berarti, bahwa untuk mempertahankan mutu buah segar, perlu memperhatikan aspek freshness buah tersebut. Secara kuantitatif, parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran (freshness) buah adalah : susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, total asam, dan perubahan warna. Perubahan susut bobot berbanding lurus dengan semakin tingginya suhu penyimpanan dan lama penyimpanan, sedangkan perubahan tingkat kekerasan dan total asam berbanding terbalik dengan semakin tingginya suhu penyimpanan dan lamanya penyimpanan. Keberhasilan memperpanjang umur simpan buah-buahan segar ditunjukkan dengan menurunnya laju pemasakan atau tertundanya awal pemasakan dan mencegah
kerusakan
fisik
dan
mikrobiologis
sehinga
freshness
dapat
dipertahankan pada tingkat yang dapat diterima oleh konsumen. Hal ini dapat dicapai dengan merubah lingkungan produk segera setelah pemanenan yaitu dengan cara penurunan suhu, penggunaan bahan kimia, memodifikasi atmosfir sekitar produk, atau kombinasi perlakuan tersebut (Irving, 1984). 2.4. Pendekatan Sistem Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi dalam satu kesatuan untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan metode pemecahan masalah dengan menggunakan abstraksi keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah. Pendekatan sistem dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan kegiatan yang bersifat multi disiplin dan terorganisir, penggunaan
25 model matematika, mampu berpikir kuantitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi, serta diaplikasikan dengan bantuan komputer. Adakalanya lingkungan nyata terlalu rumit sehingga sekedar untuk memahaminya ataupun untuk mengkomunikasikan dengan orang lain diperlukan sebuah model yang representatif. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa untuk kondisi tertentu perlu membangun sebuah model yang mewakili sistem nyata serta mempelajarinya sebagai pengganti sistem nyata. Teori dasar yang dapat digunakan dalam pendekatan sistem adalah :
model matematik, analisa fungsi model matematik, teori kontrol, teori estimasi, dan teori keputusan. 2.4.1. Pemodelan Sistem Elemen aktifitas pembuatan model disebut Eriyatno (1999) sebagai pemodelan. Menurut Marquez (2010), pemodelan adalah proses menghasilkan model sebagai representasi abstrak dari beberapa entitas dunia nyata, proses atau sistem. Jadi pemodelan sistem dapat diartikan sebagai proses menghasilkan model sebagai gambaran atau representasi dari suatu sistem. Klasifikasi pemodelan sistem dapat dilihat pada Gambar 5.
Sistem
Ekperimen dengan sistem nyata
Eksperimen dengan model sistem
Model fisik
Model matematika
Penyelesaian analitis
Simulasi
Gambar 5. Klasifikasi Pemodelan Sistem (Law and Kelton, 1991 dalam Manona dan Soetopo, 2008) Eriyatno (1999) menjelaskan tahap pemodelan sistem yaitu : seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer (verifikasi), validasi, dan aplikasi model. Tahap seleksi konsep dilakukan untuk menentukan alternatif mana yang
26 bermanfaat dan bernilai cukup untuk pemodelan berkaitan dengan kinerja sistem yang akan dihasilkan. Rekayasa model dilakukan untuk menentukan jenis model yang akan digunakan sesuai dengan tujuan dan karakteristik sistem. Pada tahap rekayasa model dilakukan asumsi model, konsistensi internal pada struktur model, data input dan pendugaan parameter, hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual, dan membandingkan model dengan kondisi aktual. Pada tahap implementasi komputer, model diwujudkan dalam bentuk berbagai persamaan. Pada tahap ini, dilakukan pembuktian (verifikasi) bahwa model komputer mampu melakukan simulasi dari model yang dikaji. Validasi dilakukan untuk menyimpulkan apakah model sistem merupakan perwakilan yang sah dari keadaan nyata yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi dapat dimulai dengan uji sederhana meliputi pengamatan tanda aljabar, tingkat kepangkatan dari besaran, format respon (linier, eksponensial, logaritma, dan sebagainya), arah perubahan peubah jika parameter diganti-ganti, serta nilai peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem. Prinsip pemodelan sistem tidak terlalu menitik beratkan kepada bentuk model apa untuk merancang sebuah sistem. Bentuk model bebas, bisa menggunakan bentuk apa saja sesuai dengan keinginan kita. Bentuknya bisa berupa narasi, prototipe atau gambar, yang terpenting adalah harus mampu merepresentasikan visualisasi bentuk sistem yang diinginkan oleh pengguna (user), karena sistem akhir yang dibuat bagi pengguna akan diturunkan dari hasil model tersebut. 2.4.2. Model Matematik Dalam Pemodelan Sistem Pemodelan sistem identik dengan mathematical modeling. Dimulai dengan intepretasi dari kondisi yang ada, menyederhanakannya dalam sebuah model, merepresentasikannya ke dalam model matematis, lalu menerjemahkannya ke dalam model komputerisasi sehingga dapat disimulasikan untuk mengeluarkan output atau kesimpulan. Jadi, model adalah representasi dari sebuah permasalahan agar mudah untuk diselesaikan. Menurut Stewart (1999), model bertujuan untuk memahami suatu fenomena dan mungkin membuat prakiraan tentang perilaku di masa depan.
27 Marquez (2010), mendefinisikan model sebagai representasi dari sesuatu, yaitu deskripsi sederhana dari sebuah elemen atau proses yang komplek. Model dapat berupa model fisik (maket atau prototipe), model citra (gambar, komputerisasi,grafis), model simbolik atau simbol abstrak (formulasi matematik) yang dikenal dengan model matematik. Jika formulasi model adalah sederhana maka solusinya cukup diperoleh secara analitis (model analitik), tetapi jika sangat komplek, solusinya harus menggunakan teknik komputasi numeris (disebut dengan model simulasi). Dari sistem yang sama dapat dibangun model yang sederhana sampai model yang komplek tergantung pada persepsi, kemampuan, dan sudut pandang peneliti sistem tersebut. Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa perumusan matematika dapat mempernudah pengkajian sistem yang umumnya merupakan suatu kompleksitas. Model matematika menyatakan hubungan antara beragam komponen dari sistem yang diamati dalam bentuk kuantitatif. Aspek yang dapat dikendalikan disebut variabel keputusan yang merupakan alternatif tindakan yang telah melalui pengkajian. Aspek yang tidak dapat dikendalikan diarahkan menjadi parameter, koefisien atau konstanta. Pada kondisi tertentu, jika nilai variabel keputusan dibatasi rentang nilai tertentu, maka dimunculkan fungsi pembatas atau kendala. Model matematika memungkinkan eksplorasi dengan cepat terhadap adanya pengaruh perubahan masukan dari fungsi objektif. Stewart (1999) menjelaskan bahwa model matematika merupakan uraian secara matematika dengan menggunakan fungsi atau persamaan dari fenomena dunia nyata, misalnya populasi, permintaan suatu barang, laju penurunan, dan lain-lain. Pada Gambar 6 diilustrasikan proses pemodelan matematika yaitu dimulai dari persoalan dunia nyata kemudian merumuskan model matematika dengan cara mengenali dan memberi notasi pada variabel bebas dan tidak bebas sehingga dapat ditelusuri secara matematika. Persamaan yang menghubungkan variabel-variabel tersebut diperoleh dengan bantuan pengetahuan tentang situasi fisik dan keterampilan matematika. Model matematika yang telah dirumuskan kemudian disimpulkan dan ditafsirkan sebagai informasi tentang dunia nyata dengan cara membuat penjelasan atau prakiraan. Jika prakiraan tidak sesuai dengan kenyataan, maka model perlu diperhalus atau dirumuskan kembali.
28
Rumuskan Persoalan dunia nyata
Model matematika
Uji
Prakiraan dunia nyata
Pecahkan
Tafsirkan
Kesimpulan matematika
Gambar 6. Proses pemodelan matematika (Stewart, 1999) Sebenanya, setiap model mempunyai keterbatasan. Model matematika tidak pernah merupakan pernyataan akurat secara lengkap dari suatu situasi fisik, tetapi hanya merupakan proses membuat menjadi ideal. Model matematika yang baik menyederhanakan kenyataan untuk tujuan memungkinkan kalkulasi matematika tetapi cukup akurat untuk memberikan kesimpulan yang berharga (Stewart, 1999). Pada dasarnya, ilmu sistem fokus pada model matematik yang berupa angka, simbol dan rumus sebagai gambaran dari realitas yang dikaji. Model matematik digunakan dalam menginterprestasikan perencanaan dan pengelolaan suatu sistem karena dapat menggambarkan perilaku sistem berdasarkan input atau elemen penyusunnya, yang dinyatakan dalam bentuk simbol dan pernyataan matematika. Dengan kata lain, model matematika merepresentasikan sebuah sistem dalam bentuk hubungan kuantitatif dan logika berupa suatu persamaan matematika. Pada model matematika, replika/tiruan dari fenomena keadaan nyata dideskripsikan melalui satu set persamaan matematika. Kecocokan model terhadap fenomena keadaan nyata yang dideskripsikan tergantung dari ketepatan formulasi persamaan matematikanya. Model matematika dari sebuah sistem diartikan sebagai kumpulan
persamaan yang digunakan untuk mewakili sistem. Ketepatan suatu model dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kerumitan persamaan-persamaan, tetapi tidak pernah dapat dicapai kepastian. Perumusan matematika yang terpilih dapat mempermudah pengkajian sistem. Model matematika mungkin mengambil banyak bentuk yang berbeda-beda. Ketika model matematika dari sistem sudah diperoleh, berbagai macam alat bantu analisis dan komputer dapat digunakan untuk tujuan analisis sintesis. Model matematika menjadi lebih bermanfaat jika penerapannya dapat membantu manajemen atau pimpinan suatu perusahaan, lembaga atau organisasi dalam pengambilan keputusan. Pada tingkat ini, istilah
29 pemodelan sistem menjadi lebih tepat dibandingkan dengan hanya pemodelan matematika, karena model matematika diangkat dari sistem yang sedang diteliti, sedangkan sistem tidak cukup diwakili dengan model matematika tetapi juga ada serangkaian keputusan logis yang bersama-sama membentuk model dari sistem tersebut. Eriyatno (1999) menjelaskan gambaran umum langkah-langkah untuk membangun sebuah model sebagai berikut : 1. Mendefiniskan masalah/formulasi model, yaitu menentukan permasalahan utama dalam sistem yang hendak diselesaikan 2. Mengidentifikasi komponen yaitu menentukan karakteristik sistem, meliputi tujuan sistem (objective), kriteria sistem, interval waktu sistem, sifat statis/dinamis, menentukan variabel, parameter, serta hubungan antara variabel dan parameter 3. Menggambarkan model konseptual 4. Memilih metodologi 5. Formulasi model 6. Verifikasi dan validasi model Validasi model untuk memeriksa apakah model sesuai dengan kondisi nyata, sedangkan verifikasi model adalah untuk memastikan model yang dibuat sesuai dengan metodologi dan kaidah keilmuan 7. Implementasi Secara sederhana, langkah pemodelan matematika meliputi : formulasi masalah (aspek yang harus dimasukkan ke dalam model, asumsi yang bisa dan harus dibuat), deduksi (rasionalisasi, analisa dan konseptualisasi yang melibatkan aspek pemecahan persamaan secara matematika, mengurutkan pernyataan logika, sejalan dengan asumsi), serta interprestasi. 2.5. Persediaan Persediaan didefinisikan sebagai stok barang (bahan baku, komponen, produk setengah jadi, dan produk jadi) yang menunggu untuk diproses, didistribusikan atau dijual. Russell dan Taylor (2006) mendefinisikan persediaan sebagai stok barang yang disimpan untuk memenuhi permintaan konsumen.
30 Persediaan diartikan juga sebagai aktiva suatu perusahaan, apakah dalam bentuk mentah (bahan baku) atau dalam bentuk sedang diproses atau dalam bentuk barang jadi (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Dengan kata lain, persediaan dapat diartikan semua produk yang diperlukan dalam proses produksi dan distribusi untuk disimpan sementara yang menunggu untuk diproses lebih lanjut atau didistribusikan. Sistem persediaan didefinisikan oleh Rangkuti (2000) sebagai serangkaian kebijakan dan pengendalian yang mengawasi dan menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus disediakan dan berapa besar pesanan yang harus dilakukan. Sistem persediaan bertujuan untuk menentukan jumlah persediaan dalam kualitas dan pada waktu yang tepat dalam rangka untuk meminimalkan total biaya persediaan melalui penentuan jenis dan banyaknya produk serta melakukan pesanan secara optimal. Sistem persediaan dibedakan berdasarkan : ukuran kompleksitasnya, tipe dari produk yang disimpan, biaya yang terkait dalam pengelolaan persediaan, dan perilaku sistem persediaan (perilaku permintaan, parameter sistem, dan informasi yang tersedia). Berdasarkan ukuran kompleksitasnya (posisi bahan dalam urutan pengerjaan produk), persediaan dikelompokkan dalam empat tipe yaitu : persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang setengah jadi, dan persediaan barang jadi (Russell dan Taylor, 2006). Berdasarkan perilaku sistem persediaan yaitu banyaknya jumlah persediaan dan kapan harus disediakan, Ma’arif dan Tanjung (2003), mengelompokkan persediaan dalam dua jenis yaitu : 1. Persediaan terikat (dependent demand), yaitu persediaan yang terikat dengan jadwal induk yang sudah dibuat. Persediaan jenis ini disebut juga MRP (Material Requirement Planning). 2. Persediaan bebas (independent demand), yaitu persediaan yang bebas yang berhubungan langsung oleh pasar. Jumlah persediaannya ditentukan oleh permintaan konsumen. Persediaan jenis ini disebut juga EOQ (Economic Order Quantity). Goyal dan Giri (2001), menjelaskan tipe produk yang berada dalam persediaan meliputi :
31 1. Produk yang mengalami keusangan (obsolescence), yaitu yang mengalami penurunan nilai karena perubahan teknologi yang cepat atau adanya produk baru dari pesaing. Keusangan mengakibatkan turunnya harga produk tersebut. Contohnya : suku cadang suatu kendaraan (mobil, pesawat, motor, dsb) akan menjadi usang saat terjadi pergantian model kendaraan tersebut. 2. Produk yang mengalami penurunan kualitas (deterioration) atau berupa kerusakan (damage), pembusukan (spoilage), kekeringan (dryness), dan penguapan (vaporization). Contohnya : yang tergolong dalam perishable product (produk mudah rusak atau produk dengan umur simpan maksimum yang dapat disimpan) yaitu bahan makanan, sayuran dan buah segar, darah, dan obat-obatan serta yang tergolong dalam decaying product (produk yang sudah habis umur simpannya karena membusuk atau rusak) yaitu alkohol, gasoline, dan bahan radioaktif. 3. Produk yang tidak mengalami keusangan (obsolescence) atau penurunan kualitas (deterioration) yaitu produk yang umur hidupnya tidak terbatas. Alasan mengapa perlu adanya persediaan diantaranya adalah : 1. Secara fisik atau ekonomi perusahaan tidak mungkin dengan cepat dan tepat memperoleh produk pada saat pemesanan terjadi. 2. Khusus untuk buah segar dan musiman, persediaan bertujuan menyediakan produk musiman sepanjang tahun. Produk musiman dapat disimpan di dalam gudang saat waktu panen atau produksi dan dijual pada waktu berikutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persediaan adalah (Ma’arif dan Tanjung, 2003) : 1. Perkiraan pemakaian untuk membuat keputusan jumlah persediaan yang akan dilakukan untuk mengantsipasi masa mendatang. 2. Harga bahan. 3. Biaya –biaya dari persediaan. 4. Kebijakan pembelanjaan yang ditentukan oleh sifat bahan. Untuk bahan yang cepat rusak (perishable), tentunya tidak mungkin dilakukan penyimpanan terlalu lama, kecuali ada teknologi atau alat yang dapat memperpanjang umur simpan bahan tersebut, misalnya refrigerator atau ruang dengan pengontrol suhu dan pengatur komposisi udara ruang penyimpanan.
32 5. Pemakaian nyata dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data pemakaian nyata tahun sebelumnya dapat dilakukan peramalan (forecasting) pemakaian tahun mendatang. 6. Waktu tunggu (lead time) mulai dari barang dipesan sampai barang datang. Sifatnya bervariasi, tergantung jumlah yang dipesan dan waktu pemesanan. Biaya persediaan yang dapat menentukan keoptimalan dari masalah persediaan meliputi : biaya pembelian, biaya pengadaan bahan (biaya pemesanan dan biaya set-up), biaya penyimpanan, dan biaya kekurangan bahan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan konsumen (Tersin, 1994). Russell dan Taylor (2006) juga menjelaskan biaya-biaya yang terdapat dalam persediaan sebagai berikut : 1. Biaya pemesanan, yaitu biaya yang berkaitan dengan kegiatan pemesanan atau pengadaan barang hingga barang tiba di gudang persediaan, meliputi semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka mengadakan pemesanan barang yaitu : biaya administrasi dan audit keuangan, biaya telekomunikasi (telepon, faksimili, internet), biaya pengangkutan dan pengantaran barang, biaya bongkar muat, biaya penanganan barang, biaya penerimaan dan pemeriksaan barang. Biaya pemesanan tidak tergantung pada jumlah barang yang dipesan. Besarnya biaya pemesanan berbanding terbalik dengan biaya penyimpanan. Semakin banyak jumlah barang yang dipesan dalam satu kali pemesanan, maka jumlah pemesanan semakin sedikit sehingga mengurangi biaya pemesanan. Namun, memesan sejumlah barang akan meningkatkan jumlah persediaan sehingga meningkatkan biaya penyimpanan. 2. Biaya penyimpanan, yaitu semua biaya yang berkaitan dengan penyimpanan barang sebagai stok di gudang meliputi : biaya fasilitas penyimpanan (sewa gudang, penerangan, pendingin, keamanan, pajak, asuransi), biaya penanganan bahan (perlengkapan dan alat-alat), biaya pekerja di fasilitas penyimpanan, biaya administrasi, biaya pinjaman untuk membeli barang persediaan (bunga pinjaman, pajak, dan asuransi), biaya risiko produk (kerusakan, kehilangan dan penyusutan produk selama penyimpanan). Secara umum, semua biaya yang meningkat secara linier seiring dengan bertambahnya jumlah persediaan merupakan biaya penyimpanan. Biaya penyimpanan per periode semakin besar dengan semakin banyaknya tingkat persediaan dan semakin lamanya
33 waktu persediaan tersebut disimpan. Biaya penyimpanan dapat ditentukan dengan dua cara yaitu : a. Menjumlahkan seluruh biaya individual yang ada dalam komponen biaya penyimpanan ke dalam basis per unit per periode waktu tertentu, misalnya bulanan atau tahunan. Contohnya : Rp 2.000 per unit per tahun b. Dinyatakan dalam persentase dari nilai sebuah barang atau persentase dari nilai rata-rata persediaan. Umumnya, persentase biaya persediaan antara 10 - 40% dari nilai barang yang diproduksi. 3. Biaya kekurangan persediaan (stockout), yaitu biaya akibat kekurangan persediaan baik secara internal maupun eksternal. Biaya kekurangan persediaan terjadi ketika permintaan konsumen tidak dapat dipenuhi. Konsumen menjadi tidak puas dan hilang kepercayaannya pada perusahaan sehingga menyebabkan kehilangan konsumen dan penjualan di masa mendatang. Jika kekurangan persediaan tersebut menyebabkan kehilangan penjualan secara tetap, maka kehilangan laba penjualan tersebut termasuk ke dalam biaya kekurangan persediaan. Dalam beberapa kasus, keterlambatan atau ketidakmampuan memenuhi pesanan konsumen menyebabkan pemberian potongan harga atau diskon bagi pemasok. Kekurangan persediaan secara internal dapat menyebabkan terhentinya atau tertundanya proses produksi sehingga menimbulkan biaya akibat menganggurnya sumber daya. Biaya kekurangan persediaan mempunyai hubungan terbalik dengan biaya penyimpanan. Siswanto (2002), menjelaskan bahwa berdasarkan dua karakteristik utama parameter permasalahan persediaan (tingkat permintaan dan periode kedatangan pesanan), maka model persediaan dibedakan menjadi dua yaitu : model persediaan deterministik dan model persediaan probabilistik. Ciri dari kelompok model permintaan deterministik adalah tingkat permintaan dan periode kedatangan pesanan untuk selang periode tertentu.dapat diketahui secara pasti sebelumnya. Ciri model permintaan probabilistik adalah jika tingkat permintaan dan atau periode kedatangan pesanan tidak diketahui secara pasti sehingga harus didekati dengan distribusi probabilitas. Perbedaan model deteministik dan probabilistik dapat dilihat pada Gambar 7.
34
Masalah Persediaan
Deterministik
1. P sistem 2. Q sistem 3. EOQ dasar 4. EOQ potongan harga 5. EOQ back order 6. EPQ Wagner dan Within 7. Silver dan Meal 8. MRP
Probabilistik
1. Analisa marjinal 2. EOQ probabilistik 3. Simulasi 4. ABC
Gambar 7. Model deterministik Vs probabilistik (Siswanto, 2002) Rafaat (1991) mengklasifikasikan model persediaan berdasarkan parameter yang terlibat dalam model, meliputi : 1. Single dan multiple item 2. Deterministic dan probabilistic demand 3. Static dan varying demand 4. Single period dan multiple period 5. Purchase dan production model 6. Quantity discount 7. No shortage dan shortage Menurut Siswanto (2002), pada model persediaan probabilistik, ketika permintaan atau waktu tunggu tidak bisa diketahui pasti, maka ada tiga kemungkinan yang akan terjadi yaitu : persediaan habis ketika pesanan belum tiba, persediaan habis tepat pada saat pesanan tiba, dan persediaan belum habis saat pesanan tiba. Hal mendasar yang terkait dalam sistem persediaan adalah : apa, kapan dan berapa? Apa merujuk pada apa yang harus disediakan. Kapan merujuk pada kapan melakukan persediaan dan kapan harus memesan ulang untuk menambah persediaan. Berapa merujuk pada berapa banyak yang harus dipesan. Persediaan produk segar hasil pertanian merupakan persediaan bebas (independent demand)
35 karena jumlah persediaannya ditentukan oleh permintaan konsumen dan berhubungan langsung oleh pasar. Persediaan independent demand sering disebut juga EOQ (Economic Order Quantity) atau Jumlah Pemesanan Ekonomis. 2.6. Landasan Matematik 2.6.1. Model Laju Kerusakan Buah Distribusi umur hidup suatu produk merupakan salah satu alat yang dapat menggambarkan panjang umur dari suatu produk secara sistematis. Umur hidup tersebut digambarkan baik melalui fungsi densitas, fungsi distribusi kumulatif, fungsi keandalan, dan fungsi laju deteriorasi. Jika f(t) menyatakan fungsi densitas dari variabel acak t yang kontinyu menggambarkan panjang umur suatu produk, maka f(t) memiliki sifat seperti yang dijelaskan Jonrinaldi (2004) yaitu : 𝑓 𝑡 ≥0 𝑡 0
…………...…..(1)
𝑓 𝑡 𝑑𝑡 = 1
..........................(2)
Fungsi distribusi kumulatif, F(t) menyatakan probabilitas bahwa umur hidup produk ada dalam rentang (0,t) yang digambarkan dalam persamaan berikut : 𝐹 𝑡 =𝑃 𝑇≤𝑡 = 𝑓 𝑡 =
𝑡 0
𝑓 𝑡 𝑑𝑡
𝑑𝐹(𝑡)
.................................(3) .................................(4)
𝑑𝑡
Fungsi keandalan, R(t) menyatakan probabilitas bahwa suatu produk akan bertahan hidup dalam rentang (0,t) atau probabilitas bahwa produk akan rusak setelah saat t, yang digambarkan dalam persamaan berikut : 𝑅 𝑡 =𝑃 𝑇≤𝑡 =
𝑡 0
𝑓 𝑡 𝑑𝑡
.................................(5)
Karena F(t) dan R(t) bersifat mutually exclusive, maka persamaan menjadi : 𝐹 𝑡 = 1 − 𝑅(𝑡)
.................................(6)
Fungsi laju kerusakan, 𝜃(𝑡) menyatakan peluang bahwa produk akan rusak sesaat setelah t dengan syarat produk tetap baik sampai t, yang digambarkan dalam persamaan berikut : 𝑓(𝑡)
𝜃 𝑡 = 𝑅(𝑡)
.................................(7)
36 Uji distribusi yang dilakukan Maflahah (2010) memperoleh laju kerusakan buah segar mengikuti laju distribusi eksponensial. Fenomena penurunan mutu buah segar tersebut dapat didekati dengan persamaan : Mutu (t) = Mutu awal x e-t/T
…………………...…(8)
dimana, t adalah waktu aktivitas dan T adalah waktu rusak. 2.6.2. Model Pendugaan Umur Simpan Buah Mangga Gedong Gincu Selama penyimpanan, mutu produk akan berubah karena adanya pengaruh lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Melalui model matematika, dapat diketahui laju perubahan mutu yang akan terjadi pada kondisi tertentu. Model laju perubahan mutu dapat digunakan untuk mengetahui umur simpan suatu produk. Untuk menyusun model perubahan mutu diperlukan beberapa pengamatan parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa, misalnya : hasil uji kimiawi, uji fisik, uji organoleptik, dan uji mikrobiologis (Syarief dan Halid, 1991). Jika diasumsikan faktor waktu adalah tetap, maka untuk menduga konstanta laju perubahan mutu mangga dapat menggunakan Persamaan Arrhenius yaitu : k k 0 .e E / RT
…...………………..(9)
dimana : k adalah konstanta laju perubahan mutu, k 0 adalah konstanta (tidak tergantung pada suhu), E adalah energi aktivasi, T adalah suhu mutlak (oC+273) dan R adalah konstanta gas (8.314 joule/mol.K). Setelah mengetahui kontanta laju perubahan mutu mangga, maka umur simpan mangga dapat diduga dengan menggunakan rumus penentuan waktu atau masa kadaluarsa yaitu : t = (yawal – y)/k
……….…...…...…(10)
dimana : t adalah lama penyimpanan (hari), yawal adalah mutu pengamatan awal, dan y adalah mutu akhir. Rizkia (2004) memperoleh konstanta laju perubahan mutu untuk susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan total asam mangga gedong gincu selama penyimpanan adalah sebagai berikut :
Susut bobot
k = 1.53 x 10-14 . e-10188.0(1/T) ………….……....… (11)
Kekerasan
k = 1.39 x 10-8. e-5473.5(1/T) ………………….......(12)
37
Total padatan terlarut
k = 2.39 x 10-7. e-5519.5(1/T) ….…………………..(13)
Total asam
k = 6.80 x 10-1. e-1091.7(1/T) ….…………………..(14)
Mutu akhir (y) adalah suatu keputusan manajemen mengenai mutu produk yang dinyatakan oleh manajemen sebagai mutu yang ditawarkan kepada konsumen di akhir masa penjualan di pasar (Hariyadi, 2006). 2.6.3. Model Peramalan Peramalan penting penggunaannya dalam berbagai situasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Peramalan merupakan proses memperkirakan secara sistematis tentang apa yang paling mungkin terjadi di masa depan berdasarkan informasi masa lalu dan sekarang yang dimiliki agar kesalahan dapat diperkecil (Assauri, 1993). Model ARIMA (Autoregressie/Integrated/Moving Average) merupakan salah satu model peramalan yang menggunakan data historis masa lalu untuk memproyeksikan ke masa depan. Model ARIMA dapat diterapkan untuk menganalisa deret berkala, peramalan, dan pengendalian (Makridakis et al, 1999). Model ARIMA adalah jenis model linier yang mampu mewakili deret waktu baik yang stasioner maupun non stasioner. Model ARIMA menggunakan informasi dalam deret waktu untuk menghasilkan ramalan atau prakiraan. Makridakis et al (1999), menjelaskan model umum ARIMA sebagai berikut : ARIMA (p,d,q)(P,D,Q)’
.............................(15)
dimana : p : menunjukkan ordo proses AR (Autoregresi), jika p = 0 berarti tidak dibangkitkan oleh proses AR d : menunjukkan tingkat pembeda agar deret data bersifat stasioner yaitu jika D>0 berarti data tidak bersifat stasioner (mengandung trend) q : menunjukkan orde proses MA (Moving Average), jika q=0 berarti deret data tidak dibangkitkan oleh proses MA P : ordo AR untuk data musiman D : indeks kecenderungan untuk data musiman Q : ordo MA untuk data musiman
38 2.6.4. Model Dasar EOQ Dalam Sistem Persediaan Model persediaan yang paling dasar dan sederhana untuk menentukan ukuran pesanan ekonomis adalah model EOQ (Economic Order Quantity). Model EOQ mempertimbangkan dua biaya persediaan yaitu biaya pesan dan biaya simpan sehingga biaya total persediaan adalah biaya pesan ditambah biaya simpan. Biaya pesan adalah biaya tetap yang keluar setiap kali pemesanan dilakukan dan tidak tergantung pada ukuran atau volume pesanan. Biaya simpan adalah biaya yang terjadi akibat penyimpanan selama satu periode tertentu. Model EOQ dapat digunakan cukup baik bila memenuhi atau mendekati sejumlah asumsi yaitu : persediaan akan dipesan sebesar Q unit dan pesanan datang secara bersamaan. Situasi persediaan untuk model EOQ dapat dilihat pada Gambar 8.
Q/2
Gambar 8. Situasi persediaan untuk model EOQ (Siswanto, 2002) Persediaan berkurang dengan laju tetap selama waktu t, sehingga pada akhir periode perencanan persediaan sama dengan nol. Saat yang sama, bahan yang dipesan sudah datang sehingga tingkat persediaan mencapai jumlah sebanyak Q. Pola tersebut berulang terus selama periode T. Pada periode awal perencanaan dilakukan pemesanan sebesar (Q). Adanya permintaan menyebabkan produk yang ada akan menurun yang digambarkan oleh garis slope negatif sampai mencapai titik nol, sehingga dilakukan pemesanan kembali sebesar (Q). Rata-rata persediaan yang ada di gudang setiap saat digambarkan
dengan
garis
putus-putus
sebesar
Q/2.
Siswanto
(2002)
menggambarkan formulasi biaya total persediaan per periode perencanaan sebagai berikut : Biaya Total Persediaan (TC) = Biaya Pesan + Biaya Simpan
39 Kurva biaya total persedian dapat dilihat pada Gambar 9.
TC (biaya total persediaan)
Biaya
hQ/2 (biaya simpan)
Cr (persediaan rata-rata)
kr/Q (biaya pesan)
Ukuran lot (Q) Q*
Gambar 9. Biaya total persediaan per periode perencanaan (Siswanto, 2002) Biaya pesan adalah biaya yang dikeluarkan karena pemesanan suatu barang yaitu kebutuhan dalam suatu periode pemesanan dibagi jumlah produk yang dipesan setiap kali pesanan dibuat dikalikan biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesanan dibuat. Biaya pesan digambarkan dalam formulasi matematika sebagai berikut : 𝐁𝐏 =
𝐃 𝐒 𝐐
.............................(16)
Biaya simpan adalah biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan penyimpanan persediaan yaitu rata-rata jumlah barang yang dipesan setiap kali pesanan dibuat dikalikan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyimpan setiap unit persediaan. Biaya simpan digambarkan dalam formulasi matematika sebagai berikut : 𝐁𝐒 =
𝐐 𝐡 𝟐
.............................(17)
Karena perediaan datang bersamaan sebesar Q, maka persediaan awal adalah Q, persediaan akhir adalah nol, dan persediaan rata-rata adalah Q/2. Biaya total persediaan semakin naik dengan semakin banyak unit (Q) yang dipesan. Kondisi minimum tercapai saat biaya pesan sama dengan biaya simpan. Secara matematik, digambarkan sebagai berikut : 𝐓𝐂 = 𝐁𝐏 + 𝐁𝐒
.............................(18)
40 𝐃
𝐐
𝐓𝐂 = 𝐐 𝐒 + 𝟐 𝐡, syarat TC minimum BP=BS 𝐃 𝐐 𝐒= 𝐡 𝐐 𝟐 𝐐𝟐 =
𝐐=
𝟐𝐃𝐒 𝐡 𝟐𝐃𝐒 𝐡
.............................(19)
dimana : TC : Biaya total persediaan BP : Biaya pesan BS : Biaya simpan D
: Kebutuhan dalam suatu periode perencanaan
Q
: Jumlah barang yang dipesan setiap kali pesanan dibuat
S
: Biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesanan dibuat
h
: Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyimpan setiap unit persediaan
2.6.5. Model Persediaan Untuk Produk Perishable Model persediaan perishable product (produk yang mudah rusak) merupakan model persediaan dimana persediaan tidak hanya berkurang karena permintaan saja tetapi juga karena adanya kerusakan. Beberapa bentuk kerusakan produk adalah kebusukan/membusuk (direct spoilage), habis secara fisik (physical depletion) misal cairan yang mudah menguap; atau penurunan kualitas (deterioration) misal komponen elektronik. Model persediaan untuk produk yang mengalami penurunan mutu dikelompokkan oleh Goyal dan Giri (2001) dalam tiga kelompok yaitu : a. Model persediaan dengan umur hidup produk yang tetap (fixed lifetime) b. Model persediaan dengan umur hidup produk yang tidak tetap (random lifetime) c. Model persediaan untuk produk yang mengalami penurunan jumlah secara proporsional
41 Nahmias (1982) dan Rafaat (1991) menjelaskan konsep analisis produk yang mengalami penurunan mutu yaitu (1) situasi dimana produk yang berbeda dalam persediaan secara bersama-sama mengalami keusangan pada akhir periode perencanaan, misalnya produk pakaian dan (2) situasi dimana produk mengalami penurunan mutu sepanjang periode perencanaan, misalnya buah dan sayuran segar. Situasi yang kedua kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu produk dengan umur simpan tetap (fixed lifetime) dan produk dengan umur simpan simpan acak (random lifetime). Khusus untuk produk segar hasil pertanian, mempunyai umur simpan acak (random lifetime) karena parameter mutu kritisnya yaitu freshness menurun secara acak dan terus menerus secara eksponensial dari waktu ke waktu. Bai dan Kendall (2008), mengembangkan model persediaan untuk produk segar dengan asumsi sebagai berikut : meski produk segar mempunyai umur simpan acak yang menurun secara ekponensial, umur produk dapat diduga masa simpannya, namun freshness produk akan terus menurun berdasarkan fungsi waktu. Permintaan untuk produk segar bersifat deterministik dan diasumsikan tergantung pada dua hal yaitu tingkat persediaan yang ada dan kondisi freshness produk. Hal yang pertama mengasumsikan semua produk yang belum rusak menggambarkan permintaan yang sama bagaimana pun kondisi freshness produk tersebut. Gambaran tersebut sesuai untuk produk perishable yang berumur panjang, misalnya produk fotografi dan obat-obatan., tetapi tidak sesuai untuk produk segar karena kondisi freshness merupakan salah satu aspek penting dalam mengukur kualitas produk segar. Semua produk segar diasumsikan mempunyai umur simpan tertentu tetapi sangat pendek dan tidak rusak hingga batas waktu kadaluarsa. Bagaimanapun, kondisi freshness akan menurun berdasarkan waktu dan berpengaruh pada tingkat persediaan. Model Bai dan Kendall (2008) dibangun berdasarkan bahwa fungsi permintaan merupakan perkalian persediaan dengan kondisi freshness yaitu 𝐷𝑖 𝑡 = 𝐷∗𝑖 𝑓𝑖 𝑡 , dimana 𝑓𝑖 𝑡 adalah penurunan fungsi dari waktu ke waktu. Kondisi freshness menurun dari waktu ke waktu secara ekponensial yaitu 𝑓𝑖 𝑡 = 𝑒−𝜎𝑒𝑖 𝑡 ,dimana 𝜎𝑖 > 0 adalah konstanta laju penurunan sehingga diperoleh fungsi persediaan sebagai berikut :
42 𝐼𝑖 𝑡 = 𝑞𝑖 +
𝛼 𝑖 𝑠𝑖 𝛽 𝑖 𝜎𝑖
(𝑒 −𝛼 𝑖 𝑡 − 1) , 0 ≤ t ≤ t1t
..........................(20)
dimana, Ii(t) = tingkat persediaan produk ke-i pada waktu t qi
= jumlah pemesanan produk ke-i
𝜎𝑖 = laju kerusakan dari produk ke-i si
= jumlah produk ke-i yang dipajang
𝛼𝑖 = parameter skala dari produk ke-i 𝛽𝑖
= elastisitas ruang produk ke-i
fi(t) = fungsi penurunan yang mereprentasikan kondisi freshness produk dari waktu ke waktu. Indrianti et al (2001), mengembangkan model dasar perencanaan persediaan EOQ dengan mempertimbangkan waktu kadaluarsa bahan untuk menentukan jumlah optimal bahan yang dipesan dengan cara meminimalkan biaya persediaan serta untuk menentukan saat pemesanan bahan yang optimal. Asumsi yang digunakan dalam penelitian Indrianti et al (2001) adalah kuantitas pemesanan tetap, laju produksi konstan, kekurangan bahan akan terjadi apabila bahan yang melewati batas masa pakai, waktu tunggu merupakan parameter yang diketahui, kapasitas produksi terbatas, dan masa pakai bahan (waktu kadaluarsa) merupakan variabel yang bersifat deterministik. Biaya persediaan yang dikembangkan dalam model tersebut meliputi : biaya simpan, biaya pesan, biaya kekurangan bahan, dan biaya kadaluarsa bahan. Persamaan matematikanya sebagai berikut : TC = Cs + Cp + Ckb + Ckd
..........................(21)
Cs = 𝟏/𝟐 𝐐 + 𝐐𝐤 . 𝐂𝐬𝐭 𝟏
..........................(22)
𝐂𝐤𝐛 = 𝟏/𝟐 𝐐𝐤 . 𝐂𝐤 𝐭 𝟐
..........................(23)
𝐂𝐤𝐝 = 𝐐𝐤 𝐏 − 𝐉
..........................(24)
sehingga diperoleh total biaya persediaan selama kurun waktu T adalah : 𝐓𝐂 = Cs + Cp + Ckb + Ckd 𝐃/𝐐
..........................(25)
Dengan mensubsitusi Persamaan (23), (25) dan (26), maka diperoleh persamaan :
43 𝐓𝐂 = 𝟏/𝟐 𝐐 + 𝐐𝐤 𝐂𝐬 𝐭 𝟏 + Cp + 𝟏/𝟐 𝐐𝐤 . 𝐂𝐤 𝐭 𝟐 + 𝐐𝐤 𝐏 − 𝐉 𝐃 ............(26) /𝐐 dimana, 𝐭𝟏 = 𝐭𝟐 =
𝐐 − 𝐐𝐤 𝐭 𝐐 𝐐𝐤 𝐭 𝐐
..........................(27)
..........................(28)
Persamaan untuk mendapatkan jumlah pemesanan optimal (Q*) adalah : 𝐐 ∗=
𝟐𝐂𝐩 . 𝐃 𝐏 − 𝐉 𝟐 𝐃𝟐 + 𝐂𝐬 𝐓 𝐂𝐬 − 𝐂𝐤 . 𝐂𝐬 𝐓𝟐
..........................(29)
dimana : TC : biaya total persediaan Cs : biaya simpan per unit per periode perencanaan Cp : biaya pemesanan per sekali pesan Ckb : biaya kekurangan bahan akibat adanya bahan yang kadaluarsa Ckd : biaya kadaluarsa bahan Ck : biaya kekurangan per unit per periode perencanaan Q
: jumlah bahan baku yang dipesan
Qk : jumlah bahan baku yang kadaluarsa D
: jumlah permintaan bahan selama periode T
P
: harga bahan baku per unit
J
: harga jual bahan baku yang sudah kadaluarsa per unit
T
: periode perencanaan, tahun
t
: kurun waktu (periode) pesanan
t1
: kurun waktu (periode ) penyimpanan bahan sebelum kadaluarsa
t2
: kurun waktu (periode) terjadinya kekuranga bahan
tk
: waktu kadaluarsa bahan
2.7. Penelitian Terdahulu dan Posisi Penelitian Berbagai penelitian telah dilakukan yang berkaitan dengan masalah dalam persediaan yang mengalami penurunan kualitas (inventory for deteriorating
44 product). Diawali oleh penelitian Within (1957) terhadap produk berkaitan dengan fashion yang mengalami penurunan nilai (deteriorating) di akhir periode penyimpanan yang ditetapkan. Kemudian, Ghare dan Schrader (1963), mengamati bahwa produk tertentu menyusut berdasarkan waktu dengan proporsi yang dapat didekati dengan fungsi eksponensial sehingga diperoleh model persediaan untuk produk yang rusak/membusuk secara eksponensial. Sejak itu, dilakukan penelitian tentang sistem persediaan untuk produk yang mengalami penurunan kualitas (deteriorating inventory system) seperti yang dijelaskan dalam Nahmias (1982), Rafaat (1991), Greenberg et al (1993), Heng et al (1991), Hariga dan Becherouf (1994), Wee dan Shum (1999), Ravichandram (1995), Nandakumar dan Morton (1993), serta Liu dan Lian (1999). Khusus untuk produk segar misalnya buah segar, sayuran segar, dikategorikan dalam model persediaan dengan umur tidak tetap (random lifetime) karena tidak dapat diketahui pasti kapan tepatnya saat terjadi pembusukan atau kerusakan sehingga umur simpannya tidak dapat ditentukan terlebih dahulu secara pasti. Beberapa penelitian mengenai model persediaan dengan umur tidak tetap (random lifetime) antara lain Liu dan Yang (1999). Berbagai literatur telah menjelaskan tentang sistem persediaan perishable, namun kebanyakan dari model-model tersebut memperlakukan produk segar sebagai kasus perishable khusus dengan kecepatan deteriorasi tetap dan tidak membusuk sebelum tanggal kadaluarsanya. Belum banyak penelitian yang secara khusus membahas tentang produk segar sebagai kasus dalam sistem persediaan perishable product. Demikian juga, penelitian yang memperhatikan aspek freshness sebagai parameter mutu kritis pada sistem persediaan produk segar hasil pertanian, masih sangat terbatas. Umumnya, penelitian sistem persediaan perishable product mengkategorikan produk segar hasil pertanian ke dalam kategori deteriorasi secara umum yaitu random lifetime dan dengan utilitas tidak membusuk (non-decaying). Bai dan Kendall (2008), menyusun model keputusan menggunakan teknik Generalized Reduced Gradient (GRG) untuk menentukan jumlah pemajangan produk segar hasil pertanian di rak-rak swalayan dengan memperhatikan aspek freshness. Model Bai dan Kendall (2008) mengunakan
45 asumsi bahwa kondisi freshness produk segar hasil pertanian menurun secara eksponensial. Produk segar hasil pertanian, misal : sayuran, buah, daging segar mempunyai umur hidup yang relatif sangat singkat (very short lifetime) sehingga untuk memperpanjang umur simpannya perlu dilakukan beberapa perlakuan pascapanen dalam sistem persediaannya. Penelitian ini, mengintegrasikan aspek teknologi perlakuan pascapanen yaitu berupa penyimpanan dingin pada sistem persediaan buah mangga gedong gincu yang mungkin dapat berpengaruh pada performa pemenuhan pesanan mangga gedong gincu. Posisi penelitian yang dilakukan dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu: (1) persediaan, (2) produksi, (3) analisis numerik, (4) teknik heuristik (5) teknik lain (meta heuristik, algoritma genetika, GRG algorithm, goal programing), (6) umur simpan dipengaruhi waktu (probabilistik), (7) umur simpan tetap (deterministik), (8) fixed demand, (9) random demand (10) freshness (penurunan mutu), (11) waktu kadaluarsa/rusak, (12) susut bobot selama penyimpanan, dan (13) umur simpan karena input teknologi pascapanen yang dapat dilihat pada Tabel 5. Penelitian ini mengembangkan model yaitu model persediaan (1) yang disusun menggunakan metode analisis numerik (3) terhadap produk segar yang umur simpannya bersifat probabilistik (6) dengan memperhatikan aspek freshness yaitu penurunan mutu (10), susut bobot selama penyimpanan (12), dan umur simpan akibat adanya input teknologi pascapanen (13). Model memperhatikan umur simpan produk dalam persediaan sebagai suatu hal yang bersifat probabilistik yang dipengaruhi penurunan mutu secara terus menerus sepanjang periode penyimpanan mengikuti pola eksponensial.
46
Tabel 5. Posisi Penelitian Yang Dilaksanakan
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
cakupan Peneliti
Umur simpan
Metode
1
2
3
Indrianti et al (2001) Chande et al (2003) Yadavalli and Schoor (2004) Gulrer dan Ozkaya (2006) Lawrence et al (2006) Panda et al (2008)
√
√
√
√
√
Bai et al (2008)
√
√
√
√
√
Bai dan Kendall (2008) Rajurkar dan 9. Jain (2009) Manica et al 10. (2009) Broekmeulen dan 11. Donselaar (2009) Penelitian yang 12. dilaksanakan 8.
Keterangan : Ruang lingkup Metode Umur simpan Demand Pertimbangan
4
5
6
7
8
√
√
√
√
Demand 9
Pertimbangan 10
11
12
13
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√ √
√
√ √
√
√ √
√
√
: (1) persediaan, (2) produksi : (3) analisis numerik, (4) teknik heuristik (5) teknik lain (meta heuristik, algoritma genetika, GRG algorithm, goal programing) : (6) umur simpan dipengaruhi waktu (probabilistik), (7) umur simpan tetap (deterministik) : (8) fixed demand, (9) random demand : (10) freshness (penurunan mutu), (11) waktu kadaluarsa/rusak, (12) susut bobot selama penyimpanan, dan (13) umur simpan karena input teknologi pascapanen
47