II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI
A. Pendahuluan A Diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengonstruksi realitas D sosial dalam sebuah konteks tertentu – dalam hal ini kebijakan usaha kehutanan so lestari. Pada saat situasi hutan dipandang tidak lestari – yang indikasinya begitu lle e kkuat muncul dalam diskursus seputar deforestasi dan degradasi hutan, maka ppertaruhan mengarah pada substansi dan proses konstruksi kebijakan serta interaksi sosial yang telah terjadi, sekaligus aliran pemikiran yang dominan iin ddisebaliknya. Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir dibalik kebijakan uusaha kehutanan serta tali temalinya dengan ”kualitas” kebijakan dan kinerja uusaha kehutanan itu sendiri coba dipahami dan dianalisis dalam penelitian ini ddengan berpegang pada konsep dan teori sebagaimana dijabarkan dalam beberapa sub-bab berikut ini. ssu
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
mengeksplorasi diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi m kkebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi di Luar Jawa. Esensi penelitian iini, n antara lain menggali dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan ddengan kebijakan usaha kehutanan yang telah ada (ex-post). Kecenderungan ddiskursus para pemangku kepentingan usaha kehutanan dieksplorasi melalui ppendekatan analisis kebijakan, khususnya pendekatan antropologi yang fokus ppada narasi kebijakan dan diskursus. Dari serangkaian kecenderungan narasi kkebijakan dan diskursus dapat sekaligus diamati kecenderungan aliran pemikiran ppara pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses konstruksi kkebijakan. B. Kebijakan dan Analisis Diskursus B 1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian Dalam IDS (2002) digambarkan betapa kata ”kebijakan” yang dikenal begitu saja secara luas ternyata tidak mudah untuk dikenali. Layaknya atas keberadaan seekor gajah, kita tahu saat melihatnya dan tidaklah mudah bagaimana kemudian mendefinisikannya. Digambarkan pula, dengan sederet testimoni, bahwa seorang pembuat kebijakan sekalipun tidak serta merta
14 14
menjadi kemudian mudah untuk memahami dan mendefinisikan kata men ”kebijakan”. Observasi IDS (2002) ini berkaitan secara kuat dan lekat dengan ”ke sebuah perkembangan kerangka kerja terkait proses kebijakan. Kerja seb observasi ini antara lain menemukan adanya hubungan teori antara ilmu obs pengetahuan (science), keahlian (expertise) dan kebijakan, kepentingan pen politik, partisipasi publik dan jaringan aktor. Hal disebut terakhir ini pollii po memberikan pemahaman bahwa ”kebijakan” adalah proses jalin-menjalinnya meem m dan dan interkoneksi berbagai hal tadi. Ini setara dengan landasan Sfeir-Younis da (1991) saat menawarkan kerangka pemikiran keduanya ”the forest second”. (1 19 Dalam pemahaman Dunn (2000) analisis kebijakan dipandang sebagai aktivitas intelektual menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses ak kti pembuatan kebijakan. Hal ini dicapai melalui analisis sebab, akibat, dan peem kinerja kebijakan dan program. Penekanan pada unsur ”tentang” dan ”dalam” kiine k n mengandung pengertian terkait penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan meen m dalam dala proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan sendiri dipahami Dunn da (2000) sebagai kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal (plausibel) (2 20 ketimbang kepastian. Dalam pemahaman demikian probabilitas statistik, keti ke t misalnya, diposisikan Dunn sebagai pendukung dalam menegakan klaim mis pengetahuan yang plausibel. pen Masih menurut Dunn (2000), analisis kebijakan mengombinasikan dan meneransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin (sosial, politik, men dll), dll) dan lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu. keb ke Tujuan analisis kebijakan melebar melampaui produksi ”fakta”, yakni Tu T uj memproduksi juga informasi mengenai nilai dan serangkaian tindakan yang meem m dipilih. Dengan begitu, analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan diippii d rekomendasi kebijakan. Sebagai ilmu terapan, analisis kebijakan diposisikan rek o re untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal un u ntu t mengenai tiga macam pertanyaan terkait nilai, fakta dan tindakan tadi. Nilai, meeen m berkaitan dengan pertanyaan apakah pencapaiannya merupakan tolok ukur beeerk b rk utama utam ut am dalam melihat apakah masalah telah teratasi. Fakta, apakah keberadaannya dapat mengatasi dan meningkatkan pencapaian nilai-nilai. keeb k
15
Sementara tindakan, apakah penerapannya menghasilkan pencapaian nilainilai. Untuk menghasilkan itu semua, Dunn (2000) mengenalkan tiga pendekatan, yakni: empiris, valuatif dan normatif yang dapat digunakan salah satu, dua atau seluruhnya. Pendekatan empiris, fokus pada penjelasan sebabakibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pertanyaannya bersifat faktual (= apakah sesuatu ada?) dan informasi yang dihasilkan bersifat deskripsi. Pendekatan
valuatif
menekankan
pada
penentuan
bobot
kebijakan.
Pertanyaannya berkaitan dengan nilai (= Berapa?) dan tipe informasi yang diperoleh bersifat valuasi. Pendekatan normatif fokus pada rekomendasi serangkaian tindakan di masa depan yang dapat menyelesasikan masalah publik. Pertanyaanya, tindakan apa yang harus dilakukan dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskripsi (resep pengobatan). [see THH 671PSL*.*] 2. Bentuk Analisis Kebijakan Bentuk-bentuk analisis kebijakan dikelompokkan Dunn (2000) kedalam tiga kelompok besar: retrospektif (Ex-post), prospektif (Ex-ante) dan integratif. Restropektif fokus pada ”apa yang terjadi” dan ”perbedaan” (gap) apa yang dibuat. Prospektif lebih kepada ”apa yang akan terjadi” dan ”apa yang harus dilakukan”. Integratif merupakan kombinasi keduanya yang fokus pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan dieksekusi. Selain itu, Dunn (2000) meyakini analisis retrospektif mengutamakan hasil-hasil aksi, yang dapat menawarkan kerangka baru dalam memahami proses pembuatan kebijakan, memberi tantangan perumusan masalah, membalik berbagai mitos sosial dan bahkan membentuk opini publik. Sementara itu, Sutton (1999) mengenalkan analisis proses kebijakan dengan sebuah argumen kunci. Dikatakan, bahwa pembuatan kebijakan ”model linier” sekalipun banyak digunakan, tidaklah cukup. Model linear diakui berciri analisis pilihan yang objektif dan adanya pemisahan antara kebijakan dengan implementasi. Sebaliknya, kebijakan dan implementasinya
16 16
merupakan kekacau-balauan dari serangkaian tujuan-tujuan dan kejadian. Itu, mer masih mas menurut Sutton (1999) merupakan hal terbaik atas pemahaman kebijakan dan implementasinya. Dengan argumen ini ia ingin menegaskan keb bahwa kombinasi berbagai konsep dan alat dari berbagai disiplin dapat bah digunakan untuk meletakan beberapa tatanan kepada kekacau-balauan digu kejadian tadi. Kombinasi ini mencakup narasi kebijakan, komunitas kebijakan, keeja k ja analisis diskursus, teori regimes, pengelolaan perubahan (management of ana an change) dan peran dari birokrat jalanan dalam implementasi kebijakan. chha ”Model linear” disebut Sutton dengan beberapa nama, seperti mainstream, common-sense, rational model, dan sering dipandang secara luas sebagai cara co om pembuatan kebijakan. Model ini menggariskan pembuatan kebijakan sebagai pem pe em proses linear pemecahan masalah yang rasional, berimbang, objektif dan prro analitis. Dalam model demikian, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap an na yang yan berurut mulai dari identifikasi masalah atau isu, dan berakhir dengan ya sekumpulan kegiatan untuk memecahkan atau berurusan dengan masalah itu seeku (Gambar 1). (G Ga
Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan Model Linear (Sutton, 1999)
Dibalik model linier ini Sutton (1999) beranggapan bahwa para pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional untuk setiap tahapan logis dari proses, keeb k keb dan mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan. Anggapan da dan bila kebijakan tidak berhasil mencapai tujuanya, kesalahan sering kali laain llainnya, n tiida ttidak da dialamatkan kepada (kualitas) kebijakan itu sendiri, melainkan kepada kegagalan dalam pelaksanaannya (Juma and Clarke 1995 dalam Sutton, 1999). keeg k
17
Kegagalan ini lalu sering dikaitkan, misalnya, kepada kurangnya kemauan politik, miskinnya kerja manajemen, dan kekurangan sumberdaya. Dalam pengamatan Sutton (1999) ada banyak bukti yang menegaskan bahwa model linear semacam ini jauh dari realitas. Keyakinan ini berangkat dari telaahnya, bagaimana ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Diyakini Sutton (1999), bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Selanjutnya, antropologi,
Sutton
diskursus
(1999)
merinci
pembangunan
bahwa
menjadi
dengan
tema
pendekatan
penting.
Disitu
”diskursus” diposisikan lebih kepada sebuah ansambel berbagai ide, konsep dan kategori yang melalui itu semua pemahaman akan sebuah fenomena dibangun. Dalam posisi demikian, diskursus menetapkan sejumlah masalah, membedakan beberapa aspek dari situasi dan mengesampingkan yang lain. Karena berbagai diskursus yang dominan menata cara-cara mengelompokkan orang dan mendefinisikan masalah, ia memiliki akibat-akibat serius yang bersifat materi dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan antropologi juga bekerja menganalisis bahasa dan berbagai pernyataan dalam diskusidiskusi kebijakan. Hal ini, sebagaimana dikemukakan Apthorpe (1986 – dalam Sutton, 1999 dan dalam Shore dan Wright,1997) melepas cara-cara dimana kebijakan (mengalami) depolitisasi dan derasionalisasi, serta menjauhkan tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dari berbagai keputusan yang dibuatnya. 3. Diskursus dan Narasi Kebijakan Dalam menjelaskan pengaruh diskursus atas proses kebijakan, Sutton (1999) menggambarkan bahwa diskursus berfungsi menyederhanakan masalahmasalah pembangunan yang rumit. Diskursus difungsikan menyampaikan kepedulian beberapa kelompok atas kelompok yang lain. Kepedulian yang dominan dengan dukungan diskursus memastikan isu yang menjadi kepedulian, dimana kebijakannya dibuat, memberikan kerangka dimana
18 18
berbagai berb
alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan
dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian dam utama utam adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright (1997), yakni siapa yang memiliki ”kekuatan untuk menentukan”: kerja diskursus-diskursus dominan mem melalui penyusunan kerangka acuan (TOR) dengan tidak membolehkan atau mel mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu men me melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo (1997 – dalam Sutton, meel m 1999), 19 99
yakni ”diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan
cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”. caara Sutton (1999) juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi pem pe em pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah peem dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulian/interest tertentu untuk dom do mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada meen m narasi. nara Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai na pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu peen masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. maas m Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan. Ini terkait kerja Arts dan Buizer (2009) yang berangkat dari pendekatan kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan kele kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini keb dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara dibu pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka praagg pr telah tellaa berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk te turut turu dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di tu Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi Paar P mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaimmer me klaim kllai paham diskursif-kelembagaan. k Menurut Arts dan Buizer (2009) berbagai diskursus baru - termasuk pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah peem p benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni been b en keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta. keea k
19
Kelembagaan diskursif merupakan salah satu penerapan analisis diskursus dari empat pendekatan yang disebutkan Arts dan Buizer (2009), yakni (1) diskursus sebagai komunikasi, (2) diskursus sebagai teks, (3) diskursus sebagai kerangka atau ”frame” dan (4) diskursus sebagai praktek-praktek sosial.
Kelembagaan diskursif merupakan pengembangan yang dilakukan
Arts dan Buizer (2009) dari macam diskursus keempat, yakni praktek-praktek sosial. Dalam pengembangan itu mereka menetapkan setidaknya dua asumsi. Asumsi pertama, berbagai dinamika kelembagaan berasal dari kemunculan ide-ide, konsep-konsep dan narasi baru dalam masyarakat, yang kemudian terlembagakan dalam praktek-praktek sosial sehingga berdampak sosial. Asumsi kedua, ide-ide, konsep-konsep dan narasi yang terlembagakan secara kuat dalam praktek sosial dianggap relevan sekali dalam memahami bagaimana berbagai perubahan kelembagaan terjadi. 4. Diskursus dan Bahasa Pendekatan antropologi juga melihat penggunaan bahasa dalam proses kebijakan itu, sebagaimana telah ditegaskan Sutton (1999). Hal ini disebut “analisis diskursus” tetapi merujuk dalam pengertian diskursus yang berbeda, yakni lebih kepada pengertian percakapan, dialog, bahasa dan pidato sebagaimana juga disebutkan Hawitt (2009). Dari sini berkembang pemahaman Sutton (1999) terkait pemberian label atas kelompok-kelompok (the labelling of groups), pengerangkaan isu yang akan diatasi (the framing issue to be tackled), pembuatan solusi-solusi kebijakan (agar) tampak jelas dan tak perlu dipertanyakan (making policy solutions seem obvious and unquestionable),
dan
mende-politisasi
berbagai
keputusan
kebijakan
(depoliticising policy decisions). Pelabelan atas kelompok dicontohkan dari perencanaan pembangunan yang membuat secara berulang label-label ”kelompok sasaran”, seperti ”miskin pedesaan”, ”petani” atau ”miskin lahan” yang disebut secara berlebihan tapi saat yang bersamaan kurang terdeskripsikan (Wood 1985 dalam Anthrope dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1995). Pelabelan semacam itu memperdaya berbagai kelompok, menyepelekan kerumitan pandangan
20 20
mereka, rentang kepedulian yang mereka wakili dan keragaman pengalaman mer mereka. mer Terkait pengkerangkaan, menyarankan men
bahwa
”bingkai”
Gasper (1996 – dalam Sutton, 1999) digunakan
untuk
mengaitkan
cara
pendefinisian masalah-masalah kebijakan, yang menganalisis secara khusus pen pertimbangan apa yang dicakup dan tidak dicakup. Hajer (1993 - dalam pe p errtt Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999) menyarankan bahwa Ap A pt bekerja untuk membedakan beberapa aspek dari sebuah ppengkerangkaan pe en situasi daripada yang lainnya. Dalam hal ini Apthrope dan Gasper (1996 – si ittuu dalam da d ala Sutton, 1999) menegaskan, bahwa analisis diskursus kebijakan harus menguji pengkerangkaan masalah yang akan ditangani dan hubungannya me m en penyiapan jawaban-jawaban yang ditawarkan. ddengan de en Dalam hal pembuatan solusi kebijakan, Apthrope (1996 – dalam Sutton, 1999) 19 99 menarik aspek penting lain dari penggunaan bahasa dalam pembuatan Ia menganalisis berbagai dokumen kebijakan tertulis dan kkebijakan. ke eb menekankan cara kebijakan di tuliskan terkait kegiatan pemecahan masalah me m en aagar ag ga diperoleh sejumlah langkah pemecahan yang jelas. Digambarkan dimana dokumen menata secara jelas apa-apa yang “yang tak terelakan harus dok dilakukan”, apa-apa “sebagai alasan” dan tidak dapat dinegosiasikan atau dila untuk ditawar-tawar. Kebijakan yang mengklaim untuk dicontoh dalam untu beberapa cara ”terwakili dalam bahasa yang dipilih terutama untuk menarik beb dan membujuk salah satunya. Hal ini biasanya tidak mengundang atau menerima bantahan, terutama ketika sikap moral tertinggi yang diambil, m me en melainkan oleh setiap trik dan kiasan, yang cirinya bersifat tidak dapat me m el dibantah” (Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999) dib d di iba 5.. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir 5 Dalam pengamatan Hawitt (2009) policy-discourse-ina-plus ak.doc, sebagaimana Da D al jjuga ju uga dijelaskan Arts dan Buizer (2009) ada banyak aliran dari analisis diskursus yang mencakup beragam pendekatan metodologis. Menurutnya, di d isk isk beberapa analis yang meneliti bidang-bidang kebijakan publik telah be b eb eb mengembangkan mode-mode pelaksanaan analisis diskursus yang diinspirasi me m en
21
oleh ide-ide Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, sebagai sebuah jalan untuk memahami berbagai dinamika proses-proses politik. Ia lalu secara ringkas melacak berbagai pendekatan yang berbeda yang telah dilakukan para analisis kebijakan publik yang terinspirasi Foucault, menata sifat-sifat bahwa berbagai pendekatan itu memiliki poin-point penting dan perbedaan secara umum. Selain itu ia juga mengeksplor atau menggali berbagai implikasi dari penerapan analisis diskursus atas proyek-proyek penelitian dalam bidang studi kebijakan pedesaan, untuk menggambarkan bagaimana berbagai pandangan baru dapat diperoleh melalui sebuah pendekatan analisis diskursus. Sutton (1999) memastikan bahwa analisis diskursus diposisikan penting dalam pendekatan antropologi, sosiologi dan politik. Disebutkan, analisis diskursus merupakan upaya untuk memahami, memecah dan mendekonstruksi diskursus sehingga perspektif yang diangkat kedalam proses pembangunan dapat dipahami. Analisis diskursus bantu mencari pendekatan alternatif dalam penyelesaian masalah kebijakan.
Apthorpe (1986 – dalam Sutton, 1999)
misalnya, menyebutkan ’selalu saja ada alternatif pilihan lain, dimana beberapa diantaranya mungkin tetap dipertimbangkan lagi, bahkan dari beberapa hal lain yang telah ditolak sebelumnya karena alasan tertentu. Jadi mendekonstruksi diskursus untuk tujuan yang konstruktif. Ada juga upaya ambisius untuk menganalisis evolusi historis diskursus, sebagaimana dikatakan Escobar (1995 – dalam Sutton, 1999) antara lain dengan menguraikan struktur sosial mereka, dan mencurahkan berbagai ide yang mereka wakili. Lebih lanjut Sutton (1999) mengerangka pengertian analisis diskursus kedalam dua keadaan. Pertama, saat yang dimaksudkan adalah cara berpikir dan cara berargumentasi yang melibatkan aktivitas politik penamaan dan pengkelasan, maka analisis diskursus coba mengeksplisitkan nilai-nilai dan idelologi-ideologi yang muncul secara implisit dalam diskursus. Kedua, bila yang dirujuk adalah dialog, bahasa, dan percakapan, maka analisis diskursus berhubungan dengan analisis bahasa yang digunakan dalam pembuatan kebijakan; misalnya penggunaan pelabelan dalam berbagai diskusi kebijakan,
22 22
seperti telah disebutkan di atas, yakni ”petani”, ”miskin desa”, atau ”miskin sep tanah”. tana Sementara Hawitt (2009) menjelaskan secara historis, bahwa tradisi analisis diskursus telah ber-evolusi yang bersandar pada berbagai teori sosial, ana seperti Laclau, Mouffe, Bourdieu dan Foucault. Menurutnya, dan juga sep dijelaskan Arts dan Buizer (2009) gagasan Foucault tentang diskursus telah diijjee d digunakan oleh para analis dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya ia diigu d g menjelaskan, bawa Analisis Diskursus Kritis (CDA) yang dikembangkan oleh men me Fairclough (1995) dan lainnya (misalnya van Dijk, 1997) dalam tradisi Faair F i analisis an na
diskursus
linguistik,
diskursus
dipahami
dari
teks
dan
komunikasi/berbicara, dengan pemahaman bahwa diskursus dibentuk oleh kom ko om praktek-praktek dan interaksi sosial. prra Diskursus Kelestarian C. D Di is 1.. Akar Diskursus Konsep dan istilah kelestarian berangkat dari berkembangnya diskursus Ko K on ”pembangunan berkelanjutan” (PB) sebagaimana dicatat oleh Kaivo-oja et al ” e ”p (Tanpa Tahun – sustainability-advanced-analyisis.pdf). Akar dari diskursus (Ta PB sebagai isu yang dikenali secara mendunia adalah pengembangan hasil dari konferensi pertama PBB tentang ”Manusia dan Lingkungan” di Stockholm pada 1972 dan dari beberapa studi-studi awal yang begitu Sto berpengaruh (lihat misalnya Carlson 1962, SCEP 1970, Meadows et al 1972). berp Konsep PB itu sendiri pertama kali menjadi terkenal dalam dokumen World Koonn Ko Conservation Strategy yang diterbitkan the World Conservation Union pada Coo C Con 1980 198 (IUCN 1980). PB dibahas dan dielaborasi secara menyeluruh oleh 19 Komisi Ko K om Lingkungan dan Pembangunan PBB pada 1987 dalam sebuah laporan yang yaan disebut ”Our Common Future” (WCED, 1987). y Tisdel dan Roy (1996PR-GOVERNANCE-SFM.PDF) dalam menjelaskan tata-kelola dan property rights (PR) menegaskan bahwa kedua hal hhubungan hu ub yang ya y an dijelaskan itu saling terkait erat (closely intertwined) dan memengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam pemahaman pe p em mereka, para ekonom telah cukup lama menyadari pentingnya kedua hal itu me m eer
23
untuk memastikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan kesejahteraan ekonomi. Dalam ilustrasinya Tisdel et al (1996) menekankan bahwa Adam Smith jelas-jelas meyakini bahwa kedua hal dimaksud (PR dan tata-kelola) merupakan langkah awal untuk menjamin kesejahteraan ekonomi negara. Disebutkan, bahwa sekalipun istilah PB tidak begitu populer di zaman Adam Smith, tidak diragukan bahwa dia dan para kawanan ekonom ternama dimasanya, peduli dengan cara mencapai pembangunan dan keberlanjutan dari capaian pembangunan itu. Tisdel et al (1996) mengambil contoh keterkaitan kerja-kerja David Ricardo, Karl Marx dan Stuart Mill. Marx, katanya, peduli atas keberlanjutan sistem pasar kapitalis, sementara Ricardo dan Mill peduli pada cara mengaitkan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas yang akan membatasai pertumbuhan ekonomi. Ricardo dan Mill bahkan peduli bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan berlanjut sehingga sistem ekonomi akhirnya akan sampai pada keseimbangan dimana mayoritas populasi hidup pada tingkat subsisten. Dalam keyakinan Tisdel, kebanyakan ekonom, kecuali Marx, berasumsi bahwa sistem private property rights (pada gilirannya) akan berlaku; tanpa (perlu) secara khusus menelaah pengaruh property rights atas kegiatan ekonomi. Etos atau jiwa PB, menurut Kaivo-oja et al (tt), telah disepakati dan mendapat konfirmasi berbagai negara pada Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan PBB (UN, 1993) di Rio de Janeiro pada 1992. PB diekspresikan secara garis besar sebagai sebuah etos dalam sebuah laporan yang disebut Brundtland Report, yakni bahwa ”manusia memiliki kemampuan untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” (WCED, 1987). Dari diskursus selanjutnya, pengertian PB dikonstruksi dalam tiga dimensi: ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Dalam dimensi lingkungan, PB merujuk pada adaptasi perekonomian dan teknologi atas kendala-kendala dan tantangan lingkungan. Dimensi sosial merujuk pada perlunya memberi perhatian pada penciptaan kesejahteraan bagi keadilan
24 24
sosial sosi dan solidaritas global daripada kepada isu profit para pemegang saham. Berbagai kebijakan PB, dengan begitu, dipandang harus memberikan prioritas Ber bagi bag mereka yang miskin, dan untuk mencapai keadilan yang lebih baik, baik dalam dala generasi (intra-generational equity) maupun antar generasi (intergenerational equity). gen
Kaivo-oja et al (tt) lalu merinci etos PB kedalam empat pilihan utama, yakni yaak (1) Memerangi kemiskinan, beragam kerugian dan kondisi ekonomi y yang yaan tidak seimbang, terutama di negara berkembang; (2) Menghentikan y pengurasan sumberdaya dan kerusakan lingkungan dan menerima kelestarian peen p sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sebuah standar kualitas dalam suum urusan manusia dan kemanusiaan, (3) Mengamankan bagi generasi mendatang uru ur kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan kebebasan memilih kes ke sebagaimana kita nikmati, (4) PB adalah sebuah proses interaksi dalam tiga seeb dimensi yang memberikan sebuah masa depan manusia yang adil dan setara diim d secara seeca sosial, lestari secara lingkungan maupun ekonomi serta secara politik dan dan cultural bebas dan inovatif. da
Dalam sebuah dunia yang serba terbatas, seperti yang kita miliki, dimana populasi manusia diduga dua kali lipat sementara kehilangan dan kerusakan pop modal mod alam dalam kondisi (terus) meningkat, menurut Kaivo-oja et al (tt) tantangannya kemudian adalah tingkatan akumulasi pengetahuan. Bila berada tant dalam keadaaan tidak sinkron dengan masing-masing sumberdaya lainnya, dala da dala l sungguh akan menjadi kendala bagi upaya memenuhi berbagai kebutuhan sun su dasar daas bagi semua, baik secara periodik maupun spasial. Pada dasarnya, d das berangkat dari opsi-opsi utama pada etos di atas, (kehidupan) manusia bera be r merupakan sebuah evolusi bersama alam dalam menuju masyarakat global mer me yang yaan y an berkelanjutan berdasar pengembangan kearifan dan pengembangan pengetahuannya; atau sebuah fragmentasi persaingan dari masyarakat dan peen p meruntuhkan sistem pendukung kehidupan – bahkan dalam kasus terburuknya mer me – menghilangkan peradaban. Pilihannya terutama adalah persoalan etika dan m
25
sosial budaya, dan di tempat kedua, barulah persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis (Malaska, 1971, 1972).
2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB) Kaivo-oja et al (tt) menganggap pengembangan PB sebagai sebuah arah perubahan dan ini penting untuk dapat memonitor bila sebuah arah pembangunan yang tepat telah ditemukan dan dipelihara. Dari banyak pustaka ia menghimpun sejumlah pendekatan PB, seperti – beberapa yang paling penting – dikemukakan berikut ini. Pendekatan Hick. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa teori pertumbuhan neoklasik telah menyatu dalam kendala-kendala sumberdaya alam dalam doktrin ekonomi (Hicks 1946, Page 1977, Solow 1974 dan Hartwick 1977). Menurut pendekatan ini ide tentang kemajuan atau keberhasilan dinyatakan sebagai konsumsi barang (dan sumberdaya alam) yang tidak menurun dari waktu ke waktu (non-declining consumption). Pendekatan ini dapat dianggap sebagai sebuah penajaman metafor dari PB, menggantikan konsep PB yang dikendala oleh pertumbuhan (Cassier 1946, 1985). Akibatnya dari kepedulian pokoknya ini PB dinyatakan lebih sebagai efisiensi antar-generasi daripada kesempatan yang setara (equal opportunity). Menurut pendekatan ini, konsumsi yang tidak-menurun menurut waktu mungkin saja terjadi, bahkan untuk sebuah kasus perekonomian yang hanya memanfaatkan sumberdaya tak dapat pulih (misal minyak) dalam prosesproses ekonominya. Hartwick (1977) memperlihatkan bahwa sejauh sediaan modal (stock of capital) tidak menurun menurut waktu, konsumsi yang tidakmenurun adalah mungkin. Dalam term teori, sediaan modal dapat dibuat konstan dengan menginvestasikan ulang semua hasil dari ekstraksi sumberdaya alam yang tidak dapat pulih kedalam modal buatan manusia (Hotelling 1931, Kasanen 1982). Mengikuti aturan ini, karena sediaan minyak (salah satu modal alam) berkurang, maka sediaan modal-manusia dibangun untuk menggantikannya. Hasil ini sangat penting untuk membangun ide baru dari ekonomi PB. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yang kuat tentang dimungkinkannya substitusi antara modal alam dan modal manusia.
26 26
Pendekatan London. Ini pendekatan berbeda yang menurut Kaivo-oja et al ((tt) dikerangka untuk memecahkan masalah keterbatasan manfaat dari substitusi ke kelestarian antara modal alam (Kn) dan modal buatan manusia sub (Km) (Km (Pearce et al 1990, Klaases and Opschor 1991, Pearce and Turner 1990). Menurut aliran ini beberapa substitusi adalah mungkin antara beberapa elemen Me dari daarrii Kn dan Km, sementara berbagai elemen lainnya dari Kn memberikan d hanya haan jasa-jasa yang tidak dapat disubstitusi bagi perekonomian. Sebagai h contoh, ada beberapa spesies tertentu yang harus dilindungi (Turner 1993). co on Pertanyaan strategis yang penting disini adalah: berapa banyak Kn harus Peer P dilindungi? Tiga kemungkinannya: (1) keseluruhannya pada level yang ada, dili di (2) (2 2) level itu konsisten dengan memelihara elemen-elemen kritis dari Kn, atau (3) (3 3) jumlah tertentu di antaranya. Problem penting dari pendekatan ini adalah keharusan berasumsi bahwa kita dapat mengukur nilai dari Kn kapan saja. keh ke Dalam prakteknya, sulit juga untuk mengukur elemen-elemen berbeda dari Kn Daal D a dalam dala satuan fisik dan moneter. Dengan bantuan analisis aliran materi, da beberapa beeb
aspek
dari
Kn
telah
dianalisis.
Van
Pelt
(1993)
telah
mengidentifikasi masalah lain terkait konsep sediaan modal alam yang tetap. meen m Ada beberapa pertanyaan terkait agregasi spasial: diantara area geografis mana man kita harus pertahankan sediaan konstan? Satu solusinya adalah bekerja dengan data agregasi yang tidak begitu banyak dan lakukan analisis beragam den elemen Kn secara terpisah. Namun masalah lain muncul saat tingkat elem perubahan intrinsik alam diperhitungkan. Pengaruh manusia harus diukur atas peru tingkat alami perubahan. Alam berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya ting ti ing g dalam beberapa kasus berbagai laju perubahan ini penting bagi kehidupan dala da l yang yaan terus menerus, karena hidup beradaptasi dan bergantung pada alam. y Dengan menganggap bahwa persoalan agregasi dari modal alam dapat dipecahkan sedemikian rupa, pendekatan ini mengusulkan aturan bagaimana dipe dip di mencegah deplesi modal alam dibawah beberapa poin dari tingkat tetap yang meen m disyaratkan. Aturan ini berdasarkan pada diskonto nilai moneter dari dampak diisy d atau aattau au dukungan lingkungan, apakah bersifat biaya, atau manfaat. Dengan begitu, beeg b eg
keseluruhan
PB
direduksi
menjadi
sekedar
perekonomian; kelestariannya sendiri tetap tak terpecahkan. peere p r
ekonomi
dan
27
Pearce dan Aktinson (1995) terus mencoba mengembangkan berbagai indikator dan ukuran PB. Definisi yang diterima begitu luas, dalam pengakuan Pearce dan Atkinson (Kaivo-oja et al, tt) adalah pembangunan ekonomi dan sosial per kapita dari waktu ke waktu. Masalahnya, apakah hal itu diukur secara sempit (misal PDB per kapita) atau secara luas (dalam bentuk kesejahteraan ekonomi seperti IPM, kesehatan dan pendidikan dsb). Saat ini kebanyakan peneliti akan lebih suka memilih kriteria yang lebih luas sebagai ukuran yang dianggap relevan. Dalam hal ini Pearce dan Atkinson menambahkan hal penting lain untuk kelestarian, yakni bahwa modal suatu negara seharusnya tidak menurun/berkurang dari waktu ke waktu. Konsep modal yang digunakan mereka sangat luas, termasuk modal fisik, modal manusia dan modal alam. Keluasan konsep modal ini, menurut Pearce dan Atkinson (1995) pernah dikenalkan Orio Giarini, yang disebutnya sebagai ”warisan”, dalam sebuah laporan kepada Club of Rome pada 1978. Aturan terkait apa yang disebut Pearce dan Atkinson sebagai sediaan modal alam yang tetap, memiliki dua varian: aturan terkait kuat dan lemahnya kelestarian. Lemahnya kelestarian terjadi saat sediaan modal total – fisik, manusia, dan alam – tidak berkurang dari waktu ke waktu. Sebuah perekonomian adalah lestari saat tabungannya melebihi depresiasi dari modal alam dan modal manusianya. Dalam varian ini, pembangunan lestari bahkan bila satu komponen (misal modal alam) menurun, yang membuat sediaan modal total tidak berkurang. Agar ini menjadi kriteria yang berguna, maka penting bahwa elemen yang berbeda dari sediaan modal dapat saling menggantikan. Misalnya, bila sebuah kehilangan satu ekosistem tertentu mampu dikompensasi oleh sebuah peningkatan dalam pengetahuan manusia. Artinya, berbagai kehilangan ekonomi dan lingkungan terkait ekosistem tadi lebih dari sekedar setimpal oleh manfaat dalam (peningkatan) modal manusia, sejauh stabilitas dan kelenturan sistem secara keseluruhan tidak tertekan dalam proses substitusi. Varian kedua, kelestarian yang kuat, mengupayakan modal lingkungan (atau modal alam) sebagai tempat khusus. PB dicapai, dalam pengertian yang kuat, bila secara khusus sediaan modal lingkungan negara tidak menurun.
28 28
Pearce dan Atkinson (1995) mengemukakan bahwa seseorang mungkin saja Pea memodifikasi ketentuan ini. Beberapa bagian dari sediaan modal agaknya mem menjadi begitu penting, yakni menyediakan jasa-jasa lingkungan yang tak men ternilai dan tidak tergantikan bagi kegiatan ekonomi. Bila diistilahkan sebagai tern modal mod alam yang kritis, lalu versi modifikasi dari versi PB yang kuat mengharuskan bahwa pembangunan tidak mengakibatkan sediaan modal alam men me yang yaan kritis menurun menurut waktu. Pearce dan Atkinson menilai y pandangannya atas kelestarian dengan data beberapa negara, dan memaparkan paan p bahwa baah Finlandia adalah sebuah perekonomian yang lestari dalam pemahaman yang yaan lemah, tidak kuat (Pearce dan Atkinson 1995) y 3. 3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari 1 MacCleery Maa M [sustainability-forest-definition.doc] menegaskan bahwa banyak usaha
yang ya y an telah dan sedang ditempuh untuk mendefinisikan kelestarian hutan atau pengelolaan hutan lestari. Ia yakin, bahwa pengelolaan hutan lestari pe en merupakan sub-set dari PB. Menurutnya, ada setidaknya lima hal penting me m er dalam upaya pendefinisian – baik kelestarian (ekosistem) hutan, maupun da d ala l pengelolaan hutan lestari: (1) perlu contoh nyata penerapannya, (2) perlu pen memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan, (3) perlu pendekatanmem pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, (4) perlu pertimbangan skala pen ekonomi dan sosial, dan (5) paham akan ”self sustaining”. Dalam refleksinya eko MacCleery merinci posisi pentingnya kelima poin dimaksud sebagaimana Ma disarikan berikut ini. di d issaa Definisi ”kelestarian” dan aksioma ekosistem itu dibincangkan lebih di tataran akademis, daripada aplikasinya di dunia nyata. Sebaliknya, definisi tta ata ta perlu pe p errll disertai dengan teladan-teladan yang nyata sehingga dapat dirasakan sebuah ekosistem (hutan) memenuhi atau menyimpang dari ide bbahwa ba ah kelestarian. Sebagai misal, akankah sebuah ekosistem hutan di suatu tempat ke k ele l yang ya y an ditebang secara berlebih dan dibakar pada akhir abad 19, tetapi kemudian pulih, disebut lestari berdasar sebuah definisi tertentu? Apakah ke k eem m 1
Doug Do oug MacCleery M saat melakukan refleksi atas artikel Dave Iverson dan Zane Cornett “A Definition of Susta ainab ai nnaab Sustainability for Ecosystem Management”. (http://forestry.about.com/gi/o.htm?zi=1/ - tulisan lepas, diakses 8 November 2010) No ove vem vemb
29
ekosistem (hutan), karenanya, memiliki integritas? Lalu, bagaimana dengan hutan-hutan di Skandinavia yang telah dikelola manusia setidaknya selama enam ratus tahun yang lalu? Tentu saja, kegiatan manusia telah menghabiskan keseluruhan atau kebanyakan suksesi hutan dan telah membuang berbagai sifat spesies dari hutan alam – sebuah kehilangan komponen kekompleksan ekosistem hutan. Namun, dari pandangan lain, berbagai hutan itu telah memperoleh
kembali
aspek-aspek
kompleksitas
ekosistemnya
yang
sebelumnya hilang tadi, sebagaimana dibuktikan oleh pulihnya populasi banyak spesies hidupan liar dan berkembangnya komponen-komponen hutan yang matang. Dalam banyak pandangan, hutan-hutan semacam itu tampak lestari bagi tujuan pengelolaan yang mereka lakukan saat ini, dan juga memiliki kapasitas untuk dikelola untuk tujuan-tujuan lainnya di masa depan, bila memang diperlukan. Pertanyaan MacCleery kemudian, bagaimana ini semua dipertimbangkan dalam sebuah definisi ”kelestarian hutan”? Banyak upaya pendefinisian kelestarian berfokus sebagian besar pada konsep-konsep dan kriteria biologis. Diskursus kesehatan ekosistem dan keanekaan hayati biasanya dituangkan dalam jargon para ahli biologi, ahli lingkungan dan para profesional sumberdaya alam. Yang biasanya tidak terekspresikan adalah sekumpulan nilai sosial dan budaya penting yang justru mereka jadikan dasar. Manusia kadang lupa bahwa ekosistem (hutan) itu bebas nilai – mereka ada apa adanya. Kelestarian hutan dan kesehatan ekosistem keseluruhannya merupakan konstruksi manusia. Adalah manusia yang mendefinisikannya dan menganggapnya bernilai itu. Sementara alam menyediakan konteks biologi dan fisik, adalah manusia yang kemudian memutuskan apa yang harus dicari agar lestari dan dengan biaya berapa. Namun, tidak semua manusia memberikan nilai yang sama baik kepada hutan maupun keanekaan hayati. Lihat saja posisi Amerika dan negara maju lainnya yang hari ini mempertanyakan kondisi hutan hujan tropis di negara berkembang seperti Brazil dimana hutan-hutan itu berada. Saat ini muncul sebuah diskursus intelektual yang menghebat yang sedang berlangsung antara mereka yang mengadvokasi apa yang disebutnya pendekatan-pendekatan ”biocentric” kepada para pengambil keputusan, sebagai lawan atas
30 30
pendekatan-pendekatan ”anthropogenic”. Sebagai sebuah polemik ini pen menarik, karena menurut MacCleery dalam banyak hal ini serupa dengan men diskursus pilosofis yang terjadi pada abad pertengahan, tentang berapa disk malaikat dapat menari di atas sebuah peniti atau lencana. Artinya, harus ada mal kekuatan untuk memutuskan apakah kita menjadi bagian atau terpisah dari kek dunia du d un nyata. Sebuah pendefinisian kelestarian hutan perlu menimbang ini semua. seem Terkait pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, ada satu pendapat Renh Reen sebagai alternatif. Melalui bukunya, ia sebetulnya menjawab ”Our R Common Future” yang disiapkan World Commission on Environment dan Coom C Development pada 1987 (biasanya disebut ”Brundtland Report”) yang Dev De mendefinisikan PB sebagai ”memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa meen m mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi me men me kebutuhannya”. Dalam pencermatan MacCleery, Renh setidaknya mendaftar k eb ke tiga tiiga definisi ”kelestarian”, yakni (1) ”pembangunan dengan pertumbuhan yang tidak tiiddaa melewati jauh kapasitas daya dukung lingkungan”, (2) sebuah kondisi kesejahteraan per kapita lintas generasi yang tidak menurun, (3) jumlah kes ke konsumsi yang dapat berlanjut tanpa batas, tanpa merusak sediaan alam – kon termasuk sediaan modal alam. Dalam pandangan MacCleery ketiga usulan term Renh Ren ini, mencerminkan keterkaitan dengan kemanusiaan yang lebih kuat, daripada definisi yang ditawarkan ”Brundtland Report”. Bagi MacCleery yang dari penting pen
dalam
upaya
pendefinisian
kelestarian
adalah
bagaimana
mempertemukan sisi alam dan sisi kemanusiaan dalam sebuah rumusan mem me mem persamaan. peers p Hari-hari ini sering ditunjukkan bahwa ekosistem (hutan) harus dipelajari pada pad skala atau tingkatan yang berbeda – dari tingkat situs, ke bentang darat, pa ke regional, nasional dan global. Namun, bagi MacCleery yang perlu ke tingkat t juga juga menjadi diskursus adalah fakta bahwa saat ini berbagai perekonomian ju dan daan masyarakat manusia berkait juga dengan berbagai skala. Berbagai d keterkaitan itu memiliki beragam konsekwensi lingkungan yang juga harus keeette k te dipertimbangkan diiipe d p pe
dalam
menilai
kelestarian
hutan.
MacCleery
lalu
mencontohkan kebijakan pengurangan pemanenan kayu di Pacific Barat Laut meen m
31
untuk melindungi populasi burung hantu (spotted owl) yang pada akhirnya tidak menghilangkan dampak dari pemanenan kayu. Kebijakan ini hanyalah memindahkan burung itu ke ekosistem lain. Sementara, kebijakan ini juga menyebabkan meningkatnya harga konsumer untuk produk-produk kayu dan meningkatnya konsumsi barang pengganti kayu, seperti rangka baja, yang membutuhkan lebih banyak energi untuk memproduksinya daripada kayu, sehingga mengeluarkan lebih banyak CO2 ke atmosfir. Kita dengar banyak retorika akhir-akhir ini tentang perlunya berpikir secara holistik – bahwa segala sesuatu itu terkoneksi. Dengungnya adalah ”think globally act locally”. Dalam pemahaman MacCleery dengungan ini menerap secara bersamaan baik kepada aliran dagang dan ekonomi maupun kepada ekosistem alam. Namun yang kita lihat adalah banyak orang bertindak secara lokal dan mengabaikan hal-hal yang sifatnya global. Banyak dari retorika saat ini terkait pengelolaan ekosistem pada hutan alam tertelan akibat ide ini. Kita sebenarnya mengabaikan implikasi-implikasi atas lingkungan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan alam. Itu tentu bukanlah pengelolaan ekosistem (hutan) yang seharusnya. Kecuali dan sampai konsep tentang kelestarian benar-benar meliputi dimensi-dimensi kemanusiaan global dan nasional ini, maka apapun definisi kelestarian pastilah ”terbatas” dan ”sempit”. Seringnya penggunaan kata ”self-organizing” dalam merujuk ke ekosistem, disengaja ataupun tidak telah meningkatkan keseluruhan rentang berbagai citra dan konsep kelestarian. Misalnya pandangan Clemential atas alam sebagai ”superorganism”, yakni ide tentang bagaimana alam mencapai satu keseimbangan bentuk tetapnya, yang imbang dengan ”klimaks” kelompok tanaman (self-sustaining dan self-replicating), menjadi ”tujuan” akhir dan norma dari ”nature’s grand design”. Dalam dosis tertentu, bahkan ekosistem yang begitu rusak sekalipun akan memiliki beberapa dimensi yang dapat disebut sebagai self-organization. Pertanyaan MacCreely lalu, bagaimana seseorang menentukan kapan sesuatu telah menjadi tidak lestari? Lagi, ini kembali ke berbagai tujuan dan nilai-nilai kemanusiaan terkait tentang apa yang ingin dilestarikan dari waktu ke waktu. Apakah motivasi kita mencerahkan kepedulian sendiri (self-interest), atau satu perasaan bahwa
3322
semua sem bentuk kehidupan memiliki hak untuk hadir, kita lah yang menentukan apa yang akan kita cari agar lestari (self sustaining). Untuk mendefinisikan ”kelestarian” secara abstrak agaknya hampir mustahil. Satu dekade lebih lalu Marion Clawson bertanya, ”Hutan untuk mus siapa siap dan untuk apa?”. Berbagai pertanyaan yang sama seperti itu juga penting dalam daallaa mendefinisikan kelestarian. Sebelum seseorang dapat mendefinisikan, d maka maak ia haruslah bertanya, ”Kelestarian, untuk siapa dan untuk apa?” Begitu m pertanyaan itu diangkat, maka tugas menjadi lebih bisa dikelola (manageable), peert p r meskipun masih tetap rumit. McCleery curiga bahwa sementara berbagai mees m pertanyaan itu masih relevan hari ini, jawaban kita sekarang mungkin berbeda peert p dengan jawaban saat Clawson pertama kali bertanya. Dan memang belum atau den de tidak tiida ada konsensus pula untuk itu. Apa mungkin untuk mengembangkan berbagai strategi rasional untuk kelestarian hutan yang melampaui banyak dekade, atau bahkan abad, ketika keele k el konsep-konsep kemanusiaan tentang apa yang ingin dilestarikan begitu k on ko bersifat ilusi? Kapan pertumbuhan populasi perkotaan begitu terpisah dari beers pengetahuan tentang apa yang melestarikan mereka secara ekonomi, dan peen p akibat-akibat lingkungan dari pilihan konsumsi mereka? Dan kapan pula dunia akib ini begitu rumit? Terkait berbagai pertanyaan ini, MacCleery sampai pada tiga b poin kesimpulan: Pertama, memahami masa lalu dan memahami bagaimana sampai pada hari ini. Kini begitu banyak pikiran kolektif yang tidak beres pada saat memahami sejarah manusia dan alam dari ekosistem dan peran dalam mem e melestarikan komunitas manusia. mel me Kedua, kuasai data dan informasi yang lebih baik, melalui riset dan inventarisasi hutan, untuk menilai dimana kita hari ini dan untuk membantu inve in ve kita kittaa mengerti akan implikasi-implikasi biologi dan sosial dari berbagai ki pendekatan alternatif kepada kelestarian hutan pada beragam tingkatan. peeenn p Ketiga, fleksibel tentang masa depan dengan tetap merespon informasi baru baaarru b ru – sering disebut sebagai ”adaptive management” dengan paradigma pengelolaan ekosistem. Namun, harus diwaspadi, yang paling rawan disini peen p adalah merubah ide manusia tentang nilai dan tujuan kelestarian – apa yang aad da
33
dilestarikan. Mengkonstruksi konsensus sosial global tentang nilai/tujuan ini merupakan satu tantangan besar tersendiri. Sementara itu Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menggiring kelestarian hutan pada pemahaman beberapa poin penting, yakni (a) rasional bukan sekedar efisiensi ekonomi, menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan – pada saat fokus pada tegakan dan pohon; (c) memerhatikan betul sediaan dan aset sumberdaya hutan (d) siap atas hal-hal tak terduga dan mengupayakan pencegahan dalam pengelolaan hutan; dan (e) rancangan kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian. Secara ringkas poin-poin ini menegaskan bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Dalam pandangan Coase (1960) efisiensi ekonomi adalah efisiensi dari sebuah alokasi ekonomi dengan kehadiran eksternalitas, dimana eksternalitas dapat dipertukarkan saat tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost). Maka menurutnya, proses tawar menawar yang berlangsung dalam kondisi demikian akan menuju pada hasil yang efisien, terlepas bagaimana tatanan awal dari property rights. Artinya, proses internalisasi eksternalitas perlu aturan langsung, misal berupa pajak. Namun demikian, ia menegaskan bahwa sampai disini kelestarian hutan baru memenuhi unsur distribusi pendapatan optimal, belum mencakup sifat intrinsik atau karakterik inherent SDH dan kesempurnaan property rights. Karakteristik inherent dalam pandangan Schmid (1987) mencakup: penggunaan yang tidak kompatibel (incompatible use), skala ekonomi (economies of scale), dampak bersama (joint-impacts), biaya transaksi (transaction costs), kelebihan (surpluses), dan fluktuasi pasokan-permintaan (fluctuating supply and demand) - sifat situasional, persoalan fisik dan biologi yang melekat pada barang, bervariasi akibat perubahan teknologi. Dengan kata lain ia menekankan perlunya menimbang ”situasi” dari sisi atribut barang yang
berpengaruh
signifikan
–
ia
menyebutnya
sebagai
”sumber
3344
interdependensi”. Dalam kalkulasinya, biaya transaksi tinggi, cenderung tidak inte lestari. Dengan begitu, pengendalian sumber interdependensi penting untuk lest menekan biaya transaksi, sekaligus mencapai kelestarian. men Sejalan dengan Coase (1960), Libecap (1999) menguatkan bahwa masyarakat dan tatanannya perlu property rights untuk mengontrol akses dan mas aliran alir al alir ir
manfaat
sumberdaya,
terutama
untuk
menghindari
hilangnya
sumberdaya tersebut. Menurutnya, tanpa property rights sumberdaya akan suum terhambur dalam persaingan kontrol, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat teerh rh pemangsaan serta menekankan pada pemanfaatan jangka pendek. Dengan peem p begitu, property rights penting bagi pencapapaian kelestarian, karena di beg be dalamnya diatur hubungan perilaku yang memiliki sanksi antara para agen dala da ekonomi dalam mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya. ek ko 4.. Kondisi Pemungkin bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik Dari Dar mulai uraian akar diskursus kelestarian sampai konsep kelestarian Da sebagaimana diuraikan di atas secara teoretik dapat dikerangka sebuah kondisi seeb pemungkin bagi kelestarian sumberdaya hutan. Kondisi ini dapat dikerangka peem p kedalam (1) penetapan tujuan, (2) ked
pemosisian para pihak, termasuk (3)
kejelasan siapa berbuat apa, (4) apa yang diatur, bagaimana hal tersebut keje masing-masing diatur, (5) bagaimana kinerja ditetapkan, serta (6) bagaimana mas kinerja kine dicapai. Sebagai sub-set dari PB, menurut MacCleery (tt), kelestarian sumberdaya hutan huuta memikul tujuan ganda: (1) ekonomi pembangunan, khususnya h huta memerangi kemiskinan, (2) lingkungan, terutama menghentikan pengurasan mem me sumberdaya alam dan lingkungan, (3) keadilan-kesejahteraan lintas generasi, sum su dengan memastikan berlangsungnya (4) proses-proses interaksi tiga dimensi: deen d sosial-ekonomi-lingkungan. sosi so Tujuan ganda di atas menegaskan pengutamaan orientasi kepentingan publik puub atas nama pembangunan hutan dan kehutanan yang sekaligus menuntut p pembagian peran, fungsi dan tugas – bahkan posisi – para pihak pemangku peem p kepentingan. Hal ini menjadi titik berangkat bagaimana bangunan hubungan keep k ep para paara p r pihak dikonstruksi. Orientasi kepentingan publik yang begitu dominan,
35
menuntut peran pemerintah untuk lebih konsentrasi sebagai regulator bagi komponen pemangku kepentingan hutan lainnya, memastikan hubungan antar komponen pemangku kepentingan dan hubungan mereka dengan sumber daya hutan itu sendiri dengan melibatkan keseluruhan para pihak pemangku kepentingan potential (potential benefeciaries). Lalu, bagaimana wujud agenda yang berkaitan dengan penghentian kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta keadilan-kesejahteraan lintas generasi ditetapkan, menjadi kondisi pemungkin yang juga penting bagi pencapaian kelestarian. Tuntutan pembagian peran, fungsi dan bahkan posisi para pemangku kepentingan pada hakekatnya adalah gambaran pentingnya upaya pemenuhan dua hal sekaligus, yakni (1) kejelasan dan ketegasan property rights, dan (2) dipertimbangkannya karakteristik inherent SDH dalam menata orientasi kepentingan publik dan menekan biaya transaksi. Bila dicermati, kedua hal ini pun merupakan upaya untuk mencapai efisiensi dan sekaligus keadilan antar generasi, dua dimensi kemana sejatinya kelestarian harus diletakkan. Uraian bagaimana kelestarian dan pencapaiannya harus dimaknai baik secara filosofis maupun operasional, sebagaimana dijabarkan di atas, pada dasarnya mengerucut pada perlunya para pihak pemangku kepentingan memastikan kerangka pemikiran sebagaimana telah ditawarkan Sfeir-Younis (1991) antara ”the forest first” atau ”the forest second”. Rincian sintesis teoretik ini selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1. D. Metodologi D 1. Kerangka Pendekatan Berangkat dari uraian kerangka konsep dan teori di atas, penelitian ini mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) Dunn (2000) yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan (gap) yang ada – yang secara keseluruhan menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif). Dengan adopsi ini, hasil analisis juga berupaya menawarkan kerangka baru, terutama terkait pembaruan aliran kerangka pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan dan perumusan masalah (normatif).
36 36
Asumsinya adalah, sebagaimana yang dikerangka Sutton (1999), bahwa pembuatan kebijakan, terutama implementasinya tidaklah linear, dan pem sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian tujuan seb dan kejadian. Ia menganggap itulah sisi terbaik dalam memahami apapun kebijakan dan implementasinya. Sejalan dengan pengadopsian asumsi ini, keb penelitian ini menganggap bahwa (1) para pembuat kebijakan mendekati isu peen p tidak tiida d selalu secara rasional untuk setiap tahapan pembuatan kebijakan, (2) tidak tiiddaa selalu mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan, sehingga (3) (3 3) bila kebijakan tidak mencapai tujuannya, kesalahan harus dialamatkan kepada kualitas kebijakan dan tidak hanya kepada kegagalan dalam kep ke pelaksanaannya seperti disinyalir Juma and Clarke (1995, dalam Sutton, pel pe ela 1999). 1999 Sebagai konsekwensi dari pengadopsian asumsi di atas, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multimeen m konsep dan multi-disiplin yang tepat dalam mengurai ”kekacau-balauan” atau kon ko ”ketidak-linieran” sebagaimana telah disarankan Sutton (1999). Keyakinan ”k ke Sutton ini berangkat dari telaahnya, betapa ilmu politik, sosiologi, Sut Su antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi antr proses pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang pro lebih lebi besar dari proses pembuatan kebijakan. Sutton (1999) yakin, bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada antr diskursus pembangunan. Diskursus sendiri dipahami Sutton berfungsi disk menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Sebagai men me konsep kedudukan diskursus lebih luas daripada narasi, karena ia berhubungan kon ko dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental tentang deen d den berbagai isu; sementara, narasi lebih kepada satu masalah pembangunan berrbb be tertentu yang lebih spesifik. Grilo (1997 – dalam Sutton, 1999), sampai pada terrtt te posisi poooss p
bahwa
”diskursus
(itu)
mengidentifikasi,
membicarakan
dan
memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan meem m e pembangunan”. peem p Dengan berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini menerapkan analisis diskursus dengan ciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan diissk d k
37
Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pilihan ini lebih berlatar pertimbangan pragmatis dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan, termasuk berpartisipasi secara intens dan praktis dalam beberapa proses konstruksi kebijakan kehutanan 2 . Pertimbangan substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting dalam mempelajari kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang. Fokus pada kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Penelitian ini sejalan dengan kerja Arts and Buizer (2009) yang menganalisis kebijakan kehutanan global sejak 1980an. Menurutnya, pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu diskursus baru yang muncul di tataran global dalam tiga dekade terakhir, selain diskursus keanekaragaman hayati dan tata-kelola swasta. Namun, tidak seperti mereka, penelitian ini lebih banyak pada pilihan diskursus sebagai teks (texts). Disebut ”lebih banyak”, karena dalam beberapa hal analisis diskursus juga berlaku pula pada komunikasi empiris, kerangka (frame) dan praktek sosial, mengingat teks itu sendiri pada hakekatnya – ditarik dari penjelasan Arts and Buizer (2009) – tidak kepas dari sebuah konteks tertentu, yang dapat saja bersumber dari proses komunikasi empiris yang terjadi (communications), kerangka keyakinan (frame) maupun praktek-praktek sosial yang berkembang (social practices). Dengan komunikasi empiris demikian, analisis diskursus dalam penelitian ini pada dasarnya merujuk pula pendekatan analisis diskursus kritis yang diusung Fairclough dan juga van Dijk sebagaimana disebut Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009). Dalam praktek sosial yang sama, selain kerangka pikir, coba dipahami pula relasi kekuasaan dibalik diskursus, yang tidak lain, merupakan ide-ide Foucault tentang diskursus dengan kekuasaan sebagaimana dimaksud Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009) dan juga
2 Antara lain berkontribusi – melalui Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) – dalam penyiapan naskah A aak akademik dalam rangka pembuatan draft naskah “tandingan” bagi draft UU Kehutanan, yang kini menjadi UU 41/1999 ttentang te e Kehutanan; berkontribusi aktif dalam pembahasan terkait kebijakan levy and grant dan land grant college dengan ppara a Staf Ahli Menteri Kehutanan; dan juga dalam pembahasan LOI bidang kehutanan, terkait lelang HPH, provisi ssumberdaya hutan, dan dana jaminan kinerja (performance bonds). su
38 38
Mills Mil (1997). Selain relasi kekuasaan Foucault, dari diskursus yang sama coba dipelajari pula sejauh mana hadirnya dominasi atau bahkan hegemoni dalam dipe pemikiran pem
Gramsci
Marxist.com) Ma
3
sebagaimana
dimaksud
Rosengarten
(www.
Dalam penelitian ini kerangka teoretik kelestarian sebagaimana telah diuraikan di atas – dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1 – digunakan diiuurr d sebagai alat bantu dalam menakar dan memahami diskursus yang telah terjadi se eb terkait arah, tujuan dan orientasi kelestarian hutan dan kebijakan usaha te erk rk kehutanan. Gambar 2 menujukkan kerangka pendekatan ini secara skematis. keh ke
Gambar 2 Kerangka Pendekatan 2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara, dan On-Line Pooling Bahan Ba B ah empiris untuk penelitian ini terdiri dari dokumen tertulis, dokumen hhasil ha as wawancara mendalam dan hasil on-line polling sebagai pengayaan dan verifikasi. Dokumen tertulis, terdiri dari peraturan perundangan, ssekaligus se ek peraturan pe p era r
turunannya
dan
beberapa
dokumen
terkait
lainnya
yang
keseluruhannya mengatur dan atau memiliki keterkaitan substantive dan ke k es 3 Disebutkan Dis sebbut utk u ttk k Rosengerten, bahwa beragam tafsir atas teori hegemoni Gramsci. Namun, teori itu merupakan sebuah teori politik penting abad XX yang diangkat Gramsci (1891-1937). Gramsci dipandang sebagai pemikir politik terpenting politi ik paling paali l setela ah Marx. M Ma Teori ini dibangun atas anggapan pentingnya pikiran atau ide, karena kekuatan fisik belaka dalam kontrol setelah sosiall po ppolitik oli llit iit tidaklah cukup. Gramsci memosisikan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelom mpok mp ok atas kelompok lainnya. Agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa kelompok mempunyai memp puun pun ny yaa dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan perseetuju uju juan a atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni”. Dengan begitu, hegemoni pada hakekatnya hakekka katn tny tny nya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekomomi dengan yang ditentukan (Gramsci, 1976 dalam www.Marxist.com). (lihat juga www.averroespress.net ). dengaan an kerangka keer k
39
historis dengan kebijakan usaha kehutanan, termasuk di dalamnya sejumlah dokumen surat perjanjian kehutanan (forestry agreement) dan dokumen surat keputusan pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan IUPHHK-HA. Dokumen tertulis lainnya mencakup dokumen yang bukan merupakan peraturan perundangan, namun mengandung diskursus penting dan unsur historis yang relevan dengan dan memengaruhi isu kebijakan usaha kehutanan. Bahan empiris ini diperoleh dari berbagai sumber, terutama dari jajaran Kementerian Kehutanan, dan dipilah dalam kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Bahan Empiris yang digunakan dalam analisis Bahan Empiris Dokumen Peraturan Perundangan
Sebelum 1998 UU No. 5/67; PP 22/67; PP 21/70 (jo PP 18/75) Forestry Agreement (FA); SK HPH
Sesudah 1998 UU 41/99 PP 6/99; PP 34/2002 jo PP 6/2007 jo PP 3/2008, SK IUPHHK
Hasil wawancara berupa pandangan langsung para informan atau narasumber kunci yang mewakili kelompok-kelompok utama para pemangku kepentingan dengan usaha kehutanan, yakni kelompok birokrat, akademisi, praktisi usaha kehutanan, dan masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Dalam wawancara diangkat
sejumlah pertanyaan kritis yang disintesa dari hasil
telaah dokumentasi tertulis yang dituangkan dalam beberapa pointer pertanyaan terbuka 4 untuk menggali pandangan umum terkait relasi atas hutan alam, usaha kehutanan, kelestarian dan kebijakan usaha kehutanan. Wawancara pendahuluan dilaksanakan dalam Agustus-September 2010 di Jakarta, Sarolangun (Jambi), Pontianak, Sintang dan Putussibau (Kalimantan Barat). Wawancara pendahuluan fokus pada menghimpun masukan awal yang menguatkan penentuan kunci kebijakan (key policy milestone) terutama dari birokrat, praktisi usaha kehutanan dan beberapa konfirmasi dari masyarakat sipil yang ditemui. Wawancara lanjutan/mendalam dilaksanakan dalam kurun Februari-Mei 2011 di Jakarta, Bogor, Sarolangun (Jambi), dan Samarinda 4 U Untuk beberapa kasus, pertanyaan diselipkan dalam perbincangan lain yang topiknya memiliki keterkaitan dan relevansi yyang a erat, misal pada saat dilakukan FLEGT-SP assessment sewaktu peneliti bekerja sebagai konsultan paruh waktu pada AGRECO G.E.I.E, Brussel; atau saat melakukan beberapa diskusi terfokus sewaktu peneliti menjadi research coordinator A ppada a APSI Project, yang merupakan riset kolaborasi antara CSIRO-AUSAID-WB-Bappenas.
40 40
(Kalimantan Timur) dengan menghimpun pandangan langsung dari para (Ka pemangku kepentingan 5 dengan dipandu pertanyaan sesuai kelompok isu: pem Hutan Alam Produksi Luar Jawa, Usaha Kehutanan, Kelestarian dan Hut Pengelolaan Hutan Alam produksi, dan Kebijakan Usaha Kehutanan Pen (Lampiran 2). (La Hasil on-line polling 6
yang dilaksanakan via jaringan internet
diperlakukan sebagai upaya menguatkan dan memperkaya argumen empiris di d ipe p sekaligus se ek
verifikasi
untuk
mengonfirmasi
kebenaran,
koherensi
dan
konsistensi terkait upaya implementasi kebijakan usaha kehutanan. On-line ko k on polling po p oll
dilaksanakan
dengan
memanfaatkan
Google-Form 7
yang
8
dan ditebar di empat mailing-list sekaligus selama sebulan ddilangsungkan di ila penuh, dimulai 1 April 2011 dan ditutup 30 April 2011 jam 00.00. Daftar pe en pertanyaan on-line polling merupakan versi singkat dari daftar pertanyaan pe ert yang ya y an digunakan dalam wawancara mendalam dengan kelompok isu yang sama. sa am Screen shot dari format on-line polling dapat dilihat pada Lampiran 3. Berikut adalah tipologi para peserta on-line polling (Tabel 2) dan narasumber B Be er wawancara mendalam (Tabel 3) wa w waw a Tabel 2. Tipologi Peserta Internet On-line Polling Tab Kelo Kelompok omp Stakeholders Masyarakat Mas syara Sipil/NGO Birokrat Biro okrat Akademisi Aka adem Praktisi Prak ktisi U Usaha Kehutanan Campuran Cam mpura (1)
% 38,10 19,05 9,52 9,42 14,28
Pengalaman (Th) 1-5 6-10 11-20 21-30 31 dan lebih
Catatan: Cata ata tan: n (1) me m mengindikasikan eng ngi diri lebih dari satu komponen stakeholders (2) sa ssaat aat at pengisian p polling
5
% 4,76 14,29 33,33 38,10 9,52
Domisili (2) Medan Bandarlampung Jakarta Bogor Yogyakarta Samarinda Pangkalan Bun Seattle, WA Hongkong Landskrona,Swedia Baton Rouge, LA Kyoto, JP
% 9,52 4,76 9,52 33,33 4,76 4,76 9,52 4,76 4,76 4,76 4,76 4,76
Karena Kar rena eennnaa aalasan ketidak sesuaian waktu untuk temua muka, beberapa wawancara dilakukan via skype, yahoo-messenger, dan aadapula daapu ap ppuul via email. Daftar narasumber disajikan pada bagian lain. 6 Berupa Ber rup upa informasi in dan bukti fisik yang digali secara provokatif pro-active dari responden lain, termasuk yang di daerah/lapangan daera ah/l /la /la lapa p 7 Thanks Tha ank nks ttoo Google: https://spreadsheets.google.com/viewform?formkey=dGlqT2hSSXc2cGhkSTVoWVVxd0RDanc6MQ nks 8 Komunitas Komu muni mu nit iitt rimbawan (
[email protected] ), komunitas tenurial hutan (forestlandt ten nu ure ree
[email protected]) , kelompok kerja keuangan kehutanan dan pencucian uang (
[email protected]), memb ber ber erss@ @ serta komunitas alumni kehutanan IPB (
[email protected]). Pemilihan keem mpa pat m keempat mailing list ini lebih didasarkan pada pengamatan dan keyakinan peneliti, bahwa keempatnya merupakan “kolam pengetahuan penge etaah et ahu hua u dan pengalaman” baik dari sisi empiris, praktis, historis, maupun akademis terkait isu kehutanan umumnya, khususnya. dan usaha usaha aah haa kehutanan h k
41
Tabel 3. Tipologi para Narasumber yang diwawancarai K Komponen Stakeholders Birokrat B
Masyarakat Sipil/NGO M
Posisi saat diwawancarai Mantan Menteri Kehutanan
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan antar Lembaga Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan Staf Khusus Menteri Kehutanan Peneliti Senior Bidang Kebijakan Kehutanan, Litbang Dephut Direktur Perencanaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi, Dephut Kasubdit Penataan Ruang Kawasan Hutan Wil II, Ditjen Planologi, Dephut Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan; Ditjen BUK Kasi Sarpras KHM pada Dinas Kehutanan Kab. Sarolangun, Jambi Direktur Eksekutif (Executive Director)
Catatan Era sebelum dan setelah 1998, masing-masing satu orang Mantan Ditjen BPK, Dephut
Mantan Staf Ahli Menteri Bidang lain Mantan Ditjen Planologi, Dephut Mantan Sekjen Dephut Mantan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi
NGO nasional (2) dan NGO Internasional Indonesia Program (1) Specialist Pada Donor International Project Akademisi A Dosen Fakultas Kehutanan (Jawa Dua orang Profesor, satu dan Luar Jawa) orang mantan dosen bergelar Master Praktisi Usaha Kehutanan P Manager Camp di Unit UM di Kalimantan Timur Management anggota APHI Manager Perencanaan di Unit UM di Kalimantan Timur (1) Management dan Kalimantan Barat (1) keduanya anggota APHI Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Catatan: Contoh Transkrip Wawancara dapat dilihat pada Lampiran 15.
3. Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus Dari bahan empiris yang telah terhimpun (Tabel 1) ditetapkan sejumlah bahan tertulis, terutama produk peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum usaha kehutanan, sebagai kunci kebijakan (key policy milestone) atau sebagai representasi output dari proses kebijakan usaha kehutanan saat itu (ex-post)
42 42
masing-masing untuk sebelum dan setelah 1998. Sedangkan data dan mas informasi terkait dengan kondisi, situasi dan kinerja usaha kehutanan info dirangkum, disintesa dan diposisikan sebagai representasi output dari dira implementasi kunci kebijakan itu dan kebijakan turunannya dan atau imp penopangnya. pen Terhadap keseluruhan dokumen kunci kebijakan dilakukan telaah dokumen. Sebagai upaya klarifikasi atas hasil dan proses telaah dokumen ini dok do dilakukan pula wawancara mendalam dengan para pihak pemangku dillaa di kepentingan. Selain wawancara mendalam, untuk penguatan dan pengayaan ke p ke argumen empiris, dilakukan pula online polling melalui internet. Sementara arrgu g itu ittu terhadap data dan informasi usaha kehutanan dilakukan pula sintesis untuk memotret (snapshot) sejauh mana kinerja usaha kehutanan selama kedua meem m periode. Potret atau snapshot ini digunakan antara lain dalam menakar peeri r seberapa senjang (gap) antara realitas yang terpotret dengan tatanan kebijakan seeb usaha kehutanan sebagaimana tertuang dalam dokumen kunci kebijakan. usa us Aspek Asp kelestarian, termasuk di dalamnya pemosisian hutan alam produksi As digunakan sebagai penapis dalam menakar kesenjangan dimaksud. Secara diigu d g skematik tahapan ini sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. ske
Gambar 3. Prosedur Analisis Diskursus
43
Analisis diskursus berupa analisis isi dan narasi dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar 9 disusul dengan analisis isi dan narasi. Analisis isi merujuk pada Holsti (1969) berupa penarikan inferensia atau simpul atau pokok-pokok pikiran. Dalam analisis isi ini, dilakukan pengkodean (coding) dan kategorisasi untuk masing-masing setiap paragraph dari bahan hasil ihtisar, khususnya untuk teks dokumen kebijakan, kedalam empat dimensi Bolman and Deal (1991) 10 . Hasil akhir pengkodean dapat memberikan gambaran, bahwa dari sisi dimensi keorganisasian, kebijakan usaha kehutanan ada di dimensi mana: rational, human, politics, atau symbolic. Dalam pengkodean digunakan kata kunci yang diadopsi dari Bolman and Deal (1991) sebagaimana tercantum pada Lampiran 4. Hasil pengkodean sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Contoh hasil analisis isi dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis narasi merujuk Bernard (2000) dan Denzin (1989), yakni mencari dan menetapkan pola-pola pokok dalam narasi. Menurut Graffin (1993 dalam Liang dan Lin, 2008) narasi adalah sebuah
bangunan analisis yang
menghimpun berbagai kejadian atau fenomena yang dirangkum kedalam deskripsi singkat. Kerangka teoretik kelestarian digunakan sebagai takaran utama dalam melakukan berbagai analisis ini. Contoh hasil analisis narasi dapat dilihat pada Lampiran 7. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dari hasil analisis isi dan narasi di atas dilakukan pula transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis-kuantitatif, termasuk dalam
9 D Dalam membaca, menyarikan dan mensintesa bahan-bahan empiris, peneliti juga menggunakan antara lain Sistim Ikhtisar Dokumen Bahasa Indonesia (SIDoBI) ver 2009 yang merupakan on-line static sofware yang telah dikembangkan Badan D P Pe Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, Indonesia. Untuk pengkodean dan pengkategorian bahan-bahan eem m empiris, terutama hanya beberapa yang berbahasa inggris, digunakan software N-Vivo Ver 2002 buatan QSR International P Pt Pty Ltd, Melbourne, Australia. 1 10 Keempat dimensi itu adalah rasional (rational), kemanusiaan (human), politik (political), dan simbolik (symbolic). D Dijelaskan, bahwa dalam dimensi rasional, organisasi digerakan oleh berbagai strategi, dan peran manajemen adalah mensejajarkan berbagai strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal. Dalam dimensi manusia, isu sentralnya m bbagaimana a menggabungkan berbagai kebutuhan manusia dengan rasionalitas keorganisasian. Dari dimensi politik, kepentingan dan kelangkaan sumberdaya terpaksa membalikkan politik organisasi. Simbol memainkan peran kkesenjangan ke e ppenting dalam pengalaman manusia. Dalam domain rasional, poin kehidupan itu adalah pilihan. Namun, hidup dalam pe bberbagai organisasi antara lain hanyalah terkait pengambilan keputusan (March/Olsen 1976 dalam Bolman and Deal, be 11984). Pembuatan keputusan sering sebagai arena untuk berbagai aksi simbolik. Dengan keempat dimensi ini Bolman and 19 Deal (1984) memastikan ciri sebuah organisasi dalam menjalankan dan menegakan aturan main: seperti apa D kkeseimbangannya dan kira-kira lebih cenderung ke dimensi yang mana. ke
44 44
bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik fenomena atau pokokben pokok pok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Diadopsi pula kuadran Alvesson and Karreman (2000) yang dalam penelitian ini dinamai frame B. Alv Alvesson and Karreman (2000) menggunakan dua dimensi (absis dan ordinat) Alv dengan empat kuadran 11 . den Untuk melihat kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya, khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina pe p ela l Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009 melalui P Pr ro Birkland (2001) yang menekankan aspek proses perancangan ppendekatan pe en sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kkebijakan ke eb itu sendiri (Gambar 4). Dengan ketiga arus ini Birkland (2001) kkebijakan ke keb eb mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan me m en implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan (Tabel im mp 4). 4) 4 ). Dengan berbagai pertanyaan ini hasil analisis diskursus yang sama – selain se ela dipetakan kerangka pikirnya – ditelaah lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. ga g am Dari Da D ar hasil telaah ini ditarik sejumlah rekomendasi terkait langkah dan agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. pem
Gambar 4 Proses konstruksi kebijakan (Birkland, 2001)
11
Dimensi Dim mennsi pertama (absis) menggambarkan hubungan antara diskursus dengan makna yang merentang dari kondisi rontok men (collapsed) (collaap apse ssed eedd) di ekstrim kiri – dinamai pula sebagai titik discourse determination, sampai tak ada hubungan sama sekali (unrelated) (unreela ated t d) di ekstreem kanan, titik ini dinamai discourse autonomy. Diantara dua ekstrim ini terdapat dua titik lain segaris proporsional, yakni terkait erat (tightly coupled) di bagian kiri dan terkait longgar (loosely coupled) yang posisinya posi osiis dikanannya. dikan nanny nnn nya Dimensi kedua (ordinat) menggambarkan lawas diskursus yang merentang dari diskursus mikro (micro ny discourse) disco ourse rsse se) di ekstrim atas dikenal dengan sebutan kepedulian-jangka pendek (close-range interest) dengan konteks situasional situas sion io on o naall dan lokal (local situational contexts) sampai diskursus mega (mega discourse) di ekstrim bawah disebut sebagai kepedulian keped dulli du lia ian jangka-panjang (long-run interest) dengan konteks sistem-makro (macro-system contexts). Diantara kedua ia ekstrim ekstriim iini ni ada dua titik segaris lain yang letaknya proporsional, yakni grand dan meso discourse.
45
Tabel 4. Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001) Komponen Tujuan kebijakan
Penjelasan (Pertanyaan yang perlu diangkat) Apa tujuan kebijakan: menghilangkan masalah? Sekedar mengurangi, tidak menghilangkan? Atau mengatasi masalah agar tidak menjadi lebih buruk? Model Seperti apa model ini? Apakah kita tahu bila yang dilakukan sebab-akibat X, akan dihasilkan Y? Bagaimana kita tahu ini, bagaimana bisa tahu? Instrumen Instrumen apa (saja) yang digunakan agar kebijakan bisa kebijakan dijalankan? Apakah instumen itu cukup mendorong? Apakah instrumen berupa insentif, persuasif atau sekedar informasi? Perlu upaya peningkatan kapasitas? Sasaran Perilaku siapa yang diharapkan berubah? Adakah sasaran kebijakan langsung dan tak langsung? Apakah pilihan rancangan berdasarkan konstruksi sosial dari populasi sasaran? Implementasi Bagaimana kebijakan dilaksanakan? Siapa yang akan menata kebijakan sistem implementasinya? Apakah akan top-down atau bottom up? Mengapa?
E. Limitasi dan Validasi E Harus diakui secara jujur, bahwa riset kualitatif sekaligus dengan pendekatan diskursus ini adalah baru bagi peneliti yang sejauh ini lebih banyak bergerak dan bekerja dengan pendekatan yang lebih banyak positivistik-normatif. Lompatan perubahan dalam aliran berpikir ini dan sekaligus dalam cara mendefinisikan dan mendekati persoalan memang menjadi sangat berat. Dengan kondisi demikian, peneliti menyadari penuh bahwa riset ini tidak steril dari berbagai keterbatasan (limitation). Beberapa keterbatasan ini mencakup antara lain tapi mungkin tidak terbatas pada hal-hal (a) cakupan isu yang menjadi entry riset ini, yang begitu luas, sehingga sekalipun metodologinya dapat dibangun memadai, namun saat (b) penentuan metoda analisisnya mendapat kesulitan yang tidak ringan; sehingga sebagai jalan keluar, (c) beberapa metoda yang dirujuk tidak sepenuhnya diikuti secara kaku, mengingat pelaksanaannya pun akhirnya harus kompromi dengan ketersediaan, reliabilitas dan kelengkapan, validitas bahan-bahan empiris resmi yang ontentik dan – tentu saja – waktu yang tersedia. Namun, dengan berbagai keterbatasan di atas penulis telah berupaya untuk tidak tidak mengorbankan validitas hasil riset kualitatif ini. Bahwa tingkat
46 46
validitas masih belum optimal, dapat diterima, karena proses validasi memang vali belum belu dilakukan optimal. Misalnya, beberapa temuan awal tidak semua dikonfirmasi langsung dan konfirmasi ulang yang dilakukan beberapa tidak diko kembali kepada informan yang sama, tetapi kepada informan dari kelompok kem dan kualifikasi yang sama. Secara keseluruhan, validasi juga dilakukan terhadap hasil polling dengan pemetaan satu-satu sesuai kelompok para terh te rh pemangku kepentingan yang teridentifikasi. Proses validasi ini tentu tidak peem p sekuat bila metodanya diikuti secara kaku, misal dengan menggunakan seeku k koefisien Cohen’s Kaffa, yakni satu atribut statistik untuk ukuran kualitatif 12 . koe ko Dengan keterbatasan itu pula, peneliti memosisikan hasil riset kualitatif ini bukan bu uk hal final, tetapi analog dengan sebuah sketsa lukisan di sebuah kanvas yang ya an cukup besar yang sudah mulai tampak gambar besarnya, namun perlu penyempurnaan di tingkat mikro. Harapannya, tentu para peneliti berikutnya pe en di masa datang dapat masuk dengan topik di tingkat mikro untuk di menggenapkan sketsa dimaksud. Sebagai gambaran, berikut peta jalan (road me m en map) ma m aap awal yang mungkin dapat ditempuh dengan beberapa topik penelitian lanjutan untuk menggenapi sketsa makro di atas. (Tabel 5). la anj n
Tabel 5. Peta Jalan (Road-map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan Topik Riset Ke Kelestarian Posisi Hutan Alam Po Kebijakan Usaha Kehutanan Ke
Opsi Metoda Diskursus dan atau Diskursus analisi kritis dan atau teori hegemoni
Harapan atas hasil riset ini Konfirmasi sekaligus penguatan secara detail kehadiran dominasi dan hegemoni kekuasaan
Sebagai gambaran, dalam Tabel 6 dapat dilihat beberapa riset kualitatif dengan pendekatan antara lain dengan berbagai analisis diskursus seputar den de kehutanan dan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah dilaksanakan di keeh k manca-negara yang beberapa diantaranya diacu dalam riset ini. maan m
12
Smeeton Sm meet eeet eton o (1985) dalam www.wikipedia.com diunduh 6 Maret 2010.
47
Tabel 6. Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara Sumber, Judul, Penerbit Reda (2004) Discourse Analysis on the Ethiopian Government’s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet, Sweden
White (2002) A Discourse Analysis of Stakeholders’s understanding of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Rova (2001) When Regulation Fails: Vendace Fishery in the Gulf of Bothnia. Marine Policy Vol. 25: 323-333
Arts and Buizer (2009) Forests, discourse, institutions: A discursiveinstitutional analysis of global forest governance. Forest Policy and Economics. Vol. 11 (2009): 340-347 Blaikie dan Sussan (2001) Understanding Policy Processes: LivelihoodPolicy Relationships in South Asia. Working Paper 2. Departemen for International Development, UK. Hewitt (2009) Discourse Analysis and Public Policy Research. Paper Series No. 24. Center for Rural Economy Discussion. Newcastle University,
Metoda Analisis Diskursus dengan berbagai rujukan, termasuk Michel Foucault Analisis diskursus konstruktivitist
Sinopsis singkat Dianalisis diskursus dibalik kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi pemerintah Etiopia dalam memerangi proses penggurunan.
Analisis Diskursus
Dianalisis hubungan tiga hal sekaligus: karakteristik sumberdaya, kondisi sosial para pihak pemangku kepentingan dengan ikan vendace (Coregonus albula L) di Teluk Bothnia untuk memperoleh gambaran penataan kelembagaan yang diperlukan. 13 Dianalisis bagaimana dan seberapa jauh proses-proses tatakelola dapat dipahami lebih baik melalui analisis diskursus dan antar-muka dari ilmu pengetahuankebijakan. Berfokus hanya pada diskursus, tapi dilakukan dari perspektif kelembagaan.
Analisis DiskursifKelembagaan
Dianalisis pemahaman akan pengetahuan ilmiah yang diekspresikan dalam diskursus formal kebijakan pemulihan ikan salmon di Pasific Barat Laut
Analisis kebijakan dan analisis proses kebijakan
Memahami proses kebijakan, analisis proses kebijakan dan memahami caracara dimana pengaruh berbagai kebijakan pembangunan di Asia Selatan atas mata pencaharian si miskin. Lebih merupakan tinjauan atas pendekatan-pendekatan analisis kebijakan.
Analisis Diskursus sebagai instrumen dari analisis kebijakan
Riset ini coba melacak berbagai perbedaan pendekatan dalam analisis diskursus yang telah dilakukan para analis kebijakan yang terinspirasi Foucault, seting dari sifat pendekatan pendekatan serta hal terpenting dari perbedaan itu dan menarik implikasi dari penerapan analisis diskursus pada proyek-proyek riset kebijakan pedesaan.
13 1 3 Telaah konseptual penulis atas makalah ini dapat di lihat pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Volume XIV No. 1 April 2008 A
48 48
Tabel 6. (Lanjutan) Su Sumber, Judul, Penerbit Guzman (tanpa tahun) Gu Focusing on Forest Not the Fo Trees: A Critical Review of Tre Knowledge and Learning Kn Concepts. Griffit Business Co School, Griffith University. Sch Australia. Au A u Wittmer W Wi i and Birner (2005) Between B Be e Conservation, Ecopopulism, and ppo op Developmentalism: De D e Di D is Discourse in Biodiversity in Thailand and Indonesia. Th T h CGIAR Systemwide CG C G Program on Collective Pr P ro Action and Property Rights, Ac A c IFRI, IIF F Washington DC, USA FR Philips et al (2004) P Ph Discourse and Institution. Di D is Academy of Management Ac A c Review 2004 Vol.29 No. 4: Re R e 635-652 663 35
Metoda Analisis diskursus kritis
Sinopsis singkat Telaah kritis atas pengetahuan dan konsep pembelajaran. Yang ditelaah adalah aspek penting dari asumsi pilosofis yang menonjol seputar isu kekuasaan dan sifat ilmu pengetahuan. Hutan dan kayu, digunakan sekedar analogi dalam telaah.
Diskursus analisis terkait konsep sistem nilai, story line dan koalisi
Riset ini mengkaji peran diskursus dalam kaitan konflik seputar kegiatan konservasi di negara-negara tropis. Riset fokus pada pertanyaan kunci apakah dan seberapa jauh komunitas lokal dibolehkan hidup dan memanfaatkan sumberdaya di dalam areal yang dilindungi. Kasus: Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi (Indonesia) dan Kehutanan Masyarakat di Areal dilindungi (Thailand) Menelaah proses kelembagaan melalui diskursus dan kebahasaaan dengan pertimbangan bahwa bahasa penting bagi proses pelembagaan; pelembagaan terjadi karena aktor berinteraksi dan dapat menerima definisi bersama tentang realitas yang semuanya berlangsung melalui proses-proses berbahasa dalam mendefinisikan dan mengkonstruksi realitas.
Analisis Diskursus
F. Rin Ringkasan Merujuk pada sekumpulan konsep dan teori seputar kebijakan, analisis Me kebijakan, diskursus dan diskursus kelestarian hutan lestari, kerangka keb metodologi penelitian ini dirumuskan. Dari konsep dan diskursus kelestarian, met telah teela la pula disintesis kerangka teoretik kelestarian, termasuk di dalamya pemosisian hutan alam – sebagai instrumen penakar dalam keseluruhan peem p analisis diskursus yang dilakukan. aan na Peneliti mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) yang fokus foku pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan fo (gap) (g gaap yang ada untuk menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif) dan sekaligus menawarkan kerangka pembaruan ko k on termasuk aliran pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan. tteerm erm m Asumsinya, pembuatan kebijakan terutama implementasinya tidaklah linear, Asu As
49
dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian tujuan dan kejadian. Dengan asumsi tersebut, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi-konsep dan multidisiplin yang dianggap tepat untuk mengurai kondisi chaotic. Diskursus berfungsi menyederhanakan masalah-masalah yang rumit; berhubungan dengan cara berpikir, dengan nilai-nilai dan dengan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu. Diskursus juga merupakan upaya mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan.
Analisis diskursus dalam
penelitian ini berciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pertimbangannya lebih ke pragmatisme dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan; substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting terkait kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang, sekaligus untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I. Memilih kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Analisis diskursus dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar disusul dengan analisis isi dan narasi. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dilakukan transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafiskuantitatif, termasuk dalam bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik dari fenomena atau pokok-pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya dilihat melalui pendekatan proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri. Ketiga arus ini
50 50
mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan men implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan. imp Hasilnya digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha Has kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Untuk hal ini secara khusus keh dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan dian (kini (kin (k in Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009. Disadari sepenuhnya, bahwa riset ini merupakan hal baru bagi peneliti dan karenanya tidak mungkin steril dari berbagai keterbatasan. Namun begitu, kare ka r peneliti telah berupaya untuk tetap menjaga validitas hasil riset dimaksud dan peen p memosisikan hasil riset ini sebagai temuan pendahuluan. Peneliti menawarkan mem me semacam seem
road-map
untuk
kelanjutan
perkembangan riset serupa di mancanegara. peerk r
riset
ini
disertai
gambaran