12
II. KERANGKA TEORITIS
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1. Karakteristik Bank Syariah Secara umum bank adalah insititusi yang memiliki tiga fungsi utama yaitu menyimpan uang, menyalurkan uang, dan jasa pemindahan uang. Praktek menyimpan uang, menyalurkan uang untuk konsumsi dan perdagangan, serta transfer uang, sudah dilakukan secara individu saat masa Nabi Muhammad SAW., dan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Aktifitas tersebut berkembang pada era Muawiyah, tahun 661- 680 Masehi dan sesudahnya dengan nama Jihbiz, yang dikelola secara perorangan, kemudian fungsi-fungsi tersebut berkembang dan berevolusi menjadi bentuk lembaga perbankan seperti sekarang (Karim, 2005). Secara ideal perbankan dan sistem keuangan syariah memiliki tujuan utama, seperti dikutip dari Ebrahim dan Joo (2001): (1) Implement the value system of the Qur’an and the Sunnah (tradition or practice of Prophet Muhammad Saw.) in the realm of the Muslim socioeconomic system. Ibn Taymiyah r.a. (n.d.), a distinguished scholar of Islam, explicates this as follows: “In mu’amalat (business transactions) all activities are permissible unless forbidden by revelation (Qur’an) or the practice of Prophet Muhammad Saw.”. The examples of prohibited business activities would include dealing in gambling, liquor, pork etc. The financial contracts of Islamic banks need to be clearly documented, equitable, and avoid the elements of Riba, Gharar, and Maysir . (2) Foster the growth of the economy of Muslim nations by developing financial market, institutions, and instruments, and (3) Dampen the shocks of extreme economic output by promoting risk sharing instruments whose payoffs are strictly contingent on the profitability of a firm or project at a micro level. Perbankan syariah sebagai bagian dari sistem keuangan, juga berfungsi
13
sebagai sebagai lembaga intermediasi. Meskipun demikian perbankan syariah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan lembaga keuangan konvensional dalam melakukan intermediasi, seperti dikutip dari Kahf (2005) berikut: Islamic banks are also financial intermediaries. They collect savings from income earners who have surplus and distribute them to entrepreneurs and consumers who need them to finance their purchases of goods and services. But Islamic banks make their financial intermediation on the basis of several contracts that do not include lending and borrowing because interest in prohibited in the Islamic law. Instead of the loan contract, Islamic banks rely on a combination of three principles: sharing, leasing, and sale. What is essential in their function of financial intermediation is that Islamic banks leave the initiative of investment and use of funds to the entrepreneurs and other users of funds. Dalam operasionalnya lembaga keuangan Islam, menurut El-Hawary et al. (2003) harus menganut empat hal, yaitu: (a) risk-sharing-the term of financial transactions need to reflect a symmetrical risk or return distribution each participant to the trancactions may face, (b) materiality-a financial transaction needs to have a “material finality”, that is it diretcly or indirectly linked to a real economic transaction, (c) no exploitation-a financial transaction should not lead to the exploitation of any party to the transaction, and (d) no financing of sinful ativities such as production of alcoholic beverages. Persandingan karakteristik perbankan syariah dengan bank konvensional dalam tingkat operasional menurut Antonio (2000) terdapat beberapa perbedaan: 1. Bank Islam melakukan investasi-investasi yang halal saja, sedangkan bank konvensional investasinya ada yang halal dan ada yang haram. 2. Bank Islam berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa, sedangkan bank konvensional memakai perangkat bunga. 3. Bank Islam berdasarkan pada profit dan falah oriented, sedangkan bank konvensional berdasarkan pada profit oriented saja.
14
4. Bank Islam hubungan nasabah dalam bentuk kemitraan, pada bank konvensional hubungannya dalam bentuk kreditur dan debitur. 5. Bank Islam untuk menghimpun dan menyalurkan dana harus sesuai dengan fatwa dewan pengawas syariah, sedangkan bank konvensional tidak terdapat dewan sejenis. Karena adanya perbedaaan karakteristik dan perjanjian atau akad yang menyertai, maka dalam operasionalnya bank syariah memiliki mekanisme yang berbeda dengan bank konvensional. Meskipun tanpa menggunakan bunga dalam kegiatan menghimpun dana maupun menyalurkan dana kepada masyarakat, bank syariah dapat menggunakan akad-akad atau perjanjian syariah yang telah disetujui oleh pakar bidang syariah yang berwenang.
Sumber: Helmy, 2007. Gambar 4. Persandingan Mekanisme Operasional antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Gambar 4 menunjukkan secara ringkas persandingan mekanisme operasional antara bank syariah dan bank konvensional. Pada Gambar 4 terlihat bahwa bank syariah berkedudukan sebagai mudharib atau pihak pengelola dana
15
jika bank melakukan aktifitas penghimpunan dana, sedangkan pada saat penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai shahibul maal atau pihak yang memiliki dana. Pada saat penghimpunan dana, maka deposan memperoleh besar imbalan yang belum dapat dipastikan jumlahnya, karena tergantung dari pendapatan atau hasil aktifitas bank mengelola dana tersebut, yang dapat ditentukan sebelumnya adalah porsi pembagian atau bagi hasil antara shahibul maal dengan mudharib, misalnya 30 persen untuk shahibul maal, dan 70 persen untuk mudharib berdasarkan kesepakatan. Pada sisi penyaluran dana, pihak bank (shahibul maal) memperoleh hasil dari kegiatan penyaluran dana dengan mudharib, besarnya tidak dapat ditentukan sebelumnya, jika akad yang digunakan adalah akad bagi hasil. Pihak bank (shahibul maal) dapat mengetahui perolehan pasti jika kegiatan penyaluran dana dengan mudharib dilakukan menggunakan akad jual beli sehingga memperoleh margin yang dapat ditentukan di awal perjanjian, karena itu mekanisme operasional bank syariah tergantung dari aplikasi akad yang disepakati.
2.1.2. Akad Pembiayaan Bank Syariah di Indonesia Mengacu ketentuan Dewan Syariah Nasional (2006) dan pelaksanaan prinsip syariah kegiatan bank syariah (Bank Indonesia, 2008b), maka pembiayaan kepada masyarakat perbankan syariah di Indonesia dikelompokkan menjadi empat prinsip perjanjian atau akad yaitu:
2.1.2.1. Prinsip Bagi Hasil a. Pembiayaan Akad Mudharabah Pengertian singkat mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
16
pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, lembaga keuangan syariah) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad mudharabah berlaku persyaratan sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya. 2. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah, antara lain bank dapat melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah, berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. 3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad mudharabah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 4. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah muqayyadah yaitu penyediaan dana kepada nasabah di mana pemilik dana (shahibul maal) memberikan persyaratan khusus kepada pengelola dana (mudharib), bank wajib memenuhi persyaratan khusus dimaksud. 5. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad mudharabah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis karakter dan aspek usaha, antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition).
17
6. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yang disepakati. 7. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak. 8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar mudharabah. 9. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah. 10. Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan. 11. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya. 12. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya. 13. Pengembalian pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah. 14. Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana
(mudharib)
dengan
disertai
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 15. Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung bank selaku pemilik dana (shahibul maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan (ra’sul maal).
18
Dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha (mitra usaha) yang dibiayai bank (mudharabah musytarakah), maka berlaku ketentuan: 1. Norma-norma umum dalam pembiayaan atas dasar akad mudharabah sebagaimana dimaksud ketentuan di atas, kecuali nomor 1 dan nomor 4. 2. Kedudukan nasabah adalah sebagai mitra usaha sekaligus sebagai pengelola dana (mudharib). 3. Sebagai mitra usaha, nasabah berhak mendapat bagian keuntungan sesuai kesepakatan atau menanggung kerugian sesuai porsi modalnya. 4. Sebagai pengelola dana (mudharib), nasabah berhak mendapatkan bagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati, setelah dikurangi bagian keuntungan milik nasabah sebagai mitra usaha. b. Pembiayaan Akad Musyarakah Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko (kerugian) akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu. 2. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati, seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat
19
dipertanggungjawabkan. 3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad musyarakah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia, mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 4. Bank wajib melakukan analisis permohonan pembiayaan atas dasar akad musyarakah dari nasabah, antara lain meliputi aspek personal berupa analisis karakter (character) dan aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition). 5. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati. 6. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak. 7. Pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan. 8. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya. 9. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya. 10. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar musyarakah. 11. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah.
20
12. Pengembalian pembiayaan atas dasar akad musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah. 13. Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. 14. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.
2.1.2.2. Prinsip Jual Beli a. Pembiayaan Akad Murabahah Penjelasan singkat murabahah adalah menjual barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang, terkait dengan kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang. 2. Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan, dan spesifikasinya. 3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad
21
murabahah dari nasabah, yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis karakter (character) dan atau aspek usaha, antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan atau prospek usaha (condition). 5. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 6. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah. 7. Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal pembiayaan atas dasar murabahah, dan tidak berubah selama periode pembiayaan. 8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar murabahah. 9. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada bank ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah. Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan dimuka, dan bank dapat meminta ganti rugi kepada nasabah terhadap pembatalan pesanan oleh nasabah sebesar biaya riil. b. Pembiayaan Akad Salam Salam adalah jual beli dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad salam berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun sebagai pembeli barang untuk kegiatan transaksi salam dengan nasabah yang bertindak sebagai penjual barang.
22
2. Barang dalam transaksi salam adalah objek jual beli dengan spesifikasi, mutu, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas, yang pada umumnya tersedia secara reguler di pasar, serta bukan objek jual beli yang sulit diidentifikasi ciri-cirinya, antara lain nilainya berubah-ubah tergantung penilaian subyektif. 3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar akad salam, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 4. Bank wajib melakukan analisis atas rencana Pembiayaan atas dasar salam kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan atau prospek (condition). 5. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar salam. 6. Pembayaran atas barang nasabah oleh bank harus dilakukan di muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati atau paling lambat tujuh hari setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati. 7. Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai kesepakatan maka bank dapat memilih untuk: 1. Menolak menerima barang dan meminta pengembalian dana. 2. Meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lain yang sejenis
23
dan atau memiliki nilai yang setara, atau 3. Menunggu barang hingga tersedia. Dalam hal bank menerima barang dengan kualitas lebih tinggi maka bank tidak wajib membayar tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal bank menerima barang dengan kualitas lebih rendah maka bank tidak diperkenankan untuk meminta potongan harga (discount), kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. c. Pembiayaan Akad Istishna' Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (mustashni’) dan pembuat (shani’) (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad istishna' berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana maupun penjual barang untuk kegiatan transaksi istishna’ dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang. 2. Barang dalam transaksi istishna’ adalah setiap keluaran (output) yang antara lain berasal dari proses manufacturing atau construction yang melibatkan tenaga kerja, dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas serta disepakati oleh kedua belah pihak. 3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar istishna’, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 4. Bank wajib melakukan analisis permohonan pembiayaan atas dasar istishna'
24
dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis atas karakter (character) dan atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan prospek usaha (condition); 5. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar istishna’. 6. Pembayaran pembelian barang tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang atau dalam bentuk pemberian piutang. Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih tinggi, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak. Bank tidak harus memberikan potongan harga (discount) apabila nasabah menerima barang dengan kualitas yang lebih rendah, kecuali terdapat kesepakatan kedua belah pihak.
2.1.2.3. Prinsip Sewa Menyewa a. Pembiayaan Akad Ijarah Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad ijarah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank bertindak sebagai pemilik dan atau pihak yang mempunyai hak penguasaan atas obyek sewa baik berupa barang atau jasa, yang menyewakan obyek sewa dimaksud kepada nasabah sesuai kesepakatan. 2. Barang dalam transaksi ijarah adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewa.
25
3. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar ijarah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 4. Bank wajib melakukan analisis rencana pembiayaan atas dasar ijarah kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis karakter (character), dan atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha (capacity), keuangan (capital), dan atau prospek usaha (condition). 5. Obyek sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk besarnya nilai sewa dan jangka waktunya. 6. Bank sebagai pihak yang menyediakan obyek sewa, wajib menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas obyek sewa serta ketepatan waktu penyediaan obyek sewa sesuai kesepakatan. 7. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah. 8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar ijarah. 9. Pembayaran sewa dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus. 10. Pembayaran sewa tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang. 11. Bank dapat meminta nasabah untuk menjaga keutuhan obyek sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan obyek sewa sesuai dengan kesepakatan, di mana uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural harus dituangkan dalam akad. 12. Bank tidak dapat meminta nasabah untuk bertanggungjawab atas kerusakan
26
obyek sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran akad atau kelalaian nasabah. Dalam hal pembiayaan multijasa, pembiayaan diberikan oleh bank kepada nasabah untuk memperoleh manfaat atas suatu jasa, menggunakan akad ijarah, dengan ketentuan: 1. Ketentuan yang berlaku dalam pembiayaan ijarah, kecuali nomor 11 dan l2, berlaku pula pada pembiayaan multijasa dengan menggunakan akad ijarah. 2. Bank memperoleh sewa transaksi multijasa berupa imbalan (ujrah). 3. Besarnya imbalan (ujrah) harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal yang tetap. b. Pembiayaan Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik Ijarah muntahiya bittamlik adalah perjanjian sewa menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai (Dewan Syariah Nasional, 2006). Disamping ketentuan sebagaimana dimaksud pada akad ijarah, untuk kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berlaku pula persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank sebagai pemilik obyek sewa juga bertindak sebagai pemberi janji (wa’ad) untuk memberikan opsi pengalihan kepemilikan dan atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah penyewa sesuai kesepakatan. 2. Bank hanya dapat memberikan janji (wa’ad) untuk mengalihkan kepemilikan dan atau hak penguasaan obyek sewa, setelah obyek sewa secara prinsip dimiliki oleh bank.
27
3. Bank dan nasabah harus menuangkan kesepakatan adanya opsi pengalihan kepemilikan dan atau hak penguasaan obyek sewa dalam bentuk tertulis. 4. Pelaksanaan pengalihan kepemilikan dan atau hak penguasaan obyek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa disepakati selesai oleh bank dan nasabah penyewa. 5. Dalam hal nasabah penyewa mengambil opsi pengalihan kepemilikan dan atau hak penguasaan objek sewa, maka bank wajib mengalihkan kepemilikan dan atau hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah yang dilakukan pada saat tertentu dalam periode atau pada akhir periode pembiayaan atas dasar akad ijarah muntahiya bittamlik.
2.1.2.4. Prinsip Pinjaman Sosial Pembiayaan Akad Al-Qardh adalah akad pinjaman kepada nasabah, dengan ketentuan nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah (Dewan Syariah Nasional, 2006). Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad qardh berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut (Bank Indonesia, 2008b): 1. Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan. 2. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar qardh, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah. 3. Bank wajib melakukan analisis rencana pembiayaan atas dasar qardh kepada
28
nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis karakter. 4. Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai akad. 5. Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran pembiayaan atas dasar qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran. 6. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar qardh. 7. Pengembalian jumlah pembiayaan atas dasar qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati. 8. Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah.
2.1.3. Teori Kebijakan Moneter Konvensional Pengertian kebijakan moneter menurut Boyes (1984) adalah: The deliberate manipulation of the money supply and/or interest rate in order to affect the level of national income, prices, unemployment, and other economic variables. Hubbard (2005), mendefinisikan kebijakan moneter adalah: The management of money supply and its links to prices, interest rate, and other economic variables.
2.1.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter Kebijakan moneter bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terdapat interdependensi terhadap berbagai peubah dalam perekonomian. Kebijakan moneter selain dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam perekonomian, juga secara langsung mempengaruhi kondisi moneter dan keuangan. Dampak dari kebijakan
29
moneter tersebut akhirnya membawa pengaruh terhadap kondisi sektor riil. Proses kebijakan moneter hingga menyentuh sektor riil merupakan sesuatu yang kompleks, karena uang berkaitan erat dengan hampir seluruh aspek perekonomian. Proses tersebut disebut dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Pengertian mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah: The process through which monetary decisions are transmitted into changes in real GDP and inflations (Pohan, 2008). Dalam banyak hal karena menyangkut perilaku dan ekspektasi, maka mekanisme transmisi kebijakan moneter relatif sulit diprediksi dan ketidakpastian (Pohan, 2008). Kompleksitas mekanisme transmisi kebijakan moneter karena proses transmisi dipengaruhi oleh: (1) perubahan perilaku bank sentral, perbankan dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan, (2) lama tenggat waktu (time lag) kebijakan moneter sampai tercapainya sasaran akhir, dan (3) terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi moneter sesuai perkembangan ekonomi dan keuangan di negara yang bersangkutan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter awalnya mengacu pada peranan uang dalam perekonomian yang pertama kali dijelaskan oleh teori kuantitas uang. Dalam perkembangannya penjelasan transmisi kebijakan moneter terhadap output terbagi atas dua arah pemikiran, yaitu: (1) pemikiran moneterist yang cenderung tidak menggambarkan secara spesifik jalur pengaruh uang beredar terhadap output melainkan menganalisis efek uang beredar terhadap output dalam sebuah kotak hitam, dan (2) pemikiran Keynesian yang mengaplikasikan pendekatan model struktural untuk memahami jalur transmisi secara lebih baik. Menurut Keynesian, jalur transmisi dikelompokkan menjadi tiga jalur utama yaitu:Z(1) Traditional Interest Rate Effect , (2) Other Asset Price Effects,
30
dan (3) Credit View (Mishkin, 2003). Gambar 5 menunjukkan beberapa jalur transmisi kebijakan moneter yang mempengaruhi sektor riil. MONETARY POLICY
Other Asset Price Effect Traditional Interest Rate Exchange Rate Effect Bank Lending Effect On Net Tobin's Theory Wealth Effect Channel Exports Monetary Policy
Monetary Policy
Monetary Policy
Real Interest Rate
Real Interest Rate
Stock Prices
Tobin's Q
Monetary Policy
Monetary Policy
Stock Prices Bank Deposits
Financial Wealth
Balance Sheet Channel
Cash Flow Channel
Monetary Policy Monetary Policy
Stock Prices
Bank Loans
Nominal Interest Rate
Unanticipated Price Level Channel
Household Liquidity Effect
Monetary Policy
Monetary Policy
Unanticipated Price Level
Stock Prices
Financial Wealth
Cash Flow
Moral Hazard, Moral Hazard, Moral Hazard, Adverse Reserve Adverse Reserve Adverse Reserve
Exchange Rate
Investment
Credit View
Stock Prices
Bank Deposits
Stock Prices
Nominal Interest Rate
Unanticipated Price Level
Investment
Investment
Investment
Investment
Investment
Residential Housing
Residential Housing
Consumer Durable Expenditure
Net Export
Consumption
Stock Prices
Residential Housing Consumer Durable Expenditure
GROSS DOMESTIC BRUTO
Sumber: Miskhin, 2003. Gambar 5. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional
Selain penggambaran tiga jalur utama transmisi, literatur yang lain membedakan menjadi lima saluran transmisi yaitu: (1) Direct monetary transmission, (2) Credit channels, (3) Interest rate channel, (4) Asset price channel, dan (5) Expectation channel (Pohan 2008). Sedangkan Kuttner dan Mosser (2002) membedakan menjadi enam jalur, yaitu: (1) Narrow credit channel (2) Broad credit channel, (3) Wealth channel, (4) Interest rate channel, (5) Exchange rate channel, dan (6) Monetarist channel.
31
2.1.3.2. Bank Lending Channel Beberapa ahli berargumentasi bahwa banyak peminjam tergantung pada perbankan sebagai sumber pembiayaannya, sedangkan sumber pembiayaan tergantung dari kebijakan moneter yang berlaku. Bagi nasabah peminjam, pinjaman bank sangat penting karena kadang mereka diasumsikan hanya memiliki sedikit bahkan tidak ada alternatif sumber pembiayaan sama sekali. Jalur pinjaman bank merupakan salah satu jalur pada jalur kredit transmisi kebijakan moneter. Pada jalur ini, perubahan dari kemampuan dan kemauan pihak bank
untuk
menyalurkan
pembiayaan
mempengaruhi
kemampuan
para
peminjamnya dalam membiayai pengeluaran atau pembelanjaanya. Jalur pinjaman bank selain memfokuskan pada penyaluran dana bank, juga memberikan pandangan bagaimana kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian. Jika terjadi ekspansi moneter maka kemampuan bank untuk menyalurkan pembiayaan meningkat. Peningkatan tersebut mempengaruhi kemampuan para peminjamnya untuk menambah pengeluaran (Hubbard, 2005). Menurut jalur pinjaman bank, apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui penurunan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di bank meningkat sehingga dana yang dipinjamkan (loanable fund) juga mengalami peningkatan. Skema jalur pinjaman bank adalah sebagai berikut: ↑
↑
↑
↑
Monetary Policy Bank Deposits Bank Loans Investment GDP
↑
Dari literatur lain menyatakan bahwa: ↑
↑
↑
↑
M Credit Supply Source of Financing Investment Y
↑
Ada beberapa prakondisi yang harus dipenuhi agar jalur pinjaman bank
32
dapat menjadi jalur mekanisme transmisi yang efektif. Prakondisi tersebut adalah: 1. Kredit dan surat-surat berharga bukan merupakan substitusi yang sempurna. Kondisi ini lebih mungkin terjadi bila nasabah peminjam tidak memiliki akses ke pasar modal. 2. Bank Sentral harus dapat mempengaruhi penawaran kredit atau pembiayaan secara langsung. Hal ini tergantung pada: Keberadaan lembaga intermediasi non-bank, kemampuan bank bereaksi atas kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM), kemampuan bank menghimpun dana di luar sumber dana yang terkena kewajiban GWM, serta peraturan maksimum kredit yang diberikan. Bila hal tersebut dapat direduksi maka jalur pinjaman semakin efektif berjalan. Gambar 6 dan 7, menunjukkan dampak kebijakan moneter ekspansif terhadap pasar uang dan makroekonomi.
Sumber: Hubbard (2005) Gambar 6. Dampak Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Pasar Uang
33
Jika digambarkan pengaruh kebijakan moneter pada jalur pinjaman dengan menggunakan kurva keseimbangan pasar uang dan kurva keseimbangan umum, maka kebijakan moneter yang ekspansif akhirnya meningkatkan output pada jangka pendek, dan berdampak ke tingkat suku bunga yang ambigo, artinya tidak dapat ditentukan naik atau turun dari tingkat bunga awal (Hubbard, 2005).
Sumber: Hubbard, 2005. Gambar 7. Dampak Kebijakan Moneter Ekspansif Terhadap Makroekonomi
Keterangan Gambar 6 adalah: (1) ketika bank sentral menaikkan penawaran uang, maka kurva MS0 bergerak ke MS1, tanda anak panah pertama, kemudian (2) tingkat bunga open market turun dari r0 ke r1, tanda anak panah kedua, selanjutnya pengaruhnya terhadap makroekonomi pada Gambar 7, (3) dari keseimbangan E0, agregat permintaan naik karena terjadi peningkatan belanja nasabah peminjam, selanjutnya keseimbangan terjadi di E1, membawa dampak peningkatan permintaan uang, dari MD0 ke MD1 di pasar uang pada Gambar 6, dan (4) keseimbangan baru pasar uang terjadi perubahan suku bunga, tanda anak
34
panah keempat, dengan kenaikan tergantung dari tingkat kepekaan kenaikan bunga. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan pelaku ekonomi dapat dijelaskan menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah interaksi antara bank sentral dengan perbankan di pasar uang domestik. Interaksi ini terjadi karena satu sisi bank sentral melakukan operasi moneter sesuai sasaran operasional yang dicapai, berupa uang pimer atau suku bunga jangka pendek, sementara di sisi lain, bank melakukan transaksi di pasar uang untuk pengelolaan likuiditasnya. Interaksi ini mempengaruhi perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang dan dana yang dialokasikan bank-bank dalam bentuk instrumen likuiditas dan dalam pemberian kredit. Tahapan berikutnya adalah transmisi dari perbankan ke sektor riil melalui pemberian kredit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal bank seperti tercermin pada permodalannya atau Capital Adequacy Ratio (CAR), jumlah pembiayaan bermasalah atau Non Performing Loans (NPLs) dan Loan to Deposit Ratio (LDR), maupun faktor eksternal seperti suku bunga dan persepsi bank terhadap prospek usaha debitur. Perkembangan kredit perbankan selanjutnya mempengaruhi sektor riil, seperti konsumsi, investasi, dan produksi, akhirnya pada harga-harga barang dan jasa (Pohan, 2008).
2.1.4. Teori Kebijakan Moneter Syariah Tidak hanya pada sistem ekonomi konvensional, dalam sistem ekonomi Islam uang memiliki peran penting. Namun yang membedakan adalah perspektif terhadap peran dan fungsi uang. Sistem konvensional memandang uang tidak sekedar alat bantu transaksi ekonomi, bahkan menjadi objek transaksi ekonomi itu
35
sendiri, sementara sistem ekonomi Islam membatasi fungsi uang sebagai alat bantu transaksi produktif barang dan jasa (Sakti, 2007). Diskusi tentang pola dan penerapan manajeman moneter tidak terlepas dari pemikiran mempertemukan permintaan uang dan penawaran uang pada tingkat yang ideal. Menurut Karim (2002), pemikiran ekonomi Islam saat ini terdapat tiga mahzab yang menerangkan konsep permintaan dan penawaran uang. Masing-masing mahzab memiliki perbedaaan asumsi yang melatarbelakangi pemikiran. Mahzab tersebut adalah mahzab iqtishaduna, dipelopori antara lain oleh Kadim Sadr dan Baqir Al-Hasani, mahzab mainstream, dipelopori antara lain oleh M. Umer Chapra dan M.A. Mannan, serta mahzab alternatif-kritis, dipelopori antara lain oleh Timur Kuran, Jomo, dan M.A. Choudury. Dari sisi permintaan uang, walaupun memiliki persamaan pandangan dalam hal motif memegang uang yaitu transaksi dan berjaga-jaga, terjadi perbedaan terhadap faktor yang mempengaruhi permintaan uang dari ketiga mahzab di atas. Menurut mahzab iqtishaduna, permintaan uang adalah fungsi dari rasio harga tangguh terhadap harga uang, menurut mahzab mainstream, permintaan uang dipengaruhi oleh pajak terhadap dana yang dianggurkan (dues to iddle fund) dan tingkat pendapatan, sedangkan menurut mahzab alternatif, dipengaruhi oleh keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil, yaitu sosioekonomi, kebijakan pemerintah, dan informasi objektif masyarakat kondisi riil perekonomian. Dari sisi penawaran uang, menurut mahzab iqtishaduna, pemerintah tidak mampu mempengaruhi jumlah uang yang beredar, tinggi rendahnya permintaan uang tergantung pada perdagangan barang dengan luar negeri, menurut mahzab mainstream, penawaran uang sepenuhnya dikontrol oleh negara sebagai
36
pemegang monopoli penerbitan uang yang sah, negara melakukan kontrol terhadap kepemilikan semua bentuk uang, baik logam, kertas atau kredit, sedangkan menurut mahzab alternatif, keberadaan uang pada dasarnya terintegrasi dalam sistem sosial ekonomi yang berlaku, dengan jumlah uang beredar lebih ditentukan oleh actual spending demand dalam transaksi barang dan jasa, serta telah dihapuskannya suku bunga dengan expected rate of profit. Berdasarkan pendapat yang terdapat dalam masing-masing mahzab, penelitian ini mengetengahkan mahzab alternatif sebagai untuk mewakili teori kebijakan moneter syariah. Dalam mahzab tersebut menyebutkan bahwa keberadaan uang pada hakikatnya adalah representasi volume transaksi yang ada dalam sektor riil. Nilai uang tidak harus selalu bertambah seiring dengan pertambahan waktu, tetapi pertambahan nilai tergantung pada usaha yang dilakukan. Permintaan uang adalah representasi dari keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil. Semakin tinggi kapasitas dan volume sektor riil, semakin meningkat permintaan uang. Permintaan uang dipengaruhi oleh besarnya pembagian keuntungan (profit sharing) atau tingkat keuntungan yang diharapkan (expected rate of profit). Tinggi rendah tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan representasi pertumbuhan aktual ekonomi. Sebagai manifestasi aktual kapasitas transaksi riil, permintaan uang adalah penjumlahan total permintaan uang individu dan lembaga keuangan. Secara matematis M.A. Choudhury memformulasikan permintaan uang sebagai berikut: Md
= f (rb , y, p, S, X, Y) [Ө]
37
Keterangan: Md
= Permintaan uang
rb
= Rasio profit sharing
y
= Pendapatan riil
p
= Inflasi
S
= Total pengeluaran nasional
X
= Peubah sosio-ekonomi
Y
= Kebijakan pemerintah
Ө
= Induced-knowledge, pengetahuan masyarakat
Sedangkan dari sisi penawaran, jumlah uang beredar merupakan derivasi kondisi riil perekonomian, bukan merupakan fungsi dari suku bunga, dengan rumusan matematis sebagai berikut: Ms
= f (π , y, p, S, R, X, Y) [Ө]
Keterangan: Ms
= Penawaran uang
π
= Rasio profit sharing atau expected rate of return
y
= Pendapatan nasional riil
p
= Inflasi
S
= Total pengeluaran nasional
X
= Peubah sosio-ekonomi
Y
= Kebijakan pemerintah
R
= Reserve requirement bank-bank umum
Ө
= Induced-knowledge, kualitas pengetahuan masyarakat
Terintegrasinya uang dalam sistem yang kompleks menjadikan uang tidak independen. Dalam teori endegenous uang, instrumen yang digunakan untuk mempertemukan fungsi permintaan dan penawaran adalah peubah yang mampu merefleksikan kondisi riil sebuah perekonomian. Peubah tersebut adalah tingkat keuntungan rata-rata semua investasi mudharabah dan musyarakah. Kurva penawaran uang berbentuk elastis, padaHGambar 8 menunjukkan
38
bahwa bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter tidak mampu mengendalikan volume uang beredar. Jumlah uang beredar lebih dipengaruhi oleh rata-rata keuntungan aktual sektor riil. Dengan terjaga keseimbangan antara pertumbuhan sektor riil dengan sektor moneter, nilai intrinsik uang juga dapat terjaga. Jika terjadi permintaan uang untuk spekulasi, pelaku ekonomi segera menyeimbangkan kembali pada posisi semula. Semakin besar Inducedknowledge, ilusi uang semakin cepat diketahui.
Sumber: Karim, 2002. Gambar 8. Hubungan Penawaran dan Permintaan Uang, serta Expected Rate of Profit
Gambar 8 menunjukkan keseimbangan antara permintaan, penawaran uang dan expected rate of profit atau bagi hasil dalam sistem keuangan Islam. Pergerakan kurva permintaan untuk sistem keuangan mudharabah atau musyarakah dipengaruhi oleh tinggi rendahnya ekspektasi terhadap tingkat keuntungan. M1 adalah banyaknya uang yang ditawarkan untuk memenuhi transaksi. Misalkan terjadi perubahan teknologi dalam proyek mudharabah, maka
39
akan terjadi penarikan dana di luar proyek mudharabah sehingga kapasitas stock uang bertambah menjadi M2. Titik ekuilibrium akan bergeser dari E1 ke E2. Pergeseran tersebut merupakan fungsi dari Ө yang menunjukkan objektifitas pengetahuan masyarakat terhadap perubahan teknologi.
Sumber: Karim, 2002. Gambar 9. Pengaruh Kebijakan Moneter Ekspansif terhadap Sektor Riil
Gambar 9 menunjukkan pengaruh kebijakan moneter ekspansif terhadap sektor riil menurut pandangan ekonomi Islam. Dengan mengadopsi kurva
40
Aggregate Demand (AD) dan Aggregate Supply (AS) seperti yang dilakukan oleh ekonom konvensional, maka jika terjadi kebijakan moneter uang ekspansif oleh otoritas moneter dapat digambarkan beserta dampaknya terhadap sektor riil. Gambar 9 menunjukkan bahwa ketika terjadi kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan uang beredar, maka masyarakat merespon dengan meningkatkan agregat demand. Karena diasumsikan bank sentral tidak mampu mengendalikan uang beredar sepenuhnya, maka Ms0 bergeser menjadi Ms1 dengan Md diasumsikan tetap, akhirnya titik keseimbangan berada pada angka 2, dengan expected rate of profit berkurang sebesar π0-π1. Peningkatan agregat demand mengakibatkan harga-harga naik sehingga pendapatan riil tidak berubah bahkan dapat turun. Meningkatnya inflasi akibat meningkatnya jumlah uang beredar akan menurunkan daya beli mata uang terhadap barang dan jasa, artinya peningkatan uang beredar mengakibatkan imbalance antara sektor moneter dengan sektor riil (Karim, 2002). Strategi dasar manajemen moneter menurut mahzab alternatif adalah: 1. Ms mengikuti besaran Md, atau keseimbangan Ms = Md selalu terjaga. 2. Penentuan besarnya Ms yang merupakan refleksi dari Md ditentukan melalui shuratic process yang melibatkan para pelaku ekonomi di sektor riil. 3. Shuratic process (proses musyawarah) akan efektif bila masyarakat mempunyai pengetahuan yang merata (induced knowledge). Keputusan atau kebijakan moneter yang yang dituangkan dalam instrumen moneter harus sejalan dengan kebijakan-kebijakan di sektor riil. Pergeseran dan pergerakan permintaan agregat dan penawaran agregat membuat pergeseran dan pergerakan permintaan uang yang ditindaklanjuti oleh kebijakan moneter yang diimplementasikan dengan instrumen-instrumen moneter, sehingga penawaran
41
uang juga akan bergeser atau bergerak. Harmonisasi antara sektor riil dan sektor moneter, digambarkan akan menghasilkan kurva jangka panjang permintaan dan penawaran uang yang berbentuk jalinan tambang, yang mendukung pertumbuhan pendapatan nasional.
2.1.5. Aplikasi Instrumen Kebijakan Moneter Syariah di Indonesia Sebagai otoritas moneter, pengembangan ekonomi dan perbankan Islam adalah merupakan amanat dari UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan memungkinkan cara-cara pengendalian moneter oleh Bank Indonesia dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. Sehubungan hal tersebut Bank Indonesia sendiri telah melakukan beberapa upaya untuk mendorong perkembangan ekonomi dan perbankan Islam. Bank Indonesia telah menetapkan strategi pengembangan ekonomi dan perbankan Islam yang dirumuskan dalam cetak biru (blue print). Visinya, mewujudkan sistem perbankan syariah yang sehat, kuat dan istiqamah terhadap prinsip syariah dalam kerangka keadilan, kemaslahatan dan keseimbangan, guna mencapai masyarakat yang sejahtera secara material dan spiritual (falah). Terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah Islam, Bank Indonesia telah mengeluarkan informasi mengenai giro wajib minimum (statutory reserve requirements). Bank Indonesia juga mengeluarkan ketentuan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah untuk penempatan dan pemenuhan kebutuhan likuditas jangka pendek, dan menciptakan sertifikat wadiah Bank Indonesia (SWBI) sebagai instrumen moneter untuk menyerap kelebihan dana perbankan syariah.
42
2.1.5.1. Giro Wajib Minimum Giro Wajib Minimum (GWM) atau biasa dinamakan statutory reserve requirement, adalah simpanan minimum bank umum dalam bentuk giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia berdasarkan
persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan, serta berperan sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan peredaran uang. Besarnya GWM adalah 5 persen dari dana pihak ketiga yang berbentuk Rupiah, dan 3 persen dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud adalah dalam bentuk: (1) giro wadiah, (2) tabungan mudharabah, (3) deposito investasi mudharabah, dan (4) kewajiban lainnya. Dana pihak ketiga dalam Rupiah tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat. Sedangkan dana pihak ketiga dalam bentuk mata uang asing meliputi kewajiban dalam mata uang asing kepada pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia, yang terdiri atas: (1) giro wadiah, (2) deposito investasi mudharabah, dan (3) kewajiban lainnya. Bank Indonesia mengenakan denda terhadap kesalahan dan keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GWM. Bank yang melakukan pelanggaran GWM juga akan dikenai sanksi.
2.1.5.2. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syariah Instrumen yang digunakan oleh bank-bank syariah yang mengalami kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan. Di lain pihak instrumen dapat
43
digunakan sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang mengalami kekurangan dana. Sertifikat berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Pemindahtanganan sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syariah (IMA) hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran dilakukan oleh bank syariah penerbit sebesar nominal ditambah imbalan bagi hasil yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota debet melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer elektonik. Bank syariah, UUS, dan Bank Konvensional dapat membeli instrumen PUAS yang diterbitkan oleh bank syariah dan UUS.
2.1.5.3. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia Dalam rangka menunjang kegiatan pengelolaan dana oleh bank umum syariah dan unit usaha syariah, serta pelaksanaan pengendalian moneter oleh Bank Indonesia, perlu disediakan fasilitas penitipan dana jangka pendek berdasarkan prinsip wadiah yang bukti penitipannya berupa sertifikat wadiah Bank Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) adalah bukti penitipan dana wadiah, yaitu penitipan dana berjangka pendek dengan menggunakan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi BUS dan UUS. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Bank Indonesia dapat menerima penitipan dana wadiah dari BUS dan UUS. Penitipan dana wadiah dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia.
44
Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya lima ratus juta rupiah, sedangkan penitipan dana di atas lima ratus juta rupiah, hanya dapat dilakukan dalam kelipatan lima puluh juta rupiah. Penitipan dana wadiah dapat berjangka waktu 7 hari, 14 hari, dan 28 hari, Bank Indonesia akan mengumumkan jangka waktu penitipan dana wadiah pada hari penitipan dana wadiah. Penitipan dana wadiah tidak dapat diambil kembali oleh Bank syariah atau UUS sebelum berakhirnya jangka waktu penitipan dana wadiah. SWBI diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat (scripless) dan tidak dapat diperjualbelikan (non negotiable), jadi sertifikat wadiah Bank Indonesia bukan merupakan surat berharga seperti obligasi atau surat tagihan. Atas penitipan tersebut, BI dapat memberikan bonus. Gambar 10 menunjukkan keterkaitan antara ketiga instrumen moneter syariah di Indonesia.
Bank Konvensional dengan Kantor Cabang Syariah
Bank Syariah
Bank Indonesia Giro Bank Syariah, Konvensional dan UUS
Unit Usaha Syariah
Bank Konvensional Keterangan : = Arus SWBI = Arus Sertifikat IMA = Arus GWM
Sumber: Bank Indonesia, 2000. Gambar 10. Skema Keterkaitan Giro Wajib Minimum, Pasar Uang Antar Bank Syariah, dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
45
2.2. Tinjauan Studi Terdahulu 2.2.1. Keterkaitan Kebijakan Moneter, Makroekonomi, dan Perbankan Banyak sekali penelitian membahas tentang keterkaitan makroekonomi dan perbankan. Beberapa penelitian menggunakan pendekatan jalur transmisi kebijakan moneter secara eksplisit, sedangkan yang lain tidak. Berikut beberapa penelitian yang menggunakan jalur kredit, jalur pinjaman bank maupun yang tidak menggunakan jalur transmisi kebijakan moneter untuk menjelaskan hubungan antara peubah makroekonomi dengan perbankan. Bernanke dan Gertler (1995) menganalisis jalur kredit perbankan di pasar kredit perumahan Amerika dengan menekankan pentingnya external finance premium. Dalam penelitian tersebut, pengaruh kebijakan bank sentral terhadap external finance premium pada pasar kredit dianalisis dengan dua jalur, yaitu balance sheet channel dan bank lending channel. Balance sheet channel menekankan pada dampak potensial dari perubahan kebijakan moneter terhadap neraca keuangan dan laporan laba rugi peminjam, sedangkan bank lending channel menekankan pada dampak potensial perubahan kebijakan moneter terhadap penawaran pinjaman dari lembaga keuangan perbankan. Peubah yang digunakan dalam penelitian adalah log GDP riil, log deflator GDP, log indeks harga komoditas dan tingkat bunga bank sentral. Temuan penelitian tersebut antara lain: penurunan GDP riil terjadi empat bulan setelah kontraksi moneter, kemudian naik lagi setelah dua tahun kemudian. Permintaan akhir, inventories, dan juga bussines fixed investment mengalami penurunan akibat kontraksi moneter, tetapi bussines fixed investment memiliki lag yang lebih besar dibandingkan yang lain. Kesimpulan penelitian tersebut adalah baik balance sheet channel maupun bank lending channel memiliki peranan penting pada pasar
46
kredit perumahan di Amerika. Gambacorta (2004) yang membahas tentang efektifitas jalur pinjaman perbankan (bank lending channel), dengan menggunakan spesifiaksi model empiris dari Kashyap dan Stein yang menyatakan bahwa, jalur pinjaman bank menjadi lebih penting untuk bank kecil denganMstruktur modal yang sederhana serta dana pihak ketiga yang besar. Model ekonomerika yang digunakan Gambacorta, didesain untuk meneliti reaksi perbankan terhadap perubahan kebijakan moneter. Model tersebut mengakomodir interaksi antara indikator kebijakan moneter dengan karakteristik khusus perbankan. Pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh perubahan tingkat bunga yang dapat dikontrol oleh otoritas moneter, dan dari hasil interaksinya dengan karakteristik khusus perbankan yaitu: ukuran bank, likuiditas, dan kapitalisasi modal. Regresi juga memasukkan pengaruh inflasi dan pertumbuhan GDP untuk mengkontrol efek dari sisi permintaan. Temuan Gambacorta, dengan melibatkan 759 bank di Italia dan 35 678 data observasi, menyebutkan bahwa interaksi antara ukuran bank dengan kebijakan moneter tidak signifikan, hal tersebut berbeda dengan temuan Kashyap dan Stein di Amerika. Jumlah penyaluran dana bank kecil tidak lebih sensitif dibandingkan dengan bank yang lebih besar, temuan tersebut sama dengan penelitian di Prancis, Jerman, dan Spanyol yang dikutip oleh Gambacorta. Temuan lain adalah, bank dengan rasio likuiditas yang lebih tinggi dapat menjadi penyangga bagi aktifitas penyaluran dana dari perubahan kebijakan moneter. Penelitian untuk mengidentifikasi dampak shock penawaran kredit terhadap makroekonomi dilakukan oleh Peek et al. (2000). Penelitian tersebut melakukan pendekatan inovatif untuk mengidentifikasi penawaran pinjaman dan
47
menghindari keterlibatan kebijakan moneter, sehingga benar-benar ingin mengetahui dampak shock penawaran kredit terhadap perekonomian. Untuk mendapatkan dampak penawaran kredit oleh perbankan, digunakan peubah yang melibatkan
ukuran
tingkat
kesehatan
bank
CAMEL
(Capital,
Assets,
Management, Earnings, and Liquidity). Penelitian dengan data sampel perbankan di Amerika periode tahun 1978 sampai 1998, menggunakan rating skor CAMEL untuk memproksikan penawaran kredit. Bank yang sehat di semua aspek CAMEL diberikan skor satu, seterusnya sampai skor lima yang menunjukkan bank tersebut tidak sehat. Langkah selanjutnya melakukan forecast model yang dibangun empat kuartal ke depan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan meningkatnya tingkat kesehatan bank, akan meningkatkan pertumbuhan GDP riil secara signifikan selama dua kuartal ke depan. Selain itu kalau diperinci komponen GDP, yang paling sensitif terhadap perubahan penawaran kredit adalah peubah investasi barang-barang (inventory investment). Estimasi negatif koefisien perubahan penawaran kredit menandakan bahwa semakin sehat bank makin meningkatkan investasi barang-barang, signifikan selama empat kuartal ke depan. Sedangkan lamanya pengaruh perubahan penawaran kredit terhadap GDP riil dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa dampak perubahan tingkat kesehatan bank tujuh bulan lalu masih signifikan mempengaruhi GDP riil kuartal pertama, bahkan kuartal kedua masih dipengaruhi oleh tingkat kesehatan bank secara signifikan tiga bulan lalu. Penelitian tersebut secara garis besar menunjukkan bahwa kondisi perbankan sanggup mempengaruhi kondisi makroekonomi. Penelitian tentang keterkaitan penyaluran dana perbankan dengan kondisi
48
makroekonomi dilakukan oleh Talavera et al. (2006). Penelitian tersebut mengkaji keterkaitan
antara perilaku penyaluran kredit bank dan
ketidakpastian
makroekonomi yang terjadi di Ukraina periode tahun 2003 kuartal pertama sampai tahun 2005 kuartal ketiga. Model yang digunakan adalah ekulibrium parsial dinamik dengan peubahnya adalah: rasio kredit terhadap modal, rasio dana pihak ketiga terhadap modal, dan natural log modal sendiri, sedangkan indikator ketidakpastian makroekonomi yang digunakan adalah M1, M2, Consumer Price Index (CPI), serta Produser Price Index (PPI). Temuan Talavera adalah, perbankan di Ukraina menurunkan penawaran kreditnya jika ketidakpastian peubah makroekonomi meningkat, demikian pula sebaliknya, jika ketidakpastian makroekonomi menurun maka penawaran kredit perbankan meningkat. Implikasi kebijakan dari hasil penelitian tersebut adalah penurunan penawaran kredit akan menurunkan investasi agregat, yang seterusnya memperbesar fluktuasi makroekonomi. Hoggarth et al. (2005) menggunakan pendekatan VAR, meninjau keterkaitan
dinamik
antara
penghapusbukuan
kredit
perbankan
dengan
makroekonomi yang terjadi di Inggris periode 1988 kuartal pertama sampai dengan 2004 kuartal kedua. Penelitian tersebut menggunakan ukuran kerentanan (fragility) perbankan yaitu rasio antara penghapusbukuan kedit terhadap total penyaluran kredit. Pemodelan dinamik menggunakan VAR dengan menekankan analisis IRF dan Variance Decomposition. Peubah-peubah yang digunakan dalam model adalah: (1) rasio antara write-off dengan penyaluran dana, (2) output gap, (3) tingkat inflasi retail tahunan, dan (4) suku bunga nominal jangka pendek perbankan. Hasil kriteria Schwartz dan AIC, menyarankan panjang lag VAR pada ordo satu. Hasil estimasi VAR
49
menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang signifikan antara perubahan output gap dengan rasio write-off agregat. Rasio write-off dan perubahan inflasi memiliki hubungan berlawanan arah dengan output. Meskipun terjadi hubungan sigifikan antara GDP (relatif terhadap potensial) dengan rasio write-off tetapi tidak terjadi hubungan sebaliknya. Perubahan yang terjadi pada output secara signifikan membawa dampak pada rasio write-off, yang terjadi pada enam kuartal ke depan dengan dampak tertinggi setelah satu tahun. Rasio write-off juga meningkat mengikuti tingkat inflasi dan nominal tingkat bunga, meskipun pengaruhnya terjadi dalam jangka panjang, yaitu setelah empat sampai enam kuartal ke depan. Kesimpulan penelitian tersebut, bahwa meskipun terjadi tekanan perekonomian yang kuat selama dua dekade terakhir, tetapi kondisi sektor perbankan di Inggris masih tetap kokoh. Penelitian dikemukakan oleh Filosa (2007) tentang keterkaitan kondisi perbankan dengan resiko keuangan perbankan di Italia. Penelitian menggunakan model
analisis
VAR
untuk
peubah-peubah keuangan dan
meninjau
interaksi
antara
makroekonomi,
indikator kinerja perbankan periode 1990
kuartal ketigasampai dengan 2005 kuartal keempat. Ada tiga model VAR yang digunakan dalam penelitian Filosa. Perbedaan antara ketiganya adalah dalam penggunakan peubah yang merepresentasikan kondisi kinerja bank (banks’ soundness), pertama adalah menggunakan non performing loans dengan data flow, kedua adalah non performing loans dengan data stock, sedangkan yang ketiga adalah menggunakan perbedaan suku bunga terhadap posisi pinjaman yang diberikan kepada masyarakat (interest margins to outstanding loans). Selengkapnya peubah yang digunakan dalam penelitan adalah: (1) output
50
dan inflasi sebagai representasi makroekonomi, (2) selisih antara tingkat bunga pinjaman dan simpanan (spread), dan rasio jumlah kapital yang dipegang bank dengan pinjaman (free capital to loan ratio) sebagai representasi kondisi keuangan, dan (3) peubah yang digunakan sebagai representasi kondisi kekuatan perbankan seperti keterangan yang terdapat pada paragraf sebelumnya, yaitu ada tiga peubah berbeda. Kesimpulan dari penelitian Filosa secara ringkas adalah: (1) terdapat hubungan timbal balik yang signifkan antara peubah perbankan dengan perekonomian riil, shock positif pada kredit bermasalah mengindikasikan aktifitas riil dan inflasi yang lemah, demikian pula sebaliknya, (2) gangguan pada kondisi penawaran kredit berpengaruh pada indikator bank distress dan profitabiitas secara dinamis, (3) kenaikan kapitalisasi pada bank cenderung menurunkan NPLs, terjadi timbal balik yang positif antara kenaikan modal dengan kenaikan output riil, dan (4) dampak kenaikan suku bunga dan nilai tukar pada output dan inflasi sangat kecil pengaruhnya.
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kredit di Indonesia Kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kredit di Indonesia dilakukan oleh beberapa penulis dengan berbagai pendekatan masalah. Dari berbagai sudut pandang penelitian yang beragam tersebut, diharapkan dapat teridentifikasi beberapa peubah terpilih yang digunakan dalam model. Penelitian Agung et al. (2001) mengkaji pemasalahan fenomena credit crunch di Indonesia, dengan menggunakan alat analisis maximum likelihood, diidentifikasi peubah-peubah yang mempengaruhi persamaan penawaran dan permintaan kredit di Indonesia. Penawaran kredit secara riil ditentukan oleh
51
kapasitas kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan bank untuk menawarkan kredit, sedangkan permintaan kredit ditentukan oleh GDP riil dan suku bunga kredit. Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan bank untuk menawarkan kredit menurut peneliti tersebut adalah seperti tingkat suku bunga, rasio modal terhadap aset, dan Non Performing Loans (NPL). Kapasitas kredit didefinisikan sebagai total pasiva dikurangi modal bank, giro wajib minimum, dan kas bank. Suku bunga pinjaman adalah rata-rata tertimbang suku bunga kredit untuk modal kerja dan investasi. GDP riil bulanan diperoleh dengan cara menginterpolasi data GDP riil kuartalan. Dalam fungsi penawaran, seluruh koefisien sesuai dengan apa yang diperkirakan. Kapasitas kredit memiliki tanda yang positif, artinya kredit yang diberikan sangat tergantung pada kapasitas kredit yang tersedia. Suku bunga kredit memiliki koefisien yang positif dan signifikan yang dapat diartikan semakin tinggi suku bunga semakin banyak kredit yang ditawarkan oleh bank. Temuan lain adalah penawaran kredit secara positif dipengaruhi oleh rasio modal terhadap aset. Hasil tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa penurunan kredit setelah masa krisis sebagian merupakan akibat capital crunch. Sementara itu, koefisien kredit bermasalah memiliki hubungan negatif dan signifikan yang mengimplikasikan semakin tinggi kredit bermasalah yang dimiliki bank, semakin menurun kredit yang dapat disalurkan. Kredit bermasalah yang tinggi menyebabkan bank harus membentuk cadangan penghapusan yang lebih besar. Dalam persamaan permintaan kredit, output memiliki hubungan yang searah dan signifikan dengan permintaan kredit. Sementara suku bunga kredit
52
yang seharusnya memiliki hubungan negatif malah memiliki hubungan positif. Fenomena tersebut mencerminkan suku bunga tidak menjadi masalah utama bagi dunia usaha dalam melakukan permohonan kredit. Kajian oleh Harmanta dan Ekananda (2005) tentang faktor-faktor yang menyebabkan penurunan penyaluran kredit perbankan di Indonesia pasca krisis moneter 1997, lebih dipengaruhi oleh faktor penawaran kredit atau oleh permintaan kredit. Penelitian ini mengggunakan data time series bulanan periode Januari 1993 sampai Desember 2003, total 132 observasi menggunakan model switching regression dan estimasi maximum likelihood untuk menentukan probabilitas permintaan dan penawaran. Peubah yang digunakan dalam persamaan penawaran adalah total kredit yang disalurkan oleh bank umum, kapasitas kredit (lending capacity) bank umum, suku bunga kredit bank umum, suku bunga SBI, Non Performing Loans (NPL), serta peubah dummy, yang bernilai 0 untuk periode Januari 1993 sampai dengan Juni 1997, dan bernilai 1 untuk periode Juli 1997 sampai dengan Desember 2003. Kapasitas kredit dan suku bunga kredit diharapkan mempunyai hubungan positif dengan penawaran kredit, sedangkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), NPL, dan peubah dummy diharapkan mempunyai hubungan negatif dengan penawaran kredit. Peubah yang digunakan dalam persamaan permintaan adalah total kredit yang disalurkan oleh bank umum, produk domestik bruto, spread suku bunga kredit dikurangi suku bunga deposito, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, indeks harga saham gabungan, dan laju inflasi bulanan. Secara teoritis, hubungan antara peubah bebas dengan permintaan kredit adalah produk domestik bruto, indeks harga saham gabungan, dan inflasi bulanan diharapkan berkorelasi positip
53
dengan permintaan. Spread suku bunga dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika diharapkan berkorelasi negatif dengan permintaan kredit. Temuan ringkasnya antara lain, bahwa pada periode sebelum krisis, tahun 1993 sampai dengan 1996, di mana perekonomian mengalami booming, penyaluran kredit perbankan lebih banyak didorong oleh permintaan kredit (demand driven). Sepanjang krisis tahun 1997 sampai dengan 1998, menurunnya penyaluran kredit disebabkan oleh menurunnya kemampuan bank (lending capacity) dalam menyalurkan kredit sehingga jumlah penawaran kredit lebih kecil daripada permintaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit aktual yang terjadi pada periode krisis tersebut lebih disebabkan oleh faktor penawaran kredit atau terjadi credit crunch. Pada periode setelah krisis, tahun 1999 sampai dengan sekarang, terjadi excess supply atau kelebihan penawaran kredit bank dibandingkan permintaan kredit, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan kredit (melemahnya penyaluran kredit) yang terjadi setelah krisis sampai dengan tahun 2003 lebih disebabkan oleh masih lemahnya permintaan kredit. Penelitian dengan menggunakan pendekatan mikroekonomi, Nuryakin dan Warjiyo (2006) melakukan analisis perilaku penyaluran dana 15 bank terbesar di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah industrial organization approach. Tidak seperti dalam pendekatan standar kebijakan moneter yang secara sederhana menganggap sektor perbankan sebagai suatu agregat yang pasif, pendekatan ini memodelkan bank sebagai suatu entitas-bebas yang bereaksi secara optimal terhadap lingkungannya, termasuk struktur industri dan pasar dimana bank beroperasi. Perilaku penawaran kredit bank tidak hanya dipengaruhi peubah-peubah
54
seperti suku bunga, prospek ekonomi dan kondisi internal bank, tetapi juga oleh perilaku bank dalam memaksimisasi laba sesuai dengan karakteristik struktur pasar dimana bank beroperasi. Peubah yang digunakan adalah DPK (Dana Pihak Ketiga), CAR (Capital Adequacy Ratio), NPL (Non Performing Loan), BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional), MS (Market Share), dan Q adalah total kredit bank-bank pesaing. Koefisien dari variabel Q menunjukkan tingkat ketergantungan antar bank dan dihipotesiskan bernilai positif. Uji koefisien variabel Q bersama dengan uji koefisien peubah MS yang dihipotesiskan bernilai positif, menjadi indikasi keberadaan pasar oligopoli. Untuk menguji pengaruh kondisi internal bank terhadap penawaran kredit, dilakukan pengujian terhadap peubah DPK, CAR, NPL, dan BOPO. Sedangkan untuk melihat keefektifan instrumen kebijakan moneter dilihat koefisien dari spread antara suku bunga SBI dengan suku bunga deposito yang dihipotesiskan bernilai negatif. Hasil pengujian hipotesis pengaruh kondisi internal bank terhadap penawaran kredit adalah sebagai berikut: 1. Hasil estimasi koefisien CAR sesuai dengan hipotesis yaitu bernilai negatif meskipun dengan tingkat signifikansi berbeda pada kedua hasil estimasi . 2. Hasil estimasi koefisien NPL tidak sesuai dengan hipotesis yaitu bernilai positif dan dengan tingkat signifikansi yang berbeda dari kedua hasil estimasi. 3. Kapasitas kredit yang diwakili dengan DPK sesuai dengan hipotesis yaitu bernilai positif dan signifikan. 4. Efisiensi bank yang diwakili dengan BOPO juga sesuai dengan hipotesis bernilai negatif dan signifikan. Dari pengaruh kondisi internal bank terhadap penawaran kredit tersebut,
55
disimpulkan bahwa keseimbangan maksimisasi laba, jumlah dan suku bunga kredit tidak mencerminkan kondisi ideal fungsi intermediasi perbankan. Hasil estimasi koefisien suku bunga SBI signifikan dan bernilai negatif. Hal ini menandakan bahwa suku bunga SBI sangat efektif sebagai instrumen transmisi kebijakan moneter. Suku bunga SBI secara signifikan dan negatif mempengaruhi penawaran kredit mengindikasikan efektifnya suku bunga ini sebagai instrumen kebijakan moneter. Meskipun terdapat indikasi bank lebih memilih kredit sebagai investasi portofolio dibanding SBI namun ternyata perbedaan ini tidak signifikan. Spread suku bunga SBI terhadap suku bunga kredit masih dianggap belum optimal memberi arah bagi bank untuk menentukan preferensi kedua bentuk investasi portofolio tersebut. Namun hal tersebut bisa saja bukan disebabkan spread yang tidak ideal, tetapi disebabkan kondisi bank yang over-liquid. Penelitian dilakukan oleh Meydianawathi (2007) dengan tujuan menguji pengaruh beberapa peubah terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum secara parsial kepada sektor UMKM di Indonesia periode Januari 2002 sampai dengan Februari 2006. Penelitian juga menguji pengaruh beberapa peubah terhadap penawaran kredit investasi dan modal kerja bank umum secara serempak kepada sektor UMKM di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah ordinary least square dengan menggunakan peubah DPK, ROA, NPL, CAR, terhadap perilaku penawaran kredit investasi dan kredit modal kerja bank umum kepada sektor UMKM di Indonesia. Secara serempak hasil uji signifikansi menunjukkan bahwa DPK, CAR, ROA, dan NPL berpengaruh nyata terhadap perilaku penawaran kredit bank umum, baik berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja kepada sektor
56
UMKM di Indonesia. Artinya selain dana yang tersedia dari masyarakat, DPK, perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitor dan kondisi perbankan itu sendiri seperti permodalan, CAR, jumlah kredit macet, NPL, serta perbandingan laba terhadap total aset, ROA. Sedangkan Armanto (2005) yang ingin membuktikan keberadaaan credit crunch di Indonesia, menganalisis serta mengevaluasi permintaan dan penawaran kredit, menggunakan beberapa peubah untuk menjawab tujuan penelitian tersebut. Pada fungsi permintaan kredit, terdapat peubah yaitu jumlah kredit yang diminta, output nasional, suku bunga kredit modal kerja, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, inflasi bulanan, suku bunga SBI serta indeks harga saham gabungan. Sedangkan pada fungsi penawaran kredit, terdiri dari peubah jumlah kredit yang ditawarkan, kapasitas kredit, rasio modal terhadap total aset, NPL, suku bunga kredit modal kerja, dan rasio pendapatan dengan biaya operasional. Hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan kredit dipengaruhi signifikan oleh GDP, suku bunga, nilai mata uang, SBI dan Inflasi, sedangkan penawaran kredit dipengaruhi oleh kualitas kredit dan efisiensi. Penelitian juga menunjukkan bahwa credit crunch sudah terjadi sejak 2000, dan kelompok bank swasta paling rentan terhadap credit crunch. Disintermediasi terjadi karena permintaan kredit mengalami penurunan.
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Bank Syariah di Indonesia Beberapa
penelitian
berikut
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembiayaan perbankan syariah di Indonesia. Asy’ari (2004) melakukan kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan
57
perbankan syariah dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Peubah yang digunakan adalah rata-rata suku bunga pinjaman, bonus SWBI, jumlah uang kartal yang beredar, dan jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun. Alat analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Menurut peneliti ketika suku bunga rata-rata pinjaman naik sementara imbal bagi hasil terhadap pembiayaan perbankan syariah tetap, orang akan melunasi pinjaman dari bank konvensional dan berpindah ke pembiayaan perbankan syariah. Jumlah dana pihak ketiga diharapkan bertanda positif, artinya ketika dana pihak ketiga mengalami kenaikan maka pembiayaan perbankan syariah juga mengalami kenaikan. Sedangkan jumlah uang beredar diduga dan diharapkan bertanda positif. Hal ini sesuai teori bahwa cairnya pembiayaan yang diajukan akan menambah jumlah uang beredar. Suku bunga pinjaman diharapkan dan diduga bernilai positif. Dari hasil analisis statistik diperoleh hasil bahwa, yang memiliki pengaruh signifikan adalah dana pihak ketiga dan suku bunga rata-rata pinjaman, sedangkan bonus SWBI dan jumlah uang beredar tidak memiliki pengaruh signifikan. Penelitian dengan menggunakan peubah makro dan indikator kinerja bank syariah digunakan oleh Anggraini (2005) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran pembiayaaan mudharabah dan musyarakah dengan studi kasus pada Bank Syariah Mandiri periode Maret 2001 sampai dengan Maret 2005. Metode analisis yang digunakan adalah TSLS (Two Stage Least Squares) dengan alasan dua model persamaan mempunyai hubungan yang simultan di antara keduanya. Peubah yang digunakan dalam penelitian adalah profit yang merupakan pendapatan bagi hasil yang diterima bank syariah dari pembiayaan yang
58
diberikan, jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK), pembiayaan bermasalah atau Non Performing Loan (NPL), Gross Dometic product (GDP), serta suku bunga kredit investasi bank konvensional untuk mengestimasi peubah profit pada titik keseimbangan. Dari hasil uji statistik, ternyata hanya peubah profit yang signifikan, meskipun secara bersama-sama peubah mampu mempengaruhi jumlah penawaran bank syariah. Penelitian lain yang bertujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh peubah ekonomi makro dengan kinerja perbankan syariah, dilakukan oleh Wibowo (2006). Dengan menggunakan metode analisis TSLS seperti yang dilakukan oleh Anggraini, Wibowo menggunakan peubah-peubah makro yaitu Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sedangkan peubah yang digunakan untuk mewakili kinerja perbankan adalah rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR), rasio keuntungan atau Return On Asset (ROA), rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF), Dana Pihak Ketiga (DPK), serta rasio pembiayaan atau Financing to Deposit Ratio (FDR). Dengan menggunakan kerangka keterkaitan antara peubah makroekonomi Dengan kinerja keuangan bank, didapat bahwa suku bunga dalam mempengaruhi kinerja perbankan syariah melalui dana pihak ketiga dan selanjutnya melalui LDR dan akhirnya berpengaruh pada rasio permodalan. Dari penelitian diperoleh bahwa suku bunga tidak mempengaruhi peningkatan dana pihak ketiga perbankan syariah. Peubah PDB mempengaruhi kinerja perbankan melalui dana pihak ketiga dan selanjutnya berjalan melalui LDR dan akhirnya berpengaruh terhadap CAR. Peubah PDB secara signifikan berpengaruh pada peningkatan dan pihak ketiga,
59
artinya semakin tinggi pendapatan masyarakat kemampuan untuk menyisihkan sebagian pendapatannya untuk disimpan semakin meningkat. Sedangkan peubah nilai tukar dalam mempengaruhi kinerja perbankan syariah melalui NPF dan selanjutnya mempengaruhi CAR. Nilai tukar ternyata signifikan mempengaruhi NPF. Penelitian Maryanah (2007) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil dengan studi kasus di Bank Syariah Mandiri (BSM) menggunakan peubah-peubah independen dana pihak ketiga, pendapatan bagi hasil, dan rasio NPF. Tujuan penelitan adalah mengetahui pengaruh peubahpeubah tersebut terhadap pembiayaan bagi hasil di BSM pada jangka pendek, maupun jangka panjang dengan persamaan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitiannya adalah DPK berpengaruh secara positif dalam jangka panjang, profit berpengaruh positif secara signifikan terhadap pembiayaan bagi hasil dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sedangkan NPF signifikan mempengaruhi dalam jangka panjang saja dengan arah positif. Dari uji kointegrasi, diketahui bahwa ketiga faktor secara bersama-sama memiliki hubungan kointegrasi terhadap pembiayaan bagi hasil BSM
pada periode
Januari 2001 sampai September 2005. Penelitian Lindiawatie (2007) dan Sujatna (2007), membagi peubah yang mempengaruhi pembiayaan dalam dua kelompok yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari internal perbankan syariah, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar perbankan syariah seperti peubah makro dan suku bunga. Penelitian yang dilakukan oleh Lindiawatie (2007) antara lain bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya dampak faktor eksternal dan internal perbankan
60
syariah terhadap pembiayaan macet. Peubah faktor eksternal yang digunakan adalah GDP, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan inflasi. Sedangkan peubah faktor internal yang digunakan adalah modal, FDR, dan jumlah pembiayaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode VAR dengan penekanan pada analisis IRF dan FEVD, dengan periode analisis time series adalah tahun 2001 sampai dengan 2006 secara bulanan. Hasil penelitian antara lain menunjukkan bahwa shock yang dominan menjelaskan pembiayaan macet, adalah modal dan pembiayaan macet, sedangkan shock yang dominan menjelaskan pembiayaan, adalah pembiayaan itu sendiri, modal dan bunga. Peningkatan pembiayaan macet akan menurunkan modal bank, FDR, dan pembiayaan, sehingga proses intermediasi terganggu. Kajian faktor internal dan eksternal yang dilakukan oleh Sujatna (2007) bertujuan untuk mengetahui seberapa masing-masing faktor mempengaruhi jumlah pembiayaan bagi hasil. Metode penelitian yang digunakan menggunakan alat analisis regresi linier berganda, dengan periode penelitian sejak Januari 2001 sampai dengan Januari 2006. Indikator faktor internal yang digunakan sebagai peubah yaitu nisbah bagi hasil, dengan pertimbangan bahwa nisbah merupakan bagian keuntungan yang menjadi hak pemilik dana. Sedangkan faktor eksternal yang digunakan adalah suku bunga kredit bank konvensional, nilai tukar, dan Inflasi. Suku bunga kredit bank konvensional diposisikan sebagai substitusi yang berpengaruh positif terhadap permintaan pembiayaan bagi hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat peubah yang digunakan secara bersama-sama dapat mempengaruhi peubah jumlah pembiayaan, meskipun hasil uji t peubah internal yaitu nisbah tidak signifikan mempengarui pembiayaan.
61
Pengaruh faktor eksternal terhadap kinerja keuangan bank syariah, studi kasus pada Bank Syariah Mandiri dilakukan oleh Arsil (2007). Faktor eksternal yang dianalisis adalah Gross Nasional Product (GNP), SBI, nilai tukar dolar, serta indeks harga saham gabungan. Faktor-faktor eksternal tersebut digunakan untuk mempengaruhi kinerja keuangan yang terdiri-dari ROA, ROE, LDR, dan CAR. Penelitian yang menggunakan analisis linier berganda pada periode Januari 2001 hingga Juni 2003, menghasilkan temuan bahwa SBI mampu mempengaruhi ROE dan ROA, GNP mempengaruhi ROA dan CAR, serta nilai tukar mampu mempengaruhi LDR. Dari hasil analisis tersebut hanya IHSG yang tidak sanggup mempengaruhi kinerja keuangan. Dari analisis terakhir tersebut, sangat menarik jika memasukkan faktor eksternal Jakarta Islamic index (JII) sebagai pengganti IHSG. Menurut penelitian Ayatullah (2003), tingkat pengembalian investasi (expected rate return), menunjukkan bahwa JII lebih baik dibandingkan kinerja emiten pembentuk IHSG, selain itu JII yang menekankan pada jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam, melalui proses screening dan cleansing lebih sesuai jika dikaitkan dengan kinerja perbankan syariah.