IDENTITAS PENAMPILAN MUSLIM DALAM HADIS: PEMAHAMAN HADIS MEMELIHARA JENGGOT DALAM KONTEKS KEKINIAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
LINA SHOBRINA NIM: 1112034000118
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ABSTRAK Lina Shobrina “Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Pemahaman Hadis Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian” Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa hadis hendaknya tidak selalu dipahami secara tekstual, namun memperhatikan sosio-historis dan konteks hadis tersebut. Kesimpulan ini menjawab pemahaman hadis tentang salah satu identitas Muslim yang membedakan dengan umat lain, yaitu memelihara jenggot. Pemeliharahaan jenggot dalam konteks kekinian tidaklah menjadi satu-satunya identitas Muslim sebagaimana pada masa awal Islam, jenggot telah menjadi trend fashion yang dilakukan oleh siapapun tanpa melihat ada nilai teologis atau tidak. Beberapa ulama hadis berbeda pendapat dalam memahami hadis memelihara jenggot. Pertama ulama yang memahami hadis tersebut secara tekstual, seperti Nasīr al-Dīn al-Albanī, Abū Muḥammad bin Ḥazm, „Abd Al„Azīz bin „Abd Allāh bin Bāz. Mereka berpendapat memelihara jenggot merupakan perintah Nabi Muhammad saw. yang harus dilaksanakan dan merupakan bagian dari sunnah. Kedua ulama yang memahami hadis tersebut secara kontekstual, seperti al-Syarbasī, al-Qaradāwī, dan Syuhudi Ismail. Mereka berpendapat memelihara jenggot pada hadis tersebut merupakan anjuran dan bukan merupakan perintah. Penulis menggunakan teori pemahaman teks, double movement Fazlur Rahman, dalam memahami hadis memelihara jenggot dalam konteks kekinian. Pendekatan sosio-historis juga penulis gunakan untuk menemukan makna konteks ketika hadis tersebut muncul, kemudian penulis korelasikan dengan konteks kekinian.
ii
KATA PENGANTAR
الرِحي ِم َّ ِالر ْْحَ ِن َّ ِبِ ْس ِمِاللَِِّه
Segala puji bagi Allah swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis. Berkat izin dari-Nya penulis pada menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. Semoga kita termasuk umatnya yang istiqamah mengikuti perintahnya, dan mendapatkan syafa‟at darinya pada hari Kiamat kelak. Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul ”IDENTITAS PENAMPILAN MUSLIM DALAM HADIS: METODE PEMAHAMAN HADIS MEMELIHARA JENGGOT DALAM KONTEKS KEKINIAN” ini tidak akan rampung jika hanya mengandalkan daya yang penulis miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya. 3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan,
iii
memberikan motivasi, dan mengoreksi dalam penulisan skripsi ini. Jazākumullah ahsanal jazā, hanya Allah yang dapat membalas semua kebaikan bapak dengan balasan yang lebih baik. 5. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., selaku dosen matakuliah Metode Pemahaman Hadis. Berkat tugas matakuliah tersebut dan masukan beliau, mengispirasi penulis untuk menulis karya ini. 6.
Bapak Dr. Isa AH Salam, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi kemudahan bagi penulis dalam mengurus administrasi perkuliahan dan penyelesaian skripsi.
7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman berharga kepada penulis. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan dalam segala hal. 8. kepada seluruh guru di MI. Nurul Jihad, Mts. MTM, MA. Muhammadiyah, khususnya–(alm) Ust. Sidik Allahumgfirlahu, Ust. Dayat, bu Nurlela, (alm) Pak Helwani Allahumagfirlahu, bu Sofia, miss Nurjanah, bu Tuti, bu Erni, pak Ilmi, pak Azhar, pak Gozali, pak Surya. Berkat ilmu dari mereka semua dapat mengantarkan penulis sampai ke jenjang universitas. 9. Kepada kedua orang tua tercinta Abi Zahruddin Noor dan Ummi Siti Nurjanah, yang selalu mendoakan kebaikan dalam setiap aktifitas penulis, yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Yang dengan sabar menunggu tanpa
iv
adanya „kebawelan‟ tekanan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. 10. Keluarga di rumah, Kakak-kakak dan adik-adik tercinta, ka Rizana yang selalu menanyakan kemajuan dalam menulis skripsi, bang Zakiy, ka Nuha, Muhammad, Luqman, dan Hani yang menjadikan suasana rumah menjadi ramai. Keponakan, Alisha dan Hasna, yang telah menjadi penghibur penulis di saat sedang penat menulis. 11. Para sahabat satu jurusan Tafsir Hadis 2012, terutama ciwi-ciwi TH D 2012, eceu Neng Ayu yang sering penulis repotkan dalam segala hal penunjang skripsi. Farhanah, Siti Umi, Fatia, Umi Faridhoh, Yuli, Inayah, Amel, Kiki, Zubaedah, yang telah menasehati, memotivasi dan mewarnai
kehidupan
kebersamaannya
penulis
selama
empat
selama tahun,
kuliah.
Terimakasih
terimakasih
telah
atas mau
meluangkan waktu untuk mendengarkan sharing dan suka duka penulis. 12. Teman-teman satu kosan Yellow Catle Ka Nuna, Neng Tria, Teh Novi, Fairuz, Bunda Nufus, Zaky, Machu, Muzvie, Nitta, Denis, yang telah penulis anggap sebagai bagian dari keluarga, teman curhat dan cerita penulis yang memberikan hiburan, kecerian, dan kehangatan. Teman yang selalu penulis rindukan kebersamaan bersama mereka. 13. Segenap keluarga baru penulis MTs dan MA Muallimien/aa Jakarta, tempat saat ini penulis mengamalkan sedikit ilmu yang ada, dan belajar tentang kehidupan. Guru-guru senior di dalamnya –Bunda Erni, Abah Ilmi, Bu Sri−. Guru-guru muda –Sensei Rani, Yuni, Bu Nabila, bu Diana, bu Zia, bu Desi− teman baru penulis yang selalu memotivasi
v
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Anak-anak muridku yang mendoakan penulis agar cepat selesai setiap kali penulis sedang mengajar. 14. Teman-teman „Dinamis‟ ka Dina, ka Rina, ka Nunu, ka Shara, ka Dewi, Syifa, Nida, ka Wia, Aisyah. Teman-teman di Remaja Masjid Azzahrah, Pak Erick, ka Rio, Tias, Fini, Ade. 15. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada “pemilik dua cahaya” yang telah memberikan sebagian cahayanya kepada penulis dalam bentuk doa, motivasi, semangat, kesabaran, arahan, keceriaan, dan senyuman ketika penat, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 16. Dan seluruh pihak yang telah membantu proses perkuliahan dan penulisan skripsi ini, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Jazākumullāh aḥsanal Jazā’.
Terakhir, penulis berharap semoga skripsi ini sedikit banyak dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi awal untuk memotivasi penulis agar terus berkarya. Semoga Allah swt., selalu memberi limpahan berkah dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Ᾱmīn Yā Rabba al-‘Ᾱlamīn.
Jakarta, 21 Januari 2017 Hormat saya, Lina Shobrina
vi
DAFTAR ISI ABSTARAK ................................................................................................................. ii KATA PENGANTAR .................................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................................. vii PEDOMAN TRASLITERASI .................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah........................................................................... 7 1. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 7 2. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................................ 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 8 1. Manfaat Akademik.......................................................................................... 8 2. Manfaat Praktis ............................................................................................... 8 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 9 E. Metodologi Penelitian ...................................................................................... 11 1. Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 11 2. Metode Analisis ........................................................................................... 12 3. Metode Penulisan ......................................................................................... 14 F. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 14
BAB II METODE PEMAHAMAN HADIS DAN RAGAMNYA A. Definisi Metode Pemahaman Hadis ................................................................ 16 B. Sekilas Perkembangan Metode Pemahaman Hadis ......................................... 18 C. Beberapa Ragam Metode Pemahaman Hadis .................................................. 22 1. Metode Pemahaman Hadis Al-Syāfi‟ī ......................................................... 22 2. Metode Pemahaman Hadis Ibn Qutaybah.................................................... 26 3. Metode Pemahaman Hadis Yūsuf al-Qaradāwī ........................................... 30
vii
D. Fazlur Rahman dan Teori Double Movement ................................................. 37 1. Sekilas Biografi Fazlur Rahman .................................................................. 37 2. Teori Double Movement Fazlur Rahman ..................................................... 39 3. Contoh Aplikasi Teori Double Movement ................................................... 42
BAB III DISKURSUS SEPUTAR IDENTITAS DAN JENGGOT A. Diskursus Seputar Identitas ............................................................................. 44 1. Pengertian Identitas ...................................................................................... 44 2. Identitas Seorang Muslim ............................................................................ 46 B. Diskursus Seputar Jenggot ............................................................................... 50 1. Pengertian Jenggot ....................................................................................... 50 2. Tradisi Memelihara Jenggot Pra-Islam ........................................................ 51 3. Tradisi Memelihara Jenggot Masa Nabi saw dan Sahabat .......................... 54 4. Pendapat Ulama Tentang Hadis Memelihara Jenggot ................................. 56
BAB IV APLIKASI METODE DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN TERHADAP HADIS MEMELIHARA JENGGOT A. Hadis-Hadis Memelihara Jenggot .................................................................... 62 1. Berbeda Dengan Kaum Musyrik ................................................................. 62 2. Berbeda Dengan Kaum Majusi .................................................................... 64 3. Berbeda Dengan Kaum Yahudi dan Nasrani ............................................... 66 B. Aplikasi Double Movement Dalam Hadis Memelihara Jenggot ...................... 68 C. Makna Identitas Jenggot Dalam Konteks Kekinian ......................................... 76
Bab V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................... 86 B. Saran ................................................................................................................ 86
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 87 viii
PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Turabian Style ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut: A. Konsonan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
ARAB ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض
LATIN a b t th j ḥ kh d dh r z s sh ṣ ḍ
NO 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
ARAB ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
LATIN ṭ ẓ „ gh f q k l m n w h ‘ y
B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda َ َ َ
Nama Fatḥah Kasrah Ḍammah
Huruf Latin a i u
2. Vokal Rangkap Tanda
Gabungan Huruf ai au
Nama
ي... َ Fatḥah dan ya و... َ Fatḥah dan wau Contoh: حسين: Hūsain حول: Hāul
ix
Nama a dan i a da u
3. Vokal Panjang Tanda
Nama
ــا ــي ــو
Fatḥah dan alif Kasrah dan ya Ḑamah dan wau
Gabungan Huruf ā ī ū
Nama a dan garis di atas I dan garis di atas u dan garis di atas
C. Ta’ Marbūṭah Transliterasi ta‟ marbūţah ( )ةdi akhir kata, bila dimatikan ditulis h. Contoh: هرأة: Mar‟ah هدرسة: Madrasah (ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz aslinya) D. Shiddah Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu. Contoh: ربّنا: Rabbanā ش ّوال: Shawwāl E. Kata Sandang Alif + Lam Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al. Contoh: القلن: al-Qalam
x
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama Samawi terakhir yang di turunkan Allah melalui nabi-Nya yakni Nabi Muhammad saw. di Jazirah Arab tepatnya di Mekkah.1 Kondisi keagamaan Jazirah Arab baik sebelum Islam datang maupun setelah Islam datang telah terdapat sejumlah keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jazirah Arab. Di kota Yastrib misalnya−yang merupakan pusat perkembangan suksesnya dakwah Nabi−telah terdapat Agama Yahudi. Begitu juga dengan Agama Nasrani yang menjadi bagian dari kepercayaan di Jazirah Arab walaupun populasinya tidak sebesar Agama Yahudi. Di wilayah Jazirah Arab terdapat pula Agama Majusi. Kepercayaan yang lainnya adalah kepercayaan paganisme2 dan politeisme3 yang banyak sekali dianut oleh bangsa Arab sebelum Islam datang, terutama di Mekkah.4 Melihat kondisi keagamaan di Jazirah Arab bukan hanya Islam, maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk memiliki identitas diri baik dalam hal ciri fisik maupun ibadah, yang tujuannya adalah untuk membedakan antara perkara-perkara yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu dengan umat Islam, agar umat Islam lebih mudah untuk dikenali. Hal ini sebagaimana terekam dalam al-Qur‟an surat al-Ahzāb ayat: 59
1
Ṣafīyy al-Raḥmān al-Mubākfury, Sīrah Nabāwiyah, terj. Karthur Suhardi (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2002), h. 89. 2 Paganisme merupakan sebuah kepercayaan atau praktik ritual penyembahan terhadap berhala yang mana pengikutnya disebut Pagan. Bangsa Arab khusus penduduk Mekkah merupakan penganut paganisme. Para pagan percaya bahwa terdapat kekuatan yang dimiliki oleh benda-benda mati, oleh karena itu mereka berlindung dan meminta melalui benda-benda mati. Lihat, Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 997. 3 Politeisme merupakan bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu tuhan. Lihat, Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1091. 4 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 27-28.
1
2
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Azhāb: 59).
Sebelum turun ayat ini, cara berpakaian wanita Muslim dan wanita non-Muslim, wanita merdeka atau budak, hampir dapat dikatakan sama. Karena itu kaum laki-laki sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka duga atau ketahui sebagai hamba sahaya. Untuk menghindari gangguan tersebut, serta menampakkan kehormatan wanita Muslimah, maka diperlukan dengan memakai jilbab. Dengan demikian hal itu menjadikan wanita Muslimah lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu.5 Bukan hanya dalam al-Qur‟an, upaya identitas diri dalam perkara-perkara ibadah yang tujuannya adalah agar terdapat perbedaan antara umat Islam dengan umat terdahulu juga terdapat dalam hadis-hadis. Seperti ibadah puasa sunnah hari Āsyūrā‟ :
ِ ُ ال رس ٍ ََّخبَ َرنَا ابْ ُن أَِِب لَْي لَى َع ْن َد ُاوَد بْ ِن َعلِ ٍّي َع ْن أَبِ ِيو َع ْن َجدِّهِ ابْ ِن َعب صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َ َاس ق َ َق ْ ال ُى َشْي ٌم أ َ ول اللَّو ُ َ َ َال ق 6 ِِ ِ وموا قَ ْب لَوُ يَ ْوًما أ َْو بَ ْع َدهُ يَ ْوًما ُ وموا يَ ْوَم َع َ وراءَ َو َخال ُفوا فيو الْيَ ُه ُ ود ُ َو َسلَّ َم ُص ُص َ اش Berkata Husyaim telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abu Laila dari Dawud bin Ali dari bapaknya dari kakeknya yaitu Ibnu 'Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berpuasalah kalian pada hari 'Asyura` dan selisihilah kaum Yahudi, maka berpuasalah satu hari sebelum atau sesudahnya." Berpuasa pada hari Āsyūrā‟ yakni pada tanggal 10 Muharram merupakan puasa yang biasa di lakukan Nabi Muhammad bahkan pada masa jahiliyyah.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol.11, h.319-320. 6 Ibnu Hanbal, Musnad Aḥmad Ibn Hanbal, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1991), h. 327.
3
“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura‟ di masa jahiliyyah, Rasulullah saw pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa”. “Nabi saw. Tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura‟. Beliau bertanya: „Hari apa ini?‟ mereka menjawab: „Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab: „Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian (Yahudi), maka kami berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami pada hari itu.7 Oleh karena itu ketika di Madinah dan Nabi Muhammad mengetahui bahwa umat Yahudi juga melakukan puasa Āsyūrā‟, maka untuk memberikan perbedaan dengan umat Yahudi, Nabi saw. memerintahkan kepada umatnya untuk melakukan puasa sebelum dan sesudah puasa Āsyūrā‟, yakni pada tanggal 9 dan 11 Muharram.8 Ibadah sunnah sahur:
ٍ ِحدَّثَنا قُت يبةُ بن سع ِ س َم ْوََل َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع ٍ وسى بْ ِن عُلَ ٍّي َع ْن أَبِ ِيو َع ْن أَِِب قَ ْي اص َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ٌ يد َحدَّثَنَا لَْي َ ث َع ْن ُم َ ُ ْ َْ َ َ َ 9 ِ َ َن رس ِ الْ َع الس َح ِر َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َّ ُْي ِصيَ ِامنَا َو ِصيَ ِام أ َْى ِل الْ ِكتَا ِب أَ ْكلَة َ ْ َص ُل َما ب ْ َال ف َ ول اللَّو ُ َ َّ اص أ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Laits dari Musa bin Ulay dari bapaknya dari Abu Qais Maula Amru bin Ash, dari Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur." Puasa merupakan ibadah yang telah Allah wajibkan bukan hanya terhadap umat Islam tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 183. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan antara puasa yang dilakukan oleh umat terdahulu dengan umat Islam. Salah satunya adalah sahur sebelum dimulainya berpuasa. Sahur merupakan sunnah dalam Islam selain untuk membedakan dengan Ahl al-Kitab, dalam makan sahur juga terdapat keberkahan.10 Memelihara jenggot sebagai identitas kaum Muslim untuk membedakan dengan umat lain : 7
Al-Bukhāri, Ṣahih Bukhāri, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1994), h. 245. Yusni A. Ghazaly, Puasa Sepanjang Tahun Bersama Nabi, (Jakarta: Alifbata, 2006), h. 88. 9 Muslim, Ṣahih Muslim (Beirūt: Maktabah al-Ma‟rifat, 1995), h. 172. 10 Muhammad Anis Sumaji, 125 Masalah Puasa, (Jakarta: Tiga Serangkai, 2008), h. 51-55. 8
4
ِ ْ ِالر ْْحَن وب َّ َخبَ َرِِن الْ َع َلءُ بْ ُن َعْب ِد ْ َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر أ ْ َخبَ َرنَا ابْ ُن أَِِب َم ْرََيَ أ ْ َح َّدثَِِن أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن إِ ْس َح َق أ َ ْب يَ ْع ُق َّ ِ َّ َّ َ ول اللَّ ِو ب َوأ َْر ُخوا اللِّ َحى َخالُِفوا ْ َم ْوََل ُ ال َر ُس َ َال ق َ َاْلَُرقَِة َع ْن أَبِ ِيو َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة ق َ َّوا ِر َ صلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم ُجُّزوا الش 11
وس َ الْ َم ُج
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah mengabarkan kepadaku al-Ala' bin Abdurrahman bin Ya'qub mantan budak al-Huraqah, dari bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukurlah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi."
ِ ٍ ِ صلَّى ُ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ِمْن َه ٍال َحدَّثَنَا يَِز ِّ ِيد بْ ُن ُزَريْ ٍع َحدَّثَنَا عُ َم ُر بْ ُن ُُمَ َّمد بْ ِن َزيْد َع ْن نَاف ٍع َع ْن ابْ ِن عُ َمَر َع ْن الن َ َِّ 12 ِ َ َاللَّو علَي ِو وسلَّم ق ِ ب َ ال َخال ُفوا الْ ُم ْش ِرك ْ ْي َوفِّ ُروا اللِّ َحى َوأ َ َّوا ِر َ َح ُفوا الش َ ََ َْ ُ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian." Asbāb al-wurūd hadis memelihara jenggot adalah “Telah datang seorang Majusi kepada Rasul yang memelihara kumisnya dan memotong jenggotnya, lalu Nabi bertanya, „Siapa yang menyuruhmu berbuat demikian?‟ Orang itu menjawab, „Tuhanku.‟ Kemudian Nabi bersabda, “Tuhanku menyuruhku untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot”.13 Asbāb al-wurūd di atas, memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad saw. memerintahkan untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah untuk memberikan perbedaan dalam hal tampilan fisik antara umat Islam dengan umat-umat lain seperti umat Majusi dan umat Musyrik yang pada umumnya melakukan hal sebaliknya yakni memelihara kumis dan mencukur jenggot.14 Melihat dari beberapa hadis yang dikeluarkan oleh Nabi Muhammad tentang identitas seorang Muslim baik dalam hal ibadah untuk memberikan perbedaan dengan umat lain maupun dalam hal tampilan fisik untuk menunjukkan identitas umat Islam, hadis-hadis ibadah seperti puasa sunnah Āsyūrā‟ dan melaksanakan sunnah sahur tidak terlalu
11
Muslim, Ṣahih Muslim, h. 187. Al-Bukhāri, Ṣahih Bukhāri, h. 45. 13 Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī, dan „Abdurrahmān ibn Abū Bakr, Al-Lam‟u fī Asbāb Wurūd al-Hadīṡ, (Mansurah: Dār al-Wafa„1988), h.205. 14 Ibn Hajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri; Syarah Ṣahīh al-Bukhāri, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Alamiyyah), Jilid X, h.428-429. 12
5
diperdebatkan oleh ulama-ulama, baik ulama hadis maupun ulama fiqh tentang hukum melaksanakannya. Akan tetapi hadis tentang menunjukkan identitas Muslim dalam tampilan fisik yakni perintah memelihara jenggot telah menjadi perdebatan yang cukup panjang antara ulama-ulama fiqh dan ulama-ulama hadis. Mazhab-mazhab fiqh berbeda pendapat tentang hukum memelihara jenggot. Dua mazhab besar yaitu al-Hanafiyyah dan al-Hanābilah tegas-tegas mengharamkan seseorang yang memiliki jenggot untuk mencukurnya hingga habis plontos. Karena tindakan itu jelasjelas bertentangan dengan hadis-hadis Nabawi. Sedangkan mazhab al-Syāfi„iyah dan alMālikiyah tidak sampai mengharamkan cukur jenggot,15 kedua mazhab ini menghukumkan makruh tanzih16. Ulama hadis juga terbagi kepada dua kelompok, ada yang memahaminya secara tekstual dan ada yang memahami secara kontekstual. Kelompok tekstual memahami bahwa memelihara jenggot merupakan suatu sunnah yang harus diikuti. Mereka menyatakan hadis ( هن تشبه بقوم فهو هنهنbarang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu) sebagai penguat argumennya, karena kelompok non-Muslim (Musyrik, Majusi) senantiasa memelihara kumis dan mencukur jenggot. Sedangkan kelompok kontekstual memahami bahwa hadis memelihara jenggot merupakan hadis yang bersifat lokal-temporal pada masa Nabi saw. dimana bangsa Arab memiliki tradisi memelihara jenggot.17 Ulama-ulama salafis konservatif seperti Muḥammad Nashirūddīn al-Albanī,18 Abū Muḥammad bin Ḥazm, „Abdul „Azīz bin „Abdullāh bin Baz, Ibn Utsaimin, sepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardhu, karena perintahnya 15
Aḥmad al-Syarbasī, Tanya Jawab Tentang Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 14. Makruh tanzih yaitu makruh yang lebih dekat kepada yang halal, dimana orang yang melakukannya tidak disiksa, namun orang yang meninggalkannya karena Allah mendapat pahala. 17 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani Hadis yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h.109. 18 Muḥammad Nashirūddīn al-Albanī, Ensiklopedi Fatwa Syaikh AlBani, (Jakarta: Pustaka Sunnah 2005), h. 300. 16
6
mengandung makna wajib.19 Mereka dapat digolongkan ke dalam kelompok tekstualis. Sedangkan ulama hadis yang memahami secara kontekstual di antaranya, Syuhudi Ismail, Aḥmad al-Syarbasī, dan al-Qaradāwī. Syuhudi Ismail memahami bahwa hadis tersebut hanya bersifat lokal, hanya berlaku bagi suatu kaum yang memiliki tingkat kesuburan jenggot secara alami seperti di negara-negara Arab. Sehingga untuk hal tersebut, bagi bangsa Indonesia yang tingkat kesuburan jenggotnya lebih rendah, tidak dapat dipaksakan. Aḥmad al-Syarbasī berpendapat bahwa memelihara jenggot dan tidak mencukurnya adalah perbuatan yang dianjurkan, seseorang akan mendapat pahala bila melakukannya, dan tidak mendapat dosa jika meninggalkannya.20 Al-Qaradāwī berpendapat bahwa hadis memelihara memelihara mengandung perintah Rasul kepada orang-orang Islam untuk berbeda dengan orang selain Islam, selain itu umat Islam harus memiliki kepribadian yang berbeda, tidak selalu mencontoh umat lain bahkan seharusnya menjadi contoh bagi umat lain.21 Yang menjadi permasalahan pada era modern ini adalah apakah memelihara jenggot merupakan salah satu ciri identitas Muslim? Sehingga jika tidak memelihara jenggot maka identitas seorang Muslim akan hilang? Atau yang lebih menukik lagi jika ditarik ke dalam ranah fiqh apabila tidak memelihara jenggot maka hukumnya haram? Oleh karena itu skripsi ini mencoba mencari metode pemahaman hadis memelihara jenggot yang tepat dalam dalam konteks kekinian dengan menggunakan metode Double Movement22 milik Fazlur Rahman23.
19
Khālid Al-Juraisiy, Fatwa-Fatwa Terkini 1. terj. Musthofa „Aini ( Jakarta: Darul Haq. 2008), h. 342. Aḥmad al-Syarbasī, Tanya Jawab Tentang Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 14. 21 Yūsuf al-Qaradāwī, Halal dan Haram Dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004), h. 126. 22 Metode Double Movement disebut juga metode interpretasi gerak ganda. Metode ini juga merupakan teori pendekatan baru yang menekankan pada kesadaran pada teks, konteks, dan kontektualisasi. Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang tidak otomistik, leteralis, dan tekstualis, melainkan metode pemahaman yang mampu menjawab persoalanpersoalan kekinian. Maksud dari gerakan ganda adalah dimulai dari situasi sekarang ke masa al-Qur‟an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Lihat Rifki Ahda Sumantri, “Hermeneutika al-Qur‟an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double Movement” dalam Komunika, Vol.7 No.1 Januari 2013, h. 7. 23 Fazlur Rahman merupakan tokoh intelektual Muslim kontemporer asal Pakistan. Walaupun terdapat beberapa kontroversi dalam pemikirannya, Rahman telah berkontribusi dalam khazanah pemikiran Islam. Salah satunya adalah Ia mencetuskan metode baru dalam penafsiran al-Qur‟an dan hadis, yaitu metode double movement. Lihat Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. (Bandung: Mizan, 1994), h. 13. 20
7
Walaupun metode ini lebih sering digunakan untuk mentafsirkan al-Qur‟an bahkan oleh Fazlur Rahman sendiri, akan tetapi Rahman tidak menghususkan metodenya hanya dapat digunakan untuk mentafsirkan al-Qur‟an, karena metode tersebut adalah metode untuk memahami teks/nash sehingga dapat juga digunakan untuk memahami hadis. Selain itu metode double movement telah tersusun secara terarah dan sistematis, sehingga memudahkan dalam menemukan pemahaman suatu nash. Selanjutnya penulis mengangkatnya dengan judul skripsi “Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Studi Pemahaman Hadis Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian”. B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka memunculkan beberapa pertanyaan, yaitu: a) Apa yang dimaksud dengan identitas ? b) Apa saja yang termasuk dalam bagian identitas Muslim ? c) Bagaimana tradisi memelihara jenggot pada masa Nabi saw ? d) Kenapa terjadi perbedaan dalam memahami hadis tentang memelihara jenggot ? e) Bagaimana metode pemahaman hadis memelihara jenggot yang tepat tentang hadis dalam konteks kekinian ? 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berpijak dari identifikasi masalah di atas, maka penulis hanya membatasi masalah pada beberapa poin sebelumnya sebagai berikut: a) Bagaimana tradisi memelihara jenggot masyarakat Jazirah Arab? b) Metode pemahaman hadis yang tepat terhadap hadis memelihara jenggot? Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana memahami hadis memelihara jenggot dalam konteks kekinian?”
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan yang kehendak dicapai dari penelitian ini adalah: a. Menjelaskan tradisi memelihara jenggot masyarakat Jazirah Arab. b. Menjelaskan metode pemahaman hadis tentang hadis memelihara jenggot. c. Menjelaskan bagaimana konteks hadis tersebut jika dihubungkan pada masa sekarang. Terkait dengan tujuan yang terealisasi, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat ke dalam dua kategori, yaitu bersifat akademis dan praktis: 1. Manfaat akademis: a. Mengetahui tradisi memelihara jenggot masyarakat jazirah Arab pada masa Nabi Muhammad. b. Mengetahui metode pemahaman hadis yang tepat tentang hadis memelihara jenggot dalam konteks kekinian. c. Dapat mengaplikasikan teori Double Movement ke dalam metode pemahaman hadis. 2. Manfaat Praktisnya: a. Memberikan
kontribusi
tentang
metode
pemahaman
hadis
terutama
pengaplikasian teori Double Movement ke dalam hadis yang nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut. b. Secara umum diharapakan dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya terhadap tema yang menyangkut identitas muslim dalam hadis dan hadis tentang memelihara jenggot.
9
D. Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai hadis memelihara jenggot telah di bahas dalam beberapa penelitian di bawah ini: Skripsi Sumawijaya, dengan judul Pengaruh Budaya Arab Terhadap Hadis: Studi Kasus Masalah Surban dan Pemeliharaan Jenggot.24 Dalam skripsinya Sumawijaya menjelaskan tentang hadis-hadis yang terpengaruh budaya Arab. Bahwa kondisi masyarakat Arab pra-Islam telah memberikan pengaruh yang besar terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sehingga banyak hadis yang apabila dilihat dari sudut pandang sosio-kultural dan historis telah terpengaruh oleh budaya dan tradisi masyarakat Arab. Seperti hadis seputar surban dan jenggot. Oleh karena itu untuk memahami hadis-hadis tersebut harus dicari konteks yang melingkupi hadis tersebut. Skripsi Fahmi, dengan judul Studi Hadis-Hadis Tentang Memelihara Jenggot Analisa Sanad dan Matan dalam al-Kutub al-Tis„ah.25 Dalam skripsi ini Fahmi melakukan studi kritik sanad dan matan tentang hadis-hadis memelihara jenggot dalam al-Kutub al-Tis„ah. Dalam penelitiannya baik sanad maupun matan disimpulkan bahwa hadis tentang memelihara jenggot ada yang memiliki kualitas hasan dan ada juga yang memiliki kualitas sahīh baik lafaz maupun sanadnya. Skripsi ini menekankan pada studi kritik sanad dan matan hadis. Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan metode pemahaman hadis dan penelitian yang berkenaan tentang pemikiran Fazlur Rahman telah dibahas dalam beberapa karya ilmiah sebagai berikut:
24
Sumawijaya, Pengaruh Budaya Arab Terhadap Hadis: Studi Kasus Masalah Surban dan Pemeliharaan Jenggot, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), 2007. 25 Fahmi, Studi Hadis-Hadis Tentang Memelihara Jenggot Analisa Sanad dan Matan dalam al-Kutub al-Tis‟ah , (Skripsi SI Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), 2008.
10
Skripsi Fitroh Fuadi, dengan judul Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan al-Qurān dengan Ra‟yi; (Studi Pemahaman Hadis Nabi).26 Dalam skripsinya Fitroh Fuadi melakukan kritik kualitas sanad dan matan hadis tentang larangan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yi, dan mendapatkan kesimpulan bahwa hadis-hadis larangan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yi memiliki kualitas hasan. Penelitian ini juga menjelaskan studi metode pemahaman hadis larangan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yi dengan menggunakan metode tekstual dan kontekstual, sehingga timbulah dua pemahaman ulama terhadap hadis tersebut. Ulama yang menolak tafsir bi al-ra‟yi karena melihat teks hadis tentang larangan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yi, sedangkan ulama hadis yang menerima menafsiran bi al-ra‟yi memahami bahwa hadis larangan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟y apabila menggunakan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad. Skripsi M Fajar Faqihuddin dengan judul Metode pemahaman Hadis Dewan Hisbah Persis Tentang Ibadah Haji.27 Skripsi ini menitikberatkan pada bagaimana metode pemahaman hadis organisasi Islam Persis terhadap hadis-hadis tentang ibadah haji dengan menggunakan kadiah-kaidah „ām, khās, dan takhsīs al-„ām, rukhsah, dan azīmat, serta dalālah al-Nash yang kesemuanya itu merupakan bagian dari rangkaian metode analisis kebahasaan. Kajian pustaka tentang metode Double Movement telah banyak dikaji, salah satunya adalah makalah Jauhar Azizy dengan judul Penafsiran Kontekstual terhadap al-Qurān.28 Makalah ini diperesentasikan dalam Konferensi Internasional yang dilaksanakan oleh Qur‟ān and Hadīth Academic Society (QUHAS) pada tanggal 9 Desember di Auditorium Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Dalam makalah ini menunjukkan bahwa penafsiran kontektual 26
Fitroh Fuadi, Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan al-Qur‟an dengan Ra‟yi; (Studi Pemahaman Hadis Nabi), (Skripsi SI Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), 2010. 27 M Fajar Faqihuddin, Metode Pemahaman Hadis Dewan Hisbah Persis Tentang Ibadah Haji, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), tahun 2010. 28 Jauhar Azizy, “Penafsiran Kontekstual terhadap al-Qurān”, Dalam Journal of Qur‟ān and Hadīth Studies, Vol. 1, No. 2, (Desember 2012), h. 304-305.
11
memperhatikan latar belakang, sosiologi, dan sejarah ketika al-Qurān diwahyukan, serta dikaitkan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada masa kini. Dalam hal ini penulis makalah merujuk kepada pendekatan kontekstual yang diperkenalkan oleh Fazlur Rahman. Penelitian ini berbeda dengan literatur-literatur yang telah disebutkan di atas, dikarenakan walaupun telah terdapat dua penelitian yang membahas tentang hadis seputar jenggot, tetapi belum ada penelitian yang membahas tentang metode pemahaman hadis terhadap hadis-hadis tentang memelihara jenggot dalam konteks kekinian. Selain itu di lihat dari metode pemahaman hadis yang digunakan, belum terdapat penelitian terhadap hadis terutama hadis tentang jenggot dengan menggunakan metode Double Movement yang dicetuskan oleh Fazlur Rahman. Dengan demikian, tema yang penulis angkat ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. E. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Objek penelitian skripsi ini adalah hadis-hadis tentang memelihara jenggot. Oleh sebab itu berdasarkan objek kajiannya, ia tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan membaca hadis-hadis dan syarahnya, serta membaca komentar ulama mengenai hadis yang bersangkutan. Penulis ْ untuk mengumpulkan hadis-hadis yang akan dibahas menggunakan kata kunci "ُ"اللِّحيَة ْ dirujuk dari kitab dalam skripsi ini. Informasi hadis-hadis yang mengandung kata "ُ"اللِّحيَة Miftāh al-Kunūz Al-Sunnah karya Muḥammad Fuād „abd al-Bāqi‟.29 Hadis-hadis yang terkumpul, kemudian penulis pilah berdasarkan keterkaitan dengan masalah yang penulis teliti yakni tentang identitas Muslim dalam hadis. Maka terpilihlah empat hadis yang berkaitan dengan tema tersebut, yakni satu hadis diriwayatkan oleh al-Bukhāri,dua hadis diriwayatkan oleh Muslim, dan satu hadis oleh Imām Aḥmad. 29
Muhammad Fuād „Abd Bāqi‟, Miftāh al-Kunūz al-Sunnah, ( Kairo: Dār al-Ḥadith, 1364 H), h. 428.
12
Adapun sumber primer yang digunakan yaitu kitab-kitab induk hadis yang berbicara seputar hadis tentang jenggot yang terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhāri dan kitab Shahih Muslim,dan Musnad Imam Ahmad. Sumber primer lain adalah kitab-kitab syarah hadis yang berkaitan dengan hadis memelihara jenggot dan buku karya Fazlur Rahman Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terjemahan Ahsin Muhammad yang di dalamnya membahas secara komperhensif metode Double Movement, dikarenakan skripsi ini menggunakan metode Double Movement dalam melakukan analisis pemahaman hadis. Sebagai sumber sekunder digunakan beberapa karya yang membahas diskursus umum tentang identitas, buku-buku dan jurnal-jurnal yang membahas tentang jenggot serta buku-buku dan jurnal yang membahas tentang pemikiran Fazlur Rahman. 2. Metode Analisis Setelah Data terkumpul, akan dilakukan analisis terhadap pemikiran para tokoh terkait pemahaman mereka terhadap hadis tentang memelihara jenggot. Selanjutnya saya akan melakukan studi pemamaham hadis melalui pisau bedah Double Movement. Penulis mengambil mengunakan metode double movement untuk menemukan pemahaman hadis. Di sini penulis akan menggunakan pendekatan sosio-historis. Metode Double Movement terdiri dari dua langkah gerakan; gerakan pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan gerakan kedua, dari yang umum(general) kepada yang khusus (partikular)30. Pada gerakan pertama terdapat dua langkah yang harus di tempuh, yaitu: a) Memahami arti atau makna suatu pernyataan nash dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan nash tersebut merupakan jawabannya dengan mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga, bahkan keseluruhan kehidupan masyarakat di jazirah Arab, untuk 30
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), h.7-8.
13
mengetahui situasi lahirnya nash tersebut dan dalam sebab apa nash tersebut dikeluarkan.31 Pada tahap awal ini penulis akan mengkaji bagaimana kondisi kultur budaya masyarakat Arab ketika di keluarkannya hadis tentang memelihara jenggot. Pendekatan yang akan dilakukan dengan menggunakan sosial-historis. b) Menggeneralisasikan tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum, atau dengan kata lain adalah “berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya.32 Pada tahap kedua ini penulis mencari maksud tujuan diturunkannya suatu nash secara general dalam bahasa Rahman adalah “moral sosial” sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, serta setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Sedangkan
pada
mengkontekstualisasikan
gerakan
kedua
yang
harus
dilakukan
adalah
pandangan-pandangan umum (yaitu yang telah
disistematisasikan melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang konkrit sekarang ini.33 Dalam gerakan kedua ini penulis akan melihat konteks sosio-historis pada masa sekarang ini, melihat situasi saat ini, dan mencoba mengkontekstualisasikan pesan moral yang terdapat pada hadis memelihara jenggot ke dalam masa sekarang.
31
Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi IntelektuaL, h.7.
32
Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, h.7.
33
Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, h.8.
14
3. Metode Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada Buku Pedoman Akademik Program Stara 1 2012/2013. Untuk transliterasi penulis menggunakan pedoman transliterasi Turabian Sytle Arab-Latin ALA-LC Romanization. F. Sistematika Penulisan Bab pertama skripsi ini membahas mengenai alasan akademik penulis memilih judul skripsi yang tertuang dalam latar belakang masalah. Kemudian penulis menjelaskan pembatasan dan perumusan masalah yang akan di jawab pada kesimpulan. Dalam bab ini dicantumkan juga tujuan, manfaat, serta karya-karya yang berhubungan dengan judul yang telah dibahas sebelumnya sebagai tinjauan pustaka, metodologi penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang definisi metode pemahaman hadis dan sekilas sejarah munculnya ilmu fahm al-hadits, dilanjutkan dengan pembahasan beberapa ragam metode pemahaman hadis yang dicetuskan oleh para tokoh-tokoh. Di sini penulis membaginya menjadi dua rentang tokoh, yakni tokoh-tokoh klasik yang diwakilkan oleh metode pemahaman hadis menurut al-Syāfi„ī melalui kitabnya Iktilāf al-Ḥadith dan Ibn Qutaybah yang dipaparkan dalam kitab karangannya Ta‟wil Mukhtalif al-Ḥādith, dan metode pemahaman hadis menurut tokoh-tokoh kontemporer yang diwakilkan oleh Yūsuf alQaradāwī melalui bukunya Kayfa Nata„āmal Ma„a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah dan Fazlur Rahman dengan metodenya teori Double Movement. Bab ketiga membahas tentang identitas Muslim dan seputar jenggot. Pada bab ini menjelaskan diskursus umum tentang identitas, mulai dari pengertian identitas, faktorfaktor adanya identitas, dan tujuan adanya identitas, serta identitas seorang muslim yang tertuang dalam al-Qur‟an, hadis. Pada bab ini juga di bahas diskursus umum tentang jenggot, mulai dari pengertian jenggot, bagaimana tradisi memelihara jenggot masyarakat
15
Arab sebelum pada masa Nabi saw., pada masa Nabi saw., dan pada masa sahabat. Pada akhir bab dua ini akan di paparkan pendapat para ulama terhadap hadis memelihara jenggot. Bab keempat ini adalah adalah aplikasi metode Double Movement Fazlur Rahman ke dalam hadis tentang memelihara jenggot. Dengan terlebih dahulu memaparkan hadis-hadis memelihara jenggot, dilanjutkan dengan metode Double Movement ke dalam hadis tentang memelihara jenggot, dan diakhiri memaparkan teori baru pemahaman hadis dalam konteks kekinian berdasarkan teori double movement. Bab kelima merupakan jawaban dari perumusan masalah yaitu kesimpulan akhir. Bab ini juga berisi saran-saran yang dibutuhkan untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II METODE PEMAHAMAN HADIS DAN RAGAMNYA A. Metode Pemahaman Hadis 1. Pengertian Metode Pemahaman Hadis Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis dengan method,1 dan dalam bahasa Arab metode diterjemahkan dengan kata ṭarīqah dan manhaj.2 Dalam bahasa Indonesia kata metode mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan apa yang dikehendaki; cara kerja yang memiliki sistem yang dapat memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.3 Pemahaman dalam bahasa Arab al-fahm ( )الفهمyang berarti mengenali suatu objek dengan hati.4 Ada pula yang mengartikannya dengan menangkap pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemahaman bermakna proses, cara, perbuatan memahami, atau memahamkan.6 Kata al-fahm semakna dengan kata understanding, comprehension, dan conception dalam bahasa Inggris7 yang berarti mengerti, menafsirkan, dapat
1
Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah” dalam Koentjaraningrat, ed., Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 16. 2 Manhaj secara bahasa bermakna ṭhariqah yang berarti metode. Menurut istilah manhaj merupakan metode yang telah tersistematis dalam sebuah cabang ilmu. Sedangkan manhaj mufasir dipahami dengan langkah-langkah ilmiah yang sudah tersistematis yang digunakan oleh seorang mufasir dalam menjelaskan makna ayat al-Qur‟an al-Karim. Langkah-langkah tersebut memiliki kaidah-kaidah, dasar-dasar, serta bentuk tersendiri yang bisa terlihat dari karya yang dihasilkan oleh mufasir bersangkutan. Di antara kedua kata tersebut, kata manhaj yang paling mendekati dengan arti metode. Lihat Shalah „Abdul Fattah al-Khālidi, Ta„rif alDārisin bi Manāhij al-Mufassirin, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2002), h. 16. 3 Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 740. 4 Ibnu Manzhūr, Lisān al-„Arāb, (Kairo: Dār al-Ḥadis, 2003), jilid 10, h. 196 5 Al-Syārif „Ali al-Jurjānī, Al-Ta‟rifāt, (Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmīyyah, 1988), h. 22. 6 Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 811. 7 Sevans, Alan M, A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, (Jakarta: Mizan, 2008), h. 691.
16
17
dimengerti dan dipahami, pemikiran, pencetusan pemikiran.8 Sekalipun memiliki penekanan yang agak berbeda, seluruh kata diatas memiliki kesamaan pengertian yaitu timbulnya informasi atau pengertian dalam kesadaran manusia. Proses timbul bisa jadi melalui usaha yang keras atau muncul tiba-tiba tanpa diupayakan. Baik informasi tersebut bersifat lengkap maupun mengandung kekurangan. Informasi itu pastinya didahului oleh ketiadaan kemudian menjadi ada. Dengan demikian pemahaman berarti timbulnya informasi dalam benak setelah sebelumnya tidak wujud. Maka metode pemahaman hadis adalah suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi Muhammad saw. dalam hadisnya. Secara umum metode pemahaman hadis merupakan kerangka dan langkah-langkah yang digunakan dalam menafsirkan dan memahami hadis Nabi Muhammad saw. secara keseluruhan dari tahap awal hingga akhir. Dalam upaya memahami hadis ada beberapa komponen yang diperlukan. Pertama subjek, yakni orang yang melakukan kegiatan memahami hadis, kedua objek, yakni hadis Nabi saw, ketiga metode atau cara kerja dalam kegiatan tersebut yang dapat mengantarkan pada makna hadis tersebut, keempat tujuan memahami hadis. Dari keempat komponen tersebut, peran metode lebih menentukan makna yang dimaksud dari kandungan hadis, sebab metode merupakan alat yang berperan aktif dalam menentukan kebenaran suatu hadis. Hasil dari pemahaman hadis sangat bergantung pada ketepatan metode yang dipakai.9
8
Peter Salim, Advance English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 2001, h. 177,
923. 9
Hasisul Ulum, “Studi Pemahaman Ibnu Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan Quraisy”, (Skripsi S1 Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ilmu Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012), h. 28.
18
2. Sekilas Perkembangan Metode Pemahaman Hadis Pada dasarnya ilmu Metode Pemahaman Hadis (Ilmu Fahm al-Ḥadīth) tidak berdiri sendiri sebagai suatu cabang disiplin ilmu-ilmu hadis („ulūmul ḥadīth), akan tetapi ilmu Metode Pemahaman Hadis merupakan pengaplikasian dan cabang dari ilmu Mukhtalif al-Ḥadīth. Mukhtalif al-Ḥadīth adalah hadis-hadis yang makbul yang saling kontradiktif akan tetapi hadis-hadis yang kontradiktif tersebut dapat dikompromikan.10 Penyelesaian
hadis-hadis
yang
kontradiktif
perlu
cara
untuk
mengkompromikan dan memahaminya. Ulama hadis memberikan beberapa alternatif cara memahami hadis-hadis yang kontradiktif, seperti al-jam„u wa al-taufīq (kompromi), al-naskh (penghapusan), al-tarjīh (pengunggulan), dan al-tawaqquf (penundaan). Oleh karena itu ilmu ini dinamakan ilmu mukhtalif al-ḥadīth.11 Dari ilmu mukhtalif al-ḥadith maka muncul cabang-cabang ilmu lain, seperti ilmu nāsikh mansūkh, ilmu ma„ani al-ḥadith, dan ilmu gharib al-ḥadith, dimana semuanya merupakan perangkat untuk memahami hadis. Akan tetapi bila dilihat akar sejarahnya, praktik pemahaman hadis sudah muncul sejak masa Nabi Muhammad saw. ketika beliau menyampaikan sabdanya kepada para sahabat. Hal ini dapat di lihat ketika Nabi Muhmmad saw. memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah12,
10
Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadīth,(Beirūt, Dār al-Qur‟ān al-Kārim, 1972), h. 56. Misalnya Imām al-Syāfi„ī (w. 204 H) dengan karyanya Mukhtalif al-Ḥadītth, Ibn Qutaybah (w. 276 H) dengan karyanya Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth,, Al-Thahawi (w. 321 H) dengan karyanya Musykil al-Ātsar, Abū Bakar Muḥammad bin al-Ḥāsan bin Faurak (w. 406 H) dengan karyanya Musykil al-Ḥadīth. Lihat Nuruddin „Itr, Ulumul Hadis, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2012) h. 195. 12 Bani Quraizhah merupakan salah satu suku Yahudi yang tinggal di Yastrib (Madinah). Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw. membuat perjanjian dengan penduduk Madinah termasuk di dalamnya umat Yahudi. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah semua penduduk Madinah saling bekerjasama untuk menjaga keamanan kota Madinah dari serangan musuh. Akan tetapi Bani Quraizhah melanggar perjanjian tersebut pada waktu terjadinya perang Khandaq dengan cara bersekutu dengan Kafir Quraisy. Maka setelah selesai perang Khandaq Nabi Muhammad saw. mendapatkan perintah dari Allah untuk mengepung Bani 11
19
sebelum berangkat beliau berpesan: “lā yuṣaliyyanna aḥadu al-„aṣra illā fī Banī Quraiẓah” (Janganlah ada seorang di antara kamu yang shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah). Perjalanan ke perkampungan tersebut ternyata cukup panjang, sehingga sebelum mereka tiba di tempat yang dituju waktu Ashar telah habis. Di sini mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi saw. di atas. Ternyata sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di sana pada waktu masih Ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang melarang shalat Ashar kecuali di sana. Dengan demikian, mereka boleh shalat Ashar walaupun belum tiba ditempat yang dituju. Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu mereka baru melakukan shalat Ashar setelah waktu Ashar berlalu, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah setelah waktu Ashar berlalu.13 Dua cara memahami hadis yang berbeda pada masa sahabat yakni memahami hadis secara tekstual dan kontekstual terus berlanjut pada masa setelah sahabat. Kelompok tekstual yang berpegang pada makna lahiriah hadis, disebut dengan Ahl alḤadīth tekstualis14. Kelompok tekstualis ahl al-ḥadīth mayoritas adalah ulama Hijaz. Dalam wacana fiqh, istilah ahl al-ḥadīth merujuk pada mazhab Hanbali. Sedangkan kelompok kontekstualis disebut dengan Ahl al-Ra‟yi rasional15. Kelompok ini
Quraizhah, sehingga berangkatlah pasukan Muslim keperkampungan Bani Quraizhah untuk mengepung mereka. Lihat Mustafa Al-Sibā„i, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Intermedia, 2011), h.93. 13 Kata pengantar M. Quraish Shihab dalam buku Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Mizan, 1996), h. 9. 14 Kelompok Ahl al-Ḥadith telah muncul sejak masa sahabat. Kelompok ini berpegang pada arti lahiriah nash, memahami hadis berdasarkan yang tertulis pada teks, tidak mau menggunakan qiyas dan tidak mau menggunakan ra‟yu. Dalam pandangan kelompok ini kebenaran al-Qur‟an bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio bersifat nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak akan mungkin dapat menjelaskan sesuatu yang mutlak. Kelompok Ahl al-Hadis ini juga mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada disekeliling nash. Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 146. 15 Kelompok Ahl al-Ra‟yi memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang kepada nash alQur‟an dan Hadis. Mereka memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di sekitarannya karena ada indikasi makna-makna lain selain makna tekstual. Kelompok ini mempertahankan akal dalam mengembangkan konsep-konsep ushul fiqh, seperti qiyas, mashlahah dan istihsan. Mereka melihat hukum-hukum yang universal
20
memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang pada nash al-Qur‟an dan Hadis. Mayoritas ulama Irak dan negeri-negeri yang jauh dari Hijaz menganut metode ini. Dalam ranah fiqh mazhab Hanafi merupakan bagian dari kelompok ahl al-Ra‟yi, dan dalam khazanah kalam klasik istilah ahl al-Ra‟yi diorientasikan pada kalam Mu‟tazilah.16 Selanjutnya metode pemahaman hadis berkembang mengikuti perkembangan sejarah hadis itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari lahirnya metode-metode nasakh atau jam„u dalam kajian hukum fikih. Metode pemahaman hadis juga dapat ditemukan dalam kitab kumpulan hadis tematik berdasar tema keilmuan tertentu, seperti dalam ilmu mukhtalif al-ḥadīth, gharīb al-ḥadīth, asbāb al-wurūd dan nāsikh wa mansūkh al-ḥadīth. Pada abad ketiga hijriyah terjadi kodifikasi hadis-hadis Nabi saw. disertai dengan judul-judul bab yang dibuat oleh para pengumpul hadis tersebut. Kegiatan tersebut dapat dilihat melalui kitab-kitab Ṣahīh al-Bukhāri, Ṣahīh Muslim, Sunan Tirmīzi, Sunan Abū Dāud, dan kitab-kitab lain. Pada abad ke-7 Hijriyah muncul tradisi syarah hadis. Disini para ulama hadis memberikan penjelasan maksud dari hadis tersebut. Dalam memberikan penjelasan hadis
mereka
dikembangkan
seringkali dalam
mengutip
disiplin
ilmu
atau
meminjam
sebelumnya.17
metode-metode Secara
kreatif
yang mereka
menggunakan metode-metode tersebut ketika menjelaskan hadis-hadis yang dimuat dalam buku-buku hadis yang sedang mereka syarahkan.
sehingga dapat dicapai tujuan umum al-Maqāsid al-Syari„ah). (Lihat Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis, h. 146. 16 Hasisul Ulum, “Studi Pemahaman Ibnuu Taimiyyah”, h. 29 17 Seperti menggunakan metode terhadap hadis-hadis yang mukhtalif dan yang gharib yang telah di susun oleh ulama sebelumnya. Metode pemahaman hadis dengan melihat asbāb al-wurūd atau menggunakan metode nāsikh wa mansūkh, dll.
21
Masa selanjutnya, studi-studi khusus mengenai metode pemahaman hadis mulai banyak dilakukan dan mulai dibukukan dengan menggunakan teori khusus yang berasal dari pemikiran masing-masing tokoh. Beberapa tokoh modernis turut andil dalam meletakan teori pemahaman hadis seperti, Maḥmud Shaltut (1893-1963 M) yang berpendapat bahwa hadis ada yang bersifat tasyrī‟ dan non-tasyrī‟. Hadis yang bersifat non-tasyrī‟ pengalamannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi perkembangan ilmu pengetahuan sehingga hadis tidak hanya dipahami tekstual. Syaikh Muḥammad al-Ghazālī (1917 M-1966 M) menerbitkan karya yang berjudul al-Sunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth (Sunnah antara pemahaman kontekstual ahli fiqh dan literalisme ahli Hadis), yang diterbitkan pada tahun 1989 M. Syaikh Yūsuf al-Qaradāwī juga menyumbangkan karya ilmiahnya tentang metode pemahaman hadis yang berjudul Kayfa Nata„āmal ma„a al-Sunnah al-Nabawiyah (Bagaimana Berinteraksi dengan Sunnah Nabi saw.) yang diterbitkan pada tahun 1990 M.18 Muḥammad Iqbal (1877-1938 M) juga turut menawarkan metode pemahaman hadis. Menurut Iqbal dalam memahami hadis secara kontekstual harus diperhatikan latar sosiologis dan setting situasional masa Nabi saw. dan masa sekarang melalui studi historis yang memadai. Oleh karena itu ketika seseorang ingin mengambil hadis maka harus bisa membedakan mana hadis yang dapat membawa konsekuensi hukum dan yang bukan. Selain itu harus juga diteliti sejauh mana hadis hukum tersebut mengandung unsur kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang membiarkan beberapa kasus tetap berjalan dan beberapa kasus yang lain dimodifikasi oleh Nabi saw. Fazlur Rahman (1919-1988 M) memberikan teori tentang penafsiran situasional terhadap hadis dengan beberapa langkah strategi, seperti memahami makna hadis, memahami 18
Khon, Takhrīj dan Metode Memahami Hadis, h.139.
22
latar belakang situasional ketika hadis tersebut keluar, dan merumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut untuk diaplikasikan dalam latar sosiologis sekarang ini. Di Indonesia beberapa tokoh juga mengembangkan langkah-langkah metodis untuk memahami hadis. Seperti yuhudi Ismail (1943- 2005 M) dalam Bukunya yang berjudul Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal mengarahkan pemahaman hadis Nabi saw kepada perbedaan tekstual dan kontekstual dengan memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis, dan melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi saw dan latar belakang yang turut melahirkan suatu hadis. Metode pemahaman hadis di era kekinian mengalami pergeseran yang lebih jauh dengan mengadopsi pendekatan-pendekatan ilmu sosial-humaniora. Seperti sosiologi, antropologi, hermeneutik, dan lainnya. Melihat sejarahnya yang panjang, metode pemahaman hadis tentu saja menyuguhkan keragaman yang luar biasa.19 B. Ragam Metode Pemahaman Hadis 1. Metode Pemahaman Hadis Imam Syāfi’Ī Al-Syāfi‟ī20 telah menulis kajian hadis-hadis bertentangan (ikhtilāf al-ḥadīth) yang dituangkan melalui karyanya berjudul Ikhtilāf al-Ḥadīth. Karya al-Syāfi„ī 19
Hasisul Ulum, “Studi Pemahaman Ibnuu Taimiyyah”, h. 31-32. Al-Syāfi„ī di lahirkan di Gaza, Palestina pada bulan Rajab tahun 150 H bertepatan dengan 767 M, ia memiliki nama lengkap Abū „Abdillāh Muḥammad bin Idris bin „Abbās Ibnu Syāf„ī bin Sāib bin „Ubaid bin Yazīd bin Hasyim bin „Abdul Muthalib bin „Abdul Manaf bin Qushay al-Quraisyiy. Jadi apabila dilihat dari silsilah keturunan nasabnya al-Syāfi„ī bertemu nasab dengan Nabi Muhammad Saw. pada Abdul Manaf. Ia telah menjadi yatim pada saat usianya dua tahun, oleh karena itu pengasuhannya diserahkan kepada ibunya sampai ia dewasa. Al-Syāfi„ī sudah banyak singgah ke daerah-daerah lain untuk mencari ilmu, seperti ke Mekkah, Iraq, Persia, Yaman, Baghdad, hingga Mesir. Ia telah banyak berguru kepada para ulama terkemuka pada masanya. Guru-gurunya dalam bidang hadis yaitu Malik bin Anas, Muslim bin Khālid, Ibnu Uyainah, Ibrāhīm bin Sa‟ad, dan lain-lain. al-Syāfi„ī juga telah menularkan ilmu-ilmunya kepada murid-muridnya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin „Abdullāh bin al-Hakam, Abū Ibrāhīm bin Ismāil bin Yaḥya al-Muzāni, Abū Ya‟qub Yūsuf bin Yaḥya, al-Buwaiti. Beberapa karya terkenal yang dimiliki oleh al-Syāfi„ī seperti alUmm, al-Risālah, al-Imla‟, al-Amali, al-Musnad, Harmalah, dan kitab Ikhtilāf al-Hadīth. Al-Syāfi„ī wafat di Mesir pada tahun 204 H atau bertepatan dengan 820 M. (Lihat, Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi Saw. Sebagai Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 222-223). 20
23
tersebut muncul sebagai bagian dari usahanya dalam merekonstruksi bangunan fikih, terutama aliran ahli hadis dengan memberikan penguatan pada basis teoritisnya untuk menghadapi serangan ahli ra‟yu, inkar al-Sunnah dan kelompok Kalam. Seperti al-Qur‟an, terkadang Nabi saw. menggunakan redaksi general dengan pengertian general, namun tidak sedikit yang memakai ungkapan general dengan maksud yang spesifik. Hadis tidak boleh dialihkan dari pengertian literal dan generalnya sebelum didapatkan informasi yang bersumber dari Nabi saw. yang mengarahkan ke sana. Jika terdapat pertentangan dalam satu hadis dengan hadis yang lain (ikhtilāf al-ḥadīth) maka al-Syāfi„ī memberikan metodologi langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan hadis yang saling bertentangan. Langkahlangkah berikut adalah : 1. Al-Jam„u, penyelesaian dengan cara kompromi. Sikap yang diambil adalah tidak membuang salah satu hadis, dan selama memungkinkan hendaknya diupayakan pengamalan keduanya (al-jam„u bi i„malihima). al-Syāfi„ī menegaskan, “Selama dua hadis (yang bertentangan) masih memungkinkan difungsikan, maka hendaknya hal itu dilakukan. Tanpa menelantarkan salah satunya sebagaimana dalam kajian terhadap ayat al-Quran sebelumnya.”
21
Salah satu contohnya adalah hadis yang menerangkan
tentang tata cara berwudhu. Hadis pertama :
ِ َ َن رس ٍ ََّع ِن ابْ ِن َعب َوَم َس َح بَِرأْ ِس ِه َمَّرًة َمَّرة، ضأَ َو ْج َههُ َويَ َديِْه َّ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َو َ ول اللَّه ُ َ َّ أ، اس Hadis kedua :
َّ أ، َع ْن ُحَُْرا َن َم ْوََل عُثْ َما َن بْ ِن َعفَّا َن ضأَ ثَالَثًا ثَالَثًا َّ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم تَ َو َّ َِن الن َ َّب
21
Muḥammad bin Idris al-Syāfi„ī, Ikhtilāf al-Ḥadīth, (Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986), h. 39.
24
Kedua hadis tersebut tampak bertentangan, karena pada hadis pertama menerangkan bahwa Nabi saw. membasuh anggota wudhu hanya satu kali, tetapi dalam hadis yang kedua Nabi saw. berwdhu dengan membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali. Dua hadis tersebut sama-sama sahih, akan tetapi hadis tersebut dapat diselesaikan dengan metode al-Jam„u. Menurut al-Syāfi„ī hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar saling bertentangan sebagaimana di kutip oleh Edi Safri. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali.22 2. Pendekatan kedua yang dipakai al-Syāfi„ī adalah nasakh (pengubahan, penggantian), apabila tidak dimungkinkan rekonsiliasi melalui pendekatan al-jam„u. Al-Syāfi„ī mengartikan nasakh dengan penurunan perintah yang bertentangan dengan perintah yang telah diturunkan sebelumnya.23 al-Syāfi„ī mensyaratkan keseimbangan kekuatan antara dalil yang menasakh dan yang mansukh. Syarat ini meniscayakan ketidakbolehan penasakhan al-Quran menggunakan hadis. Berangkat dari syarat ini pula, suatu hadis dapat me-nasakh hadis yang lain. Nasakh dapat dilakukan jika terdapat teks (dalil) mendukung. Dalil dapat berupa informasi dari Nabi, sahabat yang menyaksikan kejadian, rawi, atau informasi apapun yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.24 Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nāsikh-mansūkh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda. Hadis pertama:
22
Edi Safri, Al- Imam Al- Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis- Hadis Mukhtalif, (Jakarta: IAIN Press, 1990), h. 97. 23 Al-Syāfi„ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 31. 24 Al-Syāfi„ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 40.
25
ِِ ِِ ِ َ َن رس ِ ِ ٍ َاُل ِم ِي وُكل ِذي ن اب ْ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم نَ َهى َع ْن أَ ْك ِل ُُلُ ِوم َ ول اللَّه ُ َ َّ َع ْن َخالد بْ ِن الْ َوليد أ َ َْ اْلَْي ِل َوالْبغَال َو ِم ْن السبَ ِاع Hadis kedua:
ِ ِ ُ ال أَطْعمنَا رس ِ .اُلُ ُم ِر ْ اْلَْي ِل َونَ َهانَا َع ْن ُُلُ ِوم ْ وم َ ُصلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُُل َ ول اللَّه ُ َ َ َ َ ََع ْن َجاب ٍر ق Kedua hadis tersebut terlihat saling bertantangan, hadis pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadis kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini bisa dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadis pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kebolehan makan daging kuda pada hadis Jābir Ibn „Abdillāh yang datang setelahnya.25 3. Terakhir, al-Syāfi„ī menawarkan teori tarjih al-Riwāyah. Jika salah satu hadis diriwayatkan melalui jalur yang kuat, sedang yang lain tidak, maka hadis yang kuat itulah yang diamalkan. Pendekatan terakhir meniscayakan penilaian hadis dari sisi sanadnya. Di sini kritik sanad bekerja untuk menentukan apakah sebuah hadis tsabit (diakui validitasnya) atau tidak. Hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang majhul dianggap tidak tsabit. Demikian seterusnya.26 Contoh hadis yang dapat diselesaikan dengan metode tarjih al-riwayāh adalah hadis tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka:
ِ ودةُ ِِف النَّا ِر َ الْ َوائ َدةُ َوالْ َم ْوُؤ
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud). Hadis tersebut dinilai musykil dari segi matan dan dinilai mukhtalif dengan alQur‟an surat Al-Takwir ayat 8-9 : 25 26
Al-Syāfi„ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 31 Al-Syāfi„ī, Ikhtilāf al-Hadīth, 45.
26
ِ ٍ ْوإِ َذا الْموءودةُ سئِلَت بِأَي َذن ت ْ َب قُتل ْ ُ َ َُْ َ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?” Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan.27 2. Metode Pemahaman Hadis Ibnu Qutaibah
Ibnu Qutaybah28 termasuk salah satu tokoh hadis yang meneliti matan hadis dengan melakukan pemahaman kontekstual melalui karyanya Ta‟wīl Mukhtalif alḤadīth, selain Imam Syāfi‟ī, Abū Yaḥyā Zakariyyā bin Yaḥyā al-Sibaḥ„ī dan Ibn alJawzī.29
27
Edi Safri, Al- Imam Al- Syafi‟i: Metode Penyelesaian Hadis- Hadis Mukhtalif, h. 84 Nama lengkap Ibnu Qutaybah adalah „Abdullāh bin Muslim bin Qutaybah al-Dainūrī al-Marwazī. Kuniyahnya adalah Abū Muhammad. Dalam beberap literatur ia kadang dikenal dengan sebutan al-Qutbā atau al-Qutaibā. dilahirkan pada tahun 213 H / 828 M di Baghdad, −ada yang mengatakan di Kufah−. Pada masa itu Baghdad merupakan pusat pemerintahan dinasti „Abbāsyiah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Sejak saat itu Baghdad tidak penah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaybah untuk menyerap ilmu dari berbagai tempat. Ibnu Qutaybah pun mulai gemar melakukan lawatan dari satu daerah ke daerah lain untuk memperoleh ilmu, Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur, dan tempat-tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama dari tempat-tempat yang ia kunjungi. Beliau belajar hadis pada Ishāq bin Rāhawaih, Abū Ishāq Ibrāhīm bin Sulaimān al-Ziyādi, Muḥammad bin Ziyād bin „Ubaidillah al-Ziyādi, Ziyād bin Yaḥyā al-Ḥasāni, Abu Ḥātim al-Sijistānī, dan para ulama yang semasa dengan mereka. Di samping mempelajari ilmu-ilmu agama, beliau juga mempelajari ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada waktu itu, sehingga pada akhirnya beliau tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis terhadap permasalahanpermasalahan sosial mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan yang berkembang pada saat itu. Beliau juga mampu memberikan solusi terhadap problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama ahli Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan. Ibnu Qutaybah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300 buah. Di antara karyakarya Ibnu Qutaybah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah: al-Ibil, Adab al-Qāḍī, Ādāb al-Kātib, alIsytiqāq, al-Asyribah, al-Ishlāh al-Ghalāṭ, I„rāb al-Qur„ān, A‟lām al-Nubuwwah, al-Radd „alā Man Yaqūl bi Khalq al-Qur„ān, al-Syi„r wa al-Syu„arā, al-Ṣhiyām, Gharīb al-Ḥadits, Gharīb al-Qur„ān, al-Faras, Fadl „alā alA„jam, al-Fiqh, al-Qirā„ah, al-Masā„il wa al-Ajwibah, al-Musytabih min al-Ḥadits wa al-Qur„ān, Musykil alḤadīts, al-Ma„ārif, Ma„ānī al-Syi„r al-Nabāt, al-Hajwa, dan karya-karya yang lain. Akhirnya pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H / 899 M Ia dipanggil oleh Allah SWT. (Lihat, Abd al-Qadīr „Athā‟, Muqaddimah alThab„ah al-ūla, dalam „Abdullāh bin Muslim bin Qutaybah, Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, (Beirut: Muassasah alKutub al-Tsaqāfah, 1988), h. 7-13. 29 Masykur Hakim, Mukhtalif al-Ḥadīts dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibn Qutybah, Dalam Ilmu Ushuluddin, Vol.2, No. 3, Jan-Jun 2014, h. 200. 28
27
Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth lahir sebagai respon Ibnu Qutaybah terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang sedang berkembang pada masanya. Di dalam karya tersebut Ibnu Qutaybah berusaha menepis anggapan sebagian golongan yang menuduh ulama hadis telah melakukan kecerobohan dengan meriwayatkan hadis yang dianggap saling berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur‟an, pemahaman akal serta mengamalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan Kemahasucian Allah. Ibnu Qutaibah juga memberikan jawaban sebagai solusi pemecahan hadis-hadis tersebut berdasarkan keahlian yang dimilikinya.30 Berikut ini merupakan langkah-langkah metodologi yang di lakukan oleh Ibnu Qutaybah dalam penyelesaikan hadis-hadis yang mukhtalif : 1. Identifikasi hadis, sebelum melakukan takwil pada hadis mukhtalif, Ibnu Qutaybah melakukan identifikasi hadis-hadis tersebut. Identifikasi ini bisa berupa status hadis. Meskipun diakui identifikasi hadis yang dilakukan oleh Ibnu Qutaybah tidak detail. Tidak menggunakan takhrij hadis, hanya menggunakan status hadis, ataupun menolak kerena bukan hadis. Hal tersebut bisa dilihat ketika ia membahas hadis tentang tasybīh bahwa kedua tangan Allah kanan, yang dianggap Mu‟tazilah bertentangan dengan logika akal, seandainya yang dimaksud tangan adalah anggota badan, karena anggota badan sepasang kanan dan kiri. Ibnu Qutaybah mengatakan bahwa hadis ini sahih dan tidak mustahil bagi akal. Karena yang dimaksud dengan makna kanan disini adalah kemapanan dan kesempurnaan. Ia berdalih orang-orang Arab sangat menyukai kanan, mereka berkata kanan adalah keberuntungan (al-Yummū). Sedangkan tangan kiri
30
Hakim, Mukhtalif al-Ḥadīts dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibn Qutybah, h. 201.
28
selalu berarti kurang dari tangan kanan dalam kekuatan, keperkasaan, maupun kesempurnaan.31 2. Melihat asbāb al-wurūd bila ditemukan, karena asbāb al-wurūd sangat penting dilakukan sebelum memahami pesan-pesannya. Itulah yang dilakukan oleh Ibnu Qutaybah ketika membahas hadis tentang larangan Nabi saw. untuk mencela al-Dahr (waktu), karena Allah adalah al-Dahr. Hadis ini seakan mendukung pengikut alDahriyah32. Ibnu Qutaybah menjelaskan dalam hal ini bahwa hadis Nabi saw. ini muncul karena kebanyakan orang-orang Arab Jahiliyyah adalah al-Dahriyyah, meyakini waktu adalah segalanya. Hidup ini adalah bentangan waktu, hidup dan mati karena waktu.33 3. Melakukan takwil terhadap salah satu hadis yang bertentangan. Seperti hadis Nabi saw. agar dihidupkan miskin, dimatikan dan dibangkitkan bersama orang-orang miskin. Hadis ini bertentangan dengan doa Nabi saw. berlindung dari kefakiran. Menurut Ibnu Qutaybah kata miskin tidak selalu bermakna kefakiran harta, namun juga bisa bermakna ketawadhu„an (kerendahan hati). Sering orang Arab menggunakan kata miskin dengan maksud ketawadhu„an. 34 4. Melakukan takwil terhadap dua hadis yang bertentangan. Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, Ibnu Qutaybah melakukan takwil terhadap keduanya. Sebagai contoh hadis tentang al-„Adwā wa al-Tīrah yaitu sabda Nabi saw : “tidak ada „adwa‟ dan tidak ada tirah”. „Adwa adalah penularan penyakit, sedangkan tirah adalah keyakinan orang Arab Jahiliyyah tentang prediksi nasib baik dan buruk dengan melihat aktifitas burung. Misalnya bila orang hendak keluar rumah kemudian melihat
31
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, h. 193-194. Al-Dhariyah adalah kelompok filsafat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini secara kebetulan, tidak ada Tuhan yang mengaturnya. Mereka tidak mengakui adanya hari pembalasan, hari kebangkaitan, dan hal lainnya yang terkait dengan hari akhirat. 33 Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, h. 78. 34 Ibn Qutaybah Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, h. 154. 32
29
burung terbang ke sebelah kanan berarti akan bernasib baik, dan sebaliknya apabila melihat burung terbang ke sebelah kiri maka akan bernasib buruk. Hadis tersebut dianggap bertentangan dengan hadis larangan Nabi saw. kepada pengembala unta untuk tidak mencampur unta yang sehat dengan unta yang sakit kulit. Begitu juga dengan hadis tentang perintah Nabi saw. agar menjauh dari penderita kusta. Ibnu Qutaybah mengatakan bahwa masing-masing hadis memiliki makna sendiri pada waktu dan kondisinya masing-masing. Bila ditempatkan pada waktu dan kondisi yang tepat tidak akan terjadi pertentangan. Hadis pertama diperuntukkan bagi keyakinan Arab Jahiliyyah bahwa penyakit ada dengan sendirinya dan menular dengan sendirinya. Sebagai bukti Nabi mengutarakan pertanyaan: “siapa yang menularkan penyakit pada yang pertama?”. Sedangkan larangan hadis mencampur unta sehat dengan unta sakit, agar menghilangkan rasa bersalah seandainya terjadi penularan. Dan hadis menjauhi penderita kusta, dimaksudkan agar orang-orang sehat tidak terganggu dengan bau yang menyengat dari penderita. Bila interaksi yang begitu lama bisa jadi mereka akan jatuh sakit karena aroma dan iklim yang tidak kondusif untuk kesehatan.35 5. Memperkuat takwilnya dengan teks-teks lain, seperti dengan ayat al-Qur‟an, dengan hadis lain, dengan bait syair, dengan logika, dengan fakta sejarah, dengan ilmu pengetahuan.36 6. Bila tidak mungkin mentakwilkan maka dengan nāsikh-mansūkh atau melakukan tarjīh. Misalnya hadis tentang seorang Badui buang air kecil di Masjid, di sini terdapat dua riwayat. Riwayat pertama oleh Abū Hurairah yang menjelaskan bahwa Nabi saw. memerintahkan sahabat yang hadir untuk menuangkan seember air di atas tanah yang terkena air seninya. Hadis kedua diriwayatkan oleh „Abdullāh bin Ma„qal 35 36
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, h. 96. Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, h. 104.
30
bin Muqarrin yang menjelaskan bahwa Nabi saw. memerintahkan sahabat yang hadir untuk membuang tanah yang terkena air seni itu, dan disiram bekasnya dengan air. Ibnu Qutaybah menjawab pertentangan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah lebih sahih ketimbang yang diriwayatkan oleh „Abdullāh bin Muqarrin. Sebab hadis yang kedua bukan di riwayatkan oleh sahabat, „Abdullāh bin Muqarin bukan sahabat, tidak pernah bertemu Nabi saw, maka riwayatnya tidak dapat disejajarkan dengan riwayat sahabat yang hadir dan menyaksikan peristiwa itu.37 3. Metode Pemahaman Hadis Yusūf al-Qaradāwī Di kalangan pemikir Islam, Yusūf al-Qaradāwī38 dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan itu tak lain
37
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mukhtalif al-Ḥadīth, h. 221. Yusūf al- Qardāwī lahir dari sebuah keluarga sederhana dengan nama lengkap Yūsuf bin „Ābdullah bin „Ali bin Yūsuf di sebuah desa terpencil di Mesir, Shafth al-Turab pada tanggal 9 September 1926. AlQaradāwī merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama „Abdullāh, kakeknya merupakan dari seorang pedagang sukses Haji „Alī al-Qaradāwī. Nama Qaradawi diambil dari sebuah daerah dimana nenek moyangnya berasal yaitu daerah al-Qaradah. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga al-Hajar, sebuah keluarga pedagang yang sangat terkenal dengan kecerdasannya. Ayah al-Qaradāwī meninggal pada saat usianya dua tahun, disusul ibunya wafat tiga belas tahun kemudian, pada saat usia al-Qaradāwī lima belas tahun. Oleh karena itu alQaradāwī berada dalam dua pengasuhan, pengasuhan dari pihak ayah diberikan kepada adik ayahnya Paman Ahmad, dan pengasuhan dari pihak ibu diberikan kepada kakek, nenek, dan bibi-bibinya. Pada usia sembilan tahun beberapa bulan al-Qaradāwī telah hafal seluruh al-Qur‟an. al-Qaradāwī memasuki sekolah dasar yang berada di kampungnya pada usia tujuh tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke al-Ma„had al-Dīnī di Ṭanṭa yang merupakan salah satu cabang lembaga pendidikan al-Azhar hingga mendapatkan ijazah Madrasah Aliyah. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), al-Qaradāwī melanjutkan pendidikannya dengan menjadi mahasiswa al-Azhar fakultas Ushuluddin mengambil jurusan alQur‟an dan al-Sunnah. Menjadi mahasiswa al-Azhar memang merupakan cita-cita al-Qaradāwī yang telah terpendam sejak lama. Setelah lulus Sarjana pada tahun 1952 dengan predikat terbaik, kemudian pada tahun 1960, ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di al-Azhar mengambil jurusan Tafsir-Hadis hingga program doktor pada universitas dan jurusan yang sama. Pada tahun 1970 al-Qaradāwī hijrah ke Daha Qatar mendirikan Ma‟had al-Diniy yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar. Selain sebagai seorang ilmuan dan dai, al-Qaradāwī juga aktif menulis buku dalam berbagai masalah pengetahuan Islam, seperti zakat, fiqh, al-Qur‟an dan Sunnah, aqidah dan ilmu kalam, bidang tasyr‟i, dan akhlak. Buku-bukunya selalu diburu oleh para penerbit dan para pembaca. Berikut beberapa karya yang pernah di tulis oleh Yūsuf al-Qardāwī: fiqh al-zakāh, al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, Fatāwā Mu„āshirah, al-Ibādah fī al-Islām, Min Fiqh al-Daulah fī al-Islām, Kaifa Nata„āmmal ma„a al-Sunnah al-Nabawiyyah, al-Nās wa alḤaq, al-Aql wa al-„Ilm fī al-Qur„ān al-Karīm, Jarīmah al-Riddah wa al-„Uqūbah al-Murtad fī Dhau al-Qur„ān wa al-Sunnah, al-Imān wa al-Ḥayāh, al-Taubah ilā Allāh, Syarī„ah al-Islām, al-Ijtihād fī al-Syaeī‟iyah alIslāmiyyah, Madkhal fī Dirāsah al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah, Akhlāq al-Islām fī Dani al-Kitāb wa al-Sunnah, Musykīlah al-Faqr wa Kaifa „Alajahā al-Islām, al-Rasūl wa al-„Ilm, al-Waqt fī Ḥayāh al-Muslīm, dan lain-lain. Lihat selengkapnya di Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iyyah Menurut Yusuf Qardhawi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 36-85. 38
31
karena Yusūf al-Qaradāwī memiliki cara atau metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, ia diterima kalangan dunia barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat.39 Yusūf al-Qaradāwī dalam bukuya Bagaimana Memahami Hadis Sunnah Nabawiyah, beliau menawarkan kajian kritik matan hadis yang dapat memberikan cakrawala dan wawasan dalam hubungannya dengan ilmu hadis. Dalam rangka memahami makna hadis dan menemukan signifikansi kontekstualnya, Al-Qaradāwī memberikan delapan prinsip pemahaman hadis Nabi Saw, yaitu : 1. Memahami al-Sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an,40 hal ini berdasarkan argumen bahwa al-Qur‟an adalah sumber utama yang menempati hierarki tertinggi dalam keseluruhan sistem doktrinal Islam. Sedangkan hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-Qur‟an, yang mana penjelas tidak boleh pertentangan dengan yang dijelaskan. Oleh karena itu makna hadis dan signifikansi kontekstualnya tidak boleh atau tidak bisa bertentangan dengan petunjuk al-Qur‟an.41 Salah satu contoh hadis yang terlihat bertentangan dengan al-Qur‟an adalah hadis tentang kaum wanita yang berbunyi, “Bermusyawarahlah dengan mereka, tetapi bertindaklah berlawanan dengan (hasil musyawarah) mereka.” Menurut alQaradāwī hadis tersebut merupakan hadis yang tidak sah dan dipalsukan. Karena bertentangan dengan firman Allah swt. berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh kedua orangtua terhadap anak bayi mereka yang masih menyusui, “. . .Maka apabila keduanya ingin menyapih (sebelum si bayi berusia dua tahun) dengan 39
Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abū Bakar hingga Nasr dan Qardhawi, (Jakarta: Mizan Republika, 2003), h. 360. 40 Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), h. 93. 41 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. 90.
32
kerelaan keduanya dan sebagai hasil permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (al-Baqarah[2]: 233).42 2. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama. Menurut Yūsuf alQaradāwī untuk memahami al-Sunnah secara benar, diharuskan menghimpun dan memadukan beberapa hadis sahih yang berkaitan dengan tema tertentu (satu topik). Kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyābihāt (belum jelas maknanya) disesuaikan dengan hadis yang muḥkām (jelas maknanya), mengaitkan yang mutlaq (terurai) dengan yang muqāyyad (terbatas), dan menafsirkan yang „am dengan yang khāṣḥ. Melalui cara ini, suatu hadis dapatlah dipahami dan dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lainnya.43 Sebagai contoh hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan “mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki” yang mengandung ancaman cukup keras bagi pelakunya. Padahal apabila mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan masalah ini, dan menghimpun antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan tuntunan agama Islam niscaya akan diketahui bahwa maksud dari hadis tersebut, Allah memberikan ancaman kepada mereka yang mengenakan sarung sampai dibawah mata kaki apabila disertai dengan rasa kesombongan.44 3. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, hal ini didasarkan pada pandangan bahwa tidak ada kontradiksi dalam nash-nash syariat, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Walaupun ada itu terbatas pada lahirnya saja bukan pada hakikat dan realitas. Oleh karena itu menurut al-Qaradāwī apabila terdapat pertentangan secara lahirnya, maka cara yang harus dilakukan yaitu menggabungkan antara dua hadis yang dianggap bertentangan 42
al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 95. al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 106. 44 al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 108-110 43
33
kemudian mentarjih. Sebab menurut al-Qardhawi pen-tarjih-an berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan mengutamakan yang lainnya.45 4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan, serta tujuannya.46 Karena salah satu cara untuk memahami hadis Nabi saw. yang baik adalah dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang diucapkannya atau kaitannya dengan sebab atau alasan tertentu yang dikemukakan dalam riwayat atau dari pengkajian terhadap suatu hadis. Selain itu, untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang meliputinya serta dimana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian, maksud hadis benarbenar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang.47 Al-Qaradāwī memberikan contoh hadis tentang “kalian lebih mengerti urusan dunia kalian”. Hadis tersebut kurang tapat apabila dimaknai untuk urusan dunia Nabi saw. menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam. Karena dalam berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain Nabi saw. telah memberikan garis yang jelas. Adapun hadis tersebut latar belakang diucapkannya berkenaan dengan penyerbukan pohon kurma. Ketika itu Nabi saw. menyatakan pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan semata, berkenaan dengan soal penyerbukan, sedangkan beliau bukan seorang ahli tanaman. Namun kaum Anshar mengira pendapat beliau sebagai wahyu atau perintah agama, lalu meninggalkan kebiasaan penyerbukan tersebut. Hal itu akhirnya berpengaruh buruk pada buah kurma di musim itu. Maka Nabi saw. menyatakan: “Sesungguhnya (pendapatku) itu hanyalah berdasarkan perkiraan semata-mata; maka janganlah kalian menyalahkan aku
45
Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 95. al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 131. 47 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 97. 46
34
karena perkataanku itu. . . .” (pada akhir ucapannya itu, beliau mengatakan): “Kalian lebih mengerti tentang urusan-urusan dunia kalian.”48 5. Memisahkan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap dalam setiap hadis. Menurut al-Qardāwī sebagian orang banyak yang keliru dalam memahami hadis Nabi saw. dengan mencampuradukkan antara tujuan yang kehendak dicapai, dengan prasarana temporer dan kontekstualitas yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Mereka memusatkan diri pada berbagai prasarana tersebut, seakan-akan prasarana tersebut merupakan satu-satunya untuk mencapai tujuan. Padahal siapapun yang benar-benar berusaha untuk memahami sunnah Nabi saw. serta rahasia-rahasia yang terkandung didalamnya akan mendapat kejelasan bahwa yang paling pokok adalah tujuannya. Sedangkan yang berupa prasarana adakalanya berubah seiring perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.49 Misalnya hadis tentang penggunaan siwak untuk membersihkan gigi, yang tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga mendatangkan keridaan Tuhan. “siwāk menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan”. Siwak merupakan alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Nabi saw. menganjurkan untuk menggunakannya. Akan tetapi bagi masyarakat yang tidak mudah memperoleh kayu siwāk itu, dapat dingantikan dengan alat lainnya seperti sikat gigi, yang memiliki tujuan yang sama, yakni membersihkan gigi.50 6. Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis. Dalam hadis Nabi saw. terdapat redaksi yang menggunakan kata majāzi (kiasan, metafora), sehingga tidak mudah dipahami dan tidak semua orang dapat mengetahui pasti tujuan Nabi saw. Biasanya hadis tersebut menggunakan 48
al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 133-134. al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 147-148. 50 al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 151. 49
35
ungkapan-ungkapan yang sarat dengan simbolisasi. Dan biasanya sering dipergunakan Nabi saw. karena bangsa Arab pada masa itu sudah terbiasa menggunakan bahasa kiasan atau metafora dan mempunyai cita rasa bahasa yang tinggi terhadap bahasa arab. Oleh karena itu makna majāzi ini biasanya hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik bersifat tekstual maupun kontekstual.51 Seperti ketika Nabi saw. berkata kepada istri-istri beliau: “Yang paling cepat menyusulku diantara kalian−sepeninggalku−adalah orang yang paling panjang tangannya,” maksud dari yang paling panjang tangannya ialah orang yang paling banyak kebaikan dan kedermawanannya. Dan hal ini benar-benar terbukti, bahwa diantara istri-istri Nabi saw. yang paling cepat meninggal dunia adalah Zainab binti Jahsy r.a. Ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil, bekerja dengan kedua tangannya, lalu menyedekahkan hasilnya.52 7. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata. Di antara kandungan-kandungan hadis Nabi Saw. terdapat hal-hal yang berkenaan dengan alam gaib yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, seperti malaikat, jin, dan setan. Sebagian besar hadis-hadis yang menerangkan tentang alam gaib bernilai di bawah sahih, namun yang diriwayatkan secara sahih pun tidak sedikit. Oleh karena itu hadis-hadis yang bernilai sahih harus dipahami secara proporsional, yakni antara yang membicarakan alam kasat mata dengan yang membahas tentang alam gaib.53 Al-Qaradāwī memberikan contoh hadis yang berkaitan dengan hal yang gaib adalah hadis yang berbunyi “Di surga terdapat sebuah pohon yang jika seorang
51
al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 167. al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 169. 53 al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 188-189. 52
36
pengendara melewati dibawahnya selama seratus tahun, maka tidak cukup untuk menempuhnya”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhāri dan Muslim. Ibn Katsir menyatakan bahwa hadis itu benar-benar dari Rasul saw. dan termasuk hadis muttawatir. Secara lahiriah, seratus tahun yang dimaksud dalam hadis di atas adalah menurut ukuran dunia. Dan tidak ada yang mengetahui perbandingan antara waktu di sisi Allah, selain Allah swt. Sebagaimana dalam al-Qur‟an surat al-Hājj: 22, “Dan sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitungan”. 8. Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis. Suatu hal yang amat penting dalam memahami sunnah dengan benar yaitu memastikan makna dan konotasi kata-kata tertentu yang digunakan dalam susunan kalimat suatu hadis. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah karena perubahan dan perbedaan lingkungan. Masalah ini tentunya akan lebih jelas diketahui oleh mereka yang memperlajari perkembangan bahasa serta pengaruh waktu dan tempat yang dihadapinya. Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukkan makna tertentu pula. Yang mengkhawatirkan adalah menafsirkan lafaz-lafaz tertentu dalam hadis dengan menggunakan istilah modern. Disinilah sering kali tampak adanya penyimpangan dan kekeliruan. Oleh karena itu penguasaan arti dan makna pada dasarnya akan membantu memahami apa sesungguhnya yang dimaksud oleh hadis secara proporsional.54 Sebagai contoh kata تصويرdan مصور. Dalam teks-teks hadis, maksud dari kosakata tersebut adalah menggambar dan penggambar yang ada bayang-bayangnya, dan sekarang dikenal dengan kata memahat dan pemahat. Dengan berkembangnya bahasa, saat ini kata taswīr dan muṣawwir yang dalam hadis akan diancam dengan ancaman yang sangat pedih diartikan dengan kata memotret dan potret. Oleh karena 54
al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h. 195.
37
itu kata-kata tersebut tidak boleh dimaknai sebagaimana makna yang berkembang sekarang, tetapi harus dikembalikan sebagaimana makna aslinya. Teknologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi saw., maka tidak mungkin ditunjukkan untuk ahli foto. Jadi, memasukkan ancaman kepada ahli foto tidaklah tepat. C. Fazlur Rahman Dan Teori Double Movement 1. Sekilas Biografi Fazlur Rahman Fazlur Rahman lahir pada hari Minggu, tanggal 21 September 1919 M, di sebuah daerah yang bernama Hazra, India. Saat ini daerah tersebut menjadi bagian dari negara Pakistan, dan ia meninggal pada 26 Juli 1988 M di Chicago, Ilinois. Ayahnya Maulana Shahāb al-Dīn merupakan seorang ulama terkemuka yang memiliki latar belakang pendidikan Islam tradisional di Dār l-Ulūm Deoband, India. Kendatipun demikian, Shahāb al-Dīn sangat menghargai pendidikan sistem modern. Ayahnya merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam membentuk pemikiran Islam tradisional Rahman.55 Rahman lahir dari keluarga yang tergolong taat beragama. Menurut pengakuan Fazlur Rahman sendiri keluarganya mempraktekkan ibadah hari-hari secara teratur, seperti salat, puasa, dan lain-lain. Rahman telah menghafalkan al-Qur‟an ketika ia baru berumur 10 tahun. Selain itu ia belajar di sebuah institusi yang di kembangkan oleh Mulla Nizamuddin yang dikenal sebagai “Dars-i Nizami”. Selain itu Rahman mendapatkan pendidikan dari ayahnya di rumah.56 Pada tahun 1933, ketika genap berusia 14 tahun keluarganya pindah ke Lahore. Di sana, pertama kalinya Rahman mendapat mendidikan modern. Namun
55
Amiruddin M. Hasbi, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
56
Amiruddin M. Hasbi, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman,h. 9.
h. 9.
38
demikian, ia masih terus mendapatkan pendidikan Islam tradisional di dalam rumahnya, dibawah bimbingan ayahnya. Tahun 1940, Rahman mendapatkan gelar Bachelor of Arts (B.A) dari Universitas Punjab dalam bidang Bahasa Arab. Dua tahun kemudian yakni pada tahun 1942, ia menyelesaikan Master of Art (M.A) di bidang dan di universitas yang sama dengan memperoleh penghargaan yang tinggi. Kemudian, melanjutkan studi doktoral di Universitas Oxford tahun 1946 dengan mengambil konsentarasi bidang Filsafat Islam. Disana Rahman belajar bahasa Prancis, Jerman, Latin, dan Yunani Kuno sebagai syarat untuk menyelesaikan doktoralnya. Dan program doktoralnya selesai pada tahun 1949.57 Setelah meraih gelar Doktor of Philosophy dari Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke negerinya Pakistan, yang baru saja merdeka beberapa tahun dan telah memisahkan diri dari India. Rahman memilih untuk mengajar di Universitas Durham, Inggris, dan kemudian pindah ke Universitas McGill, Montreal, Kanada, dimana kemudian didirikan Institute of Islamic Studies oleh Wilfred Cantwell Smith, sebuah institut pengkajian Islam yang populer di Barat bahkan sampai sekarang.58 Pada awal 1960 Rahman kembali ke Pakistan untuk memegang sebuah lembaga penelitian yaitu Institue of Islamic Research di Karaci. Melalui lembaga ini Fazlur Rahman memprakarsai penerbitan Journal Islamic Studies yang hingga sekarang secara berkala masih terbit dan merupakan jurnal ilmiah bertaraf internasional. Akan tetapi penunjukkan Rahman sebagai pemimpin lembaga tersebut kurang mendapat respon yang baik dari ulama kalangan tradisional, mereka menganggap Rahman sebagai kelompok modernis dan telah banyak terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran Barat. Ketegangan tersebut terus berlanjut hingga tegangan 57
Taufik Adnan Amal, Metode Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1994), h. 13. 58 Amiruddin M. Hasbi, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, h. 11
39
politik antara ulama tradisional dengan pemerintahan Ayyūb Khan yang digolongkan modernis. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan dengan terpaksa Fazlur Rahman hijrah dari Pakistan. Rahman hijrah ke Barat Amerika Serikat, menjadi tenaga pengajar di Universitas California, Los Angeles pada tahun 1968. Tahun 1969 Rahman diangkat menjadi profesor dalam bidang pemikiran Islam di Universitas Chicago, dimana lembaga ini merupakan tempat terakahir Rahman bekerja hingga meninggal dunia tahun 1988.59 Gagasan mengenai kebangkitan dan pembaharuan kembali nilai-nilai Islam tradisional mengambil posisi utama dalam pemikiran Rahman. Persoalan penting yang dihadapinya adalah: Bagaimana Islam sebagai agama, budaya, politik, dan etika mampu menghadapi modernisasi dan arus perubahan dunia yang begitu cepat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Rahman menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menulis, mengajar, dan meneliti. Setidaknya terdapat lebih dari 5 buku (selain disertasi dan doktor) dan tidak kurang dari 50 artikel yang dimuat di beberapa jurnal Internasional. Diantara karya-karyanya adalah: Islamic Methodology in History, Islam, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual Islamic Tradition, Major Themes of The Qur‟an, The Philosopy of Mulla Sadra, dan Revival and Refrom. Diantara jurnal-jurnal internasional yang memuat tulisannya adalah Islamic Studies, The Muslim World, dan Studia Islamica.60 2. Teori Double Movement Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya, beberapa ulama memberikan
metode-metode
untuk
memahami
hadis,
yang
mana
dalam
metodologinya tersebut memang dikhususkan sebagai metode untuk memahami hadis.
59
Amiruddin M. Hasbi, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, h. 12. Ghufron A. Mas‟adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 6. 60
40
Berbeda dengan Fazlur Rahman, ia tidak menghususkan metodologi Double Movement miliknya untuk metode pemahaman hadis. Melainkan sebagai cara untuk memahami nash/teks. Meskipun karya-karyanya lebih banyak mengaplikasikan metode double movement terhadap ayat al-Qur‟an, akan tetapi pada dasarnya metode tersebut juga dapat digunakan dalam memahami hadis. Rahman sendiri memusatkan konsentrasinya pada bagaimana menghidupkan kembali nilai-nilai Islam di masa kini. Dimana nilai-nilai tersebut tertuang dalam al-Qur‟an dan Hadis.61 Rahman mengajukan metodologinya berdasarkan pada keyakinannya bahwa alQur‟an sebagai petunjuk bagi umat manusia, sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Baqarah[2] : 185. Dan dilatarbelakangi oleh kekecewaannya terhadap pemikiran tradisional. Rahman merekonstruksi kembali pemikiran tersebut melalui perumusan kembali motodologi terhadap pemahaman nash yang disebut dengan Double Movement. Teori double movement ini merupakan teori gerakan ganda yang diyakini Rahman dapat menjadi solusi yang tepat untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi antara Islam dan modernitas. Gerakan tersebut terdiri dari: pertama, berangkat dari situasi masa kini menuju kondisi sosio-historis di mana nash diturunkan untuk menemukan jawaban spesifik terhadap situasi spesifik. Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut menjadi prinsip umum untuk dihidupkan kembali pada masa kini.62 Pada gerakan pertama terdapat dua langkah yang harus di tempuh, yaitu:
61
Teori Double Movement dijelaskan dalam buku, Fazlur Rahman, Islam&Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago-London: University of Chicago Press, 1982. 62 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), h.7-8.
41
a) Memahami arti atau makna suatu pernyataan nash dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan nash tersebut merupakan jawabannya dengan mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga, bahkan keseluruhan kehidupan masyarakat di jazirah Arab, untuk mengetahui situasi lahirnya nash tersebut dan dalam sebab apa nash tersebut dikeluarkan.63 b) Menggeneralisasikan tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum, atau dengan kata lain adalah “berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya.64 Gerakan kedua dari teori ini adalah mengkontekstualisasikan pandanganpandangan umum (yaitu yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang konkret sekarang ini.65 Sekilas metode double movement Fazlur Rahman sama dengan metode pemahaman hadis Syuhudi Islam dengan melihat tekstual dan kontekstual hadis.66 Akan tetapi Syuhudi Ismail tidak membuat langkah-langkah yang sistematis dalam pemahaman hadis, seperti yang dilakukan oleh Fazlur Rahman. Selain itu dalam metode double movement lebih menekankan pada pencarian makna sebenarnya “legal spesifik” dan “moral sosial”.
63
Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, h. 7. Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, h. 7. 65 Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, h. 8. 66 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 6. 64
42
3. Contoh Aplikasi Teori Double Movement Salah satu isu kontemporer yang berkembang dalam khazanah pemikiran Islam adalah tentang pembagian waris. Isu ini tumbul karena adanya dikotomi metodologi klasik yang condong pada nilai-nilai normatif dan metodologi kontemporer yang condong pada nilai-nilai progresif. Dalam doktrin normatif kewarisan Islam, perbandingan pembagian waris bagi laki-laki dan perempuan adalah 2:1 dan sampai kapan pun akan tetap seperti itu dengan landasan bahwa ayat-ayat tersebut bersifat qat‟i (tetap) dan ijbāri (paksaan). Implikasinya adalah tidak boleh ada ruang ijtihad dalam kewarisan Islam. Dalam hal ini Fazlur Rahman menafsirkan lain, yang ditafsirkan oleh Islam normatif 2:1, diinterpretasikan oleh Rahman menjadi 1:1 berdasarkan teori double movement-nya dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an.67 Menurut Rahman, “...apabila melihat kondisi sosial-kultur masyarakat Arab pada saat surat An-Nisā: 11 turun, maka jelas sekali bahwa penetapan pembagian waris 2:1 oleh al-Qur‟an merupakan bentuk langkah adaptasi dengan budaya Arab. Karena teori geneologi Arab menganut pratriarchal tribe (kesukuan dari garis lakilaki), maka sangat wajar bila saat itu memberi porsi yang lebih pada laki-laki. Berdasarkan kenyataan sejarah banyak ketentuan-ketentuan Islam merupakan representasi dari modifikasi ketentuan-ketentuan pra-Islam. Padalah jika diperhatikan dengan seksama sistem kekeluargaan dalam al-Qur‟an adalah bilateral, bukan patrilineal maupun matrilineal...." Selain itu juga jika ditelaah lebih seksama, pensyari‟atan pembagian waris 2:1 sangat dipengaruhi oleh faktor situasi dan kondisi bangsa Arab pada zaman Nabi Muhammad saw. Pada masa itu kewajiban mencari nafkah hanya dibebankan bagi 67
Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin Kewarisan Islam Klasik”, al-Manij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol.2, No.2 (Juli 2013), h. 200.
43
laki-laki dan wajib hukumnya bagi mereka. Sedangkan kaum perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya bila telah menikah, atau dari walinya bila belum menikah, sebagaimana tercantum dalam surat al-Baqarah: 233 dan al-Thalāq: 6. Menurut Rahman, ketika melihat eksistensi perempuan masa kini dan perubahan zaman pada saat ini, “...kondisi perempuan telah mengalami perubahan, sebagaimana nilai-nilai dan perubahan ekonomi dalam suatu masyarakat tradisional yang merupakan simbol-simbol fungsional dari peran-peran aktual dalam masyarakat yang bersangkutan. Peran-peran di masyarakat tidak ada yang inherent dan pasti mengalami perubahan. Saat ini perempuan mempunyai independensi yang besar dalam melakukan aktifitasnya. Banyak diantara mereka bisa atau mungkin lebih mahir dari pada laki-laki dalam menjalani profesi di sektor-sektor publik, yang disebut dengan perempuan karier. Dengan demikian pada saat ini bukan hanya laki-laki saja yang bisa mencari nafkah, perempuan pun bisa mencari nafkah. Bahkan tidak sedikit perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga....” Maka terkait dengan masalah pembagian warisan, menurut Rahman, “...dituntut adanya re-interpretasi terhadapnya dengan tujuan tetap terjaga nilai-nilai sakral dalam al-Qur‟an, yaitu nilai keadilan, dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Re-interpretasi Rahman setelah mengaplikasikan teori double movementnya terhadap kewarisan Islam adalah bagian yang diterima perempuan sama dengan bagian yang diterima oleh laki-laki 1:1, dengan tetap melihat tujuan yang ada....”68
68
Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin Kewariasan Islam Klasik”, h. 202
BAB III DISKURSUS SEPUTAR IDENTITAS DAN JENGGOT A. Diskursus Seputar Identitas 1. Pengertian Identitas Dilihat dari segi bahasa, identitas berasal dari bahasa Inggris yaitu identity yang dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda atau jadi diri.1 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas adalah ciri-ciri2 atau keadaan khusus seseorang, dan jati diri seseorang.3 Menurut Stella Ting Toomey4 identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, agama, budaya, etnis, dan proses sosialisasi. Sedangkan menurut Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne, identitas merupakan cara mendefinisikan diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam hal perilaku, keyakinan, dan sikap.5 Menurut Arnold Dashefsky6 Identitas dapat memiliki dua arti: pertama, identitas atau jati diri yang menunjukkan pada ciri-ciri yang melekat pada diri 1
Peter Salim, Advance English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1999), h. 410. Ciri-ciri adalah sesuatu yang menandai suatu benda atau orang. Ada ciri-ciri fisik dan ada ciri-ciri non-fisik. Ciri fisik misalnya orang Cina memiliki mata sipit dan kulit putih. Sedangkan orang Papua memiliki ciri fisik kulitnya hitam dan rambutnya keriting. Ciri-ciri yang bersifat non-fisik misalnya, gaya seseorang ketika berbicara, ketika bermain, ketika belajar dan sebagainya. (Lihat, A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, h. 1) 3 Alwi Hasan, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 319. 4 Stella Ting Toomey lahir di Hong-Kong pada 22 Mei 1952. Pada tahun 1972 ia ke Amerika Serikat untuk melaksanakan studinya di University of Iowa. Ia mengkonsentrasikan dirinya pada penelitian tentang antropologi, sosiologi, lingustik, suku, dan budaya. Stella merupakan pencetus dari “Teori Negosiasi Muka‟. Saat ini Ia merupakan professor di California State University at Fullerton (CSUF). (lihat: http://commfaculty.fullerton.edu/stingtoomey/interview.htm ditulis oleh Susan Rinderle, diakses pada 27 September 2016. 5 Larry A. Samovar, Communication Between Cultures, USA: Wadsworth Cangage Learning, 2009, h. 154. 2
6
Arnold Dashefsky lahir pada tahun 1942, ia merupakan profesor di University of Connecticut Amerika Serikat. Dashefsky banyak menulis buku tentang etnis Yahudi, kebudayaan, ideologi, dan yang lainnya. Saat ini ia merupakan Direktur di North American Jewish Data Bank.
44
45
seseorang atau sebuah benda. Kedua, identitas atau jati diri dapat berupa surat keterangan yang dapat menjelaskan pribadi seseorang dan riwayat hidup seseorang.7 Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka penulis memberi kesimpulan bahwa identitas adalah ciri-ciri khusus yang ada pada diri seseorang, baik berupa ciriciri fisik maupun non-fisik yang dapat memberikan tanda pembeda antara dirinya dengan orang lain. Identitas tersebut dapat muncul melalui keluarga, gender, agama, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas dapat dibagi dalam beberapa bagian, yaitu identitas individu dan identitas kolektif. Identitas individu adalah jati diri yang dimiliki oleh seseorang yang ia dapat sejak ia lahir maupun melalui proses interaksi dengan orang lain. Identitas yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya satu, tetapi bisa lebih dari satu. Jumlah identitas yang dimiliki oleh seseorang akan berbeda dengan identitas yang dimiliki oleh orang lain. Sedangkan identitas kolektif adalah identitas yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok yang mereka bangun melalui interaksi sesama anggotanya dengan tujuan untuk kepentingan bersama.8 Identitas dapat muncul dan ada melalui interaksi.9 Seseorang memiliki identitas tertentu karena keberadaannya diakui oleh orang lain dalam interaksi sosial. Orang lain yang berada dalam interaksi dengan dirinya adalah penentu dari jati dirinya, sehingga orang lain tersebut dapat dilihat sebagai cermin bagi dirinya. Karena
7
A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, 2000, h. 1. Justin T. Sokol, “Identity Development Throughout The Lifetime: An Eximanition of Eriksonian Theory”, Graduate Journal of Counseling Psychology, Vol 1, Iss. 2, (Januari, 2009), h. 142. 9 Interaksi adalah kenyataan empirik yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain atau dengan kelompok lain yang berupa tindakan para pelaku yang menandakan adanya hubungan antar pelaku tersebut. 8
46
hanya melalui cermin itulah seseorang dapat melihat dan mengenali seperti apa dirinya.10 Identitas atau jati diri seseorang sangat diperlukan dalam setiap interaksi. Karena setiap pelaku mengambil posisi masing-masing, dan berdasarkan posisi tersebut ia menjalankan peranannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi sosial.11 Dalam indentitas biasanya memiliki atribut. Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tujuannya adalah untuk mengenali identitas atau jati diri seseorang. Atribut ini biasanya berupa ciri-ciri yang mencolok dari benda atau tubuh seseorang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan atau bahasa yang digunakan. Misalnya dalam hal tubuh seseorang, orang Cina memiliki mata sipit dan kulit putih. Corak identitas seseorang itu ditentukan oleh atribut-atribut yang digunakan seseorang, dengan begitu corak atribut tersebut dapat dilihat dan diakui oleh para pelaku yang dihadapi dalam suatu interaksi.12 2. Identitas Seorang Muslim Dalam kajian sosiologi, ciri fisik dan busana yang digunakan oleh seseorang memiliki fungsi-fungsi sosial diantaranya sebagai fungsi identitas. Dengan fungsi ini agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia, dan mau apa ia. Dengan demikian manusia yang menggunakan busana atau mempunyai ciri tertentu yang melekat pada dirinya pada akhirnya menjadi nilai identitas keagamaannya.13
10
A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, h. 5. A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, h. 6 12 https://www.academia.edu/8436219/Pengertian_identitas_Identitas, ditulis oleh Ivy Ipink, diakses pada tanggal 20 Agustus 2016. 13 Septian Rizki Yudha,” Implementasi Pakaian Muslim dan Muslimah dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan”. (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h. 48. 11
47
Dalam hal ini, salah satu ciri fisik seorang Muslim adalah jenggot. Nabi saw. dalam hadisnya, pernah menganjurkan untuk memelihara jenggot sebagai pembeda dengan orang-orang non-Muslim seperti orang Musyrik,14 Majusi,15 maupun Yahudi dan Nasrani.16 Menyemir rambut terhadap rambut yang telah dipenuhi uban juga merupakan sarana pembeda dengan orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana juga dijelaskan dalam hadis Nabi saw. dari Abū Hurairah.17 Dengan ini menyemir rambut itu menurut al-Syaukani menjadi sesuatu yang disunnahkan.18 Dalam hal berbusana seorang laki-laki Muslim ditandai dengan memakai surban. Surban adalah kain panjang dan lebar yang diikatkan di atas kepala. Umumnya surban digunakan oleh masyarakat Timur Tengah dan India. Dalam sebuah 14
Dari Ibnu „Umar:
ِ َ َيد بن زري ٍع حدَّثَنا عمر بن ُُم َّم ِد ب ِن زي ٍد عن نَافِ ٍع عن بب ِن عمر عن بلنَِِّب صلَّى بللَّو علَي ِو وسلَّم ق ِ ٍ ِ ني َ ال َخال ُفوب بلْ ُم ْش ِرك َ ِّ ْ َ َ َ ُ ْ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ َ ُ َ َ ْ َ ُ ُ ْ ُ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن منْ َهال َحدَّثَنَا يَِز َ ََ َْ ُ ب ْ َوف ُِّروب بللِّ َحى َوأ َ َّوب ِر َ َح ُفوب بلش Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: „Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian‟. (HR. Bukhari, hadis ke-5829) 15
Dari Abū Hurairah Ia berkata:
َّ ِ َّ َّ َ ول بللَّ ِو ب َوأ َْر ُخوب بللِّ َحى َخالُِفوب بلْ َم ُجوس ُ ال َر ُس َ َال ق َ ََع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ ق َ َّوب ِر َ صلى بللوُ َعلَيْو َو َسل َم ُجُّزوب بلش
Artinya: dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukurlah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi". (HR. Muslim, hadis ke 602) 16
Dari Abū Hurairah r.a, ia berkata:
ِ ِ َ عن أَِِب ىري رَة أ ََّن رس ِّ َّص َارى َ َصلَّى بللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ ب َو ََغيِّ ُروب ََْيََ ُك ْم َوََل تَ َشََّ ُهوب بِالْيَ ُهود َوبلن َ َّوب ِر َ ول بللَّو ُ َ ََْ ُ ْ َ َ ال أ َْع ُفوب بلل َحى َو ُخ ُذوب بلش
Artinya: dari Abu Hurairah berkata; bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Panjangkanlah jenggut, cukurlah kumis, dan warnailah uban kalian serta janganlah kalian serupai orang Yahudi dan Nasrani". (HR. Ahmad, hadis ke 8318) 17
Dari Abū Hurairah r.a, ia berkata:
ِ ِ َ عن أَِِب ىري رةَ أ ََّن رس ِّ َّص َارى َ َصلَّى بللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ ب َو ََغيِّ ُروب ََْيََ ُك ْم َوََل تَ َشََّ ُهوب بِالْيَ ُهود َوبلن َ َّوب ِر َ ول بللَّو ُ َ ََْ ُ ْ َ َ ال أ َْع ُفوب بلل َحى َو ُخ ُذوب بلش
Artinya: dari Abu Hurairah berkata; bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Panjangkanlah jenggut, cukurlah kumis, dan warnailah uban kalian serta janganlah kalian serupai orang Yahudi dan Nasrani". (HR. Ahmad, hadis ke 8318) 18
Muḥammad bin Kamal Khalid al-Ṣuyuti, Kumpulan Hadis yang Disepakati 4 Imam (Abu Daud, Tirmizi, Nasa‟i dan Ibnu Majah), Terj. Marsuni Sasaky, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 337.
48
hadis dikatakan bahwa surban merupakan pembeda antara orang Islam dengan orang Musyrik.19 Menurut
Ali Mustafa Ya‟qub hadis-hadis tentang Nabi Muhammad saw.
memakai surban adalah sahih. Akan tetapi yang harus dipahami adalah surban merupakan salah satu pakaian bangsa Arab, dan Nabi saw. menggunakan surban dalam kapasitas sebagai orang Arab. Yang menjadi pembeda adalah kopiah sebagaimana yang tercantum dalam hadis tersebut. Orang Muslim ketika memakai surban disertai dengan memakai kopiah. Karena orang Islam saat memakai surban juga di pakai untuk salat, jika tidak pakai kopiah, apabila ruku' atau sujud, surban akan mudah lepas. Sedangkan orang Musyrikin tidak memakai kopiah karena tidak memerlukan ruku' dan sujud. Oleh karena itu Ali Mustafa Ya‟qub berkesimpulan bahwa pemakaian surban tidak murni berasal dari Islam, akan tetapi merupakan budaya Arab yang masuk ke dalam budaya Islam.20 Pemakaian busana lainnya yang sering dijadikan sebagai tanda busana pakaian seorang Muslim adalah memakai jubah atau gamis. Dalam sebuah hadis dikatakan gamis merupakan pakaian kesukaan Nabi Muhammad saw.21 Menurut Muḥammad bin Ṣāleh al- „Utsaimīn, Nabi Muhammad saw. lebih menyukai memakai gamis, karena gamis lebih menutupi diri dibanding dengan pakaian yang dua pasang yaitu izar (pakaian bawah) dan rida‟ (pakaian atas). Namun para sahabat di masa Nabi saw.
19
Dari Rukānah r.a ia berkata:
ِ ِ ِ ِني بلْ َع َمائِ ُم َعلَى بلْ َق َلن س ُ صلَّى بللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يَ ُق َ َق َّ ِت بلن َ ني بلْ ُم ْش ِرك َ ْ َول فَ ْر ُق َما بَْي نَ نَا َوب ُ ال ُرَكانَةُ َو ََس ْع َ َِّب
Artinya: Dari Rukanah berkata, "Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbedaan antara kita dengan orang-orang musyrik adalah diletakkannya imamah (semacam surban yang dililitkan di kepala) di atas peci." (HR. Abu Daud Hadis ke 3556) 20 21
Ali Mustafa Ya‟qub, Cara Benar Memahami Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), h. 101-102. Dari Ummu Salamah, ia berkata:
ِ ِ ِ ب بلثِّي يص ْ ََع ْن أ ُِّم َسلَ َمةَ قَال ِّ ِاب إِ ََل بلن َ َِّب َ َّ َح َ ت َكا َن أ ُ صلَّى بللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم بلْ َقم
dari Ummu Salamah ia berkata, "Pakaian yang paling disukai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah gamis." (HR. Tirmizi hadis nomor 1684)
49
terkadang memakai pakaian atas dan bawah seperti itu.22 Sedangkan di daerah Melayu seperti Indonesia biasanya jubah atau gamis diganti dengan menggunakan sarung atau pakaian atas bawah. Bagi beberapa kalangan umat Muslim, ada yang mengangkat gamis, sarung atau celananya lebih ke atas hingga mata kaki. Kalangan ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan suatu sunnah Nabi Muhammad saw. bahkan di perintahkan dalam Islam.23 Sedangkan menurut mereka, memelihara pakaian sampai di bawah mata kaki atau yang biasa disebut isbal24 merupakan hal yang dilarang dalam Islam sebagaimana terdapat dalam beberapa hadis.25 Hal-hal tersebut diatas merupakan busana yang sering dijadikan sebagai ciri khas atau indentitas bagi umat Muslim. Sedangkan bagi kaum Muslimah ciri busana pakaiannya ditandai dengan menutupi kepala dengan jilbab, sebagaimana yang diperintahkan Allah al-Qur‟an dalam suarat al-Ahzāb ayat 59.26 Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita
22
Muḥammad bin Ṣāleh Al „Utsaimīn , Syaraḥ al-Mumṭi‟, (Mesir: Dār Ibnu al-Jauzi, 2009), jilid 4, h.
23
Dari Al Asy‟ats bin Sulaim, ia berkata :
223.
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ صلَّى بللُ َعلَْي ِو َ َِّث َع ْن َع ِّم َها ق ُ ُُتَد، ت َع َّم ِت ُ ََس ْع َ فَِإنَّوُ أَنْ َقى» فَِإ َذب ُى َو َر ُس ْو ُل بلل، « ب ْرفَ ْع إَِز َبرَك: إِ َذب إِنْ َسان َخ ْلفي يَ ُق ْو ُل، بَْي نَا أَنَا أ َْمشي باملَديْنَة: ال ِ ِص ف َساقَ ْي ِو َ َ يَا َر ُس ْو َل بللِ إََِّّنَا ِى َي بُْرَدة َملْ َحاءُ) ق: ت َّ ِ ك َ َ « أ ََّما ل: ال ْ ت فَِإذَب إَِز َبرهُ إِ ََل ن ُ ُس َوة ؟ » فَنَظَْر ُ َْو َسلَّ َم فَ ُقل ْفأ
Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ‟Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.‟ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” Lihat Mukhtashor Syama‟il Muhammadiyyah, (Al Maktabah Al Islamiyyah: Aman-Yordan, 2009), h. 69 24 Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki baik itu berupa gamis, celana, maupun sarung. Sedangkan pelakunya disebut Musbil. 25 Dari Abū Hurairah ia berkata:
ِ َ عن أَِِب ىري رةَ أ ََّن رس ال ََل يَنْظُُر بللَّوُ يَ ْوَم بلْ ِقيَ َام ِة إِ ََل َم ْن َجَّر إَِز َبرهُ بَطًَرب َ َصلَّى بللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق َ ول بللَّو ُ َ ََْ ُ ْ َ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menjulurkan kain sarungnya karena sombong." Hadis ini dijadikan dalil oleh beberapa kalangan yang memahami secara tekstual bahwa orang yang menjulurkan kain sarung hingga ke bawah mata kaki maka akan masuk neraka. 26 Qs. Al-Ahzāb ayat 59:
50
Muslim dan wanita non-Muslim, wanita merdeka atau budak, yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan sama.27 Karena itu menimbulkan keinginan kaum laki-laki untuk mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka duga atau ketahui sebagai hamba sahaya. Untuk menghindari gangguan tersebut, serta menampakkan kehormatan wanita Muslimah diperlukan dengan cara memakai jilbab. Dengan demikian hal itu menjadikan wanita Muslimah lebih mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu.28 B. Diskursus Seputar Jenggot 1. Pengertian Jenggot Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jenggot didefinisikan dengan bulu yang tumbuh di dagu.29 Dalam „Aun al-Ma‟būd, Imām Zakariyyā menjelaskan bahwa jenggot adalah bulu yang tumbuh di antara kumis dan dagu.30 Dalam bahasa Arab jenggot adalah اللحية, Ibnū Manzūr dalam kamus lisān al-„Arab memberikan definisi jenggot yang lebih luas lagi yakni jenggot tidak hanya bulu yang tumbuh di sekitar dagu saja, tetapi juga bulu-bulu yang tumbuh di sekitar kedua belah pipi.31 Aḥmad alDahlawī memberikan definisi jenggot yang lebih rinci lagi, ia memberikan batasan jenggot yang panjangnya dari rambut yang tumbuh dibawah bibir termasuk rambut
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Azhāb: 59). 27
Sama di sini artinya adalah semua wanita Arab menggunakan penutup kepala hanya sebatas menutupi rambut. Ketika Islam datang disempurnkan batasannya, tidak hanya menutupi kepala, rambut, dan telinga, melainkan harus menutupi dada. 28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol.11, h.319-320. 29 Alwi Hasan, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 457. 30 Imām Zakariyyā, „Aun al-Ma‟būd fi al-Fāz Abī Dāwud, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), jilid 2, h. 143. 31 Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, jilid 8, h. 57.
51
dagu sampai rambut yang tumbuh di bawah dagu. Sedangkan lebarnya, dari rambut yang tumbuh pada kedua pipi yaitu cambang, termasuk rambut pelipis sampai rambut yang tumbuh di bawah mulut, seluruhnya adalah jenggot.32 Maka dari sini batasan jenggot, lebarnya mulai dari rambut yang tumbuh pada kedua pipi atau cambang sampai rambut yang tumbuh di bawah mulut. Sedangkan batasan panjangnya tidak dijelaskan secara jelas dan terperinci, yang dijelaskan adalah lebatnya. 2. Tradisi Memelihara Jenggot Masyarakat Pra-Islam Tradisi memelihara jenggot juga pernah di lakukan oleh Nabi-Nabi terdahulu, sebelum Nabi Muhammad. Sebut saja Nabi Harun a.s yang mana jenggot miliknya terekam dalam surat Tāhā (20): 94. “Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku". Dalam kisah Nabi Musa kecil juga diceritakan bahwa Musa kecil pernah menarik jenggot Fir‟aun yang menyebabkan Fir‟aun marah dan hampir membunuh Musa kecil. Upaya pembunuhan tersebut tidak terjadi karena dihalangi oleh permaisuri Fir‟aun. Permaisuri Fir‟aun tersebut mengatakan bahwa Musa hanya seorang anak kecil yang belum mengetahui apa-apa. Untuk membuktikan hal tersebut Musa dihadapkan pada dua benda, roti dan bara. Karena Musa kecil belum mengetahui apa-apa, dia mengambil bara dan memasukkan ke mulutnya. Hal ini kelak yang akan menjadikan Musa tidak fasih dalam berbicara.33 Dari kisah ini dapat
32
AbU Nu‟aim Muhammad Faisal Jamil al-Medany, “Jenggot dalam Pandangan Islam”, SALAFY VII, (Yogyakarta: Yayasan Karisma, 1996): h. 28. 33 Abid Bisri, Qishashul Anbiya dalam al-Quran, (Surabaya: Bungkul Indah, 1997), h. 250.
52
diambil kesimpulan bahwa pada masa Mesir kuno tradisi memelihara jenggot sudah ada. Pada tahun 1900 SM, Petrie menemukan kuburan para raja dinasti pertama di Abydos, sebuah potongan gading binatang yang memuat gambar wajah tipe Semit Armenoid, atau yang disebut dengan tipe “Asiatik”, yang digambarkan berjenggot panjang meruncing, dan kumis yang dicukur pada bagian atasnya. Gambar tersebut dapat dikatakan sebagai gambaran orang-orang arab yang paling awal.34 Di dataran Eropa jauh sebelum masuknya Nasrani, orang-orang Yunani dan Romawi kuno juga sudah mengenal dewa-dewa yang secara fisik juga menumbuhkan jenggot, hal ini dapat dilihat dari gambar pahatan patung yang ada. Seperti dewa tertinggi Yunani, Zeus.35
Gambar 1: Dewa Zeus dalam mitologi Yunani36 Di Mekkah, orang-orang di luar Islam seperti orang Majusi, mereka melakukan hal sebaliknya, yakni mereka lebih senang memelihara kumis dan mencukur jenggotnya, sebagaimana yang dinformasikan dalam beberapa hadis. 34
Philip K.Hatti, History Of The Arabs, Terj. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 41. 35 Edith Hamilton, Mitologi Yunani, Terj. A. Rahmatullah, (Jakarta: Oncor Semseta Ilmu, 2011), h. 5. 36 https://nikodemusoul.files.wordpress.com/2012/07/who-is-zeus-father.jpg
53
ِ ِ ِ ِ َ َأَ ْخَر َج بِبْ ُن َس ْع ٍد َع ْن عََُ ْي ِد بلل بْ ِن َعَْ ِد بلل ق ُصلَّى بللُ َعلَْيو َو َسلَّم قَ ْد أَ ْع َفى ََا ِربَو َ َجاءَ َمُوسي إِ ََل َر ُسول بلل:ال ." " لَ ِك ْن ِرِِّب أََمَرِن أَ ْن أَ ْح ِف َى ََ ِارِِب َوأَ ْع ِف َي ِلْيَِت:ال َ َ ق.ال َرِِّب َ َ " َم ْن أََمَرَك ِبَ َذب "؟ ق:ُال لَو َ َوأَ ْخ َفى ِلْيَتَوُ فَ َق Diriwayatkan oleh Ibnu Sa‟ad dari Ubaidillah bin Abdillah, ia berkata: “Seorang Majusi datang menemui Rasulullah dengan (penampilan) memelihara kumisnya dan mencukur jenggotnya. Rasulullah bertanya kepadanya: “Siapakah yang memerintahkanmu seperti ini?‟ Ia menjawab: „Tuhanku.‟ Beliau bersabda; akan tetapi Rabb-ku memerintahkan aku untuk memangkas kumisku dan memelihara jenggotku.”37 Orang-orang di luar Arab (a‟jam) juga melakukan hal yang sama pada masa Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang diinformasikan oleh Ibnu Najjār dalam tarikhnya.
ِ ِ ِ ُ قَ َدم علَى رس:ال ٍ ََّأَ ْخَر َج ببْ ُن بلنَّ َجا ِر ِف تَا ِرِْي ِو َع ْن بِبْ ِن َع بلع َج ِم قَ ْد َ صلَّى بللُ َعلَيو َو َسلَّ َم َوفْد م َن َ ول بلل ُ َ َ َ َ َاس ق ِ ِ ُ ال رس ِ ب َوبَ ْع ُفوب بلْلِ ْح َى َّ " َخالُِفوب َعلَْي ِه ْم فَ َح ُفوب:صلَّى بللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُ ََحلَ ُقوب ل َ ول بلل َ بلش َوب ِر ُ َ َ اى ْم َوتَ َرُكوب ََ َوب ِرِب ْم فَ َق ."
Diriwayatkan oleh Ibnu Najjār di dalam Tarikhnya dari Ibnu Abbās, ia berkata: “seseorang utusan dari „ajam dengan penampilan jenggot tercukur habis dan kumis terpelihara panjang datang menemui Rasulullah. Melihat hal itu Rasulullah bersabda: „berbedalah dengan mereka, dengan mempebanyak (tidak mencukur) jenggot dan memotong kumis.” Abū Jahal sebagai pimpinan kaum kafir Quraisy juga lebih senang dengan penampilan layaknya Kisra Persia dengan kumis melintang, baju yang berwarnawarni khas Kisra Persia. Sebagaimana Abū Jahal yang mengikuti Kisra Persia, maka orang-orang Persia termasuk kisranya pada zaman Rasulullah lebih senang memelihara kumis. Melihat dari hadis-hadis tersebut dan ciri fisik Abū Jahal dapat diambil kesimpulan bahwa orang-orang di luar Islam melakukan tradisi memelihara kumisnya. Walaupun tidak menutup kemungkinan juga memelihara jenggotnya karena tradisi jenggot sudah ada sejak zaman Mesir Kuno.
37
„Abdurraḥmān ibn Abū Bakr dan Jalāl al-Dīn al-Ṣuyūṭī, al-Lam‟u fī Asbāb Wurūd al-Hadīth (Mansurah: Dār al-Wafa„1988), h. 205.
54
3. Tradisi Memelihara Jenggot Pada Masa Nabi Muhammad Dan Sahabat Dalam Kitab Syamil Muhammadiyah karya Imām Tirmīzī diterangkan bagaimana kondisi fisik Nabi Muhammad saw. Salah satu fisik ciri Nabi saw. adalah memiliki jenggot.38
ِ ِ ُ ول ََل ي ُكن رس صلَّى بللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم بِالطَّ ِو ِيل بلََْائِ ِن َوََل َّ َع ْن َربِ َيعةَ بْ ِن أَِِب َعَْ ِد َ ول بللَّو ُ َ ْ َ ْ ُ بلر ْْحَ ِن أَنَّوُ ََس َع أنَ ًسا يَ ُق ِ ِ َّ ِاْلع ِد بلْ َقطَ ِط وََل ب ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ًني َسنَة َ السَِط بَ َعثَوُ بللَّوُ َعلَى َرأْ ِس أ َْربَع ْ َْ ِس ب َ َ بالْ َقصري بلْ ُمتَ َرِّدد َوََل ب ْاْلَبْيَض ْبْل َْم َهق َوََل ب ْاْل َدم َولَْي ِ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ َ س ِف َرأْسو َولْيَتو ع ْش ُرو َن ََ ْعَرًة بَْي َ ني َوبِالْ َمدينَة َع ْشًرب َوتَ َوفَّاهُ بللَّوُ َعلَى َرأْ ِس ست َ فَأَقَ َام ِبَ َّكةَ َع ْشَر سن َضاء َ ِّني َسنَةً َولَْي dari Rabi'ah bin Abu Abdurrahman bahwa dia mendengar Anas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah sosok orang yang berpawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tidak putih bule dan tidak pula coklat, tidak kriting dan tidak pula lurus rambutnya. Allah mengutusnya ketika beliau berusia empat puluh tahun, beliau tinggal di Makkah selama sepuluh tahun (lebih) dan di Madinah selama sepuluh tahun. Allah mewafatkannya ketika beliau berusia enam puluh tahun, di kepala serta jenggot beliau tidak lebih dari dua puluh helai rambut putih (uban)."39 Terdapat pula hadis-hadis yang lain yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki jenggot yang tebal.
ِ ِ ِ ُ ال َكا َن رس ِ ِ ْ ََني بلْمْن ِك َّ ني َك َ ََع ْن بلََْ َر ِبء ق ً ُصلَّى بللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َرج ًل َم ْرب َ وعا َع ِر ُث بللِّ ْحيَة تَ ْعلُوه َ ول بللَّو َُ َ َ ْ َيض َما ب ِ ٍ ِ ُ ْْحَُْرة ُُجَّتُوُ إِ ََل ََ ْح َم َ ْت أُذُنَْيو لََق ْد َرأَيْتُوُ ِف ُحلَّة ْحََْربءَ َما َرأَي ْتأ َُح َس َن مْنو Dari al-Bara‟ ibn „Azib ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak tidak pendek), dadanya bidang melebar antara dua pundaknya, janggutnya sedang, warna kulitnya kemerah-merahan dan rambutnya menjuntai hingga daun telinga. Aku melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau."40
ِ َّ ِ َّ َّ َ ول بللَّ ِو بلرأْ ِس َوبللِّ ْحيَ ِة ُ ال َكا َن َر ُس َ ََع ْن َعلِ ٍّي َر ِض َي بللَّوُ َعْنوُ ق َّ ض ْخ ُم َ س بِالطَّ ِو ِيل َوََل بِالْ َقص ِري َ صلى بللوُ َعلَْيو َو َسل َم لَْي ِ ِ ِ ُّ يس إِ َذب َم َشى تَ َك َّفأَ تَ َكف ًُّؤب َكأَََّّنَا يَْن َح ِ ِ ض ْخ ُم بلْ َكَر ِبد ط ِم ْن َ يل بلْ َم ْس ُربَة ُ ََثْ ُن بلْ َكف َّْني َوبلْ َق َد َم ْني ُم ْشَرب َو ْج ُهوُ ْحَُْرًة طَو ِ ٍ ََص صلَّى بللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َ ُب ََلْ أ ََر قَ َْ لَوُ َوََل بَ ْع َدهُ مثْ لَو َ 38
Abī „Isa Muḥammad Ibn „Isa al-Tirmīzī, Syamil Muhammad: Kepribadian dan Budi Pekerti Rasulullah, (Jakarta: Katulistiwa, 2014), h. 13. 39 Abī Isa Muḥammad Ibn „Isa al-Tirmīzī, Sunan at-Tirmizi, hadis nomor 3556 40 Abī „Abdurraḥmān Aḥmad Ibn Syu‟aib Ibn „Ali al-Syuhair al-Nasā‟i, Sunan al-Nasā‟i, (Maktabah alMa‟ārif li al-Nats wa al-Tauzī‟, 215-303 H), h. 512.
55
Dari Ali bin Abi Thalib r.a berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpostur tidak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek, bentuk kepalanya besar dan jenggotnya lebat, kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya kasar, wajahnya agak kemerahan, bulu rambut dadanya panjang, tulang belulangnya besar, dan apabila berjalan tegap seakan akan menuruni tempat yang rendah. Aku tidak pernah melihat orang seperti beliau shallallahu 'alaihi wasallam sebelum ataupun sesudahnya."41 Para
sahabat
Rasulullah
seperti
Khulafaurrasyidin
juga
memelihara
jenggotnya sebagai bagian dari ciri fisiknya. Dalam beberapa sirah sahabat dikatakan bahwa ciri fisik Abū Bakar selain berbadan kurus dan berkulit putih Abū Bakar juga memiliki jenggot yang selalu diwarnai dengan memakai daun pacar (inai) dan pohon al-Kaltim42. „Umar bin Khattab memiliki ciri fisik berperawakan tinggi, putih kulitnya dan selalu mewarnai janggutnya dan merapikan rambutnya dengan inai (daun pacar)43. „Utsmān bin Affān merupakan seorang yang rupawan, lembut, dan memiliki jenggot yang lebat44. „Alī bin Abī Ṭālib memiliki ciri fisik yang tidak tinggi dan tidak terlalu pendek, janggutnya tebal hingga memenuhi bagian di antara dua pundaknya, berwarna putih bagaikan kapas45. Selain Khulafaurrasyidin, sahabat Nabi saw yang lain yang juga memiliki jenggot diantaranya „Abdurraḥmān bin „Auf yang tidak pernah mengubah jenggotnya ataupun rambut kepalanya. Zubair bin Awwam memiliki jenggot yang tipis di bawah dagunya.46 Hal ini menandakan baik Rasulullah dan para sahabatnya melakukan tradisi berupa memelihara jenggot. Dalam sebuah atsar dikatakan bahwa Ibnu „Umar juga memelihara jenggotnya. 41
Muḥammad Nasirūddīn al-Albanī Musnad Imam Ahmad, Terj. Ahmad Yusjawi, (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid 6, h. 234, Hadis nomor 708. 42 Husen Muhammad Haikal, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Terj. Abdul Kadir, (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 33. 43 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Terj. Ali Audah, (Jakarta: Litera AntarNusa, 2000), h. 11. 44 Muhammad Husain Haekal, Utsman bin Affan, Terj. Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), h. 33. 45 George Jordac, Sosok Agung Ali bin Abi Thalib, Terj. Abu As-Sajjad, (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 36. 46 Khālid Muḥammad Khālid, 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw, Terj. Muhil Dofir, (Jakarta: Al-I‟tisom, 2007), h. 285&360.
56
Seperti yang dikemukakan pada paragraf sebelumnya, bahwa sahabat Nabi berjenggot, akan tetapi dalam beberapa riwayat dikemukakan bahwa ada sahabat Nabi saw yang memelihara kumisnya. Seperti dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Malik, bahwa „Umar bin Khattab ketika sedang marah ia memilin kumisnya. 47 Para sahabat Nabi saw. seperti yang dikatakan Jabir bin „Abdullāh r.a apabila telah berumrah dan berhaji mereka memotong jenggot mereka apabila telah melebihi segenggaman tangan, hingga jenggot mereka hanya tinggal segenggaman tangan, “Kami biasa meninggalkan sibāl48 saat haji atau umrah”.49 Begitu juga dengan Ibn „Umar “biasanya Ibnu „Umar apabila haji atau umrah maka beliau menggenggam jenggotnya, apa-apa yang lebih dari padanya maka dia mengambilnya”50. Hal ini dapat disimpulkan bahwa para sahabat selalu memelihara jenggotnya agar terlihat rapi, tidak dibiarkan memanjang melebihi seganggaman tangan ketika berumrah, dan berantakan. 4. Pendapat Ulama Tentang Hadis Memelihara Jenggot Para ulama dalam masalah hadis memelihara jenggot berbeda pendapat dalam beberapa bagian: a. Hadis tentang memelihara jenggot bertujuan agar umat Islam berbeda dengan umat Musyrik dan umat Majusi. Dimana mereka mencukur jenggot mereka. Dengan demikian perintah tersebut disyariatkan intinya adalah agar berbeda dengan para musuh Islam.51
47
Hajar al-Asqalānī, Fatḥal-Bāri, Terj. Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), jilid 28, 777. Sibāl adalah jamak dari kata sabalah artinya jenggot yang memanjang. 49 Ibnu Hajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri, jilid 28, h. 788. 50 Ibnu Hajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri, jilid 28, h. 787. 51 Yusuf al-Qaradhawi, Halal Haram dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004) h. 127. 48
57
b. Perbuatan Nabi yang berkaitan dengan adat atau radisi bangsa Arab masih diperselisihkan, salah satunya adalah tentang perintah memelihara jenggot yang dianggap masih berkaitan dengan adat atau tradisi bangsa Arab. c. Memelihara jenggot tidak wajib dan juga tidak dilarang. Itu hanya merupakan adat orang Parsi atau orang-orang timur tengah dimana keturun-keturuan mereka memiliki kesuburan mudah ditumbuhi jenggot.52 Dibawah ini akan dipaparkan komentar beberapa ulama53 secara lebih rinci tentang hadis memelihara jenggot: 1. Al-Qadhi Iyadh (476 H-544 H) Menurut al-Qadhi Iyadh mencukur jenggot sampai habis, memotong serta membakarnya adalah makruh. Adapun memotong dengan tujuan untuk merapikannya adalah sesuatu hal yang dianggap baik. Al-Qadhi juga menambahkan, para ulama salaf telah berselisih pendapat mengenai batasan panjang suatu jenggot. Di antara mereka ada yang tidak membatasi sedikit pun dalam masalah ini, kecuali jika tujuannya untuk mendapatkan ketenaran. Jika demikian maka ia harus memotongnya. Imām Mālik memakruhkan jika panjang sekali. Di antara ulama ada yang membatasinya dengan seganggaman tangan. Jika telah melebihi genggaman tangan maka boleh dipotong. Di antara mereka ada yang memakruhkan untuk memotongnya, kecuali pada saat haji atau umrah.54 2. Ibnu Qayyim al-Jawziyah (1292 M-1350 M) Dalam kitab karangannya Zādul Ma„bad fi Hadyi Khairi al-„Ibādī, Ibn Qayyim memaparkan tentang bagian “petunjuk Nabi Saw dalam menggunting 52
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual, Kontekstual, h. 62-65. Nama-nama ulama yang penulis cantumkan dalam subbab „Pendapat Ulama Terhadap Hadis Memelihara Jenggot‟ bukan berdasarkan kriteria tertentu, akan tetapi berdasarkan data-data kepustakaan yang temukan oleh penulis. 54 Al-Nawawi, Syarah Ṣahīh Muslim, Terj. Agus Ma‟mun, (Jakarta: Dār al-Sunnah Press, 2015) jilid 2, h. 539. 53
58
kumis”. Dalam bagian tersebut al-Jauziyah memaparkan pendapat para sahabat Nabi dan ulama-ulama imam mazhab dalam mengamalkan hadis menggunting kumis. Dan mengambil kesimpulan bahwa mencukur kumis dan memelihara jenggot merupakan sesuatu keutamaan yang harus dilakukan oleh umat Islam, karena Rasulullah saw. dan para sahabat juga melakukan hal tersebut. Selain itu mencukur kumis dan memelihara jenggot juga merupakan bagian dari fitrah manusia yang harus dipelihara.55 3. A. Hassan (1887 M-1958 M) Salah satu ulama asal Indonesia yang juga pimpinan organisasi Islam PERSIS, A. Hasan memaparkan pendapatnya tentang jenggot dalam bukunya Soal-Jawab tentang berbagai masalah Agama. Ia mengatakan bahwa hadis tentang memelihara jenggot apabila dilihat dari asbāb al-wurūd hadis tersebut, maka hadis tersebut pada masa kini sudah tidak dapat digunakan. Karena pada pada masa Rasulullah saw. kaum Majusi dan kaum Musyirikin tidak memelihara jenggot tetapi memelihara kumis, yang ditekankan dalam hadis adalah perbedaan, di mana zaman Nabi saw. kaum Majusi dan Musyikin memakai pakaian yang sama dengan kaum Muslim. A. Hassan menjelaskan zaman sekarang jenggot sudah tidak berguna untuk dijadikan sebagai pembeda. Ia mencontohkan di bagian India orang-orang yang kafir berjenggot dan juga bersorban. Begitu juga dengan orang Islam yang hidup di negaranegara Eropa memakaian pakaian cara Eropa, seperti topi. Maka menurut A. Hassan jenggot sudah tidak bisa menjadi pembeda, banyak hal lain yang dapat dijadikan sebagai tanda ciri khas yang dengan mudah bisa dikenali sebagai orang Islam.56
55
Imām Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, Petunjuk Nabi SAW menjadi Hamba Teladan dalam berbagai Aspek Kehidupan, Terj. Achmad Sunarto, (Jakarta: Rabbani Press), 1998, h. 71-72. 56 A. Hassan, dkk, Soal-Jawab tenang berbagai Masalah Agama,( Bandung: Diponegoro, 1985), jilid 3, h. 1256.
59
4. Aḥmad al-Syarbasī Dalam kitabnya Yas „alūnaka Fī al-Dīn wa al-Hayāh (Tanya Jawab tentang Agama dan Kehidupan) al-Syarbasī memaparkan sebuah padangan tentang hadis memelihara jenggot : “Yang berlaku dikalangan imam yang empat adalah haramnya seseorang laki-laki mencukur jenggotnya kecuali karena suatu alasan, seperti berobat. Namun menurut sebagian ulama Maliki dan kalangan ulama muta‟akhirin Syafi‟i hukumnya adalah makruh tanzih. Dan makruh tanzih lebih dekat kepada yang halal, dimana orang yang melakukannya tidak disiksa, namun orang yang meninggalkannya karena Allah mendapat pahala.” Dari penjelasan diatas, al-Syarbasī berpendapat bahwa memelihara jenggot dan tidak mencukurnya merupakan sesuatu dianjurkan, seseorang akan mendapatkan pahala jika melakukannya dan tidak mendapatkan dosa dan tidak disiksa jika meninggalkannya.57 5. Syuhudi Ismail (1943- 2005 M) Dalam karyanya Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Syuhudi memahami hadis tentang jenggot dengan pemahaman kontekstual, artinya hadis tersebut sangat relevan bagi suatu kaum yang memiliki tingkat kesuburan untuk tumbuh jenggot secara alami lebih besar, seperti di negara-negara bagian timur tengah. Akan tetapi bagi bangsa Indonesia yang memiliki tingkat kesuburan tumbuh jenggot lebih rendah hal tersebut tidak dapat dipaksakan.
57
Aḥmad al-Syarbasī, Tanya Jawab Tentang Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 14-15.
60
Syuhudi Ismail memahami ini secara kontekstual bukan tekstual. Maka jika demikian hadis memelihara jenggot bersifat lokal, karena tidak semua petunjuk Nabi bersifat universal dan temporal.58 6. Ali Mustafa Ya‟qub ( 1952- 2016 M ) Dalam karyanya “Cara Benar Memahami Hadis” Ali Mustafa Ya‟qub memberikan pendapatnya tentang hadis memelihara jenggot untuk berbeda dengan kaum Musyrik. Menurut beliau pada masa Nabi Muhammad saw, kaum Musyrik tidak mencukur kumis dan tidak membiarkan jenggot mereka lebat. Maka Nabi saw. memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan hal yang berbeda dari mereka, yaitu dengan mencukur kumis dan membiarkan jenggot.59 Pada saat ini kondisi kaum Musyrik tidak seperti pada masa Nabi Muhammad saw. diantara mereka ada yang membiarkan jenggotnya tumbuh lebat. Oleh karena itu untuk berbeda dengan kaum Musyrik bukan hanya mencukur kumis dan membiarkan jenggot secara fisik, tetapi boleh juga dalam hal pakaian, nama dan lain sebagainya. „Illat hadis tersebut yaitu memberikan perbedaan mengalami perubahan bentuk sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda. Selain itu menurut Ali Mustafa Ya‟qub merupakan kategori adat dan budaya, bukan merupakan bagian dari agama dan ibadah.60 7. Yūsuf al-Qaradāwī (1926 M-Sekarang) Al-Qaradāwī juga menjelaskan dalam kitabnya Halal Haram tentang maksud hadis memelihara jenggot. Bahwa dalam hadis tersebut mengandung perintah Rasul kepada orang-orang Islam untuk berbeda dengan orang-orang selain Islam. Artinya 58
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 109. Ali Mustafa Ya‟qub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 58. 60 Ali Mustafa Ya‟qub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 216-217. 59
61
umat Islam haruslah memiliki keperibadian yang berbeda, tidak selalu mencontoh umat lain bahkan seharusnya menjadi contoh bagi umat lain. Walaupun memiliki tujuan agar umat Islam memiliki kepribadian yang berbeda dengan umat-umat lain, menurut al-Qaradāwī bukan berarti tidak boleh mencukurnya. Karena jenggot adalah bulu rambut yang bisa memanjang dan jika tidak dipotong akan terlihat jelek. Oleh karena itu al-Qaradāwī membolehkan mencukur jenggot dengan alasan kerapihan dan tidak dipotong habis. Akhirnya beliau mengakhirnya dengan pernyataan: Dengan ini, bahwa dalam mencukur jenggot ada tiga pendapat, pertama mengatakan haram mencukur jenggot seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah dan lainnya. Kedua mengatakan makruh seperti yang dikatakan al-Fatḥ dan „Iyād. Ketiga mengatakan bahwa hal itu mubah, seperti yang dikatakan ulama saat ini. Yūsuf al-Qaradāwī memutuskan bahwa mencukur rambut merupakan hal yang sunnah. Karena perintah ini tidak selalu menunjukkan perintah wajib, walaupun dalam hal ini Rasulullah memerintahkan untuk berbeda dengan umat lainnya.61
61
Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, h. 125-127.
BAB IV APLIKASI METODE DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN TERHADAP HADIS MEMELIHARA JENGGOT Pada bab IV ini penulis akan menjawab pertanyaan yang telah dipaparkan pada Bab I, mengenai bagaimana memahami hadis memelihara jenggot dalam konteks kekinian. Penulis menggunakan metode Double Movement Fazlur Rahman untuk menemukan pemahaman baru dalam memahami hadis memelihara jenggot. Maka pada bab IV ini penulis akan mengaplikasikan metode Double Movement terhadap hadis memelihara jenggot dengan melihat kotekstualisasi dari hadis-hadis memelihara jenggot. Sebelum mengaplikasikan hadis-hadis tentang memeihara jenggot untuk membedakan dengan non-Muslim, terlebih dahulu penulis akan memaparkan hadis-hadis yang akan penulis bahas dan akan penulis aplikasikan pemahaman hadis-hadis memelihara jenggot dengan menggunakan metode Double Movement. A. Hadis-Hadis Memelihara Jenggot 1. Berbeda Dengan Kaum Musyrik
ِ ٍ ِ صلَّى ُ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ِمْن َه ٍال َحدَّثَنَا يَِز ِّ ِيد بْ ُن ُزَريْ ٍع َحدَّثَنَا ُع َم ُر بْ ُن ُُمَ َّمد بْ ِن َزيْد َع ْن نَاف ٍع َع ْن ابْ ِن عُ َمَر َع ْن الن َ َِّب 1 ِ َ َاللَّه علَي ِه وسلَّم ق ِ ب َ ال َخال ُفوا الْ ُم ْش ِرك ْ ني َوفِّ ُروا اللِّ َحى َوأ َ َّوا ِر َ َح ُفوا الش َ ََ َْ ُ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:„Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian‟.”2
1
Abī „Abdullah Muḥammad bin Ismā‟il bin Ibrāhim al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāri, (Beirūt: Dār al-Kutub al-„Īlmiyyah, 2009), h. 245, hadis No. 5829. 2 Ibnu Hajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri, Terj. Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), jilid 28, h. 777.
62
63
ول اللَّ ِه ُ ال َر ُس َ َال ق َ َيد بْ ُن ُزَريْ ٍع َع ْن ُع َمَر بْ ِن ُُمَ َّم ٍد َحدَّثَنَا نَافِ ٌع َع ْن ابْ ِن عُ َمَر ق ُ َحدَّثَنَا َس ْه ُل بْ ُن عُثْ َما َن َحدَّثَنَا يَِز 3 ِ ِ ِ ب َوأ َْوفُوا اللِّ َحى َ صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َخال ُفوا الْ ُم ْش ِرك ْ ني أ َ َ َّوا ِر َ َح ُفوا الش Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sahal bin Utsman telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' dari Umar bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Nafi' dari Ibnu Umar dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot."4 Dalam pandangan agama, orang Musyrik adalah orang yang mempercayai akan adanya Tuhan, akan tetapi orang tersebut melakukan suatu aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan kedua kepada selain-Nya. Dengan demikian semua yang mempersekutukan Allah dari sudut pandang tersebut maka ia termasuk musyrik. Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas adalah orang Musyrik apabila dilihat dari sudut pandang di atas.5 Akan tetapi pakar-pakar al-Qur‟an memberikan pandangan hukum lain. Menurut pengamatan para pakar al-Qur‟an, kata Musyrik di dalam al-Qur‟an digunakan untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah, yakni mereka para penyembah berhala, yang ketika turunnya al-Qur‟an masih cukup banyak, khususnya yang bertempat tinggal di Mekkah. Sedangkan bagi orang Kristen dan Yahudi, al-Qur‟an tidak menamai mereka Musyrik, tetapi Ahl al-Kitāb.6 Walaupun bemikian, baik Ahl al-Kitāb maupun Musyrik keduanya sama-sama orang kafir.7
3
Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Ṣahīh Muslim,( Beirūt: Dār el-Kutub, 1999), h. 135. Hadis No. 601. 4 Al-Nawawi, Syarah Ṣahīh Muslim, Terj. Agus Ma‟mun, (Jakarta: Dār al-Sunnah Press, 2015), jilid 2, h. 523. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 1, h. 557. 6
Seperti dalam surah al-Baqarah (2): 105,
64
Musyrik atau menyembah banyak berhala dan dewa-dewa merupakan agama asli yang dianut oleh bangsa Arab. Bangsa Arab percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah memiliki berhala-berhala sendiri. Berhalaberhala tersebut dipusatkan di Ka‟bah, meskipun di tempat-tempat lain juga ada.8 Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa terbesar, terteletak di Ka‟bah, Lata dewa tertua, terletak di Thaif, Uzza bertempat di Hijaz, kedudukannya berada di bawah Hubal, dan Manat yang bertempat di Yastrib. Berhalaberhala itu mereka jadikan sebagai tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan nasib buruk.9 Keadaan kemusyrikan Bangsa Arab terjadi dari sebelum datangnya Islam, hingga datangnya Islam. kemusyrikan tersebut baru−terutama yang terjadi di Mekkah−dapat dihapuskan pada saat Nabi Muhammad saw. dan para kaum Muslim melakukan peristiwa besar yang dinamakan Fathu Mekkah (Penaklukan Kota Mekkah) pada tahun ke-8 Hijriah.10 2. Berbeda Dengan kaum Majusi
وب َّ َخبَ َرِِن الْ َع َل ُءُ بْ ُن َعْب ِد ْ َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر أ ْ َخبَ َرنَا ابْ ُن أَِِب َم ْرَََي أ ْ َح َّدثَِِن أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن إِ ْس َح َق أ َ الر َْمَ ِن بْ ِن يَ ْع ُو َّ ِ َّ َّ َ ول اللَّ ِه ب َوأ َْر ُخوا اللِّ َحى َخالُِفوا ْ َم ْوََل ُ ال َر ُس َ َال ق َ َاْلَُرقَِة َع ْن أَبِ ِيه َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة ق َ َّوا ِر َ صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم ُجُّزوا الش 11 وس َ الْ َم ُج Artinya: “orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar”. 7
Seperti dalam Surah al-Bayyinah (98): 1,
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. 8
Shafiyyurrahmān al-Mubārakfury, Sirah Nabawiyah, Terj. Karthur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2002), h. 50. 9 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 123-125. 10 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.15 11 Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Ṣahīh Muslim, h. 135. Hadis No 602.
65
“telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah mengabarkan kepadaku al-Ala' bin Abdurrahman bin Ya'qub mantan budak al-Huraqah, dari bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukurlah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi”.12
ِ اْلز َّ الر َْمَ ِن َع ْن أَبِ ِيه َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة أ َ َاع ُّي ق َّ ال َحدَّثَنَا ُسلَْي َما ُن بْ ُن بَِل ٍل َع ِن الْ َع َل ِ ُء بْ ِن َعْب ِد َّ َِن الن ُصلَّى اللَّه َُْ َحدَّثَنَا َ َِّب 13 ِ ِّ وس َ ََعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َ َّوا ِر َ ال ُجُّزوا الش َ ب َو ْاع ُفوا الل َحى َو َخال ُفوا الْ َم ُج Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al Khuza'i telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Hilal dari Al 'Ala` bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukurlah kumis, panjangkan jenggot dan selisihilah kaum Majusi14". Agama Majusi merupakan suatu ajaran filosofi yang dibawa oleh seorang Persia kuno yang bernama Zarathustra yang hidup sekitar tahun 1600-600 SM. Agama Majusi disebut juga dengan Agama Zoroaster, di dunia Barat dikenal dengan nama Zoroastrianism. Kitab sucinya bernama Zabdawesta yang ditulis menggunakan bahasa Persia kuno. Agar mudah dipahami dan dimengerti oleh para pengikutnya bahasa tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Persia pertengahan. Menurut pengakuan pengikutnya, kitab suci mereka telah dibakar oleh Raja Iskandar Agung di Persepolis, akan tetapi tidak semuanya musnah terbakar. Baru pada tahun 256 SM, diumumkan kepada para pendeta-pendetanya untuk melakukan penghafalan.15 Penganut kepercayaan agama Majusi bersekte-sekte, namun pada prinsipnya mereka mengakui adanya dua penguasa dan penganut alam raya, penganut kebaikan dan kejahatan. Yakni Tuhan cahaya yang bernama Yazdān atau Ahuramazda, dan Tuhan gelap yaitu
12
Al-Nawawi, Syarah Ṣahīh Muslim, h. 523. Abū „Abdullāh Aḥmad bin Muḥammad al-Zuhli al-Syaibani, Musnad Aḥmad bin Hanbal, (Beirut: Dār al-Kitab al-Ilmiyah, 2001), jilid 8, h. 327, hadis no. 8430. 14 Imam Aḥmad bin Muḥammad bin Hanbal, Musnad Imām Aḥmad, Terj. Aziz Noor, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid 8, h. 162. 15 Nurlidiawati, “Sejarah Agama-Agama (Studi Historis Tentang Agama Kuno Masa Lampau),” Jurnal Rihlah Vol III, No. 1 (Oktober 2015): h. 95-96. 13
66
Ahrumun. Mereka meyakini adanya malaikat-malaikat dan berusaha mendekatkan diri kepadanya, tetapi mereka tidak menyembah berhala, mereka menyembah api.16 Penganut agama ini, pada masa lalu banyak bermukim di Iran, India, dan Cina. Di kalangan orang-orang Arab agama ini banyak dianut oleh orang-orang Persi. Agama ini juga pernah berkembang di kalangan orang-orang Arab Iraq dan Bahrain, serta wilayah-wilayah di pesisir teluk Arab17. Pada masa Rasulullah saw. agama Majusi masih ada. Terbukti dengan masuk Islamnya Salman al-Farisi yang sebelumnya beragama Majusi. Nabi juga pernah mengirim surat kepada Kisra, Raja Persia yang tujuannya untuk menyeru kepada Islam18. 3. Berbeda Dengan Kaum Yahudi Dan Nasrani
ِ َ َن رس ِِ َ َحدَّثَنَا ََْي ََي بْ ُن إِ ْس َح ُصلَّى اللَّه َ ول اللَّه ُ َ َّ اق َحدَّثَنَا أَبُو َع َوانَةَ َع ْن ُع َمَر بْ ِن أَِِب َسلَ َم َة َع ْن أَبيه َع ْن أَِِب ُهَريْ َرَة أ 19 ِ ِ ِّ َّص َارى َ ََعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َ ب َو َغيِّ ُروا َشْيبَ ُك ْم َوََل تَ َشبَّ ُهوا بالْيَ ُهود َوالن َ َّوا ِر َ ال أ َْع ُفوا الل َحى َو ُخ ُذوا الش Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Umar bin Abu Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah berkata; bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Panjangkanlah jenggut, cukurlah kumis, dan warnailah uban kalian serta janganlah kalian serupai orang Yahudi dan Nasrani20". Yahudi dalam bahasa Arab disebut yahūd, berasal dari bahasa Ibrani yahūdza. Penamaan tersebut baru dikenal setelah kematian Nabi Sulaiman sekitar 975 SM. Ada juga
16
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 8, h. 175. al-Mubārakfury, Sirah Nabawiyah,h. 57. 18 Pada akhir tahun 6 H, Nabi Muhammad saw. pernah menulis surat yang ditunjukkan kepada beberapa raja untuk menyeru mereka kepada Islam, salah satunya adalah Kisra, Raja Persia. Kurir yang menyampaikan surati ni Abdullāh bin Huzafah Al-Sahmi. Setelah membaca surat tersebut Kisra langsung marah dan merobek surat tersebut. Dengan sombong ia berkata, “Seorang budak yang hina dina dari rakyatku pernah menulis namanya sebelum aku berkuasa”. Setelah mendengar apa yang di lakukan raja Kisra, maka Nabi saw. bersabda, “Allah akan merobek kerajaannya”. Maka Kisra benar-benar mengalami apa yang disabdakan oleh Nabi saw. Ia mati di tangan putranya sendiri, setelah sebelumnya terjadi pemberontakan yang dimotori oleh Putranya juga. Lihat al-Mubārakfury, Sirah Nabawiyah,h. 462-463. 19 Abū „Abdullāh Aḥmad bin Muḥammad al-Zuhli al-Syaibani, Musnad Aḥmad bin Hanbal, h. 297, hadis no. 8318. 20 Imām Aḥmad bin Muḥammad bin Hanbal, Musnad Imām Aḥmad, jilid 7, h. 162. 17
67
yang memahami kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang berarti kembali yakni taubat. Mereka dinamakan demikian karena mereka taubat dari penyembahan anak sapi. Menurut Ibnu „Asyūr kerajaan Banī Isrāil terbagi dua setelah kematian Nabi Sulaiman. Yang pertama adalah kerajaan putra Sulaiman yang bernama Rahbi‟ām dengan ibu kotanya Yerusalem. Kerajaan ini tidak diikuti kecuali cucu Yahūdza dan cucu Benyamin. Kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbi‟ām putra Banāth, salah seorang anak buah Nabi Sulaiman yang gagah berani dan diserahkan oleh Nabi Sulaiman kekuasaan yang berpusat di Samirah. Ia bergelar dengan sebutan Raja Isrā‟īl, akan tetapi masyarakatnya berkelakuan buruk dan mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan akhirnya kekuasaan mereka hancur bahkan mereka diperbudak lalu kerajaan itu punah setelah 250 tahun. Sejak itu tidak ada lagi kekuasaan dan kerajaan Banī Isrāīl kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada 120 M oleh Adrian salah seorang penguasa Imperium Romawi, dan yang mengusir mereka sehingga terpencar kemana-mana.21 Pada masa Rasulullah saw. Jazirah Arab sudah banyak dipenuhi oleh orang Yahudi, terutama di Madinah tempat Nabi saw. hijrah. Disana suku Yahudi Madinah bermacammacam ada Bani Quraizah, Bani Nadhir dan Bani Qainuqa. Selain banyak bermukin di Madinah, mereka juga banyak bermukim di Khaibar, ada juga yang bermukin di Taima‟, Fadak, dan Wadi al-Qura.22 Sedangkan Nasrani terambil dari kata nāsirah yaitu satu wilayah di Palestina, dimana Maryam, Ibu Nabi Isa as, dibesarkan. Dan ketika mengandung Isa hingga melahirkan, Maryam tinggal di Betlehem. Isa as. digelari oleh Banī Isrā‟īl dengan Yasū‟, dari sini pengikut-pengikut beliau dinamakan nashārā yang merupakan bentuk jamak dari kata nashry
21
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 1, h.257-258. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. Dalam Sorotan Al-Qur‟an dan Hadits-Hadits Shahih, (Jakarta: Lentera Hati, 2014), h. 33. 22
68
atau nāshiry, menunjuk kota tempat Maryam as, dibesarkan.23 Orang-orang yang beragama Nasrani meyakini jika Nabi Isa merupakan anak Tuhan, dan akan membawa umat manusia menuju jalan keselamatan. Agama Nasrani di Jazirah Arab paling banyak terdapat di Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Nasrani memiliki kedekatan hubungan dengan Habasyah (Ethiopia), negara yang melindungi agama ini.24 Kaum Muslimin pernah diperintahkan untuk hijrah ke Habasyah pada masa awal kerasulan, di sambut dan diperlakukan dengan baik oleh penguasa Nasrani Habasyah, kendati utusan kaum Musyrik Mekkah meminta agar mereka dipulangkan ke Mekkah.25 Ketika terjadi peperangan antara Persia yang menyembah api dan Romawi (Byzantium) yang mengaku beragama Nasrani, sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. bersimpati kepada Byzantium.26 Walaupun Byzantium Romawi awalnya kalah pada tahun 615, tetapi mereka berhasil mengalahkan Persia pada tahun 622.27 B. Aplikasi Metode Double Movement Dalam Hadis Memelihara Jenggot Pada subbab ini penulis akan mengaplikasikan pemahaman dari hadis-hadis tentang memelihara jenggot yang telah penulis paparkan pada subbab sebelumnya dengan menggunakan metode double movement Fazlur Rahman. Gerakan pertama dalam metode double movement terdapat dua langkah yang harus di tempuh. Langkah pertama adalah memahami arti atau makna suatu pernyataan nash dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan nash tersebut merupakan 23
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 1, h. 258. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 15. 25 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, h. 207, atau lihat Salabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), h. 90-91. 26 Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw, h. 41-42. 27 Peristiwa tersebut terekam dalam surah Ar-Rūm (30) : 1-6. (Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. H. 41-42). 24
69
jawabannya dengan mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adatistiadat, lembaga, bahkan keseluruhan kehidupan masyarakat di jazirah Arab, untuk mengetahui situasi lahirnya nash tersebut dan dalam sebab apa nash tersebut dikeluarkan.28 Problem historis hadis memelihara jenggot pada di lihat pada asbab al-wurud hadis tersebut. Sebagaimana riwayat dari „Ubaidillāh bin Abdullāh, ia berkata: Seorang Majusi telah memanjangkan kumisnya dan mencukur jenggotnya datang kepada Rasulullah saw. lalu beliau bertanya kepadanya: “Siapa yang memerintahkanmu seperti itu?” Ia menjawab: “Tuhanku”. Beliau bersabda: “Tetapi Tuhanku memerintahkanku untuk memanjangkan jenggotku dan mencukur kumisku.” Tradisi memelihara dan memanjangkan jenggot di kalangan bangsa Arab sudah lama ada sejak sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw. dan sebelum adanya agama Islam. Pada tahun 1900 SM, Petrie menemukan kuburan para raja dinasti pertama di Abydos, sebuah potongan gading binatang yang memuat gambar wajah tipe Semit Armenoid, atau yang disebut dengan tipe “Asiatik”. Tipe wajah tersebut digambarkan berjenggot panjang meruncing, dan kumis yang dicukur pada bagian atasnya. Gambar tersebut dapat dikatakan sebagai gambaran orang-orang arab yang paling awal.29 Jauh sebelum tahun 1900 SM, orang-orang Mesir kuno seperti raja-raja Fir‟aun dan para Nabi pada zaman kerjaan Fir‟aun yakni Nabi Harun juga memelihara jenggot mereka. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab tiga sebelumnya. Tradisi tersebut terus berlanjut hingga masa sebelum datangnya Islam, sampai masa adanya Islam. Nabi Muhammad saw, para sahabat Nabi saw, serta orang-orang di luar Islam juga memelihara jenggot mereka.
28 29
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, h. 7. K.Hatti, History Of The Arabs, h. 41.
70
Bagi umat Yahudi memanjangkan jenggot dan kumis hingga panjang dan lebat merupakan bagian dari agama. Dengan membiarkan jenggot dan kumis mereka panjang, membuat kaum Yahudi mengingat Tuhan dan melaksanakan ajarannya.30 Begitu juga dengan umat Majusi, mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot atas perintah Tuhan mereka.31 Bagi umat Musyrik, terutama Kafir Quraisy Mekkah mereka juga memanjangkan kumis dan jenggot mereka secara lebat, karena faktor tumbuhnya yang cepat. Selain itu memang memelihara jenggot dan kumis merupakan suatu tradisi dan kebiasaan orang Arab. Agama Nasrani, meskipun penulis belum di temukan tradisi khusus dalam ajaran agama mereka tentang memelihara jenggot, akan tetapi jika melihat Yesus Kristus dalam penggambarannya juga memelihara jenggot dan kumis.
Gambar 2: Fisik wajah Yesus Kristus dalam agama Nasrani32 Umat Islam dengan umat lain pada saat itu hampir dikatakan tidak ada perbedaan yang mencolok. Baik dari segi pakaian hampir dikatakan tidak ada perbedaan, begitu juga dalam tampilan fisik antara Muslim dan non-Muslim. Karena tidak adanya tampilan
30
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti: 1993), h. 37. „Abdurrahmān ibn Abū Bakr dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Asbāb al-Wurūd al-Hadīs, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah: 2014), h. 352. 32 http://gambaryesus.blogspot.co.id/search/label/Gambar-Yesus 31
71
perbedaan yang mencolok maka hampir sulit untuk membedakan antara umat Islam dengan umat lain.33 Langkah kedua pada gerakan pertama adalah menggeneralisasikan tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral sosial umum, atau dengan kata lain adalah “berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada moral sosial yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya.34 Seperti telah dipaparkan pada langkah pertama problem historis nash tersebut adalah orang Majusi yang bertemu dengan Nabi Muhammad saw, berpenampilan memelihara kumis dan memotong jenggot. Memelihara kumis dan jenggot merupakan suatu tradisi yang dimiliki oleh bangsa Arab bukan hanya pada masa Nabi Muhammad saw, tetapi jauh sebelum adanya Islam tradisi tersebut telah ada. Tradisi memelihara jenggot bukan hanya di lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga oleh orang-orang di luar Islam. Bahkan beberapa umat beragama beranggapan bahwa memelihara jenggot dan kumis merupakan bagian dari perintah agama. Hampir dikatakan tidak ada perbedaan yang mencolok antara umat Islam dan non-Islam dalam tampilan fisik. Oleh karena itu untuk memberikan perbedaan dalam hal tampilan fisik agar umat Islam lebih dikenali, maka Nabi Muhammad memerintahkan kepada umatnya untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis sebagai sarana untuk membedakan dengan umat lain.35 Terdapat tiga riwayat yang berkenaan dengan asbab al-wurūd hadis tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ṣuyūṭī.36 Pertama, Ibnu al-Najjār mentakhrij sebuah riwayat Tārikhnya dari Ibnu „Abbās, ia berkata: Datang kepada Rasulullah saw. utusan dari daerah non-Arab (al-„ajam) yang mencukur jenggot dan memberikan panjang kumis mereka. 33
M. Fatih, “Hadis Dalam Perspektif Ahmad Hassan”, Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol.3, No.2, (Juli-Desember 2013), h. 399. 34 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, h. 7. 35 Ali Mustafa Ya‟qub, Cara Benar Memahami Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), h. 54. 36 Al-Suyūṭī, Asbāb al-Wurūd, h. 235.
72
Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Berbedalah dengan mereka, cukurlah kumis dan panjangkan jenggot.” Kedua, Ibnu Sa‟d mentakhrīj sebuah riwayat dari „Ubaidillāh bin Abdullāh, ia berkata: Seorang Majusi telah memanjangkan kumisnya dan mencukur jenggotnya datang kepada Rasulullah saw. lalu beliau bertanya kepadanya: “Siapa yang memerintahkanmu seperti itu?” Ia menjawab: “Tuhanku”. Beliau bersabda: “Tetapi Tuhanku memerintahkanku untuk memanjangkan jenggotku dan mencukur kumisku.” Ketiga, Abū al-Qasim bin Bisyr dalam Amālī-nya mentakhrīj sebuah riwayat dari Abū Hurairāh ra. Ia berkata: “Datang kepada Rasulullah saw. seorang Majusi yang telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya, lalu Rasulullah saw bersabda: “Celaka engkau, siapa yang memerintahkanmu seperti itu?” Ia menjawab: Yang memerintahkanku adalah Tuan Kisra. Beliau bersabda: “Tetapi Tuhanku „Azza wa Jalla memerintahkanku agar memanjangkan jenggotku dan mencukur kumisku.” Berdasarkan ketiga riwayat hadis di atas, diketahui bahwa tujuan Nabi Muhammad saw. adalah agar para pengikut beliau memiliki tampilan yang berbeda dengan tamu beliau yang Majusi dan merupakan utusan dari Kisra tersebut. Selain itu juga tampak secara psikologis Nabi Muhammad saw. berada dalam keadaan memberikan merespon terhadap sikap tamu beliau itu yang membanggakan penampilannya di hadapan beliau.37 Umat Islam diperintahkan untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis, berbeda dengan kaum Musyrik, Yahudi, dan Nasrani yang memanjangkan kumis dan jenggot mereka hingga lebat dan panjang terurai. Berbeda juga dengan kaum Majusi yang memanjangkan kumis tetapi mencukur habis jenggot mereka. Dengan begitu umat Islam pada masa Nabi
37
Ahmad Musyafiq, “Koteks Hadis Antara Absāb al-Wurūd dan Sīrah Nabawiyah,” al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an dan al-Hadis, Vol.8, No. 2 (Juli-Desember 2014), h. 277.
73
Muhammad saw memiliki identitas khusus dalam tampilan fisik, yakni memelihara jenggot tetapi memiliki kumis yang tipis.
Gambar 3: Gambaran jenggot pada masa Nabi saw. Dalam hadis lain dikatakan memelihara jenggot dan mencukur kumis merupakan bagian dari fitrah sebagaimana dikatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim :
ِ ُ ال رس ِ ِ ص الشَّا ِر الس َو ُاك ُّ َصلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْشٌر ِم ْن الْ ِفطَْرِة ق ِّ ب َوإِ ْع َفا ُءُ اللِّ ْحيَ ِة َو ْ ََع ْن َعائ َشةَ قَال َ ول اللَّه ُ َ َ َت ق ِ ِ ِ ِ ِْ ص ْاْلَظْ َفا ِر و َغسل الْب ر ِاج ِم ونَْتف ب َ َال َزَك ِريَّا ُءُ ق َ َاص الْ َم ِا ُء ق ُّ َاق الْ َم ِا ُء َوق ُ استِْن َش ُ َ ََ ُ ْ َ ْ ال ُم ْ َو ٌ ص َع ُ اْلبط َو َح ْل ُق الْ َعانَة َوانْت َو ِ ِال وك ِ ونَ ِسيت الْع ٍ ْاص الْم ِا ُء يَ ْع ِِن ِاَل ْستِْن َجا ُء و َحدَّثَنَا أَبُو ُكري ب ْ اشَرَة إََِّل أَ ْن تَ ُكو َن الْ َم َ ض َم ٌ َ َ َض َة َز َاد قُتَ ْيبَةُ ق َ ُ َ َ ُ يع انْت َو َ َ 38 ِ ِ ِ ِ ِ ص َع ِْ ب بْ ِن َشْيبَةَ ِِف َه َذا يت الْ َعاشَرَة َ َال ق َ َاْل ْسنَ ِاد ِمثْ لَهُ َغْي َر أَنَّهُ ق ْأ ُ ال أَبُوُ َونَس ْ َخبَ َرنَا ابْ ُن أَِِب َزائ َد َة َع ْن أَبِيه َع ْن ُم Artinya: Dari Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada sepuluh perkara dari fitrah; mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), memotong kuku, bersuci dengan air, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan beristinja' dengan air." Zakariya berkata, Mush'ab berkata, "Dan aku lupa yang kesepuluh, kecuali ia adalah berkumur-kumur." Qutaibah menambahkan, " Waki' berkata, 'Bersuci dengan air maksudnya beristinja'." Dan telah menceritakannya kepada kami Abu Kuraib telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abu Zaidah dari bapaknya dari Mush'ab bin Syaibah dengan sanad ini, seperti hadits tersebut, hanya saja dia menyebutkan, "Bapaknya berkata, 'Dan saya lupa yang kesepuluh.'39 Allah menciptakan hamba-hamba-Nya di atas fitrah, yaitu mencintai kebenaran dan mengutamakannya, serta membenci kejelekan dan menolaknya. Allah juga menciptakan
38 39
Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Ṣahīh Muslim, h. 137 Al-Nawawi, Syarah Ṣahīh Muslim, h. 524.
74
hamba-Nya lurus dan siap menerima kebenaran, ikhlas kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada-Nya.40 Ibnu Mazhūr mengatakan bahwa fitrah adalah al-Ibtida‟ wa al-ikhtira‟ memulai dan mencipta berarti fitrah adalah penciptaan awal dan asal kejadian.41 Hadis perintah Nabi saw memelihara jenggot dan memotong kumis sebagai pembeda bagi kaum non-Muslim sering kali dikaitkan dengan hadis mengenai untuk tidak melakukan tasyabuh42. Hadis-hadis larangan untuk melakukan tasyabuh apabila melihat asbāb al-wurūd dari hadits tersebut, Nabi mengeluarkan hadits tersebut pada saat terjadi perang Uhud. Waktu itu ada perundingan tentang strategi yang akan digunakan untuk melawan musuh kaum Muslimin di gunung Uhud tersebut. Dari perundingan tersebut, ada salah satu shahabat Nabi yang merupakan ahli panah bertanya “Bagaimana aku bisa membedakan mana yang termasuk kaum Muslimin dan mana yang termasuk kaum Musyrikin, sementara mereka semua terlihat sama.” Dari pertanyaan tersebut ada salah satu sahabat yang mengajukan usul bahwa kaum Muslimin harus memberi tanda pada pakaian dan fisik mereka, sehingga tanda tersebut bisa membedakan mereka dengan lawan. Dari usulan shahabat tersebut Nabi saw. menyetujui dan bersabda ”Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut”. Melihat asbāb al-Wurūd dari hadits di atas maka bisa disimpulkan bahwa hadits tersebut dikeluarkan Nabi saw. sewaktu dia menjadi panglima perang. Hadits tersebut
40
Al-Nawawi, Syarah Ṣahīh Muslim, h. 531. Ibnu Manzhūr, Lisān al-„Arāb, (Beirut: Dār al-Shādir, 1997), jilid 12, h. 523. 42 Salah satu hadis larangan tasyabuh: 41
ٍ ِالر َْم ِن بن ثَاب ٍ ِت َحدَّثَنَا َح َّسا ُن بْن َع ِطيَّةَ َع ْن أَِِب ُمن ال َ َيب ا ْْلَُرِش ِّي َع ْن ابْ ِن عُ َمَر ق ْ حدَّثَنَا عُثْ َما ُن بْ ُن أَِِب َشْيبَةَ َحدَّثَنَا أَبُو الن ُ ُ ْ َ َّ َّض ِر َحدَّثَنَا َعْب ُد ِ ُ ال رس صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن تَ َشبَّهَ بِ َو ْوٍم فَ ُه َو ِمْن ُه ْم َ ول اللَّه ُ َ َ َق
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." (Lihat Sulaiman bin al-Asy„ats al-Sijistani, Sunan Abū Dāwud, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1992), hal. 315.
75
ditujukan kepada para shahabat yang ikut perang melawan musuh kaum Muslimin waktu itu di gunung Uhud, agar kaum Muslimin khususnya dari golongan pemanah tidak salah sasaran ketika melepas anak panahnya.43 Redaksi hadis yang menunjukkan perintah untuk memelihara jenggot menggunakan kata َوا ْعوا, أَر ُخو, أَوفُو, َوفِرُوا. Menurut Al-Qadhi Iyadh semua kata tersebut memiliki makna yang sama biarkanlah jenggot tumbuh apa adanya.44 Menurut Ibnu Hājar al-Asqalānī maksudnya adalah meninggalkan sebagaimana adanya.45 Sedangkan menurut Imam Muslim maknanya adalah biarkan jenggot tumbuh lebat dan jangan memotongnya.46 Menurut Badr al-Dīn al-„Ain dalam kitab „Umdah al-Qāri maknanya adalah membiarkan dan memanjangkannya.47 Sedangkan menurut penulis maksud dari kata tersebut adalah memelihara jenggot dengan tetap menjaga kerapihannya. Dalam Lisān al-Arāb kata أوفواbermakna memenuhi, menyimpan, memelihara, menjaga,
dan
menyempurnakan.48
Kata
أرخوا
berarti
melonggarkan
melepaskan,
mengendurkan.49 Kata أعفواberarti memelihara, menjaga, melepaskan, dan membebaskan.50 Sedangkan kata
وفرّواbermakna melepaskan, dan melarikan diri.51 Maka keempat kata
tersebut tidak memiliki perbedaan yang cukup jauh. Masing-masing kata memiliki kesamaan makna, yakni membiarkan dan melepaskan. Artinya jenggot dibiarkan dan dilepaskan begitu saja tumbuh, yakni dengan cara memelihara dan memanjangkannya.
43
Sa‟id Agil al-Munawar, dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis Nabi,Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) h. 31. 44 Al-Nawawi, Syarah Ṣahih Muslim, h. 538. 45 al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri, , jilid 28, h. 786. 46 Al-Nawawi, Syarah Sahīh Muslim, h. 538. 47 Badr al-Dīn Abī Muḥammad Ibn Aḥmad al-„Ain, „Umdah al-Qāri, (Beirūt: Dār al-Kitab al-Ilmiyyah, 2006), h. 23. 48 Ibnu Manzhūr, Lisān al-Arāb,Jilid 15, h. 398. 49 Ibnu Manzhūr, Lisān al-Arāb,jilid 14, h. 314. 50 Ibnu Manzhūr, Lisān al-Arāb, jilid 15, h. 72. 51 Ibnu Manzhūr, Lisān al-Arāb, jilid 12, h. 451.
76
Maksud dari memelihara jenggot adalah tidak mencukurnya hingga habis, tetapi tidak pula membiarkannya panjang terurai dengan bebas tanpa di potong sama sekali, karena hal tersebut akan menunjukkan ketidakrapihan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa para sahabat mencukur jenggot mereka pada saat melakukan ibadah haji dan umrah sampai segenggaman tangan, seperti yang di lakukan oleh Ibn Umar52 dan Jabir bin „Abdullāh.53 „Umar bin Khattab yang melakukan hal demikian terhadap seorang anak laki-laki. Nabi Muhammad saw. pun dalam sebuah hadis54 dikatakan memotong sebagian jenggotnya yang telihat panjang.55 Menurut penulis salah satu cara merapikan jenggot adalah memotongnya sebagian. C. Makna Identitas Jenggot Dalam Konteks Kekinian Subbab sebelumnya memaparkan pengaplikasian gerakan pertama metode double movement terhadap hadis memelihara jenggot, maka pada subbab ini penulis akan mengaplikasikan gerakan kedua metode double movement yang merupakan bagian dari konteks kekinian. Gerakan kedua pada metode double movement yang harus dilakukan adalah mengkontekstualisasikan pandangan-pandangan umum (yaitu yang telah disistematisasikan
52
ِ ِ ِ َ َض َغلَى ْلْيَيه فَ َما ف َ ض َل أ َ ََوَكا َن إِبْن ُع َمر إِذا َح َّج أ َْو ا ْعتَ َمَر قَب ُ َخ َذ
“Biasanya Ibn „Umar apabila haji atau umrah maka beliau menggenggam jenggotnya, apa-apa yang lebih darinya maka ia mengambilnya." (Lihat al-Asqālāni, Fatḥ al-Bāri, h. 781). 53 Dari Abū Dāwud, dari Jabir melalui sanad yang hasan, dia berkata,
ٍال إَِلَّ ِِف َح ِّج أ َْو عُمرة َ َالسب ِّ ُكنَّا نُ ْع ِفى َ
(Kami biasa membiarkan „sibāl‟ jenggot yang memanjang kecuali haji atau umrah) Lihat al-Asqalānī, Fatḥ al-Bāri, h. 781.
54 ِ ِ ٍ ُس َامةَ بْ ِن َزيْ ٍد َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َكا َن يَأْ ُخ ُذ ِم ْن ِْلْيَتِ ِه ِم ْن ٌ َحدَّثَنَا َهن َّ ِب َع ْن أَبِيه َع ْن َج ِّد أ ََّن الن َ َِّب َ َّاد َحدَّثَنَا عُ َمُر بْ ُن َه ُارو َن َع ْن أ ِ ِ َ َوِلا ق ِ يب ٌ يسى َه َذا َح ِد َ َُع ْرض َها َوط ٌ يث َغ ِر َ ال أَبُو ع
Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Umar bin Harun dari Usamah bin Zaid dari 'Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengambil (memotong) jenggotnya dari bagian samping dan bagian yang panjang." Abu Isa berkata; Hadits ini gharib. (HR. Tirmīzī) 55 al-„Ain, „Umdah al-Qāri, h. 45.
77
melalui gerakan pertama) menjadi pandangan-pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang konkret sekarang ini.56 Pada subbab sebelumnya telah di jelaskan aplikasi langkah pertama double movement terhadap hadis memelihara jenggot, bahwa proses pemeliharaan jenggot bagi masyarakat Jazirah Arab merupakan suatu tradisi yang telah lama ada, bahkan sebelum Islam datang. Tradisi tersebut terus berlanjut di masa Nabi Muhammad saw. ketika Islam telah hadir di tengah-tengah bangsa Arab. Pada saat itu di Jazirah Arab bukan hanya agama Islam yang ada, akan tetapi telah ada kepercayaan-kepercayaan lain selain Islam, yang mana laki-laki dari kepercayaan selain Islam juga memelihara jenggot. Maka Nabi Muhammad saw. memberikan perbedaan dan identitas khusus secara fisik agar mudah terlihat dengan memerintahkan kepada umatnya untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis. Selain itu identitas fisik tersebut untuk memudahkan kaum Muslim ketika terjadi perang antara Muslim dan Non-Muslim, sehingga para pasukan pemanah, maupun yang ikut berperang dapat mengenali siapa musuh dan siapa kawan mereka melalui ciri fisik. Maka prinsip umum sosial moral dari hadis tentang memelihara jenggot adalah agar kaum Muslim memiliki identitas khusus sebagai sarana untuk membedakan diri dari orang-orang di luar Islam, sarana pembedanya pada masa Nabi Muhammad saw. adalah dengan cara memanjangkan jenggot dan memendekkan kumis. Pada saat ini Islam bukan hanya milik masyarakat Arab, Islam tidak hanya ada di Jazirah Arab, Islam telah berkembang dimana-mana, dari dataran Asia, Eropa, Amerika, hingga Afrika. Maka umat Islam dapat melihat bukan hanya Islam yang sampai saat ini memiliki ciri khas memanjangkan jenggot. Dalam Agama Yahudi jika diperhatikan rabbi
56
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual, h. 8.
78
mereka memanjangkan jenggot, jambang, kumis, bahkan rambut di bagian samping wajah mereka. Menurut kabbalah Yahudi, jenggot dan jambang tidak boleh dicukur dan harus dibiarkan tumbuh dengan bebas. Ini sebagai identitas kaum Yahudi, karena jenggot dianggap mewakili jembatan antara pikiran dan hati, pikiran dan perbuatan, teori dan praktek, niat baik dan tindakan.57
Gambar 4: Rabbi Yahudi yang memanjangkan jenggotnya58 Di India terdapat Agama Sikh, merupakan agama terbesar ke-15 di dunia yang dianut oleh orang-orang India. Bila melihat secara penampilan fisik, mereka juga memiliki jenggot, kumis, dan rambut yang panjang. Salah satu ajaran Agama Sikh adalah Amrit. Semua pria Sikh yang telah memakai Amrit harus memiliki „Lima K‟ setiap saat sebagai perintah sepuluh guru besar Sikh dalam ajaran mereka. Salah satu dari Lima K adalah Kesh: rambut yang tidak dicukur, termasuk jenggot, jambang, dan kumis. Pada Kesh pria Sikh tidak boleh memotong semua rambut di kepala dan wajah mereka, serta harus menggunakan turban atau menutup kepala sebagai tanda kesempurnaan ciptaan Tuhan.59
57
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 37. https://www.eramuslim.com/berita/dunia-islam/mengenal-yahudi-anti-zionisme-israel.htm 59 Siti Nadroh, Agama-Agama Minor, (Jakarta: Premedia Group, 2015), h. 201. 58
79
Gambar 5: Penganut Agama Sikh di India60 Di Asia Timur, terdapat ajaran Taoisme dan Konfusianisme atau Konghucu yang berasal dari dataran China, kemudian menyebar ke Korea, Jepang, dan Asia Tenggara. Sang Laotzu atau Laozi dikenal sebagai pendiri agama-filsafat China Taoisme memiliki jenggot yang sangat panjang dan berwarna putih. Begitu pula dengan para pendeta Tao yang memanjangkan jenggot mereka. Penjelasan mengenai jenggot ada dalam ajaran Tao yang disampaikan oleh Laozi sendiri, tentang ajaran dan pandangan penganut Taoisme mengenai cara memandang tubuh manusia. Tao memandang tubuh manusia dengan tiga istilah, ti yang berarti tubuh menandakan tubuh secara fisik, xing artinya bentuk merujuk kepada tubuh sebagai tempat roh, dan shen yang berarti pribadi, yang menandakan keseluruhan manusia termasuk aspek-aspek nonmateril, seperti pikiran, perasaan, sifat, dan peran sosial. Jenggot sendiri merupakan bagian dari ti yang tumbuh secara alami.61
60
https://wrlov.blogspot.co.id/2012/10/10-agama-terbesar-di-dunia.html Raymond Dawson, Kong Hu Cu Penata Budaya Kerjaan Langit, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 114. 61
80
Gambar 6: Tampilan fisik Laozi dengan jenggot yang panjang terurai62
Gambar 7: Pendeta Tao yang sedang melakukan meditasi Jadi jenggot bukan hanya milik Agama Islam. Bahwa dalam banyak kepercayaan agama di dunia ini beranggapan jenggot merupakan bentuk alamiah seorang laki-laki, bentuk kesempurnaan ciptaan Tuhan, dan juga dianggap sebagai bagian dari ketaatan terhadap ajaran agama. Selain itu zaman modern ini jenggot lebih dianggap sebagai bagian dari trend mode fashion. Di mulai dari para orang terkenal yang menggunakan jenggot seperti musisi, penyanyi, pemain film, hingga atlet yang kemudian ditiru oleh masyarakat, terutama yang mengidolakan para orang terkenal tersebut. 62
https://www.holoong.com/original-painting-laozi-authentic-work-figure-painting_vs6209.html
81
Gambar 8: James Hetfield, gitaris grup metal Metalica, asal Amerika63
Gambar 9: Adam Levine, penyanyi asal Amerika64 Apabila melihat konteks hadis tersebut adalah sebagai identitas untuk memberikan perbedaan dengan orang-orang di luar Islam, dengan cara memanjangkan jenggot. Hadis tersebut dapat dikatakan merupakan hadis yang bersifat temporal, terjadi ketika Islam baru berkembang di Jazirah Arab, yang mana tradisi memanjangkan jenggot merupakan tradisi bangsa Arab. Selain itu Nabi saw. menggunakan hal tersebut sebagai strategi perang. Pada Zaman Nabi Muhammad umat Islam masih terbatas tinggal di dataran Jazirah Arab, sedangkan pada saat ini, umat Islam sudah tersebar di banyak wilayah dengan masing-masing tradisi dan budaya yang ada. 63 64
http://nineriverswellness.com/metallicas-james-hetfield-and-the-sensitivity-of-eights/ http://www.nbc.com/the-tonight-show/guest/adam-levine/10896
82
Menurut Yūsuf al-Qardāwī perintah untuk membedakan diri dengan orang Yahudi dan Nasrani bukanlah merupakan suatu perintah yang wajib, hukumnya hanyalah sunnah. Tujuannya adalah untuk mendidik dan membina kepribadian kaum muslimin dengan berbagai cara yang dibolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bukan berarti umat Islam harus menjauhi mereka. Kadang kala dalam beberapa hal umat Islam perlu meniru mereka seperti kedispilinan dan kesungguhan orang-orang di luar Islam dalam bekerja dan sebagainya.65 Setelah penulis menganalisa hadis tersebut dengan menggunakan metode double movement dan mengambil kesimpulan bahwa hadis memelihara jenggot merupakan hadis yang bersifat kontemporal. Pada saat ini ketika umat Islam sudah majemuk, jenggot bukan merupakan sarana satu-satunya untuk menunjukkan identitas seorang muslim, sarana tersebut berdasarkan masing-masing wilayah, akan tetapi tujuannya tetap sama, yakni umat Islam memiliki identitas khusus yang membedakan antara umat Islam dan non-Islam.
Tabel Teori Double Movement (Gerak Ganda)
65
Yusuf al-Qaradhawi, Halal Haram dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana), h. 125-126.
83
Gerakan
Teori
Gerakan Pertama; Langkah Pertama
Melihat kondisi sosial historis pada saat nash tersebut turun.
Gerakan Petama; Langkah Kedua
Mengidentifikasikan tujuan khusus “legal spesifik” dan juga tujuan umum “moral sosial” dikeluarkannya nash tersebut.
Gerakan Kedua
Mengkontekstualisasikan
tujuan
umum
“legal spesifik” dan tujuan umum “moral sosial” pada masa lampau ke dalam konteks sekarang, dengan melihat sosial historis pada masa sekarang.
Aplikasi Metode Double Movement Terhadap Hadis Memelihara Jenggot
Gerakan Petama, Langkah pertama, melihat kondisi sosial historis pada saat nash tersebut turun. Dilihat dari historisnya memelihara jenggot merupakan tradisi bangsa Arab yang telah ada dari sebelum masehi. Sedangkan dari segi sosialnya jenggot merupakan bagian dari agama. Bagi Yahudi memanjangkan jenggot dan kumis menandakan kedekatan kepada Tuhannya. Sedangkan bagi Majusi memotong jenggot merupakan bagian dari perintah Tuhan. Pada masa itu tidak terdapat perbedaan antar umat satu dengan umat yang lain dari segi fisik.
terdapat dua langkah yang harus di tempuh:
Gerakan kedua, mengkontekstualisasikan tujuan umum “legal spesifik” dan tujuan umum “moral sosial” pada masa lampau ke dalam konteks sekarang, dengan melihat sosial historis pada masa sekarang. Pada masa sekarang Islam bukan hanya milik bangsa Arab yang memiliki tradisi memelihara jenggot. Perintah memelihara jenggot juga bukan hanya milik Islam tetapi milik agama lain juga, seperti Yahudi, Sikh, ajaran Taoisme dan Konfusianisme. Selain itu jenggot pada masa kini telah menajadi trend fashion. Sehingga identitas Islam yaitu memelihara jenggot dan mencukur kumis “legal spesifik” sudah tidak dapat digunakan pada masa kini. Akan tetapi tujuan dari hadis memelihara jenggot yakni agar umat Islam memiliki identitas khusus “moral sosial” tetap berlaku, tetapi pada saat ini simbol identitas tersebut tergantung masing-masing wilayah.
Langkah Kedua, mengidentifikasikan tujuan khusus “legal spesifik” dan juga tujuan umum “moral sosial” dikeluarkannya nash tersebut. Pada masa awal Islam tidak terdapat perbedaan khusus antara orang Islam dengan orang bukan Islam, sehingga orang Islam sulit untuk di kenali jika hanya melihat dari segi fisik. Agar umat Islam mudah dikenali jika hanya melihat dari fisik, maka Nabi saw. memeritahkan kepada umatnya untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis sebagai identitas fisik mereka. Hal ini untuk memberikan perbedaan kepada umat lain. Yahudi memelihara kumis dan jenggot hingga lebat, sedangkan Majusi memelihara kumis tetapi mencukur jenggot mereka. Memelihara jenggot merupakan “legal spesifik”, sedangkan identitas diri agar umat Islam lebih dikenali merupakan “moral sosial”.
Tabel Aplikasi Teori Double Movement Terhadap Hadis Memanjangkan Jenggot Makna NO 1
Teori Gerakan Pertama Langkah Pertama
Langkah Kedua
2
Gerakan Kedua
Teknis Aplikatif
Sosial
Melihat kondisi sosio-historis ketika nash Jenggot merupakan bagian tersebut muncul. dari agama.
Mengidentifikasikan tujuan khusus "legal spesifik" dan tujuan umum "moral sosial" dikeluarkannya nash tersebut. Mengkontekstualisasikan tujuan khusus "legal spesifik" dan tujuan umum "moral sosial" pada masa lampau ke dalam konteks sekarang, dengan melihat sosial historis pada masa sekarang.
Historis
Legal Spesifik
Jenggot merupakan tradisi bangsa Arab yang telah ada sejak sebelum masehi. jenggot sebagai sarana identitas
Perintah memelihara jenggot tidak hanya terdapat dalam agama Islam, tetapi juga terdapat dalam agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Selain itu pada saat ini jenggot telah menjadi trend fashion.
Moral Sosial
Jenggot pada konteks kekinian bukan lagi satusatunya sarana identitas seorang Muslim. Identitas Muslim saat ini berdasarkan wilayah masing-masing.
Umat Islam memiliki identitas khusus sebagai pembeda. Umat Islam memiliki identitas khusus sebagai ciri khas yang dimilikinya
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa memahami hadis tidak selalu tekstual, tetapi hendaknya memperhatikan sosio-historis dan konteks dari hadis tersebut. Secara sosio-historis memelihara jenggot merupakan tradisi yang telah lama ada pada masyarakat jazirah Arab jauh sebelum Islam datang. Dalam konteks kekinian, pemeliharaan jenggot bukanlah menjadi satu-satunya identitas Muslim sebagaimana pada masa awal Islam. Jenggot telah menjadi trend fashion yang dilakukan oleh siapapun, baik oleh umat Islam maupun agama lain. Saat ini jenggot bukanlah bukanlah satusatunya identitas seorang Muslim. Namun, semangat dari hadis tersebut agar umat Islam senantiasa berbeda dengan non-Muslim tetap dapat digunakan. Penulis juga mengakui masih ada sebagian umat Islam yang memahami hadis memelihara jenggot secara tekstual dan menggagapnya bagian dari Sunnah Nabi saw. Namun, sebagian umat Islam yang lain memahami hadis tersebut secara kontekstual dan menganggapnya bagian dari tradisi bangsa Arab B. Saran Skripsi ini telah membahas tentang identitas Muslim perspektif hadis, khususnya masalah jenggot. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi referensi dalam memahami hadis-hadis tentang identitas Muslim. Ada beberapa hal yang belum penulis kaji dalam skripsi ini, seperti identitas Muslim dalam hal pakaian, sorban, isbal, dan lainnya. Penulis berharap ada penulis yang mengisi ranah kosong tentang hadis-hadis identitas Muslim. Tentunya dengan metode dan pendekatan yang berbeda dari yang telah penulis lakukan.
86
DAFTAR PUSTAKA
„Abd Bāqi‟, Muḥammad Fuād. Miftāh al-Kunūz al-Sunnah. Kairo: Dār al-Ḥādith, 1364 H. al-„Ain, Badr al-Dīn Abī Muḥammad Ibn Aḥmad .‘Umdah al-Qāri. Beirūt: Dār al-Kitab alIlmiyyah, 2006. al-Albanī, Muḥammad Nasīruddīn. Ensiklopedi Fatwa Syaikh AlBani. Jakarta: Pustaka Sunnah, 2005. _____. Musnad Imām Aḥmad. Terj. Ahmad Yusjawi. Jakarta: Pustaka Azam, 2007. jilid 6 Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005. _____. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1994. al-Asqalānī, Ibn Hajar, Fatḥ al-Bāri; Syarah Ṣahīh al-Bukhāri. Beirut: Dār al-Kutub al„Alamiyyah, 1996. Jilid 10. al-Asqālanī, Ibn Hajar. Fatḥ al-Bāri. Terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azam, 2008. jilid 28. Alwi, Hasan, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Azizy, Jauhar. “Penafsiran Kontekstual terhadap al-Qurān”. Journal of Qur’ān and Hadīth Studies. Vol. 1. No. 2. Desember 2012. Bisri, Abid. Qiṣasḥ al-Anbiya dalam al-Qur’an. Surabaya: Bungkul Indah, 1997. Brown, Keith. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. England: Oxford University Press, 2001. al-Bukhāri, Abī „Abdullāh Muḥammad bin Ismā‟il bin Ibrāhīm. Ṣaḥīḥ al-Bukhāri. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2009. Bustamin, dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Grafindo Persada, 2004. Dawson, Raymond. Kong Hu Cu Penata Budaya Kerjaan Langit. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
86
90
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2004. Fahmi. “Studi Hadis-Hadis Tentang Memanjangkan Jenggot Analisa Sanad dan Matan dalam al-Kutub al-Tis„ah.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2008. Fatih, Muhammad. “Hadis Dalam Perspektif Ahmad Hassan”, Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Vol.3. No.2.Juli-Desember 2013. Faqihuddin, M. Fajar. “Metode Pemahaman Hadis Dewan Hisbah Persis Tentang Ibadah Haji.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2010. Fuadi, Fitroh. “Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan al-Qur‟an dengan Ra‘yi; (Studi Pemahaman Hadis Nabi).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakart, 2010. al-Ghazālī, Muḥammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Mizan, 1996. Ghazaly, Yusni A. Puasa Sepanjang Tahun Bersama Nabi. Jakarta: Alifbata, 2006. Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama. Bandung. Citra Aditya Bakti, 1993. Hakim, Masykur. Mukhtalif al-Ḥadīth dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibn Qutybah. Ilmu Ushuluddin. Vol.2. No. 3. Jan-Jun 2014. Hamilton, Edith. Mitologi Yunani, Terj. A. Rahmatullah. Jakarta: Oncor Semseta Ilmu, 2011. Hasbi, Amiruddin M. Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press, 2000. Hasan, Fuad, dan Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 2014. Hasisul Ulum, “Studi Pemahaman Ibnuu Taimiyyah Tentang Hadis Kepemimpinan Quraisy.” Skripsi S1 Jurusan Tafsir-Hadis, Fakultas Ilmu Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2012. Hassan, A. Soal-Jawab tenang berbagai Masalah Agama. Bandung: Diponegoro, 1985.
91
Hatti, Philip K. History Of The Arabs. Terj. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008. Husen, Muhammad Haikal. Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Terj. Abdul Kadir. Solo: Pustaka Mantiq, 1994. _____. Umar bin Khattab. Terj. Ali Audah. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000. _____. Utsman bin Affan. Terj. Ali Audah. Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002. Ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad Ibn Ḥanbal. Beirut: Dār al-Fikr, 1991. _____. Musnad Imam Aḥmad, Terj. Aziz Noor. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009. Ibn Qutaybah, „Abdullāh bin Muslim. Ta’wīl Mukhtalif al-Ḥadīth. Beirut: Muassasah alKutub al-Tsaqāfah, 1988. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual, Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis yang Universal Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 2009. Jakfar, Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf Qardhawi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. al-Jawẓiyah, Ibn al-Qayyim. Petunjuk Nabi SAW menjadi Hamba Teladan dalam berbagai Aspek Kehidupan. Terj. Achmad Sunarto, Jakarta: Rabbani Press. al-Juraisy, Khālid. Fatwa-Fatwa Terkini 1. terj. Musthofa „Aini. Jakarta: Darul Haq, 2008. al-Jurjānī, „Ali. Al-Ta’rifāt. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmīyyah, 1988. Jordac, George. Sosok Agung Ali bin Abi Thalib. Terj. Abu As-Sajjad. Jakarta: Lentera Basritama, 1997. Khālid, Muḥammad. 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw. Terj. Muhil Dofir. Jakarta: AlI‟tisom, 2007. al-Khālidi, Ṣalah „Abd Fattah. Ta‘rif al-Dārisin bi Manāhij al-Mufassirin. Damaskus: Dār alQalam, 2002. Khon, Abdul Majid. Takhrīj&Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, 2014.
92
Larry, Samovar. Communication Between Cultures. USA: Wadsworth Cangage Learning. 2009. Mas‟adi, Ghufron A. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997. Manzhūr, Ibn. Lisān al-‘Arāb. Kairo: Dār al-Ḥadith, 2003. jilid 8. _____. Lisān al-‘Arāb. Kairo: Dār al-Ḥadith, 2003. jilid 10. _____. Lisān al-‘Arāb. Kairo: Dār al-Shādir, 1997. jilid 12. _____. Lisān al-‘Arāb. Kairo: Dār al-Shādir, 2003. jilid 14. _____. Lisān al-‘Arāb. Kairo: Dār al-Shādir, 2003. jilid 15. Matius, Surawan. Kamus Kata Serapan. Jakarta: Gramedia, 2008. al-Medany, Abu Nu‟aim Muhammad Faisal Jamil. “Jenggot dalam Pandangan Islam.” SALAFY Vol. VII. Yogyakarta: Yayasan Karisma. 1996. al-Mubākfury, Ṣafīyy al-Raḥmān Sīrah Nabāwiyah. Penerjemah Karthur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002. al-Munawwar, Sa‟id Agil Husain, dan Abdul Mustaqim. Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi,Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Muslim, Abū al-Ḥusin ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī al-Naysābūrī. Ṣahīh Muslim. Beirut: Dār elKutub, 1999. Musyafiq, Ahmad .“Koteks Hadis Antara Absāb al-Wurūd dan Sīrah Nabawiyah.” al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan al-Hadis. Vol.8. No. 2. Juli-Desember 2014. Muttaqin, Labib. “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Doktrin Kewariasan Islam Klasik”. al-Manij: Jurnal Kajian Hukum Islam.Vol.2. No.2. Juli 2013.
93
al-Nasā‟i, Abū „Abdurrahmān Aḥmad Ibn Shu‟aib Ibn „Ali al-Shuḥair. Sunan al-Nasā’i, Beirūt: Maktabah al-Ma‟ārif, 1999. Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Terj. Agus Ma‟mun. Jakarta: Dār al-Sunnah Press, 2015. jilid 2. Nuruddin, Itr. Ulumul Hadis. Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2012. Nurlidiawati, “Sejarah Agama-Agama (Studi Historis Tentang Agama Kuno Masa Lampau”. Jurnal Rihlah. Vol III. No. 1. Oktober 2015. Nadroh, Siti. Agama-Agama Minor. Jakarta: Premedia Group, 2015. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1995. Rahman, Zufran. Kajian Sunnah Nabi Saw. Sebagai Sumber Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995. Safri, Edi. Al- Imam Al- Syafi’i: Metode Penyelesaian Hadis- Hadis Mukhtalif. Jakarta: IAIN Press, 1990. Salabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I. Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000. Salim, Peter . Advance English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 2001. al-Sibā„i, Mustafa. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Intermedia, 2011. al-Sijistani, Sulaimān bin al-Asy„ats. Sunan Abū Dawud. Beirūt: Dār al-Fikr, 1992. Shihab, M.Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati, 2014. _____. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Vol 1. _____. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002. vol.8.
94
_____. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002. vol.11. Sokol, Justin T. “Identity Development Throughout The Lifetime: An Eximanition of Eriksonian Theory.” Graduate Journal of Counseling Psychology. Vol 1. Iss. 2. Januari, 2009. Sevans, dan Alan M. A Comprehensive Indonesian-English Dictionary. Jakarta: Mizan, 2008. Sumaji, Muhammad Anis. 125 Masalah Puasa. Jakarta: Tiga Serangkai, 2008. Sumantri, Rifki Ahda.“Hermeneutika al-Qur‟an Fazlur Rahman Metode Tafsir Double Movement.” Komunika. Vol.7. No.1. Januari 2013. Sumawijaya. “Pengaruh Budaya Arab Terhadap Hadis: Studi Kasus Masalah Surban dan Pemeliharaan Jenggot.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2007. Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn dan „Abdurrahmān ibn Abū Bakr, Al-Lam‘u fī Asbāb Wurūd alḤadīth, Mansurah: Dār al-Wafa‟, 1988. _____, Terj. Ahmad Sodri. Asbab Wurud al-Hadits, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2014. al-Suyūṭī, Muḥammad ibn Kamal Khālid. Kumpulan Hadis yang Disepakati 4 Imam (Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah). Terj. Marsuni Sasaky. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006. al-Syāfi„ī, Muḥammad bin Idris. Ikhtilāf al-Ḥadīth. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986. al-Syarbasī, Aḥmad. Tanya Jawab Tentang Agama dan Kehidupan. Jakarta: Lentera, 1999 al-Syaibani, Abū „Abdullāh Aḥmad bin Muḥammad al-Zuhli. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dār al-Kitab al-Ilmiyah, 2001. al-Tirmizi, Abī Isa Muḥammad Ibn „Isa . Sunan at-Tirmizi. Beirūt: Dār al-Kutub al„Ilmiyyah, 1999. _____. Syamil Muhammad: Kepribadian dan Budi Pekerti Rasulullah. Jakarta: Katulistiwa, 2014.
95
al-Ṭaḥhān, Mahmūd. Taisīr Musṭalah al-Ḥadīth. Beirūt: Dār al-Qur‟ān al-Kārim, 1972. Ubaidillah, A, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000. Al-„Utsaimīn, Muḥammad bin Ṣāleh. Syaraḥ al-Mumṭi‘.Mesir: Dār Ibnu al-Jauzi, 2009. al-Qarādāwi, Yūsuf. Halal Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009. _____. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. terj. Muhammad al-Baqir.
Bandung:
Karisma, 1993. Yudha, Septian Rizki. “Implementasi Pakaian Muslim dan Muslimah dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 di Kabupaten Pesisir Selatan.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Ya‟qub, Ali Mustafa. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014. Yusuf, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi. Jakarta: Mizan Republik, 2003. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Zakariyyā, Imam. ‘Aun al-Ma’būd fi al-Fāz Abī Dāwud. Beirut: Dār al-Fikr, 1994. jilid 2.
Referensi Web: http://commfaculty.fullerton.edu/stingtoomey/interview.htm https://www.academia.edu/8436219/Pengertian_identitas_Identitas