MENANGIS DALAM KONSEP HADIS
Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama Bidang Tafsir Hadis
Oleh Abdul Muiz, S.Ag. NIM: 00.2.00.1.05.01.0180
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H./2007 M.
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Oktober 2007
Abdul Muiz
iii
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS Tesis Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama Bidang Tafsir Hadis
Oleh: Abdul Muiz, S.Ag. NIM: 00.2.00.1.05.01.0180
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A.
Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A.
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H./2007 M. iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis berjudul MENANGIS DALAM KONSEP HADIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 September 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 September 2007
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Fuad Jabali, MA NIP: 150 242 799
Drs. Ikhwan, MA NIP: 150 254 958 Anggota,
Dr. Romlah Askar, MA
Dr. Yusuf Rahman, MA NIP: 150 254 101
Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. NIP: 150 183 152
Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. NIP: 150
v
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1.
Konsonan
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ
ف ق ك ل م ن و هـ ء ى
= =
b
=
t
=
ts
=
j
=
h
=
kh
=
d
=
dz
= =
r z
=
s
=
sy
=
s
=
d
=
t
=
z
=
‘
=
gh
Vokal pendek
َ َ ُ
= a = i = u
Vokal Panjang
ا
َ
ي ْ َ ُ ْو
= â = î = û
Diftong
vi
ي ْ أ
= ai
أ ْو
= au
=
f
=
q
=
k
=
l
=
m
=
n
=
w
=
h
=
`
=
y
ABSTRAK
Sejak dilahirkan, bahkan sebelum lahir ke dunia, hingga Allah swt. memanggil ke pangkuan-Nya, sosok agung Nabi Muhammad saw. sedemikian menarik perhatian umat manusia. Penegasan Allah swt. bahwa beliau adalah uswah hasanah bagi setiap orang beriman (QS.al-Ahzâb/33:21) dan beliau benarbenar memiliki akhlak yang agung (QS.al-Qalam/68:4) memberikan motivasi tersendiri bagi para sahabat, tabiin, dan salihin untuk senantiasa mencermati seluruh perilaku dan gerak-gerik beliau, untuk selanjutnya ditiru dalam kehidupan mereka. Salah satu perilaku yang menarik untuk dikaji dan dicermati adalah tangisan yang pernah terjadi pada diri teladan umat tersebut. Jika al-Qur’an pernah menggambarkan
bahwa di antara Ahli KItab ada orang-orang yang
beriman dan meneteskan air mata saat ayat-ayat suci al-Qur’an dilantunkan (QS.al-Mâ’idah/5:83) dan para nabi serta keturunannya juga selalu menangis saat mendengar
lantunan
ayat-ayat
Allah
swt.
(QS.Maryam/19:58),
lalau
bagaimanakah dengan keseharian hidup Rasulullah saw. yang dipandang sebagai manusia paling bertakwa sepanjang sejarah? Berdasarkan penelusuran penulis terhadap sebelas kitab (al-kutub al-tis’ah dan dua kitab zuhd wa raqâ’iq), penulis menemukan kurang lebih 183 hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw. (qaul dan fi’il) mengenai menangis dari 483 hadis yang berhasil penulis kumpulkan yang menggunakan term menangis. Dari hasil penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa ternyata hari-hari keberagamaan beliau banyak diwarnai dengan tangisan dan deraian air mata, 7
bukan dengan canda dan gelak tawa. Seluruh tangisan yang ditampilkan dalam kehidupan beliau, tidak ada yang buruk dan bertentangan dengan petunjuk dan tuntunan Allah swt. Jika ditinjau dari segi hukum, maka menangis dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: menangis yang dibolehkan, menangis yang terlarang, dan menangis yang dianjurkan. Menangis yang dibolehkan yaitu menangisi mayit secara wajar dan menangis karena terharu. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Rasulullah saw. yang senantiasa menangis saat menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya. Sedangkan menangis yang terlarang adalah menangisi mayit secara tidak wajar dan berlebih-lebihan karena diiringi dengan nadb dan nauh/niyâhah, yaitu menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara berlebihan yang disertai dengan ratapan, raungan, dan suara jeritan yang tinggi. Bahkan, biasanya dalam tradisi jahiliyah, mereka juga memukul-mukul muka dan merobek-robek baju mereka. Dalam kondisi demikian, si mayit ketika sebelum meninggal tidak memberikan pesan agar cara menangis seperti itu ditinggalkan, atau bahkan dia memberikan wasiat agar keluarganya menangisi dirinya kelak dengan cara seperti itu. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. bersabda: “Nayit itu akan disiksa di kuburnya tersebab ratapan (orang yang hidup) kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî) Adapun menangis yang dianjurkan adalah menangis karena takut kepada Allah swt., menangis saat membaca atau mendengarkan al-Qur’an, menangis saat berzikir kepada Allah swt. dalam kesendirian, menangis saat menegakkan salat dalam kekhusyuan, dan menangis saat mendengarkan nasehat keagamaan.
8
Imam Abû Dâwûd meriwayatkan dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: “Saya melihat Raulullah saw. sedang salat dan di rongga dadanya terdengar suara seperti orang yang berjalan kaki karena tangisannya.” Satu hal yang dapat disimpulkan dari tesis ini adalah bahwa ternyata ditemukan korelasi positif antara menangis dengan kesalihan pribadi. Menangis adalah salah satu karakteristik orang-orang yang salih, di samping karakteristik yang lainnya. Nabi Muhammad saw., para nabi, sahabat, tabiin, dan sâlihîn, senantiasa mengisi hari-hari keberagamaan mereka dengan tetesan air mata spiritual yang sarat makna. Tangisan mereka semakin mendekatkan diri mereka kepada Sang Khalik. Tangisan mereka mampu mempengaruhi perbaikan kualitas hidup mereka. Tangisan mereka adalah tangisan yang melahirkan implikasi positif dalam kehidupan sosial. Bagi kita sebagai umatnya, yang layak dan patut kita lakukan adalah meniru dan mengikuti perilaku teladan kita itu dengan berupaya secara optimal membersihkan jiwa dan hati kita (tazkiyah al-nafs). Salah satu proses tazkiyah alnafs adalah dengan melakukan berbagai ibadah ritual yang telah diajarkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya sambil merenungi hikmah dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
9
KATA PENGANTAR
Bismillâhirrahmânirrahîm Segala puji dan syukur kepada Allah, Zat Yang Mengatur segala apa yang ada di alam raya. Berkat qudrah dan iradah-Nya, alhamdulillâh, penulis akhirnya dapat merampungkan tesis ini yang sudah sekian lama tertunda. Penulis sadar betul, bahwa tesis ini masih menyimpan sekian kekurangan. Namun demikian, alfaqîr mengharapkan agar Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berkenan menjadikannya sebagai salah satu amal salih yang benar-benar ikhlas guna mendapatkan ridha dan berkah-Nya. Salawat dan salam senatiasa penulis harapkan agar Allah swt. senantiasa mencurahkannya kepada teladan umat tanpa cacat, Nabi Muhammad saw., keluarga, dan seluruh sahabatnya. Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, sebagai ungkapan kebahagiaan, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kepada kedua orang tua penulis, Abi Sadeli (Aba) dan Umi Suryani (Ema)
yang telah mendidik dan mengasuh penulis sejak saat di
kandungan hingga saat ini. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada mertua penulis, yaitu Ayahanda Sumardi dan Ibunda Sri Rahayu, yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mendampingi puteri keduanya dalam meniti kehidupan. Penulis berharap, semoga Allah berkenan memasukkan mereka semua kelak ke dalam golongan salihīn, dan membangkitkan mereka bersama para siddiqīn dan syuhadā. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada seluruh
10
abang dan adik yang keberadaannya turut memberikan andil dalam membentuk jati diri penulis; 2. Istri tersayang (Yayang Dewi Darmawanti, A.Mk.) dan dua buah hati kami tercinta (Muhammad Sayyidul Awliya Izzati dan Muhammad Hawdhi Izzati). Keberadaan mereka semua adalah anugerah besar yang diberikan kepada penulis dan menjadi dorongan tersendiri dalam menyelesaikan tesis ini; 3. Kedua orang tua angkat penulis, Bapak H. Emon Soemitra dan Ibu Hj. Ika Emon S. serta keluarga, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil. Semoga Allah memasukkan mereka semua min ahlil khair; 4. Bapak Ust.Drs.H. Abdul Khalim, M.M., yang telah banyak memberikan dorongan moril dan materil sehingga penulis merasa terpacu terus untuk menyelesaikan tesis ini; 5.
Bapak Prof.Dr.K.H. Said Agil Husein al-Munawwar, M.A. selaku mantan Direktur Program Pasca Sarjana UIN Jakarta, sekaligus Ketua Konsentrasi Tafsir Hadis dan Dosen, yang dalam banyak kesempatan perkuliahan telah memberikan motivasi kepada penulis;
6. Bapak Prof.Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. yang telah mengkritisi judul tesis ini dan meng-acc-nya; 7. Bapak Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A. dan Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. yang telah bersedia menjadi pembimbing. Bimbingan keduanya sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini;
11
8. Segenap dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah menuangkan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan; 9. Kepada seluruh guru dan teman-teman yang telah banyak berpartisipasi memberikan bantuan kepada penulis, seperti Ust.H. Lukman Hakim, Ust. Fu’ad Thohari, M.A., Ust.H. Mulyadi, M.A., Drs.H. Slamet Khaeruddin, M.A., Hadiyan, M.A., dan yang lainnya; 10. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum Iman Jama; Akhirnya, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengharapkan adanya saran, koreksi, dan teguran dari berbagai pihak, demi penyempurnaan tesis ini. Semoga apa yang telah penulis lakukan ini dicatat sebagai bagian dari amal saleh demi meraih ridha dan berkah-Nya. Sehingga memberikan manfaat kepada setiap orang yang membacanya. Hasbunallâh wa ni’mal wakîl ni’mal maulâ wa ni’man nasîr Jakarta, Oktober 2007
Abdul Muiz
12
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANITIA UJIAN PEDOMAN TRANSLITERASI
ABSTRAK i KATA PENGANTAR.......................................................................................... iv
DAFTAR ISI
BAB I
vii
PENDAHULUAN1 A. B. C. D. E. F.
BAB II
MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM A. B. C. D.
BAB III
Latar Belakang dan Pokok Permasalahan ............................... 1 Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 7 Kajian Pustaka......................................................................... 7 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 9 Metodologi .............................................................................. 9 Sistematika Pembahasan ....................................................... 11
12
Pengertian Menangis............................................................. 12 Macam-macam Menangis ..................................................... 25 Menangis dalam Perspektif al-Quran.................................... 30 Antara Menangis dan Tertawa .............................................. 73
MENANGIS DALAM KONSEP HADIS 82 A. Beragam Tangisan Rasulullah saw. ...................................... 82 B. Hukum Menangis ................................................................ 110 C. Keutamaan Menangis.......................................................... 135
BAB IV
MENANGIS DAN KESALIHAN PRIBADI
145
A. Pengertian dan Karakteristik Kesalihan .............................. 145 B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis 177
BAB V
KESIMPULAN 229
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 231 13
INDEKS HADIS DAN ASAR .......................................................................... 236
14
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANITIA UJIAN PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ ABSTRAK KATA PENGANTAR......................................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................................
iv i v
BAB I ......................................................................................................... P ENDAHULUAN................................................................................ 1 G. H. I. J. K. L.
Latar Belakang dan Pokok Permasalahan .................................... Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... Kajian Pustaka.............................................................................. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................. Metodologi ................................................................................... Sistematika Pembahasan ..............................................................
1 7 8 9 10 11
BAB II ......................................................................................................... M ENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM...................................... 13 E. F. G. H.
Pengertian Menangis .................................................................... Macam-macam Menangis............................................................. Menangis dalam Perspektif al-Quran ........................................... Antara Menangis dan Tertawa......................................................
13 28 33 81
BAB III ............................................................................................................. M ENANGIS DALAM KONSEP HADIS ........................................... 90 D. Beragam Tangisan Rasulullah saw............................................... 90 E. Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum.................. 122 F. Keutamaan Menangis ................................................................... 150
BAB IV ............................................................................................................. M ENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI..................................... 161 C. Pengertian dan Karakteristik Kesalehan....................................... 161 D. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis ......... 185
15
BAB V ............................................................................................................. K ESIMPULAN..................................................................................... 245 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 252 INDEKS HADIS DAN ASAR...…………………………………………… 258
16
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
2. Konsonan
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ
ف ق ك ل م ن و هـ ء ى
= =
b
=
t
=
ts
=
j
=
h
=
kh
=
d
=
dz
= =
r z
=
s
=
sy
=
s
=
d
=
t
=
z
=
‘
=
gh
Vokal pendek
َ َ ُ
= a = i = u
Vokal Panjang
ا
َ
ي ْ َ ُ ْو
= â = î = û
Diftong
17
ي ْ أ
= ai
أ ْو
= au
=
f
=
q
=
k
=
l
=
m
=
n
=
w
=
h
=
`
=
y
ﻓﻬﺮﺳﺖ اﻻﺣﺎدﻳﺚ واﻻﺛﺎر اﻟﻨﻤﺮة
اﻟﺤﺪﻳﺚ
.1
ت َﻳ ْﻮ َم اْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﻇُﻠﻤَﺎ ٌ ﻈْﻠ َﻢ ُ ن اﻟ ﱡ ﻈْﻠ َﻢ َﻓِﺈ ﱠ اﱠﺗﻘُﻮا اﻟ ﱡ
.2
ﺐ ﺴ ِ ﻦ ﻓِﻲ اﻟﱠﻨ َ س ُهﻤَﺎ ِﺑ ِﻬ ْﻢ ُآ ْﻔ ٌﺮ اﻟﻄﱠ ْﻌ ُ ا ْﺛﻨَﺘَﺎنِ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِ ﺖ ﺣ ُﺔ ﻋَﻠَﻰ اْﻟ َﻤﱢﻴ ِ وَاﻟﱢﻨﻴَﺎ َ ﺐ ﺟ ْﻌ َﻔ ٌﺮ َﻓُﺄﺻِﻴ َ ﺧ َﺬهَﺎ َ ﺐ ُﺛﻢﱠ َأ َ ﺧ َﺬ اﻟﺮﱠاَﻳ َﺔ زَ ْﻳ ٌﺪ َﻓُﺄﺻِﻴ َ َأ َ ﻦ ﷲ ِﻣ ْ ﺧ ِﺮ َﻓْﻠَﻴَﺘ َﻌ ﱠﻮ ْذ ﺑِﺎ ِ ﺸ ﱡﻬ ِﺪ اﻵ ِ ﻦ اﻟﱠﺘ َ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ِﻣ ْ غ َأ َ إِذَا َﻓ َﺮ َ َأ ْرَﺑ ٍﻊ ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم ﺴُ ﺣ ِﺪ ُآ ْﻢ َﻳ ْﻐَﺘ ِ ب َأ َ ن ﻧَ ْﻬﺮًا ِﺑﺒَﺎ ِ َأ َرَأ ْﻳُﺘ ْﻢ َﻟ ْﻮَأ ﱠ ﻲ ٌء ﻦ َد َرِﻧ ِﻪ ﺷَ ْ ﻞ ُهﻦﱠ ِﻣ ْ ت َه ْ ﺲ َﻣﺮﱠا ٍ ﺧ ْﻤ َ َ ن ﻟِﻲ ﺳَﺘ ْﻐ ِﻔ َﺮ َﻟﻬَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ ُﻳ ْﺆ َذ ْ ن َأ ْ ﺖ رَﺑﱢﻲ ﻓِﻲ َأ ْ ﺳَﺘ ْﺄ َذ ْﻧ ُ اْ ن ﻟِﻲ َﻓﺰُورُوا ن َأزُو َر َﻗ ْﺒ َﺮهَﺎ َﻓُﺄ ِذ َ ﺳَﺘ ْﺄ َذ ْﻧُﺘ ُﻪ ﻓِﻲ َأ ْ وَا ْ ت اْﻟ ُﻘﺒُﻮ َر َﻓِﺈﱠﻧﻬَﺎ ُﺗ َﺬآﱢ ُﺮ اْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻻ ﻲ َﻳ ْﻮ َم اْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﺷَﻔِ ْﻴﻌًﺎ َ ن َﻓِﺈﱠﻧ ُﻪ َﻳ ْﺄِﺗ ْ ِإ ْﻗ َﺮؤُا اْﻟ ُﻘﺮْا َ ﺻﺤَﺎِﺑ ِﻪ ْ ﺳِﺘ ْﻌﺪَادًا. ﺴُﻨ ُﻬ ْﻢ ِﻟﻤَﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ِإ ْ ﺣَ ت ذِ ْآﺮًا َوَأ ْ َأ ْآَﺜ ُﺮ ُه ْﻢ ِﻟْﻠ َﻤ ْﻮ ِ س ﻷ ْآﻴَﺎ ُ ﻚ ْا َ أُوَﻟِﺌ َ ت َأ ْآِﺜﺮُوا ِذ ْآ َﺮ هَﺎ ِذ ِم اﻟﱠﻠﺬﱠاتِ َﻳ ْﻌﻨِﻲ اْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻦ ....... ب ِﺑ َﺪ ْﻣ ِﻊ اْﻟ َﻌ ْﻴ ِ ﻻ ُﻳ َﻌﺬﱢ ُ ﷲ َ ناَ ن ِإ ﱠ ﺴ َﻤﻌُﻮ َ ﻻ َﺗ ْ َأ َ ب ِﺑُﺒﻜَﺎ ِء َأ ْهِﻠ ِﻪ ﺖ ُﻳ َﻌﺬﱠ ُ ن اْﻟ َﻤﱢﻴ َ َوِإ ﱠ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﻲ َ ﺠِﻨ ْ ﻻ َﺗ ْ ﻚ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ﻲ َ ﺠِﻨ ْ ﻻ َﻳ ْ اَﻣَﺎ ِإﻧﱠ ُﻪ َ ن َأ ْﻗ َﺮَأ ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﱠﻠﻰ ا ُ ﷲ َ لاِ ﺳ ْﻮ ُ ﻲ َر ُ َأ َﻣ َﺮِﻧ ْ ﺳ ْﻮ َر ِة ﻦ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِﻣ ْ ت َ ﻋَﻠﻰ اْﻟ ِﻤ ْﻨَﺒ ِﺮَ ,ﻓ َﻘ َﺮْأ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َ َ ﺖ ﻰ ِإذا َﺑَﻠ ْﻐ ُ ﺣﺘ ﱠ ﺴﺎ ِء َ اﻟﱢﻨ َ
.3 .4
.5
.6
.7
.8
.9 .10
.11 .12
.13
ﻚ ﻄ ْﻴَﺌِﺘ َ ﺧِ ﻋﻠَﻰ َ ﻚ َ ﻚ َو َأ ْﺑ ِ ﻚ َﺑ ْﻴُﺘ َ ﺴ ْﻌ َ ﻚ َوْﻟَﻴ َ ﻚ ِﻟﺴَﺎَﻧ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ﻚ َ َأ ْﻣِﻠ ْ 18
اﻟﺼﻔﺤﺔ
.14
.15 .16
.17
.18
.19
.20 .21
.22
.23
.24 .25
.26 .27 .28 .29
.30 .31
ن ﺷﺮَاآَﺎ ِ ن َو ِ ﻼِ ﻦ َﻟ ُﻪ َﻧ ْﻌ َ ﻋﺬَاﺑًﺎ َﻣ ْ ﻞ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ ن َأ ْه ِ ن َأ ْه َﻮ َ ِإ ﱠ ﻏ ُﻪ ﻦ ﻧَﺎ ٍر َﻳ ْﻐﻠِﻲ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ِدﻣَﺎ ُ ِﻣ ْ ﻼ ِة ﺼَ ك اﻟ ﱠ ك وَاْﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ َﺗ ْﺮ ُ ﺸ ْﺮ ِ ﻦ اﻟ ﱢ ﻞ َوَﺑ ْﻴ َ ﺟِ ﻦ اﻟ ﱠﺮ ُ ن َﺑ ْﻴ َ ِإ ﱠ ﻻ ﻣَﺎ ل ِا ﱠ ﻻ َﻧ ُﻘ ْﻮ ُ ن َو َ ﺤ ُﺰ ُ ﺐ َﻳ ْ ﻦ َﺗ ْﺪ َﻣ ُﻊ َواْﻟ َﻘْﻠ ُ ن اْﻟ َﻌ ْﻴ َ ِا ﱠ ن ﺤ ُﺰ ْوُﻧ ْﻮ َ ﻚ َﻟ ِﻤ ْ ُﻳ ْﺮﺿِﻲ رَﺑﱠﻨَﺎ َوِاﻧﱠﺎ ِﺑ ِﻔﺮَا ِﻗ َ ﻦ َآ َﻔﺮُوا ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﻚ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ ْ ﻋَﻠ ْﻴ َ ن َأ ْﻗ َﺮَأ َ ﷲ َأ َﻣ َﺮﻧِﻲ َأ ْ نا َ ِإ ﱠ ل َﻧ َﻌ ْﻢ َﻓَﺒﻜَﻰ ﺳﻤﱠﺎﻧِﻲ ﻗَﺎ َ ل َو َ ب ﻗَﺎ َ ﻞ اْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ِ ِﻣ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ن َ ﺻﻴَﺎ َم َر َﻣﻀَﺎ َ ض ِ ك َوَﺗﻌَﺎﻟَﻰ َﻓ َﺮ َ ﷲ َﺗﺒَﺎ َر َ نا َ ِإ ﱠ ﻦ ﺻَﺎ َﻣ ُﻪ َوﻗَﺎ َﻣ ُﻪ ﺖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻗﻴَﺎ َﻣ ُﻪ َﻓ َﻤ ْ ﺳَﻨ ْﻨ ُ َو َ ن ﻦ اْﻟ ُﻤَﺘﺤَﺎﱡﺑ ْﻮ َ ل َﻳ ْﻮ َم اْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َأ ْﻳ َ ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ َﻳُﻘ ْﻮ ُ ناَ ِإ ﱠ ﻲ ﻇﱢﻠ ْ ﻻ ِ ﻞ ِإ ﱠ ﻇﱠ ﻻ ِ ﻲ َﻳ ْﻮ َم َ ﻇﱢﻠ ْ ﻲ ِ ﻇﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ِﻓ ْ ﻲ اْﻟَﻴ ْﻮ َم ُأ ِ ﻼِﻟ ْ ﺠَ ِﺑ َ ﻏ ْﺮ ﻞ َﺗ ْﻮَﺑ َﺔ اْﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ ُﻳ َﻐ ْﺮ ِ ﷲ َﻳ ْﻘَﺒ ُ نا َ ِإ ﱠ ﻞ ُﻣﺴَﻤًّﻰ ﺟٍ ﻞ ِإﻟَﻰ َأ َ ﻋﻄَﻰ َو ُآ ﱞ ﺧ َﺬ َوَﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َأ ْ ﷲ ﻣَﺎ َأ َ ن ِ ِإ ﱠ ﺐ ﺴ ْ ﺤَﺘ ِ ﺼِﺒ ْﺮ َوْﻟَﺘ ْ َﻓْﻠَﺘ ْ ﻦ ن ْﺑ َ ﻋ ْﺜﻤَﺎ َ ﻞ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻗﱠﺒ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﻲ َ ن اﻟﱠﻨِﺒ ﱠ َأ ﱠ ل ﻋَ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ ﻲ َأ ْو ﻗَﺎ َ ﺖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺒ ِﻜ ْ ن َو ُه َﻮ ﻣَﱢﻴ ٌ ﻈ ُﻌ ْﻮ ٍ َﻣ ْ ن َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ َ ن ن َﻓِﺈذَا َﻗ َﺮْأُﺗﻤُﻮ ُﻩ ﻓَﺎ ْﺑﻜُﻮا َﻓِﺈ ْ ﺤ ْﺰ ٍ ل ِﺑ ُ ن َﻧ َﺰ َ ن هَﺬَا اْﻟ ُﻘﺮْﺁ َ ِإ ﱠ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﺒﻜُﻮا َﻓَﺘﺒَﺎ َآﻮْا ﺣﻤَﺎ َء ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ اﻟ ﱡﺮ َ ﻦ ِ ﷲ ِﻣ ْ ﺣ ُﻢ ا ُ إِﻧﱠﻤَﺎ َﻳ ْﺮ َ ﻚ ﺴِ ﻞ اْﻟ ِﻤ ْ ﺴ ْﻮءِ َآﺤَﺎ ِﻣ ِ ﺢ وَاﻟ ﱡ ﺲ اﻟﺼﱠﺎِﻟ ِ ﺠِﻠ ْﻴ ِ ﻞ اْﻟ َ إِﻧﱠﻤَﺎ َﻣَﺜ ُ ﺦ اْﻟ ِﻜ ْﻴ ِﺮ َوﻧَﺎ ِﻓ ِ ئ ﻣَﺎ َﻧﻮَى ل ﺑِﺎﻟﱢﻨﱠﻴ ِﺔ َوِإﱠﻧﻤَﺎ ﻻ ْﻣ ِﺮ ٍ ﻋﻤَﺎ ُ ﻻْ إِﻧﱠﻤَﺎ ْا َ ي ﻏ ْﻴ ِﺮ ْ ﻦ َ ﺳ َﻤ َﻌ ُﻪ ِﻣ ْ ن َا ْ ﺐ َا ْ ﺣ ﱡ ﻲ ُا ِ ِإﱢﻧ ْ ﺴﻤَﻌُﻮنَ ﻻ ﺗَ ْ ﺳ َﻤ ُﻊ ﻣَﺎ َ ن َوَأ ْ ﻻ َﺗ َﺮ ْو َ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻣَﺎ َ ﺠﻨﱠ ُﺔ َو ﻲ اْﻟ َ ﻋَﻠ ﱠ ﺖ َ ﺿ ْ ﻋ ِﺮ َ ﻲ ِﺑَﻴ ِﺪ ِﻩ َﻟ َﻘ ْﺪ ُ ﺴ ْ ي َﻧ ْﻔ ِ أَ ْوﻟَﻰ َو اﱠﻟ ِﺬ ْ اﻟﻨﱠﺎ ُر اِﻧﻔًﺎ ﻦ اﻟ ﱢﺬ ْآ ِﺮ ﺴ َﻤ ُﻊ ِﻣ َ ﺖ َﺗ ْ ﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ آَﺎَﻧ ْ ﺖ َ َﺑ َﻜ ْ ﺞ وَاْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة َﻓِﺈﱠﻧ ُﻬﻤَﺎ ﻳَ ْﻨﻔِﻴَﺎنِ اْﻟ َﻔ ْﻘ َﺮ ﺤﱢ ﻦ اْﻟ َ ﺗَﺎِﺑ ُﻌﻮْا َﺑ ْﻴ َ 19
.32 .33
.34 .35 .36 .37
.38 .39
ب وَاﻟ ﱡﺬُﻧ ْﻮ َ ت ﻦ اْﻟ َﻤ ْﻮ ُ ﺤ َﻔ ُﺔ اْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِ ُﺗ ْ ﻦ ﺖ َو َﻣ ْ ﻋ َﺮ ْﻓ َ ﻦ َ ﻋﻠَﻰ َﻣ ْ ﻼ َم َ ﺴَ ﻄﻌَﺎ َم َوَﺗ ْﻘ َﺮُأ اﻟ ﱠ ﻄ ِﻌ ُﻢ اﻟ ﱠ ُﺗ ْ ف َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﺮ ْ ﻋ ْﻮدًا ﻋ ْﻮدًا ُ ﺼ ْﻴ ِﺮ ُ ﺤ ِ ب آَﺎْﻟ َ ﻋﻠَﻰ اْﻟ ُﻘُﻠ ْﻮ ِ ﻦ َ ض اْﻟ ِﻔَﺘ ُ ُﺗ ْﻌ َﺮ ُ ﺲ ﺴِﻠ ِﻢ ﺧَ ْﻤ ٌ ﻋﻠَﻰ اْﻟ ُﻤ ْ ﺴِﻠ ِﻢ َ ﻖ اْﻟ ُﻤ ْ ﺣﱡ َ ن ﺧ ْﻴ ُﺮ اﻟ ﱠﺪوَا ِء اْﻟُﻘﺮْا ُ َ ﺼﻠﱢﻲ ﺳﱠﻠ َﻢ ُﻳ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﷲ َ ل اِ ﺖ َرﺳُﻮ َ َرَأ ْﻳ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﻦ اْﻟُﺒﻜَﺎ ِء َ ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ أَزِﻳ ٌﺰ َآَﺄزِﻳ ِﺰ اﻟ ﱠﺮﺣَﻰ ِﻣ ْ َوﻓِﻲ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ اُ ﻞ ﻦ ُﻳﺨَﺎِﻟ ُ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ َﻣ ْ ﻈ ْﺮ َأ َ ﺧِﻠ ْﻴِﻠ ِﻪ َﻓْﻠَﻴ ْﻨ ُ ﻦ َ ﻋﻠَﻰ ِد ْﻳ ِ ﻞ َ ﺟُ اَﻟﺮﱠ ُ ﻇﻠﱡ ُﻪ ﻻ ِ ﻞ ِإ ﱠ ﻇﱠ ﻻ ِ ﻇﱢﻠ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم َ ﷲ ﻓِﻲ ِ ﻈﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ا ُ ﺳ ْﺒ َﻌ ٌﺔ ُﻳ ِ َ
.40
ﻦ ﺐ ِﻣ َ س َﻗ ِﺮ ْﻳ ٌ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِ ﺐ ِﻣ َ ﷲ َﻗ ِﺮ ْﻳ ٌ ﻦا ِ ﺐ ِﻣ َ ﻲ َﻗ ِﺮ ْﻳ ٌ ﺨﱡ ﺴِ اَﻟ ﱠ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر ﺠﱠﻨ ِﺔ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ َ اْﻟ َ
.41
ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ آَﻔﱠﺎرٌَة ِﻟﻤَﺎ ﺑَ ْﻴﻨَ ُﻬﻤَﺎ ﻰ اْﻟ ُ ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ إِﻟ َ ﺲ وَاْﻟ ُ ﺨ ْﻤ ُ ﻼ ُة اْﻟ َ اَﻟﺼﱠ َ
.42
ل ُﺛﻢﱠ ِﺑ ﱡﺮ ي ﻗَﺎ َ ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ ﻋﻠَﻰ ﻣِﻴﻘَﺎِﺗﻬَﺎَ /و ْﻗِﺘﻬَﺎ ُﻗْﻠ ُ ﻼ ُة َ ﺼَ اﻟ ﱠ ﻦ اْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِ ن ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ ﻗَﺎَﺗَﻠ ُﻪ ﻞ َوِإ ِ ﺠ َﻬ ْ ﻻ َﻳ ْ ﺚ َو َ ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ ْ ﺟﱠﻨ ٌﺔ َﻓ َ اﻟﺼﱢﻴَﺎ ُم ُ ﻲ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ﻲ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ِإﱢﻧ ْ ﻞ ِإﱢﻧ ْ َأ ْوﺷَﺎَﺗ َﻤ ُﻪ َﻓْﻠَﻴُﻘ ْ ﺠﻨﱠ ُﺔ وَاﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓَﻠ ْﻢ َأ َر آَﺎْﻟَﻴ ْﻮ ِم ﻓِﻲ ﻲ اْﻟ َ ﻋَﻠ ﱠ ﺖ َ ﺿ ْ ﻋ ِﺮ َ ُ ﺸ ﱢﺮ ﺨ ْﻴ ِﺮ وَاﻟ ﱠ اْﻟ َ ﺞ اْﻟ َﻤ ْﺒ ُﺮ ْو ُر ﺤﱡ َاْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ُة إِﻟَﻰ اْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة ُﺗ َﻜﻔﱢ ُﺮ ﻣَﺎ َﺑ ْﻴَﻨ ُﻬﻤَﺎ وَاْﻟ َ ﺠﻨﱠﺔ ﻻ اْﻟ َ ﺲ َﻟ ُﻪ ﺟَﺰَا ٌء ِإ ﱠ َﻟ ْﻴ َ ﷲ ﺸَﻴ ِﺔ ا ِ ﺧْ ﻦ َ ﺖ ِﻣ ْ ﻦ َﺑ َﻜ ْ ﺴ ُﻬﻤَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ُر ﻋَ ْﻴ ٌ ﻻ َﺗ َﻤ ﱡ ﻋَ ْﻴﻨَﺎنِ َ ﷲ ﻞا ِ ﺳﺒِﻴ ِ س ﻓِﻲ َ ﺤ ُﺮ ُ ﺖ َﺗ ْ ﻦ ﺑَﺎَﺗ ْ ﻋ ْﻴ ٌ َو َ ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ وَﻣَﺎ ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ َ ﻞا ِ ﺳِﺒ ْﻴ ِ ﻲ َ ﺣ ٌﺔ ِﻓ ْ ﻏ ْﺪ َوٌة َأ ْو َر ْو َ َ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ ﷲ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﻲ َ ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َﻓ َﻌ ﱠﻮ َذ ُﻩ اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ ﺿ َﻌ ُﻪ َﺑ ْﻴ َ ﻲ ِﺑ ِﻪ َﻓ َﻮ َ َﻓ ْﺄِﺗِﻨ ْ ل ﻦ َأ ﱠو ِ ت ِﻣ ْ ب َوَأ ْرَﺑ ِﻊ اﻳَﺎ ٍ ﺤ ِﺔ اْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﺳﱠﻠ َﻢ ِﺑﻔَﺎِﺗ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ َ
.43
.44
.45
.46
.47
.48
20
.49 .50 .51
.52
.53 .54
.55
.56 .57
.58 .59
.60 .61 .62 .63 .64 .65
.66 .67 .68
ﺳ ْﻮ َر ِة اْﻟَﺒ َﻘ َﺮ ِة ُ ﻒ اْﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ِة ﺼ ُ َاْﻟ ِﻔ ْﻜ ُﺮ ِﻧ ْ ﺷﻔَﺎ ًء ﻼ ِة ِ ﺼَ ن ﻓِﻰ اﻟ ﱠ ﻞ َﻓِﺈ ﱠ ﺼﱢ ُﻗ ْﻢ َﻓ َ ﺣ ِﺰَﺑ ُﻪ أَ ْﻣ ٌﺮ ﺳﱠﻠ َﻢ إِذَا َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﻲ َ ن اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ آَﺎ َ ﺻﻠﱠﻰ َ ي ﺟ ِﺰ ْ ﻲ َوَأﻧَﺎ َأ ْ ﺼﻴَﺎ َم َﻓِﺈﱠﻧ ُﻪ ِﻟ ْ ﻻ اﻟ ﱢ ﻦ ا َد َم َﻟ ُﻪ ِإ ﱠ ﻞ ا ْﺑ ِ ﻋ َﻤ ِ ُآﻞﱡ َ ِﺑ ِﻪ ت ﻞ ِﻟ َﻤﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ اْﻟ َﻤ ْﻮ ِ ﻋ ِﻤ َ ﺴ ُﻪ َو َ ن َﻧ ْﻔ ُ ﻦ دَا َ ﺲ َﻣ ْ َاْﻟ َﻜ ْﻴ ُ ﺣﱠﻠ ٍﺔ ح ﻓِﻲ ُ ﺣﱠﻠ ٍﺔ َورَا َ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﻓِﻲ ُ ﻒ ِﺑ ُﻜ ْﻢ إِذَا ﻏَﺪَا َأ َ َآ ْﻴ َ ﺧﺮَى ﺖ ُأ ْ ﺤ َﻔ ٌﺔ َو ُر ِﻓ َﻌ ْ ﺻْ ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َ ﺖ َﺑ ْﻴ َ ﺿ َﻌ ْ َو ُو ِ ﺴَﺘ ُﺮ اْﻟ َﻜ ْﻌَﺒ ُﺔ ﺳَﺘ ْﺮُﺗ ْﻢ ُﺑﻴُﻮَﺗ ُﻜ ْﻢ َآﻤَﺎ ُﺗ ْ َو َ ﻼ َة َو َه ِﺬ ِﻩ ﺼَ ﻻ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ ﺖ ِإ ﱠ ﺷ ْﻴًﺄ ِﻣﻤﱠﺎ َأ ْد َر ْآ ُ ف َ ﻋ ِﺮ ُ ﻻَأ ْ َ ﺖ ﺿﱢﻴ َﻌ ْ ﻼ ُة َﻗ ْﺪ ُ اﻟﺼﱠ َ ﻻ ﺣَﻘًّﺎ ل ِإ ﱠ ﻻ َأ ُﻗ ْﻮ ُ َ ن َﻓ ُﻬ َﻮ ﷲ اْﻟ ُﻘﺮْا َ ﻞ اﺗَﺎ ُﻩ ا ُ ﺟٌ ﻦ رَ ُ ﻻ ﻓِﻰ ا ْﺛَﻨَﺘ ْﻴ ِ ﺳ َﺪ ِإ ﱠ ﻻ ﺗَﺤَﺎ ُ َ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ ُﻩ اﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ َو اﻟﱠﻨﻬَﺎ ِر ﺐ ﺖ اْﻟ َﻘْﻠ َ ﻚ ُﺗ ِﻤ ْﻴ ُ ﺤَ ﻀِ ن َآ ْﺜ َﺮ َة اﻟ ﱠ ﻚ َﻓِﺈ ﱠ ﺤَ ﻀِ ﻻ ُﺗ ْﻜِﺜﺮُوااﻟ ﱠ َ ﻻ َﺗ َﺪﱡﺑ َﺮ ﻲ ِﻗﺮَا َء ٍة َ ﻻ ِﻓ ْ ﻻ ِﻓ ْﻘ َﻪ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ َو َ ﻋﺒَﺎ َد ٍة َ ﻲ ِ ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ ْ ﻻ َ َ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ ﻄَﻨ ُﻪ ﻦ َﻣَﻠَﺄ َﺑ ْ ت َﻣ ْ ت اﻟﺴﱠﻤﻮَا ِ ﻞ َﻣَﻠ ُﻜ ْﻮ َ ﺧُ ﻻ َﻳ ْﺪ ُ َ ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ ﻦ ِذ ْآ ِﺮ ا ِ ﻃﺒًﺎ ِﻣ ْ ﻚ َر ْ ل ِﻟﺴَﺎُﻧ َ ﻻ َﻳﺰَا ُ َ ﻞ ﺟﱠ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﺸَﻴ ِﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺧْ ﻦ َ ﺣ ٌﺪ ﺑَﻜَﻰ ِﻣ ْ ﺞ اﻟﻨﱠﺎ َر َأ َ ﻻ َﻳِﻠ ُ َ ﺴ ِﻪ ﺤﺐﱡ ِﻟَﻨ ْﻔ ِ ﺧ ْﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ِ ﻻ ِ ﺤﺐﱠ ِ َ ﻰ ُﻳ ِ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﺣَﺘ ﱠ ﻦ َأ َ ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣ ُ َ ب ﷲ اْﻟ َﻌ ْﻘ َﺮ َ ﻦا ُ َﻟ َﻌ َ ﻋ ْﻨ َﺪ َأَﺑ َﻮ ْﻳ ِﻪ ﺼ َﻌﺒًﺎ َهﺬَا َوﻣَﺎ ِﺑ َﻤ ﱠﻜ َﺔ ﻓَﺘًﻰ َأ ْﻧ َﻌ ُﻢ ِ ﺖ ُﻣ ْ َﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ ُ ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ ﷲ َو َر ُ ﻚ ُآﻠﱠ ُﻪ ﺣُﺒًّﺎ ِ ك َذِﻟ َ ُﺛﻢﱠ َﺗ َﺮ َ ﻲ َﻟ ُﻪ ﻻ َﺑﻮَا ِآ َ ﺣ ْﻤ َﺰ َة َ ﻦ َ َﻟ ِﻜ ﱠ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َوَﺑﻜَﻰ ﻋ ْﺪَﺗﻨِﻲ ت ﻣَﺎ َو َ ﺠ ْﺰ ﻟِﻲ ﻣَﺎ وَﻋَ ْﺪﺗَﻨِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ﺁ ِ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ َأ ْﻧ ِ 21
.69 .70 .71 .72
.73
.74
.75
.76
.77 .78
.79
.80
.81 .82 .83 .84 .85
ﻼ َوَﻟَﺒ َﻜ ْﻴُﺘ ْﻢ َآﺜِﻴﺮًا ﺤ ْﻜُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ ً ﻀِ ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ َ ن ﻣَﺎ َأ ْ َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ َ ﻷ ْﻧُﺘ ُﻢ اْﻟَﻴ ْﻮ َم ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻳ ْﻮ َﻣِﺌ ٍﺬ َ ﻦ ﻦ َوَأَﺛ َﺮ ْﻳ ِ ﻄ َﺮَﺗ ْﻴ ِ ﻦ َﻗ ْ ﷲ ِﻣ ْ ﺐ إِﻟَﻰ ا ِ ﺣ ﱠ ﻲ ٌء َأ َ ﺲ ﺷَ ْ َﻟ ْﻴ َ ب َو َدﻋَﺎ ﺠُﻴ ْﻮ َ ﻖ اْﻟ ُ ﺷﱠ ﺨ ُﺪ ْو َد َو َ ب اْﻟ ُ ﺿ َﺮ َ ﻦ َ ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ َﻣ ْ َﻟ ْﻴ َ ﻋﻮَى اْﻟﺠَﺎ ِهِﻠﱠﻴ ِﺔ ِﺑ َﺪ ْ ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ﻋ ْﻨ َﺪ ا ِ ن ﻣَﺎ ِ ﻋَﻠ ُﻢ َأ ﱠ ن َأ ْ ﻻ َأآُﻮ َ ن َ ﻣَﺎ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ْ ن ﻦ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ﱠ ﺳﱠﻠ َﻢ َوَﻟ ِﻜ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ِﻟ َﺮﺳُﻮِﻟ ِﻪ ﺻَﻠﱠﻰ ا ُ ﺴﻤَﺎ ِء ﻦ اﻟ ﱠ ﻄ َﻊ ِﻣ ْ ﻲ َﻗ ْﺪ ا ْﻧ َﻘ َ ﺣَ اْﻟ َﻮ ْ ﻻ ﺧ ْﺒﺰًا ُﻣ َﺮ ﱠﻗﻘًﺎ َو َ ﺳﱠﻠ َﻢ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﻲ َ ﻞ اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ ﻣَﺎ َأ َآ َ ﻲ اﷲ ﻃ ًﺔ ﺣَﺘﱠﻰ َﻟ ِﻘ َ ﺴ ُﻤ ْﻮ َ ﺷَﺎ ًة َﻣ ْ ﺧ ْﺒ ِﺰ ﻦ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ ِﻣ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ل ُﻣ َ ﺷِﺒ َﻊ ا ُ ﻣَﺎ َ ﷲ ل اِ ﺳ ْﻮ ُ ﺾ َر ُ ﻦ ﺣَﺘﱠﻰ ُﻗِﺒ ِ ﻦ ُﻣَﺘﺘَﺎِﺑ َﻌ ْﻴ ِ ﺷ ِﻌ ْﻴ ٍﺮ َﻳ ْﻮ َﻣ ْﻴ ِ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ َ ﻏ ْﻴ ُﺮ اْﻟ ِﻤ ْﻘﺪَا ِد َوَﻟ َﻘ ْﺪ رَأَ ْﻳُﺘﻨَﺎ س َﻳ ْﻮ َم َﺑ ْﺪ ٍر َ ن ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺎرِ ٌ ﻣَﺎ آَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﷲ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺻَﻠﱠﻰ ا ُ ﻻ َرﺳُﻮ َ ﻻ ﻧَﺎﺋِ ٌﻢ ِإ ﱠ وَﻣَﺎ ﻓِﻴﻨَﺎ ِإ ﱠ ﺢ ﺻَﺒ َ ﺣﺘﱠﻰ َأ ْ ﺼﻠﱢﻲ َوَﻳ ْﺒﻜِﻲ َ ﺠ َﺮ ٍة ُﻳ َ ﺷَ ﺖ َ ﺤ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﺗ ْ َو َ ﻦ ﻄٍ ﻦ َﺑ ْ ﻲ ِوﻋَﺎ ًء ﺷَﺮًّا ِﻣ ْ ﻦ ا َد ِﻣ ﱟ ﻸ ا ْﺑ ُ ﻣَﺎ َﻣ َ ﻦ ﺴُ ﺤِ ﻼٌة َﻣ ْﻜُﺘ ْﻮَﺑ ٌﺔ َﻓُﻴ ْ ﺻَ ﻀ ُﺮ ُﻩ َ ﺤ ُ ﺴِﻠ ٍﻢ َﺗ ْ ئ ُﻣ ْ ﻦ ا ْﻣ ِﺮ ٍ ﻣَﺎ ِﻣ ِ ﺖ آَﻔﱠﺎرٌَة ﻻ آَﺎَﻧ ْ ﻋﻬَﺎ ِإ ﱠ ﺸ ْﻮﻋَﻬَﺎ َو ُر ُآ ْﻮ َ ﺧُ ﺿ ْﻮ َءهَﺎ وَ ُ ُو ُ ب ﻦ اﻟ ﱡﺬُﻧ ْﻮ ِ ﻟِﻤَﺎ َﻗ ْﺒَﻠﻬَﺎ ِﻣ َ ن ع َوِإ ْ ﻋ ْﻴَﻨ ْﻴ ِﻪ ُدﻣُﻮ ٌ ﻦ َ ج ِﻣ ْ ﺨ ُﺮ ُ ﻦ َﻳ ْ ﻋ ْﺒ ٍﺪ ُﻣ ْﺆ ِﻣ ٍ ﻦ َ ﻣَﺎ ِﻣ ْ ﷲ ﺸَﻴ ِﺔ ا ِ ﺧْ ﻦ َ ب ِﻣ ْ س اﻟ ﱡﺬﺑَﺎ ِ ﻞ َرْأ ِ ن ِﻣ ْﺜ َ آَﺎ َ ﷲ ﻋ َﺪ ا ُ ﻻ ﺑَﺎ َ ﷲ ِإ ﱠ ﻞا ِ ﺳِﺒ ْﻴ ِ ﻲ َ ﺼ ْﻮ ُم َﻳ ْﻮﻣًﺎ ِﻓ ْ ﻋ ْﺒ ٍﺪ َﻳ ُ ﻦ َ ﻣَﺎ ِﻣ ْ ﺧ ِﺮ ْﻳﻔًﺎ ﻦ َ ﺳ ْﺒ ِﻌ ْﻴ َ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ ﻋِ ﺟ َﻬ ُﻪ َ ﻚ اْﻟَﻴ ْﻮ ِم َو ْ ِﺑ َﺬِﻟ َ ن ﻻِ ن َﻳ ْﻨ ِﺰ َ ﻻ َﻣَﻠﻜَﺎ ِ ﺢ اْﻟ ِﻌﺒَﺎ ُد ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ ﺼِﺒ ُ ﻦ َﻳ ْﻮ ٍم ُﻳ ْ ﻣَﺎ ِﻣ ْ ﺴ َﻔ َﺮ ِة اْﻟ ِﻜﺮَا ِم اْﻟَﺒ َﺮ َر ِة َاْﻟﻤَﺎ ِه ُﺮ ﺑِﺎاْﻟ ُﻘﺮْانِ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ س ﻞ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎ ِ ﺼﱢ ُﻣﺮُوا َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻓْﻠُﻴ َ ﺴِﻠ ُﻤ ُﻪ ﻻ ُﻳ ْ ﻈِﻠ ُﻤ ُﻪ َو َ ﻻ َﻳ ْ ﺴِﻠ ِﻢ َ ﺴِﻠ ُﻢ أَﺧُﻮ اْﻟ ُﻤ ْ َاْﻟ ُﻤ ْ ﺴِﻠ ُﻤ ُﻪ ﻻ ُﻳ ْ ﻈِﻠ ُﻤ ُﻪ َو َ ﻻ َﻳ ْ ﺴِﻠ ِﻢ َ ﺴِﻠ ُﻢ أَﺧُﻮ اْﻟ ُﻤ ْ َاْﻟ ُﻤ ْ 22
.86 .87 .88
.89
.90 .91
.92 .93 .94 .95
.96 .97 .98
.99
.100 .101
.102 .103 .104 .105 .106
ﻦ اْﻟ ِﻌْﻠ ِﻢ ﺠ ًﺔ ِﻣ ْ ﺞ َﻣ ﱠ ﺤ َﻜ ًﺔ َﻣ ﱠ ﺿْ ﻚ َ ﺤَ ﺿِ ﻦ َ َﻣ ْ ﺴَﻨ ٌﺔ ﺣَ ﷲ َﻓَﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ َ با ِ ﻦ ِآﺘَﺎ ِ ﺣ ْﺮﻓًﺎ ِﻣ ْ ﻦ َﻗ َﺮَأ َ َﻣ ْ ﻲ ﺤَ ﺣ ٌﺪ ُﻣ ِ ﷲ َأ َ ﻞ ُه َﻮ ا ُ ﻲ َﻣ ﱠﺮ ٍة ُﻗ ْ ﻦ َﻗ َﺮَأ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم ﻣِﺎَﺋَﺘ ْ َﻣ ْ ﻦ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ دَ ْﻳ ٌ ن َ ن َﻳ ُﻜ ْﻮ َ ﻻ َأ ْ ﺳَﻨ ًﺔ ِإ ﱠ ﻦ َ ﺴ ْﻴ َ ﺧ ْﻤ ِ ب َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ُذُﻧ ْﻮ ُ َ ﺤﺸَﺎ ِء وَاْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﺰ َد ْد ﻦ اْﻟ َﻔ ْ ﻋِ ﻼُﺗ ُﻪ َ ﺻَ ﻦ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ َﻬ ُﻪ َ َﻣ ْ ﻻ ُﺑ ْﻌﺪًا ﷲ ِإ ﱠ ﻦا ِ ِﻣ َ ﺲ ﻣِ ْﻨﻬُﻢ ﻦ َﻓَﻠ ْﻴ َ ﺴِﻠ ِﻤ ْﻴ َ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﻬَﺘ ﱠﻢ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ اْﻟ ُﻤ ْ َﻣ ْ ﻦ ﻦ َﺑ ْﻴ ِ ﺴ ُﻪ ِﻣ ْ ع َﻧ ْﻔ ُ ل ُﺗ ْﻨ َﺰ ُ ﻋﻠَﻰ ُآﻞﱢ ﺣَﺎ ٍ ﺨ ْﻴ ٍﺮ َ ﻦ ِﺑ َ اْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُ ﻞ ﺟﱠ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﺤ َﻤ ُﺪ اﻟﱠﻠ َﻪ َ ﺟ ْﻨَﺒ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َﻳ ْ َ ﻒ ﻻ ُﻳ ْﺆَﻟ ُ ﻒ َو َ ﻻ َﻳ ْﺄَﻟ ُ ﻦ َ ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ ْﻴ َﻤ ْ ﻻ َ ﻒ َو َ ﻦ ُﻣ ْﺆﻟَ ٌ َاْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ُ ﺴِﻠ ٍﻢ ت آَﻔﱠﺎرٌَة ِﻟ ُﻜﻞﱢ ُﻣ ْ َاْﻟ َﻤ ْﻮ ُ ﺲ ﺳﻬَﺎ ِم ِإ ْﺑِﻠ ْﻴ َ ﻦ ِ ﺴ ُﻤ ْﻮ ٌم ِﻣ ْ ﻈ َﺮ ُة ﺳَ ْﻬ ٌﻢ َﻣ ْ اَﻟﻨﱠ ْ ﻦ ﻦ ﺷَﺎ َء ِﻣ ْ ب َﻣ ْ ﷲ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ِ ﺿ َﻌﻬَﺎ ا ُ ﺣ َﻤ ٌﺔ َو َ َه ِﺬ ِﻩ َر ْ ﺣﻤَﺎ َء ﻻ اﻟ ﱡﺮ َ ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ِإ ﱠ ﻦ ِ ﺣ ُﻢ اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣ ْ ﻻ َﻳ ْﺮ َ ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ َو َ ِ ف اﻟﱠﻠ ْﻴَﻠ َﺔ ﻞ َﻟ ْﻢ ُﻳﻘَﺎ ِر ْ ﺟٌ ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ رَ ُ َه ْ ﺠﱠﻨ َﺔ ﺣَﺘﱠﻰ ُﺗ ْﺆ ِﻣُﻨﻮْا ﺧﻠُﻮا اْﻟ َ ﻻ َﺗ ْﺪ ُ ﻲ ِﺑَﻴ ِﺪ ِﻩ َ ﺴ ْ ي َﻧ ْﻔ ِ َو اﱠﻟ ِﺬ ْ ب ن ِآﺘَﺎ َ ﷲ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ َ تا ِ ﻦ ُﺑُﻴ ْﻮ ِ ﺖ ِﻣ ْ ﻲ َﺑ ْﻴ ٍ ﺟَﺘ َﻤ َﻊ ﻗَ ْﻮ ٌم ِﻓ ْ َوﻣَﺎا ْ ﺴ ِﻜ ْﻴَﻨ ُﺔ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱠ ﺖ َ ﻻ َﻧ َﺰَﻟ ْ ﺳ ْﻮَﻧ ُﻪ َﺑ ْﻴَﻨ ُﻬ ْﻢ ِإ ﱠ ﷲ َوَﻳَﺘﺪَا َر ُ اِ ﻏ ِﻔ َﺮ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ﺣِﺘﺴَﺎﺑًﺎ ُ ن ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ وَا ْ ﻦ ﺻَﺎ َم َر َﻣﻀَﺎ َ َو َﻣ ْ ﻦ َذ ْﻧِﺒ ِﻪ َﺗ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ْ ﻄ ْﻴ ُﻊ ﺴَﺘ ِ ﻦ َﻳ ْ َو َﻣ ْ ﻞ َﻟ ُﻪ ﺤ َﻜ ُﻬ ْﻢ وَ ْﻳ ٌ ﻀِ ب ِﻟُﻴ ْ ث اْﻟ َﻘ ْﻮ َم ُﺛﻢﱠ َﻳ ْﻜ ِﺬ ُ ﺤﺪﱢ ُ ي ُﻳ َ ﻞ ﱢﻟﱠﻠ ِﺬ ْ وَ ْﻳ ٌ ﻞ َﻟ ُﻪ وَ ْﻳ ٌ ﻦ َﻗﺮَأهَﺎ وَﻟ َﻢ َْﻳَﺘ َﻔ ﱠﻜ ْﺮ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ ﻞ ِﻟ َﻤ ْ وَ ْﻳ ٌ ﻼ ِة ﺼَ ﺣﻨَﺎ ﺑِﺎﻟ ﱠ ل َأ ِر ْ ﻼُ ﻳَﺎ ِﺑ َ ت ﺐ اْﻟ َﻌَﺒﺮَا ُ ﺴ َﻜ ُ ﻋ َﻤ ُﺮ ه ُﻬﻨَﺎ ُﺗ ْ ﻳَﺎ ُ ﻋﺪﱡوا ﻞ هَﺬَا َﻓَﺄ ِ ﺧﻮَاﻧِﻲ ِﻟ ِﻤ ْﺜ ِ ﻳَﺎ ِإ ْ ﻄ َﻊ ن ﺣَﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ َﻘ ِ ﻞ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻓَﻴ ْﺒ ُﻜ ْﻮ َ ﻋﻠَﻰ َأ ْه ِ ﻞ اْﻟُﺒﻜَﺎ ُء َ ﺳُ ُﻳ ْﺮ َ ع اﻟﺪﱡ ُﻣ ْﻮ ُ 23
24
BAB I
PENDAHULUAN Pokok Permasalahan Ketika kita memperhatikan beragam hasil ciptaan Allah swt., nyatalah bahwa manusia merupakan sosok makhluk yang paling sempurna sekaligus unik ketimbang makhluk lainnya. Apa yang ada dalam diri manusia, baik secara fisik maupun psikis, senantiasa menarik untuk dikaji. (QS.Fussilat/41:53) Satu di antara fenomena anfus yang tersirat dalam QS.Fussilat/41:53 tersebut adalah “menangis”. Dengan demikian, menangis (al-bukâ) merupakan salah satu sunnatullah (law of nature) terhadap kejiwaan manusia.1 Jika selama ini dalam pandangan mayoritas masyarakat, menangis selalu diidentikkan dengan “kecengengan” atau “keputusasaan”, sebuah predikat negatif di mata umum, ternyata tidaklah demikian dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis. Sungguh menarik, ternyata dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah SWT. menegaskan bahwa di antara karakteristik orang-orang yang beriman adalah mereka yang senantiasa menyungkurkan muka untuk bersujud sambil menangis setiap kali mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Allah menyatakan bahwa para nabi serta orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan terpilih, apabila mendengar ayat-ayat Allah swt., mereka menyungkur dengan bersujud sambil menangis (QS.al-Isrâ/17:109 & QS.Maryam/19:58) Menurut Syeikh Muh. ‘Ali al-Sâbûnî, hal ini terjadi karena dalam diri mereka timbul rasa takut (khasy-yah) kepada Allah. Begitulah
keadaan orang-
orang yang mempunyai derajat yang tinggi dan kebersihan jiwa (nafs) di sisi Allah swt. Pernyataan Allah tersebut, ungkap al-Qurtubî, sekaligus menjadi
1
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 7
25
petunjuk (dalâlah) bahwa ayat-ayat al-Qur’an mampu memberikan pengaruh kepada kalbu manusia.2 Jika demikian gambaran umum (deskripsi global) al-Qur’an tentang menangis, lalu bagaimana pula gambaran atau konsep hadis yang merupakan penjelas (mubayyin) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam masalah ini: memerintah, melarang, atau membiarkan begitu saja? Bagaimana realitas kehidupan Rasulullah saw. yang dikenal sebagai manusia paripurna (insan kâmil) dalam perilakunya sehari-hari? Kajian tangisan-tangisan Rasulullah saw. menjadi menarik karena beliau tidak sekedar sebagai tokoh bagi dunia Arab atau tokoh bagi umat Islam saja, tetapi juga tokoh berpengaruh yang menjadi sorotan dunia sejak beliau dilahirkan hingga dunia berakhir. Segala tindak-tanduknya menjadi pusat perhatian kawan maupun lawan, muslim ataupun nonmuslim. Segenap sisi kehidupan beliau dicatat dan diingat untuk dijadikan pelajaran sebagai teladan hidup manusia. Umat Islam periode awal (sahabat) telah menjadikan Rasulullah saw. sebagai pusat keagamaan dan keduniawian mereka sejak Allah swt. memberi petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kegelapan menuju hidayah dan cahaya. Perkataan, perbuatan, dan segala gerakgerik beliau adalah
pusat perhatian dan kekaguman mereka (QS. al-
Ahzâb/33:21).3 Sikap seperti ini selanjutnya diestafetkan kepada generasi-generasi berikutnya sehingga tercatatlah dalam sejarah berpuluh-puluh, bahkan ratusan 2
Muh. ‘Ali al-Sâbûnî Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999/1420), Jilid 2, h. 221 3 Mustafâ al-Sibâ’î, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid (Jakarta:Pustaka Firdaus,1991), h. 13
26
riwayat yang menerangkan sifat dan pribadi beliau. Sifat anggota badan Nabi, keringat Nabi, rambut Nabi, janggut Nabi, sorban Nabi, jubah Nabi, senyuman Nabi, sifat pemaaf Nabi, termasuk dalam hal ini adalah tangisan Nabi, serta sifatsifat lainnya, baik yang berhubungan dengan perangai (khuluq) ataupun yang berhubungan dengan gambaran fisik (khalq), dicatat dan menjadi pusat pembahasan umat.4 Sebagai teladan yang telah dibakukan dan dilegalkan keabsahannya melalui firman Ilahi yang tidak diragukan kebenarannya, maka dapat pula dipastikan kualitas (mâhiyah) kepribadian hidup beliau. Beliau adalah orang pertama yang mengimplementasikan segala titah al-Qur’an. Beliau adalah sosok manusia yang perangainya, sebagaimana
pernyataan ‘Aisyah r.a., adalah al-
Qur’an.5 Apabila beliau memerintah, maka beliaulah orang pertama yang melakukannya. Apabila beliau melarang untuk mengerjakan sesuatu, maka beliau pula
orang pertama yang meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan
menangis. Melalui sabda-sabda mulianya, beliau hendak mengajarkan umatnya membiasakan menangis dalam mengisi saat-saat keberagamaan, bukan dengan canda dan gelak tawa. Suatu ketika, sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) dari Abdullâh bin Mas’ûd (w. 32 H.), bahwa Rasulullah saw. meminta kepada Abdullâh bin Mas’ûd r.a. untuk membacakan al-Qur’an baginya. Iapun memenuhi permintaan tersebut dengan membacakan surat al-Nisâ. Ketika sampai pada ayat, 4
Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Jilid 7, hal.211-321 5 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz 4, h. 402
27
“Maka
bagaimanakah
(halnya
orang-orang
kafir
nanti),
apabila
Kami
mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka (sebagai umatmu).” (QS.4:41), beliau berkata: “Tahanlah!” Ketika itu, tampaklah kedua mata beliau mencucurkan air mata.6 Pada kesempatan yang lain, tatkala putra beliau (Ibrâhîm) meninggal dunia, beliau menitikkan air mata.7 Rasulullah saw. adalah manusia yang paling empati dan paling mudah menangis saat melihat penderitaan orang lain. Suatu hari seorang sahabat menginformasikan kepada beliau bahwa ada seorang sahabat lain yang anaknya sedang mengalami sakaratul maut. Lalu anak itu diserahkan dan diletakkan di atas pangkuan beliau. Melihat penderitaan anak tersebut, Rasulullah saw. menangis.8 Siti ‘Aisyah r.a., istri tercinta beliau, pernah pula menyaksikan suami tercintanya tersebut menangis terisak-isak saat menegakkan qiyamulail, yang oleh Siti ‘Aisyah, kejadian malam tersebut dianggap sebagai kejadian yang mempesona.9 Tangisan-tangisan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. bukanlah lambang keputusasaan dan kecengengan. Tangisan-tangisan tersebut adalah tangisan yang terjadi karena kelembutan dan kebeningan hati beliau. Tangisan Nabi yang terjadi di tengah masyarakat adalah tangisan kasih sayang (tangisan empati). Dan tangisan Nabi saat shalat adalah karena kekhusyuan merasakan
6
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitab Fadâ’il al-Qur’ân Bab Qaul al-Muqri li alQâri hasbuk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 114 7 Ibid, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bab Qaul al-Nabi saw. Innâ bik lamahzûnûn, h. 85 8 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî al-Bukâ ‘alâ alMayyit, no. hadis1588, (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth) , h. 506 9 Ibn Katsîr, op.cit., Juz 1, h. 440; Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 20
28
keagungan Allah swt. Keduanya adalah tangisan bermakna yang berkualitas dan dapat mendekatkan diri kepada Allah. Keharmonisan hubungan vertikal dengan Sang Khaliq (silah billâh) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (sila bin nâs) merupakan wujud dari kesalihan pribadi, dan ini secara tegas dan jelas tergambar dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Tangisan-tangisan beliau adalah tangisan ibadah yang sarat muatan makna. Tangisan-tangisan beliau adalah tangisan ‘abdun sâlih yang dekat dengan Rabb-nya. Tangisan-tangisan beliau adalah tangisan yang memberikan implikasi positif dalam kehidupan, tangisan spiritual yang menimbulkan sikap optimis (rajâ) menghadapi hidup, dan memberikan kesehatan mental beliau. Di sisi lain ditemukan banyak Hadis (menurut hitungan penulis berjumlah 71 riwayat) yang secara tegas menyebutkan bahwa tangisan orang yang masih hidup terhadap mayit akan menambah siksaan mayit tersebut. Padahal ditemukan pula ayat yang secara zâhiriyah menegaskan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain (QS al-An’âm:164; al-Isrâ:15; Fatir:18; al-Zumar:7; al-Najm:38; al-Zalzalah:78) Oleh karena itu, jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî, Ibrâhîm alHarbi dari kalangan ulama bermazhab Syâfi’î, termasuk Imam al-Nawawî (w.675 H.) mentakwilkan bahwa siksaan itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada keluarganya agar mayatnya diratapi. Sedangkan jika keluarga yang menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,10 karena hal ini merupakan rahmat Allah. Imam al-Nawawî menambahkan bahwa ulama sepakat yang dimaksud 10
dengan tangisan yang melahirkan siksaan adalah “Tangisan yang
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h.
506
29
disertai dengan suara keras dan teriakan”, bukan semata-mata deraian air mata.11 Inilah sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela. Ada pula yang memahami bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi orangorang kafir, Yahudi, atau pelaku dosa lainnya sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dan ‘Aisyah (w.57 H.). Sedang huruf “ba” sendiri tidak
dipahami
sebagai
bermakna
“sebab”,
tetapi
musahabah”
(berbarengan/menyertai) sehingga maknanya adalah bahwa orang-orang kafir, Yahudi,
atau pelaku dosa lainnya disiksa pada saat keluarganya menangisi
kematiannya, bukan ia disiksa karena tangisan keluarganya. Demikian ungkap Imam al-Suyûtî (w. 911 H.).12 Dengan demikian, Rasulullah saw. melalui hadis-hadisnya tidak memandang sama terhadap semua tangisan yang dilakukan atau dialami oleh seseorang. Motif atau niat serta tujuan seseorang melakukan tangisan merupakan landasan untuk menyatakan nilai tangisan seseorang. Islam tidak menginginkan seseorang melakukan tangisan “apa adanya”, tetapi juga “bagaimana seharusnya” sehingga, sebagaimana yang disebutkan di atas, tangisan seseorang menjadi bernilai ibadah yang mendapatkan ridha Allah. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam tesis ini adalah bagaimana sesungguhnya menangis dalam konsep hadis. Lebih khusus lagi, tesis ini akan mengkaji tangisan Rasulullah saw. selama hidupnya.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
11
Ibid al-Suyûtî, Syarh Sunan al-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 4, h. 18; al-Nawawî, loc.cit. 12
30
Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, posisi hadis sangat strategis dalam membicarakan dan memecahkan sebuah persoalan yang terjadi, termasuk dalam masalah menangis ini. Sebagai sebuah fenomena kejiwaan, banyak persoalan yang muncul di seputar menangis ini. Disebabkan kesempatan dan kemampuan yang terbatas, tesis ini secara khusus akan menjawab persoalan berikut ini: Bagaimana hukum dan macam-macam menangis Bagaimanakah keterkaitan antara menangis dengan kesalihan atau kesucian hati seseorang? Selain itu, dalam mengkaji masalah menangis dalam pandangan hadis ini, penulis akan menggunakan sumber rujukan (al-kutub al-asliyyah) kepada al-kutub al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq. Penambahan dua jenis kitab yang terakhir ini dilakukan karena masalah menangis sangat terkait dengan persoalan hati. Sementara masalah hati ini banyak dibahas dalam keduanya.
C. Kajian Pustaka Rasulullah saw. dengan hadis-hadisnya akan selalu menarik perhatian banyak pemerhati untuk melakukan kajian terhadapnya. Berbagai sisi kehidupan beliau: cara berpakaian, cara makan, cara berjalan, sorban yang dikenakan, keringat yang dikucurkan, senyum-senyum yang dihadirkan, canda-canda beliau, dan sebagainya, selalu menarik untuk dicermati dan dihayati.
31
Sejauh pelacakan penulis, belum ada suatu buku atau karya ilmiah yang mengungkap persoalan ini secara khusus. Beberapa tulisan yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan ini adalah: 1. Buku berjudul “Apa Arti Tangisan Anda” karya Drs. Abdul Mujib, M.Ag. yang dalam pembahasannya juga menyitir beberapa hadis masyhur tentang menangis. 2. Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa bukunya: a. Reformasi Sufistik dalam sub pembahasan “Tobat Nasional dan Tabaki”; b. Meraih Cinta Ilahi dalam sub pembahasan “Menghidupkan Kembali Tradisi Menangis”; c. Renungan-renungan Sufistik dalam sub pembahasan “Mencari Kenikmatan Shalat”. Selain itu, penulis juga menemukan sebuah buku karya Nasy’at al-Masri yang secara khusus membahas tentang senyuman-senyuman Rasulullah saw. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan judul “Senyumsenyum Rasulullah” itu diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Press. Sementara tentang tangisan-tangisan beliau, belum penulis temukan. Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk mengkaji persoalan menangis ini dengan merujuk kepada kitab-kitab di atas. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, penulis akan menggunakan kitab-kitab syarh (penjelas) atas kitab-kitab hadis tersebut, selebihnya tentu akan digunakan penalaran penulis sendiri. Pembahasan juga akan disempurnakan dengan berbagai kitab tafsir yang menjelaskan beberapa buah ayat tentang menangis.
32
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan menghimpun berbagai informasi dalam hadis tentang menangis. Dari informasi yang terhimpun diharapkan akan menghasilkan nilai guna sebagai berikut: 1. Hasil kajian tentang menangis dalam konsep hadis diharapkan menjadi pengetahuan yang memperkaya khazanah keislaman, khususnya di bidang hadis dan juga sejarah (târîkh). 2. Diharapkan umat Islam dapat membedakan antara menangis yang berkualitas sehingga dianjurkan atau bahkan diperintahkan untuk dilakukan dengan menangis yang tidak berkualitas atau bahkan menyesatkan sehingga harus ditinggalkan. 3. Melalui penelitian ini diharapkan umat Islam dapat mengikuti dan membiasakan menangis yang dianjurkan sebagaimana gambaran di atas dengan melakukan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Sebagai kelanjutan dari poin ketiga di atas, diharapkan agar umat Islam yang bersih jiwanya akan mampu memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain sehingga akan terwujud Islam sebagai rahmah li al-‘âlamîn.
E. Metodologi Dalam membahas permasalahan menangis ini, penulis sepenuhnya melakukan studi kepustakaan (library research) dengan sumber utama al-kutub al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq. Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 33
1. Penulis akan mengumpulkan seluruh hadis yang yang menggunakan term menangis, seperti: al-bukâ, dama’at ‘ainâh, fâdat ‘ainâh, dzarafa, ‘abara, inhamala, dan anîn, serta derivasi dari kata-kata tersebut; dari penelusuran penulis terhadap kitab-kitab di atas, penulis berhasil menemukan kurang lebih 484 hadis yang terkait dengan menangis; 2.
Langkah selanjutnya, penulis akan mengklasifikasikan Hadis-hadis tersebut sesuai dengan temanya; Dan dari 484 Hadis yang ada, penulis menemukan 173 Hadis yang menjadi pokok pembahasan, baik yang berbentuk verbal (qaul) ataupun praktis (fi’il);
3. Khusus
untuk Hadis-hadis menangis yang terkait langsung dengan
kepribadian Nabi Muhammad saw., penulis akan mengkajinya secara khusus dan lebih mendalam, karena di sinilah inti pembahasan tesis ini; 4. Dan terakhir, penulis akan mengkorelasikan antara menangis dengan kesalehan pribadi. Tentunya pada langkah ini, akan dipaparkan juga beberapa kiat untuk menyucikan hati sebagai sebuah upaya untuk dapat melakukan tangisan yang bermakna yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw., para sahabat, dan orang-orang salih. Dalam tesis ini penulis tidak memberikan penilaian kualitas setiap Hadis yang dicantumkan. Jika yang dicantumkan adalah riwayat Imam al-Bukhârî dan Imam Muslim, maka hadis itu telah dianggap sahih. Namun, jika bersumber dari kitab lain, maka penulis hanya akan menyampaikan penilaian dari ulama, dan itupun tidak semuanya. Untuk mendapatkan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan dari Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab di atas, penulis akan merujuk kepada
34
kitab-kitab syarh. Selain dari itu, ada sumber-sumber lain yang digunakan sebagai referensi penunjang, terutama yang langsung terkait dengan pembahasan tesis ini, seperti kitab-kitab tafsir, tasauf, dan sejarah.
F. Sistematika Pembahasan Penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab yang semuanya berisi hal-hal pentingyang berhubungan dengan menangis. Bab pertama adalah Pendahuluan yang berisi tentang penjelasan umum seputar tesis. Bab ini terdiri dari: Pokok Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metodologi, dan Sistematika Pembahasan. Bab kedua membahas menangis dalam pandangan Islam. Pada bab ini akan dijelaskan pengertian menangis, macam-macam menangis, menangis dalam perspektif Al-Quran, dan antara menangis dan tertawa. Bab ketiga akan membahas menangis dalam konsep Hadis. Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan Berbagai tangisan yang pernah terjadi pada diri Rasulullah saw., macam-macam tangisan dilihat dari sisi hukum, dan keutamaan menangis. Bab keempat berjudul menangis dengan kesalehan pribadi. Bab ini terdiri dari pengertian dan karakterisitik kesalehan serta menyucikan hati sebagai upaya membiasakan menangis. Sedangkan bab kelima sebagai bab terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan tesis ini dan saran.
35
BAB II MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM
Pengertian Menangis Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” disebutkan bahwa “tangis” atau “menangis” diartikan sebagai ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal, dan lain-lain) dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit, dan sebagainya).13 al-Syaikh al-Tabarsî (w. 546 H.) dalam kitab “Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân” mendefinisikan menangis (al-bukâ) sebagi berikut:
ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﺨ ﱢﺪ َ ع ِ ي اﻟ ﱡﺪ ُﻣ ْﻮ ِ ﻏ ﱟﻢ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻮ ْﺟ ِﻪ َﻣ َﻊ َﺟ ْﺮ َ ﻦ ْﻋ َ ﺾ َﻳ ْﻈ َﻬ ُﺮ ُ ﺣَﺎ ٌل ُﺗ ْﻘ َﺒ “Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”14 Pengertian menangis di atas meniscayakan adanya cucuran atau tetesan air mata dari orang yang menangis. Hal ini berbeda dengan pengertian sedih atau duka cita. Term sedih dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” diartikan sebagai: (1) susah hati; merasa sangat pilu di hati; (2) menimbulkan rasa susah (pilu, dan sebagainya) dalam hati; duka.15 Sedangkan “duka cita” sendiri diartikan sebagai: kesedihan (hati); kesusahan (hati).16 Dalam ungkapan lain, “menangis” (weep) diartikan sebagai “to sheed tears as expression of emotion.” (Mencucurkan air mata sebagai ungkapan emosi). Atau “to express grief or anguish for lament” (Ungkapan kesedihan atau penderitaan karena meratap atau menyesal). 13
1139
Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, , (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.II, h.
14
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fī Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Juz 5, h. 90 Ibid, h. 889 16 Ibid, h. 245 15
36
Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa ekspresi menangis terkadang diwujudkan oleh gejala-gejala lahiriah, seperti cucuran air mata, isakan atau lengkingan suara yang keluar dari mulut, mata berkaca-kaca, keluarnya ingus dari hidung, ataupun gerakan-gerakan tangan, kaki, atau kepala yang tak beraturan dan tak bertujuan. Terkadang ekspresi menangis terpendam dalam batin, yang tampak hanyalah kemurungan dan kelesuan wajah.17 Menangis, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah sesuatu yang telah dipahami secara umum oleh masyarakat. Karena menangis adalah fenomena keseharian yang acap kali disaksikan dalam realitas kehidupan. Dalam litertur utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis, ditemukan beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada pengertian menangis ini. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fâdat al-‘ain/al-a’yun/al-’uyûn (bercucuran air mata) dan segala derivasinya Kata “fāda” pada asalnya dinisbahkan kepada kata “al-mâ” (air). Orang akan mengatakan “fâda al-mâ” (Air melimpah) jika air itu banyak sehingga mengalir sampai ke tepian lembah. Jika dikatakan “Afâdat al-‘ain al-dam’a tufîduhu ifâdah” maka maknanya adalah: Mata mencucurkan air mata yang banyak. Contoh kalimat yang lain adalah: a). Afâda fulân dam’ah, yang artinya “Si Fulan mencucurkan air matanya.”
17
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.I,
h. 1
37
b). Fâd al-mâ wa al-matar wa al-khair idzâ katsura, yang artinya “Air, hujan, dan kebaikan melimpah, jika banyak.” Dalam sebuah Hadis disebutkan “yafîd al-mâl” yang artinya “Harta melimpah”. Maksudnya adalah banyak (yaktsuru).18 Di dalam al-Qur’an, kata ini (fâda) ditemukan pada dua tempat dan keduanya dalam bentuk fi’il mudâri’ (tafīdu) serta dinisbahkan kepada lafal ‘a’yun”. Kedua ayat tersebut adalah:
ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ ِﻣﻤﱠﺎ َ ﺾ ِﻣ ُ ﻋ ُﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ ْ ل َﺗﺮَى َأ ِ ل ِإﻟَﻰ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﺳ ِﻤﻌُﻮا ﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ َ َوِإذَا
ﻦ َ ن َر ﱠﺑﻨَﺎ ءَا َﻣﻨﱠﺎ ﻓَﺎ ْآ ُﺘ ْﺒﻨَﺎ َﻣ َﻊ اﻟﺸﱠﺎ ِهﺪِﻳ َ ﻖ َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ﺤﱢ َ ﻦ ا ْﻟ َ ﻋ َﺮﻓُﻮا ِﻣ َ Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) . (QS.al-Maidah/5:83)
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮﱠﻟﻮْا َ ﺣ ِﻤُﻠ ُﻜ ْﻢ ْ ﺟ ُﺪ ﻣَﺎ َأ ِ ﻻ َأ َ ﺖ َ ﺤ ِﻤَﻠ ُﻬ ْﻢ ُﻗ ْﻠ ْ ك ِﻟ َﺘ َ ﻦ ِإذَا ﻣَﺎ َأ َﺗ ْﻮ َ ﻋﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﻻ َ َو
ن َ ﺠﺪُوا ﻣَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ ِ ﻻ َﻳ ﺣ َﺰﻧًﺎ َأ ﱠ َ ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ َ ﺾ ِﻣ ُ ﻋ ُﻴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ ْ َوَأ dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.al-Taubah/9:92) Sedangkan dalam Hadis, contohnya adalah sebagai berikut:
ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ ْ ﺳَﻠ َ َأ ْرρ ﻲ ن ا ْﺑ َﻨ ًﺔ ﻟِﻠ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َأ ﱠ َ ﷲ ِ ﻲا َﺿ ِ ﻦ َز ْﻳ ٍﺪ َر ِ ﻦ ُأﺳَﺎ َﻣ َﺔ ْﺑ ْﻋ َ ن ا ْﺑ َﻨﺘِﻲ َﻗ ْﺪ ﺐ َأ ﱠ ُ ﺴ ِﺤ ْ ﻲ َﻧ ﺳ ْﻌ ٌﺪ َوُأ َﺑ ﱞ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﻲ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﻋﻄَﻰ ْ ﺧ َﺬ َوﻣَﺎ َأ َ ن ِﻟﱠﻠ ِﻪ ﻣَﺎ َأ ل ِإ ﱠ ُ ﻼ َم َو َﻳﻘُﻮ َﺴ ﻞ ِإَﻟ ْﻴﻬَﺎ اﻟ ﱠ َﺳ َ ﺷ َﻬ ْﺪﻧَﺎ َﻓَﺄ ْر ْ ت ﻓَﺎ ْ ﻀ َﺮ ِ ﺣ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َم َ ﺴ ُﻢ ِ ﺖ ُﺗ ْﻘ ْ ﺳَﻠ َ ﺼ ِﺒ ْﺮ َﻓَﺄ ْر ْ ﺐ َو ْﻟ َﺘ ْ ﺴ ِ ﺤ َﺘ ْ ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ ُﻣﺴَﻤًّﻰ َﻓ ْﻠ َﺘ ِ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ َو ُآﻞﱡ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﻲ ﺠ ِﺮ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﺣ َ ﻲ ﻓِﻲ ﺼ ِﺒ ﱡ َو ُﻗ ْﻤﻨَﺎ َﻓ ُﺮ ِﻓ َﻊ اﻟ ﱠρ ﻲ ﷲ ِ لا َ ل َﻟ ُﻪ ﺳَ ْﻌ ٌﺪ ﻣَﺎ َهﺬَا ﻳَﺎ َرﺳُﻮ َ َﻓﻘَﺎρ ﻲ ﻋ ْﻴﻨَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﺖ ْ ﺿ َ ﺴ ُﻪ َﺗ َﻘ ْﻌ َﻘ ُﻊ َﻓﻔَﺎ ُ َو َﻧ ْﻔ ﺣ ُﻢ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻻ َﻳ ْﺮ َ ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ َو ِ ﻦ ْ ﻦ ﺷَﺎ َء ِﻣ ْ ب َﻣ ِ ﷲ ﻓِﻲ ُﻗﻠُﻮ ُ ﺿ َﻌﻬَﺎ ا َ ﺣ َﻤ ٌﺔ َو ْ ل َه ِﺬ ِﻩ َر َ ﻗَﺎ ﺣﻤَﺎ َء َ ﻻ اﻟ ﱡﺮ ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ِإ ﱠ ِ ﻦ ْ ِﻣ 18
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), Cet. I, Juz 7, h. 210
38
Dari Usâmah bi Zaid r.a. (berkata): Sesungguhnya seorang anak perempuan Nabi saw. mengirimkan pesan kepada Nabi saw.saat beliau bersama Sa’ad dan Ubay bin ka’ab. (Isi pesannya) ‘Kami menduga bahwa ajal anak saya telah tiba, maka saksikanlah kami.’ Lalu Rasulpun mengirimkan salam kepadanya dan bersabda, “Sesungguhnya apa yang diambil dan apa yang diberi adalah milik Allah. Segala sesuatu di sisi-Nya telah ada ketentuannya, maka harapkanlah ridha Allah dan bersabarlah. Lalu Nabi saw. berdiri dan anak kecil yang tengah sakit itu diletakkan di pangkuan beliau. Tak berapa lama kemudian, tubuh beliau bergetar dan air matapun bercucuran. Melihat hal ini, Sa’d bertanya, “Ya Rasulullah, apa artinya ini?”19 Beliau menjawab, “Ini adalah (tanda) kasih sayang yang disemayamkan oleh Allah ke dalam kalbu orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Allah tidak akan melimpahkan kasih sayang kecuali kepada orang-orang yang menyayangi (sesama).”(H.R. al-Bukhârî)20 2. Dami’at al-‘ainân (Bercucuran air mata) dan segala derivasinya. Term “al-dam’” ini sejak awal penggunaannya memang dinisbahkan kepada kata “al-‘ainân”. al-Dam’u yang bentuk jamaknya (plural) adalah “admu’” dan “dumû’” bermakna air mata (mâ al-‘ain) Sedangkan orang yang mudah menangis atau mencucurkan air mata disebut “al-dami’/al-dammâ’/aldamû’/al-damî’”. Imam Husein bin Zaid bin Ali ridwânullâh alaihim mendapatkan gelar (laqab) “dzû al-dam’ah” (Pemilik tetesan air mata) karena seringnya atau banyaknya tetesan air mata yang keluar dari kedua kelopak matanya.21 Dalam al-Qur’an, kata “al-dam’u” ditemukan pada dua tempat, yaitu dalam surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92 sebagaimana yang telah dicantumkan pada poin pertama (fâda). Pada kedua ayat tersebut, term “al-dam’” digunakan dalam bentuk masdar, yaitu “al-dam’” dan dinisbahkan kepada kata “tafîdu”. Dan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), lafazh “min”
19
Pertanyaan Sa’d ini muncul karena beliau pernah mendengar Rasulullah melarang menangisi orang yang akan atau telah meninggal dunia. 20 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Mardâ wa al-Tibb Bâb ‘Iyâdah al-Sibyân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 5 21 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid 8, hal.91
39
yang mendahului kata “al-dam’i” pada kedua ayat tersebut bermakna “li al-ajl wa al-sabab” (sebab).22 Dalam literatur Hadis, term “ad-dam’” ditemukan dalam berbagai bentuk: mâdi/past tense (dami’at), mudâri/present tense (tadma’ân), dan mashdar/noun (al-dam’, dam’uh, dan sebagainya). Sebagai contoh, berikut ini akan dicantumkan salah satu Hadis yang menggunakan kata tersebut:
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َ ن َأ ْﻗ َﺮَأ ْ َأρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ﻲ َر ْ ﷲ َأ َﻣ َﺮ ِﻧ ِ ﻋ ْﺒ ُﺪ ا َ ل َ ل َﻗﺎ َ ﻋ ْﻠ َﻘ َﻤ َﺔ َﻗﺎ َ ﻦ ْﻋ َ ﻒ ِا َذا َ ﺖ ) َﻓ َﻜ ْﻴ ُ ﻰ ِإذا َﺑَﻠ ْﻐ ﺣﺘ ﱠ َ ﺴﺎ ِء َ ﺳ ْﻮ َر ِة اﻟ ﱢﻨ ُ ﻦ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِﻣ َ ت ُ َﻓ َﻘ َﺮ ْأ,ﻋَﻠﻰ ا ْﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ ِﺮ َ َ ﻚ َ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﺑ ِ ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ َو َ ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ ﻦ ُآ ﱢ ْ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ ِ ل ُ ﺳ ْﻮ ُ ﻲ َر ْ ﻏ َﻤ َﺰ ِﻧ َ ( ﺷ ِﻬ ْﻴ ًﺪا َ ِ ﻻء َ ﻋَﻠﻰ ه ُﺆ ن ِ ﻋ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺪ َﻣﻌَﺎ َ ت ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َو ُ ﻈ ْﺮ َ َ َﻧρ ﷲ ِ ا Dari ‘Alqamah ia berkata: Abdullâh berkata: Aku diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk membacakan (al-Qur’an) untuknya, dan ketika itu beliau berada di atas mimbar. Maka, akupun membacakan untuknya dari surat AnNisa. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “ Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiaptiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). “, Rasulullah saw. memberikan isyarat kepadaku dengan tangannya (agar aku menghentikan bacaanku sesaat). Tatkala aku menoleh dan memperhatikannya, terlihatnya kedua matanya berlinang air mata. (H.R. al-Tirmidzî).23 3. al-Bukâ Dalam “Kamus kontemporer Arab-Indonesia” karya Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-Munawwir” karya Ahmad Warson M., kata “al-bukâ” diartikan sebagai ratapan atau tangisan.24 Menurut al-Farrâ (w. 207 H.), kata ini dapat dibaca panjang (yumadd) dan dapat pula dibaca pendek (yuqassar). Jika dibaca panjang ()ﺑﻜﺎء, maka yang dimaksud adalah suara yang mengiri tangisan ( 22
اﻟﺼﻮت اﻟﺬي ﻳﻜﻮن ﻣﻊ
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1414 H./1994), Jilid 10, h. 233 al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân, no. hadis 3213, (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 304 24 Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor , Kamus kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1998), Cet.V, h. 346; Ahmad Warson M, Kamus AlMunawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet.XIV, h. 103 23
40
)اﻟﺒﻜﺎء. Sedangkan jika dibaca pendek ()ﺑﻜﻰ, maka yang dimaksud adalah “air mata dan keluarnya air mata ( )اﻟﺪﻣﻮع وﺧﺮوﺟﻬﺎ. 25 Abu Zaid pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang ditujukan kepada Ka’ab bin Malik:
وﻣﺎ ﻳﻐﻨﻰ اﻟﺒﻜﺎء وﻻ اﻟﻌﻮﻳﻞ
ﺑﻜﺖ ﻋﻴﻨﻲ وﺣﻖ ﻟﻬﺎ ﺑﻜﺎهﺎ
“Mataku menitikkan air mata, dan itu memang haknya. Akan tetapi, tangisan dan ratapan itu tidak memberikan arti apa-apa.” Al-Khansa juga pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang di dalamnya digunakan kata “al-bukâ” yang dipanjangkan (yaitu
)اﻟﺒﻜﺎء.
Sya’ir tersebut
berbunyi:
ﻓﻤﻦ ذاﻳﺪﻓﻊ اﻟﺨﻄﺐ اﻟﺠﻠﻴﻼ دﻓﻌﺖ ﺑﻚ اﻟﺨﻄﻮب وأﻧﺖ ﺣﻲ رأﻳﺖ ﺑﻜﺎءك اﻟﺤﺴﻦ اﻟﺠﻤﻴﻼ إذا ﻗﺒﺢ اﻟﺒﻜﺎء ﻋﻠﻰ ﻗﺘﻴﻞ Aku serahkan segala urusan kepadamu saat engkau masih hidup (Setelah kematianmu) kepada siapakah segala urusan besar diserahkan? Jika menangisi orang yang terbunuh dianggap buruk Maka aku yakin bahwa menangisi (kematian)-mu adalah baik dan indah Orang yang sering menangis disebut “bakiyyun” ( )ﺑﻜﻲatau “bakkâ” ()ﺑﻜﺎ.26 Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa menangis dalam pengertian “al-bukâ” meniscayakan adanya tetesan atau cucuran air mata yang keluar dari kedua kelopak mata. Untuk memperjelas hal ini, Syaikh Abu ‘Ali al-Fadl bin al-Hasan al-Tabarsî (w. 548 H.) mendefiniskan “al-bukâ’ (menangis) sebagai berikut;
ﺨ ﱢﺪ َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َ ع ِ ي اﻟ ﱡﺪ ُﻣ ْﻮ ِ ﺟ ْﺮ َ ﺟ ِﻪ َﻣ َﻊ ْ ﻏ ﱟﻢ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻮ َ ﻦ ْﻋ َ ﻈ َﻬ ُﺮ ْ ﺾ َﻳ ُ ل ُﺗ ْﻘ َﺒ ٌ ﺣَﺎ “Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”27
25
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Jilid 14, h. 82 Ibid, h. 83 27 al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fī Tafsîr al-Qur’ân, Juz 5 h. 90 26
41
Dalam nas-nas agama, nampaknya istilah inilah yang paling poluler dan paling banyak digunakan. Di dalam al-Qur’an saja, kata “al-bukâ” dengan segala bentuknya ditemukan dalam tujuh tempat, yaitu: QS.al-Taubah:82, Yûsuf:16, al-Isrâ:109, Maryam:58, al-Najm:43 & 60, dan al-Dukhân:29. Sebagai contoh, berikut ini akan dikutip dua ayat dari ketujuh ayat di atas:
ن َ ﺴﺒُﻮ ِ ﺟﺰَا ًء ِﺑﻤَﺎ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻜ َ ﻼ َو ْﻟ َﻴ ْﺒﻜُﻮا َآﺜِﻴﺮًا ً ﺤﻜُﻮا َﻗﻠِﻴ َﻀ ْ َﻓ ْﻠ َﻴ
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.al-Taubah/9:82)
ﺣ َﻤ ْﻠﻨَﺎ َﻣ َﻊ َ ﻦ ْ ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ءَا َد َم َو ِﻣ ﱠﻤ ْ ﻦ اﻟ ﱠﻨﺒِﻴﱢﻴﻦَ ِﻣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ َ ﷲ ِ ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا َ ﻚ اﱠﻟﺬِﻳ َ أُوَﻟ ِﺌ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ ﺟﺘَﺒَ ْﻴﻨَﺎ ِإذَا ُﺗ ْﺘﻠَﻰ ْ ﻦ َه َﺪ ْﻳﻨَﺎ وَا ْ ﻞ َو ِﻣ ﱠﻤ َ ﺳﺮَاﺋِﻴ ْ ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ ْ ح َو ِﻣ ٍ ﻧُﻮ َ ﺠﺪًا ﺳﱠ ُ ﺧﺮﱡوا َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ت اﻟ ﱠﺮ ُ ءَاﻳَﺎ
و ُﺑﻜِﻴًّﺎ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nûh, dan dari keturunan Ibrâhîm dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayatayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58) Sedangkan dalam Hadis, penggunaan lafal “al-bukâ” dengan segala derivasinya untuk makna “menangis” terbilang yang paling banyak. Berikut ini akan dicantumkan beberapa hadis yang menggunakan kata tersebut:
ﷲ ِ ﺸ َﻴ ِﺔ ا ْﺧ َ ﻦ ْ ﺣ ٌﺪ َﺑﻜَﻰ ِﻣ َ ﺞ اﻟﻨﱠﺎ َر َأ ُ ﻻ َﻳِﻠ َ ل َ ﻗَﺎρ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ْﻋ َ ﷲ ِ ﻞا ِ ﺳﺒِﻴ َ ﻏﺒَﺎ ٌر ﻓِﻲ ُ ﺠ َﺘ ِﻤ ُﻊ ْ ﻻ َﻳ َ ع َو ِ ﻀ ْﺮ ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ ُ ﺣﺘﱠﻰ َﻳﻌُﻮ َد اﻟﱠﻠ َﺒ َ ﻞ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ئ ﻓِﻲ ُ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺮ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ل َأﺑُﻮ َ ئ َأ َﺑﺪًا َوﻗَﺎ ٍ ي ا ْﻣ ِﺮ ْ ﺨ َﺮ ِ ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ ﻓِﻲ َﻣ ْﻨ َ ن ُ َو ُدﺧَﺎ ﺴِﻠ ٍﻢ َأ َﺑﺪًا ْ ي ُﻣ ْ ﺨ َﺮ ِ َﻣ ْﻨ Dari Abû Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam neraka seseorang yang menangis karena takut (akan murka) Allah sehingga susu perahan dapat kembali ke ambing/mamaenya. Dan (juga) tidak akan berhimpun debu fi sabilillah dan asap neraka jahanam pada lubang hidung seseorang selama-lamanya. Abû Abdirrahmân al-Muqri (dalam
42
riwayat lain) berkata: pada lubang hidung seorang muslim selama-lamanya.” (H.R. Ahmad)28
ل ُ ي َﻳ ُﻘ ْﻮ ﺖ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱠ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ْﻟ َﻌ ِﺰ ْﻳ ِﺰ ﻗَﺎ َ ﺧ ْﻮ ُ ﻲ َروَا ٍد َأ ْ ﻦ َأ ِﺑ ِ ن ْﺑ َ ﻋ ْﺜﻤَﺎ ُ ﻦ ْﻋ َ ل َ ﻚ َﻓﻘَﺎ َ ﺖ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒ ِﻜ ْﻴ ُ ﻲ َﻓ ُﻘ ْﻠ ْ ﻖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺒ ِﻜ َﺸ ِ ﻚ ِﺑ َﺪ ْﻣ ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ا ْﺑ ِ ﻋﻠَﻰ َأ َﻧ َ ﺖ ُ ﺧ ْﻠ َ َد ﺖ ْ ﺿ ﱢﻴ َﻌ ُ ﻼ ُة َﻗ ْﺪ َ ﻼ َة َو َه ِﺬ ِﻩ اﻟﺼﱠ َﺼ ﻻ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ ﺖ ِإ ﱠ ُ ﺷ ْﻴًﺄ ِﻣﻤﱠﺎ َأ ْد َر ْآ َ ف ُ ﻋ ِﺮ ْ ﻻَأ َ Dari ‘Usmân bin Abî Rawâd, saudara Abdul ‘Azîz, ia berkata: Saya mendengar al-Zuhrî berkata: Saya datang kepada Anas bin malik di Damaskus yang kebetulan ketika itu ia sedang menangis. Akupun bertanya kepadanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Ia menjawab, “Saya tidak mengetahui lagi amal yang kudapati (di masa Nabi saw. Yang masih diindahkan orang) selain salat. Itupun sudah disia-siakan orang .”(H.R. alBukhârî) 29 4. al-Dzarf Dalam kamus “lisân al-‘Arab”, al-Munjid, “Kamus kontemporer ArabIndonesia” karya Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus AlMunawwir” karya Ahmad Warson M., kata al-dzarf bermakna “sabb aldam’” (mengalirkan atau meneteskan air mata). Dzarafa semakna dengan kata “sâla” (mengalir). Dzarafat al-‘ain al-dam’ bermakna “Kelopak matanya mengalirkan atau meneteskan air mata.”30 Dalam “Kamus Ilyas al-‘Ashri” disebutkan bahwa “dzarafat al-‘ain dam’aha” bermakna “to shed tears: to water” yang artinya mencucurkan atau meneteskan air mata.31 Dalam sebuah Hadis dari al-‘Irbâd ia berkata: “Rasulullah saw. menyampaikan nasehat yang sangat berkesan kepada kami (mau’izah
28
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 2, h. 505 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Tadyî’ al-Salâh ‘an Waqtihâ, Juz 1, h. 134 30 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 9, .h. 109; Lous Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa alA’lâm, (Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002), Cet.XXXIX, h. 235; Ahmad Warson M., Kamus AlMunawwir, h. 445; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus kontemporer Arab-Indonesia., h. 931 31 Ilyas Anton Ilyas dan Edwar Ilyas, Qamus Ilyas al-‘Ashri: ‘Arabi-Injilizi, (Beirut: Dar alHabl, 1972), h. 231 29
43
bâlighah) sehingga membuat yang mendengarnya mencucurkan air mata (dzarafat minhâ al-‘uyûn).”32 Dalam al-Qur’an, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Sedangkan dalam hadis adalah sebagai berikut:
ﺖ َو ُه َﻮ َﻳ ْﺒﻜِﻲ ٌ ن َو ُه َﻮ ﻣَ ﱢﻴ ٍ ﻈﻌُﻮ ْ ﻦ َﻣ َ ن ْﺑ َ ﻋ ْﺜﻤَﺎ ُ ﻞ َ َﻗ ﱠﺒρ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﺸ َﺔ َأ ﱠ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ 33 ن ِ ﻋ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ َ ل َ َأ ْو ﻗَﺎ Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua matanya meneteskan air mata). (H.R. al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd) 5. ‘Abrah (air mata)34 Kata “’abara” memiliki beberapa arti, yaitu: a. Menta’birkan atau menafsirkan. Sebagai contoh adalah yang terdapat dalam surat Yûsuf ayat 43 berikut ini:
ﺳ ْﺒ َﻊ َ ف َو ٌ ن ﻳَ ْﺄ ُآُﻠ ُﻬﻦﱠ ﺳَ ْﺒ ٌﻊ ﻋِﺠَﺎ ٍ ﺳﻤَﺎ ِ ت ٍ ﺳ ْﺒ َﻊ َﺑ َﻘﺮَا َ ﻚ ِإﻧﱢﻲ َأرَى ُ ل ا ْﻟ َﻤِﻠ َ َوﻗَﺎ ن ْ ي ِإ َ ﻸ َأ ْﻓﺘُﻮﻧِﻲ ﻓِﻲ ُر ْؤﻳَﺎ ُ ت ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ ا ْﻟ َﻤ ٍ ﺧ َﺮ ﻳَﺎ ِﺑﺴَﺎ َ ﻀ ٍﺮ َوُأ ْ ﺧ ُ ت ٍ ﻼ َ ﺳ ْﻨ ُﺒ ُ َُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻟِﻠ ﱡﺮ ْؤﻳَﺎ ﺗَ ْﻌ ُﺒﺮُون Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemukgemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orangorang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi."(QS.Yûsuf/12:43)
32
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 9, .h. 109 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî Taqbîl al-Mayyit no. hadis 994 h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bab fî Taqbîl al-Mayyit (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.), h. 201; Menurut Imam al-Tirmidzî, kualitas hadis ini adalah hasan sahih. 34 Ibid, .h. 529-533; Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, hal. 887-889; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 104, 1268 33
44
Orang yang menafsirkan mimpi disebut “’âbir” yaitu
orang yang
mencermati sesuatu, karena ia mencermati dua sisi mimpi, lalu ia memikirkan ujung-ujungnya, ia cermati segala yang terjadi dalam mimpi, dari awal hingga akhir. Ini semua diambil dari kata “al-‘ibr” yang artinya tepi atau sisi sungai b. ‘Abara bermakna marra wa fâta yang artinya berlalu atau lewat. Oleh karena itu orang yang melewati suatu jalan disebut “âbir sabîl”. Dalam al-Qur’an disebutkan:
ﺣﺘﱠﻰ َ ﺳﻜَﺎرَى ُ ﻼ َة َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺼ ﻻ َﺗ ْﻘ َﺮﺑُﻮا اﻟ ﱠ َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺴﻠُﻮا ِ ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻐ َﺘ َ ٍﻻ ﻋَﺎ ِﺑﺮِي ﺳَﺒِﻴﻞ ﺟ ُﻨﺒًﺎ ِإ ﱠ ُ ﻻ َ ن َو َ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮا ﻣَﺎ َﺗﻘُﻮﻟُﻮ ﻂ ِ ﻦ ا ْﻟﻐَﺎ ِﺋ َ ﺣ ٌﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺳ َﻔ ٍﺮ َأ ْو ﺟَﺎ َء َأ َ ﻋﻠَﻰ َ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﻣ ْﺮﺿَﻰ َأ ْو ْ َوِإ ﺻﻌِﻴﺪًا ﻃَﻴﱢﺒًﺎ َ ﺠﺪُوا ﻣَﺎ ًء َﻓ َﺘ َﻴ ﱠﻤﻤُﻮا ِ ﺴ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓَﻠ ْﻢ َﺗ ْ ﻻ َﻣ َ َأ ْو َ ﻋﻔُﻮًّا َ ن َ ن اﷲ آَﺎ ﺴﺤُﻮا ِﺑ ُﻮﺟُﻮ ِه ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻳﺪِﻳ ُﻜ ْﻢ ِإ ﱠ َ ﻓَﺎ ْﻣ
ﻏﻔُﻮرًا Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S.al-Nisâ/4:43) c. ‘Abara bermakna tadabbara (merenungi /mengkaji).jika dikatakan “’abaral kitâb”, maka maknanya adalah : ia merenungi isi kandungan kitab itu tanpa mengeraskan bacaannya. d. ‘Abara bermakna wazana (menimbang) contoh:
ﻋﺒﺮ اﻟﻤﺘﺎع واﻟﺪراهﻢ Artinya: Ia menimbang perhiasan dan dirham
45
e. Jika kata ‘abara ini berkembang menjadi
i’tabara minh (
إﻋﺘﺒﺮ
)ﻣﻨﻪ, maka maknanya adalah ta’ajjaba (takjub/heran) ) إﻋﺘﺒﺮ
f. I’tabara (
dapat pula diartikan mengambil pelajaran. Ibrah
artinya pelajaran. Dalam al-Qur’an disebutkan:
ﺼﺎ ِر َ ﻻ ْﺑ َ ﻋ َﺘ ِﺒ ُﺮ ْوا َﻳﺎ ُاوِﻟﻲ ْا ْ … َﻓﺎ …Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orangorang yang mempunyai pandangan.(Q.S. Al-Hasyr/58:2) g. al-‘Abûr = anak kambing h. al-‘Abîr = campuran minyak wangi yang dipadukan dengan za’faran. Adapula yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-‘abir adalah za’faran. i. ‘Abara (
)ﻋﺒﺮdan ista’bara( )إﺳﺘﻌﺒﺮbermakna “bakâ” yang artinya
“menangis’. al-‘Abrah bermakna “al-dam’ah” yang artinya air mata. Ada pula yang mengartikan al-‘abrah dengan: 1) Bercucuran air mata tanpa mendengar suara tangisan. 2) Air mata sebelum bercucuran. 3) Gejolak (taraddud) tangisan di dalam dada 4) Kesedihan tanpa tangisan Jama’ ‘abrah adalah ‘abarât atau ‘ibar. Dari sekian arti di atas, makna yang paling sahih adalah yang pertama (al-dam’ah). Jika dikatakan “’abarat ‘ainuh was ta’barat” (واﺳﺘﻌﺒﺮت atau
ﺟﺮت ﻋﻴﻨﻪ
maka maknanya adalah
دﻣﻌﺖ
yang artinya bercucuran air matanya. Orang
yang
bercucuran air matanya
)ﻋﺒﺮت ﻋﻴﻨﻪ
disebut “al-‘âbir” (
46
)اﻟﻌﺎﺑﺮ
j. Kata “al-‘ubr” memiliki beberapa makna berikut ini: 1) Perempuan yang kehilangan anaknya 2) Menangis karena sedih 3) Yang banyak 4) Kelompok orang 5) Awan yang berjalan cepat 6) Yang amat kuat Dalam al-Qur’an tidak ditemukan penggunakan “’abrah” yang bermakna menangis atau mencucurkan air mata. Sedangkan dalam Hadis di antaranya adalah sebagai berikut:
ﺷ َﻔ َﺘ ْﻴ ِﻪ َ ﺿ َﻊ َ ﺠ َﺮ ُﺛﻢﱠ َو َﺤ َ اﻟρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ﻞ َر َ ﺳ َﺘ ْﻘ َﺒ ْ ل ِإ َ ﻋ َﻤ َﺮ ﻗَﺎ ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ِﻋ َ ﻲ ْ ب َﻳ ْﺒ ِﻜ ِ ﺨﻄﱠﺎ َ ﻦ ا ْﻟ ِ ﺖ َﻓِﺈذَا ُه َﻮ ِﺑ ُﻌ َﻤ َﺮ ْﺑ َ ﻼ ُﺛﻢﱠ ا ْﻟ َﺘ َﻔ ً ﻃ ِﻮ ْﻳ َ ﻲ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻳ ْﺒ ِﻜ َ 35 ت ُ ﺐ ا ْﻟ َﻌ َﺒﺮَا ُ ﺴ َﻜ ْ ﻋ َﻤ ُﺮ ه ُﻬﻨَﺎ ُﺗ ُ ل ﻳَﺎ َ َﻓﻘَﺎ Dari Ibn ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. menghadap hajar (aswad) lalu beliau meletakkan kedua bibirnya di atas batu tersebut sambil menangis cukup lama. Kemudian beliau berpaling dan tiba-tiba saja ada ‘Umar bin Khattab yang juga menangis. Lalu beliau bersabda: “Ya Umar, di sinilah air mata akan banyak bertetesan.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah) 6. Anîn (rintihan atau tangisan) Anîn berasal dari kata “anna-ya’innu-anînan” yang artinya merintih, mengerang, atau mengaduh. Jika dikatakan “anna al-rajul min al-waja’i” maka artinya adalah “Seseorang
merintih atau mengerang karena sakit yang
dideritanya.” 36 Orang yang banyak merintih disebut “annaan, unaan, unanah”. 35
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Manâsik Bâb Istilâm al-Hajar no. Hadis 2945 (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 982; Lihat pula Hadis yang menggunakan term ‘abrah pada: alBukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Inna al-ladzîn Yuhibbûna an Tasyî’a alFâhisyah h. 11-13; 36 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 45; Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 13, h. 28
47
Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan term ini. Sedangkan dalam Hadis adalah sebagai berikut:
ﻻ ْﻧﺼَﺎ ِر َ ﻦ ْا َ ن ا ْﻣ َﺮ َء ًة ِﻣ ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﷲ َر ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﻚ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َﺗ ْﻘ ُﻌ ُﺪ َ ﻞ َﻟ ُ ﺟ َﻌ ْ ﻻ َأ َ ﷲ َأ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﻳَﺎ َرρ ﷲ ِ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ ِﻟ َﺮ ْ ﻗَﺎَﻟ ﺻ ِﻨ َﻊ ُ ي ْ ﺖ َﻟ ُﻪ ا ْﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ َﺮ اﱠﻟ ِﺬ ْ ﺖ َﻓ َﻌ ِﻤَﻠ ِ ﺷ ْﺌ ِ ن ْ ل ِإ َ ﻼﻣًﺎ َﻧﺠﱠﺎرًا ﻗَﺎ َﻏ ُ ﻲ ْ ن ِﻟ َﻓِﺈ ﱠ ﻖ ﺸﱠ َ ن َﺗ ْﻨ ْ ت َأ ْ ﺣﺘﱠﻰ آَﺎ َد َ ﺐ ﻋِ ْﻨﺪَهَﺎ ُ ﻄ ُﺨ ْ ن َﻳ َ ﻲ آَﺎ ْ ﺨَﻠ ُﺔ اﱠﻟ ِﺘ ْ ﺖ اﻟﻨﱠ ِ ﺣ َ َﻓﺼَﺎ ﻲ ﺼ ِﺒ ﱢ ﻦ اﻟ ﱠ َ ﺖ َﺗ ِﺌﻦﱡ َأ ِﻧ ْﻴ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ َﻓ َﻨ َﺰ ْ ﺠ َﻌَﻠ َ ﻀ ﱠﻤﻬَﺎ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓ َ ﺧ َﺬهَﺎ َﻓ َ ﺣَﺘﱠﻰ َأρ ﻲ ﻦ َ ﺴ َﻤ ُﻊ ِﻣ ْ ﺖ َﺗ ْ ﺖ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ آَﺎ َﻧ ْ ل َﺑ َﻜ َ ت ﻗَﺎ ْ ﺳ َﺘ َﻘ ﱠﺮ ْ ﺣﺘﱠﻰ ا َ ﺖ ُ ﺴﻜﱠ َ ي ُﻳ ْ اﱠﻟ ِﺬ 37 اﻟ ﱢﺬ ْآ ِﺮ Dari Jâbir bin ‘Abdillâh r.a. ia berkata: Seorang wanita Ansar bertanya kepada Rasulullah saw. : Ya Rasulullah, bolehkan saya buatkan untuk Tuan sebuah bangku tempat duduk Tuan? Karena sessungguhnya saya mempunyai anak muda tukang kayu.” Nabi menjawab: “Kalau anda mau, silakan!” Wanita itu berkata: “Maka saya buatkan sebuah mimbar untuk beliau. Pada hari Jumat Nabi duduk di mimbar itu. Pohon kurma yang berada di samping beliau berkhutbah itu berteriak sehingga hamper belah. Nabi saw. turun, lalu beliau pegang pohon kurma itu dan mendekapnya. Pohon kurma itupun menangis seperti tangisan seorang anak kecil yang didiamkan (ibunya). (Beliau mendekapnya) sampai pohon kurma itu tenang. Nabi bersabda: “Ia menangis seperti itu karena mendengar zikir (pelajaran yang disampaikan Rasul).” (H.R. al-Bukhârî)
7. Inhamalat al-‘ain Kata “inhamala” jika dinisbahkan kepada kata “al-‘ain” maka maknanya adalah “menangis”. Sehingga dalam “Kamus Al-Munawwir” dan “Kamus Kontemporer Arab-Indonesia”, kata “inhamalat ‘ainuh” bermakna bercucuran air matanya.38
37
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb al-Najjâr, h.14; Lihat juga Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 3, h. 300 38 Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, h. 1518; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 268
48
Di dalam al-Qur’an, tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan kata ini. Sedangkan dalam Hadis, ditemukan beberapa contoh, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwûd dalam Kitab al-‘Ilm berikut ini:
ﻲ ﻋَﻠ ﱠ َ ِإ ْﻗ َﺮ ْأρ ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد ﻗﺎل ﻗﺎل ﻟﻲ رﺳﻮل اﷲ ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ِﻦ ْﻋ َ ﺣﺐﱡ ِ ﻲ ُا ْ ل ِإ ﱢﻧ َ ﻚ ُا ْﻧ ِﺰلَ؟ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ﻚ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ل ﻗﻠﺖ َا ْﻗ َﺮُأ َ ﺳﻮرة اﻟﻨﺴﺎء ﻗَﺎ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣﺘﻰ اﻧﺘﻬﻴﺖ ِإﻟَﻰ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻪ َ ل َﻓ َﻘﺮَأت َ ي ﻗَﺎ ْ ﻏ ْﻴ ِﺮ َ ﻦ ْ ﺳ َﻤ َﻌ ُﻪ ِﻣ ْ ن َا ْ َا ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ( اﻻﻳﺔ ﻓَﺮﻓﻌﺖ رأﺳﻲ ﻓﺈذا َ ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ ﻦ ُآ ﱢ ْ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ ِ ﻒ ِا َذا َ ) َﻓ َﻜ ْﻴ 39 ﻋﻴﻨﺎﻩ ﺗﻬﻤﻼن Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Rasulullah saw. berkata kepadaku: ‘Bacakanlah untukku surat al-Nisâ!’ Ibn Mas’ûd berkata: Aku bertanya:’Apakah aku akan membacakannya untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?‘ Beliau menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain.‘ Ibn Mas’ûd berkata: Akupun membacakannya sehingga ketika sampai pada ayat “(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang kafir nanti}, apabila kami mendatangkan seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap umat”) – QS. al-Nisâ:41 Kuangkat kepalaku. Tiba-tiba (kulihat) kedua mata beliau meneteskan air mata.” (H.R. Abû Dâwûd) B. Macam-macam Menangis Di dalam al-Qur’an, Allah menyatakan:
ﻖ ﺤﱡ َ ﻦ َﻟ ُﻬ ْﻢ َأﻧﱠ ُﻪ ا ْﻟ َ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َﺘ َﺒ ﱠﻴ َ ﺴ ِﻬ ْﻢ ِ ق َوﻓِﻲ َأ ْﻧ ُﻔ ِ ﺳ ُﻨﺮِﻳ ِﻬ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ ﻓِﻲ اﻟﻶﻓَﺎ َ
ﺷَﻬِﻴ ٌﺪ
ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ﻚ َأﻧﱠ ُﻪ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ َ ﻒ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِ َأ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻜ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS.Fussilat/41:53) Dalam ayat ini, Allah swt. ingin menegaskan dan menjelaskan kepada orang-orang musyrik dan orang-orang yang ingkar bahwa al-Qur’an adalah hak dan benar-benar turun dari sisi Allah, bukan buatan manusia sebagaimana anggapan musuh-musuh Islam. Ada dua cara yang ditempuh Allah untuk
39
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-‘Ilm Bâb fî al-Qisâs, h. 324
49
penegasan itu, yaitu: (1) Mencermati dan mengkaji segala ciptaan Allah di segenap ufuk, baik langit, bumi, matahari, bulan, bintang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain; (2) Mengkaji anfus atau jiwa dengan segala fenomenanya. Menurut Imam al-Qurtubî (w. 567 H.), sebagaimana yang juga dikutip oleh Imam ‘Ali al-Sâbûnî, bahwa yang dimaksud “anfus” di sini
adalah
mencakup kelembutannya, hikmahnya, sampai saluran anus (dubur) dan air seninya (qubul). Termasuk pula makna anfus di sini kedua bola mata yang dapat meneteskan air mata (menangis) yang dapat digunakan untuk melihat segala sesuatu.40 Oleh karena itu, mempelajari tangisan manusia merupakan salah satu realisasi dari upaya pemahaman surat Fussilat ayat 53 di atas. Menangis adalah salah satu fenomena psikologis yang dialami oleh seluruh manusia. Menangis merupakan salah satu ekspresi emosi yang di-sunnahkan (ditentukan) oleh Allah swt. kepada seluruh manusia. Pada lazimnya, menangis,
menandakan suasana kepedihan (al-huzn), sementara tertawa
menandakan suasana kegembiraan (al-farh).41 Namun harus ditegaskan bahwa menangis tidak selalu mengarah kepada sifat-sifat buruk, sebagaimana halnya tertawa juga tidak selalu mengarah kepada sifat-sifat yang baik. Nilai keduanya sangat ditentukan oleh sikap diri dan motivasi atau niat yang menyertainya. Seseorang yang menangis karena iba dan peduli
40
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1987), Cet. I, Juz 15, h. 374-375; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999), cet.I, Jilid 3, h. 128 41 Dalam Tafsir al-Qurtubî yang dikutip dari dialog Rasulullah saw. dengan malaikat Jibril, dinyatakaan bahwa yang dimaksud “Allah menetapkan tawa dan tangis’ adalah menetapkan sebabsebabnya, seperti kegembiraan mendatangkan tawa dan kesulitan mendatangkan tangis. Menurut AlHasan, Allah swt. menjadikan tertawa disebabkan melihat penghuni surga yang shalih, dan menjadikan tangis disebabkan melihat penghuni neraka yang durhaka. Menurut Dzû al-Nûn, orang-orang yang beriman dan ahli ma’rifat dapat tertawa akibat cahaya ma’rifatnya. Sedangkan orang-orang kafir dan suka bermaksiat akan menangis karena kegelapan maksiatnya. Sahal bin ‘Abdullâh pernah menegaskan bahwa Allah menjadikan tertawa orang-orang yang taat karena kasih sayang (rahmat)Nya, dan menjadikan menangis orang-orang yang maksiat dengan kebencian (sukht)-Nya. Lihat: al-Qur tûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , Juz 17, h. 116-117
50
terhadap urusan saudara muslimnya misalnya, maka tangisan itu dalam pandangan Allah dinilai ibadah. Pada saat itu, ia telah berpartisipasi dan ikut terlibat secara psikologis terhadap urusan saudaranya. Dalam sebuah Hadis yang masyhur, Rasulullah saw. bersabda:
ﺲ ِﻣ ْﻨﻬُﻢ َ ﻦ َﻓَﻠ ْﻴ َ ﺴِﻠ ِﻤ ْﻴ ْ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﻬ َﺘ ﱠﻢ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ ا ْﻟ ُﻤ ْ َﻣ Siapa yang tidak ikut peduli memperhatikan urusan umat Islam, maka ia tidak termasuk golongan mereka.(H.R. al-Baihaqi)42 Sementara seseorang yang tertawa dengan tujuan mengejek, maka tertawanya itu akan membawa akibat buruk bagi dirinya, dan tentunya ia akan mendapat murka dari Allah swt. Oleh karena itu, di dalam pandangan psikologi Islam, menangis tidak hanya dilihat dari pendekatan “apa adanya” , tetapi juga “bagaimana seharusnya”. Artinya, yang dilakukan tidak sekedar mendeskripsikan pengertian, macammacam dan fungsi menangis yang terjadi pada seseorang, tetapi lebih jauh dan lebih penting adalah bagaimana kita mampu memberikan sublimasi43 tangisan itu sehingga lebih bermakna dan berimplikasi positif pada kepribadian, terutama implikasi yang bermuatan spiritual ubudiyah. Psikologi Islam selalu menggunakan pola berpikir positif (positive thinking) dalam memaknai tangisan, bukan pola berpikir negarif (negative thinking) yang selama ini dipakai oleh kebanyakan psikolog modern. Psikologi Islam tidak sekedar mempersoalkan tangisan itu sendiri, tetapi lebih mempersoalkan alasan-alasan, motif-motif, serta niat yang menyertainya.44
42
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dalam kitab “al-Syu’ab” dari Anas dari Nabi saw. Lihat: al-Sakhâwî, al-Maqâsid al-Hasanah, (Beirût: Dâr al-Hijrah, 1986), hal.428 43 Sublimasi adalah pengarahan terhadap impuls (motif, kecenderungan, dan kesadaran untuk berbuat) yang tidak bisa diterima ke dalam bentuk penyaluran yang bisa dapat diterima. 44 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, hal.6
51
Untuk lebih jelasnya, pendekatan “bagaimana seharusnya” dalam menangis dapat disimpulkan dalam suatu pernyataan: “Bagaimana kita mampu memiliki hasrat untuk menangis bermakna, yang memotivasi kehidupan kita untuk senantiasa mencari makna tangisan dan mendambakan tangisan yang bermakna. Singkatnya, bagaimana kita memperoleh hikmah (wisdom) dari tangisan itu.”45 Sebuah tangisan dapat dikatakan bermakna apabila memiliki salah satu ciri dari ciri-ciri berikut ini: 1. Berimplikasi positif pada aktualisasi diri atau realisasi diri; 2. Mendorong individu bersikap optimis dan produktif serta menghilangkan sikap pesimis dan cengeng; 3. Membantu dalam mencapai kesehatan mental; 4. Memiliki muatan spiritualitas dan transenden.46 Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w. 751 H.), ada beberapa macam tangisan, yaitu:47 1. Tangisan kasih sayang dan kelembutan. 2. Tangisan karena takut 3. Tangisan cinta dan kerinduan 4. Tangisan kebahagiaan dan kegembiraan. 5. Tangisan kekhawatiran karena suatu hal yang menyakitkan dan tidak ada kemampuan untuk menanggungnya. 6. Tangisan kesedihan. 45
Ibid, hal.8 Ibid, hal. 8-9 47 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Mu’assasah alRisâlah, 1998), Cet. Ke-3, h.176-178 46
52
Perbedaan antara tangisan kesedihan dengan tangisan rasa takut adalah kalau tangisan kesedihan itu terjadi karena kejadian yang telah berlalu, baik karena mendapatkan sesuatu yang tidak disukai atau hilangnya suatu yang dicintainya. Sedangkan tangisan rasa takut terjadi karena sesuatu hal yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun perbedaan antara tangisan kebahagiaan dan kegembiraan dengan tangisan kesedihan adalah kalau air mata tangis kebahagiaan itu dingin, sementara hati dalam keadaan gembira. Sedang air mata kesedihan itu panas, dengan hati yang penuh kesedihan. 7. Tangisan ketidakberdayaan dan kelemahan. 8. Tangisan kemunafikan, yakni menetesnya air mata sementara hatinya tetap membatu, sehingga pelakunya tampak demikian khusyu, padahal hatinya paling keras di antara manusia. 9. Tangisan pinjaman, pesanan, atau sewaan, seperti tangisan orang yang meratap karena diupah, sebagaimana perkataan Umar, “Dia menjual air matanya dan menangisi kesedihan orang lain.” 10. Tangisan kesepakatan atau ikut-ikutan, yaitu jika melihat orang lain tertimpa suatu hal, lalu dia menangis bersama mereka, tanpa mengetahui apa yang mereka tangisi.
C. Menangis dalam Perspektif al-Qur’an Di dalam al-Qur’an tidak banyak ditemukan ayat yang berbicara tentang menangis. Menurut penelusuran penulis berdasarkan kitab “al-Mu’jam al53
Mufahras li Alfâz al-Qur’ân” karya Muh. Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, bahwa di dalam kitab suci umat Islam tersebut hanya ditemukan sembilan ayat yang berbicara tentang menangis dengan konteks yang berbeda-beda. Kesembilan ayat tersebut menggunakan term yang berbeda-beda, namun seluruhnya bermuara kepada makna menangis sebagaimana yang dimaksud dalam tulisan ini. Tujuh ayat di antaranya menggunakan kata “al-bukâ” dengan berbagai derivasinya, yaitu: Q.S.9:82 (dalam bentuk perintah dengan lam al-amr dan fi’il mudâri’), 12:16 (fi’il mudâri’’), 17:109 (fi’il mudâri’), 19:58 (jama’: bukiyyâ), 53:43 (fi’il mâdî), 53:60 (fi’il mudâri’), dan 44:29 (fi’il mâdi). Sedangkan dua ayat yang lainnya menggunakan kata “tafîdu” yang dinisbahkan dengan kata “al-dam’”, yaitu dalam surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92. 1. Tangisan Kaum Munafikin di Neraka Kalangan
munafikin
adalah
kelompok
yang
sangat
licik
dan
menimbulkan problem tersendiri dalam dakwah Nabi Muhammad saw. Mereka bagaikan api dalam sekam, duri dalam daging. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki dua wajah sehingga dapat menimbulkan roman wajah yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka. Karena sedemikian pentingnya bagi Nabi Muhammad saw. dan umat Islam untuk mengetahui karakteristik orang-orang munafik, hatta dalam al-Qur’an terdapat satu surat khusus yang bernama Surat al-Munâfiqûn. Hal ini dimaksudkan agar mereka lebih meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap gerak-gerik kaum munafik.
54
Di samping surat al-Munâfiqûn, surat al-Taubah adalah di antara surat yang banyak mengungkap
tentang kaum munafikin. Ada beberapa sifat
mereka yang diungkap dalam surat tersebut, yaitu: a. Kebimbangan dan keraguan orang-orang munafik mendorong mereka untuk memohon izin agar tidak ikut berperang bersama Nabi Muhammad saw. (ayat 45) b. Kalaupun mereka berangkat untuk berperang, mereka hanya akan mengacaukan barisan kaum muslimin (ayat 47-48). c. Mencari-cari alasan agar tidak ikut berperang (ayat 49). d. Mereka membenci umat Islam yang mendapat kebaikan dan senang saat umat Islam mendapat musibah (ayat 50). e. Mereka bersumpah palsu bahwa mereka adalah golongan umat Islam (ayat 56). f. Mereka tidak senang (mencela) pembagian sedekah atau zakat yang dilakukan oleh Nabi saw. (ayat 58-61). g. Mereka khawatir akan diturunkan surat yang menerangkan serta membongkar apa yang ada di dalam hati mereka (ayat 64). h. Mereka mengolok-olokkan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya (ayat 65). i. Ikrar orang-orang munafik tidak dapat dipercaya (ayat75-78). j. Mereka mencela sedekah yang dilakukan oleh orang-orang mukmin (ayat 79). k. Mereka merasa senang karena tidak ikut berjihad (ayat 81). Setelah Allah menjelaskan segala sikap dan perilaku orang-orang munafik yang sungguh tercela, Allahpun menyebutkan balasan terhadap mereka. Pada ayat 79 ditegaskan bahwa Allah swt. membalas penghinaan 55
mereka karena mereka
telah menghina orang-orang mukmin yang
bersedekah. Di akhirat kelak, untuk merekapun telah disiapkan azab yang amat pedih. Pada ayat selanjutnya (ayat 80), ditegaskan bahwa permohonan ampun yang dimunajatkan oleh Nabi saw. untuk mereka, meski dilakukan hingga 70 kali, tetap saja Allah tidak akan mengampuninya. Imam Ibn Katsîr menjelaskan bahwa dengan ayat ini Allah memberitakan kepada Nabi saw. bahwa orang-orang munafik bukanlah orang-orang yang layak untuk dimohonkan ampun. Oleh karena itu, meskipun Nabi saw. beristighfar sebanyak-banyaknya (tujuh puluh kali), Allah tetap saja tidak akan mengampuni mereka. Penyebutan angka tujuh puluh dalam ayat tersebut tidak bermakna pembatasan (tahdîd), namun hanya menunjukkan intensitas yang tinggi (mubâlaghah).48 Permohonan ampun untuk mereka menjadi tidak bermanfaat, karena mereka sendiri kufur. “dzâlika bi annahum kafarû” (Yang demikian itu karena mereka kufur). Demikian alasan Allah yang tercantum pada ayat tersebut. Lebih jelas lagi, Dr. Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa orang-orang munafik itu kufur dan mengingkari Allah swt dan Rasul-Nya. Mereka tidak mengikrarkan ke-Esa-an Allah, tidak mengakui kerasulan Nabi saw., dan senantiasa berada dalam pengingkaran. Hati mereka tidak pernah siap untuk menerima kebaikan (al-khair) dan cahaya (al-nûr). Dan memang sudah menjadi
48
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, t.t.), Juz 2, hal.376
56
sunnatullah bahwa kebaikan tidak akan dianugerahkan kepada kaum yang terus-menerus kufur, tidak taat, dan tidak ada niat atau keinginan untuk beriman dan bertaubat.49 Bandingkanlah dengan ayat 5 dan 6 surat al-Munûfiqûn. Dalam ayat tersebut dijelaskan, meskipun Rasulullah saw. telah memanggil mereka (orang-orang munafik) untuk dimohonkan ampun, tetap saja mereka tidak menyahut, bahkan berpaling dari beliau. Karenanya, Allahpun menegaskan bahwa untuk orang-orang munafik, dimintakan ampun atau tidak, Allah tetap tidak akan mengampuni mereka. Mereka adalah orang-orang fasik yang secara jelas melanggar hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Setelah pada ayat 80 dijelaskan satu sifat buruk orang-orang munafik yang lain, yaitu merasa senang berdiam diri untuk tidak berperang dan membenci jihad fi sabilillah, maka Allah menegaskan pada ayat 82:
ن َ ﺴﺒُﻮ ِ ﺟﺰَا ًء ِﺑﻤَﺎ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻜ َ ﻼ َو ْﻟ َﻴ ْﺒﻜُﻮا َآﺜِﻴﺮًا ً ﺤﻜُﻮا َﻗﻠِﻴ َﻀ ْ َﻓ ْﻠ َﻴ
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.(QS.At-Taubah/9:82) Jika ayat tersebut dicermati, sesungguhnya ia berbentuk perintah (amr) yang tersusun dari lam al-amr dan fi’il mudâri’. Namun, jika lebih dicermati, maka maknanya adalah berita (khabar) atau ancaman (tahdîd). Demikianlah pandangan Dr. Wahbah Zuhaili, Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), Imam Ali alSabûnî, Imam al-Râzî (w. 544 H.),
Imam al-Tabarsî (w. 548 H.), dan
pengarang Ruhul Bayan (Isma’il Haqqi al-Buruswi).50
49
Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1991), Juz 10, h. 328 Ibid, jilid, hal.331; al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H./1994 M.), jilid 20, h.220; Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, jilid I, h.552; al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Juz 5, h.91; Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan. Penerjemah Drs. Syihabuddin (Bandung: C.V. Diponegoro, 1998), Jilid 26, h. 153 50
57
Bahkan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), informasi yang disampaikan dalam bentuk perintah (sîghat al-amr) menunjukkan keniscayaan terjadinya sesuatu itu. Sebab, dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa sîghat amr (kalimat perintah) pada dasarnya meniscayakan makna wajib sehingga ia banyak digunakan untuk makna itu. Atau, karena bentuk perintah tidak mengandung pengertian benar (sidq) dan dusta (kadzib) sebagaimana yang dikandung dalam kalimat berita. Begitulah penegasan Asy-Syihab.51 Melalui ayat ini, Allah menginformasikan kondisi mereka di dunia dan di akhirat. Tersebab sikap dan keburukan mereka, maka mereka akan merasakan sedikit tertawa (kebahagiaan) di dunia dan banyak menangis (sengsara) di akhirat sebagai wujud penyesalan dan akibat ulah mereka sendiri. Tawa mereka di dunia, meski terjadi sampai kematian menjemput mereka, masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan tangisan mereka di akhirat yang kekal abadi dan tanpa batas. Menurut Ibn ‘Abbâs r.a. (w. 68 H.), sebagaimana yang dikutip Imam Ibnu Kasīr (w. 774 H.) dan al-Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, dunia itu sedikit, maka silakan orang-orang munafik tertawa sekehendak mereka. Jika dunia telah berakhir (terjadi hari kiamat) dan semua manusia kembali kepada Allah swt., maka mereka (orang-orang munafik) akan mulai menangis dan tidak akan pernah terputus untuk selamanya. Ada sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa orang-orang munafik akan menangis dalam neraka seusia dunia. Air matanya tiada henti berderai dan rasa kantuknya tidak akan hilang dengan tidur.52 Dalam sebuah Hadis riwayat Imam Ibn Mâjah (w.273 H.) dikatakan:
51 52
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221 Ibid; Ismail Haqqi al-Buruswi, Tafsir Ruhul Bayan, Jilid 10, h. 523
58
ﻞ ِ ﻋﻠَﻰ َأ ْه َ ﻞ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ُء ُﺳ َ ُﻳ ْﺮρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻚ ﻗَﺎ ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ﻲ ْ ﺼ ْﻴ َﺮ ِﻓ ِ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َ ن اﻟ ﱠﺪ َم َ ع ُﺛﻢﱠ َﻳ ْﺒ ُﻜ ْﻮ ُ ﻄ َﻊ اﻟﺪﱡ ُﻣ ْﻮ ِ ﺣﺘﱠﻰ َﺗ ْﻨ َﻘ َ ن َ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻓ َﻴ ْﺒ ُﻜ ْﻮ 53 ت ْ ﺠ َﺮ َ ﻦ َﻟ ُ ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ اﻟﺴﱡ ُﻔ ْ ﺳَﻠ ِ َﻟ ْﻮ ُأ ْر.ﺧ ُﺪ ْو ِد ْ ﺟ ْﻮ ِه ِﻬ ْﻢ َآ َﻬ ْﻴ َﺌ ِﺔ ا ْﻟُﺄ ُ ُو Tangisan diutus (oleh Allah) kepada penghuni neraka. Merekapun menangis hingga air matanya kering. Selanjutnya merekapun menangis dengan mengucurkan darah hingga wajahnya berubah seperti habis dicambuki. Seandainya perahu-perahu dilayarkan, niscaya akan berjalan”(H.R. Ibn Mâjah) Berkenaan dengan azab yang yang dirasakan oleh orang-orang munafik, Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menyampaikan hadis berikut ini:
ﻞ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر ِ ن َأ ْه َ ن َأ ْه َﻮ ِإ ﱠρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ َﺑﺸِﻴ ٍﺮ ﻗَﺎ ِ ن ْﺑ ِ ﻦ اﻟ ﱡﻨ ْﻌﻤَﺎ ْﻋ َ ﻏ ُﻪ َآﻤَﺎ ُ ﻦ ﻧَﺎ ٍر َﻳ ْﻐﻠِﻲ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ِدﻣَﺎ ْ ن ِﻣ ِ ﺷﺮَاآَﺎ ِ ن َو ِﻼ َ ﻦ َﻟ ُﻪ َﻧ ْﻌ ْ ﻋﺬَاﺑًﺎ َﻣ َ ﻷ ْه َﻮ ُﻧ ُﻬ ْﻢ َ ﻋﺬَاﺑًﺎ َوِإ ﱠﻧ ُﻪ َ ﺷ ﱡﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َ ﺣﺪًا َأ َ ن َأ ﻞ ﻣَﺎ ﻳَﺮَى َأ ﱠ ُﺟ َ َﻳ ْﻐِﻠﻰ ا ْﻟ ِﻤ ْﺮ 54 ﻋﺬَاﺑًﺎ َ Dari Nu’mân bin Basyîr ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya pada hari kiamat adalah seseorang yang memiliki dua alas kaki sedang kedua talinya terbuat dari api neraka, dan dari keduanya otaknya bergolak mendidih seperti mendidihnya (air dalam) ketel. Dia tidak melihat (mengira) bahwa ada orang lain yang azabnya lebih pedih daripadanya. Padahal sesungguhnya dialah yang paling ringan azabnya.” (H.R. Muslim) Menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), ayat 82 surat al-Taubah ini dapat pula dipahami bahwa tertawa ini merupakan kinayah dari kebahagiaan (alfarh) dan menangis adalah kinayah dari duka cita atau kesedihan (al-ghamm). Artinya orang-orang munafik, kalaupun mereka merasakan kebahagiaan di dunia, maka kebahagiaan itu hanyalah sedikit dan sebentar. Sebab, tatkala perputaran dunia berakhir sebagai tanda dimulainya babak kehidupan yang baru (akhirat), maka duka cita dan kesedihan akan segera mulai mereka
53
Dalam sanad Hadis in terdapat Yazîd bin Abân al-Raqasyi yang merupakan rawi daif. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Sifât al-Nâr no. hadis 4324, h. 1446 54 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Imân Bâb Ahwân Ahl al-Nâr ‘adzâban, h. 110
59
nikmati, dan itu akan terus mereka rasakan kekal abadi.55 Menurut Ibn ‘Atiyyah, al-bukâ (menangis) dan al-dahk (tertawa) yang disebutkan dalam ayat di atas, keduanya dapat pula terjadi di dunia. Hal ini sebagaimana bunyi sebuah Hadis berikut ini:
ل ُ ن َﻳﻘُﻮ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ آَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ن َأﺑَﺎ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ﺐ َأ ﱠ ِ ﺴ ﱠﻴ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ِ ﺳﻌِﻴ ِﺪ ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ ً ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ ِﻀ َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ ْ ن ﻣَﺎ َأ َ َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ﻗَﺎ 56 َآﺜِﻴﺮًا Dari Sa’îd bin al-Musayyab bahwa Abû Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedidkit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. al-Bukhârî) Maksudnya, tatkala orang-orang munafik telah banyak melakukan berbagai kemaksiatan yang mengotori diri mereka dan kemudian mereka mau merenunginya dengan tenang, niscaya mereka akan banyak menangis dan sedikit tertawa menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan.57 Duka dan derita yang mereka rasakan adalah akibat dari perilaku mereka yang buruk di dunia (jazâ’an bimâ kânû yaksibûn). Menurut Imam Al-Alusi, perpaduan antara dua shighat, yaitu mâdi (kânû) dan mudâri (yaksibûn) menunjukkan bahwa perbuatan maksiat itu mereka lakukan secara terusmenerus.58 Demikianlah keadaan orang-orang munafik di akhirat. Mereka adalah contoh dari orang-orang yang tidak memahami hakikat dan arti sebuah kehidupan. Kehidupan dunia tidak ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai 55
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Qaul al-Nabi saw. lau Ta’lamûna mâ A’lamu, hal.186 & Juz 7 Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Kaif Kânat Yamîn al-Nabi, h. 219; alTirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ fî Qaul al-Nabi saw. lau Ta’lamûna no. hadis 2414 h. 381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. hadis 4190, h. 1402; Ahmad, al-Musnad., Jilid 2, h. 257. Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini adalah sahih 57 al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Jilid 10, h. 220-221 58 Ibid 56
60
dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pasca kehidupan dunia, tidak disadari oleh mereka akan terbentang sebuah negeri luas tanpa batas dan kekal abadi. Sebagai biasnya, merekapun bertindak semau dan sekehendak mereka dengan memperturutkan ke mana hawa nafsu melangkah. Tersebab bergelimang dengan berbagai maksiat, hatinya telah tertutup sehingga tidak lagi mampu melihat dan membedakan antara yang hak dan yang batil. 2. Tangisan Pembual 59 Di dalam al-Qur’an, kisah Yûsuf a.s diceritakan cukup lengkap dalam sebuah surat yang juga dinamakan “Surat Yûsuf”. Yusuf bernama lengkap Yûsuf al-Sâdiq bin Ya’qûb al-Sâfî bin Ishâq bin Ibrâhîm. Beliau adalah seorang nabi yang kegantengannya diabadikan dalam al-Qur’an. Menurut riwayat Anas, Rasulullah saw. bersabda: “Yûsuf dan Ibunya
telah diberikan
sebagian dari keelokan.” Dalam riwayat lain
diterangkan bahwa jika Yûsuf berjalan di jalan yang sempit di kota Mesir, terlihat wajahnya bersinar dan memantulkan
cahaya ke dinding-dinding
sekitarnya sebagaimana sinar mentari yang menerpa dinding.60 Di dalam al-Qur’an, kisah Yûsuf diawali dengan mimpi yang dialaminya ketika ia berusia kurang lebih 12 tahun.61 Dalam mimpinya itu, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an, Yusuf melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, dan semuanya sujud di hadapannya. Menurut para ahli tafsir, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Kasir, sesungguhnya ta’bir mimpi itu adalah bahwa sebelas bintang yang 59
Dalam istilah lain disebut dengan “Air Mata Buaya”. al-Tsa’labî, Qisâs al-Anbiyâ, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), Cet. IV, h.143 61 Ibid, h.147 60
61
dilihatnya adalah simbol saudara-saudaranya yang berjumlah sebelas orang. Sedangkan matahari dan bulan adalah simbol ibu dan ayahnya. Tafsiran seperti ini diterima dari Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), al-Dahhâk, Qatâdah (w. 117 H.), Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H.), dan Abdurrahmân bin Zaid bin Aslam . Dan tafsir Yûsuf ini baru terwujud setelah 40 atau 80 tahun kemudian.62 Mendengar mimpi anaknya tersebut, Nabi Ya’qûb meminta kepada Yûsuf agar tidak menceritakannya kepada saudara-saudaranya. Sebab, jika mereka mengetahui, niscaya mereka dengki dan akan berusaha mencelakakan Yûsuf. Menurut al-Tsa’labî (w. 428 H.), sejak mimpi itu dialami oleh Yûsuf, Nabi Ya’qûb sebagai ayahnya bertambah sayang, cinta, dan dekat
dengannya.
Kondisi ini menimbulkan kedengkian di hati saudara-saudaranya yang lain. Mereka berusaha
memisahkan antara ayah (Nabi Ya’qub) dan anaknya
(Yûsuf) agar kasih sayang (mahabbah) hanya ditumpahkan kepada mereka.63 Di antara mereka ada yang mengusulkan agar Yûsuf dibunuh saja, dan setelah itu mereka akan menjadi orang-orang yang baik (QS.12:9). Namun ada pula yang mengusulkan agar Yûsuf dimasukkan ke dalam sumur sehingga memungkinkan untuk dipungut oleh kafilah yang lewat dan dibawa jauh. Ternyata, usulan terakhir inilah yang disepakati. Setelah menyusun siasat busuknya, mereka pun memohon izin kepada ayah mereka, Ya’qûb, agar mengizinkan Yûsuf bermain bersama mereka. Mendengar keinginan putra-putranya, nabi Ya’qûb berkata:
62 63
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, hal. 468 al-Tsa’labî, Qisâs al-Anbiyâ, h.143
62
ﻋ ْﻨ ُﻪ َ ﺐ َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ ُ ن َﻳ ْﺄ ُآَﻠ ُﻪ اﻟﺬﱢ ْﺋ ْ ف َأ ُ ن َﺗ ْﺬ َهﺒُﻮا ِﺑ ِﻪ َوَأﺧَﺎ ْ ﺤ ُﺰ ُﻧﻨِﻲ َأ ْ َل ِإﻧﱢﻲ ﻟَﻴ َ ﻗَﺎ
ن َ ﻏَﺎ ِﻓﻠُﻮ Berkata Ya’qûb; "Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya." (Q.S. Yûsuf/12:13) Jawaban yang disampaikan Nabi Ya’qûb menambah kecemburuan mereka. Sesungguhnya mereka tidak dapat menyanggah dua alasan yang disampaikan oleh ayah mereka, yaitu kesedihan beliau karena ditinggalkan oleh putra tercinta (Yûsuf), dan kekhawatiran Yusuf akan diterkam
atau dimakan
serigala. Untuk menjawab alasan kedua, mereka berkata:64
ن َ ﺳﺮُو ِ ﺼﺒَ ٌﺔ ِإﻧﱠﺎ ِإذًا َﻟﺨَﺎ ْ ﻋ ُ ﻦ ُﺤ ْ ﺐ َو َﻧ ُ ﻦ َأ َآَﻠ ُﻪ اﻟﺬﱢ ْﺋ ْ ﻗَﺎﻟُﻮا َﻟ ِﺌ
Mereka berkata: "Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orangorang yang merugi." (Q.S. Yûsuf/12:14) Rupanya desakan anak-anaknya dapat meyakinkan Nabi Ya’qub. Merekapun pergi membawa Yûsuf untuk melaksanakan persekongkolan jahat. Namun, Allah memberitahukan ke dalam jiwa si anak (Yûsuf) bahwa itu hanya ujian yang akan berakhir, dan dia akan tetap hidup bahkan akan menceritakan kepada saudarasaudaranya itu tentang sikap dan tindakan mereka ini.65 Pada ayat ke-15 tidak dijelaskan
bagaimana mereka menjerumuskan
Yûsuf. Namun diduga, bahwa sebelum Yusuf dilemparkan ke dalam sumur, terlebih dahulu mereka membuka bajunya .Baju itulah yang mereka bawa dan dijadikan sebagai bukti di hadapan ayah mereka.66
64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423 H./2002 M.), Vol.6, h. 393 65 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: GIP, 2004), Cet.I, jilid 12, h. 229 66 Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1985), Juzu XII, h. 195
63
al-Tabâtaba’î mengemukakan bahwa ayat 15 ketika sampai pada uraian “sepakat memasukkannya ke dasar sumur” berhenti sejenak, tidak menceritakan apa yang terjadi saat itu – sedih dan menyesal – karena telinga tidak mampu mendengar apa yang mereka lakukan terhadap anak tak berdosa itu. Padahal, merekapun tahu betapa besar cinta kasih ayah mereka terhadap Yusuf, calon nabi, putra para nabi. Sungguh terkutuk
kedengkian yang
membinasakan saudara di tangan saudara-saudaranya.67 Setelah mereka melakukan kejahatan terhadap saudara mereka, maka kini mulailah mereka melakukan aksi penipuan dan kedustaan yang amat hina terhadap ayah kandung mereka sendiri, nabi Ya’qûb a.s. Setelah mereka menunggu cukup lama, merekapun datang kepada ayah mereka di malam hari saat gelap mulai tiba, sesaat setelah hilangnya mega merah, sisa-sisa cahaya matahari setelah tenggelam. Hal ini mereka lakukan agar aksi penipuan mereka melalui air muka yang dibuat-buat tidak terlihat jelas oleh ayah mereka. Demikian yang dijelaskan oleh sebagian ahli tafsir.68 Mereka datang sambil menangis mengucurkan air mata dengan harapan ayah mereka akan mempercayai apa yang akan mereka sampaikan. Tentang hal ini, Allah menggambarkannya melalui firman-Nya:
ﻖ ُ ﺴ َﺘ ِﺒ ْ ن ﻗَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎَأﺑَﺎﻧَﺎ ِإﻧﱠﺎ َذ َه ْﺒﻨَﺎ َﻧ َ ﻋﺸَﺎ ًء َﻳ ْﺒﻜُﻮ ِ وَﺟَﺎءُوا َأﺑَﺎ ُه ْﻢ ﻦ َﻟﻨَﺎ َوَﻟ ْﻮ ٍ ﺖ ِﺑ ُﻤ ْﺆ ِﻣ َ ﺐ وَﻣَﺎ َأ ْﻧ ُ ﻋﻨَﺎ َﻓَﺄ َآَﻠ ُﻪ اﻟﺬﱢ ْﺋ ِ ﻋ ْﻨ َﺪ َﻣﺘَﺎ ِ ﻒ َ ﺳ ُ وَﺗَﺮَ ْآﻨَﺎ ﻳُﻮ ﺖ ْ ﺳ ﱠﻮَﻟ َ ﻞ ْ ل َﺑ َ ب ﻗَﺎ ٍ ﺼ ِﻪ ِﺑ َﺪ ٍم َآ ِﺬ ِ ﻋﻠَﻰ َﻗﻤِﻴ َ ُآﻨﱠﺎ ﺻَﺎ ِدﻗِﻴﻦ َوﺟَﺎءُوا ن ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ُ ﺴ َﺘﻌَﺎ ْ ﷲ ا ْﻟ ُﻤ ُ ﻞ وَا ٌ ﺼ ْﺒ ٌﺮ ﺟَﻤِﻴ َ ﺴ ُﻜ ْﻢ أَ ْﻣﺮًا َﻓ ُ َﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻧ ُﻔ َ ﺼﻔُﻮ ِ َﺗ
ن 67 68
M. Qurasih Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol.6, h. 396 Ibid, h. 397-398; Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 12, h. 224
64
Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala, dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya`qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (Q.S. Yûsuf/12:16-18) Dendam yang membara itu telah melalaikan mereka dari memperindah kebohongannya. Seandainya pikiran mereka tenang sejak pertama kali nabi Ya’qûb mengizinkan mereka membawa Yûsuf, niscaya mereka tidak akan berbuat begitu. Akan tetapi, mereka tergesa-gesa dan tidak sabar, mereka takut tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Begitulah, pembuatan cerita tentang serigala secara terang-terangan itu menunjukkan ketergesa-gesaan, padahal ayahnya kemarin sudah memperingatkan mereka tentang serigala itu. Maka, tidaklah wajar kalau mereka pergi pagi-pagi untuk meninggalkan Yusuf dimakan serigala yang kemarin mereka sudah diperingatkan oleh
ayah
mereka itu. Karena ketergesa-gesaan seperti ini, mereka datang dengan membawa baju gamis Yûsuf yang telah dilumuri darah secara tidak cermat. Sungguh nyata sekali dusta mereka sehingga disebut darah palsu (dam kadzib), sebagaimana air mata mereka adalah air mata palsu atau dusta. 3. Tangisan Ahli Kitab Saat Mendengar al-Qur’an al-Qur’an adalah kitab kebenaran. Seratus persen tanpa diselipi oleh keraguan sedikitpun, ia berasal dari Allah Yang Mahahaq lagi Mahabijaksana. Ia diwahyukan oleh Allah kepada Rasul dan Nabi pilihan-Nya, Muhammad saw. melalui malaikat Jibril.
65
ٍﺣﻜِﻴ ٍﻢ ﺧَﺒِﻴﺮ َ ن ْ ﻦ َﻟ ُﺪ ْ ﺖ ِﻣ ْ ﺼَﻠ ﺖ ءَاﻳَﺎ ُﺗ ُﻪ ُﺛﻢﱠ ُﻓ ﱢ ْ ﺣ ِﻜ َﻤ ْ ب ُأ ٌ اﻟﺮ آِﺘَﺎ
Alif Lâm Râ, (inilah) suatu kitab yang secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS.Hûd/11:1)
ﻋﻠِﻴ ٍﻢ َ
ﺣﻜِﻴ ٍﻢ َ ن ْ ﻦ َﻟ ُﺪ ْ ن ِﻣ َ ﻚ َﻟ ُﺘَﻠﻘﱠﻰ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا َ َوِإ ﱠﻧ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS.al-Naml/27:6)
و َﻧﺬِﻳﺮًا َ
ﻻ ُﻣﺒَﺸﱢﺮًا ك ِإ ﱠ َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ ل وَﻣَﺎ َأ ْر َ ﻖ َﻧ َﺰ ﺤﱢ َ ﻖ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َوﺑِﺎ ْﻟ ﺤﱢ َ َوﺑِﺎ ْﻟ
Dan Kami turunkan (al-Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan alQur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (QS.al-Isrâ/17:105)
ن ْ ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ َأ ِ ﻦ ْ ﻦ َﻳﺸَﺎ ُء ِﻣ ْ ﻋﻠَﻰ َﻣ َ ﻦ َأ ْﻣ ِﺮ ِﻩ ْ ح ِﻣ ِ ﻼ ِﺋ َﻜ َﺔ ﺑِﺎﻟﺮﱡو َ ل ا ْﻟ َﻤ ُ ُﻳ َﻨﺰﱢ ِ ﻻ َأﻧَﺎ ﻓَﺎ ﱠﺗﻘُﻮ ﻻ ِإَﻟ َﻪ ِإ ﱠ َ َأ ْﻧ ِﺬرُوا َأﻧﱠ ُﻪ
ن Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". (QS.alNahl/16:2)
ب ُ ﺖ َﺗ ْﺪرِي ﻣَﺎ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﻦ أَ ْﻣﺮِﻧَﺎ ﻣَﺎ ُآ ْﻨ ْ ﻚ رُوﺣًﺎ ِﻣ َ ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴ َ ﻚ َأ ْو َ َو َآ َﺬِﻟ ﻋﺒَﺎ ِدﻧَﺎ ِ ﻦ ْ ﻦ َﻧﺸَﺎ ُء ِﻣ ْ ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻩ ﻧُﻮرًا َﻧ ْﻬﺪِي ِﺑ ِﻪ َﻣ َ ﻦ ْ ن َوَﻟ ِﻜ ُ ﻻﻳﻤَﺎ ِ ﻻ ْا َ َو ْ ط ُﻣ ٍ ﺻﺮَا ِ ﻚ ﻟَﺘَ ْﻬﺪِي ِإَﻟﻰ َ َوِإ ﱠﻧ
ٍﺴﺘَﻘِﻴﻢ Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS.al-Syûrâ/42:52) al-Qur’an adalah ruh Robbani yang dengannya, akal dan hati menjadi hidup. Ia juga merupakan dustur Ilahi yang mengatur kehidupan individu dan bangsabangsa.
66
Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan kejadiankejadian yang berlangsung, sehingga ia
lebih melekat dalam hati, lebih
dipahami oleh akal manusia, menuntaskan masalah-masalah dengan ayat-ayat Allah, memberikan jawaban atas pertanyaan. Juga untuk menguatkan hati Rasulullah saw. dalam menghadapi cobaan dan kesulitan yang dialami oleh beliau dan para sahabat. Allah swt. berfirman:
ﺖ َ ﻚ ِﻟُﻨَﺜﱢﺒ َ ﺣ َﺪ ًة َآ َﺬِﻟ ِ ﺟ ْﻤَﻠ ًﺔ وَا ُ ن ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اْﻟ ُﻘ ْﺮءَا َ ل َ ﻻ ُﻧ ﱢﺰ َ ﻦ َآ َﻔﺮُوا َﻟ ْﻮ َ ل اﱠﻟﺬِﻳ َ َوﻗَﺎ ﻖ ﺤﱢ َ ﻻ ﺟِ ْﺌﻨَﺎكَ ﺑِﺎْﻟ ﻞ ِإ ﱠ ٍ ﻚ ِﺑ َﻤَﺜ َ ﻻ َﻳ ْﺄﺗُﻮَﻧ َ ﻼ َو ً ك َو َرﱠﺗْﻠﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺮﺗِﻴ َ ِﺑ ِﻪ ُﻓﺆَا َد َﺴ َﺣ ْ َوَأ
ﻦ َﺗ ْﻔﺴِﻴﺮًا Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS.al-Furqân/25:32-33) Sebagai kitab kebenaran yang menjadi pedoman hidup, ia diperuntukkan bagi seluruh manusia. Allah menegaskan:
ﻦ َ ت ِﻣ ٍ س َو َﺑ ﱢﻴﻨَﺎ ِ ن ُهﺪًى ﻟِﻠﻨﱠﺎ ُ ل ﻓِﻴ ِﻪ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا َ ن اﱠﻟﺬِي ُأ ْﻧ ِﺰ َ ﺷ ْﻬ ُﺮ َر َﻣﻀَﺎ َ ن َ ﻦ آَﺎ ْ ﺼ ْﻤ ُﻪ َو َﻣ ُ ﺸ ْﻬ َﺮ َﻓ ْﻠ َﻴ ﺷ ِﻬ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠ َ ﻦ ْ ن َﻓ َﻤ ِ ا ْﻟ ُﻬﺪَى وَا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ ﻻ َ ﺴ َﺮ َو ْ ﷲ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻴ ُ ﺧ َﺮ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ا َ ﻦ َأﻳﱠﺎ ٍم ُأ ْ ﺳ َﻔ ٍﺮ َﻓ ِﻌ ﱠﺪ ٌة ِﻣ َ َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َأ ْو ﻋَﻠَﻰ ﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ َهﺪَا ُآ ْﻢ َ ﷲ َ ﺴ َﺮ َوِﻟ ُﺘ ْﻜ ِﻤﻠُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ﱠﺪ َة َوِﻟ ُﺘ َﻜ ﱢﺒﺮُوا ا ْ ُﻳﺮِﻳ ُﺪ ِﺑ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ ُﻌ َ ﺸ ُﻜﺮُو ْ َوَﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ
ن (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.al-Baqarah/2:185)
67
ﻦ َﻧﺬِﻳﺮًا َ ن ِﻟ ْﻠﻌَﺎَﻟﻤِﻴ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ ِﻩ ِﻟ َﻴﻜُﻮ َ ﻋﻠَﻰ َ ن َ ل ا ْﻟ ُﻔ ْﺮﻗَﺎ َ ك اﱠﻟﺬِي َﻧ ﱠﺰ َ َﺗﺒَﺎ َر
Maha Suci Allah yang telah menurunkan menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS.al-Furqân/25:1)
ِﻟ ْﻠﻌَﺎَﻟﻤِﻴﻦ
ﻻ ذِ ْآ ٌﺮ ن ُه َﻮ ِإ ﱠ ْ ِإ
al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. (QS.alTakwîr/81:27) al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang hanya ditujukan bagi suatu bangsa, sementara yang lainnya tidak,
tidak juga hanya untuk satu warna kulit
manusia, atau satu wilayah tertentu, dan tidak juga hanya untuk satu jenis manusia. al-Qur’an tidak juga diperuntukkan hanya bagi kalangan rasionalis, sementara kalangan intuitif dan esoteris tidak disentuhnya, atau sebaliknya. al-Qur’an tidak hanya untuk kalangan rohaniawan, sementara kalangan materialis dibiarkan, dan begitu sebaliknya. al-Qur’an tidak hanya mementingkan kalangan individualis, sementara kalangan sosialis diabaikan. al-Qur’an tidak hanya bagi kalangan idealis, sementara kalangan realis tidak dihiraukan.
al-Qur’an tidak hanya diberikan kepada kalangan penguasa,
sementara rakyat banyak tidak dipedulikan. al-Qur’an tidak hanya untuk para konglomerat yang bergelimang dengan harta, sementara fakir miskin tidak disinggung. al-Qur’an tidak sekedar mementingkan kalangan pria, sedang para wanita
dilepaskan. al-Qur’an adalah kitab bagi seluruh golongan
manusia dan tuntunan bagi semua orang dari Allah Robbul ‘aalamiin.69 al-Qur’an adalah cahaya yang Allah anugerahkan kepada umat manusia. Cahayanya dapat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Mereka yang berilmu pengetahuan, boleh jadi akan mengakui kebenaran al-Qur’an 69
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, Penerjemah Abdul hayyi al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press1999), Cet. I, h. 98-99
68
dan beriman kepadanya karena ilmu yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam surat al-Hajj ayat 54:
ﺖ َ ﺨ ِﺒ ْ ﻚ َﻓ ُﻴ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ِﺑ ِﻪ َﻓ ُﺘ َ ﻦ َر ﱢﺑ ْ ﻖ ِﻣ ﺤﱡ َ ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ َأﻧﱠ ُﻪ ا ْﻟ َ َوِﻟ َﻴ ْﻌَﻠ َﻢ اﱠﻟﺬِﻳ ْ ط ُﻣ ٍ ﺻﺮَا ِ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا ِإﻟَﻰ َ ﷲ َﻟﻬَﺎ ِد اﱠﻟﺬِﻳ َ نا َﻟ ُﻪ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ َوِإ ﱠ
ﺴ َﺘﻘِﻴ ٍﻢ dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya alQur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. Allah juga menggambarkan tentang perilaku dan sikap ahli kitab terhadap al-Qur’an dan terhadap Nabi Muhammad saw. Memang banyak di antara mereka yang dikategorikan sebagai
orang-orang fasik sebagaimana yang
disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 59 berikut ini:
ل َ ﷲ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ ِ ن ءَاﻣَﻨﱠﺎ ﺑِﺎ ْ ﻻ َأ ن ِﻣﻨﱠﺎ ِإ ﱠ َ ﻞ َﺗ ْﻨ ِﻘﻤُﻮ ْ ب َه ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﻞ ﻳَﺎَأ ْه ْ ُﻗ َ ﺳﻘُﻮ ِ ن َأ ْآ َﺜ َﺮ ُآ ْﻢ ﻓَﺎ ﻞ َوَأ ﱠ ُ ﻦ َﻗ ْﺒ ْ ل ِﻣ َ إِﻟَ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ
ن Katakanlah: "Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?" Namun, Dr.M.Quraish Shihab menjelaskan bahwa redaksi ayat di atas tidak meniscayakan bahwa semua ahli kitab memiliki karakteristik yang sama. 70
Lihat pula beberapa ayat berikut ini:
ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ إِﻳﻤَﺎ ِﻧ ُﻜ ْﻢ ُآﻔﱠﺎرًا ْ ب َﻟ ْﻮ َﻳ ُﺮدﱡو َﻧ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ َو ﱠد آَﺜِﻴ ٌﺮ ِﻣ ﻋﻔُﻮا ْ ﻖ ﻓَﺎ ﺤﱡ َ ﻦ َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ َ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ َﺗ َﺒ ﱠﻴ ْ ﺴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ ِ ﻋ ْﻨ ِﺪ َأ ْﻧ ُﻔ ِ ﻦ ْ ﺣَﺴَﺪًا ِﻣ ٌ ﻲ ٍء َﻗﺪِﻳ ْ ﺷ َ ن اﻟﱠﻠﻪَ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ ﷲ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻩ ِإ ﱠ ُ ﻲا َ ﺻﻔَﺤُﻮا ﺣَﺘﱠﻰ َﻳ ْﺄ ِﺗ ْ وَا
ﺮ Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
70
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), Cet. I, h. 354
69
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.al-Baqarah/2:109)
ﻻ ن ِإ ﱠ َ ﻀﻠﱡﻮ ِ ﻀﻠﱡﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢ وَﻣَﺎ ُﻳ ِ ب َﻟ ْﻮ ُﻳ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ت ﻃَﺎ ِﺋ َﻔ ٌﺔ ِﻣ ْ َو ﱠد َ ﺸ ُﻌﺮُو ْ ﺴ ُﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ َﻳ َ َأ ْﻧ ُﻔ
ن Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya. (QS. Ali Imran:69)
ب َ ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ َ ن ُﺗﻄِﻴﻌُﻮا َﻓﺮِﻳﻘًﺎ ِﻣ ْ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا ِإ َ ﻳَﺎأَ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ
ﻦ َ ﻳَ ُﺮدﱡو ُآ ْﻢ َﺑ ْﻌ َﺪ إِﻳﻤَﺎ ِﻧ ُﻜ ْﻢ آَﺎ ِﻓﺮِﻳ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS. Ali ‘Imrân/3:100)
ن ْ ﻦ ِإ ْ ﻚ َو ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻣ َ ن َﺗ ْﺄ َﻣ ْﻨ ُﻪ ِﺑ ِﻘ ْﻨﻄَﺎ ٍر ُﻳ َﺆ ﱢد ِﻩ ِإَﻟ ْﻴ ْ ﻦ ِإ ْ ب َﻣ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ َو ِﻣ ﻚ ِﺑَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﻗَﺎ ِﺋﻤًﺎ َذِﻟ َ ﺖ َ ﻻ ﻣَﺎ ُد ْﻣ ﻚ ِإ ﱠ َ ﻻ ُﻳ َﺆ ﱢد ِﻩ ِإَﻟ ْﻴ َ َﺗ ْﺄ َﻣ ْﻨ ُﻪ ِﺑﺪِﻳﻨَﺎ ٍر ب َ ﷲ ا ْﻟ َﻜ ِﺬ ِ ن ﻋَﻠَﻰ ا َ ﻞ َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ٌ ﻦ ﺳَﺒِﻴ َ ﻻ ﱢﻣﻴﱢﻴ ُ ﺲ ﻋَﻠَ ْﻴﻨَﺎ ﻓِﻲ ْا َ ﻗَﺎﻟُﻮا َﻟ ْﻴ َ َو ُه ْﻢ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ
ن Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang umi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (QS.Ali Imrân/3:75)
ﷲ ءَاﻧَﺎ َء ِ تا ِ ن ءَاﻳَﺎ َ ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ﺳﻮَا ًء ِﻣ َ َﻟ ْﻴﺴُﻮا َ ﺠﺪُو ُﺴ ْ اﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ َو ُه ْﻢ َﻳ
ن Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (QS.Ali Imrân/3:113)
ﺟ ُﺪ ٍر ُ ﻦ َورَا ِء ْ ﺼ َﻨ ٍﺔ َأ ْو ِﻣ ﺤ ﱠ َ ﻻ ﻓِﻲ ُﻗﺮًى ُﻣ ﺟﻤِﻴﻌًﺎ ِإ ﱠ َ ﻻ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ َﻧ ُﻜ ْﻢ َ ﻚ ِﺑَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ﻗَ ْﻮ ٌم َ ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َو ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ﺷَﺘﱠﻰ َذِﻟ َ ﺴ ُﺒ ُﻬ ْﻢ َﺤ ْ ﺳ ُﻬ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ﺷَﺪِﻳ ٌﺪ َﺗ ُ َﺑ ْﺄ َ ﻻ َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ َ
ن 70
Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (QS.alHasyr/59:14) Beberapa ayat di atas memberikan isyarat dan memberikan petunjuk kepada umat Islam bahwa kita tidak boleh menggeneralkan ahli kitab. Kita tidak boleh menganggap bahwa semua ahli kitab salah dan fasik. Bahkan dalam surat Ali Imran ayat 199 al-Qur’an menegaskan bahwa sebagian ahli kitab beriman kepada Allah dan al-Qur’an.
ل َ ل ِإَﻟ ْﻴ ُﻜ ْﻢ وَﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ َ ﷲ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ ِ ﻦ ﺑِﺎ ُ ﻦ ُﻳ ْﺆ ِﻣ ْ ب َﻟ َﻤ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ن ِﻣ َوِإ ﱠ ﻚ َﻟ ُﻬ ْﻢ َ ﻼ أُوَﻟ ِﺌ ً ﷲ ﺛَﻤَﻨًﺎ َﻗﻠِﻴ ِ تا ِ ن ﺑِﺂﻳَﺎ َ ﺸ َﺘﺮُو ْ ﻻ َﻳ َ ﷲ ِ ﻦ َ ﺷﻌِﻴ ِ ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﺧَﺎ ِ ﺤﺴَﺎ ِ ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ َ ﷲ َ نا ﻋ ْﻨ َﺪ َر ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ ِإ ﱠ ِ ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ ْ َأ
ب Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS.Ali ‘Imrân/3:199) Tidak sedikit di antara ahli kitab yang secara tulus ikhlas mengakui kebenaran agama Islam dan memeluknya. Salah seorang yang populer di antara mereka adalah ‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.). al-Qurtûbî (w. 567 H.) dalam tafsirnya meriwayatkan, bahwa ketika turun firman Allah:
ن َﻓﺮِﻳﻘًﺎ ن َأ ْﺑﻨَﺎ َء ُه ْﻢ َوِإ ﱠ َ ب َﻳ ْﻌ ِﺮﻓُﻮ َﻧ ُﻪ آَﻤَﺎ َﻳ ْﻌ ِﺮﻓُﻮ َ ﻦ ءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ ُه ُﻢ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﻖ َو ُه ْﻢ َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ ﺤﱠ َ ن ا ْﻟ َ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻟ َﻴ ْﻜ ُﺘﻤُﻮ
ن Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. al-Baqarah/2:146)
71
Sayyidina ‘Umar r.a. (w. 23 H.) bertanya kepada Abdullâh bin Salâm: “Apakah engkau mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?” ‘Abdullâh menjawab: “Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia; (sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan ibunya.”71 Sebagai Zat yang telah menurunkan al-Qur’an dan pemegang segala kekuasaan, Allah berhak untuk memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (QS.39:23), termasuk ahli kitab. Itulah sebabnya, ahli kitab yang tidak bersikap apriori kepada Nabi Muhammad saw. dan al-Qur’an, akan mengakui kebenaran yang dikandung oleh kitab suci tersebut. Bahkan, ketika sebagian rangkaian ayat-ayat kitab suci itu dibacakan, berlinanglah air mata mereka. Dalam surat al-Maidah ayat 83 Allah menyatakan:
ﻦ َ ﺾ ِﻣ ُ ﻋ ُﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ ْ ل ﺗَﺮَى َأ ِ ل إِﻟَﻰ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﺳ ِﻤﻌُﻮا ﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ َ َوِإذَا ن رَ ﱠﺑﻨَﺎ ءَاﻣَﻨﱠﺎ ﻓَﺎ ْآ ُﺘ ْﺒﻨَﺎ َﻣ َﻊ َ ﻖ َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ﺤﱢ َ ﻦ ا ْﻟ َ ﻋ َﺮﻓُﻮا ِﻣ َ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ ِﻣﻤﱠﺎ َ اﻟﺸﱠﺎ ِهﺪِﻳ
ﻦ Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad) kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) (QS.al-Maidah/5:83) Ayat di atas menjelaskan ayat sebelumnya (82) yang menyatakan bahwa orang Nasrani di zaman Rasulullah saw. lebih dekat kepada orang-orang mukmin daripada orang-orang Yahudi dan musyrik. Di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib yang masih bersih hatinya sehingga
71
Ibid, h. 358
72
ketika sebagian ayat al-Qur’an dilantunkan kepada mereka, merekapun menangis karena mengetahui dan menyadari bahwa itu adalah haq (benar). Menurut Ibn ‘Abbâs r.a. (w. 68 H.), ayat ini turun berkenaan dengan Najasyi dan para koleganya ketika Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.) membacakan kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), Rasulullah mengkhawatirkan para sahabatnya yang banyak menerima gangguan dari orang-orang musyrik di Mekah. Beliaupun mengutus Ja’far bin Abî Tâlib dan Ibn Mas’ûd (w. 32 H.)bersama rombongan untuk datang kepada Raja Najasyi. Beliau bersabda: “Sesungguhnya ia (Najasyi) adalah seorang raja yang baik (sâlih) yang tidak pernah berbuat zalim terhadap seseorang. Pergilah kepadanya sehingga Allah akan memberikan kelapangan kepada kaum muslimin.” Ketika kaum muslimin ini tiba di Habsyah, Najasyi sangat menghormatinya.
Najasyi
bertanya
kepada
mereka:
“Apakah
kalian
mengetahui sesuatu yang diturunkan kepada kalian?” Mereka menjawab: “Ya.” Selanjutnya beliau memerintahkan mereka untuk membacakan ayatayat al-Qur’an, sementara di sekitarnya hadir beberapa pendeta dan rahib. Setiap kali membacakan ayat al-Qur’an, berlinanglah air mata mereka karena mereka mengetahui bahwa itu adalah benar.72 Ada pula riwayat yang diterima oleh Sa’îd bin Musayyab (w.193 H.), Abû Bakar bin Abdurrahmân, Hârits bin Hisyâm (w. 15 H.), dan ‘Urwah bin Zubair (w. 94 H.). Mereka semua mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah mengutus ‘Amr bin Umayyah al-Damrî (w. 59 H.) membawa sepucuk surat kepada Najasyi. Ketika telah diterima oleh Najasyi, iapun membaca surat Rasulullah itu. Isi surat Rasulullah itu meminta kepada Najasyi agar berkenan memberikan perlindungan 72
al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h.113
73
kepada sahabat-sahabat beliau yang datang ke negeri itu yang dipimpin oleh Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.) Setelah itu, Raja Najasyi meminta agar semua orang-orang muhajirin itu dipanggil, termasuk pimpinannya (Ja’far). Kemudian, baginda meminta agar para pendeta dan rahib juga turut hadir dalam pertemuan itu.
Ketika telah berkumpul, Baginda memerintahkan Ja’far agar membaca
sebagian ayat-ayat al-Qur’an di hadapan para pendeta dan rahib. Ja’farpun membacakan surat Maryam. Mendengar surat Maryam yang dibacakan, berimanlah mereka semua sambil mencucurkan air mata.73 Dalam riwayat lain yang mirip dengan riwayat di atas yang diterima dari Qatâdah (w.117 H.) disebutkan, bahwa orang-orang Quraisy tidak senang melihat kaum muslimin meminta perlindungan ke negeri Habsyah di bawah kekuasaan raja Najasyi. Merekapun mengutus dua orang utusan, yaitu ‘Amr bin ‘As (w. 43 H.) dan ‘Ummârah bin Wâlid untuk menghadap raja Najasyi. Utusan itu akan meminta kepada Baginda agar menyerahkan kaum Muhajirin kepada mereka untuk dibawa pulang ke Mekah. Akan tetapi, Najasyi tidak mau menuruti kedua utusan itu sebelum Baginda mendengar sendiri dari kaum muslimin, apa sebenarnya pendirian mereka terhadap Nabi baru itu. Ketika kaum muslimin dan kedua utusan Quraisy itu telah berkumpul di satu majlis, Najasyipun bertanya tentang Nabi baru itu. Ja’far bin Abî Tâlib (w.8 H.), sebagai ketua rombongan, menjawab, “Memang, kepada kami telah diutus seorang Nabi, sebagaimana yang juga pernah diutus kepada umat-umat sebelum kami. Dia telah menyeru kepada kami untuk beriman kepada Allah Yang Mahatunggal. Dia telah menyuruh kami berbuat ma’ruf. Dia telah 73
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu 7, hal. 6; al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, , Juz 3, h. 384; Fakhruddîn al-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1985), Cet.III, Juz 12, h. 72
74
melarang kami berbuat kemunkaran. Dia telah memerintahkan kami supaya menghubungkan kasih sayang dan jangan memutuskannya. Dia telah memerintahkan kami memenuhi janji dan tidak mengingkarinya. Tetapi sayang sekali, kaum kami telah benci kepada kami lantaran itu sehingga kami diusir karena beriman kepadanya. Maka, kamipun memohon perlindungan kepada engkau. Itulah sebabnya, kami datang ke sini.” Mendengar itu, Najasyi terharu dan serta merta menyambutnya dengan baik. ‘Amr bin ‘As (w. 43 H.) tidak kehabisan akal. Iapun berkata dengan nada hasutan, “Mereka berkata tentang Isâ, berbeda sekali dengan yang kamu percayai.” Najasyipun bertanya kepada kaum Muhajirin. Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul Allah, kalimat Allah, dan ruh-Nya. Ia dilahirkan oleh seorang perawan yang suci.” Najasyi menyambut: “Memang begitu, kalian tidak salah.” Lalu Baginda berkata kepada ‘Amr dan kawannya: “Kalau kalian bukan tamuku, niscaya telah aku hukum kalian.” Karena gagal, kedua utusan itu kembali ke Mekah dengan tangan hampa. Sementara Najasyi tertarik kepada Islam dan memeluknya. Ketika Ja’far akan kembali ke Madinah, karena Rasul juga telah hijrah ke Madinah, Najasyi Ashamah itu mengutus pula beberapa pendeta dan rahib dalam rangka mempererat silaturrahim dengan Rasulullah saw. Menurut riwayat Ibn Jarîr (w.310 H.) dan Ibn Abî Hâtim (w.328 H.) yang diterima dari al-Suddî (w.127 H.), jumlah utusan yang datang bersama Ja’far adalah dua belas orang, tujuh pendeta dan lima rahib. Ketika mereka telah hadir di majlis Rasulullah,
75
dibacakanlah sebagian ayat al-Qur’an. Mereka terharu dan menangis mendengarkannya, dan pada akhirnya memeluk Islam.74 Riwayat-riwayat di atas, menandaskan bahwa Baginda Najasyi ataupun para pendeta dan rahib, telah menunjukkan sikap obyektif dalam menyikapi ayat-ayat al-Qur’an. Keterpesonaan kalbu mereka, tak dapat dipungkiri. Apa yang diinformasikan al-Qur’an, memang sesuai dengan kabar gembira yang mereka nanti-nanti tentang akan diutusnya Muhammad saw. Dengan linangan air mata tanda ketulusan, mereka beriman kepada al-Qur’an dan memeluk agama Islam, seraya berkata: “Robbanaa aamannaa faktubnaa ma’asy syaahidiin” (Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi {atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Nabi Muhammad saw.}).75 Menurut al-Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, tangisan yang terjadi pada diri mereka disebabkan rasa takut terhadap Allah karena kehalusan kalbu mereka serta pengaruh positif dari ayat-ayat al-Qur’an yang membekas dalam hati mereka. Tangisan seperti inilah tangisan positif yang dicintai dan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Tangisan seperti inilah yang membuat neraka enggan untuk menyentuhnya apalagi membakarnya. Ada pula rangkaian ayat lain yang menggambarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang mengakui kebenaran al-Qur’an.
و َﻧﺬِﻳﺮًا َ
ﻻ ُﻣﺒَﺸﱢﺮًا ك ِإ ﱠ َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ ل وَﻣَﺎ َأ ْر َ ﻖ َﻧ َﺰ ﺤﱢ َ ﻖ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َوﺑِﺎ ْﻟ ﺤﱢ َ َوﺑِﺎ ْﻟ ﺚ َو َﻧ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ ٍ س ﻋَﻠَﻰ ُﻣ ْﻜ ِ ﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ َ َو ُﻗ ْﺮءَاﻧًﺎ َﻓ َﺮ ْﻗﻨَﺎ ُﻩ ِﻟ َﺘ ْﻘ َﺮَأ ُﻩ ً َﺗ ْﻨﺰِﻳ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ ْ ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ِﻣ َ ن اﱠﻟﺬِﻳ ﻻ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ِإ ﱠ َ ﻞ ءَاﻣِﻨُﻮا ِﺑ ِﻪ َأ ْو ْ ﻼ ُﻗ
ن َ ن آَﺎ ْ ن َر ﱢﺑﻨَﺎ ِإ َ ﺳ ْﺒﺤَﺎ ُ ن َ ﺠﺪًا َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ﺳﱠ ُ ن ِ ﻸ ْذﻗَﺎ َ ن ِﻟ َ ﺨﺮﱡو ِ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﻳ َ ِإذَا ُﻳ ْﺘﻠَﻰ
ﺧﺸُﻮﻋًﺎ ُ ن َو َﻳﺰِﻳ ُﺪ ُه ْﻢ َ ن َﻳ ْﺒﻜُﻮ ِ ﻸ ْذﻗَﺎ َ ن ِﻟ َ ﺨﺮﱡو ِ ﻋ ُﺪ َر ﱢﺑﻨَﺎ ﻟَﻤَ ْﻔﻌُﻮﻻً َو َﻳ ْ َو 74 75
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu 7, h. 7 Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 7, h. 9
76
Dan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan alQur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (QS.al-Isrâ/17:105-109) Ayat di atas juga menjelaskan bahwa ahli kitab yang berpengetahuan dan shalih yang berpegang teguh kepada
kitab mereka, tidak mengganti dan
mengubah-ubahnya, ketika kepada mereka dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, maka hati mereka akan bergetar.
Mereka segera sujud di atas bumi
meletakkan wajah mereka, sebagai wujud pengagungan kepada Allah dan sebagai tanda syukur atas anugerah nikmat-Nya. Merekapun tidak mampu menahan deraian air mata dari bola matanya. Ayat-ayat al-Qur’an dibacakan
itu
yang
telah menambah rasa takut (khasy-yah) dan rendah diri
(tawâ du’) mereka di hadapan Allah.76 Menurut Mujâhid, di antara ahli kitab yang berperilaku seperti ini adalah Zaid bin ‘Amr bin Naufal dan
Waraqah bin Naufal dari Mekah, serta
‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.) dari Madinah. Mereka inilah orang-orang yang pandai dan bersih hatinya sehingga mau beriman kepada al-Qur’an. Zaid bin Naufal adalah seorang yang banyak melakukan pengembaraan, terutama ke negeri Syam, dan banyak bertanya. Meski ia belum memeluk suatu agama, namun ia mengakui dan meyakini bahwa Allah itu Esa dan ia sangat membenci penyembahan berhala.
76
‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 2, h. 179; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h. 68; Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, h. 185
77
Waraqah bin Naufalpun telah mempelajari agama Nasrani sehingga ia mengetahui isi Injil. Dia telah mendapatkan intisari ajaran tauhid Nabi Isâ a.s. Oleh karena itu, ketika Siti Khadîjah (keponakannya) membawa Muhammad saw. menemuinya setelah mendapatkan wahyu melalui malaikat Jibril, serta merta ia mengatakan bahwa yang datang itu adalah namus, malaikat Jibril, atau Ruh Kudus, yang juga pernah datang kepada Musa dan Isa. Dia beriman kepada Muhammad saw. Dia juga mengatakan, bahwa kelak Muhammad saw. akan dimusuhi dan diusir dari negerinya. Andaikata ketika itu, dia masih ada, tentu ia akan membela Muhammad saw. Demikian tekad Waraqah bin Naufal. Sedangkan ‘Abdullâh bin Salâm (w. 43 H.) adalah seorang pendeta Yahudi Madinah yang berwawasan dan berpikiran luas. Ketika Rasulullah saw. mulai hijrah ke Madinah, ia menyelinap di antara kerumunan orang untuk memperhatikan dan mendengarkan pidato Rasulullah saw. yang pertama. Pidatonya tidak panjang dan tidak banyak bunga. Dia sungguh tertarik dan bersaksi “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Begitulah sikap orang-orang salih yang berilmu. Mereka dengar dan mereka sujud, sambil berkata, “Mahasuci Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.”(ayat 108) Menurut Dr. Wahbah Zuhaili, sujud yang mereka lakukan ini, secara tidak langsung merupakan sindiran kepada orang-orang Jahiliyah dan orang-orang musyrik. Meskipun mereka (Orang-orang Jahiliyah dan musyrikin) tidak beriman kepada al-Qur’an, akan tetapi orang-orang pilihan dan para cendikiawan ahli kitab yang membaca kitab-kitab terdahulu, mengetahui tentang wahyu dan syari’at, mereka beriman dan membenarkannya. Mereka
78
yakin bahwa Muhammad saw. adalah nabi yang dijanjikan dalam kitab-kitab yang mereka baca. Mereka menyungkurkan wajah mereka, bersujud, menangis, dalam keadaan khusyu’ dan rendah diri karena takut kepada Allah, serta karena beriman dan membenarkan kitab dan Rasul-Nya.77 Tangisan yang mereka tunjukan adalah tangisan terpuji yang disukai Allah dan rasul-Nya. dalam salah satu sabdanya, Rasulullah saw. bersabda:
ﻻ َ ن ِ ﻋ ْﻴﻨَﺎ َ ل ُ َﻳﻘُﻮρ ﷲ ِ ل ا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ س ﻓِﻲ ُ ﺤ ُﺮ ْ ﺖ َﺗ ْ ﻦ ﺑَﺎ َﺗ ٌ ﻋ ْﻴ َ ﷲ َو ِ ﺸ َﻴ ِﺔ ا ْﺧ َ ﻦ ْ ﺖ ِﻣ ْ ﻦ َﺑ َﻜ ٌ ﺴ ُﻬﻤَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ُر ﻋَ ْﻴ ﺗَﻤَ ﱡ 78 ﷲ ِ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang menjaga (kemanan kaum muslimin) di jalan allah.” (HR al-Tirmidzî).
4. Tangisan Orang yang Berhalangan Berjihad Dalam pandangan Islam, jihad adalah perbuatan yang amat mulia. Oleh karena itu, jihad menjadi sebuah keniscayaan dalam hidup seorang mukmin. Tanpanya, keimanan seseorang patut untuk dipertanyakan. Seorang pakar al-Qur’an, al-Râghib al-Isfahânî (w. 502 H.), dalam kitab “Mu’jam Mufradât Alfâz al-Qur’ân” menegaskan bahwa jihad dan mujahadah adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Jihad terdiri dari tiga macam: (1) Menghadapi musuh yang nyata, (2) Menghadapi setan,
77
Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, hal.186 Ibid; Nilai Hadis ini hasan garib. Lihat al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb alJihâd Bâb Mâ Jâ fî Fadl al-Hars fî Sabîl al-Lâh, no. hadis 1690, h. 96 78
79
(3) Menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Ketiga makna jihad ini, menurut Al-Isfahani (w. 502 H.), dicakup oleh ayat berikut ini:79
ﻚ َ ﷲ أُوَﻟ ِﺌ ِ ﺟﺮُوا وَﺟَﺎهَﺪُوا ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا َ ﻦ هَﺎ َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا وَاﱠﻟﺬِﻳ َ ن اﱠﻟﺬِﻳ ِإ ﱠ ٌ ﷲ ﻏَﻔُﻮ ُ ﷲ وَا ِ ﺣ َﻤ َﺔ ا ْ ن َر َ َﻳ ْﺮﺟُﻮ
ر رَﺣِﻴ ٌﻢ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah/2:218)
ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ َ ﻞ َ ﺟ َﻌ َ ﺟ َﺘﺒَﺎ ُآ ْﻢ َوﻣَﺎ ْ ﺟﻬَﺎ ِد ِﻩ ُه َﻮ ا ِ ﻖ ﺣﱠ َ ﷲ ِ وَﺟَﺎهِﺪُوا ﻓِﻲ ا ﻞ ُ ﻦ َﻗ ْﺒ ْ ﻦ ِﻣ َ ﺴِﻠﻤِﻴ ْ ﺳﻤﱠﺎ ُآ ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ َ ج ِﻣﱠﻠ َﺔ َأﺑِﻴ ُﻜ ْﻢ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ ُه َﻮ ٍ ﺣ َﺮ َ ﻦ ْ ﻦ ِﻣ ِ اﻟﺪﱢﻳ ﺷ َﻬﺪَا َء ﻋَﻠَﻰ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو َﺗﻜُﻮﻧُﻮا َ ﺷﻬِﻴﺪًا َ ل ُ ن اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ َوﻓِﻲ هَﺬَا ِﻟ َﻴﻜُﻮ ﷲ ُه َﻮ ِ ﺼﻤُﻮا ﺑِﺎ ِ ﻋ َﺘ ْ ﺼَﻠﻮ َة َوءَاﺗُﻮا اﻟ ﱠﺰ َآﻮ َة وَا س ﻓَﺄَﻗِﻴﻤُﻮا اﻟ ﱠ ِ اﻟﻨﱠﺎ ُ ﻻ ُآ ْﻢ َﻓ ِﻨ ْﻌ َﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮﻟَﻰ َو ِﻧ ْﻌ َﻢ اﻟ ﱠﻨﺼِﻴ َ َﻣ ْﻮ
ﺮ Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS.al-Hajj/22:78) Dalam kehidupan seorang mukmin, jihad tidak dapat dipisahkan. Seorang mukmin akan senantiasa berusaha untuk berjihad dengan harta dan jiwanya sekuat kemampuannya. Allah menegaskan:
ﺴ ِﻬ ْﻢ ِ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َﻣ َﻌ ُﻪ ﺟَﺎهَﺪُوا ِﺑَﺄ ْﻣﻮَاِﻟ ِﻬ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﻔ َ ل وَاﱠﻟﺬِﻳ ُ ﻦ اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ِ َﻟ ِﻜ َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ َ ت َوأُوَﻟ ِﺌ ُ ﺨ ْﻴﺮَا َ ﻚ َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ َ َوأُوَﻟ ِﺌ ﷲ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُ ﻋ ﱠﺪ ا َ ن َأ ﻚ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز َ ﻦ ﻓِﻴﻬَﺎ َذِﻟ َ ﻷ ْﻧﻬَﺎ ُر ﺧَﺎِﻟﺪِﻳ َ ﺤ ِﺘﻬَﺎ ا ْ ﻦ َﺗ ْ ﺠﺮِي ِﻣ ْ ت َﺗ ٍ ﺟﻨﱠﺎ َ َ ا ْﻟ
ﻌﻈِﻴ ُﻢ Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung. Allah telah 79
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h.506-507
80
menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.al-Taubah/9:8889) Sebagai Zat Yang Mahabijaksana, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal perbuatan hamba-Nya yang ikhlas, semata-mata mencari keridhaan-Nya. Dia akan mencintai dan melindungi hamba yang berjihad dengan hati bersih dan niat yang tulus. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:
ن ٌ ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ ﺻَﻔًّﺎ َآَﺄ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ُﺑ ْﻨﻴَﺎ َ ن ﻓِﻲ َ ﻦ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ َ ﺤﺐﱡ اﱠﻟﺬِﻳ ِ ﷲ ُﻳ َ ن ا ِإ ﱠ ٌ َﻣ ْﺮﺻُﻮ
ص Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.(QS.al-Saff/61:4) Kecintaan merupakan tingkatan tertinggi dari ridha-Nya. Semua kaum mukmin
mendapatkan
predikat
ini.
Semua
berlomba-lomba
untuk
mendapatkan cinta dari-Nya, sehingga hamba yang takwa senantiasa mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya demi mendapatkan kasih sayang dan cinta dari-Nya. Hamba yang ikhlas mengadakan transaksi yang mulia ini kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Taubah ayat 111 berikut ini:
ﺠﱠﻨ َﺔ َ ن َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ ﺴ ُﻬ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ ﱠ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﻴﻦَ َأ ْﻧ ُﻔ َ ﺷ َﺘﺮَى ِﻣ ْﷲ ا َ ن ا ِإ ﱠ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣَﻘًّﺎ ﻓِﻲ اﻟﱠﺘ ْﻮرَا ِة َ ﻋﺪًا ْ ن َو َ ن َوُﻳ ْﻘ َﺘﻠُﻮ َ ﷲ َﻓ َﻴ ْﻘُﺘﻠُﻮ ِ ن ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا َ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ ﺸﺮُوا ِﺑ َﺒ ْﻴ ِﻌ ُﻜ ُﻢ ِ ﺳ َﺘ ْﺒ ْ ﷲ ﻓَﺎ ِ ﻦا َ ﻦ أَ ْوﻓَﻰ ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ ْ ن َو َﻣ ِ ﻞ وَا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا ِ ﻹ ْﻧﺠِﻴ ِ وَا َ ﻚ ُه َﻮ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز ا ْﻟ َ اﱠﻟﺬِي ﺑَﺎ َﻳ ْﻌُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َو َذِﻟ
ﻌﻈِﻴ ُﻢ Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
81
Dalam berbagai hadisnya, Rasulullah saw. acapkali memberikan pernyataan bahwa jihad adalah suatu aktivitas mulia demi meraih predikat mulia dalam kehidupan seorang mukmin. Itulah sebabnya, beliau juga memotivasi umatnya untuk merealisasikannya dalam kehidupan nyata.
ﺖ ُ ُﻗ ْﻠρ ﷲ ِ لا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳَﺄ ْﻟ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺴﻌُﻮ ٍد َر ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻋﻦ ﺖ ُﺛﻢﱠ ُ ﻼ ُة ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻴﻘَﺎ ِﺗﻬَﺎ ُﻗ ْﻠ َﺼ ل اﻟ ﱠ َ ﻞ ﻗَﺎ ُﻀ َ ﻞ َأ ْﻓ ِ ي ا ْﻟ َﻌ َﻤ ﷲ َأ ﱡ ِ لا َ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ ﷲ ِ ﺠﻬَﺎ ُد ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا ِ ل ا ْﻟ َ ي ﻗَﺎ ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ ُ ﻦ ُﻗ ْﻠ ِ ل ُﺛﻢﱠ ِﺑ ﱡﺮ ا ْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ َ ي ﻗَﺎ َأ ﱞ 80 ﺳ َﺘ َﺰ ْد ُﺗ ُﻪ َﻟﺰَا َدﻧِﻲ ْ َوَﻟ ْﻮ اρ ِل اﻟﱠﻠﻪ ِ ﻦ َرﺳُﻮ ْﻋ َ ﺖ ﺴ َﻜ ﱡ َ َﻓ Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah saw.: “Perbuatan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Saya bertanya (lagi): “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua (Birrul walidain).” Saya bertanya (lagi): “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” (HR.al-Bukhârî)
ﷲ ِ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ﻞ إِﻟَﻰ َر ٌﺟ ُ َل ﺟَﺎ َء ر َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻞ ْ ل َه َ ﺟ ُﺪ ُﻩ ﻗَﺎ ِ ﻻ َأ َ ل َ ﺠﻬَﺎ َد ﻗَﺎ ِ ل ا ْﻟ ُ ﻞ َﻳ ْﻌ ِﺪ ٍ ﻋ َﻤ َ ﻋﻠَﻰ َ ﻲ ْ ل ُدﱡﻟ ِﻨ َ َﻓﻘَﺎρ ﻻ َﺗ ْﻔ َﺘ ُﺮ َ ك َﻓ َﺘ ُﻘ ْﻮ َم َو َ ﺠ َﺪ ِﺴ ْ ﻞ َﻣ َﺧ ُ ن َﺗ ْﺪ ْ ج ا ْﻟ ُﻤﺠَﺎهِ ُﺪ َأ َ ﺧ َﺮ َ ﻄ ْﻴ ُﻊ ِإذَا ِ ﺴ َﺘ ْ َﺗ 81 ﻄ ْﻴ ُﻊ ِ ﺴ َﺘ ْ ﻦ َﻳ ْ ل َو َﻣ َ ﻄ ُﺮ ﻗَﺎ ِ ﻻ ُﺗ ْﻔ َ ﺼ ْﻮ ُم َو ُ َو َﺗ Dari Abû Hurairah ra. Ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. kemudian berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang (nilainya) seimbang dengan jihad!” Beliau menjawab: “Aku tidak menemukannya.” Orang itu berkata: “Dapatkah seorang mujahid yang keluar rumah menuju masjid, kemudian ia beribadah terus-menerus, berpuasa terus tanpa berbuka?” Beliau berkata: “Siapakah yang mampu melakukan hal itu?” (HR.al-Bukhârî)
ﻲ ْ ﺣ ٌﺔ ِﻓ َ ﻏ ْﺪ َو ٌة َأ ْو َر ْو َ ρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 82 ﻦ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َوﻣَﺎ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ َ ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ ِ ﻞا ِ ﺳ ِﺒ ْﻴ َ
80
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl al-Jihâd wa al-Siyar, h. 200 Ibid 82 al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl Ghadwah, no. hadis 3115, h. 506; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl al-Ghadwah, hal.921 81
82
Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Pergi berjuang di jalan Allah lebih baik daripada dunia dengan segala isinya.” (HR. al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah) Melalui penjelasan Allah dan Rasul-Nya di atas, seorang mukmin semakin paham bahwa jihad betul-betul bagian dari amal shalih yang utama menuju kemuliaan hidup. Para sahabat berlomba-lomba untuk membuktikan cinta mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka. Mereka hanya mempunyai dua pilihan, hidup sebagai orang mulia atau mati dalam keadaan syahid (‘isy karîman aw mut syahîdan). Para sahabat berkompetisi secara sehat untuk membela agama Islam melalui jihad. Apapun yang mereka miliki, itulah yang mereka serahkan dan kerahkan demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin (izzah al-Islâm wa al-muslimîn). Ada kebahagiaan yang mereka rasakan ketika
mampu bersama-sama
Rasul maju berjihad di medan juang, sesuatu yang amat kontradiktif yang terjadi dengan orang-orang munafik. Para sahabat yang setia akan merasakan kegundahan dan kesedihan ketika mereka tidak dapat ikut berpartisipasi menegakkan agama melalui aktivitas mulia tersebut. Inilah yang Allah gambarkan dalam surat al-Taubah ayat 91-92:
ﻻ َ ﻦ َ ﻻ ﻋَﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﻻ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ َﻤ ْﺮﺿَﻰ َو َ ﻀ َﻌﻔَﺎ ِء َو ﻋﻠَﻰ اﻟ ﱡ َ ﺲ َ َﻟ ْﻴ ﷲ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ ِ ﺼﺤُﻮا َ ج ِإذَا َﻧ ٌ ﺣ َﺮ َ ن َ ن ﻣَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ َ ﺠﺪُو ِ َﻳ ُ ﻦ ﺳَﺒِﻴﻞٍ وَا ْ ﻦ ِﻣ َ ﺴﻨِﻴ ِﺤ ْ ا ْﻟ ُﻤ ﻦ ِإذَا ﻣَﺎ َ ﻻ ﻋَﻠَﻰ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﷲ ﻏَﻔُﻮ ٌر رَﺣِﻴ ٌﻢ َو ﺾ ُ ﻋ ُﻴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗﻔِﻴ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮﱠﻟﻮْا َوَأ َ ﺣ ِﻤُﻠ ُﻜ ْﻢ ْ ﺟ ُﺪ ﻣَﺎ َأ ِ ﻻ َأ َ ﺖ َ ﺤ ِﻤَﻠ ُﻬ ْﻢ ُﻗ ْﻠ ْ ك ِﻟ َﺘ َ َأ َﺗ ْﻮ َ ﺠﺪُوا ﻣَﺎ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ ِ ﻻ َﻳ ﺣ َﺰﻧًﺎ َأ ﱠ َ ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ َ ِﻣ
ن Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan 83
Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. Menurut riwayat Ibn Abî Hâtim (w, 328 H.) dari Zaid bin Tsâbit (w. 45 H.) disebutkan bahwa ketika Zaid bin Tsâbit sedang menulis surat Bara’ah sampai ayat perintah berperang, ia meletakkan penanya di telinga. Rasulullah saw. menunggu wahyu kelanjutannya. Datanglah seorang yang buta dan bertanya: “Bagaimana dengan saya yang buta ini, ya Rasulullah?” Maka, turunlah ayat 91 di atas.83 Ayat 91 di atas memberikan dispensasi kepada orang-orang yang lemah, sakit, atau tidak memiliki apa-apa untuk tidak ikut berjihad. Mereka tidak ikut berjihad bukan karena alasan yang dibuat-buat, tetapi karena itulah kondisi sesungguhnya yang ada dalam diri mereka. Akan tetapi, keinginan yang kuat dalam jiwa mereka untuk berjihad di jalan Allah menimbulkan kesedihan dan tangisan tersendiri, ketika mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Itulah yang digambarkan pada ayat berikutnya (92) “…lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan…” Imam al-Wâhidî (w. 427 H.) menyebutkan dalam kitab “Asbâb al-Nuzûl” bahwa ayat 92 ini turun berkenaan dengan para sahabat yang berlinang air mata mereka karena tidak bisa ikut berjihad. Jumlah mereka ada tujuh, yaitu: Ma’qal bin Yasâr (w.60 H.),
83
Sakhr bin Khunais, ‘Abdullâh bin Ka’b al-
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h. 381; Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr., Juz
10, h. 348
84
Ansâri (w. 30 H.), Salim bin ‘Umair, Tsa’labah bin Ghanîmah, dan ‘Abdullâh bin Mughaffal (w. 60 H.). Ketika mereka datang kepada Rasulullah dan berkata: “Ya Nabiyyallah, sesungguhnya Allah azza wajalla menganjurkan kami untuk keluar bersamamu. Bawalah kami untuk berperang bersamamu!” Nabi menjawab: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu" Mendengar ucapan Nabi ini, merekapun kembali sambil menangis berlinang air mata. Sedangkan menurut Mujahid (w.101 H.), ayat ini turun kepada Bani Muqrin, yaitu: Ma’qil, Suwaid, dan Nu’mân bin Muqrin.84 Pendapat Mujahid (w. 101 H.) inilah yang kemudian menjadi pendapat mayoritas ulama. Demikian yang dikatakan oleh Dr. Wahbah Zuhaili.85 Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dikemukakan, bahwa ketika Rasulullah
saw.
memerintahkan
orang-orang
untuk
berangkat
jihad
bersamanya, datanglah sekelompok sahabat, di antaranya Abdullah bin Mughaffal bin
Muqrin al-Muzanni (w.60 H.). Lalu mereka berkata: “Ya
Rasulullah, bawalah kami (untuk berjihad)!” Nabi menjawab: “Demi Allah, saya tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian.” Merekapun akhirnya kembali sambil menangis menyesali diri mereka karena tidak memiliki tunggangan dan bekal untuk berperang. Maka, Allahpun menurunkan: Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka
84
Dalam riwayat yang disampaikan Al-Wahidi kurang satu. Lihat al-Wâhidî, Asbâb alNuzûl, h. 144; Sedangkan dalam al-Tafsîr al-Munîr disebutkan bahwa orang-orang tersebut adalah: Sâlim bin ‘Umair, ‘Ali bin Zaid, Abû Lailâ Abdurrahmân bin Ka’ab, ‘Amr bin al-Hammâm, ‘Abdullâh bin Mughaffal al-Muzannî (atau ‘Abdullâh bin ‘Amr al-Muzannî), Harma bin ‘Abdullâh, dan ‘Iyad bin Sariyah al-Fazzârî. Lihat: Wahbah Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Juz 10, h. 351 85 Ibid., Juz 10, h. 349
85
kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.alTaubah/9:92)86 Itulah tangisan kesedihan yang telah ditunjukkan oleh para sahabat yang bersih hatinya, yang selalu ingin menunjukkan cinta mereka kepada Islam. Tangisan seperti inilah tangisan yang dibenarkan dan mendapatkan ridha dari Allah. Tangisan mereka adalah tangisan murni dan karenanya bernilai ibadah, bukan tangisan pembual yang diada-adakan agar terkesan memiliki niat yang baik. Dengan turunnya ayat di atas, maka kewajiban berjihad bagi orang yang berhalangan dengan uzur yang dibenarkan menjadi gugur. Tiga uzur yang dibenarkan sebagaimana yang tergambar dari ayat 91-92 di atas adalah: karena lemah, karena sakit, dan karena fakir. Bagi orang yang memiliki salah satu di antara tiga uzur di atas, maka mereka tidak berhak mendapat celaan dan dosa karena tidak berangkat berperang. 5. Tangisan Para Nabi dan Keturunannya saat Mendengar Ayat-ayat Allah Satu di antara cara al-Qur’an menyampaikan sebuah kebenaran adalah melalui kisah atau cerita nabi, rasul, dan umat terdahulu. Kisah-kisah itu banyak mengandung ibrah atau pelajaran, baik bagi Nabi Muhammad ataupun bagi umatnya. Menurut Syaikh Mannâ’ al-Qattân, setidaknya ada 6 manfaat kisah yang disampaikan Allah dalam al-Qur’an, yaitu: 86
Ibid; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h. 381; K.H.Q. Shaleh, Asbabun Nuzul, (Bandung: Penerbit cv, Diponegoro, 1984), h. 258
86
a. Menjelaskan dasar atau prinsip dakwah Islam. b. Memantapkan hati Nabi Muhammad saw. dan umatnya dalam beragama. c. Membenarkan eksistensi para nabi terdahulu, mengingat mereka, dan mengabadikan peninggalan-peninggalannya. d. Menampakkan kebenaran dakwah Nabi Muhammad saw. e. Menundukkan ahli kitab tentang kebenaran dan hidayah yang mereka sembunyikan melalui hujjah yang jelas. f. Kisah merupakan salah satu cara penyampaian yang enak didengar telinga dan sangat berpengaruh bagi jiwa.87 Dalam surat Maryam, Allah banyak menceritakan kisah orang-orang shalih terdahulu, seperti nabi Zakariyyâ a.s., nabi Yahyâ a.s., Maryam, nabi Isâ a.s., nabi Ibrâhîm a.s., dan nabi Mûsâ a.s. Allah memerintahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad saw., untuk mengingat nabi-nabi yang utama itu yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Setelah kisah-kisah itu disampaikan, maka pada ayat 58 dari surat Maryam, Allah berfirman:
ﻦ ْ ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ءَا َد َم َو ِﻣ ﱠﻤ ْ ﻦ ِﻣ َ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢﻴ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ َ ﷲ ُ ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا َ ﻚ اﱠﻟﺬِﻳ َ أُوَﻟ ِﺌ ﻦ هَﺪَ ْﻳﻨَﺎ ْ ﻞ َو ِﻣ ﱠﻤ َ ﺳﺮَاﺋِﻴ ْ ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ ْ ح َو ِﻣ ٍ ﺣَﻤَ ْﻠﻨَﺎ َﻣ َﻊ ﻧُﻮ َ ﺠﺪًا ﺳﱠ ُ ﺧﺮﱡوا َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ت اﻟ ﱠﺮ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ءَاﻳَﺎ َ ﺟﺘَﺒَ ْﻴﻨَﺎ ِإذَا ُﺗ ْﺘﻠَﻰ ْ وَا
و ُﺑﻜِﻴًّﺎ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayatayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58) Menurut Ibn Katsîr (w. 774 H.), bahwa yang dimaksud dengan para nabi itu tidak sebatas yang disebutkan dalam surat Maryam saja, tetapi mencakup 87
Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyâd: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1973), h. 307
87
seluruh nabi. Menurut al-Suddî (w. 127 H.) dan Ibn Jarîr (w. 310 H.), yang dimaksud dari keturunan Adam adalah Idrîs, dari keturunan pengikut bahtera Nûh adalah Ibrâhîm, dari keturunan Ibrâhîm adalah Ishâq, Ya’qûb, dan Ismâ’îl,
dan
dari keturunan Israil (Daud) adalah Mûsâ, Hârûn, Zakariyyâ,
Yahyâ, dan Isâ bin Maryam. Ibn Jarîr menegaskan: “Oleh karena itu, keturunan mereka dibedakan meski semuanya kembali kepada Adam. Sebab, di antara mereka terdapat yang bukan dari keturunan pengikut bahtera Nûh, yaitu Idrîs. Ia adalah kakek dari nabi Nûh.” Menurut Ibn Katsîr (w.774 H.), inilah pendapat yang paling jelas. Idris berada dalam garis keturunan nabi Nuh. Konon dikatakan, ia termasuk nabi dari kalangan bani Israil.88 Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah. Mereka adalah manusia, bukan jenis makhluk lainnya. Tetapi mereka terpilih sebagai penyampai risalah Ilahi yang suci kepada umat manusia di bumi. Merekalah orang-orang yang telah mendapatkan hidayah (petunjuk) hakiki dari Allah, yaitu Islam. Mereka menjadi manusia terpilih, karena hidup mereka dihiasi dengan iman dan takwa. Itulah beberapa karakteristik mulia yang dimiliki oleh manusia-manusia mulia. Dan ada satu lagi karakteristik positif mereka yang mendapat pujian dari Allah, yaitu “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” Mereka semua adalah orang-orang yang telah diberi nikmat, diberi petunjuk, dan merupakan manusia pilihan di sisi Allah. Namun, ketinggian dan kemuliaan martabat mereka di sisi Allah tidak membuat mereka menjadi manusia sombong dan angkuh, terlebih di hadapan Sang Penguasa. Mereka 88
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h.126-127
88
hanyalah ‘ibâdullâh, hamba-hamba Allah. Bila malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu kepada mereka, mereka menyungkur, berlutut, dan bersujud merendahkan diri sambil menangis. Hal itu mereka lakukan karena rasa takut (khasy-yah) mereka kepada Allah, sedangkan mereka sendiri memiliki martabat yang luhur, jiwa yang suci, serta kedekatan kepada Yang Mahakuasa. Ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa ayat-ayat Allah Yang Maha Rahman memiliki pengaruh yang dapat membekas dalam kalbu89 Sikap seperti itulah yang juga harus ditunjukkan oleh seluruh manusia sebagai hamba-Nya. Tidak ada alasan dan dalil apapun bagi seseorang untuk membangkang dan durhaka kepada Allah. Dengan segala kerendahan hati, sambil berlutut dan bersujud, manusia harus dengan sungguh-sungguh mengakui dirinya sebagai abdi dan Allah sebagai Tuhannya. Bukankah jika Allah ingin mengangkat derajat hamba-Nya, dipanggilnya hamba itu dengan sebutan “abdi” (hamba, sahaya, atau budak)? Ketika Allah menceritakan tentang anugerah yang Ia karuniakan kepada Nabi kita dengan meng-isra-kan beliau pada surat al-Isrâ ayat 1, Allah menyebut nabi kita dengan “’abdihi” (hamba-Nya).Ketika Allah menceritakan nabi Zakariyyâ, Ia menyebutnya “’Abduhû Zakariyyâ” (hamba-Nya, Zakariyyâ).Dalam surat alIsrâ ayat 3, Allah menyebut Nuh dengan “’abdan syakûrâ” (hamba yang bersyukur). Ketika nabi Mûsâ menuntut ilmu kepada seseorang, seseorang itu disebut oleh Allah sebagai “’abdan min ‘ibadina” (Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami). Nabi Sulaiman juga disebut-Nya sebagai “ni’mal ‘abdu” (hamba yang paling baik), demikian pula dengan nabi Ayyûb.
89
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 16, h. 157; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr., Jilid 2, h. 221
89
Begitulah para nabi yang mulia. Semakin ditambah anugerah nikmat oleh Allah, bertambah pula sujud dan deraian air mata sebagai wujud tunduk dan cinta kepada Allah, seraya mengakui bahwa diri mereka adalah hamba Allah. Menurut Ibn Katsîr (w.774 H.), para ulama sepakat untuk melakukan sujud pada ayat ini sebagai bentuk iqtidâ dan ittibâ’ (mengikuti) kebiasaan mereka.90 Bahkan menurut Imam al-Alûsî (w.1270 H.), ayat ini menjadi dalil dianjurkannya untuk bersujud dan menangis ketika membaca membaca alQur’an.91 Para ulama memberikan petunjuk agar ketika berjumpa atau mendengar ayat-ayat yang dikategorikan sebagai ayat sajadah, hendaknya kita melakukan sujud tilawah. Dan ketika kita telah sampai pada ayat 58 dari surat Maryam ini, kita dianjurkan untuk membaca doa berikut ini:92
ﻼ َو ِة َ ﻋ ْﻨ َﺪ ِﺗ ِ ﻦ َ ﻦ ا ْﻟﺒَﺎ ِآ ْﻴ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻬ ِﺪ ﱢﻳ ْﻴ َ ك ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻌ ِﻢ َ ﻋﺒَﺎ ِد ِ ﻦ ْ ﻲ ِﻣ ْ ﺟ َﻌ ْﻠ ِﻨ ْ اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ ا ﻚ َ اﻳَﺎ ِﺗ Ya Allah, jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang telah dianugerahkan nikmat, mendapatkan petunjuk, bersujud kepada-Mu dan menangis ketika membaca ayat-ayat-Mu.” Begitulah tangisan yang ditunjukkan oleh hamba-hamba-Nya yang shalih dan terpilih. Demikianlah tangisan yang lahir karena adanya rasa takut akan siksa Allah, kerinduan kepada Allah, dan sebagai wujud syukur atas segala anugerah nikmat yang sedemikian melimpah dari Allah.
6. Allah Berkuasa Menjadikan Seseorang Menangis dan Tertawa
90
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 3, h. 127 al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 16, h. 158 92 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jilid 11, h. 235; Hamka, Tafsire Al Azhar., Juzu 91
16, h. 71
90
Salah satu nama Allah yang terdapat dalam al-asmâ al-husna adalah “alKhâliq” (Yang Maha Pencipta). Kata ini terambil dari akar kata “khalq” yang arti dasarnya adalah “mengukur” atau “memperhalus”, yang kemudian berkembang menjadi “menciptakan dari tiada”, “menciptakan tanpa suatu contoh terlebih dahulu”, “mengatur”, “membuat”, dan sebagainya. 93 Biasanya kata “khalaqa” dalam berbagai bentuknya memberikan aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, berbeda dengan “ja’ala” (menjadikan) yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari suatu yang dijadikan-Nya itu. Keberadaan nama Allah tersebut menandaskan kepada manusia, bahwa Dia-lah Zat Yang Mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu di alam dunia ini, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dia yang menciptakan manusia, Dia pula yang mematikannya. Dia yang menciptakan bumi, dan Dia pula yang kelak akan menghancurkannya. Dia yang menciptakan laki-laki, dan Dia pula yang menciptakan perempuan. Bahkan, segala gejala kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia, termasuk tertawa dan menangis, Dia pula yang menciptakannya. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:
ﻖ َ ﺧَﻠ َ َوَأ ﱠﻧ ُﻪ
ﺣﻴَﺎ ْ َوَأ
ت َ َوَأ ﱠﻧ ُﻪ ُه َﻮ َأﻣَﺎ.ﻚ َوَأ ْﺑﻜَﻰ َ ﺤ َﺿ ْ َوَأ ﱠﻧ ُﻪ ُه َﻮ َأ ُ ﻦ اﻟ ﱠﺬ َآ َﺮ وَا ِ ﺟ ْﻴ َ اﻟ ﱠﺰ ْو
ﻷ ْﻧﺜَﻰ
Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan.dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (QS.al-Najm/53:43-45) al-Wâhidî (w.427 H.) meriwayatkan dari ‘Aisyah (w.57 H.), ia (‘Aisyah) berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. melewati suatu kaum yang sedang 93
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001), Cet.IV,
h. 75
91
tertawa. Maka Rasulpun bersabda: “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” Maka, datanglah malaikat Jibril membawa ayat “ dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” Lalu, Rasul kembali kepada kaum tadi dan berkata: “Tidaklah aku melangkah empat puluh langkah, sehingga Jibril a.s. datang kepadaku dan berkata: “Datangilah mereka kembali dan katakanlah, sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman ayat bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”
“ dan 94
Menurut Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), Allah-lah yang telah menjadikan dalam diri hamba-hamba-Nya tertawa dan menangis serta faktor-faktor yang menimbulkan keduanya.95 Segala kebahagiaan dan kesedihan, segala suka dan duka, Dia-lah yang menciptakan. Dia yang berkuasa menjadikan seseorang tertawa di dunia, dan Dia pula yang menjadikan seseorang menangis di alam fana ini. Menurut Mujahid, Allah-lah yang menjadikan penghuni surga tertawa (bahagia) di surga dan menjadikan penghuni neraka menangis (menderita) di neraka.96
Allah juga yang berkuasa menjadikan bumi tertawa dengan
tumbuhnya berbagai macam tumbuhan dan menjadikan langit menangis dengan turunnya curah hujan.97 Dalam tafsir al-Qurtubî (w.567 H.) disebutkan, al-Hasan (w.110 H.) berkata: “Allah menjadikan para ahli surga tertawa di surga dan menjadikan para ahli neraka menangis di neraka.” Ada pula yang mengatakan bahwa Allah yang menjadikan seseorang yang Ia kehendaki tertawa di dunia dengan
94
al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 222 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 4, h. 259 96 Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 279 97 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 27, h. 104 95
92
memberinya sesuatu yang menyenangkannya. Dia pula yang membuat seseorang yang Ia inginkan menangis di dunia dengan memberinya sesuatu yang menyedihkan. Ada pula yang mengatakan bahwa Allah menjadikan pohon tertawa dengan bunganya dan menjadikan awan menangis dengan hujan. Dzû al-Nûn al-Misrî berkata: “Allah menjadikan hati orang-orang yang beriman dan orang-orang arif tertawa dengan cahaya ma’rifat-Nya, dan menjadikan
hati orang-orang kafir dan pelaku maksiat menangis dengan
gelapnya keingkaran dan kemaksiatan mereka.” Sahal bin ‘Abdullâh berkata: “Allah membuat tertawa bagi orang-orang yang taat dengan rahmat-Nya dan membuat pelaku maksiat menangis dengan kemurkaan-Nya..”98 Tertawa dan menangis adalah kelebihan yang Allah berikan khusus kepada manusia. Tidak semua jenis hewan dapat tertawa dan menangis seperti manusia. Ada binatang yang dapat tertawa, namun tidak dapat menangis, seperti kera. Ada pula yang bisa menangis, namun tidak bisa tertawa seperti unta. Yusuf bin al-Husain berkata: Thahir al-Muqaddisi pernah ditanya: “Apakah malaikat tertawa?” Ia menjawab: “Mereka tidak tertawa, begitu pula yang berada di bawah ‘arsy, sejak diciptakan neraka jahanam.”99 Kegembiraan dan kesedihan tidaklah akan terlepas dari kehidupan manusia. Ada saatnya kita tertawa-tawa karena mendapatkan sesuatu yang menggembirakan hati. Namun, bisa saja di saat kita berada dalam kebahagiaan yang memuncak, kita mendapatkan sesuatu yang menyebabkan hati sedih dan menangis. Terkadang kesusahan mengandung kebahagiaan, dan ada pula kegembiraan yang amat mengharukan. Lihatlah kedua orang tua yang 98
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân , Juz 17, h. 116-117 Abul Fida M.Izzat M.Arif, Air Mata Orang-orang Shalih, (Jakarta: Penerbit Pustaka Tazkia, 2004), Cet.I, h. 12 99
93
menyaksikan prosesi khidmat akad nikah anaknya. Mereka bergembira, dan dalam kegembiraannya mereka mencucurkan air mata. Semua itu diatur oleh Allah. Itulah sebabnya, kita diajarkan agar tidak terlalu bergembira ketika datang sesuatu yang menyenangkan hati. Kita diperintahkan untuk mensyukurinya. Begitu pula ketika datang sesuatu yang menyedihkan, kita diperintahkan agar bersikap sabar.100
7. Celaan Allah Kepada Orang yang Tidak Menangis Mendengar Berita Hari Kiamat Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nilai menangis dan tertawa sangat ditentukan oleh motif dan niat yang menyertainya. Tertawa jika disertai dengan niat yang baik, maka ia bernilai ibadah. Namun, jika disertai dengan niat yang buruk, seperti mengejek, maka tertawa itu akan membawa akibat yang buruk bagi yang bersangkutan. Inilah yang ditunjukkan oleh surat al-Najm ayat 59-60 berikut ini:
ن َ َﺗ ْﺒﻜُﻮ
ﻻ َ ن َو َ ﺤﻜُﻮ َﻀ ْ ن َو َﺗ َ ﺠﺒُﻮ َ ﺚ َﺗ ْﻌ ِ ﺤﺪِﻳ َ ﻦ َهﺬَا ا ْﻟ ْ َأ َﻓ ِﻤ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” Ayat yang berbentuk kalimat tanya (istifhâm) ini merupakan bentuk celaan (taubîkh) terhadap sikap orang-orang musyrik. ketika
disampaikan
kepada
mereka
Orang-orang musyrik itu,
ayat-ayat
al-Qur’an
yang
menginformasikan tentang akan terjadinya hari kiamat dan hal-hal lainnya, mereka tertawa sebagai ejekan dan olokan, dan tidak menangis sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin sebagaimana tercantum dalam
100
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 27, h. 127-128
94
ayat: Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.(QS.17:109)101 Mereka seharusnya menangis, bukan justru tertawa mendengar berita tentang hari kiamat, karena tidak memiliki bekal sama sekali sebagai persiapan menghadapi kehidupan yang abadi itu. Tidakkah Rasulullah saw. setelah turun ayat ini, tidak lagi pernah tertawa, kecuali hanya sekedar tersenyum saja.102 Padahal, beliau adalah insan kamil yang telah dijamin masuk surga. Lantas, apa yang seharusnya ditunjukkan oleh orang-orang selain beliau yang hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat? Jika seseorang tidak menangis di dunia mendengar titah-titah Ilahi, maka kelak di akhirat ia akan menangis air mata dan darah akibat penderitaan dan penyesalan yang dialaminya.
8. Tangisan Langit dan Bumi Di atas telah disinggung, bahwa menangis tidak hanya mampu dilakukan oleh manusia saja, tetapi juga oleh langit dan bumi. Keduanya memiliki perasaan menangis dan tertawa. Jika penderitaan
menimpa orang-orang
shalih, maka langit dan bumi ikut menangis. Tetapi, jika penderitaan itu menimpa orang-orang durhaka yang membangkang Allah dan rasul-Nya, keduanya enggan bersedih dan menangis. Bahkan menurut Imam al-Qurtubî (w.567 H.), makhluk-makhluk seperti langit, bumi, angin, dan udara ikut bersedih dan menangis jika terdapat orang shalih meninggal dunia, sebab ia 101
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 4, h. 260; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 280 102 al-Âlûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 27, h. 111
95
telah melakukan berbagai aktivitas yang baik dengan menggunakan sarana dan fasilitas kebaikan di dalamnya. Sebaliknya, mereka akan cuek dan enggan menangis ketika ada orang-orang durhaka yang meninggal, sebab ia sering berbuat kerusakan di dalamnya.103 Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya sebagai tempat pemenuhan amanah manusia, ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya, sehingga ia tidak peduli dengan kematian orang-orang yang jahat itu.104 Begitulah juga yang terjadi dengan Fir’aun dan bala tentaranya, saat mati digulung ombak, sebagaimana yang ditunjukkan oleh surat al-Dukhân ayat 29 berikut ini:
ﻦ َ ﻈﺮِﻳ َ ُﻣ ْﻨ
ض َوﻣَﺎ آَﺎﻧُﻮا ُ ﻷ ْر َ ﺴﻤَﺎ ُء وَا ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱠ َ ﺖ ْ ﻓَﻤَﺎ َﺑ َﻜ
Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh. Fir’aun adalah sosok manusia yang terkenal angkuh dan sombong luar biasa. Tersebab kekuasaan yang dimilikinya, ia akhirnya mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi di hadapan para pembesarnya dan rakyatnya (QS.79:24). Ia tidak mengakui ada tuhan selain dirinya. Ia akan membunuh dan membantai siapa saja yang berusaha untuk menggoyang kekuasaannya dan tidak mengakui dirinya sebagai tuhan. Apa yang telah dilakukan oleh Fir’aun dan para pengikutnya adalah bentuk dosa terbesar yang pada akhirnya tidak mendapatkan ampunan dari Allah, karena ruh telah berada di kerongkongan.
103
Pandangan Imam al-Qurtubî ini didasarkan kepada Imam ‘Ali r.a.yang menyatakan: “Jika hamba salih meninggal dunia, niscaya akan menangis tempat shalatnya di bumi dan tempat naik amalnya dari langit dan bumi.” Lihat ‘Abdullâh Ibn al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), Cet. I, h. 220 104 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 3
96
Tentang ayat di atas (QS.44:29), Imam Ibn Katsîr menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki amal-amal
salih yang akan naik ke langit yang
menyebabkan langit akan menangis. Mereka juga tidak punya satu tempatpun di bumi yang mereka gunakan untuk mengabdi kepada Allah. Itulah sebabnya, keduanya tidak menangisi mereka dan
mereka berhak untuk segera
mendapatkan azab dari Allah tanpa ditangguhkan. Itu semua terjadi, karena kekufuran, dosa, dan pembangkangan yang telah mereka lakukan. 105 Menurut al-Janabazi, kata langit mewakili alam ruhani (ruhani-samawi), sedang kata bumi mewakili alam jasmani (jasmani-ardî). Artinya, orang-orang durhaka selalu berbuat kerusakan di alam jasmani dan ruhani. Karenanya, mereka tidak memiliki kebaikan jasmani dan ruhani, sehingga kematian dan penderitaan yang dialaminya tidak patut untuk ditangisi.106 D. Antara Menangis dan Tertawa Dalam surat al-Dzariyat ayat 49 Allah menyatakan:
ن َ َﺗ َﺬ ﱠآﺮُو
ﻦ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ِ ﺟ ْﻴ َ ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ َز ْو َ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ﻦ ُآﻞﱢ ْ َو ِﻣ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” Merujuk pada ayat di atas, maka pembahasan menangis tidak terlepas dari pembahasan tertawa. Hal ini penting dibahas untuk: (1) mengetahui perbedaan ciri-ciri dan macam-macam menangis dan tertawa; (2) mengetahui manfaat menangis dan tertawa; dan (3) mengetahui sebab-sebab menangis dan tertawa, serta motivasi yang menyertainya. Dengan mengetahui hal-hal tersebut, maka
105 106
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 4, h. 142 Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 4
97
diharapkan setiap individu dapat menjaga keseimbangan jiwanya dalam menghadapi segala hal yang terjadi pada dirinya.107 Sebagai salah satu sunnatullah, menangis dan tertawa sama-sama memiliki peluang yang sama untuk diklaim sebagai ekspresi jiwa yang posisitif atau negatif. Seluruh perilaku manusia, termasuk dalam hal menangis dan tertawa, tidak netral etik, namun sarat etik. Artinya, menangis dan tertawa akan dapat melahirkan hukum kontradiktif, pahala atau dosa dan manfaat atau madharat. Menangis dan tertawa yang bermanfaat akan menimbulkan pahala bagi pelakunya, sedangkan yang tidak bermanfaat (madarat) akan melahirkan konsekuensi dosa bagi pelakunya. Lihatlah beberapa kasus yang umum kita saksikan dalam kehidupan manusia. Seseorang akan tertawa ketika mengetahui dirinya lulus mengikuti tes memasuki sebuah perusahaan yang didambakan. Namun, ia akan menangis ketika mengetahui
bahwa dirinya tidak lulus dalam tes tersebut. Seorang guru akan
tertawa menghadapi muridnya yang pandai dan patuh. Tetapi ia akan menangis menghadapi murid-murid yang sangat sulit menerima pelajaran dan membangkang. Seorang dokter yang berhasil menyembuhkan pasien akan tertawa dengan keberhasilannya itu. Namun ia akan menangis ketika pengobatannya gagal, bahkan membawa kematian bagi pasiennya. Seorang ibu yang mengandung akan tertawa ketika mengetahui bayinya lahir dengan sempurna, sehat, tanpa cacat sedikitpun. Namun, ia akan menangis ketika bayi yang dilahirkannya dalam keadaan cacat. Contoh-contoh di atas adalah kewajaran yang lazim terjadi di tengah masyarakat. Meski demikian, yang perlu dipahami adalah apa arti dan fungsi dari
107
Ibid, h. 60
98
tangisan atau tertawa yang dilakukan oleh seseorang. Ini sangat perlu untuk diketahui dengan harapan agar jiwanya tetap stabil, dan yang tak kalah pentingnya, agar perilakunya dalam menangis dan tertawa sesuai dengan yang dikehendaki oleh agama. Dalam “Kamus Besar bahasa Indonesia” kata “tawa” diartikan: ungkapan rasa gembira, senang, geli, dan sebagainya dengan mengeluarkan suara (pelan, sedang, keras) melalui alat ucap.108 Menurut
Hanna
Djumhana
Bastaman,
tertawa
merupakan
pengejawantahan dari humor, karena keduanya sama-sama menciptakan situasi riang, lucu dan jenaka, meskipun dalam hal-hal tertentu keduanya tidak selalu sejalan. Tertawa menjadi fenomena insani, sebab dalam tertawa mengundang intensionalitas, yaitu tertawa kepada (laughing at) dan tertawa bersama (laughing with). Selain itu, tertawa selalu menciptakan suatu perspektif mengambil jarak dan sekaligus menciptakan suatu relasi dalam corak tertentu antara pihak yang menertawakan dengan pihak yang ditertawakan, termasuk menertawakan diri sendiri.109 Tertawa yang wajar akan menghantarkan seseorang kepada suasana psikologis
yang menyenangkan, menggembirakan, dan membahagiakan.
Hidupnya terasa damai, tenang, tanpa dikejar-kejar oleh rasa takut dan cemas. Hal ini berbeda sekali jika seseorang tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal. Tertawa seperti ini adalah tidak wajar dan telah melampaui batas sehingga akan mengakibatkan kekerasan hati (qaswah al-qalb) yang dapat menjauhkan diri dari Allah swt.
108
Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, h. 1150 Hanna Djumhana Bastaman, Meraih hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 81-82 109
99
Berikut ini akan disebutkan beberapa macam tertawa positif, yaitu yang dianggap baik menurut kriteria agama dan baik pula untuk aktualisasi insani. Macam-macamnya adalah: 1. Tertawa yang menunjukkan keriangan dan kegembiraan karena mendapatkan nikmat yang tak terhitung dari Allah. Perhatikanlah firman Allah:
ﺮ ٌة َﺸ ِ ﺴ َﺘ ْﺒ ْ ُﻣ
ﺣ َﻜ ٌﺔ ِ ﺴ ِﻔ َﺮ ٌة ﺿَﺎ ْ ُوﺟُﻮ ٌﻩ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ُﻣ
“Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria.”(QS’Abasa/80:38-39) Tertawa yang dimaksud oleh ayat di atas adalah tertawa yang dialami oleh para penghuni surga pada hari kiamat kelak. Syaikh Ali as-Sabuni menjelaskan, bahwa wajah-wajah penghuni surga ketika itu bersinar terang karena senang dan gembira. Mereka juga tertawa gembira dan bahagia dengan kemuliaan Allah dan keridhaan-Nya, serta dengan kenikmatan abadi yang mereka lihat dan mereka rasakan di surga itu.110 2. Tertawa sebagai tanda syukur karena mendapatkan anugerah yang mengagumkan. Dengan tertawa, ia berharap agar anugerah itu tidak dicabut, namun akan tetap diberikan selama-lamanya. Hal ini berbeda, jika anugerah Allah itu disikapi dengan wajah cemberut sehingga Pemberinya tidak akan memberinya lagi dan ia tergolong sebagi orang yang tidak bersyukur. Perhatikanlah ayat berikut ini:
ﻚ اﱠﻟﺘِﻲ َ ﺷ ُﻜ َﺮ ِﻧ ْﻌ َﻤَﺘ ْ ن َأ ْ ﻋﻨِﻲ َأ ْ ب َأ ْو ِز ل َر ﱢ َ ﻦ َﻗ ْﻮِﻟﻬَﺎ َوﻗَﺎ ْ ﺣﻜًﺎ ِﻣ ِ ﺴ َﻢ ﺿَﺎ َﻓَﺘَﺒ ﱠ ﺧْﻠﻨِﻲ ِ ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﺗ ْﺮﺿَﺎ ُﻩ َوَأ ْد َ ﻋ َﻤ ْ ن َأ ْ ي َوَأ ﻲ وَﻋَﻠَﻰ وَاِﻟ َﺪ ﱠ ﻋَﻠ ﱠ َ ﺖ َ َأ ْﻧ َﻌ ْﻤ َ ﻋﺒَﺎ ِد ِ ﻚ ﻓِﻲ َ ﺣ َﻤِﺘ ْ ِﺑ َﺮ
َك اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦ Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri 110
‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 522
100
nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS.al-Naml/27:19) Tertawa
Sulaiman as. di atas, oleh psikologi kontemporer
dikategorikan sebagai tertawa gila, sebab tertawa itu tanpa disertai bukti empiris yang menyebabkan seseorang menjadi tertawa. Namun psikologi Islam menilainya lain. Apa yang dilakukan oleh Sulaiman as.adalah di antara wujud syukur atas mukjizat yang telah diberikan kepadanya, yaitu kemampuannya untuk
mampu mendengarkan dan memahami komunikasi
yang dilakukan oleh sekelompok semut. Bahkan, kisah Qurani ini menjustifikasi kebenaran, bahwa ada di antara umat Nabi Muhammad saw. yang memiliki kemampuan untuk menangkap dan memahami bahasa binatang tertentu. Orang yang tidak mengerti, boleh jadi akan menduganya sebagai orang gila. Namun, sesungguhnya ia tertawa dan tersenyum karena ada sebabsebab metafisik (al-ghaibiyah). Inilah karunia atau karamah yang Allah berikan kepadanya.111 3. Tertawa yang dapat dijadikan terapi (pengobatan) diri, sehingga hidupnya penuh gairah, optimis, dan riang gembira. Allport menyatakan: “Orang yang sakit jiwa (neurotis) yang belajar menertawakan dirinya sendiri dapat menjadi suatu cara untuk membina diri atau barangkali untuk pengobatan.”112 Dalam suatu kisah disebutkan, bahwa ‘Umar bin Khattâb terkadang tertawa sendiri ketika ia merenungi masa lalunya yang unik. Betapa tidak menggelikan, ia pernah membuat sebuah patung yang terbuat dari bahan roti untuk kemudian disembah. Namun, ketika perutnya terasa lapar, iapun 111
Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, h. 64 Hanna Djumhana Bastaman, Meraih hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis, h. 87 112
101
memakannya. Ia telah mencipatkan tuhan dengan tangannya sendiri, dan ia pula yang merusaknya. Di samping tertawa positif sebagaimana yang disebutkan di atas, ada pula tertawa negatif. Macam-macamnya adalah: 1. Tertawa yang melalaikan dari ingat (dzikr) kepada Allah. Allah menyatakan:
ﺴ ْﻮ ُآ ْﻢ ِذ ْآﺮِي َو ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َ ﺨﺮِﻳًّﺎ ﺣَﺘﱠﻰ َأ ْﻧ ْﺳ ِ ﺨ ْﺬ ُﺗﻤُﻮ ُه ْﻢ َ ﻓَﺎ ﱠﺗ َ ﺤﻜُﻮ َﻀ ْ َﺗ
ن Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu menertawakan mereka.(QS.al-Mu’minûn/23:110) Dalam sebuah Hadis dinyatakan:
ل ُ ﻻ َأ ُﻗ ْﻮ َ ل َ ﻋ ُﺒﻨَﺎ ﻗَﺎ ِ ﻚ ُﺗﺪَا َ ﷲ ِإ ﱠﻧ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ل ﻗَﺎُﻟﻮْا ﻳَﺎ َر َ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 113 ﻻ ﺣَﻘًّﺎ ِإ ﱠ Dari Abû Hurairah ia berkata: Mereka (sahabat) berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau telah bersenda gurau dengan kami. Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”(HR alTirmidzî dan Ahmad) 2. Tertawa yang mengejek atas peringatan Rasulullah. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh surat al-Najm ayat 59-60 berikut ini:
ن َ َﺗ ْﺒﻜُﻮ
ﻻ َ ن َو َ ﺤﻜُﻮ َﻀ ْ ن َو َﺗ َ ﺠﺒُﻮ َ ﺚ َﺗ ْﻌ ِ ﺤﺪِﻳ َ ﻦ َهﺬَا ا ْﻟ ْ َأ َﻓ ِﻤ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? (QS.al-Najm/53:59-60) Ayat yang berbentuk kalimat tanya (istifhâm) ini merupakan bentuk celaan (taubîkh) terhadap sikap orang-orang musyrik. ketika
disampaikan
kepada
mereka
113
Orang-orang musyrik itu,
ayat-ayat
al-Qur’an
yang
al- Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Birr wa al-Silah, h. 241; Ahmad, alMusnad, Juz 2, h. 340
102
menginformasikan tentang akan terjadinya hari kiamat dan hal-hal lainnya, mereka tertawa sebagai ejekan dan olokan, dan tidak menangis sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang yakin sebagaimana tercantum dalam ayat: Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.(QS.17:109) Lihat pula ayat berikut ini;
ن َ ﺤﻜُﻮ َﻀ ْ َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ُه ْﻢ ﺑِﺂﻳَﺎ ِﺗﻨَﺎ إِذَا ُه ْﻢ ﻣِ ْﻨﻬَﺎ َﻳ
Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizatmukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya. (QS.alZukhrûf/43:47) 3. Tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal yang dapat mengeraskan hati. Rasulullah saw. bersabda:
ن ﻀﺤِﻚَ َﻓِﺈ ﱠ ﻻ ُﺗ ْﻜﺜِﺮُوااﻟ ﱠ َ ρﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 114 ﺐ َ ﺖ ا ْﻟ َﻘ ْﻠ ُ ﻚ ُﺗ ِﻤ ْﻴ َﺤ ِﻀ َآ ْﺜ َﺮ َة اﻟ ﱠ Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah kalian memperbanyak tertawa, karena memperbanyak tertawa itu dapat mengeraskan hati.”(HR al-Tirmidzî, Ibn Mûjah, dan Ahmad )
ﻦ ْ ﺠ ًﺔ ِﻣ ﺞ َﻣ ﱠ ﺤ َﻜ ًﺔ َﻣ ﱠ ْﺿ َ ﻚ َ ﺤ ِﺿ َ ﻦ ْ ل َﻣ َ ﻦ ﻗَﺎ ٍ ﺴ ْﻴ َﺣ ُ ﻦ ِ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱢ َ ﻦ ْﻋ َ 115 ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ Barangsiapa yang tertawa dengan satu tertawaan (yang keras), maka (sebagian) ilmunya dicabut dengan sekali cabutan.(HR al-Dûrimî dari ‘Ali bin Husein)
114
Sanad Hadis ini sahih karena para rawinya tsiqât. Lihat: Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4193 h. 1403; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî., Juz 3, Abwâb al-Zuhd, no. hadis 2407, h. 377-378; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 340; Isnad Hadis ini sahih dan para rawinya tsiqat. 115 al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb al-Rihlah fî Talab al-‘Ilm, no. hadis 583, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet. I, , h. 136
103
4. Tertawa kedustaan yang dapat menyakitkan hati orang lain. Ia sengaja mendustakan (membuat-buat) cerita agar orang lain menertawakannya. Rasulullah saw. bersabda:
ρﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﺟ ﱢﺪ ِﻩ ﻗَﺎ َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ َأ ِﺑ ْﻴ ِﻪ ْﻋ َ ﺣ ِﻜ ْﻴ ٍﻢ َ ﻦ ِ ﻦ َﺑ ْﻬ ِﺰ ْﺑ ْﻋ َ 116 ﻞ َﻟ ُﻪ ٌ ﻞ َﻟ ُﻪ وَ ْﻳ ٌ ﺤ َﻜ ُﻬ ْﻢ وَ ْﻳ ِﻀ ْ ب ِﻟ ُﻴ ُ ث ا ْﻟ َﻘ ْﻮ َم ُﺛﻢﱠ َﻳ ْﻜ ِﺬ ُ ﺤﺪﱢ َ ي ُﻳ ْ ﻞ ﱢﻟﱠﻠ ِﺬ ٌ ل وَ ْﻳ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮ Dari Bahz bin Hakim dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Celakalah orang yang menceritakan suatu kaum, kemudian ia mendustakan ceritanya agar orang lain menertawakannya. Celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR. al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ahmad) Berdasarkan uraian di atas, maka seorang muslim dituntut harus benarbenar pandai menempatkan kapan ia menangis dan kapan ia tertawa. Sebab, dalam pandangan al-Qur’an, tidak ada sesuatupun yang lahir dari diri manusia, melainkan ada konsekuensi yang akan diterimanya. Jika baik dan sesuai dengan tuntunan agama, maka ia akan menerima ganjaran pahala. Namun, jika buruk dan tidak sesuai dengan petunjuk agama, ia akan menerima dosa. Dan kesemuanya itu akan sangat berpengaruh kepada suasana kehidupan yang akan ia rasakan, bahagia ataupun sengsara, di dunia ataupun di akhirat. Tentang menangis dan tertawa ini, Rasulullah mengingatkan kita melalui sabdanya:
ﷲ ِ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ وَا َ ل ﻳَﺎ ُأ ﱠﻣ َﺔ ُﻣ َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ َأ ﱠ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺸ َﺔ َر َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ 117 ﺖ ُ ﻞ َﺑﻠﱠ ْﻐ ْ ﻻ َه َ ﻼ َأ ً ﺤ ْﻜُﺘ ْﻢ َﻗِﻠ ْﻴ ِﻀ َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ َﺒ َﻜ ْﻴُﺘ ْﻢ آَﺜِ ْﻴﺮًا َوَﻟ ْ ن ﻣَﺎ َأ َ َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠ ُﻤ ْﻮ Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Wahai umat Muhammad! Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan.(HR.al-Bukhârî dan Muslim) 116
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ Man Takallama, no. hadis 2417, h. 382; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb fî al-Kadzib, no. hadis 4990, h. 298; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Jilid 2, Kitâb al-Isti’dzân Bâb fî al-lazdî yakdzibu, no. hadis 2702, h. 176; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 5; Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 393 117 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 6, Kitâb al-Nikâh Bâb al-Ghairah, h. 156; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb Salâh al-Istisqâ Bâb Salâh al-Kusûf., h. 357-358
104
BAB III MENANGIS DALAM KONSEP HADIS
A. Beragam Tangisan Rasulullah SAW. 1. Tangisan Rasulullah saw. Saat Mendengar Ayat al-Qur’an Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhârî (w.256 H.), Imam Muslim (w.261 H.), Imam Abû Dâwûd (w.275 H.), Imam al-Tirmidzî (w.279 H.), dan Imam Ahmad (w.241 H.) disebutkan:
ل َا ْﻗ َﺮُأ َ ﻲ ﻗَﺎ ﻋَﻠ ﱠ َ ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد ِإ ْﻗ َﺮ ْأ ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ِﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ اρ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ ِإ ْﺑﺮَا ِه ْﻴ َﻢ ﻗَﺎ ْﻋ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ل َﻓ َﻘ َﺮَأ َ ي ﻗَﺎ ْ ﻏ ْﻴ ِﺮ َ ﻦ ْ ﺳ َﻤ َﻌ ُﻪ ِﻣ ْ ن َا ْ ﺣﺐﱡ َا ِ ﻲ ُا ْ ل ِإ ﱢﻧ َ ﻚ ُا ْﻧﺰِلَ؟ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ﻚ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ َ ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ ﻦ ُآ ﱢ ْ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ ِ ﻒ ِا َذا َ ﺳ ْﻮ َر ِة اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء ِإﻟَﻰ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻪ ) َﻓ َﻜ ْﻴ ُ ل ِ ﻦ َا ﱠو ْ ِﻣ 118 ﺷ ِﻬ ْﻴ ًﺪا( ﻓَﺒَﻜَﻰ َ ِ ﻻء َ ﻋَﻠﻰ ه ُﺆ َ ﻚ َ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﺑ ِ َو Dari Ibrahim dia berkata: “Nabi saw. pernah berkata kepada Abdullah bin Mas’ud r.a.: ‘Bacakanlah untukku (al-Qur’an)!’ Ibnu Mas’ud berkata: ’Apakah aku akan membacakannya untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?‘ Beliau menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari orang lain.‘ lalu Ibnu Mas’ud membacakannya dari awal surat An-nisa sehingga ketika sampai pada ayat “(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang kafir nanti}, apabila kami mendatangkan seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu {Muhammad} sebagai saksi atas mereka itu {sebagai umatmu}”) – QS. al-Nisâ:41 Maka beliau pun menangis.” Allah memang menganjurkan kepada umat Islam untuk mentadabburi ayat-ayat al-Qur’an. Dan tetesan air mata Rasul di atas adalah wujud dari perenungan (tadabbur) beliau terhadap ayat al-Qur’an.
118
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Fakaif Idzâ Ji’nâ min Kull Ummah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h.180 & Juz 6 kitâb fadâ’il al-Qur’ân Bâb Qaul al-Muqri li al-Qâri Hasbuk, h. 113-114; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ alSalâh Bâb Fadl Istimâ’ al-Qur’ân wa Talab al-Qirâ’ah min Hâfizihli al-Istimâ’ wa al-Bukâ ‘inda al-Qirâ’ah, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), h. 320; al-Tirmidzî, Sunan alTirmidzî, Jilid 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb wa min Sûrah al-Nisâ, no. Hadis 3213, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 304; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-‘Ilm Bâb fî alQisas, no. Hadis 3668, (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.)h. 324; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4194, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 1403
105
ﻬ ﺎ َ َا ْﻗ َﻔﺎُﻟ
ب ٍ ﻋَﻠﻰ ُﻗُﻠ ْﻮ َ ن َا ْم َ ن ا ْﻟ ُﻘ ْﺮا َ ﻼ َﻳ َﺘ َﺪ ﱠﺑ ُﺮ ْو َ َا َﻓ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad/47:24) Itulah sebabnya, Imam al-Qurtubî (w.567 H.) mengatakan: ”Para ulama mengatakan: ’Diwajibkan bagi pembaca al-Qur’an untuk menghadirkan hatinya serta bertafakkur (merenungkan) saat membacanya, karena dia sedang membaca khitâb (firman) Allah yang ditujukan kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu, barangsiapa yang membaca al-Qur’an dengan tidak bertafakkur padanya, sedang dia termasuk orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dan mentafakkurinya, maka dia sama seperti orang yang tidak membacanya dan tidak sampai pada tujuan dari bacaannya itu.”119 Rasulullah saw. setiap kali mendengarkan atau membaca Kitabullah senantiasa menyaksikannya dengan hati dan pemahaman, tidak lengah dan tidak lalai. Kondisi inilah yang memberikan pengaruh kuat kepada beliau sehingga tatkala al-Qur’an dibacakan, maka beliau akan diliputi rasa takut dan akhirnya meneteskan air mata. Tetesan air mata yang keluar saat beliau mendengar firman Allah
di
atas, menurut para ulama
sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Qurtubî (w.567 H.) terjadi karena keagungan kandungan ayat tersebut, yaitu pemandangan yang menyeramkan dan keadaan yang mencekam di hari kiamat. Saat itu para nabi akan dihadirkan sebagai saksi bagi umat mereka untuk membenarkan dan mendustakan. Sedang Nabi saw. akan dihadirkan sebagai saksi bagi umatnya dan umat yang lain.120 Ketika menjelaskan hadis di atas, Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.852 H.) mengutip pandangan Imam al-Ghazâlî (w.505 H.) yang menyatakan: “Disunahkan menangis saat 119
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005), h. 51 120 Ibid, h. 78
106
membaca al-Qur’an. Dan cara menghadirkan tangis saat membaca al-Qur’an adalah dengan menghadirkan kepada kalbunya rasa sedih
dan rasa takut, dengan merenungi
segala ancaman yang keras dan janji-janji di dalamnya. Kemudian mengingatkan segala pelanggaran yang dia lakukan dalam hal tersebut. Jika dia tidak bisa menghadirkan kesedihan, maka hendaklah dia menangis atas hilangnya kemampuan untuk itu dan menilai hal itu sebagai musibah yang paling parah.” 121 Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menangis saat merenungi surat Ibrâhîm ayat 36 dan surat al-Mâidah ayat 118 berikut ini:
ﻋ ﱠﺰ َ ﷲ ِ لا َ ﻼ َﻗ ْﻮ َ َﺗρ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ص َأ ﱠ ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ْﺑ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ َﺗ ِﺒ َﻌﻨِﻲ ْ س َﻓ َﻤ ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ْ ﻦ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ َ ﺿَﻠ ْﻠ ْ ب إِﻧﱠ ُﻬﻦﱠ َأ ﻞ ﻓِﻲ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َر ﱢ ﺟﱠ َ َو ك َ ﻋﺒَﺎ ُد ِ ن ُﺗ َﻌ ﱢﺬ ْﺑ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ْ ﻼم ِإ َﺴ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ َ ل ﻋِﻴﺴَﻰ َ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ِﻣﻨﱢﻲ اﻵ َﻳ َﺔ َوﻗَﺎ ل اﻟﱠﻠ ُﻬﻢﱠ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َ ﺤﻜِﻴ ُﻢ َﻓ َﺮ َﻓ َﻊ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َوﻗَﺎ َ ﺖ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ َ ﻚ َأ ْﻧ َ ن َﺗ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ ْ َوِإ ُ لا َ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َو َﺑﻜَﻰ َﻓﻘَﺎ ﻚ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َو َر ﱡﺑ َ ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ ْ ﻞ ا ْذ َه ُ ﺟ ْﺒﺮِﻳ ِ ﻞ ﻳَﺎ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ ل ُ ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ َرﺳُﻮ ْ ﺴَﺄَﻟ ُﻪ َﻓَﺄ َ ﻼم َﻓ َﺴ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ َ ﻞ ُ ﺟ ْﺒﺮِﻳ ِ ﻚ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ َ ﺴ ْﻠ ُﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒﻜِﻴ َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻓ ْ َأ ﻞ ْ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻓ ُﻘ َ ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ ْ ﻞ ا ْذ َه ُ ﺟ ْﺒﺮِﻳ ِ ﷲ ﻳَﺎ ُ لا َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻓﻘَﺎ ْ ل َو ُه َﻮ َأ َ ِﺑﻤَﺎ ﻗَﺎρ ﷲ ِ ا ك َ ﻻ َﻧﺴُﻮ ُء َ ﻚ َو َ ﻚ ﻓِﻲ ُأ ﱠﻣ ِﺘ َ ﺳ ُﻨ ْﺮﺿِﻴ َ ِإﻧﱠﺎ Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As r.a. bahwa Nabi saw. membaca firman Allah dalam surat Ibrâhîm (Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Maka, barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku…QS.Ibrâhîm:36). Dan Isa a.s berkata (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. – QS.al-Mâidah:118-) Lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berucap sambil menangis: “Ya Allah, umatku, umatku!” lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad, dan Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyakan kepadanya, apa yang menyebabkanmu menangis!” Kemudian Jibril mendatangi beliau dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah saw. memberitahu kepada Jibril a.s. mengenai apa yang dikatakan, dan Dia lebih mengetahui.Lalu Allah 121
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1414/1993), Juz 10, h. 121
107
berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad dan katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan meridhaimu terhadap umatmu dan tidak akan berbuat buruk kepadamu.’” (H.R. Muslim)122 Menurut Imam al-Nawawî (w.675 H.), Hadis di atas mengandung beberapa hal, yaitu: Pertama: Besarnya rasa kasih sayang yang sempurna serta perhatian Rasul terhadap kemaslahatan segala urusan umat beliau. Hal ini ditunjukkan dengan disebutnya umat beliau sambil menangis agar diselamatkan dari siksa Allah. Kedua: Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa. Ketiga: Kabar gembira untuk umat Nabi Muhammad saw. bahwa Allah akan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Keempat: Keagungan kedudukan Nabi saw. di sisi Allah serta besarnya kasih sayang Allah kepada beliau.123 Imam Ibn Mâjah (w.273 H.) juga meriwayatkan Hadis yang menganjurkan menangis saat membaca al-Qur’an:
ص َو َﻗ ْﺪ ٍ ﻦ أَﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ ُ ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ َ ﻋَﻠ ْﻴﻨَﺎ َ ل َﻗ ِﺪ َم َ ﺐ ﻗَﺎ ِ ﻦ اﻟﺴﱠﺎِﺋ ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ َأﺧِﻲ ِ ﺣﺒًﺎ ﺑِﺎ ْﺑ َ ل َﻣ ْﺮ َ ﺧَﺒ ْﺮُﺗ ُﻪ َﻓﻘَﺎ ْ ﺖ َﻓَﺄ َ ﻦ َأ ْﻧ ْ ل َﻣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓ َﻘﺎ َ ﺖ ُ ﺴﱠﻠ ْﻤ َ ﺼ ُﺮ ُﻩ َﻓ َ ُآﻒﱠ َﺑ ن هَﺬَا ل ِإ ﱠ ُ َﻳﻘُﻮρِ ل اﷲ َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ن ِ ت ﺑِﺎْﻟ ُﻘﺮْﺁ ِ ﺼ ْﻮ ﻦ اﻟ ﱠ ُﺴ َﺣ َ ﻚ َ ﺑَﻠَﻐَﻨِﻲ َأﱠﻧ ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﺒﻜُﻮا َﻓَﺘﺒَﺎ َآﻮْا َوَﺗ َﻐﱠﻨﻮْا ِﺑ ِﻪ ْ ن َﻓِﺈذَا َﻗ َﺮْأُﺗﻤُﻮ ُﻩ ﻓَﺎ ْﺑﻜُﻮا َﻓِﺈ ٍ ﺤ ْﺰ ُ ل ِﺑ َ ن َﻧ َﺰ َ اْﻟ ُﻘﺮْﺁ 124 َ ﻦ ِﺑ ِﻪ َﻓَﻠ ْﻴ .ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳَﺘ َﻐ ﱠ ْ َﻓ َﻤ Dari Abdurrahmân bin al-Sâ’ib ia berkata: “Sa’ad bin Abî Waqqâs datang kepada kami, dan ketika itu penglihatannya sudah terganggu. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia bertanya: ’Siapa anda? ‘Akupun memberitahu tentang 122
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Du’â al-Nabî saw.li Ummatih wa Bukâ’ih Syafaqah ‘alaihim, h.107 123 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994), Jilid 2, h. 80 124 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah,Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ Bâb fî Husn al-Saut bi al-Qur’ân, no. Hadis 1337 h. 424; Dalam sanad ini terdapat Abû Râfi’ (Ismâ’îl ibn Râfi’). Dia adalah rawi daif dan matruk.
108
diriku. Iapun berkata: ’Selamat datang wahai anak saudaraku! Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau memiliki suara yang indah saat membaca al-Qur’an. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika tidak menangis, maka hendaklah pura-pura menangis. Merdukanlah bacaan al-Qur’an . Barangsiapa yang tidak memerdukan al-Qur’an dengan suaranya, maka ia tidak termasuk golongan kami.” (H.R. Ibn Mâjah) Dan menurut Imam al-Nawawî (w.675 H.), menangis saat membaca alQur’an adalah sifat para arifin dan syi’ar para salihin. 125 2. Tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan Kematian Orang-orang yang Dicintai a) Tangis Rasulullah saw. Saat Menyaksikan Kematian Anaknya (Ibrâhîm). Mengingat kematian secara proporsional adalah di antara sifat orang-orang mukmin. Bahkan Rasul menyebutkan bahwa mukmin yang cerdas adalah yang senantiasa mengingat kematian dan paling banyak mempersiapkan bekal untuk kehidupan sesudahnya.126 Sedangkan orang yang sibuk mengurus urusan dunia, yang terpasung oleh tipu dayanya dan yang cinta pada kemegahannya, hatinya akan lalai dan lengah untuk mengingat kematian. Jika diingatkan, maka dia akan berlari darinya. Mereka itulah yang oleh Allah disinyalir melalui firmanNya:
ﻋﺎِﻟ ِﻢ َ ن ِاَﻟﻰ َ ﻼ ِﻗ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ُﺛ ﱠﻢ ُﺗ َﺮ ﱡد ْو َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ َﻓِﺎ ﱠﻧ ُﻪ ُﻣ َ ي َﺗ ِﻔ ﱡﺮ ْو ْ ت اﱠﻟ ِﺬ َ ن ا ْﻟ َﻤ ْﻮ ﻞ ِا ﱠ ْ ُﻗ َ ﺸ َﻬﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨ ﱢﺒ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑ َﻤﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤُﻠ ْﻮ ﺐ َواﻟ ﱠ ِ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ
ن Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS.al-Jumu’ah/62:8) Bagi orang yang bertaubat, mengingat kematian merupakan sarana untuk membangkitkan rasa takut hatinya sehingga ia benar-benar bertaubat. 125
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz 10, h. 121
126
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd, Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4259, h. 1423
109
Bahkan, mungkin dia akan membenci kematian karena takut akan dijemput secara tiba-tiba sedangkan dirinya belum melakukan taubat secara sempurna dan belum memperbaiki serta mempersiapkan bekal hidupnya kelak. Kebencian seperti ini dapat dimaklumi karena akan memotivasi dirinya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amal saleh. Sedangkan orang arif akan senantiasa mengingat kematian, karena ia merupakan sarana pertemuan dirinya dengan kekasihnya. Kematian adalah pintu gerbang yang mengalihkan seseorang dari alam dunia yang fana menuju alam akhirat yang kekal abadi. Bagi orang-orang yang arif & salih, muncul keyakinan bahwa di balik kematian telah menunggu beragam kebahagiaan dan kenikmatan hidup serta jauh dari hingar bingarnya kehidupan dunia yang penuh tipu daya dan kesemuan. Kematian dalam pandangan ulama adalah pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan pemikiran bagi orang yang mau berpikir.127 . Perhatikanlah sikap Rasulullah saw. saat putra tercintanya dijemput kematian!
ﻋﻠَﻰ َ ρﷲ ِ لا ِ ﺳ ْﻮ ُ ﺧ ْﻠﻨَﺎ َﻣ َﻊ َر َ ل َد َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ٍ ﻦ َا َﻧ ْﻋ َ ِا ْﺑﺮَا ِه ْﻴ َﻢρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ﺧ َﺬ َر َ ﻻ ْﺑﺮَا ِه ْﻴ َﻢ َﻓَﺎ ِ ن ﻇِ ْﺌﺮًا َ ﻒ اﻟﻘﻴﻦ َوآَﺎ ٍ ﺳ ْﻴ َ ﻲ ْ َا ِﺑ ل ِ ﺳ ْﻮ ُ ﻋ ْﻴﻨَﺎ َر َ ﺖ ْ ﺠ َﻌَﻠ َ ﺴ ِﻪ َﻓ ِ ﻚ َوِا ْﺑﺮَا ِه ْﻴ ُﻢ ِﺑ َﻨ ْﻔ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺑ ْﻌ َﺪ َذِﻟ َ ﺧ ْﻠﻨَﺎ َ ﺷ ﱠﻤ ُﻪ ُﺛﻢﱠ َد َ َﻓ َﻘ ﱠﺒَﻠ ُﻪ َو ﺖ ﻳَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ َوَا ْﻧ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ف َر ٍ ﻋ ْﻮ َ ﻦ ِ ل َﻟ ُﻪ ﻋَ ْﺒﺪُاﻟ ﱠﺮﺣْﻤﻦِ ْﺑ َ ن َﻓﻘَﺎ ِ ا ِ َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎρ ﷲ ن ِا ﱠρ ل َ ﺧﺮَى َﻓﻘَﺎ ْ ﺣ َﻤ ٌﺔ ُﺛﻢﱠ َا ْﺗ َﺒ َﻌﻬَﺎ ﺑُِﺎ ْ ف ِا ﱠﻧﻬَﺎ َر ٍ ﻋ ْﻮ َ ﻦ َ ل ﻳَﺎ ا ْﺑ َ ل اﷲِ؟ َﻓﻘَﺎ ُ ﺳ ْﻮ ُ َر ﻚ َ ﻻ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺮﺿِﻲ َر ﱠﺑﻨَﺎ َوِاﻧﱠﺎ ِﺑ ِﻔﺮَا ِﻗ ل ِا ﱠ ُ ﻻ َﻧ ُﻘ ْﻮ َ ن َو ُ ﺤ ُﺰ ْ ﺐ َﻳ ُ ﻦ َﺗ ْﺪ َﻣ ُﻊ َواْﻟ َﻘ ْﻠ َ ا ْﻟ َﻌ ْﻴ 128 .ن َ ﺤ ُﺰ ْو ُﻧ ْﻮ ْ َﻟ ِﻤ 127
Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fi al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, (T.tp.: al-Maktabah alTaufîqiyyah, t.t.), h. 261-262 128 al-Bukhârî, Sahiîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Qaul al-Nabî innâ bik Lamahzûnûn, h. 84-85; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ‘il Bâb Rahmatih saw. alSibyân wa al-‘Îyâl wa Tawâdu’ih wa Fadl Dzâlik h. 324-325; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî al-Rukhsah fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1011, h. 237; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 3126, h. 193; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a î al-Bukâ
110
Dari Anas bin Mâlik r.a. dia berkata : Kami pernah masuk bersama Rasulullah ke rumah Abû Saif, seorang pandai besi dan dia adalah sebagai zi’ir (istrinya menyusui) bagi Ibrahim, lalu Rasulullah saw. memegang Ibrahim, kemudian memeluk dan menciuminya. Setelah itu, kamipun masuk menemuinya sedang Ibrâhîm terbujur seorang diri. Maka kedua mata Rasulullah meneteskan air mata, lalu Abdurrahmân bin Auf bertanya kepada beliau: ‘Engkau juga menangis, ya Rasulullah? “beliau pun menjawab: “Wahai Ibn ‘Auf, sesungguhnya tetesan air mata ini adalah rahmat.” Kemudian diikuti dengan lainnya, lalu beliaupun bersabda; “Sesungguhnya mata ini telah berlinang, hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami. Dan sesungguhnya kami sangat bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrâhîm.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, dan Ahmad) Sebagaimana yang tersebut pada hadis di atas, ketika Ibrâhîm telah mendekati kematian, Rasulullah saw. tidak dapat menahan tetesan air matanya. Kenyataan ini menakjubkan para sahabat yang hadir, karena dalam berbagai sabdanya beliau senantiasa memotivasi sahabatnya untuk bersabar ketika musibah datang dan pernyataan beliau bahwa mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya. Dengan penuh keheranan, Abdurrahmân bin ‘Auf (w. 32 H.) bertanya: “Dan engkau ya Rasulullah (menangis)? “Dalam redaksi Hadis yang disampaikan Abdurrahmân bin ‘Auf, bunyi pertanyaan Abdurrahmân bin ‘Auf sebagai berikut:
129
ﻦ ا ْﻟ ُﺒ َﻜﺎِء ِﻋ َ َا َوَﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ َﻪ,ﻲ ْ ﷲ َﺗ ْﺒ ِﻜ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ ﻳَﺎ َر ُ َﻓ ُﻘ ْﻠ
Saya bertanya: “Ya Rasulullah, anda menangis? Bukankah anda melarang (kami) dari menangis?” Atas keheranan sahabatnya itu, Rasul menegaskan: “Wahai Ibn ‘Auf, sesungguhnya tangisan ini adalah rahmat. Sesungguhnya mata telah meneteskan airnya, hati bersedih, dan kami hanya mengatakan apa yang diridhai Tuhan kami. Sesungguhnya kami sangat bersedih atas kepergianmu
‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1589, h. 506-507; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 237 129 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 526
111
wahai Ibrahim.” Menurut Ibnu Batal dan lainnya sebagaimana yang dikutip Imam Ibn Hajar (w.852 H.), Hadis ini menjelaskan adanya tangisan dan kesedihan yang dibolehkan. Tetesan air mata yang keluar karena lembutnya kalbu tanpa murka terhadap keputusan Allah tidaklah dilarang. Hadis di atas juga mengandung anjuran untuk mencium anak, menyusui anak, mengunjungi orang yang lebih kecil, menghadiri orang yang akan meninggal, menyayangi keluarga, serta kebolehan menginformasikan kesedihan meskipun menyembunyikannya lebih utama. 130 Hal yang senada diungkapkan oleh Imam al-Nawawî (w.675 H.). Beliau mengatakan: “Dalam hadis tersebut mengandung makna dibolehkannya menangis dan bersedih atas orang yang sakit. Hal tersebut tidak bertentangan dengan konsep ridha terhadap takdir (Allah). Bahkan, tangisan itu dipandang sebagai rahmat yang Allah jadikan di dalam hati hamba-hambanya. Yang dicela itu adalah ratapan yang berlebihan (nadb & niyâhah), kata-kata celaka (wail & tsubur), serta ucapan-ucapan batil lainnya. Iulah sebabnya, Rasul mengatakan :’Dan kami tidak mengatakan kecuali yangmembuat ridha Tuhan kami!’131 Al-Hasan (w.110 H.) mengatakan: “kematian menyingkap dunia. Dunia tidak meninggalkan kebahagiaan bagi orang yang berakal. Tidaklah seorang hamba menguatkan hatinya untuk mengingat kematian, melainkan di matanya dunia tampak kecil dan semua yang ada di dalamnya menjadi hina.132 Pada suatu hari, Ibn Mu’tî pernah melihat rumahnya, lalu ia terkagum-kagum
130
Ibid, Juz 3, h. 526 ; Muh. Syams al-Haqq Abâdî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Juz 8, h. 394 131 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî., Jilid 8, h. 85 132 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 260
112
pada keindahannya dan kemudian menangis seraya berucap, “Demi Allah, kalau bukan karena kematian, niscaya aku akan bahagia bersamamu. Dan kalau bukan karena kita akan kembali ke kuburan yang sempit, niscaya kami akan menyenangi dunia.” 133 Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi orang yang kematian menjadi tempat kembalinya, tanah sebagai tempat pembaringannya, cacing sebagai teman setia, Munkar dan Nakir sebagai teman duduknya, kuburan sebagai tempat tinggalnya, dan kiamat sebagai waktu yang dijanjikan baginya serta surga dan neraka sebagai tempat kembalinya, hendaklah dia tidak memiliki pemikiran lain, kecuali hal tersebut, dan tidak menyiapkan diri kecuali hanya untuk itu saja.”134 Rasulullah adalah manusia yang telah mencapai ketakwaan tertinggi dan orang yang paling takut kepada Allah. Namun, kematian anaknya tak urung membuatnya menangis karena cinta kasihnya. Dengan ingat kematian, beliau juga mendapatkan kenikmatan tersendiri dalam hatinya. Itulah sebabnya, kitapun harus mengikuti prilaku mulia Rasul ini. b) Tangisan Rasulullah saw. Saat Menyaksikan Kematian Cucunya Sebagaimana beliau menangis saat menyaksikan anaknya, Ibrâhîm, meninggal dunia, beliau pun menangis dan meneteskan air mata kasih sayangnya menyaksikan kematian cucunya (Umâmah bin Zainab)135 Disebutkan dalam sebuah Hadis:
ﺖ ْ ﺳَﻠ َ َﻳ ْﻘﻀِﻲ َﻓَﺄ ْرρ ﻲ ت اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِ ﺾ َﺑﻨَﺎ ِ ﻦ ِﻟ َﺒ ْﻌ ٌ ن ا ْﺑ َ ل آَﺎ َ ﻦ ُأﺳَﺎ َﻣ َﺔ ﻗَﺎ ْﻋ َ 133
Ibid Ibid, h. 262 135 Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Jilid 3, h. 134
404
113
ﻞ ٍﺟ َ ﻞ ِإﻟَﻰ َأ ﻋﻄَﻰ َو ُآ ﱞ ْ ﺧ َﺬ َوَﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َأ َ ﷲ ﻣَﺎ َأ ِ ن ﻞ ِإ ﱠ َﺳ َ ن ﻳَ ْﺄﺗِﻴَﻬَﺎ َﻓَﺄ ْر ْ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َأ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َم َ ﺖ ْ ﺴ َﻤ َ ﺖ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓَﺄ ْﻗ ْ ﺳَﻠ َ ﺐ َﻓَﺄ ْر ْ ﺴ ِ ﺤ َﺘ ْ ﺼ ِﺒ ْﺮ َو ْﻟ َﺘ ْ ُﻣﺴَﻤًّﻰ َﻓ ْﻠ َﺘ ﻋﺒَﺎ َد ُة ُ ﺐ َو ٍ ﻦ َآ ْﻌ ُ ﻲ ْﺑ ﻞ َوُأ َﺑ ﱡ ٍ ﺟ َﺒ َ ﻦ ُ ﺖ َﻣ َﻌ ُﻪ َو ُﻣﻌَﺎ ُذ ْﺑ ُ َو ُﻗ ْﻤρ ﷲ ِ لا ُ َرﺳُﻮ ﺴ ُﻪ ُ ﻲ َو َﻧ ْﻔ ﺼ ِﺒ ﱠ اﻟ ﱠρ ﷲ ِ ل ا َ ﺧ ْﻠﻨَﺎ ﻧَﺎوَﻟُﻮا َرﺳُﻮ َ ﺖ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َد ِ ﻦ اﻟﺼﱠﺎ ِﻣ ُ ْﺑ َ ﺴ ْﺒ ُﺘ ُﻪ ﻗَﺎ ِﺣ َ ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ َ َﺗ َﻘ ْﻠ َﻘﻞُ ﻓِﻲ ل َ َﻓﻘَﺎρ ﷲ ِ لا ُ ل َآَﺄ ﱠﻧﻬَﺎ ﺷَ ﱠﻨ ٌﺔ َﻓ َﺒﻜَﻰ َرﺳُﻮ ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ِ ﻦ ْ ﷲ ِﻣ ُ ﺣ ُﻢ ا َ ل إِ ﱠﻧﻤَﺎ َﻳ ْﺮ َ ﻋﺒَﺎ َد َة َأ َﺗ ْﺒﻜِﻲ َﻓﻘَﺎ ُ ﻦ ُ ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ َ 136 َ اﻟ ﱡﺮ .ﺣﻤَﺎ َء Dari Usâmah bin Zaid ia berkata: “seorang anak perempuan Nabi saw. telah mengirimkan surat kepada beliau, ‘sesungguhnya anakku (mendekati) kematian, maka kunjungilah kami.’ Maka beliau mengirimkan (surat balasan) sambil menyampaikan salam dan mengucapkan,’Sesungguhnya milik Allahlah apa yang telah di ambil-Nya Dan kepunyaan Allah-lah apa yang telah diberikan-Nya. Dan setiap yang ada disisi-Nya ada ajal yang telah ditentukan, maka sabarlah dan carilah ridha Allah,’lalu putri Rasul itu mengirimkan surat lagi kepada beliau agar mempertimbangkan untuk mengunjunginya. Kemudian beliaupun berdiri dan ikut juga bersamanya Sa’ad bin Ubadah, Mu’âdz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsâbit, dan beberapa orang lainnya. Lalu anak kecil itu diangkat (untuk diserahkan) kepada Rasulullah saw. sedang jiwa anak itu bergetar tersengal-sengal. Usâmah mengatakan, ‘Seolah-olah aku mengira beliau mengatakan, ‘Jiwanya bagai syannun (suara tempat air dari kulit yang digerakkan), ‘Lalu air mata beliau bercucuran. Maka Sa’ad bertanya: “wahai Rasulullah, apa ini?’ Maka beliau menjawab: ‘Ini adalah rahmat yang Allah jadikan dalam hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah melimpahkan rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (H.R. al-Bukhârî) Rasa sakit yang diderita orang saat sakaratul maut tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Tarikan nyawa oleh malaikat Izrail melemahkan seluruh anggota tubuh, sehingga boleh jadi tidak ada suara dan teriakan dari calon mayit karena rasa sakit yang terlalu dalam. Kedukaan demi kedukaan dialami oleh orang yang tengah sakaratul maut hingga akhirnya 136
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-janâ’iz Bâb Qaul al-Nabî Yu’adzdzabu al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘Alaih, h. 80, Juz 7, Kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Qaul Allâh Ta’âlâ wa Aqsamû bi al-Lâh Jahd Aimânihim, h. 223-224, Juz 8, Kitâb al-Tauhîd Bâb Qaul al-Lâh Tabâraka wa ta’âlâ Qul Ud’u Allâh, h. 165, Juz 8, Kitâb al-Tauhîd Bâb Mâ Jâ’a fî Qaul Allâh Ta’âlâ Inna Rahmah Allâh Qarîb min al-Muhsinîn, 186; Muslim, Sahîh Muslim., Juz 1, Kitâb alJanâ’iz Bâb al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, h. 367; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 3125, h. 193; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1580, h. 506
114
nyawa sampai ke tenggorokan. Pada saat itu pandangannya terputus dari dunia dan penghuninya, dan ditutup pula pintu taubat. Ketika itu, hanya penyesalan yang mengitari para pelaku dosa dan maksiat. Mengenai hal ini, Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud firman Allah dalam surat al-Nisâ: 18
ﺣ َﺪ ُه ُﻢ َ ﻀ َﺮ َا َ ﺣ َ ﺣ ًﱠﺘﻰ ِا َذا َ ت ِ ﺴ ﱢﻴ َﺌﺎ ن اﻟ ﱠ َ ﻦ َﻳ ْﻌ َﻤُﻠ ْﻮ َ ﺖ اﻟ ﱠﺘ ْﻮ َﺑ ُﺔ ِﻟﱠﻠ ِﺬ ْﻳ ِ ﺴ َ َوَﻟ ْﻴ ﻋ َﺘ ْﺪ َﻧﺎ ْ ﻚ َا َ ن َو ُه ْﻢ ُآ ﱠﻔﺎ ٌر ُاوَﻟ ِﺌ َ ﻦ َﻳ ُﻤ ْﻮ ُﺗ ْﻮ َ ﻻاﱠﻟ ِﺬ ْﻳ َ ن َو َ ﺖ اﻵ ُ ﻲ ُﺗ ْﺒ ْ ل ِا ﱢﻧ َ ت َﻗﺎ ُ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ َﻟ ُﻬ ْﻢ
ﻤﺎ ً ﻋ َﺬا ًﺑﺎ َاِﻟ ْﻴ Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertobat sekarang" Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.(QS.al-Nisâ/4:18) Adalah “Apabila orang tersebut telah melihat malaikat maut” Rasulullah saw.sendiri menegaskan:
ﻞ َﺗ ْﻮ َﺑ َﺔ ا ْﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ َﻟ ْﻢ ُ ﷲ َﻳ ْﻘ َﺒ َ نا ل ِإ ﱠ َ ﻗَﺎρ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻋ َﻤ َﺮ ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ 137 ﻏ ْﺮ ِ ُﻳ َﻐ ْﺮ “Dari Ibn ‘Umar r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama (ruh) belum sampai di tenggorokan.” (H.R. al-Tirmidzî) c) Tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan Kematian Putrinya Sebagaimana Rasulullah saw. menangis ketika anaknya, Ibrâhîm, dipanggil ke rahmatullah, beliau juga meneteskan air mata ketika anaknya yang lain meninggal dunia.
ﺻَﻐِﻴﺮَ ٌةρ ﷲ ِ لا ِ ﺖ ِﻟ َﺮﺳُﻮ ٌ ت ﺑِ ْﻨ ْ ﻀ َﺮ ِ ﺣ ُ ل ﻟَﻤﱠﺎ َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ 137
al-Tirmiżī, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Da’awât, no. Hadis 3603, h. 207; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Taubah, no. Hadis 4253, h. 1420; Nilai Hadis ini hasan garib.
115
ﻋَﻠ ْﻴﻬَﺎ َ ﺿ َﻊ َﻳ َﺪ ُﻩ َ ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ ُﺛﻢﱠ َو َ ﻓَﻀَ ﱠﻤﻬَﺎ ِإﻟَﻰρ ﷲ ِ لا ُ ﺧ َﺬهَﺎ َرﺳُﻮ َ َﻓَﺄ ل َﻟﻬَﺎ َ ﻦ َﻓﻘَﺎ َ ﺖ ُأمﱡ َأ ْﻳ َﻤ ْ َﻓ َﺒ َﻜρ ﷲ ِ لا ِ ي َرﺳُﻮ ْ ﻦ َﻳ َﺪ َ ﻲ َﺑ ْﻴ َ ﺖ َو ِه ْ ﻀ َ َﻓ َﻘ ﺖ ْ ك َﻓﻘَﺎَﻟ ِ ﻋ ْﻨ َﺪ ِ ρﷲ ِ لا ُ ﻦ َو َرﺳُﻮ َ ﻦ َأ َﺗ ْﺒﻜِﻴ َ ﻳَﺎ ُأمﱠ َأ ْﻳ َﻤρ ﷲ ِ لا ُ َرﺳُﻮ ِإﻧﱢﻲρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ َﻳ ْﺒﻜِﻲ َﻓﻘَﺎρ ﷲ ِ لا ُ ﻻ َأ ْﺑﻜِﻲ َو َرﺳُﻮ َ ﻣَﺎ ﻟِﻲ ُ لا ﺨ ْﻴ ٍﺮ َ ﻦ ِﺑ ُ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣρ ﷲ ُ ل َرﺳُﻮ َ ﺣ َﻤ ٌﺔ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ ْ ﺖ َأ ْﺑﻜِﻲ َوَﻟ ِﻜ ﱠﻨﻬَﺎ َر ُ ﺴ ْ َﻟ ﻋ ﱠﺰ َ َﺤ َﻤ ُﺪ اﻟﱠﻠﻪ ْ ﺟ ْﻨ َﺒ ْﻴ ِﻪ َو ُه َﻮ َﻳ َ ﻦ ِ ﻦ َﺑ ْﻴ ْ ﺴ ُﻪ ِﻣ ُ ع َﻧ ْﻔ ُ ل ُﺗ ْﻨ َﺰ ٍ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ ﺣَﺎ 138 ﺟﱠ َ َو .ﻞ Dari Ibnu Abbas ra dia berkata: Ketika puteri Rasulullah saw. akan mendekati ajal kematian, beliau mengambil puterinya lalu menggendongnya, merangkul ke dadanya dan selanjutnya meletakkan tangan beliau ke tubuh puterinya. Kemudian puterinya itupun meninggal di hadapan beliau. Maka, Ummu Aiman menangis (dengan keras) sehingga Rasulullah saw. bersabda: “Apakah engkau menangis di dekat Rasulullah?” Ummu Aiman balik bertanya: “mengapa aku tidak menangis, sedangkan engkaupun pernah menangis?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menangis. Sesungguhnya (tangisan saya) merupakan rahmat.” Beliaupun melanjutkan dengan sabdanya: “Sesungguhnya seorang mukmin selalu berada dalam kebaikan dalam setiap keadaan. Sesungguhnya nyawanya dicabut dari dua sisinya sedang dia dalam keadaan memuji Allah.” Demikianlah seharusnya yang ditunjukkan seorang mukmin. Apapun yang menimpa seorang mukmin, ia akan selalu menyikapinya dengan positif. Jika kebaikan, ia akan syukuri. Dan jika ketidakbaikan, ia akan sabar. Adapun tetesan air mata Rasulullah saw. bukanlah wujud ketidakrelaan beliau terhadap kematian putrinya, tetapi sebagai tanda cinta dan kasih sayangnya kepada orang yang menghadap Ilahi. d) Tangisan Rasulullah saw. Saat Kematian ‘Utsmân bin Maz’ûn Salah seorang sahabat yang dicintai oleh Rasulullah saw. dan lebih dulu memasuki taman Islam adalah ‘Utsmân bin Maz’ûn (w.2 H.), seorang ahli ibadah lagi bertakwa, seorang mukhlis lagi bersih, pemberani yang tak 138
al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. Hadis 1840, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Cet.I., h 314-315
116
pernah gentar, dan seorang pemimpin yang tangguh. Untuk orang seperti inilah beliau meneteskan air mata ketika Allah memanggil ke pangkuan-Nya.
ﺖ َو ُه َﻮ ٌ ن َو ُه َﻮ ﻣَ ﱢﻴ ٍ ﻈ ُﻌ ْﻮ ْ ﻦ َﻣ َ ن ْﺑ َ ﻋ ْﺜﻤَﺎ ُ ﻞ َ َﻗ ﱠﺒρ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﺸ َﺔ َأ ﱠ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ 139 ن َ ﻋ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﺬ ِرﻓَﺎ َ ل َ ﻲ َأ ْو ﻗَﺎ ْ َﻳ ْﺒ ِﻜ Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua matanya meneteskan air mata). (H.R.al- Tirmidzî dan Abû Dâwûd) Betapa beliau berduka atas kematian ‘Utsmân bin Maz’ûn. Beliau peluk dan cium sambil meneteskan air mata saat sahabat tercintanya itu meninggal dunia. Air mata Rasulullah saw. adalah laksana lempengan permata yang berkilauan di atas pipinya. Sikap yang ditunjukkan oleh teladan umat ini mengindikasikan mulianya kedudukan sahabat ‘Utsmân bin Maz’ûn. Beliau adalah sahabat muhajirin pertama yang meninggal dunia di Madinah, sebagaimana dia adalah orang pertama yang dimakamkan di Baqi. Ketika Rasulullah saw. mengutamakan kelompok minoritas yang beriman yang berada dalam penindasan seraya menyuruh mereka untuk hijrah ke Habasyah, maka ‘Utsmân bin Maz’ûn adalah pemimpin golongan pertama dari kalangan orang-orang Muhajirin yang ditemani oleh puteranya, al-Sâ’ib, yang menghadapkan wajahnya ke negeri yang jauh dari tipu daya musuh Allah, Abu Jahal, serta kebengisan kaum kafir Quraisy. e) Tangisan Rasulullah saw. atas Syahidnya Panglima Mu’tah Allah swt. berfirman dalam surat al-Taubah ayat 111: 139
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî Taqbîl alMayyit, no. Hadis 994, h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bâb fî Taqbîl al-Mayyit, no. Hadis 3163, h. 201
117
,ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ ن َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ ﺴ ُﻬ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ ﱠ َ ﻦ َأ ْﻧ ُﻔ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ َ ﺷ َﺘﺮَى ِﻣ ْﷲا َ نا ِإ ﱠ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣَﻘًّﺎ ﻓِﻰ َ ﻋﺪًا ْ َو.ن َ ن َو ُﻳ ْﻘ َﺘُﻠ ْﻮ َ ﷲ َﻓ َﻴ ْﻘ ُﺘُﻠ ْﻮ ِ ﻞ ا ِ ﺳ ِﺒ ْﻴ َ ﻲ ْ ن ِﻓ َ ﻳُﻘ ِﺘُﻠ ْﻮ ,ﷲ ِ ﻦ ا َ ﻦ أَ ْوﻓَﻰ ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ ْ َو َﻣ.ن ِ ﻞ َواْﻟ ُﻘﺮْا ِ ﺠ ْﻴ ِ ﻻ ْﻧ ِ اﻟ ﱠﺘ ْﻮرَا ِة َو ْا ِ ﻚ ُه َﻮ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز ا ْﻟ َﻌ َ َو َذِﻟ,ي ﺑَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻪ ْ ﺸ ُﺮوْا ِﺑ َﺒ ْﻴ ِﻌ ُﻜ ُﻢ اﱠﻟ ِﺬ ِ ﺳ َﺘ ْﺒ ْ ﻓَﺎ
ﻈ ْﻴ ُﻢ Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) Janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. al-Taubah/9:111) Imam ‘Ali al-Sâbûnî menjelaskan bahwa firman Allah ini merupakan perumpamaan (tamtsîl) yang paling jelas dan gamblang tentang balasan untuk orang-orang yang berjihad. Allah akan membalasnya dengan surga atas pengerahan dan pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan-Nya, dan itu diungkapkan-Nya dengan term “jual-beli”.140 Di antara para mujahid yang membenarkan janji Allah di atas adalah tiga orang sahabat Rasulullah, yaitu: Zaid bin Hârits (w.8 H.), Ja’far bin Abî Tâlib (w. 8 H.), dan Abdullâh bin Rawâhah (w.8 H.). Ketiganya telah menjadi syuhada dalam perang Mu’tah.
ﺧ َﺬ اﻟﺮﱠا َﻳ َﺔ َ َأρ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ﻦ ُ ﷲ ْﺑ ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ ا َ ﺧ َﺬهَﺎ َ ﺐ ُﺛﻢﱠ َأ َ ﺟ ْﻌ َﻔ ٌﺮ َﻓُﺄﺻِﻴ َ ﺧ َﺬهَﺎ َ ﺐ ُﺛﻢﱠ َأ َ زَ ْﻳ ٌﺪ َﻓُﺄﺻِﻴ ﺧ َﺬهَﺎ َ ن ُﺛﻢﱠ َأ ِ َﻟ َﺘ ْﺬ ِرﻓَﺎρ ﷲ ِ لا ِ ﻲ َرﺳُﻮ ْ ﻋ ْﻴ َﻨ َ ن ﺐ َوِإ ﱠ َ ﺣ َﺔ َﻓُﺄﺻِﻴ َ َروَا 141 .ﺢ َﻟ ُﻪ َ ﻏ ْﻴ ِﺮ ِإ ْﻣ َﺮ ٍة َﻓ ُﻔ ِﺘ َ ﻦ ْ ﻦ ا ْﻟ َﻮﻟِﻴ ِﺪ ِﻣ ُ ﺧَﺎِﻟ ُﺪ ْﺑ Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Panji dipegang oleh Zaid lalu terbunuh. Kemudian panji diteruskan oleh Ja’far, lalu iapun 140
Ali al-Sâbûnî, Safwah al- Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1420/1999), Jilid 1, h. 564 141 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Rajul Yan’â ilâ Ahl almayyit bi Nafsih, h. 72; Juz 3, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar, h. 203; Juz 4, Kitâb Fadâ’il Ashâb alNabî saw. Bâb Manâqib Khâlid Ibn Wâlid, h. 218; Juz 5, Kitâb al-Maghâzî Bâb ‘Umrah al-Qadâ h. 87
118
terbunuh. Selanjutnya dipegang oleh Abdullah bin Rawahah, lalu iapun terbunuh.” Sesungguhnya kedua mata beliau meneteskan air mata. Kemudian panji diambil alih oleh Khalid bin Walid hingga kemenanganpun dpaat diraih.” (H.R. al-Bukhârî) f) Tangisan Rasulullah saw. atas Syahidnya Hamzah Allah swt. menguatkan Islam, salah satunya adalah dengan kegigihan Hamzah (w.3 H.), paman Rasulullah saw. Dengan semangat membara, Hamzah membela Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Hamzah memang tidak dapat membendung
segala kekerasan dan
siksaan kafir Quraisy. Tetapi keislamannya seolah-olah menjadi benteng dan perisai, di samping menjadi daya tarik bagi kabilah Arab. Terlebih ketika diikuti pula oleh keislaman ‘Umar bin Khattâb r.a (w.23 H.). Panji pertama yang dipercayakan oleh Rasulullah saw. kepada umat Islam, diserahkan kepada Hamzah r.a. (w.3 H.) Dan ketika pasukan Islam berhadap-hadapan dengan kaum kafir di perang Badar, Hamzah telah menunjukkan keberanian yang sangat luar biasa.142 Sahabat yang mulia ini syahid dalam perang Uhud di tangan seorang budak Habsyi yang bernama Wahsyi. Setelah Hamzah wafat dengan lemparan tombak Wahsyi, Wahsyipun mengambil hatinya dan mempersembahkannya kepada Hindun bin ‘Utbah (istri Abû Sufyân) sesuai pesan. Maka Hindun yang Ayahnya telah tewas di tangan kaum muslimin dalam perang Badar, mengigit dan mengunyah hati Hamzah karena dendam dan amarah murka.143 Betapa sedih dan pedih Rasulullah saw. menghadapi kenyataan pahit ini, sehingga tatkala beliau kembali dari perang Uhud dan menyaksikan wanita-wanita 142
Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), Cet.I, h. 200-201 143 Ibid, h. 207
119
Ansar menangisi suami mereka yang terbunuh, beliaupun bertambah sedih.
ﻦ َ ﻞ َﻳ ْﺒﻜِﻴ ِ ﺷ َﻬ ْﻷ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ َﻣ ﱠﺮ ِﺑ ِﻨﺴَﺎ ِءρ ﷲ ِ لا َ ن َرﺳُﻮ ﻋ َﻤ َﺮ َأ ﱠ ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ﻲ َﻟ ُﻪ َ ﻻ َﺑﻮَا ِآ َ ﺣ ْﻤ َﺰ َة َ ﻦ َﻟ ِﻜ ﱠρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ﺣ ٍﺪ َﻓﻘَﺎ ُ َه ْﻠﻜَﺎ ُهﻦﱠ َﻳ ْﻮ َم ُأ ل َ َﻓﻘَﺎρ ﷲ ِ لا ُ ﻆ َرﺳُﻮ َ ﺳ َﺘ ْﻴ َﻘ ْ ﺣ ْﻤ َﺰ َة ﻓَﺎ َ ﻦ َ ﻷ ْﻧﺼَﺎ ِر َﻳ ْﺒﻜِﻴ َ َﻓﺠَﺎ َء ِﻧﺴَﺎ ُء ا ﻚ َﺑ ْﻌ َﺪ ٍ ﻋﻠَﻰ هَﺎِﻟ َ ﻦ َ ﻻ َﻳ ْﺒﻜِﻴ َ ﻦ َو َ ﻦ َﺑ ْﻌ ُﺪ ُﻣﺮُو ُهﻦﱠ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻨ َﻘِﻠ ْﺒ َ ﻦ ﻣَﺎ ا ْﻧ َﻘَﻠ ْﺒ ﺤ ُﻬ ﱠ َ َو ْﻳ 144 ( )رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ واﻟﻄﺒﺮي.ا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم 3. Tangisan Rasulullah saw. di Depan Makam Ummu Kultsûm Seperti halnya para nabi dan rasul yang lain, Nabi saw. memiliki istri dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Kenyataan ini merupakan indikasi kesempurnaan dan kelengkapan hidup, bukan aib atau kekurangan. Di dalam alQur’an Allah menegaskan:
….ًﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﻟ ُﻬ ْﻢ أَ ْزوَاﺟًﺎ وَ ُذرﱢﻳﱠﺔ َ ﻚ َو َ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ْ ﻼ ِﻣ ً ﺳ ُ ﺳ ْﻠﻨَﺎ ُر َ َوَﻟ َﻘ ْﺪ َأ ْر
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…(QS.alRa’d/13:38) Di antara wanita yang dinikahi oleh beliau adalah Siti Khadîjah (w.619 M.) yang usianya terpaut 15 tahun. Dari perkawinannya dengan Khadijah, beliau dikaruniai dua orang putera dan empat orang puteri, yaitu: al-Qâsim (wafat sebelum kenabian),
‘Abdullâh (wafat sebelum kenabian), Zainab (w.7 H.),
Ruqayyah (w.2 H.), Ummu Kultsûm (w.9 H.), dan Fatimah al-Zahrâ (w.11 H.). Kedua puteranya meninggal dalam usia kanak-kanak.145 Sedang semua puteri beliau, kecuali Fâtimah meninggal ketika beliau masih hidup. Fâtimah sendiri meninggal dunia 6 bulan setelah beliau wafat. Rasulullah menyambut kematian anaknya satu demi satu dengan penuh
144
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz bâb Mâ jâ’a fî al-Bukâ ‘alâ alMayyit, no. Hadis 1591, h. 507;Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Târîkh al-Umam wa alMulûk, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1987), Cet.I, Jilid 3, h. 133 145 HMH. Al-Hamid Al-Husaini, Baitun Nubuwwah, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), Cet. III , h. 70-71
120
kesabaran dan ketabahan yang tidak tertandingi. Berikut ini adalah salah satu sikap beliau memberikan ucapan selamat jalan kepada puterinya, Ummu Kultsûm.
ρﷲ ِ لا ِ ﺷ ِﻬ ْﺪﻧَﺎ ﺑِ ْﻨﺘًﺎ ِﻟ َﺮﺳُﻮ َ ل َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ن ِ ﻋ ْﻴ َﻨ ْﻴ ِﻪ َﺗ ْﺪ َﻣﻌَﺎ َ ﺖ ُ ل َﻓ َﺮَأ ْﻳ َ ﺲ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ َﻘ ْﺒ ِﺮ ﻗَﺎ ٌ ِ ﺟَﺎﻟρ ﷲ ِ لا ُ ل َو َرﺳُﻮ َ ﻗَﺎ ل َ ﺤ َﺔ َأﻧَﺎ ﻗَﺎ َ ﻃ ْﻠ َ ل أَﺑُﻮ َ ف اﻟﱠﻠ ْﻴَﻠ َﺔ َﻓﻘَﺎ ْ ﻞ َﻟ ْﻢ ُﻳﻘَﺎ ِر ٌﺟ ُ َﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ ر ْ ل َه َ ل َﻓﻘَﺎ َ ﻗَﺎ 146 ل ﻓِﻲ َﻗ ْﺒ ِﺮهَﺎ َ ل َﻓ َﻨ َﺰ َ ل ﻗَﺎ ْ ﻓَﺎ ْﻧ ِﺰ Dari Anas bin Mâlik, dia berkata: “Kami pernah menghadapi pemakaman salah seorang puteri Rasulullah saw. Dia berkata, sementara Rasul duduk di dekat kuburan, lalu aku melihat kedua matanya meneteskan air mata, kemudian beliau bersabda; ‘Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak berjima tadi malam? ‘Abu Thalhah menjawab: ‘Aku’ Beliau berkata: ‘Kalau begitu’ turunlah engkau!’ maka Abu Thalhah pun menuruni kuburan Ummu Kaltsûm.” (H.R. alBukhârî) Begitulah sikap Rasulullah saw.memberikan ucapan selamat jalan kepada puteri tercintanya. Beliau duduk sambil melihat kubur dan meneteskan air mata dengan penuh keridhaan menerima takdir Ilahi. Rasulullah memberi salam perpisahan dengan penuh khidmat dan tenang yang disertai linangan air mata kejujuran, di mana seakan-akan beliau berkata kepadanya: “Sampai bertemu lagi puteriku di pelataran kiamat dan surga yang dijanjikan, insya Allah.” 4. Tangisan Rasulullah saw. saat Berziarah Kubur Alam kubur atau alam barzakh adalah suatu masa tanpa batas tertentu yang akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali. Dan menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa ketika manusia telah meninggal dunia, pasti ia akan ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir, baik jika mayat itu dikuburkan ataupun tidak.147 Bahagia dan sengsaranya seseorang di alam kubur sangat ditentukan oleh amal 146
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Qaul al-Nabi saw.Yu’adzdzabu al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘Alaih, h. 80 & Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Man Yadkhulu Qabr al-Mar’ah, h. 93 147 Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1999), h. 389-390
121
ketika ia hidup di dunia. Jika amalnya baik, maka ia akan mendapatkan kenikmatan. Dan jika amalnya buruk, maka ia akan mendapatkan siksa kubur. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. mengajarkan kepada umatnya agar berlindung dari siksa kubur. Dalam sebuah Hadis dari Abû Hurairah r.a.(w.57 H.) bahwa Nabi saw. bersabda:
ﺸ ﱡﻬ ِﺪ َ ﻦ اﻟ ﱠﺘ ْ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ِﻣ َ غ َأ َ ِإذَا َﻓ َﺮρﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ ُ ﻋﻦ َأ َﺑﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َﻳﻘُﻮ ب ا ْﻟ َﻘ ْﺒ ِﺮ ِ ﻋﺬَا َ ﻦ ْ ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ َو ِﻣ َ ب ِ ﻋﺬَا َ ﻦ ْ ﻦ َأ ْر َﺑ ٍﻊ ِﻣ ْ ﷲ ِﻣ ِ ﺧ ِﺮ َﻓ ْﻠ َﻴ َﺘ َﻌ ﱠﻮ ْذ ﺑِﺎ ِ اﻵ 148 ل ِ ﺟﺎ ﺢ اﻟ ﱠﺪ ﱠ ِ ﺷ ﱢﺮ ا ْﻟ َﻤﺴِﻴ َ ﻦ ْ ت َو ِﻣ ِ ﺤﻴَﺎ وَا ْﻟ َﻤﻤَﺎ ْ ﻦ ِﻓ ْﺘ َﻨ ِﺔ ا ْﻟ َﻤ ْ َو ِﻣ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian selesai dari tasyahud akhir, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal, yaitu: dari azab neraka, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah al-Masîh al-Dajjâl.” (H.R. Muslim) Membicarakan alam kubur identik dengan membicarakan kematian. Sedangkan membicarakan dan mengingat kematian sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
َأ ْآِﺜﺮُوا ِذ ْآ َﺮ هَﺎ ِذ ِم اﻟﱠﻠﺬﱠاتِ َﻳ ْﻌﻨِﻲρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْﻋ َ 149 ت َ اْﻟ َﻤ ْﻮ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perbanyaklah untuk mengingat pemutus kenikmatan” yaitu kematian. (H.R. al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan Ahmad) Hal yang perlu diketahui adalah bahwa azab kubur adalah azab alam barzakh sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
ن َ خ إِﻟَﻰ َﻳ ْﻮ ِم ُﻳ ْﺒ َﻌ ُﺜ ْﻮ ٌ ﻦ َورَا ِﺋ ِﻬ ْﻢ َﺑ ْﺮ َز ْ َو ِﻣ
148
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Mâ Yusta’âdzu minh fî al-Salâh, h. 237 149 al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Dzikr al-Maut, no. Hadis 2409, h. 378-379; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Katsrah dzikr alMaut, no. Hadis 1821, h. 311-312; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’âdzah, no. Hadis 4258, h. 1422; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 293; al-Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, (Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1357/1939), h. 258-259; Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Robbani Press, 2003), Cet. III, h.123; Nilai Hadis ini hasan sahih garib.
122
“Dan di belakang mereka terdapat alam barzakh sampai waktu mereka dibangkitkan.” (QS. al-Mu’minûn/23:100) Kenyataan adanya azab kubur ini disadari betul oleh Rasulullah saw. sehingga beliau menjadi orang yang paling takut dan bertakwa di antara manusia. Beliau diliputi rasa takut yang sebenar-benarnya saat menyaksikan orang menggali kubur. Beliaupun segera mendatangi mereka dan melihat kuburan serta menangis karena takut pada berbagai peristiwa menyeramkan selama masa yang menakutkan itu. Tentang hal ini, disebutkan dalam Hadis berikut ini:
ﺷﻔِﻴ ِﺮ َ ﻋﻠَﻰ َ ﺲ َ ﺠَﻠ َ ﺟﻨَﺎ َز ٍة َﻓ ِ ﻓِﻲρ ﷲ ِ لا ِ ل ُآﻨﱠﺎ َﻣ َﻊ َرﺳُﻮ َ ﻦ ا ْﻟ َﺒﺮَا ِء ﻗَﺎ ْﻋ َ ﻋﺪﱡوا ِ ﻞ َهﺬَا َﻓَﺄ ِ ﺧﻮَاﻧِﻲ ِﻟ ِﻤ ْﺜ ْ ل ﻳَﺎ ِإ َ ﻞ اﻟ ﱠﺜﺮَى ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ ا ْﻟ َﻘ ْﺒ ِﺮ َﻓ َﺒﻜَﻰ ﺣَﺘﱠﻰ َﺑ ﱠ Dari al-Barâ dia berkata: Ketika kami bersama Rasulullah saw. berada di hadapan jenazah, lalu beliau duduk di sisi kuburan. Beliaupun menangis hingga air matanya membasahi tanah. Selanjutnya beliau bersabda: “Wahai saudara-saudaraku, untuk hari seperti ini, hendaklah kalian menyiapkan diri!” (H.R. Ibn Mâjah)150 Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliaupun menangis ketika berziarah ke kubur ibunya.
ﺣ ْﻮَﻟ ُﻪ َ ﻦ ْ َﻗ ْﺒ َﺮ ُأ ﱢﻣ ِﻪ َﻓ َﺒﻜَﻰ وَأَ ْﺑﻜَﻰ َﻣρ ﻲ ل زَا َر اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْﻋ َ ﺳ َﺘ ْﺄ َذ ْﻧ ُﺘ ُﻪ ﻓِﻲ ْ ن ﻟِﻲ وَا ْ ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔ َﺮ ﻟَﻬَﺎ َﻓَﻠ ْﻢ ُﻳ ْﺆ َذ ْ ن َأ ْ ﺖ رَﺑﱢﻲ ﻓِﻲ َأ ُ ﺳ َﺘ ْﺄ َذ ْﻧ ْلا َ َﻓﻘَﺎ 151 ت َ ن ﻟِﻲ َﻓﺰُورُوا ا ْﻟ ُﻘﺒُﻮ َر َﻓِﺈ ﱠﻧﻬَﺎ ُﺗ َﺬآﱢ ُﺮ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ن َأزُو َر َﻗ ْﺒ َﺮهَﺎ َﻓُﺄ ِذ ْ َأ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: “Nabi saw. pernah berziarah ke makam ibunya lalu menangis dan membuat orang di sekitarnya ikut menangis. Lalu beliau bersabda: ‘Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan baginya tetapi tidak diberikan izin. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk berziarah ke kuburannya, maka Dia-pun memberikan izin kepadaku. Oleh karena itu, berziarahlah ke kuburan, karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada kematian.’”(H.R. Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah,) Sesungguhnya hati itu dapat khusyu dan mata dapat meneteskan airnya
150
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4195, h. 1403 151 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Isti’dzân al-Nabî saw. Rabbah ‘Azza wa Jalla fî Ziyârah Qabr Ummih, h. 289; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb alJanâ’iz Bâb fî Ziyârah al-Qûbûr, no. Hadis 3234, h. 218; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î., Kitâb alJanâ’iz Bâb Ziyârah Qabr al-Musyrik, no. Hadis 2031, h. 342; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Majah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ’a fî Ziyârah Qubûr al-Musyrikîn, no. Hadis 1572, h. 501
123
karena mengetahui berbagai peristiwa menyeramkan pada saat yang menegangkan itu. Rasulullah sendiri takut dan bersegera merenungkan liang lahad. Air mata beliau menetes sehingga membasahi pipi, bahkan tanah. Lalu apa yang harus kita lakukan dengan setumpuk dosa dan kemaksiatan diri kita? Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin, apakah ketika ia masuk ke dalam kubur ia dapat menjawab pertanyaan atau tidak? Apakah kuburnya menjadi luas dan menjadi bagian dari taman surga atau justru menyempit dan menjadi bagian dari liang neraka. Untuk kondisi itulah beliau meminta kepada umatnya agar mempersiapkan bekal menghadapi alam yang belum pernah dialami oleh seorangpun. Meski beliau dijamin masuk surga, namun beliau biasa menangis dan bertaubat dalam sehari tidak kurang dari seratus kali, sedangkan kita tertawa terbahak-bahak. Beliau biasa takut akan siksa Allah, sementara kita justru berangan-angan dan merasa aman. Beliau selalu menyiapkan diri untuk menghadapi kematian yang merupakan keniscayaan bagi semua manusia, sementara kita selalu bersikap masa bodoh. Tetesan air mata beliau adalah tetesan air mata spiritual yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Tetesan air mata seperti inilah yang mampu menggerakkan pelakunya untuk melakukan introspeksi dan evaluasi diri sehingga selalu melakukan perbaikan diri dalam kehidupan. a. Tangisan Rasulullah saw. Saat Menjenguk Sa’ad bin ‘Ubâdah Rasulullah saw. adalah prototipe manusia yang sangat cinta dan peduli kepada sesama, terlebih kepada sahabat-sahabatnya. Sebagai “rahmatan lil ‘aalamiin”, kebaikan dan kemurahan beliau acapkali dirasakan dan dinikmati oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Beliau menyadari betul segala hak dan 124
kewajiban manusia dalam hidup bermasyarakat. Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhârî dan Imam Muslim, Nabi saw. bersabda:
ل ُ َﻳﻘُﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻋﻦ أَﺑﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ع ُ ﺾ وَا ﱢﺗﺒَﺎ ِ ﻋﻴَﺎ َد ُة ا ْﻟ َﻤﺮِﻳ ِ ﻼ ِم َو َﺴ ﺲ َر ﱡد اﻟ ﱠ ٌ ﺴِﻠ ِﻢ ﺧَ ْﻤ ْ ﺴِﻠ ِﻢ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْ ﻖ ا ْﻟ ُﻤ ﺣﱡ َ 152 ﺲ ِ ﻃ ِ ﺖ ا ْﻟﻌَﺎ ُ ﺸﻤِﻴ ْ ﻋ َﻮ ِة َو َﺗ ْ ﺠﻨَﺎ ِﺋ ِﺰ وَإِﺟَﺎﺑَ ُﺔ اﻟ ﱠﺪ َ ا ْﻟ Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Hak seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, yaitu (1) menjawab salam; (2) menjenguk orang yang sakit; (3) mengantar jenazah; (4) memenuhi undangan; dan (5) mendoa’akan yang bersin.” (Muttafaq ‘alaih) Apa yang Rasul katakan dan ajarkan, beliaulah orang pertama yang merealisasikannya. Hal ini dibuktikan tatkala Sa’ad bin ‘Ubâdah (w.15 H.), pembawa bendera Ansar, jatuh sakit. Sa’ad bin ‘Ubâdah (w. 15 H.) adalah pemuka suku Khazraj di kota Madinah. Ia pernah mendapat siksaan kejam dari kafir Quraisy kota Mekah. Kekejaman kafir Quraisy tersebut mempertebal semangatnya hingga diputuskan secara bulat untuk membela Rasulullah saw., para sahabatnya, dan agama Islam secara mati-matian. Tentang keagungan beliau, Ibn Abbâs r.a. (w.68 H.) pernah berkata: “Di setiap
peperangannya, Rasulullah saw. mempunyai dua bendera: Bendera
Muhajirin di tangan Ali bin Abi Thalib (w.40 H.) dan bendera Ansar di tangan Sa’ad bin ‘Ubâdah.”153 Itulah sebabnya, tatakala Sa’ad bin ‘Ubâdah jatuh sakit, Rasulullah saw. datang menjenguk dan menitikkan air mata karena empati melihat penderitaan 152
al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 2, Kitab al-Jana’iz Bâb al-Amr bi Ittibâ’ al-Janâ’iz, h. 70; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Salâm Bâb min Haqq al-Muslim li al-Muslim Radd al-Salâm, h. 266; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, h. 354-355 153 Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, h. 571-574
125
sahabatnya itu.
ﺷ ْﻜﻮَى َ ﻋﺒَﺎ َد َة ُ ﻦ ُ ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ َ ﺷ َﺘﻜَﻰ ْلا َ ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻋ َﻤ َﺮ َر ُ ﻦ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ص ٍ ﻦ َأﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ ِ ﺳ ْﻌ ِﺪ ْﺑ َ ف َو ٍ ﻋ ْﻮ َ ﻦ ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ َﻳﻌُﻮ ُد ُﻩ َﻣ َﻊρ ﻲ َﻟ ُﻪ ﻓَﺄَﺗَﺎ ُﻩ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ ﺷ َﻴ ِﺔ ِ ﺟ َﺪ ُﻩ ﻓِﻲ ﻏَﺎ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓ َﻮ َ ﻞ َﺧ َ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َد َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺴﻌُﻮ ٍد َر ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ َو ﷲ ﻓَﺒَﻜَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ ِ لا َ ﻻ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ َ ل َﻗ ْﺪ ﻗَﻀَﻰ ﻗَﺎﻟُﻮا َ َأ ْهِﻠ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َﻓَﻠﻤﱠﺎ رَأَى ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ُمρ ﻲ ﻻ َ ﻦ َو ِ ب ِﺑ َﺪ ْﻣ ِﻊ ا ْﻟ َﻌ ْﻴ ُ ﻻ ُﻳ َﻌﺬﱢ َ ﷲ َ نا ن ِإ ﱠ َ ﺴ َﻤﻌُﻮ ْ ﻻ َﺗ َ ل َأ َ َﺑ َﻜﻮْا َﻓﻘَﺎρ ﻲ ُﺑﻜَﺎ َء اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﺖ َ ن ا ْﻟ َﻤ ﱢﻴ ﺣ ُﻢ َوِإ ﱠ َ ب ِﺑ َﻬﺬَا َوَأﺷَﺎ َر ِإﻟَﻰ ِﻟﺴَﺎ ِﻧ ِﻪ َأ ْو َﻳ ْﺮ ُ ﻦ ُﻳ َﻌﺬﱢ ْ ﺐ َوَﻟ ِﻜ ِ ن ا ْﻟ َﻘ ْﻠ ِ ﺤ ْﺰ ُ ِﺑ 154 ب ِﺑ ُﺒﻜَﺎ ِء َأ ْهِﻠ ِﻪ ُ ُﻳ َﻌﺬﱠ Dari Abdullâh bin ‘Umar, dia berkata: Sa’ad bin ‘Ubâdah pernah mengeluhkan suatu hal kepadanya. Lalu Nabi saw. datang menjenguknya bersama Abdurrahmân bin ‘Auf, Sa’ad bin Abî Waqqâs, dan Abdullâh bin Mas’ûd. Ketika beliau masuk menemuinya, beliau mendapatkannya telah dikerumuni oleh keluarganya. Lalu beliau bertanya: “Apakah dia sudah meninggal?” Mereka menjawab: “Belum, ya Rasulullah!” Maka, Nabipun menangis. Ketika orang-orang melihat tangisan Nabi saw., merekapun ikut menangis. Lalu beliaupun bersabda: “Tidakkah kalian mendengar, sesungguhnya Allah tidak akan mengazab karena tetesan air mata dan tidak juga karena kesedihan hati. Tetapi dia akan menyiksa karena ini – Beliau menunjuk ke lidahnya – atau Dia mengasihi. Dan sesungguhnya mayit itu disiksa dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî & Muslim) Sikap Rasulullah saw. dengan menjenguk sahabat yang sakit dan menangis di dekatnya mengindikasikan keeratan hubungannya dengan sahabatnya tersebut. Kemuliaan posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi dan manusia paling mulia tidak menjadi penghalang untuk menunjukkan kasih sayangnya, meski dengan turun dan mendatangi orang yang berada di bawah beliau. b. Tangisan Rasulullah saw. untuk Mush’ab bin ‘Umair Mush’ab bin ‘Umair adalah seorang remaja Quraisy terkemuka yang paling ganteng dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat kepemudaan. Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan. Mungkin tidak seorangpun di antara 154
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘ind al-Marîd, h. 85; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit, h. 368
126
anak-anak muda Mekah yang beruntung dimanjakan oleh kedua orang tuanya seperti Mus’ab bin ‘Umair. Namun, ketika ia memeluk agama Islam, ia rela meninggalkan segala kemewahan dan fasilitas dari orang tuanya. Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa sahabat yang sedang duduk bersama Rasulullah. Saat melihat Mus’ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang menitikkan air mata karena duka. Mereka melihat Mus’ab mengenakan jubah usang yang bertambal, suatu hal yang sangat berbeda ketika Mus’ab belum memeluk Islam. Rasulullah sendiri menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai dengan cinta kasih dan syukur. Beliau bersabda:
ﷲ ِ ﻚ ُآﻠﱠ ُﻪ ﺣُﺒًّﺎ َ ك َذِﻟ َ ﻋ ْﻨ َﺪ َأَﺑ َﻮ ْﻳ ِﻪ ُﺛﻢﱠ َﺗ َﺮ ِ ﺼ َﻌﺒًﺎ َهﺬَا َوﻣَﺎ ِﺑ َﻤ ﱠﻜ َﺔ َﻓﺘًﻰ َأ ْﻧ َﻌ ُﻢ ْ ﺖ ُﻣ ُ َﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ 155 ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ ُ َو َر Dahulu saya melihat Mush’ab ini tidak ada yang mengimbanginya dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya. Kemudian ditinggalkannya semua itu, demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan:
ﺐ ٍ ﻦ أَﺑِﻲ ﻃَﺎِﻟ َ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱠ َ ﺳ ِﻤ َﻊ َ ﻦ ْ ﻲ ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨِﻲ َﻣ ﻇﱢ ِ ﺐ ا ْﻟ ُﻘ َﺮ ٍ ﻦ َآ ْﻌ ِ ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ َ ﻦ ُﻣ ْﻋ َ ﻦ ُ ﺐ ْﺑ ُ ﺼ َﻌ ْ ﻃَﻠ َﻊ ُﻣ َ ﺠ ِﺪ ِإ ْذ ِﺴ ْ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤρ ﷲ ِ لا ِ س َﻣ َﻊ َرﺳُﻮ ٌ ﺠﻠُﻮ ُ َل ِإﻧﱠﺎ ﻟ ُ َﻳﻘُﻮ ρﷲ ِ لا ُ ﻻ ُﺑ ْﺮدَ ٌة َﻟ ُﻪ ﻣَ ْﺮﻗُﻮﻋَ ٌﺔ ِﺑ َﻔ ْﺮ ٍو َﻓَﻠﻤﱠﺎ رَﺁ ُﻩ َرﺳُﻮ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ َ ﻋ َﻤ ْﻴ ٍﺮ ﻣَﺎ ُ ل ُ ل َرﺳُﻮ َ ﻦ اﻟ ﱢﻨ ْﻌ َﻤ ِﺔ وَاﱠﻟﺬِي ُه َﻮ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ﻓِﻴ ِﻪ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ ْ ن ﻓِﻴ ِﻪ ِﻣ َ َﺑﻜَﻰ ِﻟﱠﻠﺬِي آَﺎ ﻦ َ ﺖ َﺑ ْﻴ ْ ﺿ َﻌ ِ ﺣﱠﻠ ٍﺔ َو ُو ُ ح ﻓِﻲ َ ﺣﱠﻠ ٍﺔ َورَا ُ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﻓِﻲ َ ﻏﺪَا َأ َ ﻒ ِﺑ ُﻜ ْﻢ إِذَا َ َآ ْﻴρﷲ ِ ا ﺴ َﺘ ُﺮ ا ْﻟ َﻜ ْﻌ َﺒ ُﺔ ﻗَﺎﻟُﻮا ْ ﺳ َﺘ ْﺮ ُﺗ ْﻢ ُﺑﻴُﻮ َﺗ ُﻜ ْﻢ َآﻤَﺎ ُﺗ َ ﺧﺮَى َو ْ ﺖ ُأ ْ ﺤ َﻔ ٌﺔ َو ُر ِﻓ َﻌ ْﺻ َ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ غ ِﻟ ْﻠ ِﻌﺒَﺎ َد ِة َو ُﻧ ْﻜﻔَﻰ ُ ﻦ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣﻨﱠﺎ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم َﻧ َﺘ َﻔ ﱠﺮ ُﺤ ْ ﷲ َﻧ ِ ل ا َ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ
155
Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, h. 44-45
127
156
ﻷ ْﻧ ُﺘ ْﻢ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َ ρﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ َﻧ َﺔ َﻓﻘَﺎ
Dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazî (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami orang yang mendengar ‘Alî bin Abî Tâlib berkata: Sesungguhnya kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. di masjid. Tiba-tiba muncullah Mus’ab bin ‘Umair. Tidak ada yang dikenakannya kecuali sebuah selendang (burdah) yang ditambal dengan kulit. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menangisi (perbedaan) antara kenikmatan yang dahulu ada pada dirinya dengan sesuatu yang saat ini ada pada dirinya (berupa ujian dan kesulitan hidup). Kemudian Rasulullah bersabda: “Bagaimana keadaan kalian jika salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari dengan mengenakan pakaian dan pergi di sore hari dengan mengenakan pakaian yang lain. Juga di hadapannya diletakkan piring (berisi makanan) dan kemudian diganti lagi dengan makanan yang lain. Juga kalian hiasi rumah kalian sebagaimana ka’bah dihiasi?157 Para sahabat menjawab: “Wahai Rasulullah, kami ketika itu, tentu lebih baik. Sebab kami memiliki waktu luang untuk beribadah dan kebutuhan makanan kami juga tercukupi.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya keadaanmu pada hari ini lebih baik daripada saat itu.” (H.R. al-Tirmidzî) Rasul saw. menangis karena sedih sekaligus bangga dengan keteguhan iman Mush’ab dan keberaniannya meninggalkan segala kemewahan dunia demi meraih ridha Allah. Sungguh Mus’ab bin ‘Umair (w.3 H.) dahulunya adalah seorang pemuda Quraisy
yang dimanja. Jika ia memakai pakaian, maka pakaian tersebut adalah
yang paling mahal, paling indah, dan paling mewah. Para ahli
sejarahnya
menyebutnya: “Ia bagaikan wewangian penduduk Mekah.” Semua kemanjaan, kebahagiaan, dan kenikmatan, ada pada dirinya. 158 Namun, tatkala sinar Islam menyusup ke dalam kalbunya, keadaan berubah total. Kenikmatan dunia rela ia tinggalkan, demi meraih kenikmatan yang ada pada sisi Allah. c. Tangisan Rasulullah saw. saat Menegakkan Salat 156
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Sifah al-Qiyâmah Bâb 15, no. Hadis 2594, h. 61; Nilai Hadis ini hasan garib. 157 Ungkapan Rasul ini merupakan isyarat melimpahnya harta yang dimiliki seseorang sehingga pakaiannya berganti-ganti, makanannya juga demikian, dan rumahnya dihiasi dengan hiasan indah lagi mahal. Lihat Muh. Abdurrahmân al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 7, h. 176 158 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, h. 168
128
Salat adalah kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Sang Khalik. Dalam salat, seorang hamba memiliki kesempatan untuk berdialog, bermunajat, serta menyampaikan segala keluhannya kepada Allah swt. itulah sebabnya, salat bagi Rasulullah, dan juga selayaknya bagi umat Islam, menjadi sesuatu yang sangat disenangi. Hal ini dapat dilihat dari ketekunan dan kekhusyuan beliau dalam menegakkan shalat. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
ﺼﻠﱢﻲ َ ُﻳρ ﷲ ِ لا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ل َرَأ ْﻳ َ ﻦ أَﺑِﻴﻪِ ﻗَﺎ ْﻋ َ ف ٍ ﻄ ﱢﺮ َ ﻦ ُﻣ ْﻋ َ ﺖ ٍ ﻦ ﺛَﺎ ِﺑ ْﻋ َ 159 َ َوﻓِﻲ ρ ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ أَزِﻳ ٌﺰ َآَﺄزِﻳ ِﺰ اﻟ ﱠﺮﺣَﻰ ِﻣ ْﻦ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ِء Dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw. sedang salat dan di dalam rongga dadanya terdengar suara seperti suara orang yang berjalan kaki karena tangisnya. (H.R. Abû Dâwûd) Dalam riwayat lain disebutkan:
ﻏ ْﻴ ُﺮ ا ْﻟ ِﻤ ْﻘﺪَا ِد َ س َﻳ ْﻮ َم َﺑ ْﺪ ٍر ٌ ِن ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺎر َ ل َﻣﺎ آَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ َر ﻋِﻠ ﱟ َ ﻦ ْﻋ َ ﺼﻠﱢﻲ َ ﺠ َﺮ ٍة ُﻳ َﺷ َ ﺖ َ ﺤ ْ َﺗρ ﷲ ِ لا َ ﻻ َرﺳُﻮ ﻻ ﻧَﺎﺋِ ٌﻢ ِإ ﱠ َوَﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳُﺘﻨَﺎ وَﻣَﺎ ﻓِﻴﻨَﺎ ِإ ﱠ 160 َ ﺻ َﺒ ْ ﺣﺘﱠﻰ َأ َ َو َﻳ ْﺒﻜِﻲ .ﺢ Dari ‘Alî bin Abî Tâlib r.a. dia berkata: “Pada waktu perang Badar, di antara kami tidak terdapat penunggang kuda kecuali Miqdâd. Dan aku melihat tidak ada seorangpun di antara kami yang terbangun kecuali Rasulullah saw. yang tengah berada di bawah pohon sedang mengerjakan shalat dan menangis sampai pagi hari.” ( H.R. Ahmad) Hadis tersebut juga diriwayatkan
oleh
Ibn
Khuzaimah dalam
kitab
“Sahih”-nya kitab “al-salâh” bab “al-dalîl ‘alâ anna al-bukâ lâ yaqta’ al-salâh” no.899 dan dia menilainya sahih.. Ibn Hibbân juga meriwayatkan dalam “Kitab alSalâh” bab “dzikr ibâhah al-bukâ fî al-salâh” no.2254, dan dia menilainya
159
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Jilid 1, kitâb al-Salâh Bâb al-Bukâ fi al-Salâh, no Hadis 904, h. 238; Lihat juga Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-‘Ibâdah, no. Hadis 98, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), Cet.I, h. 123 160 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 1, h. 125
129
sahih.161 Hadis di atas menunjukkan bahwa menangis dalam salat tidak membatalkan salat, bahkan dianjurkan karena dicontohkan oleh Rasulullah. Tangisan dalam salat boleh jadi menunjukkan kekhusyuan pelakunya. Namun yang harus ditekankan adalah hendaknya tangisan itu tidak semata-mata terjadi dalam salat, namun harus berimplikasi secara positif dalam kehidupan seharihari, baik secara individual maupun sosial. d. Tangisan Rasulullah saw. Saat Perang Badar
ن ل َﻟﻤﱠﺎ آَﺎ َ ب ﻗَﺎ َ ﺨﻄﱠﺎ ِ ﻦ ا ْﻟ َ ﻋ َﻤ ُﺮ ْﺑ ُ ل ﺣَ ﱠﺪﺛَﻨِﻲ ُ س ﻗَﺎ َ ﻋﺒﱠﺎ ٍ ﻦ َ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ِ ﻦ َ ﻋْ َ ﺻﺤَﺎ ُﺑ ُﻪ ﻒ َوَأ ْ ﻦ َو ُه ْﻢ أَ ْﻟ ٌ ﺸ ِﺮآِﻴ َ ﷲ ρإِﻟَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْ لا ِ ﻈ َﺮ َرﺳُﻮ ُ َﻳ ْﻮ ُم َﺑ ْﺪ ٍر َﻧ َ ﷲ ρا ْﻟ ِﻘ ْﺒَﻠ َﺔ ُﺛﻢﱠ َﻣ ﱠﺪ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ ﻲا ِ ﻞ َﻧ ِﺒ ﱡ ﺳ َﺘ ْﻘ َﺒ َ ﻼ ﻓَﺎ ْ ﺟ ً ﺸ َﺮ َر ُ ﻋَ ﺴ َﻌ َﺔ َ ث ﻣِﺎ َﺋ ٍﺔ َو ِﺗ ْ ﻼ ُ َﺛ َ ﻋ ْﺪ َﺗﻨِﻲ ت ﻣَﺎ َو َ ﺠ ْﺰ ﻟِﻲ ﻣَﺎ وَﻋَ ْﺪﺗَﻨِﻲ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ﺁ ِ ﻒ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِﻪ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ َأ ْﻧ ِ ﻞ َﻳ ْﻬ ِﺘ ُ ﺠ َﻌ َ َﻓ َ ﺳَ ﻞ ا ْﻟِﺈ ْ ﻦ َأ ْه ِ ض ﻷ ْر ِ ﻻ ُﺗ ْﻌ َﺒ ْﺪ ﻓِﻲ ا َ ﻼ ِم َ ﻚ َه ِﺬ ِﻩ ا ْﻟ ِﻌﺼَﺎ َﺑ َﺔ ِﻣ ْ ن ُﺗ ْﻬِﻠ ْ اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ِإ ْ ﻦ ﻋْ ﻂ ِردَا ُؤ ُﻩ َ ﺳ َﻘ َ ﻞ ا ْﻟ ِﻘ ْﺒَﻠ ِﺔ ﺣَﺘﱠﻰ َ ﺴ َﺘ ْﻘ ِﺒ َ ﻒ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِﻪ ﻣَﺎدًّا َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ ُﻣ ْ ل َﻳ ْﻬ ِﺘ ُ ﻓَﻤَﺎ زَا َ ﻦ ﺧ َﺬ ِردَا َء ُﻩ َﻓَﺄ ْﻟﻘَﺎ ُﻩ ﻋَﻠَﻰ َﻣ ْﻨ ِﻜ َﺒ ْﻴ ِﻪ ُﺛﻢﱠ ا ْﻟ َﺘ َﺰ َﻣ ُﻪ ِﻣ ْ َﻣ ْﻨ ِﻜ َﺒ ْﻴ ِﻪ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ أَﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻓَﺄ َ ﻚ ﻣَﺎ ﺠ ُﺰ َﻟ َ ﺳ ُﻴ ْﻨ ِ ﻚ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َ ﻚ َر ﱠﺑ َ ﺷ َﺪ ُﺗ َ ك ُﻣﻨَﺎ َ ﷲ َآﻔَﺎ َ ﻲا ِ ل ﻳَﺎ َﻧ ِﺒ ﱠ َورَا ِﺋ ِﻪ َوﻗَﺎ َ لا ُ ك َﻓَﺄ ْﻧ َﺰ َ ﻋ َﺪ َ ب َﻟ ُﻜ ْﻢ أَﻧﱢﻲ ﺳ َﺘﺠَﺎ َ ن َر ﱠﺑ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْ ﺴ َﺘﻐِﻴﺜُﻮ َ ﻞ ِإ ْذ َﺗ ْ ﺟﱠ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ َ َو َ ل أَﺑُﻮ ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ﻗَﺎ َ ﷲ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ َ ﻦ َﻓَﺄ َﻣ ﱠﺪ ُﻩ ا ُ ﻼ ِﺋ َﻜ ِﺔ ُﻣ ْﺮ ِدﻓِﻴ َ ﻦ ا ْﻟ َﻤ َ ﻒ ِﻣ ْ ُﻣ ِﻤﺪﱡ ُآ ْﻢ ِﺑَﺄ ْﻟ ٍ ﺸ َﺘ ﱡﺪ ﻦ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ َﻳ ْ ﺴِﻠﻤِﻴ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْ ﻞ ِﻣ ْ ﺟٌ ل َﺑ ْﻴ َﻨﻤَﺎ رَ ُ س ﻗَﺎ َ ﻋﺒﱠﺎ ٍ ﻦ َ ﺤ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ا ْﺑ ُ ﻞ َﻓ َ ُز َﻣ ْﻴ ٍ ط َﻓ ْﻮ َﻗ ُﻪ ﺴ ْﻮ ِ ﺿ ْﺮ َﺑ ًﺔ ﺑِﺎﻟ ﱠ ﺳ ِﻤ َﻊ َ ﻦ َأﻣَﺎ َﻣ ُﻪ ِإ ْذ َ ﺸ ِﺮآِﻴ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْ ﻞ ِﻣ ْ ﺟٍ ﻓِﻲ َأ َﺛ ِﺮ َر ُ ﺨ ﱠﺮ ك َأﻣَﺎ َﻣ ُﻪ َﻓ َ ﺸ ِﺮ ِ ﻈ َﺮ إِﻟَﻰ ا ْﻟ ُﻤ ْ ﺣ ْﻴﺰُو ُم َﻓ َﻨ َ ل َأ ْﻗ ِﺪ ْم َ س َﻳﻘُﻮ ُ ت ا ْﻟﻔَﺎ ِر ِ ﺻ ْﻮ َ َو َ ﻀ ْﺮ َﺑ ِﺔ ﺟ ُﻬ ُﻪ َآ َ ﺷﻖﱠ َو ْ ﻄ َﻢ َأ ْﻧ ُﻔ ُﻪ َو ُ ﺧِ ﻈ َﺮ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َﻓِﺈذَا ُه َﻮ َﻗ ْﺪ ُ ﺴ َﺘ ْﻠ ِﻘﻴًﺎ َﻓ َﻨ َ ُﻣ ْ ل ﻚ َرﺳُﻮ َ ث ِﺑ َﺬِﻟ َ ﺤ ﱠﺪ َ ي َﻓ َ ﻷ ْﻧﺼَﺎ ِر ﱡ ﺟ َﻤ ُﻊ َﻓﺠَﺎ َء ا َ ﻚ َأ ْ ﻀ ﱠﺮ َذِﻟ َ ﺧ َ ط ﻓَﺎ ْ ﺴ ْﻮ ِ اﻟ ﱠ ﺴﻤَﺎ ِء اﻟﺜﱠﺎِﻟ َﺜ ِﺔ َﻓ َﻘ َﺘﻠُﻮا َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ ﺳَ ْﺒﻌِﻴﻦَ ﻦ َﻣ َﺪ ِد اﻟ ﱠ ﻚ ِﻣ ْ ﺖ َذِﻟ َ ﺻ َﺪ ْﻗ َ ل َ ﷲ َ ρﻓﻘَﺎ َ ا ِ ﻷﺳَﺎرَى ﺳﺮُوا ا ُ س َﻓَﻠﻤﱠﺎ َأ َ ﻋﺒﱠﺎ ٍ ﻦ َ ل ا ْﺑ ُ ﻞ ﻗَﺎ َ ل َأﺑُﻮ ُز َﻣ ْﻴ ٍ ﺳﺮُوا ﺳَ ْﺒﻌِﻴﻦَ ﻗَﺎ َ َوَأ َ ن ﻓِﻲ َه ُﺆ َ ﷲَ ρ لا ِ ل َرﺳُﻮ ُ ﻗَﺎ َ ﻷﺳَﺎرَى ﻻ ِء ا ُ ﻋ َﻤ َﺮ ﻣَﺎ َﺗ َﺮ ْو َ ﻷﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َو ُ ﺧ َﺬ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ن َﺗ ْﺄ ُ ﺸﻴ َﺮ ِة أَرَى َأ ْ ﷲ ُه ْﻢ َﺑﻨُﻮ ا ْﻟ َﻌ ﱢﻢ وَا ْﻟ َﻌ ِ ﻲا ِ ل َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ﻳَﺎ َﻧ ِﺒ ﱠ َﻓﻘَﺎ َ 161
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, h. .92
130
ل َ ﻼ ِم َﻓﻘَﺎ َﺳ ْ ن َﻳ ْﻬ ِﺪ َﻳ ُﻬ ْﻢ ﻟِﻺ ْ ﷲ َأ ُ ن َﻟﻨَﺎ ُﻗ ﱠﻮ ًة ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻜﻔﱠﺎ ِر ﻓَﻌَﺴَﻰ ا ُ ِﻓ ْﺪ َﻳ ًﺔ َﻓ َﺘﻜُﻮ ﷲ ِ لا َ ﷲ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ ِ ﻻ وَا َ ﺖ ُ ب ُﻗ ْﻠ ِ ﺨﻄﱠﺎ َ ﻦ ا ْﻟ َ ﻣَﺎ ﺗَﺮَى ﻳَﺎ ا ْﺑρ ﷲ ِ لا ُ َرﺳُﻮ ﻋﻨَﺎ َﻗ ُﻬ ْﻢ ْ ب َأ َ ﻀ ِﺮ ْ ن ُﺗ َﻤ ﱢﻜﻨﱠﺎ َﻓ َﻨ ْ ﻣَﺎ أَرَى اﱠﻟﺬِي َرأَى َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َوَﻟ ِﻜﻨﱢﻲ َأرَى َأ ن َﻧﺴِﻴﺒًﺎ ِﻟ ُﻌ َﻤ َﺮ ٍﻼ َ ﻦ ُﻓ ْ ﻋ ُﻨ َﻘ ُﻪ وَ ُﺗﻤَﻜﱢﻨﱢﻲ ِﻣ ُ ب َ ﻀ ِﺮ ْ ﻞ َﻓ َﻴ ٍ ﻋﻘِﻴ َ ﻦ ْ ﻋﻠِﻴًّﺎ ِﻣ َ ﻦ َ َﻓ ُﺘ َﻤ ﱢﻜ َ ن َه ُﺆ ﷲ ِ لا ُ ي َرﺳُﻮ َ ﺻﻨَﺎدِﻳ ُﺪهَﺎ َﻓ َﻬ ِﻮ َ ﻻ ِء َأ ِﺋ ﱠﻤ ُﺔ ا ْﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ َو ﻋ ُﻨ َﻘ ُﻪ َﻓِﺈ ﱠ ُ ب َ ﺿ ِﺮ ْ َﻓَﺄ ﺖ َﻓِﺈذَا ُ ﺟ ْﺌ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻐ ِﺪ ْ ن ِﻣ َ ﺖ َﻓَﻠﻤﱠﺎ آَﺎ ُ ل َأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻬ َﻮ ﻣَﺎ ُﻗ ْﻠ َ ﻣَﺎ ﻗَﺎρ ﺧﺒِ ْﺮﻧِﻲ ْ َﷲ أ ِ لا َ ﺖ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ ُ ن ُﻗ ْﻠ ِ ﻦ َﻳ ْﺒ ِﻜﻴَﺎ ِ ﻋ َﺪ ْﻳ ِ َوَأﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا ُ َرﺳُﻮ ن َﻟ ْﻢ ْ ﺖ َوِإ ُ ت ُﺑ َﻜﺎ ًء َﺑ َﻜ ْﻴ ُ ﺟ ْﺪ َ ن َو ْ ﻚ َﻓِﺈ َ ﺣ ُﺒ ِ ﺖ َوﺻَﺎ َ ﻲ ٍء َﺗ ْﺒﻜِﻲ َأ ْﻧ ْ ﺷ َ ي ﻦ َأ ﱢ ْ ِﻣ ض َ ﻋ َﺮ َ َأ ْﺑﻜِﻲ ِﻟﱠﻠﺬِيρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ﺖ ِﻟ ُﺒﻜَﺎ ِﺋ ُﻜﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ ُ ﺟ ْﺪ ُﺑﻜَﺎ ًء َﺗﺒَﺎ َآ ْﻴ ِ َأ ﻦ ْ ﻋﺬَا ُﺑ ُﻬ ْﻢ َأ ْدﻧَﻰ ِﻣ َ ﻲ ﻋَﻠ ﱠ َ ض َ ﻋ ِﺮ ُ ﺧ ِﺬ ِه ْﻢ ا ْﻟﻔِﺪَاءَ َﻟ َﻘ ْﺪ ْ ﻦ َأ ْ ﻚ ِﻣ َ ﺻﺤَﺎ ُﺑ ْ ﻲ َأ ﻋَﻠ ﱠ َ ﻞ ﻣَﺎ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ ُ لا َ َوَأ ْﻧ َﺰρ ﷲ ِ ﻲا ﻦ َﻧ ِﺒ ﱢ ْ ﺠ َﺮ ٍة َﻗﺮِﻳ َﺒ ٍﺔ ِﻣ َﺷ َ ﺠ َﺮ ِة َﺸ َه ِﺬ ِﻩ اﻟ ﱠ ض إِﻟَﻰ َﻗ ْﻮِﻟ ِﻪ ِ ﻷ ْر َ ﻦ ﻓِﻲ ا َﺨ ِ ﺳﺮَى ﺣَﺘﱠﻰ ُﻳ ْﺜ ْ َن َﻟ ُﻪ أ َ ن َﻳﻜُﻮ ْ ﻲ َأ ن ِﻟ َﻨ ِﺒ ﱟ َ آَﺎ َﺣ َ ﻏ ِﻨ ْﻤ ُﺘ ْﻢ ﷲ ا ْﻟ َﻐﻨِﻴ َﻤ َﺔ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُ ﻞا ﺣﱠ َ ﻻ ﻃَﻴﱢﺒًﺎ َﻓَﺄ ًﻼ َ َﻓ ُﻜﻠُﻮا ﻣِﻤﱠﺎ Dari Ibn ‘Abbâs r.a. dia berkata: ‘Umar bin Khattâb r.a. pernah memberitahukanku, ia berkata: Ketika terjadi perang Badar, Rasulullah melihat ke arah orang-orang musyrik. Mereka berjumlah seribu orang, sedangkan sahabatsahabat beliau hanya berjumlah 319 orang. Kemudian Nabi saw. menghadap kiblat lalu mengangkat tangannya seraya berseru kepada Rabb-nya: “Ya Allah, wujudkanlah untukku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah (kepadaku) apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau hancurkan pasukan dari para pemeluk Islam ini, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi.” Beliau masih terus berseru kepada Tuhannya dengan mengangkat kedua tangannya sambil menghadap kiblat sehingga selendang beliau jatuh dari atas pundaknya. Lalu Abu Bakar mendatangi beliau dan mengangkat selendang itu dan kemudian meletakkannya kembali di atas kedua pundak beliau sambil berkata; “Wahai Nabiyullah, cukuplah seruanmu kepada Rabb-mu. Sesungguhnya Dia akan mewujudkan apa yang telah Dia janjikan kepadamu.” Maka Allah-pun menurunkan ayat ([Ingatlah], ketika kalian memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu Dia memperkenankan bagi kalian, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’ QS.al-Anfâl:9). Lalu, Allahpun mendatangkan untuknya malaikat. Abû Zumail menceritakan, Ibn ‘Abbâs mengatakan: Ketika pada saat itu ada seorang lelaki muslim yang sedang mengejar seorang lelaki musyrik yang ada di depannya, tiba-tiba dia mendengar suara pukulan cambuk di atasnya dan suara penunggang kuda yang berteriak: “Majulah Haizum (nama kuda)!” Lalu ia memperhatikannya, dan ternyata hidungnya telah luka dan wajahnya robek seperti terkena pukulan cambuk, dan semuanyapun menjadi hitam. Lalu datanglah seorang Ansar dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Rasulpun bersabda: “Engkau benar. Itu adalah berasal dari bantuan langit ketiga.” Pada saat itu mereka dapat membunuh 70 orang dan 131
menawan 70 pasukan. Abu Zumail menceritakan, Ibn ‘Abbâs mengatakan: Ketika mereka menawan beberapa orang tawanan, Rasulullah bersabda kepada Abû Bakar dan ‘Umar: “Bagaimana pendapat kalian tentang para tawanan tersebut?” Maka Abû Bakar menjawab: “Wahai Nabiyullah, mereka adalah bani al-‘Amm dan al-‘Asyîrah (termasuk keluarga). Menurutku, kita ambil saja fidyah (tebusan) dari mereka sehingga menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan orang-orang kafir. Mudah-mudahan saja Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk memeluk Islam.” Selanjutnya Rasulullah bertanya: “Bagaimana menurutmu, wahai Ibn al-Khattâb?”Akupun menjawab: “Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah. Saya tidak sependapat dengan Abû Bakar. Menurut saya, hendaknya engkau memberikan wewenang kepada kami sehingga kami penggal leher mereka. Berikan tugas kepada ‘Alî untuk menghadapi Aqil, lalu ia memenggal lehernya. Dan berikan tugas kepadaku untuk menghadapi si Fulan, lalu aku penggal lehernya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemimpin dan pemuka orang-orang kafir.” Ternyata, Rasulullah saw. menerima pendapat Abû Bakar da menolak pendapatku. Pada keesokan harinya aku datang. Saat itu, aku dapati Rasulullah saw. dan Abû Bakar tengah menangis. Lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa sebabnya engkau dan sahabatmu ini menangis! Jika aku bisa menangis, maka aku akan menangis. Dan jika aku tidak bisa menangis, maka aku akan berpura-pura menangis tersebab tangisan kalian berdua.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Aku menangis karena sesuatu yang diperlihatkan kepadaku disebabkan tindakan sahabat-sahabatmu mengambil fidyah (tebusan). Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku azab mereka lebih dekat daripada pohon ini, sebuah pohon yang dekat Nabiyullah saw. Sedangkan Allah telah menurunkan ayat (Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi…QS.al-Anfâl:67) sampai firman-Nya yang berbunyi (Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu sebagai makanan yang halal lagi baik. QS. al-Anfâl:69). Dengan demikian, Allahpun telah menghalalkan harta rampasan perang untuk mereka. (H.R. Muslim & Ahmad) 162 Ayat ini, menurut al-Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî, merupakan celaan terhadap Nabi saw. dan para sahabatnya yang telah mengambil tebusan dari para tawanan perang. Allah lebih menghendaki balasan akhirat yang kekal abadi, ketimbang harta tebusan yang sesaat.163 Itulah sebabnya, menurut al-Syaikh Muh. al-Ghazâlî, di antara yang akan dihisab oleh Allah dengan hisab yang keras terhadap kaum muslimin adalah sikap mereka terhadap para tawanan pada perang Badar.164
162
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar Bâb al-Imdâd bi alMalâ’ikah fî Ghazwah badrwa Ibâhah al-Ghanâ’im, h. 84-85; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 1, h. 31,33; Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984), cet.IX, h. 275; al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994/1414), h. 133-134 163 ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 1, h. 514-515 164 Khumais As-Said, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, h. 111
132
Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum Jika ditinjau dari segi hukum, maka aktivitas menangis dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: Menangis yang dibolehkan, menangis yang terlarang, dan menangis yang dianjurkan. 1. Menangis yang Dibolehkan a) Menangisi Mayit secara Wajar Dalam kajian Hadis, menangisi mayit mendapatkan perhatian tersendiri dari para ulama. Hal ini disebabkan karena banyaknya jalur periwayatan tentang hal tersebut dan adanya dugaan bahwa redaksi hadis menangisi mayit bertentangan dengan dalil-dalil yang lain, baik dari al-Qur’an ataupun Hadis, secara zahir. Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya didapatkan 71 jalur periwayatan dalam masalah ini dengan redaksi yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas menandaskan bahwa tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24 riwayat di antaranya menjelaskan klarifikasi
atau koreksi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.
terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan Abdullah bin Umar r.a. (w.73 H.) Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.(w.57 H.) menggugurkan keberadaan Hadis-hadis tersebut? al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzî (w.751 H.) dalam Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar dan Ibn ‘Umar telah disepakati oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat inipun dicantumkan dalam “alSahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun menjadi saksi terhadap riwayat ‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat dalam periwayatan ini adalah Hafsah,
133
Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah. Demikian Ibn al-Qayyim.165 Ibn Qutaibah juga menegaskan bahwa penolakan ‘Aisyah terhadap Hadis tersebut adalah dugaan (zann) dan ta’wil beliau sendiri. Sedangkan dugaan itu tidak dapat menolak eksistensi Hadis Rasulullah saw., kecuali jika’Aisyah menyampaikan sabda Rasul yang bertentangan atau bertolak belakang dengan Hadis menangisi mayit, tentu pernyataannya dapat diterima. Apalagi Hadis tentang menangisi mayit ini banyak diriwayatkan oleh sahabat, di antaranya ‘Umar, ‘Imrân ibn Husain, Ibn ‘Umar, dan Abû Mûsâ al-Asy’arî.166 Memang, jika matan hadis dipahami secara literal – bahwa perbuatan orang lain menyebabkan siksaan mayit – bertentangan dengan nash-nash agama dan akal sehat. Berikut ini beberapa nas yang dianggap bertentangan dengan makna lahiriyah Hadis:
: ﻓﺎﻃﺮ, 15: اﻻﺳﺮاء, 164: ﻻ ﺗﺰر وازرة وزر أﺧﺮى )اﻻﻧﻌﺎم ( 38: اﻟﻨﺠﻢ, 7: اﻟﺰﻣﺮ, ةﻣﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎل ذرة ﺷﺮا ﻳﺮﻩ.ﻓﻤﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎل ذرة ﺧﻴﺮا ﻳﺮﻩ ( 8-7:)اﻟﺰﻟﺰﻟﺔ (21 :آﻞ اﻣﺮئ ﺑﻤﺎ آﺴﺐ رهﻴﻦ )اﻟﻄﻮر ( 38:آﻞ ﻧﻔﺲ ﺑﻤﺎ آﺴﺒﺖ رهﻴﻨﺔ )اﻟﻤﺪﺛﺮ Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), ketika menafsirkan surat al-An’âm ayat 164 di atas mengatakan: Hal ini merupakan informasi yang akan terjadi pada hari kiamat mengenai pembalasan, hukum, dan keadilan Allah. Sesungguhnya setiap diri hanya akan dibalas berdasarkan amal perbuatannya. Jika baik (amalnya), maka baik pula (balasannya). Jika buruk (amalnya), maka buruk pula (balasannya). Sesungguhnya kesalahan seseorang tidak ditanggung oleh orang lain. Inilah di 165
Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), Juz 8, h. 400-401 Ibn Qutaibah, ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, (Beirût: Mu’assasah al-Kutub alTsaqâfiyyah, 1988), Cet. I, h. 162 166
134
antara wujud keadilan-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS Fâtir ayat 18 dan Tâhâ ayat 112.167 Sedangkan di antara Hadis yang berseberangan maknanya adalah;
هﺬا إﺑﻨﻚ؟ ﻗﺎل ﻧﻌﻢ ﻗﺎل اﻣﺎ إﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻚ وﻻ:ρﻗﻮﻟﻪ 168 ﺗﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ Jika diakui bahwa kedua jenis teks-teks ini sebagai bertentangan, maka kita dapat memasukkannya sebagai bagian dari pembahasan “’Ilm Mukhtalaf al-Hadîts” (Ilmu tentang Kontroversialitas Hadis). Untuk menyelesaikannya ada empat alternatif, yaitu: 1. Metode al-jam’u wa al-taufîq (memadukan dan menyelaraskan makna) 2. Metode al-naskh (menentukan yang awal dan yang akhir) 3. Metode al-tarjîh (menentukan yang terbaik) 4. Metode al-tawaqquf (penangguhan sementara)169 Sebelum lebih jauh penulis menjelaskan makna Hadis tersebut, perlu juga dipahami: Apakah yang dimaksud dengan “tangisan” di sini terbatas hanya pada tangisan keluarga atau juga tangisan orang lain. Permasalahan ini muncul karena dalam Hadis ditemukan redaksi yang berbunyi “ﻋﻠﻴﻪ
( “ ﺑﺒﻜﺎء أهﻠﻪtersebab tangisan keluarganya kepadanya),
sedang redaksi lain berbunyi “اﻟﺤﻲ
167
( ”ﺑﺒﻜﺎءtersebab tangisan orang yang
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 2, h. 199 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Diyât bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi Jarîrah Akhîh au Abîh, no. Hadis 4495, h. 168; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’i, Kitâb al-Qasâmah wa al-Qûd Bâb Hal Yu’khdzu Ahad bi Jarîrah Ghairih, no. hadis 4842, h. 776-777; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yajnî Ahad ‘alâ Ahad, no. Hadis 2671, h. 890; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi Jinâyah Ghairih, no. Hadis 2388, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet.ke-1, h. 53-54; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 499, Juz 4, h. 163, 345, uz 5, h. 81; 168 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1989), Juz 4, h. 272-273 169 Al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1966), Jilid 1, h. 197202 168
135
hidup). Imam al-Kandahlawi dalam “Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta Mâlik” dan al-Syaikh Badruddîn al-‘Aini (w.855 H.) dalam “’Umdah al-Qârî” memahami bahwa berdasarkan zahir Hadis (metode al-jam’u wa al-taufîq), maka yang dimaksud adalah tangisan secara umum, baik dari keluarganya ataupun bukan keluarganya. Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî (w. 264 H.), Ibrâhîm al-Harbî, sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî (w. 675 H.), mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,
170
karena
hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan,“Ini merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.”Dan yang perlu ditegaskan adalah bahwa menurut para ulama sebagaimana yang dikatakan Imam al-Nawawî, tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit adalah tangisan yang disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata deraian air mata.171 Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ alKandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia 170
Ibid, Juz 3, h. 505; Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qârî, (Beirût; Dâr al-Fikr, 1989.), Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad, Bazl al-Majhûd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz 3, h. 96 171 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h. 506
136
tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”172 Tentunya jika memang ia melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu. Sementara itu, Ibn Qutaibah memberikan pemahaman yang agak berbeda. Menurut beliau, jika yang dimaksud adalah mayit kafir, hal ini tidak ada masalah. Karena memang mayit kafir setiap saat mendapatkan siksaan. Sedangkan jika yang dimaksudkan adalah mayit muslim, maka perlu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dalam surat Al-An’am ayat 64 adalah hal-hal yang terkait dengan hukum dunia. Lebih lanjut beliau mengatakan, sesungguhnya siksa Allah jika sudah datang, akan menimpa secara merata kepada semua orang, yang jahat atau yang baik. Begitulah yang digambarkan Allah dalam surat al-Anfâl ayat 25 dan al-Rûm ayat 41. Tentang hal ini, Ummu Salamah pernah bertanya kepada: “Ya Rasulullah, apakah kami akan dihancurkan padahal di tengah-tengah kami banyak orang-orang salih?” Beliau menjawab: “Ya, jika keburukan telah menyebar.”173 Dengan demikian, menangisi mayit, baik
dia kerabat ataupun
bukan, jika dilakukan secara wajar, tidaklah dianggap sebagai perbuatan tercela dan terlarang. Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî (w.675 H.) dalam kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan judul “Bab Jawâz al-Bukâ ‘alâ alMayyît bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” (Bab yang menerangkan kebolehan menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan tangisan kuat). Adapun 172 173
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271 Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, h. 160-161
137
“niyâhah” (tangisan/ratapan yang disertai teriakan) dipandang sebagai keharaman. Demikian Imam al-Nawawî (w.675 H.).174 b) Menangis karena Terharu Kepergian Rasulullah saw. dan terputusnya wahyu membuat Ummu Aiman, Abû Bakar (w.13 H.), dan ‘Umar (w.23 H.) menangis. Hal ini sebagaimana yang termuat dalam Hadis berikut ini:
ﷲ ِ لا ِ ﻋ ْﻨ ُﻪ َﺑ ْﻌ َﺪ َوﻓَﺎ ِة َرﺳُﻮ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ل أَﺑُﻮ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َر َ ل ﻗَﺎ َ ﺲ ﻗَﺎ ٍ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ﷲ ِ لا ُ ن َرﺳُﻮ َ ﻦ َﻧﺰُو ُرهَﺎ َآﻤَﺎ آَﺎ َ ﻖ ِﺑﻨَﺎ إِﻟَﻰ ُأمﱢ َأ ْﻳ َﻤ ْ ﻄِﻠ َ ِﻟ ُﻌ َﻤ َﺮ ا ْﻧρ ﻋ ْﻨ َﺪ ِ ﻚ َﻣﺎ ِ ﻻ ﻟَﻬَﺎ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒﻜِﻴ َ ﺖ َﻓﻘَﺎ ْ َﻳﺰُو ُرهَﺎ َﻓَﻠﻤﱠﺎ ا ْﻧﺘَﻬَ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴﻬَﺎ َﺑ َﻜρ ن ﻣَﺎ ﻋَﻠ ُﻢ َأ ﱠ ْ ن َأ َ ﻻ َأآُﻮ َ ن ْ ﺖ ﻣَﺎ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ْ َﻓﻘَﺎَﻟρ ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟ َﺮﺳُﻮِﻟ ِﻪ ِ ا ِ ﻋ ْﻨ َﺪ ا ﻦ ْ ﻄ َﻊ ِﻣ َ ﻲ َﻗ ْﺪ ا ْﻧ َﻘ َﺣ ْ ن ا ْﻟ َﻮ ﻦ َأ ْﺑﻜِﻲ َأ ﱠ ْ َوَﻟ ِﻜρ ﷲ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟ َﺮﺳُﻮِﻟ ِﻪ ِ 175 ن َﻣ َﻌ َﻬﺎ ِ ﻼ َﻳ ْﺒ ِﻜﻴَﺎ َ ﺠ َﻌ َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ِء َﻓ َ ﺠ ْﺘ ُﻬﻤَﺎ َ ﺴﻤَﺎ ِء َﻓ َﻬ ﱠﻴ اﻟ ﱠ Dari Anas, dia berkata: Sepeninggal Rasulullah saw.Abû Bakar r.a. pernah berkata kepada ‘Umar: “Marilah kita berkunjung ke (rumah) Ummu Aiman sebagaimana Rasulullah saw. biasa mengunjunginya. Ketika kami sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis.” Maka keduanya berkata kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi Rasul-Nya.sa.” Lalu Ummu Aiman berkata: “Aku tidak menangis karena tidak mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya saw. Akan tetapi, aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka hal itu membuat Abu Bakar dan Umar tersentuh sehingga keduanya menangis bersamanya. (H.R. Muslim dan Ibn Mâjah) Tangisan yang ditunjukkan oleh Ummu Aiman r.a., Abû Bakar r.a. (w.13 H.), dan ‘Umar r.a. (w.23 H.), adalah tangisan yang teramat wajar karena mengenang teladan tercinta mereka, Rasulullah saw. dengan segala kemuliannya.
Maka,
jika
mereka
174
berperilaku
seperti
itu,
kitapun
al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn,(Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1357/1939), h. 363; Lihatlah Hadis-hadis tentang tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya pada pembahasan terdahulu! 175 Hadis ini sahih. Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a.Bâb min fadâ’il Ummi Aiman r.a., h. 379; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Dzikr Wafâtih wa Dafnih saw., no. Hadis 1635, h. 523-524
138
diperkenankan menangis mengenang kemuliaan, keshalihan dan perjuangan mereka memuliakan Islam. Kita menangis karena kita tertinggal jauh dari mereka dalam melakukan amal salih sebagai bekal di akhirat. Kita menangis, karena banyak noda dan dosa yang menghiasi hari-hari kita. Bahkan, jika tangisan kita memberikan implikasi positif dalam kehidupan, boleh jadi ia akan bernilai ibadah di sisi Allah. Tentang tangisan yang terjadi karena keterharuan juga pernah terjadi pada seorang sahabat, Ubay bin Ka’ab r.a. (w.21 H.) Beliau menangis saat namanya disebut oleh Allah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Hadis berikut ini:
ﷲ َ نا ﻲ ِإ ﱠ ﻷ َﺑ ﱟ ُ ρﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ل َ ب ﻗَﺎ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ﻦ َآ َﻔﺮُوا ِﻣ َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ ْ ﻚ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ن َأ ْﻗ َﺮَأ ْ َأ َﻣ َﺮﻧِﻲ َأ 176 ل َﻧ َﻌ ْﻢ َﻓ َﺒﻜَﻰ َ ﺳﻤﱠﺎﻧِﻲ ﻗَﺎ َ َو Dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada Ubay bin Ka’ab: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk membacakan kepadamu ‘lam yakun al-ladzîna kafarû’ (Surat al-Bayyinah).” Ubay bertanya: “Apakah Allah menyebut namaku kepadamu?” Beliau menjawab: “Ya (Dia telah menyebut namamu kepadaku).” Lantas Anas berkata: “Maka Ubaypun menangis.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Ahmad) Tangisan yang dilakukan Ubay bin Ka’ab (w.21 H.) di hadapan Rasulullah saw. karena terharu dengan berita yang disampaikan oleh beliau. Sikap beliau sendiri yang tidak mencegahnya, menunjukkan bahwa tangisan seperti ini dibolehkan. Tangisan ini terjadi karena terharu dan bahagia namanya disebut oleh Zat Yang Mahamulia kepada manusia termulia, yaitu
176
al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb al-Manâqib Bâb Manâqib Ubay bin ka’ab r.a., h.228, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h. 90; ; Muslim, Sahîh Muslim, Juz I, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâqh fîh, 320, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a. Bâb min fadâ’il Ubay bin Ka’ab wa Jamâ’ah min al-Ansâr r.a., h. 383; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib bâb Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa Ubay ibn ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh r.a., no. Hadis 3880, h. 330; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 218
139
Rasulullah saw. 2. Menangis yang Dilarang Jika menangisi mayit secara wajar sebagai wujud kasih sayang kepada sesama dibolehkan, maka jika hal itu dilakukan secara berlebih-lebihan, ia menjadi tercela dan karenanya dilarang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Hadis mengenai menangisi mayit setidaknya didapatkan 71 jalur periwayatan dengan redaksi yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas menandaskan bahwa tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24 riwayat di antaranya menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.(w.57 H.) terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan Abdullâh bin ‘Umar r.a. (w.73 H.). Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a. menggugurkan keberadaan Hadis-hadis tersebut? al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.751 H.) dalam Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar r.a. (w.23 H.) dan Ibn ‘Umar r.a.(w.73 H.) telah disepakati oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat inipun dicantumkan dalam “al-Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun menjadi saksi terhadap riwayat ‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat dalam periwayatan ini adalah Hafsah, Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah. Demikian Ibn al-Qayyim.177 Berikut ini beberapa pemahaman yang disampaikan para ulama berkaitan dengan keragaman redaksi hadis tersebut: 177
Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Juz 8, h. 400-401
140
Pertama: Imam Badruddîn al-‘Aini (w.855 H.) menyatakan bahwa berdasarkan riwayat Imam al-Baihaqî (w.548 H. dalam “Sunan”-nya, Imam al-Syâfi’î (w.204 H.) cenderung kepada pendapat Siti ‘Aisyah (w.57 H.. Pandangan istri Nabi ini dinilai lebih terpelihara berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Di antara ayat-ayat yang mendukung adalah: QS. Ali ‘Imrân/3:164; al-Isrâ/17:15; Fâtir/35:18; al-Zumar/39:38-39; Tâhâ/20:15, dan al-Zalzalah:78. Sedangkan Hadis yang mendukung adalah Hadis yang telah dicantumkan di atas. Imam al-Syâfi’î berpendapat bahwa dengan Hadis tersebut Rasulullah, sebagaimana juga Allah, ingin menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan setiap orang akan menjadi tanggung jawabnya sendiri, bukan tanggung jawab orang lain.178 Akan tetapi, menurut al-Qurtubî (w.567 H.) bahwa pengingkaran ‘Aisyah terhadap Hadis dimaksud dan menghukumkan bahwa rawi (‘Umar r.a. dan Ibn ‘Umar r.a.) telah melakukan kesalahan, atau lupa, atau diduga hanya mendengar sebagian redaksi saja merupakan dugaan yang jauh. Bahkan oleh Ibn Qutaibah (w.236 H.) dinilai hanya sebagai dugaan (zannî) dan penakwilan Siti ‘Aisyah saja. Sebab para sahabat yang meriwayatkan
makna Hadis
tersebut banyak dan mereka tidak meragukannya. Kalaupun menurut beberapa riwayat Ibn Abî Mulaikah bahwa ketika Ibn ‘Umar r.a. mendengar “sanggahan” ‘Aisyah berdiam diri saja, menurut al-Qurtubî (w.567 H.) hal ini bukan karena beliau ragu. Boleh jadi menurut beliau, Hadis riwayat beliau memungkinkan untuk menerima takwil, atau mungkin kondisi yang tidak
178
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 270; Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî,
Juz 8, h. 79
141
memungkinkan beliau berbicara.179 Kedua: Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî (w.264 H.), Ibrâhîm al-Harbî,
sebagian
ulama
Syafi’iyah
termasuk
Imam
al-Nawawî,
mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,
180
karena
hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan, “Ini merupakan rahmat yang dianugerahkan
Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah
hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.” Dalam tradisi jahiliyah telah dikenal wasiat seseorang agar diratapi setelah kematiannya. Hal ini tergambar dalam perkataan syair Tarfah bin al‘Abd:
ﺐ ﻳَﺎ ُامﱠ ِ ﺠ ْﻴ َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َ ﻲ ْ ﺷ ﱢﻘ ُ َو
@
ﻲ ِﺑﻤَﺎ َأﻧَﺎ َأ ْهُﻠ ُﻪ ْ ﺖ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻌ ْﻴ ِﻨ ِإذَا ِﻣ ﱡ 181 َﻣ ْﻌ َﺒ ِﺪ
Jika aku meninggal kelak, maka ratapilah diriku dengan ratapan yang layak untukku, dan robek-robeklah saku baju, wahai Ummu Ma’bad. Imam al-Nawawî (w.675 H.) menyampaikan pendapat sekelompok ulama bahwa Hadis ini berlaku bagi orang yang berwasiat untuk ditangisi dan diratapi atau juga orang yang tidak berwasiat agar hal itu ditinggalkan. Siapa saja yang berwasiat untuk ditangisi dan diratapi atau tidak berwasiat agar hal itu ditinggalkan, maka ia berhak mendapat azab. Mendukung pendapat di atas, Ibn al-Murâbit menegaskan: 179
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî,,Juz 3, h. 154; Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf alHadîts, (Beirût: Mu’assasah al-Kutub as-Tsaqâfiyyah, 1988), Cet., h. 162 180 Ibid, Juz 3, h. 505; Badruddîn Al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad, Bazl al-Majhûd, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.), Juz 3, h. 96 181 Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79
142
Jika seseorang telah mengetahui larangan meratapi (mayit) dan dia tahu bahwa keluarganya mempunyai kebiasaan tersebut dan ia tidak menginformasikan keharaman perbuatan itu serta tidak melarangnya, maka jika ia mendapat siksa, maka itu berdasarkan perbuatannya sendiri, tidak semata-mata perbuatan orang lain. 182 Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ alKandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”183 Tentunya jika memang ia melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu. Ketiga: Apakah yang dimaksud tangisan dalam Hadis ini secara mutlak atau secara tertentu? Imam al-Nawawî (w.675 H.) menjelaskan bahwa ulama sepakat yang dimaksud tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit adalah tangisan yang disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata deraian air mata.184 Inilah sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela. Oleh karena itu, dengan memadukan
berbagai riwayat antara
yang
menggunakan lafal “bi bukâ ahlih” dan yang menggunakan lafal “bi ba’d bukâ ahlih” (riwayat Ibn ‘Abbâs r.a.), serta yang menggunakan lafal yang berakar kata dari “niyâhah”, dipahami bahwa tidak semua tangisan menyebabkan siksaan bagi mayit. Hanya tangisan yang disertai dengan teriakan keraslah yang terlarang. Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî dalam kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan judul “Bâb Jawâz al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” (Bab yang menerangkan kebolehan menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan
182
al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 154-155 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271 184 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz 3, h. 506 183
143
tangisan kuat). Adapun “niyâhah” (tangisan/ratapan yang disertai teriakan) dipandang sebagai keharaman. Demikian Imam al-Nawawî.185 Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî (w. 1057 H.) menjelaskan bahwa yang dimaksud “niyâhah” adalah mengangkat suara dengan keras sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit (padahal yang mereka anggap baik adalah buruk dalam pandangan Islam), meski tidak dengan ungkapan bersajak. Termasuk yang diharamkan juga adalah mengangkat suara dengan menangis sampai melampaui batas walau tanpa ratapan dan teriakan.186 Itulah pula sebabnya, Imam al-Bukhârî memberikan judul dalam kitabnya dengan “Bab Qaul al-Nabî Yu’adzdzab al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘alaih Idzâ kâna al-Nauh min Sunnatih” (Bab yang menjelaskan ucapan Nabi “mayit disiksa tersebab sebagian tangisan keluarganya kepadanya” jika ratapan merupakan kebiasaannya). Menurut al-‘Asqalânî (w.852 H.), hal ini merupakan pembatasan Imam al-Bukhârî (w.256 H.) sebagaimana riwayat Ibn ‘Abbâs r.a. (w.68 H.) dengan lafal “ba’d” (muqayyad) terhadap riwayat Ibn ‘Umar r.a. (w.73 H.) yang menggunakan redaksi global. Ini artinya tidak setiap tangisan yang terlarang, tetapi tangisan tertentu sebagaimana yang dijelaskan di atas.187 Perhatikanlah beberapa Hadis yang mencela sikap-sikap jahiliyah tersebut:
ب َ ﺿ َﺮ َ ﻦ ْ ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ َﻣ َ َﻟ ْﻴρ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﷲ َر ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ 188 ﻋﻮَى ا ْﻟﺠَﺎ ِهِﻠ ﱠﻴ ِﺔ ْ َب وَدَﻋَﺎ ﺑِﺪ َ ﺠﻴُﻮ ُ ﻖ ا ْﻟ ﺷﱠ َ ﺨﺪُو َد َو ُ ا ْﻟ 185 186
405
al-Nawawî, Riyâd al-Salihîn, h. 363 Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth.), jilid 3, h.
187
al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 152 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb laisa minnâ man Daraba alKhudûd, h. 83; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Tahrîm Darb al-Khudûd wa Syaqq al-Juyûb wa al-Du’â bi Da’wâ al-Jâhiliyyah, h. 56 188
144
Dari ‘Abdullâh r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Bukanlah termasuk dari kebiasaan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek pakaian, dan berteriak dengan cara jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih )
س ُهﻤَﺎ ِﺑ ِﻬ ْﻢ ِ ن ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِ ا ْﺛ َﻨﺘَﺎρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْﻋ َ ﺖ ِ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َﻤ ﱢﻴ َ ﺐ وَاﻟ ﱢﻨﻴَﺎﺣَ ُﺔ ِ ﺴ َ ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﻨ ُ ُآ ْﻔ ٌﺮ اﻟﻄﱠ ْﻌ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Ada dua hal yang dapat menyebabkan manusia menjadi kufur, yaitu mencela keturunan dan meratapi mayit.” (H.R. Muslim)189 3. Tangisan yang Dianjurkan a). Menangis karena Takut kepada Allah Dalam berbagai Hadis, Rasulullah saw. menyatakan kemuliaan seorang yang mencucurkan air mata karena takut (khasy-yah) kepada Allah sehingga tidak akan disentuh oleh api neraka kelak di hari kiamat. Hadis-hadis tersebut adalah:
ﻞ َﺑﻜَﻰ ٌﺟ ُ َﺞ اﻟﻨﱠﺎ َر ر ُ ﻻ َﻳِﻠ َ ρﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْﻋ َ ﻏﺒَﺎ ٌر ُ ﺠ َﺘ ِﻤ ُﻊ ْ ﻻ َﻳ َ ع َو ِ ﻀ ْﺮ ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ ُ َﷲ ﺣَﺘﱠﻰ َﻳﻌُﻮ َد اﻟﱠﻠﺒ ِ ﺸ َﻴ ِﺔ ا ْﺧ َ ﻦ ْ ِﻣ 190 ﺟ َﻬ ﱠﻨ َﻢ َ ن ُ ﷲ َو ُدﺧَﺎ ِ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا Dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang yang menangis karena takut kepada Allah tidak akan masuk ke dalam neraka sehingga air susu kembali ke teteknya. Tidak juga akan bersatu debu yang beterbangan di jalan Allah dengan asap neraka jahanam.” (H.R. al-Tirmidzî dan al-Nasâ’î)
ﻻ َ ِل ﻋَ ْﻴﻨَﺎن ُ َﻳﻘُﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ س ﻓِﻲ ُ ﺤ ُﺮ ْ ﺖ َﺗ ْ ﻦ ﺑَﺎ َﺗ ٌ ﻋ ْﻴ َ ﷲ َو ِ ﺸ َﻴ ِﺔ ا ْﺧ َ ﻦ ْ ﺖ ِﻣ ْ ﻦ َﺑ َﻜ ٌ ﺴ ُﻬﻤَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ُر ﻋَ ْﻴ ﺗَﻤَ ﱡ 191 ﷲ ِ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا 189
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb itlâq Ism al-Kufr ‘alâ al-Ta’n fî alNasab wa al-Niyâhah ‘alâ al-Mayyit, h. 46 190 Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini hasan sahih. Lihat : al-Tirmidzî, Sunan alTirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a fi fadl al-Ghubârfî Sabîil al-Lâh, no. Hadis 1683, h. 93, dan Juz 3 Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-Bukâ min Khasy-yah al-Lâh, no. Hadis 2413, h. 380; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Jihâd Bâb Fadl man ‘Amila fî Sabîl al-Lâh ‘alâ Qadamih, no. Hadis 3105, h. 505 191 Hadis ini hasan garib. Lihat; Ibid, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-Hars fî
145
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua mata (yang pemiliknya) tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang selalu terjaga di jalan Allah.” (H.R. al-Tirmidzî)
ﻦ ْ ﷲ ِﻣ ِ ﺐ إِﻟَﻰ ا ﺣ ﱠ َ ﻲ ٌء َأ ْ َﺲ ﺷ َ ل َﻟ ْﻴ َ ﻗَﺎρ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ ْﻋ َ ﻄ َﺮ ُة َد ٍم ْ ﷲ َو َﻗ ِ ﺸ َﻴ ِﺔ ا ْﺧ َ ع ﻓِﻲ ٍ ﻦ ُدﻣُﻮ ْ ﻄ َﺮ ٌة ِﻣ ْ ﻦ َﻗ ِ ﻦ َوَأ َﺛ َﺮ ْﻳ ِ ﻄ َﺮ َﺗ ْﻴ ْ َﻗ ﷲ َوَأ َﺛ ٌﺮ ﻓِﻲ ِ ن َﻓَﺄ َﺛ ٌﺮ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا ِ ﻷ َﺛﺮَا َ ﷲ َوَأﻣﱠﺎ ا ِ ق ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا ُ ُﺗ ْﻬﺮَا 192 ﷲ ِ ﺾا ِ ﻦ َﻓﺮَا ِﺋ ْ ﻀ ٍﺔ ِﻣ َ َﻓﺮِﻳ Dari Abî Umâmah dari Nabi saw., beliau bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah selain dua tetesan dan dua atsar (bekas/pengaruh), yaitu: tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua atsar itu adalah atsar di jalan Allah dan atsar dalam melaksanakan kewajiban dari Allah.”(H.R. al-Tirmidzî)
ﻋ ْﺒ ٍﺪ َ ﻦ ْ ﻣَﺎ ِﻣρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﺴﻌُﻮ ٍد ﻗَﺎ ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ب ِ س اﻟ ﱡﺬﺑَﺎ ِ ﻞ َر ْأ َ ن ِﻣ ْﺜ َ ن آَﺎ ْ ع َوِإ ٌ ﻋ ْﻴ َﻨ ْﻴ ِﻪ ُدﻣُﻮ َ ﻦ ْ ج ِﻣ ُ ﺨ ُﺮ ْ ﻦ َﻳ ٍ ُﻣ ْﺆ ِﻣ ﷲ ُ ﺣ ﱠﺮ َﻣ ُﻪ ا َ ﻻ ﺟ ِﻬ ِﻪ ِإ ﱠ ْ ﺣﺮﱢ َو ُ ﻦ ْ ﺐ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ ِﻣ ُ ﷲ ُﺛﻢﱠ ُﺗﺼِﻴ ِ ﺸ َﻴ ِﺔ ا ْﺧ َ ﻦ ْ ِﻣ 193 ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ ِر Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap hamba beriman yang keluar dari kedua kelopak matanya tetesan air mata, meski sebanyak kepala lalat, lalu menimpa sesuatu karena panas wajahnya, niscaya Allah akan haramkan dirinya (dijilat) api neraka. (H.R. Ibn Mâjah) Keempat Hadis di atas menegaskan bahwa orang yang menangis karena takut kepada Allah, merasakan keagungan dan kebesaran-Nya, dan khawatir akan ditimpa murka dan azab-Nya yang teramat pedih, akan dijauhkan dari api neraka. Sabda-sabda Rasul di atas memang berbentuk berita, namun pada hakikatnya ia memerintahkan dan memberikan motivasi kepada umatnya untuk senantiasa menangis karena takut kepada Sabîl al-Lâh no. hadis 1690, h.96. Dengan redaksi yang agak berbeda, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Dârimî dan Imam Ahmad bin Hanbal.; Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika ‘Abdullâh bin ‘Amr sujud sambil menangis, lalu beliau berkata: “Apakah anda heran dengan tangisan saya?” Selanjutnya beliau memandang bulan dan berkata: “Sesungguhnya ini (bulan) sungguh menangis karena takut kepada Allah.” Lihat ‘Abdullâh bin al-Mubârak, Al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Fadl Dzikr al-Lâh ‘Azza wa Jalla, no. Hadis 1145, h. 589 192 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb 25, no. hadis 1720, h.109; Kualitas Hadis ini hasan garib 193 Hadis ini daif. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa albukâ, no. Hadis 4197, h. 1404
146
Allah sehingga diselamatkan dari pedihnya api neraka. Bukankah selamat dan aman dari api neraka merupakan harapan setiap orang sebagaimana yang tercantum dalam doa sapu jagad yang teramat masyhur. Orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya akan berupaya sekuat tenaga untuk menjauhkan diri dari berbagai maksiat, dan sebaliknya akan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Kalaupun suatu ketika ia melakukan suatu dosa, ia akan segera ingat kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Menangis karena takut kepada Allah akan selalu dibarengi dengan perasan hina dan rendah diri di hadapan-Nya, penyesalan, kelembutan, kekhusyuan, dan kesyahduan di hadapan-Nya. Ia akan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya demi kemulian Islam dan kaum muslimin (izz al-Islâm wa al-muslimîn) dan demi keselamatannya dari murka dan siksa Allah. Imam Abû al-Faraj Ibn al-Jauzî (w. 597 H.) pernah berkata: “Takut adalah bara yang menghanguskan gejolak syahwat.”194 Keutamaan rasa takut itu tergantung bagaimana rasa takut itu dapat menghanguskan nafsu syahwat, membendung maksiat, dan menumbuhkan rasa taat. Rasa takut kepada Allah juga dapat menumbuhkan sikap iffah (menjaga diri), wara’, takwa, mujahadah, serta amalan-amalan utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Rasa takut merupakan manifestasi dari ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin bertambah pula rasa takutnya kepada Allah (QS.Fâtir/35:28). Adapun sebab-sebab takut itu amatlah banyak. Yang paling pokok 194
Abdurrahman As-Sinjari, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2005), Cet. Ke-14, h. 11;
147
adalah bahwa takut itu terpuji jika dikaitkan dengan kekurangan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta banyaknya maksiat yang dilakukan. Oleh karena itu, orang yang hatinya benar-benar takut kepada Allah, ia mesti akan berusaha sekuat tenaga mencegah anggota tubuhnya dari perbuatan dosa dan terus mengikatnya dengan perilaku taat. Jiwa dan raganya diusahakan senantiasa sibuk dengan apa yang ia takutkan, seakan tiada kesempatan lagi untuk yang lain. Itulah sebabnya, dalam kondisi seperti ini, orang tersebut akan meneteskan air mata yang akan diiringi dengan perilaku taat dan patuh kepada tuntunan agama.195 ‘Aisyah r.a. (w.57 H.) pernah berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw. tertawa hingga nampak langit-langit mulutnya. Akan tetapi, beliau hanya tersenyum. Dan apabila beliau melihat awan ataupun angina, beliau nampak murung.” Kemudian Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., “Orang-orang jika melihat awan mereka bergembira, berharap akan turun hujan. Namun mengapa jika engkau melihatnya seolah-olah ketakutan
tampak di wajahmu?” Maka Rasulullah saw.
bersabda: “Wahai Aisyah, aku khawatir jika hal itu merupakan azab. Sebab, telah diazab suatu kaum dengan sapuan angina, dan tatkala melihat datngnya azab itu mereka berkata sebagaimana yang disebut dalam AlQuran, ‘Inilah awan yang menurunkan hujan.’ (QS.al-Ahqâf/46:24).”196 Wuhaib bin al-Ward berkata: “Tatkala Allah menghardik Nûh a.s. tentang
diri
anaknya,
dengan
firman-Nya,
’Sesungguhnya
Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.’(QS.Hûd/11:46), maka beliau menangis 195 196
Ahmad Suyuti, Percik-percik Kesucian, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h. 147 Ibid, h. 14
148
selama tiga ratus tahun hingga di bawah kedua mata beliau ada semacam anak sungai akibat menangis.”197 Sahabat Abû ‘Ubaidah al-Jarrâh r.a. berkata: “Andaikan saja aku ini seekor kambing gibas yang kemudian disemblih keluargaku, lalu mereka memakan dagingku dan menghirup kuahnya.”198 b) Menangis Saat Mendengar atau Membaca al-Qur’an al-Qur’an adalah bacaan yang luar biasa menakjubkan. Rangkaian ayat-ayatnya yang merupakan firman Allah sedemikian memiliki daya tarik kepada setiap orang yang mau mentadabburinya. Mendengarnya dapat menggetarkan hati dan menambah keimanan. Itulah sebabnya, Nabi saw. menangis menitikkan air mata saat mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibrahim bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada ‘Abdullâh bin Mas’ûd: “Bacakanlah (al-Qur’an) untukku!” Ibnu Mas’ûd berkata: “Apakah saya akan membacakan (alQur’an) kepadamu, padahal kepadamulah (al-Qur’an) diturunkan?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya saya senang mendengar al-Qur’an dari orang lain.” Lalu Ibn Mas’ûdpun membacakan untuknya dari awal surat AnNisa. Ketika sampai pada ayat
ﻻ ِء َ ﻋَﻠﻰ ه ُﺆ َ ﻚ َ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﺑ ِ ﺸ ِﻬ ْﻴ ٍﺪ َو َ ﻞ ُا ﱠﻣ ٍﺔ ِﺑ ﻦ ُآ ﱢ ْ ﺟ ْﺌ َﻨﺎ ِﻣ ِ ﻒ ِا َذا َ َﻓ َﻜ ْﻴ ِﺷ َ
ﻬ ْﻴ ًﺪا Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (Q.S.al-Nisâ/4:41)
197 198
Ibn Qudâmah, Minhâj al-Qâsidîn, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), Cet. I, h. 399 Ibid, h. 400
149
Maka beliaupun menangis.199 Menurut Imam Ibn Katsîr (w. 774 H.), melalui ayat ini Allah menginformasikan tentang kedahsyatan suasana hari kiamat, yaitu ketika seluruh nabi dan rasul didatangkan untuk memberikan kesaksian kepada umatnya.
200
Suasana yang menyeramkan dan mencekam itulah yang
membuat tetesan air mata Rasulullah saw. mengalir. Dari kalangan sahabat, Abû Bakar al-Siddîq r.a. (w.13 H.)yang juga sekaligus mertua Rasulullah saw. dikenal sebagai orang yang amat mudah menitikkan air mata saat membaca al-Qur’an, baik di dalam salat ataupun di luar salat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadis berikut ini:
ﺷ َﺘ ﱠﺪ ْ ل َﻟﻤﱠﺎ ا َ ﻦ أَﺑِﻴﻪِ ﻗَﺎ ْﻋ َ ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ ْ ﷲ َأﻧﱠ ُﻪ َأ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ﺣ ْﻤ َﺰ َة ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ل ُﻣﺮُوا َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َ ﻼ ِة َﻓﻘَﺎ َﺼ ﻞ َﻟ ُﻪ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ َ ﺟ ُﻌ ُﻪ ﻗِﻴ َ َوρ ﷲ ِ لا ِ ِﺑ َﺮﺳُﻮ ﻖ إِذَا َﻗ َﺮَأ ٌ ﻞ رَﻗِﻴ ٌﺟ ُ َن َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ر ﺸ ُﺔ ِإ ﱠ َ ﺖ ﻋَﺎ ِﺋ ْ ﻞ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎسِ ﻗَﺎَﻟ ﺼﱢ َ َﻓ ْﻠ ُﻴ ﺼﻠﱢﻲ َ ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ َ ﺼﻠﱢﻲ َﻓﻌَﺎ َو َد ْﺗ ُﻪ ﻗَﺎ َ ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ َ ﻏَﻠ َﺒ ُﻪ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ُء ﻗَﺎ َ 201 ﻒ َ ﺳ ُ ﺐ ﻳُﻮ ُ ﺣ ِ ﺻﻮَا َ ِإﻧﱠ ُﻜﻦﱠ Dari Hamzah bin ‘Abdullâh, sesungguhnya ia mengkhabarkan dari ayahnya, ia berkata: Ketika Nabi menderita sakit (yang menghantarkannya kepada kematian), dikatakan kepada beliau (untuk menjadi imam) dalam salat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah Abû Bakar agar salat (dan menjadi imam) bersama yang lain!” ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya Abû Bakar adalah seorang yang lembut (mudah sedih). Jika ia membaca al-Qur’an, niscaya selalu menangis.” Beliau bersabda kembali: “Perintahkanlah ia (Abû Bakar) untuk (memimpin) salat!” ‘Aisyahpun mengulangi perkataannya. Nabi bersabda lagi: “Perintahkanlah ia (Abu Bakar) untuk (memimpin) salat. Sesungguhnya kalian (para wanita) bagaikan orang-orang yang hidup pada masa Nabi Yûsuf.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah) Itulah Abû Bakar al-Siddîq r.a. (w.13 H.), sahabat Rasulullah yang 199
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, kitâb al-Masâjid wa Mawâd’i al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâq, h. 320 200 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 1, h. 498 201 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Ahl al-‘Ilm wa al-Fadl Haqq bi al-Imâmah, h. 165 & 167; Bâb Idzâ Sallâ Tsumma Amma Qaumah, h.174; Bâb Idzâ Bakâ alImâm fî al-Salâh, h. 176; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa alSunnah fîh Bâb Mâ Jâ’a fî Salah Rasul al-Lâh saw. Fî Maradih, no. Hadis 1232, h. 389
150
mudah bersedih, berhati lembut, banyak mencucurkan air mata, yang seandainya ditimbang dengan umat ini, niscaya dia akan menyalahkan semuanya. Dia merupakan orang yang paling mulia sepeninggal Nabi Muhammad saw. dan juga para nabi. Dia orang yang banyak memiliki kelebihan dan keutamaan yang sangat populer. Tentang dirinya, Allah pernah berfirman:
ﻲ َ ﻦ َآ َﻔ ُﺮ ْوا َﺛﺎ ِﻧ َ ﺟ ُﻪ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ َ ﺧ َﺮ ْ ﷲ ِا ْذ َا ُ ﺼ َﺮ ُﻩ ا َ ﺼ ُﺮ ْو ُﻩ َﻓ َﻘ ْﺪ َﻧ ُ ﻻ َﺗ ْﻨ ِا ﱠ ﷲ َﻣ َﻌ َﻨﺎ َ نا ن ِا ﱠ ْ ﺤ َﺰ ْ ﻻ َﺗ َ ﺣ ِﺒ ِﻪ ِ ﺼﺎ َ ل ِﻟ ُ ﻦ ِا ْذ ُه َﻤﺎ ِﻓﻲ ا ْﻟ َﻐﺎ ِر ِا ْذ َﻳ ُﻘ ْﻮ ِ ا ْﺛ َﻨ ْﻴ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َوَا ﱠﻳ َﺪ ُﻩ ِﺑ َ ﺳ ِﻜ ْﻴ َﻨ َﺘ ُﻪ َ ﷲ ُ لا َ َﻓَﺎ ْﻧ َﺰ ﻞ َآِﻠ َﻤ َﺔ َ ﺟ َﻌ َ ﺠ ُﻨ ْﻮ ٍد ﻟ ﱠﻢ ْ َﺗ َﺮ ْو َهﺎ َو ﺣ ِﻜ ْﻴ ٌﻢ َ ﻋ ِﺰ ْﻳ ٌﺰ َ ُ ﻲ ا ْﻟ ُﻌ ْﻠ َﻴﺎ َواﷲ َ ﷲ ِه ِ ﺴ ْﻔَﻠﻰ َو َآِﻠ َﻤ ُﺔ ا ﻦ َآ َﻔ ُﺮوا اﻟ ﱡ َ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Taubah/9:40) ‘Umar bin Khattâb r.a. (w. 23 H.) pernah mendengar suatu ayat yang dibaca, lalu dia jatuh sakit hingga beberapa hari. Lalu pada suatu hari ia mengambil segenggam tanah, seraya berkata: “Andaikan saja aku menjadi tanah seperti ini. Andaikan saja aku bukan sesuatu yang diingat. Andaikan saja ibuku tidak pernah melahirkanku.” Sementara di wajahnya saat itu terlihat dua garis hitam karena banyak meangis.202 Suatu ketika Fudail bin Iyâd (w. 187 H.) membaca al-Qur’an
202
Ibn Qudâmah, Minhâj al-Qâsidîn, h. 399
151
dengan wajah bersedih, penuh rasa harap, pelan dan lamban seolah-olah ia berbicara dengan seseorang. Jika beliau membaca ayat yang menceritakan keadaan surga, beliau mengulanginya. Begitulah cara beliau berinteraksi dengan kalam Ilahi, penuh kesungguhan untuk dapat menyerap mutiaramutiara tak ternilai harganya yang dapat menggetarkan kalbu dan meneteskan air mata. c). Menangis saat Berzikir kepada Allah dalam Kesendirian Rasulullah saw. menyatakan bahwa seseorang yang mengingat (berzikir) dalam kesendirian sehingga mencucurkan air mata akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat.
ﻇﱢﻠ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم ِ ﷲ ﻓِﻲ ُ ﻈﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ا ِ ﺳ ْﺒ َﻌ ٌﺔ ُﻳ َ ل َ ﻗَﺎρ ﻲ ﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ْﻋ َ ﻞ ٌﺟ ُ ﻋﺒَﺎ َد ِة َرﱢﺑ ِﻪ َو َر ِ ﺸَﺄ ﻓِﻲ َ ب َﻧ ل َوﺷَﺎ ﱞ ُ ﻹﻣَﺎ ُم ا ْﻟﻌَﺎ ِد ِ ﻇﻠﱡ ُﻪ ا ِ ﻻ ﻞ ِإ ﱠ ﻇﱠ ِ ﻻ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺟﺘَﻤَﻌَﺎ ْﷲا ِ ن َﺗﺤَﺎﺑﱠﺎ ﻓِﻲ ا ِﻼ َﺟ ُ ﺟ ِﺪ َو َر ِ ﻖ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﺴَﺎ ٌ َﻗ ْﻠُﺒ ُﻪ ُﻣﻌَﱠﻠ ل َ ل َﻓﻘَﺎ ٍ ﺟﻤَﺎ َ ﺐ َو ٍ ﺼ ِ ت َﻣ ْﻨ ُ ﻃَﻠ َﺒ ْﺘ ُﻪ ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ذَا َ ﻞ ٌﺟ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َر َ َو َﺗ َﻔ ﱠﺮﻗَﺎ َ ﺣﺘﱠﻰ َ ﺧﻔَﻰ ْ َق أ َ ﺼ ﱠﺪ َ فا ُ ِإﻧﱢﻲ َأﺧَﺎ ﺷﻤَﺎُﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ِ ﻻ َﺗ ْﻌَﻠ َﻢ َ ﻞ َﺗ ٌﺟ ُ ﷲ َو َر 203 ﺖ ﻋَ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ ْ ﺿ َ ﷲ ﺧَﺎِﻟﻴًﺎ َﻓﻔَﺎ َ ﻞ َذ َآ َﺮ ا ٌﺟ ُ ﻖ َﻳﻤِﻴُﻨ ُﻪ َو َر ُ ُﺗ ْﻨ ِﻔ Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang yang hatinya selalau dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, (5) seseorang yang dibujuk oleh seorang (wanita) yang berpangkat dan cantik (untuk melakukan zina), maka dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang 203
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Man Jalasa fî al-Masjid Yantaziru al-Salâh wa Fadl al-Masâjid, h. 160-161, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Min Khasy-yah alLâh, h. 185; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Zakâh Bâb Fadl Ikhfâ al-Sadaqah, h. 412; alTirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fi al-Lâh, no. Hadis 2499, h. 24-25; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Adab al-Qudâh Bâb al-Imâm al-‘Âdil, no. Hadis 5390, h. 851; Mâlik, al-Muwatta, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993), Cet.I, h. 726; Ahmad, alMusnad, Juz 1, h. 374; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd waal-Raqâ’iq, Bâb fadl Dzikr al-lâh ‘Azza wa Jalla, h. 550-551
152
diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang mengingat (berdzikir kepada) Allah dalam kesedirian sehingga meneteskan air mata.(H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Mâlik, dan Ahmad) Seorang muslim yang menyendiri dengan Rabb-nya dengan mengakui segala kemaksiatan, kejahatan, dan berbagai dosa yang telah dilakukannya, mengingat dan menyebut Pencipta dan Penguasa dirinya seraya bersimpuh memohon ampunan-Nya, bertaubat di hadapan-Nya, dan benar-benar sangat menyesal. Siapa saja orang yang berperilaku seperti tersebut, maka tetesan air matanya akan mengalir karena keikhlasan dirinya bersimpuh di hadapan Sang Khalik. Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. menganjurkan agar seseorang selalu menangisi segala dosa dan kesalahannya agar dapat meraih kesuksesan.
ﻚ ْ ل َأ ْﻣِﻠ َ ﷲ ﻣَﺎ اﻟ ﱠﻨﺠَﺎةُ؟ ﻗَﺎ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ ﻳَﺎ َر ُ ل ُﻗ ْﻠ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﻗَﺎ ِ ﻋ ْﻘ َﺒ َﺔ ْﺑ ُ ﻦ ْﻋ َ 204 ﻚ َ ﻄ ْﻴ َﺌ ِﺘ ِﺧ َ ﻚ ﻋَﻠَﻰ ِ ﻚ َو َأ ْﺑ َ ﻚ َﺑ ْﻴ ُﺘ َ ﺴ ْﻌ َ ﻚ َو ْﻟ َﻴ َ ﻚ ِﻟﺴَﺎ َﻧ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulullah, Bagaimana caranya untuk mendapatkan keberhasilan itu?” Beliau menjawab: “Tahanlah lisanmu (agar hanya kebaikan yang keluar darinya), hendaknya rumahmu memberikan keluasan kepadamu (nyman tinggal di rumah), dan menangislah atas segala kesalahanmu!”(H.R. al-Tirmidzî) Dengan demikian, zikir dalam kesendirian dapat melembutkan hati dan mencairkan kebekuan. Zikirlah yang mencucurkan air mata dan melembutkan kejumudan mata. Zikir jugalah yang hanya mampu memberikan ketenangan dan kedamaian hati seorang muslim.
ﻦ ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ ْ ﷲ َﺗ ِ ﻻ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا َ ﷲ َأ ِ ﻦ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ ْ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َو َﺗ َ اﱠﻟﺬِﻳ 204
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Hifz al-Lisân, no. Hadis 2517, h. 31; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Huzn wa al-Bukâ, h.132; Kualitas Hadis ini hasan.
153
ب ُ ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. al-Ra’d/13:28) d). Menangis saat Menegakkan Salat Salat adalah kondisi terdekat antara seorang hamba dengan Sang Khalik. Dalam shalat, seorang hamba memiliki kesempatan untuk berdialog, bermunajat, serta menyampaikan segala keluhannya kepada Allah swt. itulah sebabnya, salat bagi Rasulullah, dan juga selayaknya bagi umat Islam, menjadi sesuatu yang sangat disenangi. Hal ini dapat dilihat dari ketekunan dan kekhusyuan beliau dalam menegakkan salat. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
ρ ﷲ ِ ل ا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ل َرَأ ْﻳ َ ﻦ أَﺑِﻴﻪِ ﻗَﺎ ْﻋ َ ف ٍ ﻄ ﱢﺮ َ ﻦ ُﻣ ْﻋ َ ﺖ ٍ ﻦ ﺛَﺎ ِﺑ ْﻋ َ 205 ρ ﻦ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ِء ْ ﺻ ْﺪ ِر ِﻩ أَزِﻳ ٌﺰ َآَﺄزِﻳ ِﺰ اﻟ ﱠﺮﺣَﻰ ِﻣ َ ﺼﻠﱢﻲ َوﻓِﻲ َ ُﻳ Dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw. sedang salat dan di dalam rongga dadanya terdengar suara seperti suara orang yang berjalan kaki karena tangisnya. (H.R. Abû Dâwûd) Dalam riwayat lain disebutkan:
س َﻳ ْﻮ َم َﺑ ْﺪ ٍر ٌ ِن ﻓِﻴﻨَﺎ ﻓَﺎر َ ل ﻣَﺎ آَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ َر ﻋِﻠ ﱟ َ ﻦ ْﻋ َ ρﷲ ِ لا َ ﻻ َرﺳُﻮ ﻻ ﻧَﺎﺋِ ٌﻢ ِإ ﱠ ﻏ ْﻴ ُﺮ ا ْﻟ ِﻤ ْﻘﺪَا ِد َوَﻟ َﻘ ْﺪ َرَأ ْﻳ ُﺘﻨَﺎ َوﻣَﺎ ِﻓﻴﻨَﺎ ِإ ﱠ َ 206 .ﺢ َ ﺻ َﺒ ْ ﺣﺘﱠﻰ َأ َ ﺼﻠﱢﻲ وَﻳَ ْﺒﻜِﻲ َ ﺠ َﺮ ٍة ُﻳ َﺷ َ ﺖ َ ﺤ ْ َﺗ Dari ‘Alî bin Abî Tâlib r.a. dia berkata: “Pada waktu perang Badar, di antara kami tidak terdapat penunggang kuda kecuali Miqdad. Dan aku melihat tidak ada seorangpun di antara kami yang terbangun kecuali Rasulullah saw. yang tengah berada di bawah pohon sedang mengerjakan shalat dan menangis sampai pagi hari.” ( H.R. Ahmad) 205
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd., Jilid 1, Kitâb al-Salâh Bâb al-Bukâ fî al-Salâh, no. Hadis 904, h. 238; Lihat juga ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl al-‘Ibâdah, h. 123 206 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 1, h. 125
154
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam kitab “Sahîh”-nya kitab “al-Salâh” bab “al-Dalîl ‘alâ anna al-bukâ lâ yaqta’ alSalâh” no.899 dan dia menilainya sahih.. Ibn Hibbân juga meriwayatkan dalam “Kitab al-Salâh” bab “Dzikr Ibâha al-bukâ fi al-Salâh” no.2254, dan dia menilainya sahih.207 Hadis di atas menunjukkan bahwa menangis dalam salat tidak membatalkan
salat,
bahkan
dianjurkan
karena
dicontohkan
oleh
Rasulullah. Tangisan dalam salat boleh jadi menunjukkan kekhusyuan pelakunya. Namun yang harus ditekankan adalah hendaknya tangisan itu tidak semata-mata terjadi dalam salat, namun harus berimplikasi secara positif dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individual maupun sosial. e). Menangis saat Mendengar Nasehat Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang sedemikian konsentrasi saat teladan mereka mereka bertutur. Mereka sangat meyakini bahwa segala yang keluar dari lisannya adalah kebenaran yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan demi meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Dalam sebuah riwayat diceritakan betapa para sahabat tak mampu membendung tetesan air mata dari kelopak mata mereka saat Rasulullah menyampaikan nasehat-nasehatnya.
ﻦ َ ﺣ ْﻴ ِ ج َ ﺧ َﺮ َ ρﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َم ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ِﻤ ْﻨ َﺒ ِﺮ َﻓ َﺬ َآ َﺮ َ ﻈ ْﻬ َﺮ َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺼﻠﱠﻰ اﻟ ﱡ َ ﺲ َﻓ ُ ﺖ اﻟﺸﱠ ْﻤ ِ ﻏ َ زَا ﺐ ﺣ ﱠ َ ﻦ َأ ْ ل َﻣ َ ﻋﻈَﺎﻣًﺎ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ ِ ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳﻬَﺎ ُأ ُﻣ ْﻮرًا َ ن َﺑ ْﻴ ﻋ َﺔ َو َذ َآ َﺮ َأ ﱠ َ اﻟﺴﱠﺎ ﻲ ٍء ْ ﺷ َ ﻦ ْﻋ َ ﻲ ْ ﺴَﺄُﻟ ْﻮ ِﻧ ْ ﻻ َﺗ َ ﷲ ِ ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻓ َﻮ ا َ ل ْ ﺴَﺄ ْ ﻲ ٍء َﻓ ْﻠ َﻴ ْ ﺷ َ ﻦ ْﻋ َ ل َ ﺴَﺄ ْ ن َﻳ ْ َأ 207
Khumais As-Sa’id, Menangislah Menangis,, h. .92
Sebagaimana Rasulullah dan Para Sahabat
155
س ُ ﺲ َﻓَﺄ ْآ َﺜ َﺮ اﻟﻨﱠﺎ ٌ ل َأ َﻧ َ ﻲ هَﺬَا ﻗَﺎ ْ ﻲ َﻣﻘَﺎ ِﻣ ْ ﺖ ِﻓ ُ ﺧ َﺒ ْﺮُﺗ ُﻜ ْﻢ ِﺑ ِﻪ ﻣَﺎ ُد ْﻣ ْ ﻻ َأ ِإ ﱠ ﺲ َﻓﻘَﺎ َم ٌ ل َأ َﻧ َ ﻲ َﻓﻘَﺎ ْ ﺳُﻠ ْﻮ ِﻧ َ ل َ ن َﻳ ُﻘ ْﻮ ْ َأρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ا ْﻟُﺒﻜَﺎ َء َو َأ ْآ َﺜ َﺮ َر ﻋ ْﺒ ُﺪ َ ل اﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓﻘَﺎ َم َ ﷲ ﻗَﺎ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﻲ ﻳَﺎ َر ْ ﺧِﻠ َ ﻦ َﻣ ْﺪ َ ل َأ ْﻳ َ ﻞ َﻓﻘَﺎ ٌﺟ ُ َِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ر ل َ ﺣﺬَا َﻓ ُﺔ ﻗَﺎ ُ ك َ ل َأُﺑ ْﻮ َ ﷲ ﻗَﺎ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﻲ ﻳَﺎ َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْ ل َﻣ َ ﺣﺬَا َﻓ َﺔ َﻓﻘَﺎ ُ ﻦ ُ ﷲ ْﺑ ِ ا ْ ﺳُﻠ ْﻮ ِﻧ َ ل َ ن َﻳ ُﻘ ْﻮ ْ ُﺛﻢﱠ َأ ْآ َﺜ َﺮ َأ ل َ ﻋ َﻤ ُﺮ ﻋَﻠَﻰ ُر ْآ َﺒ َﺘ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ ُ ك َ ﻲ َﻓ َﺒ َﺮ ْ ﺳُﻠ ْﻮ ِﻧ َ ﻲ ﺖ َ ﺴ َﻜ َ ل َﻓ َ ﻻ ﻗَﺎ ً ﺳ ْﻮ ُ َرρ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻼ ِم دِﻳْﻨﺎً َو ِﺑ ُﻤ َﺳ ْ ﷲ رَﺑًّﺎ َو ِﺑﺎْﻹ ِ ﺿ ْﻴﻨَﺎ ﺑِﺎ ِ َر أَ ْوﻟَﻰ َوρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ﻚ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ َ ﻋ َﻤ ُﺮ َذِﻟ ُ ل َ ﻦ ﻗَﺎ َ ﺣ ْﻴ ِ ρﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ َر ﻲ ْ ﺠﻨﱠ ُﺔ َو اﻟﻨﱠﺎ ُر ا ِﻧﻔًﺎ ِﻓ َ ﻲ ا ْﻟ ﻋَﻠ ﱠ َ ﺖ ْ ﺿ َ ﻋ ِﺮ ُ ﻲ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ َﻟ َﻘ ْﺪ ْ ﺴ ِ ي َﻧ ْﻔ ْ اﱠﻟ ِﺬ ﺨ ْﻴ ِﺮ َ ﻲ َﻓَﻠ ْﻢ َأ َر آَﺎ ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم ﻓِﻰ ا ْﻟ ْ ﺻﱢﻠ َ ﻂ َو َأﻧَﺎ ُأ ِ ض هَﺬَا ا ْﻟﺤَﺎ ِﺋ ِ ﻋ ْﺮ ُ 208 ﺸ ﱢﺮ وَاﻟ ﱠ Dari Anas bin Mâlik r.a. (berkata): Sesungguhnya Nabi saw. pernah keluar saat matahari tergelincir, lalu beliau salat zuhur. Ketika beliau salam (dari salatnya), beliau berdiri di atas mimbar dan kemudian menyampaikan hal-hal mengenai hari kiamat. Beliau menyebutkan bahwa menjelang kedatangan hari kiamat akan datang masalah-masalah yang besar. Lalu beliau berkata: “Barangsiapa yang ingin bertanya tentang sesuatu, maka sampaikanlah. Demi Allah, apapun yang kalian tanyakan, niscaya akan aku jelaskan selama aku masih berada di tempat ini.” Anas berkata: (Saat itu) orang-orang banyak menangis dan Rasulullah saw. banyak mengatakan “Bertanyalah kepadaku!” Anas berkata: Lantas seseorang berdiri dan bertanya: “(Kelak) saya akan masuk ke mana?” Rasul menjawab: “Neraka.” Lalu ‘Abdullâh bin Huzafah bertanya: “Siapakah ayahku?” Beliau menjawab: “Ayahmu adalah Huzafah.” Kemudian Rasulullah banyak berkata: “Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku!”. Lalu Umar duduk menderum di atas kedua lututnya dan berkata: “Aku rela Allah sebagai Tuhan-(ku), Islam sebagai agama-(ku), dan Muhammad saw. sebagai rasul(ku). Anas berkata: Rasulullah saw. terdiam saat Umar mengucapkan kalimat tersebut. Kemudian beliau bersabda: Lebih utama. Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh baru saja telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka di sisi dinding ini ketika aku sedang shalat. Aku belum pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti yang terjadi pada hari ini.” Dengan riwayat yang lain, Rasulullah saw. menambahkan sabdanya tersebut dengan kalimat:
208
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 8, Kitâb al-I’tisâm bi al-Kitâb wa al-Sunnah Bâb Mâ Yukrahu min Katsrah al-Su’âl, h. 143; lihat pula hadis yang semakna pada al-Tirmidzî, Sunan alTirmidzi, Juz 4, Abwâb al-‘Ilm Bâb fî Man Da’â ilâ Hudâ fa utbi’a au ilâ Dalâlah, no. Hadis 2816, h. 149-150; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Sunnah bâb fî Luzûm al-Sunnah, no. Hadis 4607, h. 200-201; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb Ittibâ’ Sunnah al-Khulafâ al-Râsyidîn al-Mahdiyyîn, no. Hadis 42, h. 15-16; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb Ittibâ’ al-Sunnah, no. Hadis 95, h. 45; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 4, h. 126-127
156
209
ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َآﺜِﻴﺮًا ً ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ ِﻀ َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ ْ ن ﻣَﺎ َأ َ َوَﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ
Dan seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.R. Al-Bukhārī & Muslim) Menurut Imam al-Nawawî bahwa makna Hadis ini adalah Rasulullah saw. tidak pernah melihat
kebaikan yang lebih banyak
daripada apa yang dilihatnya di surga, dan tiak pernah melihat keburukan yang lebih banyak daripada yang disaksikannya di neraka. Andaikan saja para sahabat dan umat Islam yang lain dapat melihat yang beliau lihat pasti mereka akan sedikit tertawa dan banyak menangis.210 Nasehat seperti inilah yang telah membuat para sahabat mencucurkan air mata karena mereka membayangkan apa yang akan terjadi dengan kedahsyatan hari kiamat. Dan jika hari kiamat terjadi, yang mereka khawatirkan adalah bagaimana mereka mempertanggungjawabkan semua amal mereka selama di dunia dan ke mana pula Alah akan menempatkan mereka, surga yang penuh dengan kenikmatan atau neraka yang penuh dengan segala kepedihan. B. Keutamaan Menangis Jika menangis dalam pandangan Rasulullah saw. diperbolehkan bahkan dianjurkan, maka tentunya hal ini banyak mengandung hikmah atau keutamaan yang besar bagi umatnya untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat. Adapun keutamaan menangis itu adalah sebagai berikut: 1. Menangis dapat memotivasi seseorang
209
untuk banyak merenungi makna
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Qaulih Lâ Tas’alû ‘an asy-yâ’a in tubda lakum Tasu’kum, h.190; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Fadâ’il Bâb tauqîrih saw. waTark Iktsâr Su’âlih ‘ammâ lâ Darûrah ilaih, h. 338 210 Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, h. 20
157
kehidupan sehingga ia akan tekun beribadah. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
“Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit 211
tertawa dan banyak menangis.”
ﺐ َ ﻄ َﺨ َ ﻲ ٌء َﻓ ْ َﺻﺤَﺎ ِﺑ ِﻪ ﺷ ْ ﻦ َأ ْﻋ َ ρﷲ ِ لا َ ل َﺑَﻠ َﻎ َرﺳُﻮ َ ﻚ ﻗَﺎ ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ﺸ ﱢﺮ َوَﻟ ْﻮ ﺨ ْﻴ ِﺮ وَاﻟ ﱠ َ ﺠﻨﱠ ُﺔ وَاﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓَﻠ ْﻢ َأ َر آَﺎ ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم ﻓِﻲ ا ْﻟ َ ﻲ ا ْﻟ ﻋَﻠ ﱠ َ ﺖ ْ ﺿ َ ﻋ ِﺮ ُ ل َ َﻓﻘَﺎ ﻋﻠَﻰ َ ل َﻓﻤَﺎ أَﺗَﻰ َ ﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َآ ِﺜﻴﺮًا ﻗَﺎ ً ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ ِﻀ َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻟ ْ ن ﻣَﺎ َأ َ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ ﻦ ٌ ﺧﻨِﻴ َ ﺳ ُﻬ ْﻢ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ َ ل ﻏَﻄﱠﻮْا ُرءُو َ ﺷ ﱡﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻳَ ْﻮ ٌم َأρ ﷲ ِ لا ِ ب َرﺳُﻮ ِ ﺻﺤَﺎ ْ َأ ل َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻧﺒِﻴًّﺎ ﻗَﺎ َ ﻼ ِم دِﻳﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َﺳ ْﻹ ِ ﷲ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎ ُ ل َﻓﻘَﺎ َم َ ﻗَﺎ ِ ل َرﺿِﻴﻨَﺎ ﺑِﺎ َ ﻋ َﻤ ُﺮ َﻓﻘَﺎ ﻦ َ ﺖ ﻳَﺎ أَﻳﱡﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ْ ن َﻓ َﻨ َﺰَﻟ ٌﻼ َ ك ُﻓ َ ل َأﺑُﻮ َ ﻦ أَﺑِﻲ ﻗَﺎ ْ ل َﻣ َ ﻞ َﻓﻘَﺎ ُﺟ ُ ك اﻟﺮﱠ َ َﻓﻘَﺎ َم ذَا 212 ﺴ ْﺆ ُآ ْﻢ ُ ن ُﺗ ْﺒ َﺪ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﺗ ْ ﺷﻴَﺎ َء ِإ ْ ﻦ َأ ْﻋ َ ﺴَﺄﻟُﻮا ْ ﻻ َﺗ َ ﺁ َﻣﻨُﻮا Dari Anas bin Mâlik, dia berkata: pernah disampaikan kepada Rasulullah saw. sesuatu tentang sahabat-sahabatnya. Lalu beliau berkhutbah seraya berkata: “Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, di mana aku tidak pernah melihat seperti hari ini dalam hal kebaikan dan keburukan. Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Anas mengatakan: “Para sahabat Rasulullah saw. pernah didatangi oleh suatu hari yang lebih memberatkan (menyedihkan) daripada hari itu. Mereka menutupi kepala mereka dan mereka menangis dengan keras.” Ia (Anas) berkata: “Umarpun berdiri dan berkata, ‘Aku ridha Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku.’ Ia berkata: “Lelaki itupun berdiri kemudian berkata, ‘Siapakah ayahku?’ Ia menjawab, ‘Ayahku adalah Fulan.’ Maka turunlah ayat (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu). (H.R. al-Bukhârî dan Muslim)
ﺳ َﻤ ُﻊ ﻣَﺎ ْ ن َوَأ َ ﻻ َﺗ َﺮ ْو َ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻣَﺎρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ َأﺑِﻲ َذ ﱟر ﻗَﺎ ْﻋ َ ﺿ ُﻊ َأ ْر َﺑ ِﻊ ِ ﻂ ﻣَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻣ ْﻮ ن َﺗ ِﺌ ﱠ ْ ﺣﻖﱠ ﻟَﻬَﺎ َأ ُ ﺴﻤَﺎ ُء َو ﺖ اﻟ ﱠ ْ ﻃ ن َأ ﱠ َ ﺴ َﻤﻌُﻮ ْ ﻻ َﺗ َ ﻋَﻠ ُﻢ ْ ن ﻣَﺎ َأ َ ﷲ َﻟ ْﻮ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ ِ ﷲ وَا ِ ﺟﺪًا ِ ﺟ ْﺒ َﻬ َﺘ ُﻪ ﺳَﺎ َ ﻚ وَاﺿِ ٌﻊ ٌ ﻻ َو َﻣَﻠ َأﺻَﺎ ِﺑ َﻊ ِإ ﱠ ش ِ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻔ ُﺮ َ ِﻼ َوَﻟ َﺒ َﻜ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َآﺜِﻴﺮًا َوﻣَﺎ َﺗَﻠ ﱠﺬ ْذ ُﺗ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ﱢﻨﺴَﺎء ً ﺤ ْﻜ ُﺘ ْﻢ َﻗﻠِﻴ ِﻀ َ َﻟ 211
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,, Juz 7, Kitâb al-Riqâq Bâb Qaul al-Nabî saw. Lau ta’lamûna mâ A’lamu, hal.186 & Juz 7 kitâb al-Aimân wa al-Nudzûr Bâb Kaif Kânat yamîn alNabî saw., h.218-219; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî., Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fi Qaul al-Nabî saw. Lau ta’lamûna mâ A’lamu, no. Hadis 2414, h. 380-381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4190 & 4191, h. 1402; Ahmad, alMusnad, Jilid 2, h. 257. Menurut Imam al-Tirmidzî, nilai Hadis ini adalah sahih 212 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 5, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Qaulih Ta’âlâ lâ Tas’alû ‘an Asy-yâ’a in Tubda lakum Tasu’kum, h.190; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb alFadâ’il Bâb Tauqîrih saw. Wa Tark Iktsâr Su’âlih ‘ammâ lâ darûrah ilaih, h. 338
158
ﺠ َﺮ ًة َﺷ َ ﺖ ُ ت أَﻧﱢﻲ ُآ ْﻨ ُ ﷲ َﻟ َﻮ ِد ْد ِ ن ِإﻟَﻰ ا َ ﺠَﺄرُو ْ ت َﺗ ِ ﺼ ُﻌﺪَا ﺟ ُﺘ ْﻢ إِﻟَﻰ اﻟ ﱡ ْ ﺨ َﺮ َ َوَﻟ 213 ﻀ ُﺪ َ ُﺗ ْﻌ Dari Abû Dzar ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat dan aku mendengar apa yang kalian tidak dengar. Langit telah berkeriut dan itu memang sudah menjadi haknya. Di sana tidak ada tempat untuk menyisipkan empat jari melainkan di sana ada malaikat yang meletakkan dahinya untuk bersujud kepada Allah. Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis, kalian juga tidak akan bersenang-senang dengan wanita (istri) di tempat tidur, kalianpun akan keluar ke jalan-jalan untuk memohon pertolongan kepada Allah” (H.R. At-Tirmiżī dan Ibn Mājah) Melalui Hadis-hadis di atas dan yang senada dengannya, Nabi Muhammad saw. ingin menegaskan, bahwa seandainya manusia mengetahui berbagai siksaan dan kepedihan yang Allah berikan kepada para pendurhaka serta hiruk pikuknya hari penghitungan kelak, pasti mereka akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis. Artinya, rasa takut (khauf) mereka berada di atas rasa harap (rajâ) mereka. Menurut al-Hâfiz, bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan di sini adalah terkait dengan keagungan Allah, siksa bagi para pendurhaka, huru-hara atau kepelikan yang terjadi saat kematian, saat di alam kubur, dan hari kiamat kelak.214 2. Menangis dapat menyebabkan seseorang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat. Dalam salah sebuah riwayat disebutkan:
ﻇﱢﻠ ِﻪ َﻳ ْﻮ َم ِ ﷲ ﻓِﻲ ُ ﻈﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ا ِ ﺳ ْﺒ َﻌ ٌﺔ ُﻳ َ ل َ ﻗَﺎρ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ْﻋ َ ﻞ ٌﺟ ُ ﻋﺒَﺎ َد ِة َر ﱢﺑ ِﻪ َو َر ِ ﺸَﺄ ﻓِﻲ َ ب َﻧ ل َوﺷَﺎ ﱞ ُ ﻹﻣَﺎ ُم ا ْﻟﻌَﺎ ِد ِ ﻇﻠﱡ ُﻪ ا ِ ﻻ ﻞ ِإ ﱠ ﻇﱠ ِ ﻻ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺟ َﺘ َﻤﻌَﺎ ْﷲ ا ِ ن َﺗﺤَﺎﺑﱠﺎ ﻓِﻲ ا ِﻼ َﺟ ُ ﺟ ِﺪ َو َر ِ ﻖ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﺴَﺎ ٌ َﻗ ْﻠ ُﺒ ُﻪ ُﻣﻌَﱠﻠ ل ِإﻧﱢﻲ َ ل َﻓﻘَﺎ ٍ ﺟﻤَﺎ َ ﺐ َو ٍ ﺼ ِ ت َﻣ ْﻨ ُ ﻃَﻠ َﺒ ْﺘ ُﻪ ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ذَا َ ﻞ ٌﺟ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َر َ وَﺗَﻔَﺮﱠﻗَﺎ 213
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Qaul al-Nabî saw. Lau Ta’lamûna mâ A’lamu, no. Hadis 2414, h. 380-381; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 4190, h. 1402. Menurut Imam al-Tirmidzî nilai hadis ini hasan garib. 214 Muh. Abdurrahmân al-Mubarakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî, Juz 6, h. 603
159
ﻖ ُ ﺷﻤَﺎُﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ُﺗ ْﻨ ِﻔ ِ ﻻ َﺗ ْﻌَﻠ َﻢ َ ﺧﻔَﻰ ﺣَﺘﱠﻰ ْ َق أ َ ﺼ ﱠﺪ َ ﻞ َﺗ ٌﺟ ُ ﷲ َو َر َ ف ا ُ َأﺧَﺎ 215 ﺖ ﻋَ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ ْ ﺿ َ ﷲ ﺧَﺎﻟِﻴًﺎ َﻓﻔَﺎ َ ﻞ َذ َآ َﺮ ا ٌﺟ ُ َﻳﻤِﻴ ُﻨ ُﻪ َو َر Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada saat tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang yang hatinya selalau dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena Allah, (5) seseorang yang dibujuk oleh seorang (wanita) yang berpangkat dan cantik (untuk melakukan zina), maka dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang mengingat (berzikir kepada) Allah dalam kesedirian sehingga meneteskan air mata.(H.R. al-Bukhârî, Muslim, alTirmidzî, al-Nasâ’î, Mâlik, dan Ahmad) Seorang muslim yang menyendiri dengan Rabb-nya dengan mengakui segala kemaksiatan, kejahatan, mengingat dan menyebut
dan berbagai dosa yang telah dilakukannya,
Pencipta dan Penguasa dirinya seraya bersimpuh
memohon ampunan-Nya, bertaubat di hadapan-Nya, dan benar-benar sangat menyesal. Siapa saja orang yang berperilaku seperti tersebut, maka tetesan air matanya akan mengalir karena keikhlasan dirinya bersimpuh di hadapan Sang Khaliq. Dengan demikian, zikir dalam kesendirian dapat melembutkan hati dan mencairkan kebekuan. Zikirlah yang mencucurkan air mata dan melembutkan kejumudan mata. Zikir jugalah yang hanya mampu memberikan ketenangan dan kedamaian hati seorang muslim.
ﻦ ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ ْ ﷲ َﺗ ِ ﻻ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا َ ﷲ َأ ِ ﻦ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ ْ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َو َﺗ َ اﱠﻟﺬِﻳ ُ ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ
ب 215
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Man Jalasa fî al-Masjid Yantaziru al-Salâh wa Fadl al-Masâjid, h. 160-161; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Zakâh Bâb Fadl Ikhfâ al-Sadaqah, h. 412; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fî al-Lâh, no. Hadis 2500, h. 24-25; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Adab alQudâh Bâb al-Imâm al-‘Âdil, no. Hadis 5390, h. 851; Mâlik, al-Muwatta, h. 726; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 1, h. 374; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Fadl Dzikr al-Lâh ‘Azza wa Jalla, no. Hadis 1053, h. 550-551
160
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. al-Ra’d/13:28) 3. Menangis yang dilakukan karena takut kepada Allah akan membebaskan pelakunya dari siksa api neraka. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. 4. Menangis dapat membantu seseorang dalam mentadabburi al-Qur’an. Allah memang menganjurkan kepada umat Islam untuk mentadabburi ayat-ayat al-Qur’an
ب َا ْﻗ َﻔﺎُﻟ َﻬﺎ ٍ ﻋَﻠﻰ ُﻗُﻠ ْﻮ َ ن َا ْم َ ن ا ْﻟ ُﻘ ْﺮا َ ﻼ َﻳ َﺘ َﺪ ﱠﺑ ُﺮ ْو َ َا َﻓ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad/47:24) Itulah sebabnya, Imam al-Qurtubî (w.567 H.) mengatakan: ”Para ulama mengatakan: ’Diwajibkan bagi pembaca al-Qur’an untuk menghadirkan hatinya serta bertafakkur (merenungkan) saat membacanya, karena dia sedang membaca khitâb (firman) Allah yang ditujukan kepada hamba-hambanya.” Oleh karena itu, barangsiapa yang membaca al-Qur’an dengan tidak bertafakkur padanya, sedang dia termasuk orang yang mempunyai kemampuan untuk memahami dan mentafakkurinya, maka dia sama seperti orang yang tidak membacanya dan tidak sampai pada tujuan dari bacaannya itu.”216 Rasulullah saw. setiap kali mendengarkan atau membaca Kitabullah senantiasa menyaksikannya dengan hati dan pemahaman, tidak lengah dan tidak lalai. Kondisi inilah yang memberikan pengaruh kuat kepada beliau sehingga tatkala Al-Quran dibacakan, maka beliau akan diliputi rasa takut dan akhirnya meneteskan air mata. Ibn Hajar al-‘Asqalânî (w.852 H.) mengutip pandangan Imam al-Ghazâlî
216
Khumais As-Sa’id, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. Dan Para Sahabat Mmenangis, .h. 51
161
(w.505 H.) yang menyatakan: “Disunahkan menangis saat membaca al-Qur’an. Dan cara menghadirkan tangis saat membaca al-Qur’an adalah menghadirkan kepada kalbunya rasa sedih
dengan
dan rasa takut, dengan merenungi
segala ancaman yang keras dan janji-janji di dalamnya. Kemudian mengingatkan segala pelanggaran yang dia lakukan dalam hal tersebut. Jika dia tidak bisa menghadirkan kesedihan, maka hendaklah dia menangis atas hilangnya kemampuan untuk itu dan menilai hal itu sebagai musibah yang paling parah.” 217 Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menangis saat merenungi surat Ibrâhîm ayat 36 dan surat al-Mâidah ayat 118 berikut ini:
ﻋ ﱠﺰ َ ﷲ ِ لا َ ﻼ َﻗ ْﻮ َ َﺗρ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ص َأ ﱠ ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ْﺑ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ َﺗ ِﺒ َﻌﻨِﻲ ْ س َﻓ َﻤ ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ْ ﻦ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ َ ﺿَﻠ ْﻠ ْ ب إِﻧﱠ ُﻬﻦﱠ َأ ﻞ ﻓِﻲ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َر ﱢ ﺟﱠ َ َو ك َ ﻋﺒَﺎ ُد ِ ن ُﺗ َﻌﺬﱢ ْﺑ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ ْ ﻼم ِإ َﺴ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ َ ل ﻋِﻴﺴَﻰ َ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ِﻣﻨﱢﻲ اﻵ َﻳ َﺔ َوﻗَﺎ ل اﻟﻠﱠ ُﻬﻢﱠ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َ ﺤﻜِﻴ ُﻢ َﻓ َﺮ َﻓ َﻊ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َوﻗَﺎ َ ﺖ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ َ ﻚ َأ ْﻧ َ ن َﺗ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َﻓِﺈ ﱠﻧ ْ َوِإ ُ لا َ ُأ ﱠﻣﺘِﻲ َو َﺑﻜَﻰ َﻓﻘَﺎ ﻚ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َو َر ﱡﺑ َ ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ ْ ﻞ ا ْذ َه ُ ﺟ ْﺒﺮِﻳ ِ ﻞ ﻳَﺎ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ ل ُ ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ َرﺳُﻮ ْ ﺴَﺄَﻟ ُﻪ َﻓَﺄ َ ﻼم َﻓ َﺴ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ اﻟ ﱠ َ ﻞ ُ ﺟ ْﺒﺮِﻳ ِ ﻚ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ َ ﺴ ْﻠ ُﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ْﺒﻜِﻴ َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻓ ْ َأ ﻞ ْ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻓ ُﻘ َ ﺐ إِﻟَﻰ ُﻣ ْ ﻞ ا ْذ َه ُ ﺟ ْﺒﺮِﻳ ِ ﷲ ﻳَﺎ ُ لا َ ﻋَﻠ ُﻢ َﻓﻘَﺎ ْ ل َو ُه َﻮ َأ َ ِﺑﻤَﺎ ﻗَﺎρ ﷲ ِ ا ك َ ﻻ َﻧﺴُﻮ ُء َ ﻚ َو َ ﻚ ﻓِﻲ ُأ ﱠﻣ ِﺘ َ ﺳ ُﻨ ْﺮﺿِﻴ َ ِإﻧﱠﺎ Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As r.a. bahwa Nabi saw. membaca firman Allah dalam surat Ibrâhîm (Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Maka, barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku…QS.Ibrâhîm:36). Dan Isa a.s berkata (Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. – QS. al-Mâidah:118-) Lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berucap sambil menangis: “Ya Allah, umatku, umatku!” lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad, dan Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyakan kepadanya, apa yang menyebabkanmu menangis!” Kemudian Jibril mendatangi beliau dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah saw. memberitahu kepada Jibril a.s. mengenai apa yang dikatakan, dan Dia lebih mengetahui.Lalu Allah berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada (datangilah) Muhammad dan 217
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî., Juz 10, h. 121
162
katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan meridhaimu terhadap umatmu dan tidak akan berbuat buruk kepadamu.’” (H.R. Muslim)218 Menurut Imam al-Nawawî, Hadis di atas mengandung beberapa hal, yaitu: Pertama: Besarnya
rasa kasih sayang yang sempurna serta perhatian Rasul
terhadap kemaslahatan segala urusan umat beliau. Hal ini ditunjukkan dengan disebutnya umat beliau sambil menangis agar diselamatkan dari siksa Allah. Kedua: Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa. Ketiga: Kabar gembira untuk umat Nabi Muhammad saw. bahwa Allah akan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Keempat: Keagungan kedudukan Nabi saw. di sisi Allah serta besarnya kasih sayang Allah kepada beliau.219 Imam Ibn Mâjah juga meriwayatkan Hadis yang menganjurkan menangis saat membaca al-Qur’an
ص ٍ ﻦ أَﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ ُ ﺳ ْﻌ ُﺪ ْﺑ َ ل َﻗ ِﺪ َم ﻋَﻠَ ْﻴﻨَﺎ َ ﺐ ﻗَﺎ ِ ﻦ اﻟﺴﱠﺎ ِﺋ ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺣ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ْﻋ َ ﺣﺒًﺎ َ ل َﻣ ْﺮ َ ﺧ َﺒ ْﺮ ُﺗ ُﻪ َﻓﻘَﺎ ْ ﺖ َﻓَﺄ َ ﻦ َأ ْﻧ ْ ل َﻣ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﺖ ُ ﺴﱠﻠ ْﻤ َ ﺼ ُﺮ ُﻩ َﻓ َ َو َﻗ ْﺪ ُآﻒﱠ َﺑ ρﷲ ِ لا َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ِت ﺑِﺎ ْﻟ ُﻘﺮْﺁن ِ ﺼ ْﻮ ﻦ اﻟ ﱠ ُﺴ َﺣ َ ﻚ َ ﻦ أَﺧِﻲ َﺑَﻠ َﻐﻨِﻲ َأ ﱠﻧ ِ ﺑِﺎ ْﺑ ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﺒﻜُﻮا ْ ن َﻓِﺈذَا َﻗ َﺮْأُﺗﻤُﻮ ُﻩ ﻓَﺎ ْﺑﻜُﻮا َﻓِﺈ ٍ ﺤ ْﺰ ُ ل ِﺑ َ ن َﻧ َﺰ َ ن َهﺬَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮﺁ ل ِإ ﱠ ُ َﻳﻘُﻮ 220 َ ﻦ ِﺑ ِﻪ َﻓَﻠ ْﻴ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳَﺘ َﻐ ﱠ .ﺲ ِﻣﻨﱠﺎ ْ َﻓَﺘﺒَﺎ َآﻮْا َوَﺗ َﻐﱠﻨﻮْا ِﺑ ِﻪ َﻓ َﻤ Dari ‘Abdurrahmân bin al-Sâ’ib ia berkata: “Sa’ad bin Abî Waqqâs datang kepada kami, dan ketika itu penglihatannya sudah terganggu. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia bertanya: ’Siapa anda? ‘Akupun memberitahu tentang diriku. Iapun berkata: ’Selamat datang wahai anak saudaraku! Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau memiliki suara yang indah saat membaca al-Qur’an. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya al-Qur’an turun dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah. Jika tidak menangis, maka hendaklah pura-pura menangis. Merdukanlah bacaan al-Qur’an. Barangsiapa yang tidak memerdukan al-Qur’an dengan suaranya, maka ia tidak 218
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îman Bâb Du’â al-Nabî saw. Li Ummatih wa Bukâ’ih Syafaqah ‘alaihim, h.107 219 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Jilid 2, h. 80 220 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh, Bâb fî Husn al-Saut bi alQur’ân, no. Hadis 1337, h. 424
163
termasuk golongan kami.” (H.R. Ibn Mâjah) Dan menurut Imam al-Nawawî, menangis saat membaca al-Qur’an adalah sifat para arifin dan syi’ar para salihin. 221 5. Menangisi segala kesalahan merupakan salah satu kiat meraih kesuksesan. Seluruh umat Islam, tanpa terkecuali, pasti mengidamkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat yang kekal abadi dalam bentuk surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan neraka yang penuh dengan beragam siksa yang memedihkan
dan
menghinakan
membuat
semua
orang
tidak
pernah
mengharapkannya, bahkan semuanya berdoa agar dihindari dari siksa neraka. Akan tetapi, kenikmatan dunia yang penuh kesemuan telah menterlenakan dan menipu manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya. Dorongan nafsu dan bisikan setan telah menyebabkan seseorang tidak lagi melihat akhirat dan menjadikannya sebagai orientasi hidup dalam jangka panjang. Orientasi hidupnya hanyalah terbatas pada kehidupan jangka pendek, yaitu yang hanya memberikan kenikmatan sesaat. Merka menjual kenikmatan yang kekal abadi dengan materi dunia yang tiada berarti. Dalam kondisi seperti ini, muhasabah (introspeksi diri) menjadi sedemikian penting dan berarti dalam kehidupan setiap manusia. Muhasabah adalah upaya untuk introspeksi diri, menghitung-hitung, atau menimbang amalamal yang telah kita lakukan. Aktivitas ini lazimnya dilakukan setiap hari saat seseorang hendak memejamkan matanya menuju peraduannya. Ia kembali mengenang segala peristiwa yang terjadi pada hari itu. Ada bahagia dan sengsara,
221
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî., Juz 10, h. 121
164
ada suka dan duka, ada senang dan marah, ada damai dan galau kesal, ada tenang dan hiruk pikuk, dan sebagainya. Saat itu, seorang muslim akan menimbang, berapa banyak dosa yang sudah ia lakukan sehingga menimbulkan murka Sang Khaliq dan karenanya ia haus beristighfar.. Dan berapa banyak pula kebaikan yang telah berhasil ia persembahkan sehingga harus disyukuri. Salah seorang ulama berkata: “Para orang tua kami selalu menghisab diri dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, kemudian mereka menulisnya dalam sebuah daftar. Jika salat isya telah usai, mereka mengeluarkan daftar amal dan ucapannya kemudian menghisabnya. Jika amalan yang diperbuat adalah amalan buruk yang perlu istigfar, maka mereka bertaubat dan beristigfar. Namun jika amalannya adalah amalan yang baik dan perlu disyukuri, maka merekapun
bersyukur kepada Allah hingga mereka tertidur. Dan kamipun
mengikuti jejak mereka. Kami mencatat apa yang kami perbuat dan kami menghisabnya.”222 Dikisahkan bahwa pada suatu malam seseorang seang tidur di atas tikar bersama anaknya. Tiba-tiba tubuh anaknya menggigil. Si ayahpun bertanya: “Hai anakku, apakah engkau sakit?” Anak itu menjawab: “Tidak ayah! Ayah, besok adalah hari kamis, di mana ustadz akan memeriksa ilmu yang kudapati dalam seminggu. Aku khawatir ustadz akan menemukan kesalahan dariku sehingga ia memarahi ataupun memukulku.” Kemudian sang ayah bangkit anakku, aku lebih layak
dari tidurnya seraya berkata: “Wahai
untuk takut menghadapi hari yang ditampakkannya
amalanku di hadapan Allah dengan dosa-dosa yang telah aku perbuat di dunia,
222
Abdurrahman As-Sinjari et.al., Menangis karena Takut pada Allah, h. 33-34
165
sebagaimana firman Allah, ‘Dan mereka akan dibawa ke hadapan Rabb-mu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali pertama. Bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.’(QS.alKahfi/18:48)” 223 Oleh karena itu, dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. menganjurkan agar seseorang selalu menangisi segala dosa dan kesalahannya, bahkan menangis seperti ini dipandang sebagai salah satu kiat agar dapat meraih kesuksesan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
ﻚ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ﻚ ْ ل َأ ْﻣِﻠ َ ﷲ ﻣَﺎ اﻟ ﱠﻨﺠَﺎةُ؟ ﻗَﺎ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ ﻳَﺎ َر ُ ل ُﻗ ْﻠ َ ﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ ﻗَﺎ ِ ﻋ ْﻘ َﺒ َﺔ ْﺑ ُ ﻦ ْﻋ َ 224 ﻚ َ ﻄ ْﻴ َﺌ ِﺘ ِﺧ َ ﻋَﻠﻰ َ ﻚ ِ ﻚ َو َأ ْﺑ َ ﻚ َﺑ ْﻴ ُﺘ َ ﺴ ْﻌ َ ﻚ َو ْﻟ َﻴ َ ِﻟﺴَﺎ َﻧ Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: Saya bertanya: “Ya Rasulullah, Bagaimana caranya untuk mendapatkan keberhasilan itu?” Beliau menjawab: “Tahanlah lisanmu (agar hanya kebaikan yang keluar darinya), hendaknya rumahmu memberikan keluasan kepadamu (nyaman tinggal di rumah), dan menangislah atas segala kesalahanmu!”(H.R. al-Tirmidzî)
223
Ibid, h. 34-35 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Hifz al-Lisân, no. Hadis 2517,h. 31; ‘Abdullâh bin al-Mubârak, al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Bâb Mâ Jâ’a fî al-Huzn wa al-Bukâ, no. Hadis 119, h.132; Kualitas Hadis ini hasan. 224
166
BAB IV MENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI
Pengertian dan Karakteristik Kesalehan Kata “sâlih” ( )ﺻﺎﻟﺢberasal dari akar kata “salaha” atau “saluha” ( )ﺻﻠﺢ yang maknanya merupakan antonim dari kata “fasâd” (
)ﻓﺴﺎد
yang berarti
“rusak”.225 Kata “sâlih” juga diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai” Dengan demikian,
amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu
kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada. Atau dapat pula diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.226 Sementara itu, Syaikh Muh. ‘Abduh (w.1323 H.)mendefinisikan amal saleh dengan “Segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan.” Sedangkan Syaikh al-Zamakhsyarî (w.538 H.) berpendapat bahwa amal salih adalah “Segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an, dan atau Sunnah Nabi Muhammad saw.”227 Seorang yang salih ialah yang aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya madharat, atau yang pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak-pihak lain, atau pekerjaannya sesuai dengan petunjuk Ilahi, akal sehat, atau dapat istiadat yang baik.228
225
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1990), Cet. Ke-1, Juz II, h. 516 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), Cet. II, h. 480 227 Ibid 228 Ibid 226
167
Menurut al-Zajjâj (w. 310 H.), sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurtubî w.567 H.), seorang yang salih adalah yang menunaikan segala kewajiban yang Allah tetapkan dan memenuhi hak-hak manusia.229 Sedangkan Imam al-Tabarsî (w.548 H.)mendefinisikan bahwa orang yang salih adalah orang yang membaguskan aktivitasnya dan kemudian berbuat segala yang baik, tidak yang buruk.230 Dalam pada itu, al-Sayyid Muh. Syatâ al-Dimyati mendefinisikan salih sebagai berikut: 231
اﻟﺼﺎﻟﺢ هﻮ اﻟﻘﺎﺋﻢ ﺑﺤﻘﻮق اﷲ وﺣﻘﻮق اﻟﻌﺒﺎد
“Orang yang salih adalah orang yang menunaikan segala hak Allah dan hak-hak manusia.” Menurut penelusuran penulis, di dalam al-Qur’an, kata “sâlih” dalam bentuk tunggal (mufrad) disebutkan sebanyak empat puluh empat kali, dalam bentuk tatsniyah (dua) sekali (QS.66:10), dan dalam bentuk jamak (plural) sebanyak 29 kali.232 Di dalam kitab suci tersebut ditegaskan bahwa para nabi dan rasul dikategorikan sebagai orang-orang salih (Lihat QS.2:130; 3:39,46; 6:85; 16:122; 21:72,86; 29:27; 37:112, dan 68:50). Predikat “salih” adalah suatu posisi atau derajat yang tinggi di sisi Allah.233 Sebab, sebagaimana yang dikatakan Dr. Wahbah Zuhaili, orang-orang
79
229
al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1407/1987), Cet.I, Juz 4, h.
230
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414/1994), Juz 7, h. 89 al-Sayyid Muh. Syata al-Dimyati, Iânah al-Tâlibîn, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz 1, h.
231
165
232
M. Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 521-522 233 M. ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999), cet.I,, Juz II, h. 148
168
saleh adalah para pemberi petunjuk (al-hudâh) kepada umat manusia, karena ia merupakan martabat para nabi.234 Itulah sebabnya, banyak para nabi yang bermunajat kepada Allah swt. agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang salih. Di antara para nabi yang mengharapkan hal itu adalah nabi Yûsuf (QS.12:101), nabi Ibrâhîm (QS.26:83), dan nabi Sulaimân a.s. (QS.27:19). Bukan hanya itu, nabi Ibrâhîm a.s. berdoa kepada Allah agar dianugerahkan anak atau keturunan yang salih (QS.37:100). Di dalam surat al-Nisâ ayat 69, kelak di akhirat nanti di dalam surga, orang-orang salih akan disandingkan dengan para nabi, para siddîqîn, dan para syuhadâ. Allah swt. menyatakan:
ﻦ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ َ ﷲ ُ ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا َ ﻚ َﻣ َﻊ اﱠﻟﺬِﻳ َ ل َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ َ ﷲ َواﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻄ ِﻊ ا ِ ﻦ ُﻳ ْ َو َﻣ َ ﻚ َ ﻦ أُوَﻟ ِﺌ َﺴ ُﺣ َ ﻦ َو َ ﺸ َﻬﺪَا ِء وَاﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ ﻦ وَاﻟ ﱡ َ ﺼﺪﱢﻳﻘِﻴ اﻟﻨﱠﺒِﻴﱢﻴﻦَ وَاﻟ ﱢ
رﻓِﻴ ًﻘﺎ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para siddîqîn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS.al-Nisâ/4:69) Ketinggian derajat orang-orang salih (sâlihîn) sehingga senantiasa mendapatkan pujian dan penghargaan dari Allah swt. memotivasi umat Islam untuk meraih predikat tersebut. Akan tetapi, masalahnya kemudian adalah, apakah kriteria atau ciri-ciri orang yang salih itu? Berdasarkan hasil kajian penulis terhadap teks-teks al-Qur’an dan Hadis, ada empat belas
kriteria orang-orang salih. Salah satu di antaranya adalah
menangis saat mendengar al-Qur’an. Poin inilah yang akan banyak dibahas karena memang yang sangat berhubungan dengan tema yang sedang dibahas. Sedangkan
234
Wahbah Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1991)Juz XX, h. 202
169
tiga belas kriteria lainnya hanya akan dipaparkan secara singkat. Keempat belas kriteria itu adalah sebagai berikut: 1. Menangis saat Mendengar al-Qur’an Di dalam al-Qur’an, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, ada sepuluh ayat yang menegaskan bahwa para nabi dan rasul dikategorikan sebagai orang-orang salih. Kesepuluh ayat tersebut adalah QS.2:130; 3:39,46; 6:85; 16:122; 21:72,86; 29:27; 37:112, dan 68:50. Sementara itu, dalam surat Maryam setelah Allah menyampaikan kisahkisah orang salih seperti nabi Zakariyyâ, nabi Yahyâ, nabi ‘Îsâ, nabi Mûsâ, nabi Ibrâhîm, dan Maryam, maka pada ayat 58 dalam surat tersebut Allah menyatakan:
ﺣ َﻤ ْﻠﻨَﺎ َ ﻦ ْ ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ءَا َد َم َو ِﻣ ﱠﻤ ْ ﻦ ِﻣ َ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢﻴ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ َ ﷲ ُ ﻦ َأ ْﻧ َﻌ َﻢ ا َ ﻚ اﱠﻟﺬِﻳ َ أُوَﻟ ِﺌ ﺟﺘَﺒَ ْﻴﻨَﺎ إِذَا ْ ﻦ َه َﺪ ْﻳﻨَﺎ وَا ْ ﻞ َو ِﻣ ﱠﻤ َ ﺳﺮَاﺋِﻴ ْ ﻦ ُذرﱢﻳﱠﺔِ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ ْ ح َو ِﻣ ٍ َﻣ َﻊ ﻧُﻮ َ ﺠﺪًا ﺳﱠ ُ ﺧﺮﱡوا َ ﻦ ِ ﺣ َﻤ ْ ت اﻟ ﱠﺮ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ءَاﻳَﺎ َ ُﺗ ْﺘﻠَﻰ
و ُﺑﻜِﻴًّﺎ “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS.Maryam/19:58) Selain itu, Allah juga menggambarkan dalam dua tempat di al-Qur’an tentang tangisan Ahli Kitab ketika mereka mendengar lantunan kalam Ilahi yang penuh hikmah dan kebenaran, yaitu dalam surat al-Mâ’idah ayat 83 dan surat alIsrâ ayat 105-109.235
ﻦ اﻟ ﱠﺪ ْﻣ ِﻊ َ ﺾ ِﻣ ُ ﻋ ُﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﺗ ِﻔ ْﻴ ْ ل َﺗ َﺮى َا ِ ﺳ ْﻮ ُ ل ِاَﻟﻰ اﻟ ﱠﺮ َ ﺳ ِﻤ ُﻌ ْﻮا َﻣﺎُا ْﻧ ِﺰ َ َوِا َذا َ ﺸﺎ ِه ِﺪ ْﻳ ن َر ﱠﺑ َﻨﺎ ا َﻣ ﱠﻨﺎ َﻓﺎ ْآ ُﺘ ْﺒ َﻨﺎ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ َ ﻖ َﻳ ُﻘ ْﻮُﻟ ْﻮ ﺤﱢ َ ﻦ ا ْﻟ َ ﻋ َﺮ ُﻓ ْﻮا ِﻣ َ ِﻣ ﱠﻤﺎ
ﻦ 235
Penjelasan tentang ayat ini telah dipaparkan secara panjang lebar pada Bab II dalam pembahasan “Menangis dalam Perspektif al-Qur’an”.
170
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) (QS.al-Mâidah/5:83)
و َﻧﺬِﻳﺮًا َ
ﻻ ُﻣﺒَﺸﱢﺮًا ك ِإ ﱠ َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ ل َوﻣَﺎ َأ ْر َ ﻖ َﻧ َﺰ ﺤﱢ َ ﻖ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َوﺑِﺎ ْﻟ ﺤﱢ َ َوﺑِﺎ ْﻟ ً ﺚ َو َﻧ ﱠﺰ ْﻟﻨَﺎ ُﻩ َﺗ ْﻨﺰِﻳ ٍ ﻋﻠَﻰ ُﻣ ْﻜ َ س ِ َو ُﻗ ْﺮءَاﻧًﺎ َﻓ َﺮ ْﻗﻨَﺎ ُﻩ ِﻟ َﺘ ْﻘ َﺮَأ ُﻩ ﻋَﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺎ ﻞ ْ ﻼ ُﻗ َ ن اﱠﻟﺬِﻳ ﻻ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ِإ ﱠ َ ءَاﻣِﻨُﻮا ِﺑ ِﻪ َأ ْو ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ ِإذَا ُﻳ ْﺘﻠَﻰ ْ ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ِﻣ
ﻋ ُﺪ َر ﱢﺑﻨَﺎ ْ ن َو َ ن آَﺎ ْ ن َر ﱢﺑﻨَﺎ ِإ َ ﺳ ْﺒﺤَﺎ ُ ن َ ﺠﺪًا َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ﺳﱠ ُ ن ِ ﻸ ْذﻗَﺎ َ ن ِﻟ َ ﺨﺮﱡو ِ َﻳ
ﺧﺸُﻮﻋًﺎ ُ ن َو َﻳﺰِﻳ ُﺪ ُه ْﻢ َ ن َﻳ ْﺒﻜُﻮ ِ ﻸ ْذﻗَﺎ َ ن ِﻟ َ ﺨﺮﱡو ِ ﻟَﻤَ ْﻔﻌُﻮﻻً َو َﻳ
Dan Kami turunkan (al-Qur’an) itu dengan sebenar-benarnya dan alQur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi".Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (QS.al-Isrâ/17:105-109) Firman-firman Allah di atas, sesungguhnya menjelaskan kepada umat manusia betapa al-Qur’an memiliki dayat tarik luar biasa bagi pembaca dan pendengarnya. Al-Qur’an laksana “sihir” yang mampu mengguncangkan jiwa orang-orang yang bersentuhan dengannya. Sehingga buat mereka yang mendapatkan hidayah pencerahan dari Ilahi, maka mereka akan mengikuti apa yang diinginkan oleh ayat tersebut. Kondisi seperti ini sangat disadari
oleh orang-orang kafir sehingga
mereka melarang teman-teman mereka untuk mendengarkan al-Qur’an karena khawatir akan terkena “sihir al-Qur’an”. Allah berfirman:
171
ن وَا ْﻟﻐَﻮْا ﻓِﻴ ِﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ِ ﺴ َﻤﻌُﻮا ِﻟ َﻬﺬَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا ْ ﻻ َﺗ َ ﻦ َآ َﻔﺮُوا َ ل اﱠﻟﺬِﻳ َ َوﻗَﺎ َ َﺗ ْﻐِﻠﺒُﻮ
ن Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka). (QS. Fussilat/41:26) Berbeda dengan orang-orang kafir, orang-orang yang bersih hatinya akan selalu memendam kerinduan untuk membaca dan mendengarkan al-Qur’an, baik dalam salat ataupun di luar salat. Pada bab tiga telah disebutkan tangisan-tangisan yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Salah satu di antaranya adalah saat beliau mendengarkan al-Qur’an atau saat beliau membacanya dalam salat. Selain beliau, dalam perjalanan sejarah ditemukan banyak riwayat yang mengisahkan deraian air mata orang-orang salih saat mereka
membaca atau
mendengarkan al-Qur’an. Berikut ini adalah beberapa orang di antara mereka: a. Abû Bakr al-Siddîq r.a. Abû Bakr al-Siddîq adalah sahabat sekaligus mertua Rasulullah saw. yang paling utama dan dijamin masuk surga. Beliau dikenal sebagai orang yang mudah menitikkan air mata saat membaca al-Qur’an, baik di dalam salat ataupun di luar salat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadis berikut ini:
ل ِ ﺷ َﺘ ﱠﺪ ِﺑ َﺮﺳُﻮ ْ ل ﻟَﻤﱠﺎ ا َ ﻦ َأﺑِﻴ ِﻪ ﻗَﺎ ْﻋ َ ﺧ َﺒ َﺮ ُﻩ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠﻪِ َأﻧﱠ ُﻪ َأ َ ﻦ ِ ﺣ ْﻤ َﺰ َة ْﺑ َ ﻦ ْﻋ َ ل ُﻣﺮُوا َ ﻼ ِة َﻓﻘَﺎ َﺼ ﻞ َﻟ ُﻪ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ َ ﺟ ُﻌ ُﻪ ﻗِﻴ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ اﻟﱠﻠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﻖ إِذَا ٌ ﻞ رَﻗِﻴ ٌﺟ ُ َن َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ر ﺸ ُﺔ ِإ ﱠ َ ﺖ ﻋَﺎ ِﺋ ْ س ﻗَﺎَﻟ ِ ﻞ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎ ﺼﱢ َ َأﺑَﺎ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َﻓ ْﻠ ُﻴ
172
ﺼﻠﱢﻲ َ ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ َ ﺼﻠﱢﻲ َﻓﻌَﺎ َو َد ْﺗ ُﻪ ﻗَﺎ َ ل ُﻣﺮُو ُﻩ َﻓ ُﻴ َ ﻏَﻠ َﺒ ُﻪ ا ْﻟ ُﺒﻜَﺎ ُء ﻗَﺎ َ َﻗ َﺮَأ 236 ﻒ َ ﺳ ُ ﺐ ﻳُﻮ ُ ﺣ ِ ﺻﻮَا َ إِﻧﱠ ُﻜﻦﱠ Dari Hamzah bin ‘Abdullâh, sesungguhnya ia mengkhabarkan dari ayahnya, ia berkata: Ketika Nabi menderita sakit (yang menghantarkannya kepada kematian), dikatakan kepada beliau (untuk menjadi imam) dalam shalat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah Abû Bakar agar shalat (dan menjadi imam) bersama yang lain!” ‘Aisyah berkata: “Sesungguhnya Abû Bakar adalah seorang yang lembut (mudah sedih). Jika ia membaca al-Qur’an, niscaya selalu menangis.” Beliau bersabda kembali: “Perintahkanlah ia (Abu Bakar) untuk (memimpin) shalat!” Aisyahpun mengulangi perkataannya. Nabi bersabda lagi: “Perintahkanlah ia (Abû Bakar) untuk (memimpin) shalat. Sesungguhnya kalian (para wanita) bagaikan orang-orang yang hidup pada masa nabi Yûsuf.” (H.R. al-Bukhârî) Itulah Abû Bakr al-Siddîq, sahabat Rasulullah yang mudah bersedih, berhati lembut, banyak mencucurkan air mata, yang seandainya ditimbang dengan umat ini, niscaya dia akan memenanginya. Dia merupakan orang yang paling mulia sepeninggal Nabi Muhammad saw. dan juga para nabi. Dia orang yang banyak memiliki kelebihan dan keutamaan yang sangat populer. Tentang dirinya, Allah pernah berfirman:
ﻦ ِ ﻲ ا ْﺛ َﻨ ْﻴ َ ﻦ َآ َﻔ ُﺮ ْوا َﺛﺎ ِﻧ َ ﺟ ُﻪ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ َ ﺧ َﺮ ْ ﷲ ِا ْذ َا ُ ﺼ َﺮ ُﻩ ا َ ﺼ ُﺮ ْو ُﻩ َﻓ َﻘ ْﺪ َﻧ ُ ﻻ َﺗ ْﻨ ِا ﱠ ﷲ ُ لا َ ﷲ َﻣ َﻌ َﻨﺎ َﻓ َﺎ ْﻧ َﺰ َ نا ن ِا ﱠ ْ ﺤ َﺰ ْ ﻻ َﺗ َ ﺣ ِﺒ ِﻪ ِ ﺼﺎ َ ل ِﻟ ُ ِا ْذ ُه َﻤﺎ ِﻓﻲ ا ْﻟ َﻐﺎ ِر ِا ْذ َﻳ ُﻘ ْﻮ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َوَا ﱠﻳ َﺪ ُﻩ ِﺑ َ ﺳ ِﻜ ْﻴ َﻨ َﺘ ُﻪ َ ﻦ َآ َﻔ ُﺮوا َ ﻞ َآِﻠ َﻤ َﺔ اﱠﻟ ِﺬ ْﻳ َ ﺟ َﻌ َ ﺠ ُﻨ ْﻮ ٍد ﻟ ﱠﻢ ْ َﺗ َﺮ ْو َهﺎ َو ِﺣ َ ﻋ ِﺰ ْﻳ ٌﺰ َ ُ ﻲ ا ْﻟ ُﻌ ْﻠ َﻴﺎ َواﷲ َ ﷲ ِه ِ ﺴ ْﻔَﻠﻰ َو َآِﻠ َﻤ ُﺔ ا اﻟ ﱡ
ﻜ ْﻴ ٌﻢ Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan 236
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Adzân Bâb Ahl al-‘Ilm wa al-Fadl Ahaqq bi al-Imâmah, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 165 & 166; Bâb Man Asma’ al-Nâs Takbîr al-Imâm, h. 174; Bâb Idzâ Bakâ al-Imâm fî al-Salâh, h. 176; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ Bâb Mâ Jâ’a fî Salâh Rasûlillâh saw. fî Maradih, no. Hadis 1232, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.), h. 389
173
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orangorang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah/9:40) Dalam riwayat yang lain disebutkan:
ج َ ﺸ َﺔ َز ْو َ ن ﻋَﺎ ِﺋ ﻦ اﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ِﺮ َأ ﱠ ُ ﻋ ْﺮ َو ُة ْﺑ ُ ﺧ َﺒ َﺮﻧِﻲ ْ ل َأ َ ب ﻗَﺎ ٍ ﺷﻬَﺎ ِ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ن ِ ﻻ َو ُهﻤَﺎ َﻳﺪِﻳﻨَﺎ ي ِإ ﱠ ﻞ َأ َﺑ َﻮ ﱠ ْ ﻋ ِﻘ ْ ﺖ َﻟ ْﻢ َأ ْ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎَﻟ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ِل اﻟﱠﻠﻪ ُ ﻻ َﻳ ْﺄﺗِﻴﻨَﺎ ﻓِﻴ ِﻪ َرﺳُﻮ ﻦ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ُﻤﺮﱠ ﻋَﻠَ ْﻴﻨَﺎ ﻳَ ْﻮ ٌم ِإ ﱠ َ اﻟﺪﱢﻳ ﻷﺑِﻲ َﺑ ْﻜ ٍﺮ ﻓَﺎ ْﺑ َﺘﻨَﻰ َ ﺸ ﱠﻴ ًﺔ ُﺛﻢﱠ َﺑﺪَا ِﻋ َ ﻲ اﻟ ﱠﻨﻬَﺎ ِر ُﺑ ْﻜ َﺮ ًة َو ْ ﻃ َﺮ َﻓ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﻒ ُ ن َﻓ َﻴ ِﻘ َ ﺼﻠﱢﻲ ﻓِﻴ ِﻪ َو َﻳ ْﻘ َﺮُأ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ َ ن ُﻳ َ ﺠﺪًا ِﺑ ِﻔﻨَﺎ ِء دَا ِر ِﻩ َﻓﻜَﺎ ِﺴ ْ َﻣ ن أَﺑُﻮ َ ﻈﺮُونَ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َوآَﺎ ُ ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ وَﻳَ ْﻨ َ ﺠﺒُﻮ َ ﻦ َوَأ ْﺑﻨَﺎ ُؤ ُه ْﻢ َﻳ ْﻌ َ ﺸ ِﺮآِﻴ ْ ِﻧﺴَﺎ ُء ا ْﻟ ُﻤ ﻚ َ ع َذِﻟ َ ن َﻓَﺄ ْﻓ َﺰ َ ﻋ ْﻴ َﻨ ْﻴ ِﻪ إِذَا َﻗ َﺮَأ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ َ ﻚ ُ ﻻ َﻳ ْﻤِﻠ َ ﻼ َﺑﻜﱠﺎ ًء ًﺟ ُ َﺑ ْﻜ ٍﺮ َر ﻦ َ ﺸ ِﺮآِﻴ ْ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْ ﺶ ِﻣ ٍ ف ُﻗ َﺮ ْﻳ َ ﺷﺮَا ْ َأ Dari Ibn Syihâb ia berkata: ‘Urwah ibn Zubair mengabarkan kepadaku bahwa ‘Aisyah istri Nabi saw. berkata: “Aku tidak berpikir tentang kedua orang tuaku selain bahwa keduanya menganut agama (Islam). Tidak pernah kami melewati suatu hari melainkan Rasulullah selalu mendatangi kami setiap pagi dan petang. Lalu Abû Bakar memiliki sebuah pemikiran, maka dibangunlah sebuah masjid di halaman rumahnya. Ia biasa salat di dalamnya dan membaca al-Qur’an, sementara perempuan-perempuan musyrikin dan anak-anaknya berdiri dan merasa takjub dengan perilaku Abû Bakar. Mereka senantiasa memperhatikannya. Abû Bakar adalah seorang lelaki yang senantiasa menangis dan tidak kuasa menahan air matanya ketika membaca alQur’an. Keadaan ini mengagetkan tokoh-tokoh Quraisya dari kalangan orangorang musyrik.” (H.R. al-Bukhârî)237 b. ‘Umar ibn al-Khattâb r.a. Dia adalah orang yang mempunyai kedudukan terhormat, kokoh, perkasa dan kuat dalam pendirian. Disebutkan dalam biografinya, bahwa beliau suka menangis sehingga ada bekas menghitam di kedua pipinya.
237
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1 Kitâb al-Salâh Bâb al-Masjid Yakûnu fî al-Tarîq min Ghair Darar bi al-Nâs, h. 122; Juz 3 kitâb al-Kafâlah Bâb Jiwâr Abû Bakr fî ‘Ahd al-Nabi saw. wa ‘Aqdih, h. 58-59; Juz 4 Kitâb al-Manâqib Bâb Hijrah al-Nabi saw. ilâ al-Madînah wa Ashâbih, h. 254-258
174
Disebutkan bahwa beliau pernah salat bersama kaum muslimin pada masa khilafahnya. Seringkali dia membaca surat Yûsuf dalam salat isya dan subuh. Setiap kali beliau membaca surat ini, maka tangisnya pasti terdengar hingga saf (barisan) yang paling belakang.238 ‘Amr bin Syu’bah meriwayatkan tentang Umar r.a. bahwa pada suatu malam dia mengunjungi Abû Dardâ. Tatkala keduanya sudah duduk berdampingan, Abû dardâ berkata: “Wahai ‘Umar, apakah engkau masih ingat sebuah hadis yang disampaikan Rasulullah saw. kepada kita, ‘Hendaklah bekal salah seorang
di antara kamu di dunia
ini seperti bekal seorang
musafir.’ ‘Umar berkata: “Benar”. Abû Dardâ berkata: “Wahai saudaraku, lalu apa yang kita lakukan sepeninggal Rasulullah?” Dan akhirnya keduanya tetap dalam keadaan menangis hingga fajar menyingsing keesokan harinya.239 Pernah suatu ketika beliau mendengar firman Allah “Inna ‘adzâba rabbik lawâqi’” (Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi), ia jatuh sakit hingga dikunjungi oleh sahabatnya yang tidak mengetahui kenapa ia sakit.240 c. Ubay ibn Ka’ab Dalam riwayat yang sahih disebutkan:
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﻲ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ ِ ﺲ ْﺑ ِ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ ﻦ َآ َﻔﺮُوا َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ ْ ﻚ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﻜ َ ﻋَﻠ ْﻴ َ ن َأ ْﻗ َﺮَأ ْ ن اﻟﱠﻠﻪَ َأ َﻣ َﺮﻧِﻲ َأ ﻲ ِإ ﱠ ﻷ َﺑ ﱟ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َ َو ل َﻧ َﻌ ْﻢ َﻓ َﺒ َﻜﻰ َ ﺳﻤﱠﺎﻧِﻲ ﻗَﺎ َ ل َو َ ب ﻗَﺎ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ِﻣ 238
‘Abd al-Rahmân al-Sinjari et.al., Menangis karena takut pada Allah, Penerjemah Farid Ma’ruf dan katur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 76; Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat Menangis, Penerjemah M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005), h. 54 239 Ibid 240 M. lili Nur Aulia, Kubisikkan untukmu, (Jakarta: Tarbawi Press, 2007), h. 25
175
Dari Anas ibn Mâlik r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda kepada Ubay: “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu surat lam yakun al-ladzîna kafarû” ubay bertanya: “Apakah Allah menyebut namaku?”Beliau menjawab: “Ya”. Maka, Ubaypun menangis.” (H.R. alBukhari, Muslim, dan al-Tirmidzî)241 Menurut Ibn ‘Allân, penyebab tangisnya Ubay ibn ka’ab adalah boleh jadi karena dia merasa gembira dan senang dengan penyebutan itu. Atau karena khusyu dan takut karena merasa kurang bersykur atas segala nikmat. Atau karena merasa dirinya terlalu hina, takut, sekaligus heran.242 Begitulah memang keadaan orang-orang salih yang senantiasa menjalani hari-harinya dengan kekhusyuan dan keterikatan yang mendalam dengan Sang Khalik. Antara sikap optimis (raja) dan pesimis (khauf) berpadu menjadi satu sehingga melahirkan motivasi
dalam meningkatkan kualitas ibadah
mereka. d. Sa’id ibn Jubair Sa’îd ibn Jubair al-Tâ’i pernah berkata: “Aku pernah mendengar Sa’id ibn Jubair mengimami mereka pada bulan Ramadhan, di mana dia mengulang ayat-ayat ini:
ن ِإ ِذ َ ف َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ َ ﺴ ْﻮ َ ﺳَﻠﻨَﺎ َﻓ ُ ﺳ ْﻠﻨَﺎ ِﺑ ِﻪ ُر َ ب وَﺑِﻤَﺎ َأ ْر ِ ﻦ َآ ﱠﺬﺑُﻮا ﺑِﺎ ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺤﺒُﻮ َﺴ ْ ﻞ ُﻳ ُﺳ ِ َﺴﻼ ﻋﻨَﺎ ِﻗ ِﻬ ْﻢ وَاﻟ ﱠ ْ ل ﻓِﻲ َأ ُ ﻏﻠَﺎ ْﻷ َا ﺤﻤِﻴ ِﻢ ُﺛﻢﱠ ﻓِﻲ َ ن ﻓِﻲ ا ْﻟ َ ﺠﺮُو َﺴ ْ اﻟﻨﱠﺎ ِر ُﻳ
ن 241
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb Manâqib al-Ansâr Bâb Manâqib Ubay ibn Ka’ab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 228; Juz 6 Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h. 90; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah alQur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâq fîh, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 320; Juz 2 Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah Bâb min Fadâ’il Ubay ibn Ka’ab, h. 383; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib Bâb Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa Ubay ibn Ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh r.a. (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h. 330 242 Ibn ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Juz 2, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 374
176
(Yaitu) orang-orang yang mendustakan Al Kitab (Al Qur'an) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api. (QS. al-Mu’min/40:70-72) al-Qâsim mengatakan: “Aku pernah melihat Sa’id ibn Jubair bangun malam dan mengerjakan salat, lalu membaca:
ﺖ َو ُه ْﻢ ْ ﺴ َﺒ َ ﺲ ﻣَﺎ َآ ٍ ن ﻓِﻴ ِﻪ ِإﻟَﻰ اﻟﱠﻠﻪِ ُﺛﻢﱠ ُﺗﻮَﻓﱠﻰ ُآﻞﱡ َﻧ ْﻔ َ ﺟﻌُﻮ َ وَا ﱠﺗﻘُﻮا َﻳ ْﻮﻣًﺎ ُﺗ ْﺮ َ ﻈَﻠﻤُﻮ ْ ﻻ ُﻳ َ
ن Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-Baqarah/2:281) Dia mengualanginya sampai lebih dari dua puluh kali. Diapun biasa menangis pada malam hari sampai matanya tampak muram.243 e. Muhammad ibn al-Munkadir Beliau termasuk pelopor qari al-Qur’an dan Hadis. Dia pasti tidak mampu menahan tangisnya setiap kali membaca sebuah Hadis Rasulullah saw. Dan jika seeorang yang menanyakan Hadis, beliaupun menangis. Pada suatu malam beliau salat sambil menangis. Keluarganya merasa gundah dengan tangisannya. Ketika mereka bertanya sebab tangisannya, justru malah membuat beliau
menangis semakin menjadi-jadi. Lalu mereka
mengirim utusan agar keadaannya itu disampaikan kepada rekannya, Abû Hâzim Salamah ibn Dînâr. Tak lama kemudian Abû Hâzim menemui Muhammad ibn al-Munkadir sambil bertanya: “Apa yang membuatmu 243
Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat Menangis, h. 542-53
177
menangis?” Ia menjawab: “Aku teringat sebuah ayat.” Lalu Abû Hâzim bertanya: “Ayat apakah itu?” Muhammad ibn al-Munkadir menjawab: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum mereka perkirakan.” Setelah itu, justru keduanya menangis dengan tangisan yang menghiba. Dan setiap kali Abû Hâzim menjenguk Muhammad ibn al-Munkadir, dia membaca ayat ini, dan keduanyapun menangis.244 f. ‘Abdullâh ibn Rawâhah r.a. Beliau adalah orang yang selalu berpikir setiap turun ayat al-Qur’an dan sabar setiap menerima bendera perang. Dia mati syahid di al-Balqa pada waktu perang Mu’tah antara kaum muslimin dengan pasukan Romawi. Dari ‘Urwah ibn Zubair berkata: “Tatkala Ibn Rawâhah hendak berangkat ke Mu’tah yang terletak di Syam, maka orang-orang muslim menemuinya danmengucapkan selamat tinggal. Diapun menangis. Lalu mereka bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab: “Demi Allah, di dalam diriku tidak terbersit kecintaan kepada dunia dan kerinduan kepadamu sekalian. Tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw. membaca ayat ini ‘ dan tidak ada seorangpun darimu, melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketetapan yang sudah pasti.” Lalu kukatakan: “Sesungguhnya aku juga akan mendatangi neraka dan aku tidak tahu bagaimana caranya berbalik lagi.
244
‘Abd al-Rahmân al-Sinjari et.al., Menangis karena takut pada Allah, h. 89-90
178
Tatkala pasukan muslimin sudah bersiap-siap ke Mu’tah, ‘Urwah ibn Zubair berkata: “Semoga Allah menyertaimu dan melindungimu.”245 g. ‘Abdullâh ibn ‘Umar Seorang mantan budak Ibn ‘Umar, yaitu Nâfi’pernah berkata: ”Setiap kali Ibn ‘Umar membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, maka dia menangis. Lalu Ibn ‘Umar berkata; “Sesungguhnya perhitungan itu amat keras.” Al-Hafiz Ibn Hajar berkata: telah diriwayatkan darinya dengan sanad yang sahih bahwa setiap kali Ibn ‘Umar r.a. membaca firman Allah “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka
mengingat Allah.” tentu dia
menangis dan tidak mampu untuk
menahan air matanya.246 Menangis karena takut kepada Allah ini tidak hanya merupakan sifat sebagian sahabat, namun semua sahabat memiliki sifat ini. Hal ini terjadi karena mereka memang betul-betul memasrahkan diri mereka kepada Allah. Secara total mereka mematuhi apapun yang diperintahkan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, tempaan dan binaan yang mereka terima dari Rasulullah saw. mampu menembus kalbu dan jiwa mereka yang pada akhirnya melahirkan keimanan dan keyakinan yang luiar biasa. Besarnya keimanan mereka kepada Allah inilah yang berimplikasi kepada ketakutan mereka mendapatkan azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk melepaskan dan membebaskan
245 246
Ibid, h. 78-79 Ibid, h. 82
179
diri dari azab Allah, mau tidak mau mereka harus melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. h. Fuzail ibn ‘Iyadh Beliau lahir di Khurasan. Pada masa remajanya beliau adalah seorang penyamun. Setelah bertaubat Fuzail pergi ke Kufah, dan kemudian ke Mekah hingga wafat pada tahun 187 H./803 M. Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya,
lewatlah
sebuah kafilah. Di antara mereka ada yang sedang membaca ayat al-Qur’an: “Belumkah datang waktunya
bagi orang-orang yang beriman untuk
menundukkan hati mereka mengingat Allah.” Ayat ini bagaikan anak panah yang menmbus jantung Fuzail, seolah-olah ada sebuah tantangan yang berseru: “Wahai Fuzail, berapa lama lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu” Fuzail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hamper terlambat.” Fuzail merasa bingung dan malu. Ia berlari kea rah sebuah puing. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: ”Marilah kita melanjutkan perjalanan.” Tetapi salah seorang di antara mereka berkata: “Tidak mungkin, Fuzail sedang menghadang dan menanti kita.” Mendengar pembicaraan mereka, Fuzail berseru: “Berita gembira! Fuzail telah bertobat.”
180
Setelah itu, iapun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang membencinya . kepada setiap sahabat yang ditemuinya, ia meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan.247 i. Ja’far ibn Hirb Ja’far ibn Harb (w.236 H.) adalah seorang aparat kesultanan dengan pendapatan yang tinggi hampir menyamai pendapatan seorang menteri, di samping memiliki tempat tinggal yang megah dan indah. Suatu ketika dia mendengar seorang laki-laki
yang membacakan ayat: “Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang turun (kepada mereka).” (QS. Al-Hadîd:16) Mendengar ayat tersebut, Ja’far menjerit: “Ya Allah, ini memang benar!” diualanginya kata-kata tersebut sambil meneteskan air mata.lalu Ja’far turun dari kendaraannya dan menanggalkan seluruh pakaiannya, lalu berendam di sungai dajlah. Ia enggan beranjak dari sungai itu sebelum semua harta miliknya dibagikan demi menebus kezaliman yang pernah dilakukannya. Sedangkan sisanya dipergunakan untuk sedekah.pada suatu hari, lewatlah seorang lelaki yang juga telah mendengar perihal yang terjadi dengan diri
247
Farîduddîn al-Attâr, Warisan Para Awliya, Penerjemah Anas Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 65-69
181
Ja’far. Lalu lelaki itu memberikan sebuah gamis dan sarung kepadanya. Dan selanjutnya, ja’far menghabiskan sisa hidupnya untuk ilmu dan ibadah.248 j. ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs Ibn Abî Mulaikah mengatakan: “Ibn ‘Abbâs biasa bangun tengah malam lalu membaca al-Qur’an huruf demi huruf. Ketika ia membaca ayat ‘Wa jâ’at kullu nafsin ma’ahâ sâ’iqun wa syahîd’ (Dan datanglah tiap-tiap diri bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi – QS.Qâf/50:21) Lalu, beliaupun menangis sampai terdengar tangisannya.249 Demikianlah tetesan air mata yang keluar dari kelopak mata orang-orang salih yang pernah hidup di atas bumi Allah. Tangisan-tangisan tersebut adalah buah dari rasa takut manakala mereka membaca ayat-ayat suci al-Qur’an yang menjelaskan peringatan atau azab Allah. Meski mereka diakui sebagai generasi terbaik umat Islam dengan segudang kebajikan yang telah mereka persembahkan di hadapan Allah, namun rasa takut (khauf) akan mendapatkan azab Allah baik di dunia ataupun di akhirat tetap terpatri dalam kalbu mereka. Mereka belum merasa aman dan tenang, sebelum diri mereka benar-benar terbebas dari murka Allah dan api neraka. Menangis, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh ‘Abd al-Qâdir Jailani, adalah ibadah dan merupakan
248
Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 214-215 249 Khumais al-Sa’id, Menangislah sebagaimana Rasulullah saw. dan Para sahabat Menangis, h. 54
182
puncak ibadah.250 Sehingga menurut Abû ‘Abdurrahman, menangis adalah di antara akhlak para nabi dan para pengikutnya. Tangisan yang terjadi pada diri orang-orang salih bukanlah sebuah aktivitas yang terhenti pada tetesan air mata yang jatuh di atas pipi mereka. Namun, tangisan mereka mampu mempengaruhi kuatnya keinginan untuk memperbaiki kualitas hidup dan bertaqarrub kepada Allah swt. Oleh karena itu, dapatlah dinyatakan bahwa tangisan yang benar dapat menghantarkan pelakunya kepada kebaikan. Tentang tradisi menangis di kalangan para sahabat Rasulullah saw., Imam ‘Ali k.w. berkata: “ Demi Allah, telah kulihat para sahabat Rasulullah saw. Pada saat ini tidak kulihat sesuatu yang menyerupai mereka. Mereka adalah orang-orang yang kusut dan berdebu. Di antara mata mereka seakan-akan ada iring-iringan orang yang mengantar jenazah. Mereka senantiasa sujud dan berdiri kepada Allah, membata Kitabullah, pergi dengan berjalan kaki dan juga mengingat Allah. Mereka tampak seperti pohon yang condong dan bergoyang-goyang pada saat
angina berhembus kencang. Mereka selalu
menangis hingga kain mereka basah. Demi Allah, sepertinya orang-orang saat ini sudah lalai.”251 2. Beriman kepada Allah dan hari akhir Iman adalah unsur asasi manusia yang harus dimiliki oleh seorang muslim dalam beramal. Tanpa iman, sebuah amal yang terlihat “salih” dalam pandangan
250
Syaikh ‘Abd al-Qâdir Jailani, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 117 251 Ibn Qudâmah al-Maqdisi, Mereka yang Kembali, h. 401
183
manusia menjadi sia-sia belaka tanpa makna di hadapan Allah. Sekian banyak ayat al-Qur’an menyebutkan secara bersamaan antara iman dan amal saleh. Lihat dalam ayat berikut ini:
ﷲ ِ ﻦ ﺑِﺎ َ ﻦ ءَا َﻣ ْ ﻦ َﻣ َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا وَاﱠﻟﺬِﻳﻦَ هَﺎدُوا وَاﻟﱠﻨﺼَﺎرَى وَاﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺌِﻴ َ ن اﱠﻟﺬِﻳ ِإ ﱠ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ ف ٌ ﻻ ﺧَ ْﻮ َ ﻋ ْﻨ َﺪ َرﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َو ِ ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ ْ ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﻓَﻠ ُﻬ ْﻢ َأ َ ﻋ ِﻤ َ ﺧ ِﺮ َو ِ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻷ َ ﺤ َﺰﻧُﻮ ْ ﻻ ُه ْﻢ َﻳ َ َو
ن Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir, serta beramal saleh,mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS.al-Baqarah/2:62) Lihat pula ayat-ayat berikut ini:QS.al-Baqarah/2:82 & 277; QS.’Ali Imrân/3:57; dan QS.al-‘Ankabût/29:9. Iman dan amal salih laksana dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Berapapun banyaknya kebajikan yang dilakukan seseorang, jika tidak dilandasi oleh keimanan, ia hanya laksana fatamorgana. Allah menegaskan
dalam al-
Qur’an:
ﺢ ﻓِﻲ َﻳ ْﻮ ٍم ُ ت ِﺑ ِﻪ اﻟﺮﱢﻳ ْ ﺷ َﺘ ﱠﺪ ْ ﻋﻤَﺎُﻟ ُﻬ ْﻢ َآ َﺮﻣَﺎ ٍد ا ْ ﻦ َآ َﻔﺮُوا ِﺑ َﺮ ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َأ َ ﻞ اﱠﻟﺬِﻳ ُ َﻣ َﺜ ل ا ْﻟ َﺒﻌِﻴ ُﺪ ُﻼ َﻀ ﻚ ُه َﻮ اﻟ ﱠ َ ﻲ ٍء َذِﻟ ْ ﺷ َ ﺴﺒُﻮا ﻋَﻠَﻰ َ ن ِﻣﻤﱠﺎ َآ َ ﻻ َﻳ ْﻘ ِﺪرُو َ ﻒ ٍ ﺻ ِ ﻋَﺎ
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.(QS.Ibrâhîm/14:18) Lihat juga dalam QS.al-Nûr/24:39. Ketika seseorang beramal dengan landasan keimanan, maka itu artinya ia mengikhlaskan (memurnikan) amalnya semata-mata hanya karena Allah, bukan karena yang lain. Ia hanya mengharapkan ridha Allah dan ganjaran pahala dari184
Nya. Ia sama sekali tidak mengharapkan balasan, pujian, atau sekedar ucapan terima kasih dari manusia (QS. al-Insân/76:9). Imam Abû al-Qâsim al-Qusyairî (w.465 H.), sebagaimana dikutip oleh Imam al-Nawawî (w.675 H.), menjelaskan bahwa ikhlas adalah menunggalkan Zat Allah Yang Mahahaq dalam ketaatan atau kepatuhan, yaitu ketaataannya ditujukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena yang lain (berbuat karena seseorang, ingin dipuji, dan lain-lain).252 3. Mentaati Allah dan Rasul-Nya Mentaati Allah dan Rasul-Nya merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang beriman. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Nisî/4:59 berikut ini:
ﻷ ْﻣ ِﺮ َ ل وَأُوﻟِﻲ ا َ ﷲ َوَأﻃِﻴﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا ا َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ْ ل ِإ ِ ﷲ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ ِ ﻲ ٍء َﻓ ُﺮدﱡو ُﻩ إِﻟَﻰ ا ْ ﺷ َ ﻋ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ ْ ن َﺗﻨَﺎ َز ْ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈ ً ﻦ َﺗ ْﺄوِﻳ ُﺴ َﺣ ْ ﻚ ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َوَأ َ ﺧ ِﺮ َذِﻟ ِ ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻷ َ ن ﺑِﺎ َ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ
ﻼ Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisâ/4:59) Ayat di atas disampaikan dengan redaksi perintah (amr). Dalam kaidah ushul fiqh, bentuk perintah (sighat amr) menunjukkan hukum wajib. Oleh karena itu,
tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, baik secara naqli (teks
agama) ataupun secara aqli (logika) merupakan sesuatu yang tak terbantahkan. Kepatuhan setulus hati, kesediaan, dan kerelaan menjalankan perintah, sesungguhnya merupakan buah dari keimanan yang mantap. Atau dengan
252
al-Nawawî, Al-Adzkâr, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t), h. 7
185
ungkapan lain, keimanan yang sejati mensyaratkan adanya kepatuhan. Tentang hal ini Allah menegaskan dalam beberapa ayat berikut ini:253
ﺠﺪُوا ِ ﻻ َﻳ َ ﺠ َﺮ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ُﺛﻢﱠ َﺷ َ ك ﻓِﻴﻤَﺎ َ ﺤ ﱢﻜﻤُﻮ َ ﺣﺘﱠﻰ ُﻳ َ ن َ ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ ﻚ َ ﻼ َو َر ﱢﺑ َ َﻓ ْ ﺴﻠﱢﻤُﻮا َﺗ َ ﺖ َو ُﻳ َ ﻀ ْﻴ َ ﺣ َﺮﺟًﺎ ﻣِﻤﱠﺎ َﻗ َ ﺴ ِﻬ ْﻢ ِ ﻓِﻲ َأ ْﻧ ُﻔ
ﺴﻠِﻴﻤًﺎ Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. al-Nisâ/4:65)
ن ْ ﺤ ُﻜ َﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َأ ْ ﷲ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ ِﻟ َﻴ ِ ل ا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﻴﻦَ إِذَا ُدﻋُﻮا ِإﻟَﻰ ا َ ن َﻗ ْﻮ َ إِﻧﱠﻤَﺎ آَﺎ َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ َ ﻃ ْﻌﻨَﺎ َوأُوَﻟ ِﺌ َ ﺳ ِﻤ ْﻌﻨَﺎ َوَأ َ َﻳﻘُﻮﻟُﻮا
ن Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (QS.al-Nûr/24:51)
ن َ ن َﻳﻜُﻮ ْ ﷲ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ أَ ْﻣﺮًا َأ ُ ﻻ ُﻣ ْﺆ ِﻣ َﻨ ٍﺔ إِذَا َﻗﻀَﻰ ا َ ﻦ َو ٍ ن ِﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ َ وَﻣَﺎ آَﺎ ﻻ ًﻼ َﺿ َ ﻞ ﺿﱠ َ ﷲ َو َرﺳُﻮَﻟ ُﻪ َﻓ َﻘ ْﺪ َ ﺺا ِ ﻦ َﻳ ْﻌ ْ ﻦ َأ ْﻣ ِﺮ ِه ْﻢ َو َﻣ ْ ﺨ َﻴ َﺮ ُة ِﻣ ِ َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ ُ
ﻣﺒِﻴﻨًﺎ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzâb/33:36) Itulah sebabnya, seorang yang salih akan selalu menunjukkan sikap tunduk dan patuh kepada seluruh titah Allah dan Rasul-Nya. (QS.al-Baqarah/2:130-131dan QS.al-Nisâ/4:69) 4. Mengerjakan Berbagai Kebajikan atau Amal Salih Sâlihîn adalah orang-orang yang mengerjakan amal salih. Oleh karena itu, secara etimologi dengan mudah dapat dipahami bahwa kesalehan atau 253
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Penerjemah Jazirotul Islmiyah (Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003), Cet. VII, h. 29-30
186
berbagai kebajikan telah menyatu dengan kepribadian orang-orang saleh. Tentang hal ini Allah menyatakan:
ﻞ َو ُه ْﻢ ِ ﷲ ءَاﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ ِ تا ِ ن ءَاﻳَﺎ َ ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ﺳﻮَا ًء ِﻣ َ َﻟ ْﻴﺴُﻮا ﻦ ِﻋ َ ن َ ن ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوفِ َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ َ ﺧ ِﺮ َو َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو ِ ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻵ ِ ن ﺑِﺎ َ ن ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ ﺠﺪُو ُﺴ ْ َﻳ ﻦ ْ ﻦ وَﻣَﺎ َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ َ ﻚ ِﻣ َ ن ﻓِﻲ ا ْﻟﺨَ ْﻴﺮَاتِ َوأُوَﻟ ِﺌ َ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ
ﻦ َ ﷲ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ ُ ﻦ ُﻳ ْﻜ َﻔﺮُو ُﻩ وَا ْ ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓَﻠ َ Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. ‘Ali Imrân/3:113-115) Lihat juga dalam QS. al-Anbiyâ/21:72-74; QS.al-Naml/27:19; QS.alAnkabût/29:9. Amal salih yang dikerjakan para salihin, tentunya memenuhi dua sisi. Sisi pertama adalah wujud amal. Dalam hal ini orang dapat memberikan penilaian sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya. Penilaian baik diberikan ketika kenyataan yang dilihatnya itu menghasilkan manfaat dan menolak mudharat. Sedangkan sisi yang kedua adalah motif yang melandasi pekerjaan. Tentang hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
ﻋ ْﻨ ُﻪ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻦ ا ْﻟﺨَﻄﱠﺎبِ َر ِ ﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ ُ ﺺ ٍ ﺣ ْﻔ َ ﻲ ْ ﻦ َأ ِﺑ َ ﻦ َأ ِﻣ ْﻴ ِﺮ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ ْﻋ َ ئ ٍ ل ﺑِﺎﻟ ﱢﻨ ﱠﻴ ِﺔ َوِإ ﱠﻧﻤَﺎ ﻻ ْﻣ ِﺮ ُ ﻋﻤَﺎ ْﻻ َ ل إِ ﱠﻧﻤَﺎ ْا ُ َﻳ ُﻘ ْﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻗَﺎ ﷲ ِ ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ إِﻟَﻰ ا ْ ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ َﻓ ِﻬ ُ ﷲ َو َر ِ ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ إِﻟَﻰ ا ْ ﺖ ِه ْ ﻦ آَﺎ َﻧ ْ ﻣَﺎ َﻧﻮَى َﻓ َﻤ
187
ﺟﻬَﺎ ُ ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ إِﻟَﻰ ِ ُد ْﻧﻴَﺎ ُﻳﺼِ ْﻴ ُﺒﻬَﺎ َأ ِو ا ْﻣ َﺮ َء ٍة ﻳَﺘَﺰَوﱠ ْ ﺖ ِه ْ ﻦ آَﺎ َﻧ ْ ﺳ ْﻮِﻟ ِﻪ َو َﻣ ُ َو َر 254 ﺟ َﺮ ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ َ ﺠ َﺮ ُﺗ ُﻪ ِإﻟَﻰ ﻣَﺎ هَﺎ ْ َﻓ ِﻬ Dari Amîril Mu’minîn Abî Hafs ‘Umar ibn al-Khattab r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya setiap pekerjaan itu ditentukan nilainya oleh niat, dan setiap orang memperoleh imbalan sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (materi) dunia yang ingin diraihnya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu (hanya) akan sampai kepada yang ditujunya” (H.R. al-Bukhârî dan Muslim) Lebih jauh dapat dikatakan bahwa nilai suatu amal bukan semata-mata dari wujud lahiriah, tetapi yang lebih penting adalah niat pelakunya.255 Di sinilah diperlukannya keikhlasan dalam beraktivitas sebagai upaya untuk menghindari diri dari sikap riya dan sum’ah. Ikhlas, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Muhâsibî dalam kitab “al-Ri’âyah” adalah berkehendak untuk ta’at dan patuh kepada Allah, tidak kepada yang lain.256 5. Menyembah Allah dan Tidak Menyekutukan-Nya Keimanan seorang hamba kepada Allah harus dibuktikan dengan pengabdian secara nyata sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tanpa pembuktian, kualitas iman seseorang menjadi diragukan. Itulah sebabnya, dalam surat al-Fatihah ayat kelima ditegaskan: 254
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Wahy Bâb Kaif Kâna Bad’i al-Wahy ilâ Rasûl al-Lâh saw., h. 2 dan kitâb al-Îmân Bâb Mâ Jâ’a inna al-A’mâl bi al-Niyyah, h. 20; Juz 4, Kitâb al-Manâqib Bâb Hijrah al-Nabî wa Ashâbih ilâ al-Madînah, h. 252; Juz 6, Kitâb al-Nikâh Bâb Man Hajara au ‘Amila Khairan li Tazwîj Mar’ah falahu Mâ Nawâ, h. 118 dan Kitâb al-Talâq fî al-Ighlâq wa al-Mukrah wa al-Sakrân wa al-Majnûn, h. 168; Juz 7, Kitâb al-Aimân wa alNudzûr Bâb al-Niyyah fî al-Aimân, h. 231; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Imârah Bâb Qaulih saw. Innamâ al-A’mâl bi al-Niyyah, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), h. 157-158; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Jihâd Bâb Mâ Jâ’a Man Yuqâtilu Riyâ’an wa li al-Dunyâ, no. Hadis 1698, h. 100; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb alTalâq Bâb fî Mâ ‘Uniya bih al-Talâq wa al-Niyyât, no. Hadis 2201, (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.)., h. 262; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Tahârah Bâb al-Niyyah fî al-Wudû, no. Hadis 75, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), Cet.I, h. 20 & Kitâb al-Talâq Bâb al-Kalâm idzâ Qusida bih fîmâ Yahtamilu Ma’nâh, no. Hadis 3434, h. 560; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb al-Niyyah, no. Hadis 4227, h. 1413; Ahmad, al-Musnad, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Juz 1, h. 25, Juz 3, h. 60 255 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, h.754 256 al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhân wa Aulâdih, tth), h.7
188
“Hanya kepada-Mu-lah kami mengabdi dan hanya kepada-Mu-lah kami mohon pertolongan.” Ayat
yang
selalu
dibaca
berulang-ulang
dalam
shalat
tersebut
sesungguhnya merupakan suatu upaya mengingatkan dan memperbaharui tauhid seorang mukmin. Dalam akidah Islam, tidak mengabdi kepada Allah dan berbuat syirik kepada-Nya dianggap sebagai dosa terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah, jika yang bersangkutan tidak bertaubat sampai ajal menjemput. Dengan begitu, dapatlah dipahami jika para shalihin mengejawantahkan tauhid rubûbiyyah ke dalam tauhid ulûhiyyah/ubûdiyyah dengan menyembah hanya kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala bentuk kesyirikan. (Lihat surat
al-Anbiyâ/21:72-72
dan
al-Ankabût/29:9
sebagaimana
yang
telah
dicantumkan pada poin ketiga!) 6. Menegakkan Salat dan Menunaikan Zakat Salat adalah kewajiban yang tidak bisa ditunda-tunda dan ditawar-tawar. Ia masuk dalam rangkaian rukun Islam urutan yang kedua setelah mengucapkan syahadatain. Salat adalah salah satu ukuran atau indikasi lahiriah kesalehan seorang hamba. Itulah sebabnya, dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw. menyatakan:
ﻦ َ ن َﺑ ْﻴ ل ِإ ﱠ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮρ ﷲ ِ ﻲا ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻳ ُﻘ ْﻮ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ٍﺮ َر ْﻋ َ 257 ﻼ ِة َﺼ ك اﻟ ﱠ ُ ك وَا ْﻟ ُﻜ ْﻔ ِﺮ َﺗ ْﺮ ِ ﺸ ْﺮ ﻦ اﻟ ﱢ َ ﻞ َو َﺑ ْﻴ ِﺟ ُ اﻟ ﱠﺮ Dari Jâbir r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya pembatas/pembeda antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan salat.” (H.R. Muslim dan al-Tirmidzî)
257
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Itlâq Ism al-Kufr ‘alâ Man Taraka al-Salâh, h. 49; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Îmân Bâb Mâ Jâ’a fî Tark al-Salâh, no. Hadis 2752, h. 125; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, (Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1939), h. 410
189
Tidak setiap orang dapat menegakkan salat dengan baik dan khusyu. Karena salat merupakan sesuatu yang amat berat kecuali bagi mereka yang khusyu (QS.2:45). Menegakkan salat yang baik adalah salah satu karakteristik orang-orang salih. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam surat alAnbiyâ ayat 72-74 berikut ini terjemahannya: Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrâhîm) Ishâq dan Ya`qûb, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang salih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, dan kepada Lût, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, (QS. al-Anbiyâ/21:7274) 7. Melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar Imam al-Ghâzalî (w.505 H.) menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu hal yang amat penting dalam beragama. Seandainya tidak ada amar ma’ruf nahi munkar, tentu misi kenabian menjadi terlantar, agama lenyap, masa fatrah (vacuum)
akan merata, kesesatan merajalela, kebodohan berkembang,
kerusakan ada di mana-mana, negara akan hancur, dan hamba-hamba akan binasa. Oleh karena itu, berdasarkan teks-teks keagamaan dan rasio sehat, amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar.258 Pengejawantahan kewajiban inilah yang menjadi salah satu kriteria umat Islam menjadi umat terbaik (khair ummah) di antara umat-umat yang lain. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imrân ayat 110 berikut ini:
258
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tth), Juz 2, h. 302-303
190
ﻦ ِﻋ َ ن َ ن ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوفِ َو َﺗ ْﻨ َﻬ ْﻮ َ س َﺗ ْﺄ ُﻣﺮُو ِ ﺖ ﻟِﻠﻨﱠﺎ ْ ﺟ َ ﺧ ِﺮ ْ ﺧ ْﻴ َﺮ ُأ ﱠﻣ ٍﺔ ُأ َ ُآ ْﻨُﺘ ْﻢ ن ﺧَ ْﻴﺮًا َﻟ ُﻬ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ُﻢ َ ب َﻟﻜَﺎ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ُ ﻦ َأ ْه َ ﷲ َوَﻟ ْﻮ ءَا َﻣ ِ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ وَُﺗ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ﺑِﺎ
ن َ ﺳﻘُﻮ ِ ن َوَأ ْآ َﺜ ُﺮ ُه ُﻢ ا ْﻟﻔَﺎ َ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS.Ali ‘Imrân/3:110) Dan sebagai kewajiban, sudah pasti hal ini akan diupayakan oleh hambahamba Allah yang salih. Perhatikanlah ayat berikut ini:
ﻞ َو ُه ْﻢ ِ ت اﻟﱠﻠ ِﻪ ءَاﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ ِ ن ءَاﻳَﺎ َ ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ﺳﻮَا ًء ِﻣ َ َﻟ ْﻴﺴُﻮا ن َ ف َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ ِ ﺧ ِﺮ وَﻳَ ْﺄ ُﻣﺮُونَ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو ِ ن ُﻳ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻵ َ ﺠﺪُو ُﺴ ْ َﻳ ﻦ َوﻣَﺎ َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ َ ﻚ ِﻣ َ ن ﻓِﻲ ا ْﻟﺨَ ْﻴﺮَاتِ َوأُوَﻟ ِﺌ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ ِﻋ َ
ﻦ َ ﻦ ُﻳ ْﻜ َﻔﺮُو ُﻩ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ ْ ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓَﻠ َ ﻦ ْ َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang salih. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imrân/3:113-115) 8. Mensyukuri Nikmat Allah Bersyukur atas segala nikmat dan anugerah Allah merupakan kewajiban setiap hamba (QS.31:12; 27:40; 14:7). Bersyukur atas segala karunia Allah mencakup tiga sisi, yaitu: bersyukur dengan hati, bersyukur dengan lisan, dan bersyukur dengan amal perbuatan.259 Bagi orang-orang saleh, bersyukur sebagaimana halnya bersabar atas segala musibah merupakan bagian yang telah menyatu dalam kehidupannya.
259
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), Cet. I,
h.217
191
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orangorang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. (QS. al-Nahl:120-124)
ﻚ اﱠﻟﺘِﻲ َ ﺷ ُﻜ َﺮ ِﻧ ْﻌ َﻤَﺘ ْ ن َأ ْ ﻋﻨِﻲ َأ ْ ِب أَ ْوز ل َر ﱢ َ ﻦ َﻗ ْﻮِﻟﻬَﺎ َوﻗَﺎ ْ ﺣﻜًﺎ ِﻣ ِ ﺴ َﻢ ﺿَﺎ َﻓَﺘَﺒ ﱠ ﺧْﻠﻨِﻲ ِ ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﺗ ْﺮﺿَﺎ ُﻩ َوَأ ْد َ ﻋ َﻤ ْ ن َأ ْ ي َوَأ ﻲ وَﻋَﻠَﻰ وَاِﻟ َﺪ ﱠ ﻋَﻠ ﱠ َ ﺖ َ َأ ْﻧ َﻌ ْﻤ َ ﻋﺒَﺎ ِد ِ ﻚ ﻓِﻲ َ ﺣ َﻤِﺘ ْ ِﺑ َﺮ
َك اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦ Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo`a: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal salih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS.al-Naml/27:19) 9. Berbakti kepada Kedua Orang Tua Sekian banyak teks keagamaan menegaskan tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, setelah sebelumnya Allah memerintahkan manusia untuk beribadah (bertauhid) hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya (Lihat QS.4:36; 17:23; dan 31:13-14). Dalam sebuah Hadis juga disebutkan:
ل َ ﷲ ﻗَﺎ ِ ﺐ إِﻟَﻰ ا ﺣ ﱡ َ ل َأ ِ ﻋﻤَﺎ ْﻷ َ ي ْا َأ ﱡρ ﻲ ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ُ ﺳَﺄ ْﻟ َ ل َ ﷲ ﻗَﺎ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ل َ ي ﻗَﺎ ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ ُ ﻦ َﻗ ْﻠ ِ ل ُﺛﻢﱠ ِﺑ ﱡﺮ ا ْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ َ ي ﻗَﺎ ﺖ ُﺛﻢﱠ َأ ﱞ ُ ﻼ ُة ﻋَﻠَﻰ َو ْﻗ ِﺘﻬَﺎ ُﻗ ْﻠ َﺼ اﻟ ﱠ 260 ﺳ َﺘ َﺰ ْد ُﺗ ُﻪ َﻟﺰَا َدﻧِﻲ ْ ﻦ َوَﻟ ْﻮ ا ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ ِﺑ ِﻬ ﱠ َ ل َ ﷲ ﻗَﺎ ِ ﺠﻬَﺎ ُد ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا ِ ا ْﻟ 260
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Fadl al-Salâh li Waqtihâ, h. 134; Juz 3, Kitâb al-Jihâd wa al-Siyar Bâb Fadl al-Jihâd wa al-Siyar, h. 200; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Kaun al-Îmân bi al-Lâh Ta’âlâ Afdal al-A’mâl, h. 50; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb Birr al-Wâlidain wa Silah al-Arhâm, h. 151; Ibnul Jauzi, Birrul Walidain, Penerjemah K.H. Mahrous Ali (Surabaya: Pustaka Progressif, 1993), Cet.I, h.1920;
192
Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Saya bertanya kepada Nabi saw.: “Perbuatan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Salat pada waktunya.” Saya bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi: “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” (Muttafaq ‘alaih) Keingkaran dan kedurhakaan kepada orang tua merupakan keingkaran dan kedurhakaan kepada Allah. Oleh karena itu, sepanjang sejarah kehidupan manusia orang-orang salih tidak akan pernah melalaikan kewajiban mulia ini. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah berikut ini:
ﺲ َ ك ﺑِﻲ ﻣَﺎ َﻟ ْﻴ َ ﺸ ِﺮ ْ ك ِﻟ ُﺘ َ ن ﺟَﺎ َهﺪَا ْ ﺴﻨًﺎ َوِإ ْﺣ ُ ن ِﺑﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ ِﻪ َ ﻹ ْﻧﺴَﺎ ِ ﺻ ْﻴﻨَﺎ ا وَوَ ﱠ
ن َ ﺟ ُﻌ ُﻜ ْﻢ ﻓَُﺄﻧَﺒﱢ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ ِ ﻲ َﻣ ْﺮ ﻄ ْﻌ ُﻬﻤَﺎ ِإَﻟ ﱠ ِ ﻼ ُﺗ َ ﻚ ِﺑ ِﻪ ﻋِ ْﻠ ٌﻢ َﻓ َ َﻟ َ ﺧَﻠ ﱠﻨ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ ِ ت َﻟ ُﻨ ْﺪ ِ ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َو َ وَاﱠﻟﺬِﻳ
ﻦ Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibubapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang salih. (QS. al-Ankabût:8-9)
ﺣﻠِﻴ ٍﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َﺑَﻠ َﻎ َ ﻼ ٍم َ ﺸ ْﺮﻧَﺎ ُﻩ ِﺑ ُﻐ ﻦ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ َﻓ َﺒ ﱠ َ ﺐ ﻟِﻲ ِﻣ ْ ب َه َر ﱢ ﻈ ْﺮ ﻣَﺎذَا ُ ﻚ ﻓَﺎ ْﻧ َﺤ ُ ل ﻳَﺎ ُﺑ َﻨﻲﱠ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﻨَﺎ ِم َأﻧﱢﻲ َأ ْذ َﺑ َ ﻲ ﻗَﺎ َ ﺴ ْﻌ َﻣ َﻌ ُﻪ اﻟ ﱠ ﻦ َ ن ﺷَﺎ َء اﻟﻠﱠ ُﻪ ِﻣ ْ ﺠ ُﺪﻧِﻲ ِإ ِ ﺳ َﺘ َ ﻞ ﻣَﺎ ُﺗ ْﺆ َﻣ ُﺮ ْ ﺖ ا ْﻓ َﻌ ِ ل ﻳَﺎَأ َﺑ َ ﺗَﺮَى ﻗَﺎ َ اﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺮِﻳ
ﻦ "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang salih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrâhim, Ibrâhîm berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS.alSaffât/37:100-102) 10. Membaca al-Qur’an dalam Salat di Malam Hari Dalam rangkaian surat Ali ‘Imrân ayat 113-115, Allah menegaskan adanya sekelompok para pendeta ahli kitab yang beriman. Di antara mereka adalah
193
Abdullâh bin Sallâm (w.43 H.), Asad bin ‘Ubaid, Tsa’labah bin Syu’bah, dan lain-lain.261 Oleh Allah, mereka dikategorikan sebagai orang-orang salih. Dan salah satu karakteristik atau kebiasaan baik mereka adalah membaca al-Qur’an dalam salat di malam hari. Mereka bangun malam, memperbanyak tahajud, serta menyenandungkan ayat-ayat al-Qur’an dalam shalat mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
ﻞ ِ ﷲ ءَاﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ ِ تا ِ ن ءَاﻳَﺎ َ ب ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ﻗَﺎ ِﺋ َﻤ ٌﺔ َﻳ ْﺘﻠُﻮ ِ ﻞ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ ِ ﻦ َأ ْه ْ ﺳﻮَا ًء ِﻣ َ َﻟ ْﻴﺴُﻮا ف ِ ن ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو َ ﺧ ِﺮ َو َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو ِ ﷲ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم اﻵ ِ ن ﺑِﺎ َ ن ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ ﺠﺪُو ُﺴ ْ َو ُه ْﻢ َﻳ ﻦ َ ﻚ ِﻣ َ ت َوأُوَﻟ ِﺌ ِ ﺨ ْﻴﺮَا َ ن ﻓِﻲ ا ْﻟ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﺴَﺎ ِرﻋُﻮ ِﻋ َ ن َ َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ ﷲ ﻋَﻠِﻴ ٌﻢ ُ ﻦ ُﻳ ْﻜ َﻔﺮُو ُﻩ وَا ْ ﺧ ْﻴ ٍﺮ َﻓَﻠ َ ﻦ ْ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ وَﻣَﺎ َﻳ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ َ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴ
ﻦ Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali ‘Imrân/3:113-115) 11. Bersikap Sabar (QS.37:100-102) Ketika Nabi Ibrâhîm berdoa: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (anak) yang
termasuk
orang-orang
salih.”(QS.37/100),
maka
Allahpun
memperkenankannya dengan menganugerahkan seorang anak yang sangat sabar (halîm), yaitu Ismâ’îl a.s. Hal ini dibuktikan saat nabi Ibrâhîm mendapatkan perintah Allah untuk menyemblih putranya tersebut. Dengan penuh kesantunan 261
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Semarang: Toha Putra, tth), Juz I, h. 397; Wahbah Zuhaili dan Imam al-Qurtubî menyebutkan mereka adalah: Abdullâh bin Sallâm,Tsa’labah bin Sa’nah (atau Sa’yah), Asid bin Sa’nah (atau Sa’yah), dan Asad bin ‘Ubaid. Lihat: Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr, Jilid IV, h. 47; al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm alQur’ân, Jilid IV, h. 175
194
Ismâ’îl a.s. mempersilakan Ayahnya untuk merealisasikan wahyu atau perintah Allah yang diterima melalui mimpi tersebut, dan berharap dirinya termasuk orangorang yang sabar. Berikut ini ayat yang mengisahkan hal di atas:
ﺣﻠِﻴ ٍﻢ َﻓَﻠﻤﱠﺎ َﺑَﻠ َﻎ َ ﻼ ٍم َ ﺸ ْﺮﻧَﺎ ُﻩ ِﺑ ُﻐ ﻦ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ َﻓ َﺒ ﱠ َ ﺐ ﻟِﻲ ِﻣ ْ ب َه َر ﱢ ﻈ ْﺮ ﻣَﺎذَا ُ ﻚ ﻓَﺎ ْﻧ َﺤ ُ ل ﻳَﺎ ُﺑ َﻨﻲﱠ إِﻧﱢﻲ أَرَى ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﻨَﺎ ِم َأﻧﱢﻲ َأ ْذ َﺑ َ ﻲ ﻗَﺎ َ ﺴ ْﻌ َﻣ َﻌ ُﻪ اﻟ ﱠ ﻦ َ ﷲ ِﻣ ُ ن ﺷَﺎ َء ا ْ ﺠ ُﺪﻧِﻲ ِإ ِ ﺳ َﺘ َ ﻞ ﻣَﺎ ُﺗ ْﺆ َﻣ ُﺮ ْ ﺖ ا ْﻓ َﻌ ِ ل ﻳَﺎَأ َﺑ َ ﺗَﺮَى ﻗَﺎ َ اﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺮِﻳ
ﻦ "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang salih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. al-Saffât/37:100102) 12. Tidak Terpedaya oleh Harta dan Anak Pada dasarnya cinta kepada harta benda dan anak-anak, bahkan terhadap wanita merupakan kodrat alami manusia dan menjadi perhiasan kehidupan di dunia (QS.3:14). Semua perhiasan dunia tersebut dapat dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga dapat menjerembabkan manusia ke dalam murka Allah. Orang-orang saleh berupaya untuk mempergunakan harta benda serta menyikapi anak secara proporsional sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Mereka berusaha agar keberadaan harta benda dan anak-anak tidak melalaikan mereka dari zikir dan ibadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan peringatan Allah dalam surat al-Munâfiqûn ayat 9-10 berikut ini:
ِﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻟﱠﻠﻪ ْﻋ َ ﻻ ُد ُآ ْﻢ َ ﻻ َأ ْو َ ﻻ ُﺗ ْﻠ ِﻬ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻣﻮَاُﻟ ُﻜ ْﻢ َو َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﻦ ﻣَﺎ ْ ن و ََأ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ َ ﺳﺮُو ِ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟﺨَﺎ َ ﻚ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ َ ﻞ َذِﻟ ْ ﻦ َﻳ ْﻔ َﻌ ْ َو َﻣ ﺧ ْﺮ َﺗﻨِﻲ ﻻ َأ ﱠ َ ب َﻟ ْﻮ ل َر ﱢ َ ت َﻓ َﻴﻘُﻮ ُ ﺣ َﺪ ُآ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻲ َأ َ ن َﻳ ْﺄ ِﺗ ْ ﻞ َأ ِ ﻦ َﻗ ْﺒ ْ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُآ ْﻢ ِﻣ َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎِﻟﺤِﻴ َ ﻦ ِﻣ ْ ق َوَأ ُآ َ ﺻ ﱠﺪ ﺐ َﻓَﺄ ﱠ ٍ ﻞ َﻗﺮِﻳ ٍﺟ َ إِﻟَﻰ َأ
ﻦ 195
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" Menurut Syaikh ‘Ali al-Sâbûnî, ayat di atas merupakan larangan Allah agar orang-orang mukmin tidak bersikap sama dengan orang-orang munafik yang terpedaya oleh harta dan anak sehingga melalaikan mereka dari taat dan ibadah kepada Allah, meninggalkan kewajiban salat, zakat, dan haji.262 Bagi orang-orang salih, apa yang ada di sisi Allah jauh lebih berharga dan tiada bandingannya. Allah berfirman:
ﻋ ْﻨ َﺪ ِ ت ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ُ ت اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤَﺎ ُ ﺤﻴَﺎ ِة اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ وَا ْﻟﺒَﺎ ِﻗﻴَﺎ َ ن زِﻳ َﻨ ُﺔ ا ْﻟ َ ل وَا ْﻟ َﺒﻨُﻮ ُ ا ْﻟﻤَﺎ ً ﺧ ْﻴ ٌﺮ َأ َﻣ َ ﻚ َﺛﻮَاﺑًﺎ َو َ َر ﱢﺑ
ﻼ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalanamalan yang kekal lagi salih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. al-Kahfi/18:46) 13. Gemar Berinfak/Sedekah Sebagai tindak lanjut dari poin di atas, orang-orang salehpun membuktikannya dengan gemar berinfak dan bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Harta benda sebagai anugerah Allah adalah titipan dan amanah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan masyarakat umum. Nabi Muhammad saw. adalah teladan yang luar biasa dalam masalah ini. Ia pernah memberikan ratusan ekor unta kepada beberapa orang. Seusai perang Hunain, ia melimpahkan kemurahannya yang luar biasa. Ia memberikan untuk 262
Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 3, h. 387
196
Abû Sufyân bin Harb (w.33 H.) 40 kati perak dan 100 ekor unta, demikian pula untuk Yazîd dan Mu’âwiyah. Kepada Hâkim bin Hizâm (w.54 H.) diberikannya sebanyak 200 ekor unta. Selanjutnya beliau memberikan untuk Nazar bin Harits 100 ekor unta. Demikian pula halnya kepada Usaid bin Jâriyah, Hârits bin Hisyâm, Safwân bin Umayyah (w.42 H.), Qais bin ‘Adi, Suhail bin ‘Amr (w. 37 H.), dan lain-lain.263 Kedermawanan ini juga ditunjukkan oleh istri beliau, ‘Aisyah r.a. (w.57 H.) Suatu ketika, Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân mengirimkan uang kepada ‘Aisyah r.a. sebanyak 80.000 dirham. Kala itu ‘Aisyah r.a. sedang berpuasa dan mengenakan pakaian yang sudah usang. Ketika menerima uang tersebut, dia segera memberikannya kepada fakir miskin tanpa sisa sedikitpun. Melihat kenyataan ini, pembantunya mengomentari, “Ya Ummul Mukminin, kenapa kita tidak menyisakan uang tadi barang satu dirham untuk membeli daging yang bisa kita gunakan untuk berbuka?” ‘Aisyah r.a. menjawab, “Wahai Anakku! Seandainya dari tadi engkau mengingatkan, maka hal itu akan saya lakukan.”264 Dan masih banyak lagi contoh-contoh seperti ini yang ditunjukkan oleh orang-orang salih dari kalangan sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan yang lainnya. 14. Teladan Umat yang Patuh pada Allah dan Bersikap Hanif Ketika Allah menegaskan bahwa nabi Ibrâhîm adalah termasuk orang yang salih (QS.16:122), pada ayat sebelumnya (QS.16:120), Allah menegaskan bahwa beliau adalah seorang imam yang dapat dijadikan sebagai teladan yang
263
Idrus Shahab, Sesungguhnya Dialah Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2004), Cet.III, h. 238-239 264 Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, Penerjemah Jazirotul Islamiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet.VII, h. 243
197
patuh kepada Allah dan hanif (selalu berpegang teguh kepada kebenaran dan tidak pernah meninggalkannya).
ﻦ ﺷَﺎآِﺮًا َ ﺸ ِﺮآِﻴ ْ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َ ﻚ ِﻣ ُ ﺣﻨِﻴﻔًﺎ َوَﻟ ْﻢ َﻳ َ ن ُأ ﱠﻣ ًﺔ ﻗَﺎ ِﻧﺘًﺎ ِﻟﱠﻠ ِﻪ َ ن ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ آَﺎ ِإ ﱠ ْ ط ُﻣ ٍ ﺻﺮَا ِ ﺟ َﺘﺒَﺎ ُﻩ َو َهﺪَا ُﻩ إِﻟَﻰ ْ ﻷ ْﻧ ُﻌ ِﻤ ِﻪ ا َ ﺴ َﺘﻘِﻴ ٍﻢ َوءَا َﺗ ْﻴﻨَﺎ ُﻩ ﻓِﻲ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َ ﺧ َﺮ ِة َﻟ ِﻤ ِ ﺴ َﻨ ًﺔ َوِإ ﱠﻧ ُﻪ ﻓِﻲ اﻵ َﺣ َ ن ا ﱠﺗ ِﺒ ْﻊ ِ ﻚ َأ َ ﺣ ْﻴﻨَﺎ ِإَﻟ ْﻴ َ ﻦ اﻟﺼﱠﺎﻟِﺤِﻴﻦَ ُﺛﻢﱠ َأ ْو َ ﺸ ِﺮآِﻴ ْ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َ ن ِﻣ َ ﺣﻨِﻴﻔًﺎ َوﻣَﺎ آَﺎ َ ِﻣﱠﻠ َﺔ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ ﻋﻠَﻰ َ ﺖ ُ ﺴ ْﺒ ﻞ اﻟ ﱠ َ ﺟ ِﻌ ُ ﻦ إِ ﱠﻧﻤَﺎ ﺤ ُﻜ ُﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ﻓِﻴﻤَﺎ آَﺎﻧُﻮا ﻓِﻴ ِﻪ ْ ﻚ َﻟ َﻴ َ ن َر ﱠﺑ ﺧ َﺘَﻠﻔُﻮا ﻓِﻴ ِﻪ َوِإ ﱠ ْﻦا َ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺨ َﺘِﻠﻔُﻮ ْ َﻳ
ن Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orangorang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. (QS. al-Nahl:120-124) Menurut Imam Ibn Katsîr (w.774 H.), kata “ummah” pada ayat di atas bermakna “imam yang diikuti”. Atau menurut Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî adalah imam yang menjadi teladan (qudwah) yang menghimpun berbagai kebaikan. Sedang kata “qanit’ artinya “khusyu dan patuh kepada Allah serta melaksanakan segala perintah-Nya”. Adapun “hanif” bermakna “berpaling dari syirik untuk bertauhid kepada Allah”. Atau “meninggalkan segala bentuk agama batil dan cenderung kepada agama yang hak, yaitu Islam.265 Pada ayat lain, ketika Allah menyatakan bahwa nabi Ibrâhîm a.s., Ishâq a.s., dan Ya’qûb a.s. adalah orang-orang salih, Allah menegaskan bahwa mereka adalah pemimpin-pemimpin (a’immah) yang memberikan petunjuk:
265
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz 2, h.590; ‘Ali al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid 2, h. 148
198
Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrâhîm) Ishâq dan Ya`qûb, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang salih. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, dan kepada Lut, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, (QS. al-Anbiyâ/21:7274) Menurut Imam al-Tabarsî (w.548 H.), mereka adalah pemimpin-pemimpin yang diikuti dalam perbuatan dan perkataan mereka, serta menunjukkan manusia ke jalan yang benar dan agama yang lurus.266 Orang-orang salih adalah teladan
dan pelopor kebaikan di tengah
masyarakat. Sebagai pelanjut dari risalah kenabian, orang-orang saleh harus menunjukkan bahwa Islam adalah “rahmah li al-‘âlamîn”.
Segala perkataan,
perbuatan, dan tindak-tanduknya mencerminkan jati diri muslim sejati sehingga layak untuk diteladani. Dalam realitas hidup, kebutuhan masyarakat terhadap figur seorang teladan merupakan keniscayaan. Ketika tidak ditemukan figur teladan dalam kehidupan karena tidak seiramanya antara ucapan dengan perbuatan seseorang, betapapun masyarakat menjadi kehilangan pegangan. Sebab, al-Qur’an akan menjadi hidup dan bermakna jika ada orang-orang yang mengamalkan atau mengimplementasikan ayatayatnya dalam kehidupan. Jika demikian, maka kehidupan akan menjadi carut-marut dan tidak tentu arah. Di sinilah arti penting keberadaan orang-orang saleh yang dapat membimbing dan mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah swt. B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis
266
al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Juz 8, h. 88
199
Setelah diketahui bahwa menangis merupakan salah satu karakteristik atau bahkan akhlak orang-orang salih, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimanakah caranya agar tradisi menangis ini dapat menyatu dan menghiasi harihari keberagamaan umat Islam? Maka jawabnya adalah hati atau jiwa yang bersih. Hati adalah mahkota manusia. Suasana hatilah yang akan menggerakan segenap indera manusia untuk melakukan berbagai aktivitas. Hati akan menjadi komando bagi setiap anggota tubuh untuk berbuat dan bertindak. Kebeningan hati akan memudahkan setiap orang untuk berada dalam suasana khusyu saat ayat-ayat al-Qur’an dilantunkan. Kebersihan hati akan menyebabkan seseorang patuh dan pasrah secara total saat mendapatkan nasehat keagamaan. Kesucian hati akan menghantarkan seseorang untuk selalu berempati saat melihat penderitaan saudaranya. Allah menegaskan dalam surat al-A’lâ:
ﻦ َﺗ َﺰ ﱠآﻰ ْ ﺢ َﻣ َ َﻗ ْﺪ َا ْﻓَﻠ
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). (QS.al-‘A’lâ/87:14)267 Menurut Hadis yang sahih, Nabi Muhammad saw. senantiasa membaca surat al-A’lâ pada raka’at pertama shalat ‘idain.268 Demikian pula halnya yang dilakukan Imam ‘Ali, sehingga ada orang munafik yang menuduh beliau tidak pandai membaca al-Qur’an. Menjawab hal ini Imam ‘Ali r.a. (w.40 H.) berkata: “Seandainya orang tahu apa yang terdapat dalam surat a-A’lâ, niscaya ia akan membacanya dua puluh kali sehari.”269 Hati atau jiwa mempunyai fitrah untuk menjadi kotor apabila manusianya melakukan kejahatan. Namun, jiwa atau hati juga siap membawa manusia untuk 267
Lihat pula dalam surat al-Syams/91:7-10 al-Nawawî, Al-Adzkâr, hal.46 269 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.III, hal.153 268
200
bertakwa dan menjadi manusia shalih. Dalam sebuah Hadis sahih, Rasulullah menyatakan bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika ia buruk maka buruk pula seluruh jasadnya. Segumpal daging itu adalah qalb (hati).270 Hati adalah sebuah kuil yang ditempatkan
Allah dalam diri setiap
manusia, sebuah kuil untuk menampung percikan cahaya Ilahi. Hati juga bagaikan sebuah cermin mengkilap yang dapat memantulkan rahasia-rahasia Ilahi. Kebersihan dan kebeningan hati akan memancarkan dan mewujudkan amaliah yang menyejukkan dan menentramkan manusia. Namun sebaliknya, kekotoran hati akan menimbulkan perilaku-perilaku sesat yang meresahkan masyarakat. Semuanya sangat tergantung dari penataan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh setiap individu. Ketika seorang individu melakukan satu kemaksiatan, maka menurut Rasulullah saw., ia telah menciptakan satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia tidak bertaubat dan perbuatan dosa semakin banyak dilakukan, maka titik-titik hitam itu akan menutupi kesucian hati yang pada akhirnya ia tidak lagi dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, yang baik dan yang buruk. Jika ia seorang penguasa, maka dengan kekuasaaannya, ia tidak segansegan melakukan tindakan represif, zalim, dan tiranik demi mempertahankan kekuasaannya. Jika ia seorang yang berharta, maka ia tidak segan-segan mengeluarkannya untuk beragam kemaksiatan, berzina, berjudi, berfoya-foya dan lain-lain, serta menumpuk-numpuk dengan cara batil dan menghitungnya laksana Qarun yang rakus. Jika ia sebagai orang yang kuat, iapun tidak merasa risih untuk
270
Hadis diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî & Imam Muslim. Lihat al-Nawawî, Matan al-Arba’în al-Nawawiyyah, (Surabaya: Bungkul Indah, t.t.), hal.19-20
201
menekan dan menindas kaum dhu’afa yang tertindas tanpa belas kasihan laksana binatang buas. Dekadensi akhlak akibat kekeruhan dan kekotoran hati sehingga tidak mampu menangkap pesan-pesan moral al-Qur’an kehidupan yang rusak dan amburadul.
Penipuan,
telah menciptakan tatanan penyuapan, kecurangan,
kelaliman, perzinaan, pergaulan bebas, dan berbagai kemaksiatan masyarakat menjadi pemandangan rutin sehari-hari. Semua orang tidak peduli dan tidak menghiraukan dengan situasi yang terjadi. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar tidak lagi menjadi pilar hidup bermasyarakat.
Situasi ini teramat menyesakkan
pandangan mata dan hati. Tidak ada lagi keadilan yang diharapkan. Tidak ada lagi penghormatan terhadap orang-orang tua dan jompo. Tidak ada lagi kepedulian sosial terhadap orang lemah di masyarakat.271 Di sinilah peranan al-Qur’an menjadi amat dibutuhkan. Karena di antara dimensi pokok risalah Nabi Muhammad saw. adalah membersihkan hati dan jiwa manusia yang menjadi sumber kekuatan moral. Perhatikanlah ayat di bawah ini: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (al-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS.al-Baqarah/2:129)272 Oleh karena itu, tugas Nabi saw. terhadap bangsa Arab ketika itu ada dua, yaitu; 1. Membersihkan akal mereka dari kemusyrikan dan kebatilan, membersihkan hati mereka dari kekerasan jahiliyah, membersihkan keinginan mereka dari syahwat binatang, dan membersihkan perilaku mereka dari
perbuatan-
perbuatan kotor. 271
272
Harun Yahya, Moralitas Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2002), hal.35 Lihat juga dalam QS.2/al-Baqarah:151; QS.3/Ali ‘Imrân:164; dan QS.al-Jumu’ah;2)
202
2. Mengembangkan akal mereka dengan ilmu pengetahuan dan hati mereka dengan keimanan sehingga kehendak hati mereka mengarah kepada amal saleh, kebaikan, dan akhlak karimah.273 Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang hanya mengabdi kepada Allah. Mereka senantiasa mensucikan dan mengagungkan-Nya seraya berusaha untuk mencontoh sifat-sifat yang Allah miliki. Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang mengenal hak-hak orang lain. Mereka akan selalu berusaha bersikap adil kepada siapapun, karena adil adalah sifat Tuhan yang dijadikan sebagai idea moral dalam al-Qur’an.274 Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang yang mencintai Allah dan mencintai makhluk-Nya. Singkatnya, Orang-orang yang suci hatinya adalah orang-orang salih yang senantiasa memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Mereka memiliki hubungan yang baik dengan Allah (silah billâh) dan juga baik dengan sesama (silah bi al-nâs). Dalam pandangan al-Qur’an dan Hadis, ada beberapa hal yang menjadi sarana penyucian hati, yaitu: 1. Menegakkan salat dengan khusyu secara disiplin. Manusia diperintahkan untuk teguh melaksanakan salat dan berdiri di hadapan Tuhan dengan khusyu
ﻦ َ ﻗَﺎ ِﻧﺘِﻴ
ﷲ ِ ﺳﻄَﻰ وَﻗُﻮﻣُﻮا ْ ﺼﻼَ ِة ا ْﻟ ُﻮ ﺣَﺎ ِﻓﻈُﻮا ﻋَﻠَﻰ اﻟﺼﱠﻠَﻮَاتِ وَاﻟ ﱠ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wustâ. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyu`. (QS.al-Baqarah/2:238)
273
Yusuf Qaradhawi, Interaksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema insani Press, 1999), cet.I, hal. 139-140 274 M.M.Syarif,M.A., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.), (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), cet.VIII, hal.42
203
Menurut al-Syaikh ‘Alî al-Sâbûnî, makna “waqûmû lillâhi qânitîn” adalah langgengkanlah ibadah dan ketaatan yaitu shalat dengan khusyu dan tunduk.275 Khusyu dalam salat, ditegaskan oleh Allah sebagai salah satu karakteristik orangorang yang beruntung.
ن َ ﺷﻌُﻮ ِ ﺧَﺎ
ﻼ ِﺗ ِﻬ ْﻢ َﺻ َ ﻦ ُه ْﻢ ﻓِﻲ َ ن اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺢ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ َﻗ ْﺪ َأ ْﻓَﻠ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyu` dalam salatnya, (QS. al-Mu’minûn/23:1-2) Salat merupakan sarana terbesar dalam tazkiyah al-nafs. Ia adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna-makna ubudiyah, tauhid, dan syukur. Ia adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rububiyah dan hak pengaturan. Penegakkannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian.276
ﻦ ِﻋ َ ﺼَﻠﻮ َة َﺗ ْﻨﻬَﻰ ن اﻟ ﱠ ﺼَﻠﻮ َة ِإ ﱠ ب َوَأ ِﻗ ِﻢ اﻟ ﱠ ِ ﻦ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ﻚ ِﻣ َ ﻲ ِإَﻟ ْﻴ َﺣ ِ ﻞ ﻣَﺎ أُو ُ ا ْﺗ َ ﺼ َﻨﻌُﻮ ْ ﷲ َﻳ ْﻌَﻠ ُﻢ ﻣَﺎ َﺗ ُ ﷲ َأ ْآ َﺒ ُﺮ وَا ِ ﺤﺸَﺎءِ وَا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوَﻟ ِﺬ ْآ ُﺮ ا ْ َا ْﻟﻔ
ن Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-‘Ankabût/29:45) Salat yang berfungsi sebagai sarana tazkiyah al-nafs adalah salat yang ditegakkan dengan kekhusyuan, yaitu yang dilaksanakan dengan kesadaran dan kehadiran hati (hudûr al-qalb). Rasulullah saw. menegaskan:
ﻻ ﷲ ِإ ﱠ ِ ﻦ ا َ ﺤﺸَﺎ ِء وَا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َﻟ ْﻢ َﻳ ْﺰ َد ْد ِﻣ ْ ﻦ ا ْﻟ َﻔ ِﻋ َ ﻼ ُﺗ ُﻪ َ ﺻ َ ﻦ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻨ َﻬ ُﻪ ْ َﻣ ْ ُﺑ
ﻌﺪًا 275 276
‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsîr, Jilid I, h. 154 Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, (Jakarta: Robbani Press, 2003), Cet.ke-3, h. 33
204
“Siapa yang salatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, hal itu hanya menambah jauh dirinya dari Allah.”277 Imam al-Ghazâlî (w. 505 H.) menegaskan bahwa salat orang yang lalai (al-ghâfil) tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Berikut ini beberapa sabda Rasulullah saw. yang menyebutkan berbagai keistimewaan salat, yaitu:
ل ُ َﻳ ُﻘ ْﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻞ ْ ت َه ٍ ﺲ َﻣﺮﱠا َ ﺧ ْﻤ َ ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم ُﺴ ِ ﺣ ِﺪ ُآ ْﻢ َﻳ ْﻐ َﺘ َ ب َأ ِ ن ﻧَ ْﻬﺮًا ِﺑﺒَﺎ َأ َرَأ ْﻳ ُﺘ ْﻢ َﻟ ْﻮَأ ﱠ ﻞ ُ ﻚ َﻣ َﺜ َ ل َﻓ َﺬِﻟ َ ﻦ َد َر ِﻧ ِﻪ ﻗَﺎ ْ ﻲ ٌء ﻗَﺎُﻟﻮْا ﻻَﻳَ ْﺒﻘَﻰ ِﻣ ْ َﻦ َد َر ِﻧ ِﻪ ﺷ ْ ُهﻦﱠ ِﻣ 278 .ﺨﻄَﺎﻳَﺎ َ ﻦ ا ْﻟ ﷲ ِﺑ ِﻬ ﱠ ُ ﺲ َﻳ ْﻤﺤُﻮ ا ُ ﺨ ْﻤ َ ت ا ْﻟ ُ ﺼَﻠﻮَا اﻟ ﱠ Dari Abû Hurairah ra. Ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimana pendapatmu seandainya seseorang mandi setiap hari lima kali di sungai yang terletak di depan rumahnya. Apakah pada tubuhnya tersisa kotoran?” Mereka menjawab: “Tidak tersisa di tubuhnya sedikitpun kotoran.” Lalu beliau bersabda: “Itulah perumpamaan salat lima waktu. Dengan salat tersebut Allah menghapuskan segala kesalahan seseorang.” (H.R. al- Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, Ahmad, dan al-Dârimî)
ﻼ ُة َ ﻗﺎل اَﻟﺼﱠρ ﷲ ِ ل ا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲ ا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 279 ﺶ ا ْﻟ َﻜﺒَﺎ ِﺋ ُﺮ َ ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ آَﻔﱠﺎرَ ٌة ﻟِﻤَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ﻣَﺎَﻟ ْﻢ ُﺗ ْﻐ ُ ﺠ ُﻤ َﻌ ُﺔ ِإﻟَﻰ ا ْﻟ ُ ﺲ وَا ْﻟ ُ ﺨ ْﻤ َ ا ْﻟ Dari Abû Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Salat lima waktu dan satu Jumat ke Jumat yang lain dapat menghapuskan dosa yang terjadi di antaranya selama tidak melakukan dosa besar.” (H.R. Muslim)
ل ﻣَﺎ ُ َﻳُﻘ ْﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ن َر َ ﻋﻔﱠﺎ َ ﻦ َ ن ْﺑ َ ﻋ ْﺜﻤَﺎ ُ ﻦ ْﻋ َ ﻋﻬَﺎ َ ﺸ ْﻮ ُﺧ ُ ﺿ ْﻮ َءهَﺎ َو ُ ﻦ ُو ُﺴ ِﺤ ْ ﻼٌة َﻣ ْﻜُﺘ ْﻮَﺑ ٌﺔ َﻓُﻴ َﺻ َ ﻀ ُﺮ ُﻩ ُ ﺤ ْ ﺴِﻠ ٍﻢ َﺗ ْ ئ ُﻣ ٍ ﻦ ا ْﻣ ِﺮ ِ ِﻣ ﻚ َ ت َآِﺒ ْﻴ َﺮٌة َو َذِﻟ َ ب ﻣَﺎَﻟ ْﻢ ُﻳ ْﺆ ِ ﻦ اﻟ ﱡﺬُﻧ ْﻮ َ ﺖ آَﻔﱠﺎرٌَة ﻟِﻤَﺎ َﻗ ْﺒَﻠﻬَﺎ ِﻣ ْ ﻻ آَﺎَﻧ ﻋﻬَﺎ ِإ ﱠ َ َو ُر ُآ ْﻮ اﻟﺪﱠ ْه ُﺮ ُآﻠﱡ ُﻪ 277
al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 159 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb al-Salawât al-Khams Kaffârah, h. 134; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh, h. 268; alTirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Amtsâl, no. Hadis 3028, h. 228; al-Nasâ’î, Sunan alNasâ’î, Kitâb al-Salâh Bâb Fadl al-Salawât al-Khams, no. Hadis 460, h. 83; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb Iqâmah al-Salâh wa al-Sunnah fîhâ, no. Hadis 1397, h. 447; Ahmad, alMusnad, Juz 1, h. 72; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 1, Kitâb al-Salâh Bâb fî Fadl al-Salawât, no. Hadis 1183, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000), Cet.ke-1., h. 265 279 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Tahârah Bâb al-Salawât al-Khams wa alJumu’ah ilâ al-Jumu’ah wa Ramadân ilâ Ramadân Mukaffirât limâ Bainahunn mâ Ujtunibat alKabâ’ir, h. 117; Ahmad Farîd, Az-Zuhd wa al-Raq’iq, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004), h. 466 278
205
Dari ‘Usmân bin ‘Affân r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap muslim yang telah datang waktu salat kepadanya, lalu ia membaguskan wudunya, khusyunya, dan rukunya, niscaya itu semua dapat menghapuskan dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan itu terjadi sepanjang waktu.” (H.R. Muslim)280 Ritual salat memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa galau dan gundah dalam diri manusia. Dengan menegakkan salat secara khusyu, yaitu dengan niat menghadap dan berserah diri secara total kepada Allah, serta meninggalkan semua kesibukan maupun problematika kehidupan, maka seseorang akan merasa tenang, tentram, dan damai. Rasa gundah dan stress yang senantiasa menekan kehidupannya
akan segera sirna. Rasulullah saw. senantiasa
menegakkan salat ketika sedang tertimpa masalah yang membuat beliau merasa tegang. Seorang sahabat, Hudzaifah r.a. berkata: 281
ﺣ ِﺰَﺑ ُﻪ أَ ْﻣ ٌﺮ ﺻَﻠﱠﻰ َ ِإذَاρ ﻲ ن اﻟﱠﻨِﺒ ﱡ َ ل آَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺣ َﺬ ْﻳَﻔ َﺔ َر ُ ﻦ ْﻋ َ
Dari Hudzaifah ia berkata: “Jika Nabi saw. merasa gundah karena sebuah perkara, maka beliau akan segera menunaikan salat.” (H.R. Abû Dâwûd dan Ahmad) Disebutkan pula bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Bilal ketika waktu salat tiba:
ﻋ َﺔ َ ﺧﺰَا َ ﻦ ْ ﺴ َﻌ ٌﺮ َأرَا ُﻩ ِﻣ ْ ل ِﻣ َ ﻞ ﻗَﺎ ٌﺟ ُ َل ر َ ل ﻗَﺎ َ ﺠ ْﻌ ِﺪ ﻗَﺎ َ ﻦ َأﺑِﻰ ا ْﻟ ِ ﻦ ﺳَﺎِﻟ ِﻢ ْﺑ ْﻋ َ ﺖ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ َﻓﻘَﺎ.ﻚ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َذِﻟ َ ﺖ َﻓ َﻜَﺄ ﱠﻧ ُﻪ ﻋَﺎ ُﺑﻮْا ُ ﺣ ْ ﺖ ﻓَﺎﺳْﺒﺮ ُ ﺻﻠﱠ ْﻴ َ ﻲ ْ َﻟ ْﻴ َﺘ ِﻨ 282 ﻼ ِة َﺼ ﺣﻨَﺎ ﺑِﺎﻟ ﱠ ْ ِل أَر ُﻼ َ ﻳَﺎ ِﺑρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ َر “Wahai Bilal, istirahatkanlah diri kita dengan salat.” (H.R. Abû Dâwûd dan Ahmad) Hadis-hadis di atas mengisyaratkan tentang pentingnya ritual salat untuk menciptakan rasa tenang dan damai dalam jiwa seseorang. Salat mampu 280
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Tahârah Bâb Fadl al-Wudû wa al-Salâh al‘Aqibah, h. 116; al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb Fadl al-Salawâth.401-402 281 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb Waqt Qiyâm al-Nabî saw. Min al-Lail, no. Hadis 1318, h. 35; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 388 282 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Adab Bâb fî Salâh al-‘Atamah, no. Hadis 4985, h. 296; Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 364, 371
206
memberikan terapi jiwa yang sedemikian berarti untuk menghilangkan kegundahan dan kegalauan yang dihadapi seseorang. Allah swt. telah memerintahkan kita untuk meminta pertolongan melalui shalat dan kesabaran.
ﻦ َ ﺷﻌِﻴ ِ ا ْﻟﺨَﺎ
ﻋﻠَﻰ َ ﻻ ﺼﻠَﻮ ِة وَإِ ﱠﻧﻬَﺎ ﻟَﻜَﺒِﻴﺮَ ٌة ِإ ﱠ ﺼ ْﺒ ِﺮ وَاﻟ ﱠ ﺳ َﺘﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ ْ وَا
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orangorang yang khusyu`, (QS. al-Baqarah/2:45) Hubungan seseorang dengan Sang Khalik ketika salat akan menghasilkan kekuatan mental spiritual sangat besar yang memberikan pengaruh pada perubahan penting dalam fisik dan psikisnya. Kekuatan mental spiritual ini sering kali menghilangkan stress, menyingkirkan kelemahan, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Para dokter menyebutkan adanya penyembuhan yang begitu cepat untuk beberapa jenis penyakit ketika penderitanya berada di lokasi ibadah haji maupun lokasi ibadah lainnya. Abu Hurairah pernah berkata bahwa dia mengeluihkan sakit perut yang dia derita. Maka Rasulullah saw. menoleh ke arahnya seraya bersabda:
ﺖ ُ ﺴ ْ ﺟَﻠ َ ﺖ ُﺛﻢﱠ ُ ﺼﱠﻠ ْﻴ َ ت َﻓ ُ ﺠ ْﺮ َ َﻓ َﻬρ ﻲ ﺠ َﺮ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ل َه َ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ل ُﻗ ْﻢ َ ﷲ ﻗَﺎ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َﻧ َﻌ ْﻢ ﻳَﺎ َر ُ ﺖ َدرْد؟ ُﻗ ْﻠ ْ ﺷ َﻜ َﻤ ِ َاρ ﻲ ﺖ إِﻟَﻰ اﻟ ﱠﻨِﺒ ﱢ ُ ﻓَﺎ ْﻟ َﺘ ْﻔ 283 ﺷﻔَﺎ ًء ِ ﻼ ِة َﺼ ن ﻓِﻰ اﻟ ﱠ ﻞ َﻓِﺈ ﱠ ﺼﱢ َ َﻓ Dari Abû Hurairah ia berkata: Nabi saw. berhijrah, akupun berhijrah. Aku salat, lalu duduk, dan kemudian menoleh ke Nabi saw. beliaupun bersabda: “Apakah kamu menderita sakit perut?” Aku berkata: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Berdirilah! Lantas tegakkanlah salat! Karena seseungguhnya di dalam ritual salat terdapat kesembuhan (untuk berbagai penyakit).” (H.R. Ibn Mâjah) Kekuatan mental spiritual yang dilahirkan lewat ritual salat juga dapat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Kekuatan tersebut mampu membangkitkan harapan, memantapkan niat, memperkokoh semangat, dan memunculkan kekuatan
283
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Salâh Syifâ, no. Hadis 3458, h. 1144
207
besar yang membuatnya siap menerima ilmu pengetahuan dan hikmah, serta lebih memiliki jiwa patriotisme yang begitu kuat. Ritual salat memiliki pengaruh sangat penting dalam terapi perasaan bersalah atau berdosa yang menyebabkan rasa gundah dan menjadi penyebab utama penyakit jiwa. Hal ini bisa terjadi karena ritual salat bisa mengampuni dosa seseorang, membersihkan jiwa
dari noda-noda kesalahan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hadis di atas, serta
menimbulkan harapan mendapatkan
maghfirah dan ridha Allah.284 Untuk memperkuat pemahaman di atas, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H.) berkata: Ritual salat bisa membuat hati menjadi bahagia dan tegar. Bahkan ritual salat juga bias membuat hati terasa lapang, bahagian, dan tentram. Dalam ritual salat terdapat interaksi hati maupun ruh dengan Allah. Hati dan ruh menjadi dekat dengan Allah ketika seseorang menegakkan salat. Dia akan merasakan nikmatnya berzikir, merasa nyaman bermunajat kepada Allah, dan merasa nikmat berada di hadapan-Nya. Dia akan menggunakan semua organ tubuhnya dan kekuatan yang dimilikinya untuk beribadah. Dia tidak akan larut dalam kesibukan dengan makhluk. Dia hanya akan memfokuskan kekuatan hatinya untuk menjalin hubungan dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Dia akan terbebas dari bayangan musuhnya ketika sedang salat. Semua itu akan menjadi obat, jalan keluar, dan menu makanan yang sehat bagi hatinya. Tentu saja kondisi semacam itu hanya dialami oleh hati yang sehat. Adapun hati yang sakit, maka dia ibarat jasad yang sakit. Dia sama sekali tidak identik dengan hal-hal yang baik. Ibadah salat termasuk aktivitas yang paling berpotensi mendatangkan kemaslahatan dunia akhirat dan menolak kemudharatan dunia akhirat. Salat akan mencegah pelakunya dari perbuatan dosa, mendatangkan obat untuk hati, menghindarkan dari berbagai penyakit fisik, menyinari hati, menjernihkan muka, membuat organ tubuh menjadi semangat, mendatangkan rezki, menjauhkan perbuatan aniaya, akan mendorong pelakunya menolong orang yang teraniaya, berpotensi untuk meredam gejolak nafsu, memelihara kenikmatan, menjauhkan siksa, mendatangkan rahmat, dan menghilangkan kegundahan.”285 2. Menunaikan Zakat dan Gemar Bersedekah
284
M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., (Jakarta: Mustaqim, 2003), Cet. I, h. 403-404 285 Ibid, h. 408-409
208
Cinta terhadap harta benda sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imrân ayat 14 merupakan fitrah asasi manusia. Jika naluri alamiah ini diiringi dengan pendidikan yang keliru, maka akan menumbuhkan penyakit hati yang tercela seperti bakhil atau kikir, mencemaskan masa depan, merasa kekurangan, ingin mencelakai orang lain, cinta kepada kekuasaan dan penguasa, dan sebagian penyakit seksual. Penyakit-penyakit ini terkadang berubah kea rah kebalikannya, seperti penyakit suka berlebih-lebihan atau boros.286 Apalagi sifat kikir ini merupakan tabiat manusia sebagaimana firman Allah:
ﺢ ﺸﱠ اﻟ ﱡ
ﺲ ُ ﻷ ْﻧ ُﻔ َ تا ِ ﻀ َﺮ ِ ﺣ ْ َوُأ
Manusia itu menurut tabiatnya kikir. (QS. al-Nisâ/4:128) Dalam berbagai teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadis) ditemukan pernyataan-pernyataan yang mengecam dan mencela kekikiran ini dan sebaliknya memuji kedermawanan. Beberapa teks tersebut adalah:
ﺴﺮَى ْ ﻟِ ْﻠُﻴ
ﺴﺮَى ْ ِﻟ ْﻠ ُﻌ
ﺴﻨَﻰ ﻓَﺴَُﻨﻴَﺴﱢ ُﺮ ُﻩ ْﺤ ُ ق ﺑِﺎ ْﻟ َ ﺻ ﱠﺪ َ ﻋﻄَﻰ وَاﺗﱠﻘَﻰ َو ْ ﻦ َأ ْ َﻓَﺄﻣﱠﺎ َﻣ ْ ﻞ وَا َﺨ ِ ﻦ َﺑ ْ َوَأﻣﱠﺎ َﻣ ﺴﻨَﻰ ﻓَﺴَُﻨﻴَﺴﱢ ُﺮ ُﻩ ْﺤ ُ ب ﺑِﺎ ْﻟ َ ﺳﺘَ ْﻐﻨَﻰ َو َآ ﱠﺬ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻣَﺎُﻟ ُﻪ ِإذَا َﺗ َ وَﻣَﺎ ُﻳ ْﻐﻨِﻲ
ﺮدﱠى
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (QS. al-Lail/92:5-11)
ﺴ ُﻜ ْﻢ ِ ﻷ ْﻧ ُﻔ َ ﺳﻤَﻌُﻮا َوَأﻃِﻴﻌُﻮا َوَأ ْﻧ ِﻔﻘُﻮا ﺧَ ْﻴﺮًا ْ ﻄ ْﻌ ُﺘ ْﻢ وَا َ ﺳ َﺘ ْ ﷲ ﻣَﺎ ا َ ﻓَﺎ ﱠﺗﻘُﻮا ا َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ َ ﺴ ِﻪ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ ِ ﺷﺢﱠ َﻧ ْﻔ ُ ق َ ﻦ ﻳُﻮ ْ َو َﻣ
ن Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orangorang yang beruntung. (QS. al-Taghâbun/64:16)
286
Adnan Syarif, Psikologi Qurani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet.I, ., h. 122
209
ﻈ ْﻠ َﻢ ن اﻟ ﱡ ﻈ ْﻠ َﻢ َﻓِﺈ ﱠ ل ا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟ ﱡ َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ن َرﺳُﻮ ﷲ َأ ﱠ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ن َﻗ ْﺒَﻠ ُﻜ ْﻢ َ ﻦ آَﺎ ْ ﻚ َﻣ َ ﺢ َأ ْهَﻠ ﺸﱠ ن اﻟ ﱡ ﺢ َﻓِﺈ ﱠ ﺸﱠ ت َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ وَا ﱠﺗﻘُﻮا اﻟ ﱡ ٌ ﻇُﻠﻤَﺎ ُ 287 ﺤﻠﱡﻮا َﻣﺤَﺎ ِر َﻣ ُﻬ ْﻢ َ ﺳ َﺘ ْ ﺳ َﻔﻜُﻮا ِدﻣَﺎ َء ُه ْﻢ وَا َ ن ْ ﻋﻠَﻰ َأ َ ﺣ َﻤَﻠ ُﻬ ْﻢ َ Dari Jâbir r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Takutlah kalian dengan kezaliman. Karena sesungguhnya kezaliman itu akan melahirkan kegelapan pada hari kiamat. Bertakwalah (kepada Allah dengan menjauhi) kikir. Karena sesungguhnya kikir itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian (yaitu) mereka menumpahkan darah-darah mereka dan menghalalkan yang diharamkan.” (H.R. Muslim)
ل َ ﺳَﺄ َ ﻼ ًﺟ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ص َر ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻦ ﻋَ ْﻤﺮٍو ْﺑ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ﻼ َم َﺴ ﻄﻌَﺎ َم َو َﺗ ْﻘ َﺮُأ اﻟ ﱠ ﻄ ِﻌ ُﻢ اﻟ ﱠ ْ ل ُﺗ َ ﻼ ِم ﺧَ ْﻴﺮٌ؟ ﻗَﺎ َﺳ ْﻻ ِ ي ْا َأ ﱡρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ َر 288 ف ْ ﻦ َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﺮ ْ ﺖ َو َﻣ َ ﻋ َﺮ ْﻓ َ ﻦ ْ ﻋَﻠَﻰ َﻣ Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As r.a. (Ia berkata): Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ajaran Islam manakah yang paling baik?” Rasul menjawab: “Engkau memberikan makan dan engkau ucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang belum engkau kenal.” (H.R. alBukhârî, Muslim, Abû Dâwûd al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah )
ﻦ َﻳ ْﻮ ٍم ْ ﻣَﺎ ِﻣρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻂ ُﻣ ْﻨ ِﻔﻘًﺎ ِﻋ ْ ﺣ ُﺪ ُهﻤَﺎ اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ َأ َ ل َأ ُ ن َﻓ َﻴ ُﻘ ْﻮ ِﻻ َ ن َﻳ ْﻨ ِﺰ ِ ﻻ َﻣَﻠﻜَﺎ ﺢ ا ْﻟ ِﻌﺒَﺎ ُد ِﻓ ْﻴ ِﻪ ِإ ﱠ ُ ﺼ ِﺒ ْ ُﻳ 289 ﺴﻜًﺎ َﺗَﻠ ًﻔﺎ ِ ﻂ ُﻣ ْﻤ ِﻋ ْ ﺧ ُﺮ اَﻟﻠّ ُﻬﻢﱠ َأ َ ل اْﻻ ُ ﺧَﻠَﻔًﺎ َو َﻳ ُﻘ ْﻮ Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah hamba-hamba berada di pagi hari melainkan akan tutun dua malaikat. Salah satu malaikat berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Dan malaikat yang lain berdo’a, ‘Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang tidak berinfak.’” (Muttafaq ‘alaih)
ﻦ َ ﺐ ِﻣ ٌ ﻲ َﻗ ِﺮ ْﻳ ﺨﱡ ِﺴ ل اَﻟ ﱠ َ ﻗَﺎρ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِﻋ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻞ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ُ ﺨ ْﻴ ِ وَا ْﻟ َﺒ.ﻦ اﻟ ﱠﻨﺎ ِر َ ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ َ ﻦ ا ْﻟ َ ﺐ ِﻣ ٌ س َﻗ ِﺮ ْﻳ ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ َ ﺐ ِﻣ ٌ ﷲ َﻗ ِﺮ ْﻳ ِ ا 287
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Tahrîm alZulm, h. 430 288 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb It’âm al-Ta’âm min al-Islâm, h. 9 & Juz 7, Kitâb al-Isti’dzân Bâb al-Salâm li al-Ma’rifah wa Ghair al-Ma’rifah, h. 128; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân Tafâdul al-Islâm wa Ayy Umûrih Afdal, h. 37; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 5194, h. 350; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Îmân wa Syarâ’i’ih Bâb Ayy al-Islâm Khair, no. Hadis 5010, h. h. 801; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-At’imah Bâb It’âm al-Ta’âm, no. Hadis 3253, h. 1083 289 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Zakâh âb Wujûb al-Zakâh, h. 120; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitrâb al-Zakâh Bâb fî al-Munfiq wa al-Mumsik, h. 404; alNawawî, Riyâd al-Sâlihîn, Bâb al-karam wa al-Jûd wa al-Infâq fî Wujûh al-Khair Tsiqah bi alLâh, h. 245-251
210
ﻞ ُ وَا ْﻟﺠَﺎ ِه.ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َ ﺐ ِﻣ ٌ ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َﻗ ِﺮ ْﻳ َ ﻦ ا ْﻟ َ س َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ َ ﷲ َﺑ ِﻌ ْﻴ ٌﺪ ِﻣ ِ ﻦا َ ِﻣ 290 ﻞ ٍ ﺨ ْﻴ ِ ﻦ ﻋَﺎ ِﺑ ٍﺪ َﺑ ْ ﷲ ِﻣ ِ ﺐ إِﻟَﻰ ا ﺣ ﱡ َ ﻲ َأ ﺨﱡ ِﺴ اﻟ ﱠ Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda: Orang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang jahil yang pemurah lebih dicintai oleh Allah ketimbang ahli ibadah yang kikir. (H.R. al-Tirmidzî) Kekikiran merupakan indikasi cinta dunia, sementara orang yang cinta dunia sehingga melupakan akhirat amat tercela dalam pandangan Allah dan Rasulullah. Yahyâ bin Mu’âdz pernah menyatakan:
اﻟﺪﻧﻴﺎ ﺧﻤﺮ اﻟﺸﻴﻄﺎن ﻣﻦ ﺳﻜﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻼ ﻳﻔﻴﻖ إﻻ ﻓﻰ ﻋﺴﻜﺮ اﻟﻤﻮﺗﻰ وأﻗﻞ ﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ أﻧﻪ ﻳﻠﻬﻰ ﻋﻦ ﺣﺐ اﷲ وذآﺮﻩ,ﻧﺎدﻣﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﺨﺎﺳﺮﻳﻦ وإذا ﻟﻬﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﻋﻦ ذآﺮ اﷲ.وﻣﻦ أﻟﻬﺎﻩ ﻣﺎﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ اﻟﺨﺎﺳﺮﻳﻦ وﻣﻦ ﻓﻘﻬﻪ ﻓﻰ اﻟﺸﺮ اﻧﻪ.ﺳﻜﻨﻪ اﻟﺸﻴﻄﺎن وﺻﺮﻓﻪ ﺣﻴﺚ أراد 291 .ﻳﺮﺿﻴﻪ ﺑﺒﻌﺾ أﻋﻤﺎل اﻟﺨﻴﺮ ﻟﻴﺮﻳﻪ اﻧﻪ ﻳﻔﻌﻞ اﻟﺨﻴﺮ Dunia adalah khamarnya setan. Siapa yang mabuk atau terbuai dengannya, maka dia tidak akan sadar kecuali saat kematian dating menjemput sambil menyesali dirinya di antara orang-orang yang merugi. Batas minimal keadaan orang cinta dunia adalah dia akan dilalaikan dari cinta kepada Allah dan mengingat-Nya. Siapa yang dilalaikan oleh hartanya maka dia termasuk kelompok orang yang merugi. Jika kalbu lalai dari mengingat Allah, maka setan akan bersemayam dan mengarahkan orang tersebut sekehendak setan.Dan di antara kecerdikan/kelicikan setan dalam kejahatan adalah bahwa dia membiarkan seseorang melakukan sebagian perbuatan baik untuk menumbuhkan sifat riya (bangga) pada orang itu bahwa ia mampu melakukan kebaikan itu. Di sinilah urgensi zakat dan infak atau sedekah memainkan peranannya dalam tazkiyatun nafs. Ia membersihkan jiwa dan hati manusia dari kekikiran dan kerakusan, serta pada saat yang bersamaan menanamkan cinta dan kasih sayang terhadap sesama.
290
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Birr wa al-Silah Bâb Mâ Jâ’a fî alSakhâ, h. 231; Zain al-Dîn al-Malîbari, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t), h. 40 291 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fi al-Zuhd wa al-Raqâ’iq,(T.tp.: Al-Maktabah atTaufîqiyyah, t.t.), h. 198
211
Cinta, kasih sayang, dan ucapan yang baik merupakan perkara yang penting dan
mendasar demi kebaikan pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian. Oleh karena itu, Rasulullah saw. telah memberikan keteladanan yang luhur dalam perilaku kehidupan beliau sehari-hari. Seluruh perilaku beliau senantiasa dihiasi dengan cinta, kasih sayang, dan sikap welas asih kepada semua makhluk Allah. Beliau adalah orang yang teramat penyayang, baik kepada orang yang dekat maupun yang jauh. Beliau merasa senang bila melihat orang senang dan bahagia. Dan beliau akan merasa susah bila orang lain mengalami penderitaan dan kesusahan. Oleh karena itu, beliau akan memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain sesuai dengan kondisi orang tersebut. Pernah suatu ketika beliau mempercepat shalat karena
mendengar
tangisan. Beliau tidak ingin memberatkan ibu si bayi yang tengah ikut shalat bersamanya. Itulah sebabnya, beliau menganjurkan agar seseorang yang menjadi imam hendaknya meringankan salatnya.292 Kasih sayang Rasulullah saw. salah satunya diwujudkan dalam kemurahan dan kedermawanan beliau terhadap sesama. Beliau dikenal sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan paling dermawan. Telapaknya bak mendung yang banyak mengandung kebaikan dan tangannya bak hujan deras yang menurunkan kemurahannya, bahkan kemurahan beliau lebih cepat daripada angin yang bertiup.293 3. Banyak Melakukan Ibadah Puasa 292
Aidh al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., (Bandung: Penerbit IBS, 2000), h.76-77 293 Ibid, h. 53
212
Sesungguhnya hal yang sangat berbahaya dan sangat merusak kehidupan manusia adalah memperturutkan syahwat perut. Tersebab syahwat perutlah nabi Adam dan Siti Hawa dikeluarkan dari surga. Perut dapat menjadi sumber penyakit dan kerusakan. Sebab, dari syahwat perut akan muncul syahwat farji (kemaluan) dan syahwat makanan. Jika seorang hamba menundukkan dirinya dengan cara berlapar dan mempersempit jalan-jalan setan, niscaya ia akan menjadi ringan dalam mematuhi Allah dengan melakukan berbagai kebajikan serta tidak akan melalui jalan kesesatan yang dimurkai-Nya.294 Atas dasar inilah Rasulullah saw. memberikan petunjuk kepada umatnya bagaimana cara mengkonsumsi makanan dan minuman secara proporsional.
ﻦ ُ ﻸ ا ْﺑ َ ل ﻣَﺎ َﻣ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ب ﻗَﺎ َ ﻦ َﻣ ْﻌ ِﺪ ْﻳ َﻜ ِﺮ ِ ﻦ ِﻣ ْﻘﺪَا ِم ْﺑ ْﻋ َ ن ْ َﻓِﺈ.ﺻ ْﻠ َﺒ ُﻪ ُ ﻦ َ ت ُﻳ ِﻘ ْﻤ ٌ ﻼ َ ﻦ ا َد َم َأ َآ ِ ﺐ ا ْﺑ ِ ﺴ َﺤ َ ِﺑ,ﻦ ٍﻄ ْ ﻦ َﺑ ْ ﻲ ِوﻋَﺎ ًء ﺷَﺮًّا ِﻣ ا َد ِﻣ ﱟ 295 ﺴ ِﻪ ِ ﺚ ِﻟ َﻨ َﻔ ٌ ﺸﺮَا ِﺑ ِﻪ َو ُﺛُﻠ َ ﺚ ِﻟ ٌ ﻄﻌَﺎ ِﻣ ِﻪ َو ُﺛُﻠ َ ﺚ ِﻟ ٌ ﻻ ُﻣﺤَﺎَﻟ َﺔ َﻓ ُﺜُﻠ َ ن َ آَﺎ Dari Miqdâm bin Ma’dîkarib ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang anak Adam memenuhi sebuah wadah yang lebih buruk daripada memenuhi perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang belakangnya. Maka tidak memungkinkan, maka hendaknya ia gunakan sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk bernafas.” (H.R. al-Tirmidzî dan Ibn Mâjah.) Sesungguhnya Hadis di atas merupakan prinsip umum dalam dunia kedokteran, sehingga menurut Ahmad Farîd yang mengutip ungkapan seorang dokter, seandainya manusia merealisasikan kandungan Hadis di atas, niscaya mereka akan terhindar dari berbagai macam penyakit dan toko-toko obat akan ditinggalkan. Sebab, sumber segala penyakit adalah banyak makan. Inilah manfaat
294
Ahmad Farîd, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 93-94 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ’a fî Karâhiyah Katsrah al-Akl, no. Hadis 2486, h. 18; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-At’imah Bâb al-Iqtisâd fî al-Akl wa Karâhah al-Syab’, h. 1111; al-Tirmidzî mengatakan bahwa hadis ini sahih. al-Dzahabî dan al-Albânî juga mensahihkannya 295
213
sedikit makan dari sisi kesehatan jasmani. Adapun manfaatnya dari sisi kesehatan ruhani adalah bahwa sedikit makan akan melahirkan kelembutan hati, kecerdasan, nafsu terkendali, dan melemahkan amarah.296 Dalam upaya mewujudkan hal di atas, al-Qur’an dan Hadis banyak mengingatkan keutamaan berlapar dan tercelanya kenyang.
ف َ ﺴ ْﻮ َ ت َﻓ ِ ﺸ َﻬﻮَا ﺼَﻠﻮ َة وَاﺗﱠﺒَﻌُﻮا اﻟ ﱠ ﻒ َأﺿَﺎﻋُﻮا اﻟ ﱠ ٌ ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ِه ْﻢ ﺧَْﻠ ْ ﻒ ِﻣ َ ﺨَﻠ َ َﻓ ﺠﱠﻨ َﺔ َ ن ا ْﻟ َ ﺧﻠُﻮ ُ ﻚ َﻳ ْﺪ َ ﻞ ﺻَﺎِﻟﺤًﺎ َﻓﺄُوَﻟِﺌ َ ﻋ ِﻤ َ ﻦ َو َ ب َوءَا َﻣ َ ﻦ ﺗَﺎ ْ ﻻ َﻣ ِإ ﱠ.ن ﻏَﻴًّﺎ َ َﻳْﻠ َﻘ ْﻮ ن ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َ ﻈَﻠﻤُﻮ ْ ﻻ ُﻳ َ َو Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyianyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal salih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.(Q.S. Maryam/19:59-60)
ﺧ ْﺒ ِﺰ ُ ﻦ ْ ِﻣρ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ل ُﻣ ُ ﺷ ِﺒ َﻊ ا َ ﺖ ﻣَﺎ ْ ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ أَ ﱠﻧﻬَﺎ ﻗَﺎَﻟ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺸ َﺔ َر َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ 297 ρﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ﺾ َر ِ ﺣﺘﱠﻰ ُﻗ ِﺒ َ ﻦ ِ ﻦ ُﻣ َﺘﺘَﺎ ِﺑ َﻌ ْﻴ ِ ﺷ ِﻌ ْﻴ ٍﺮ َﻳ ْﻮ َﻣ ْﻴ َ Dari ‘Aisyah r.a. sesungguhnya ia berkata: “Tidak pernah keluarga Muhammad saw. kenyang dengan roti yang terbuat dari gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah saw. meninggal dunia.” (Muttafaq ‘alaih)
ρﻲ ﻞ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ل ﻣَﺎ َأ َآ َ ﺧﺒﱠﺎ ٌز َﻟ ُﻪ ﻓﻘَﺎ ُ ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ ِ ﻋ ْﻨ ُﻪ َو َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺲ َر ٍ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ 298 ﷲ َ ﻲا َ ﻃ ًﺔ ﺣَﺘﱠﻰ َﻟ ِﻘ َ ﺴ ُﻤ ْﻮ ْ ﻻ ﺷَﺎ ًة َﻣ َ ﺧ ْﺒﺰًا ُﻣﺮَ ﱠﻗﻘًﺎ َو ُ Dari Anas r.a. ia berkata: Tidak pernah Nabi saw makan roti yang halus dan juga daging kambing yang telah siap dihidangkan sampai ia meninggal dunia.” (H.R. al- Bukhârî)
ﻸ َ ﻦ َﻣ ْ ت اﻟﺴﱠﻤﻮَاتِ َﻣ َ ﻞ َﻣَﻠ ُﻜ ْﻮ ُﺧ ُ ﻻ َﻳ ْﺪ َ ρﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ س ﻗَﺎ ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ُ ل ا ْﺑ َ ﻗَﺎ 299 ﻄ َﻨ ُﻪ ْ َﺑ 296
Ahmad Farîd, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 93-94 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb al-At’imah Bâb Mâ Kâna al-Nabî saw. wa Ashâbuh Ya’kulûna, h. 205; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 588 298 Al-Bukhārī, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb al-At’imah Bâb al-Khubâ al-Muraqqaq wa al-Akl ‘alâ al-Khiwâr wa al-Sufrah, h. 199 299 Al-Ghazālī, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz3, h. 78 lam yujad aslan 297
214
Ibn ‘Abbâs berkata: Nabi saw. bersabda: “Kerajaan langit tidak dapat dimasuki oleh orang selalu memenuhi perutnya.”
ﻲ َ ﻄﻌَﺎ ِم ِه ﻒ ا ْﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ِة َو ِﻗﱠﻠ ُﺔ اﻟ ﱠ ُ ﺼ ْ َا ْﻟ ِﻔ ْﻜ ُﺮ ِﻧρ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻦ ﻗَﺎ ُﺴ َﺤ َ ل ا ْﻟ َ قَا 300 ا ْﻟ ِﻌﺒَﺎ َد ُة al-Hasan berkata: Nabi saw. bersabda: “Berpikir itu setengah ibadah, sedang sedikit makan adalah ibadah itu sendiri.” Para ulama telah menetapkan sepuluh manfaat lapar, di antaranya adalah: a. Menjernihkan hati, menyalakan kebijakan, dan menajamkan penglihatan hati. Sementara kenyang dapat menyebabkan hati menjadi buta dan mempertebal asap dalam otak. Asy-Syibli mengtaakan: “Tidak pernah aku lapar karena Allah dalam satu hari, kecuali akan aku temukan sebuah pintu dari hikmah dan pelajaran yang belum pernah aku lihat sama sekali sebelumnya.” b. Tidak lupa akan cobaan dan azab dari Allah. Sebab, kenyang seringkali menyebabkan orang tidak jeli melihat dan memahami cobaan dan azab Allah. Hamba yang cerdas akan selalu ingat terhadap bencana akhirat ketika melihat kesulitan orang lain, sebuah sikap yang tidak dimiliki oleh orang yang selalu kenyang. Inilah salah satu sebab mengapa para nabi dan wali diistimewakan oleh Allah dengan berbagai cobaan. nabi Yûsuf pernah ditanya: “Mengapa engkau harus lapar, sedang di tanganmu terdapat simpanan kekayaan bumi?” Nabi Yusuf menjawab: “Aku khawatir kalau aku kenyang, aku lupa terhadap orang yang sedang lapar.”
300
Ibid
215
c.
Mematahkan keinginan nafsu untuk berbuat berbagai kemaksiatan dan kejahatan. Karena sesungguhnya sumber kemaksiatan itu adalah nafsu dan kekuatan, sedang bahan dari kesenangan nafsu dan kekuatan adalah makanan. Aisyah r.a. berkata: “Bid’ah pertama kali sepeninggal Rasulullah saw. adalah kenyang. Sesungguhnya manusia itu ketika kenyang perutnya, akan menjadi liarlah nafsunya dalam menghadapi dunia ini.”
d. Memudahkan untuk tekun beribadah. Orang yang memperturutkan nafsu perut, tentu akan banyak menyita waktunya untuk makan, dan ini juga akan menyebabkan dirinya berat jika diajak beribadah. Diceritakan bahwa Ar-Rasyid pernah mengumpulkan empat orang dokter, yaitu dokter berkebangsaan Hindi, Romawi, Irak, dan Sawwad. ArRasyid berkata: “(Aku minta) agar setiap orang dari kalian menerangkan obat yang
tidak mengandung efek samping yang berupa penyakit lain selain
penyakit yang
dapat diobati oleh obat tersebut.” Maka dokter yang
berkebangsaan Hindi, Romawi, dan Sawwadpun menyampaikan jenis obat yang menurut mereka tidak menimbulkan efek samping apa-apa. Namun, oleh dokter berkebangsaan Sawwad yang paling terkenal dan mahir di antara mereka, semua jenis obat yang mereka tawarkan ditolak. Dokter-dokter itupun berkata: “Lalu menurutmu obat apa?” Dia menjawab: “Obat yang tidak mengandung penyakit lain (efek samping) adalah kalau engkau memakan sesuatu makanan saat engkau betul-betul menginginkan dan mengangkat tanganmu dari makanan itu padahal engkau masih menginginkannya.” Dokterdokter lain serentak berkata: “Engkau benar.”
216
e. Memungkinkan seseorang mengutamakan orang lain dan bersedekah lebih kepada anak-anak yatim dan fakir miskin, lalu ia berada di bawah naungan sedekahnya pada hari kiamat.301 Rasulullah saw. pernah memandang seorang laki-laki
yang gendut
perutnya, lalu ditunjuknya perut itu dengan jari tangannya sambil bersabda: “Seandainya ini tidak berada dalam perut ini, tentu hal itu akan lebih baik bagimu.” (H.R. Ahmad, al-Hâkim, al-Baihaqî dari Ja’dah al-Habsyi. Sanadnya jayyid). Demi melahirkan kesehatan hati dan fisik inilah agama mensyariatkan puasa (sîyâm) minimal satu bulan dalam satu tahun. Puasa ibarat rem bagi perut dalam menghadapi kehidupan. Ia mutlak dibutuhkan dalam kehidupan setiap manusia. Hal ini dapat dipahami dari redaksi yang digunakan dalam surat alBaqarah ayat 183 tentang kewajiban puasa. Dalam ayat tersebut Allah tidak menggunakan kata “kataba” dalam bentuk aktif (binâ fâ’il), melainkan yang digunakan adalah redaksi “kutiba” dalam bentuk pasif (binâ maf’ûl). Hal ini memberikan pemahaman bahwa kalaupun Allah tidak mewajibkan, niscaya akal sehat manusia sendiri yang akan mewajibkannya demi kemaslahatan mereka sendiri. Abû Hurairah r.a (w. 57 H.) menyampaikan
bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
ﻋ ﱠﺰ َ ﷲ ُ لا َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ ُ ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻳ ُﻘ ْﻮ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ي ِﺑ ِﻪ ْ ﺟ ِﺰ ْ ﻲ َوَأﻧَﺎ َأ ْ ﺼﻴَﺎ َم َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ِﻟ ﻻ اﻟ ﱢ ﻦ ا َد َم َﻟ ُﻪ ِإ ﱠ ِ ﻞ ا ْﺑ ِ ﻋ َﻤ َ ﻞ ُآﻞﱡ ﺟﱠ َ َو 301
Rincian yang lebih lengkap dapat dilihat: Ibrahim M. Jamal, Penyakit Hati, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), Cet. II, h. 154-164
217
ن ْ ﺐ َﻓِﺈ ْ ﺨ َﺴ ْ ﻻ َﻳ َ ﺚ َﻳ ْﻮ َﻣ ِﺌٍﺬ َو ْ ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ َ ﺣ ِﺪ ُآ ْﻢ َﻓ َ ن َﻳ ْﻮ ُم َأ َ ﺟ ﱠﻨ ٌﺔ َﻓِﺈذَا آَﺎ ُ ﺼﻴَﺎ ُم وَاﻟ ﱢ 302 ﻞ إِﻧﱢﻲ ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ْ ﺣ ٌﺪ َأ ْو ﻗَﺎ َﺗَﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ُﻘ َ ﺳَﺎﺑﱠ ُﻪ َأ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah azza wajalla berfirman: ‘Semua amal anak Adam adalah miliknya, kecuali ibadah puasa. Sesungguhnya ibadah puasa itu adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Oleh karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa hendaknya ia tidak berkata kotor dan juga tidak bertindak bodoh. Apabila ada orang yang mengganggunya, hendaklah ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah) Dalam riwayat Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) digunakan redaksi sebagai berikut:
ي ِﺑ ِﻪ ْ ﺟ ِﺰ ْ ﻲ َوَأﻧَﺎ َأ ْ ﺼﻴَﺎ ُم ِﻟ ﻲ اﻟ ﱢ ْ ﺟِﻠ ْ ﻦ َأ ْ ﺷ ْﻬ َﻮ َﺗ ُﻪ ِﻣ َ ﺷﺮَا َﺑ ُﻪ َو َ ﻃﻌَﺎ َﻣ ُﻪ َو َ ك ُ َﻳ ْﺘ ُﺮ 303 ﺸ ِﺮ َأ ْﻣﺜَﺎِﻟﻬَﺎ ْ ﺴ َﻨ ُﺔ ِﺑ َﻌ َﺤ َ وَا ْﻟ “(Allah berfirman): ‘Dia meninggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya karena Aku. Ibadah puasa adalah milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Amal kebaikan itu akan digandakan sebanyak sepuluh kali lipat.’” (H.R. al-Bukhârî) Dalam Hadis tersebut dinyatakan bahwa puasa itu adalah ibarat perisai. Ia dapat berfungsi sebagai pemelihara seseorang dari dorongan syahwatnya. Orang yang berpuasa akan mampu mengekang nafsunya sehingga diapun memutuskan untuk tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan seksual, dan selalu berperilaku baik.dia tidak akan berkata kotor, bertindak bodoh, mencela dan mencaci orang lain, maupuin tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan murka Allah. Dalam ibadah puasa terkandung latihan untuk mengendalikan motivasi dan emosi, serta memperkuat kehendak untuk mengalahkan dorongan 302
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Hal Yaqûlu Innî Sâ’im idzâ Syutima, h. 228; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Fadl al-Siyâm, h. 465; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb al-Ghîbah lî al-Sâ’im, no. Hadis 2363 h. 307; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm, Bâb Dzikr al-Ikhtilâf ‘alâ Abî Sâlih fî Hâdzâ alHadîts, no. Hadis 2213, h. 370; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Mâ Jâ’a fî al-Ghîbah wa al-Rafats lî al-Sâ’im, no. Hadis 1691, h. 539-540 303 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Fadl al-Saum, h. 226
218
hawa nafsu dan syahwat. Rasulullah saw. telah memberikan nasehat kepada para pemuda yang belum mampu untuk menikah agar mereka berpuasa. Ibadah puasa dapat membantu mereka meredam dan mengendalikan motivasi seksual yang tengah menggebu-gebu. Dalam ibadah puasa terdapat unsur latihan bersabar. Dengan latihan bersabar, seseorang akan mampu menanggung berbagai beban berat kehidupan. Manakala seseorang yang menunaikan ibadah puasa merasa terhalangi untuk makan dan minum, maka akan tumbuh dalam dirinya rasa empati, ikut merasakan penderitaan kaum papa. Sebagai biasnya dia akan mengasihani dan membantu saudaranya yang bernasib kurang beruntung secara ekonomi. Dia akan selalu membantu orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Dia akan selalu peka dengan segala perkembangan yang terjadi di tengah masyarakatnya sehingga tumbuh rasa tanggung jawab sosial. Hal ini tentunya akan menciptakan hubungan sosial yang baik antara dirinya dengan orang-orang lain. Hubungan sosial yang baik dengan lingkungan sekitarnya akan melahirkan kedamaian dan ketentraman dalam hatinya.304 Rasulullah saw. senantiasa memotivasi umatnya untuk menunaikan ibadah puasa yang sangat bermanfaat ini melalui sabda-sabdanya:
ﻦ ﺻَﺎ َم ْ ل َو َﻣ َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 305 ِ ﻦ َذ ْﻧ ِﺒ ْ ﻏ ِﻔ َﺮ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َﺗ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣ ُ ﺣ ِﺘﺴَﺎﺑًﺎ ْ ن ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ وَا َ َر َﻣﻀَﺎ ` ﻪ Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menunaikan puasa Ramadhan dengan dilandasi iman dan keikhlasan, maka dosa-
304
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 410 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al- Saum Bâb Sâma Ramadân Îmânan wa Ihtisâban wa Niyyatan, h. 228 305
219
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ahmad)
ﻦ ْ ل ﻣَﺎ ِﻣ َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺨ ْﺪرِي َر ُ ﺳ ِﻌ ْﻴ ٍﺪ ا ْﻟ َ ﻲ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻦ ِﻋ َ ﺟ َﻬ ُﻪ ْ ﻚ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم َو َ ﷲ ِﺑ َﺬِﻟ ُ ﻋ َﺪ ا َ ﻻ ﺑَﺎ ﷲ ِإ ﱠ ِ ﻞا ِ ﺳ ِﺒ ْﻴ َ ﻲ ْ ﺼ ْﻮ ُم َﻳ ْﻮﻣًﺎ ِﻓ ُ ﻋ ْﺒ ٍﺪ َﻳ َ 306 ﺧ ِﺮ ْﻳﻔًﺎ َ ﻦ َ ﺳ ْﺒ ِﻌ ْﻴ َ اﻟﻨﱠﺎ ِر Dari Abû Sa’îd al-Khudrî r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak seorang hambapun yang menunaikan ibadah puasa satu hari saja di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkannya dari neraka (sejauh jarak perjalanan) tujuh puluh tahun lantaran ibadah puasa tersebut.” (H.R. al-Bukhârî , Muslim, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah)
ك َو َﺗﻌَﺎﻟَﻰ َ ﷲ َﺗﺒَﺎ َر َ نا ِإ ﱠρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ َأ ِﺑ ْﻴ ِﻪ ﻗَﺎ ْﻋ َ ﺳَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻲ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻦ ﺻَﺎ َﻣ ُﻪ َوﻗَﺎ َﻣ ُﻪ ْ ﺖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻗﻴَﺎ َﻣ ُﻪ َﻓ َﻤ ُ ﺳ َﻨ ْﻨ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َو َ ن َ ﺻﻴَﺎ َم َر َﻣﻀَﺎ ِ ض َ َﻓ َﺮ 307 ﻦ ُذ ُﻧ ْﻮ ِﺑ ِﻪ َآ َﻴ ْﻮ ِم َوَﻟ َﺪ ْﺗ ُﻪ ُأﻣﱡ ُﻪ ْ ج ِﻣ َ ﺧ َﺮ َ ﺣ ِﺘﺴَﺎﺑًﺎ ْ ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ وَا Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan kepada kalian. Dan aku telah menyunnahkan salat pada malam harinya untuk kalian. Maka siapa saja yang berpuasa Ramadhan dan melakukan shalat pada malam harinya dengan didasari keimanan dan keikhlasan, maka dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. AnNasā’ī) Menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.), ada enam hal yang harus diperhatikan dalam upaya menyempurnakan ibadah Puasa, yaitu:308 a. Menundukkan pandangan dan menahannya dari memandang segala hal yang dibenci dan dicela. Rasulullah saw. bersabda:
ﻦ ﺗَﺮَآَﻬَﺎ ْ ﷲ_ َﻓ َﻤ ُ ﺲ _َﻟ َﻌ َﻨ ُﻪ ا َ ﺳﻬَﺎ ِم ِإ ْﺑِﻠ ْﻴ ِ ﻦ ْ ﺴ ُﻤ ْﻮ ٌم ِﻣ ْ ﻈ َﺮ ُة ﺳَ ْﻬ ٌﻢ َﻣ ْ اَﻟﻨﱠ ﻲ َﻗ ْﻠ ِﺒ ِﻪ ْ ﻼ َو َﺗ ُﻪ ِﻓ َ ﺣ َ ﺠ ُﺪ ِ ﻞ ِإ ْﻳﻤَﺎﻧًﺎ َﻳ ﺟﱠ َ ﻋ ﱠﺰ َو َ ﷲ ُ ﷲ اﺗَﺎ ُﻩ ا ِ ﻦا َ ﺧ ْﻮﻓًﺎ ِﻣ َ 306
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Fadl al-Siyâm fî Sabîl al-Lâh liman yutîquh bilâ Darar walâ Tafwît Haqq h. 466; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm Bâb Tsawâb Man Sâma Yauman fî Sabîl al-Lâh ‘Azza wa Jalla wa Dzikr Ikhtilâf ‘alâ Suhail ibn Abî Sâlih, no. Hadis 2242, h. 373; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb fî Siyâm Yaum fî Sabîl al-Lâh, no. Hadis 1717, h. 547-548 307 al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Siyâm Bâb Dzikr Ikhtilâf Yahyâ ibn Abî Katsîr wa al-Nadr ibn Syaibân fîh, no. hadis 2207, h. 369 308 al-Ghazâlî, Ihyâ ‘ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 235-237
220
“Memandang adalah salah satu anak panah iblis. Siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan menganugerahkan kepadanya keimanan yang ia dapat rasakan manisnya di kalbunya.” (H.R. al-Hâkim)309 b. Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran, dan perdebatannya, mengendalikannya dengan diam, sibuk dengan zikrullah dan tilawah al-Qur’an. Nabi saw. bersabda:
ﺟﱠﻨ ٌﺔ ُ ل اﻟﺼﱢﻴَﺎ ُم َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأِﺑ ْﻋ َ ﻲ ْ ﻲ ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ ِإﱢﻧ ْ ﻞ ِإﱢﻧ ْ ن ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ ﻗَﺎَﺗَﻠ ُﻪ َأ ْوﺷَﺎَﺗ َﻤ ُﻪ َﻓْﻠَﻴ ُﻘ ِ ﻞ َوِإ ْ ﺠ َﻬ ْ ﻻ َﻳ َ ﺚ َو ْ ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ َ َﻓ 310 ﺻَﺎﺋِ ٌﻢ Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:“Sesungguhnya puasa itu merupakan perisai. Oleh karena itu, (jika salah seorang di antara kalian berpuasa), maka hendaklah ia tidak berkata kotor dan bertindak bodoh. Jika seseorang menyerangnya atau mencaci makinya, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah) c. Menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci. d. Menahan anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan kaki dan tangan dari hal-hal yang dibenci dan menahan perut dari hal-hal yang syubhat. e. Tidak memperbanyak makan makanan yang halal pada saat berbuka, karena tidak ada yang paling dibenci oleh Allah selain perut yang penuh dengan makanan halal. f. Hendaknya setelah iftar, hatinya senantiasa berada dalam kondisi cemas (khauf) dan harap (rajâ), sebab ia tidak tahu apakah puasanya
309
diterima
al-Hâkim mensahihkan sanadnya al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb Fadl al-Saum, h. 226; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Siyâm, Bâb Fadl al-Siyâm, h. 465; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Saum Bâb al-Ghîbah lî al-Sâ’im, no. Hadis 2363, h. 307; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Siyâm Bâb Dzikr al-Ikhtilâf ‘alâ Abî Sâlih fî Hâdzâ al-Hadîts, no. Hadis 2214, h. 370; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Siyâm Bâb Mâ Jâ’a fî al-Ghîbah wa alRafats lî al-Sâ’im, no. Hadis 1691, h. 539-540 310
221
sehingga termasuk ke dalam golongan muqarrabîn atau ditolak dan masuk ke dalam golongan yang dimurkai? Diriwayatkan bahwa suatu ketika al-Hasan bin Abû al-Hasan al-Basrî melewati suatu kaum yang sedang tertawa. Beliaupun kemudian berkata: “Sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena perlombaan melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya. Kemudian ada orang-orang yang berlomba hingga menang dan ada pula orang-orang yang tertinggal lalu kecewa. Tetapi yang sangat mengherankan adalah pemain yang tertawa-tawa di saat orang-orang lain berpacu meraih kemenangan.” 4. Menunaikan Ibadah Haji Ritual haji mengajarkan bagaimana menanggung beban berat, melatih diri untuk memerangi hawa nafsu, dan mengendalikan dorongan serta gejolak syahwat. Sebab, dalam menunaikan ibadah haji seseorang tidak boleh melakukan hubungan intim, tidak boleh cekcok, mencaci, menyakiti orang lain, atau melakukan hal-hal yang dimurkai Allah. Ritual haji mampu meredam rasa sombong, congkak, angkuh, dan merasa lebih baik ketimbang orang lain. Semua orang memiliki kedudukan yang sama ketika menunaikan ibadah haji. Mereka mengenakan busana yang sama tanpa perbedaan antara yang kaya dan yang miskin atau antara atasan dengan bawahan. Semua merasa berada dalam posisi yang sejajar, beribadah di Baitul Haram dengan khusyu, tunduk, mengakui kelemahan dan keterbatasannya,
serta hanya mengabdi kepada Allah demi
mengharapkan maghfirah dan ridha-Nya. Di tempat yang dipenuhi dengan spirit ruhaniah, hubungan seseorang dengan Tuhannya akan semakin bertambah dekat
222
dan kuat. Seseorang akan merasakan kejernihan hati, ketenangan jiwa, dan mengalami kondisi spiritual yang dipenuhi dengan rasa cinta dan bahagia.311 Dalam ritual haji, seseorang juga akan membersihkan dirinya dari perasaan dengki, hasud, dan benci kepada pihak lain. Sebaliknya, rasa cinta, kasih sayang dan persaudaraannya dengan sesama akan lebih kental dan melekat dalam hatinya. Oleh karena itu, ibadah haji dapat menjadi salah satu terapi menawarkan dan menyehatkan jiwa. Pada saat itu seseorang akan terasa mudah mengakui segala tindakan dosa yang telah dilakukannya selama ini. Dan ia sadar bahwa Rasulullah saw. menjanjikan pahala berupa ampunan dosa bagi orang yang hajinya berpredikat haji mabrur. Ada sebuah riwayat berikut ini:
ل َا ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ُة إِﻟَﻰ َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 312 ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ ﻻ ا ْﻟ ﺲ َﻟ ُﻪ ﺟَﺰَا ٌء ِإ ﱠ َ ﺞ ا ْﻟ َﻤ ْﺒ ُﺮ ْو ُر َﻟ ْﻴ ﺤﱡ َ ا ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة ُﺗ َﻜﻔﱢ ُﺮ ﻣَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ وَا ْﻟ Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “(Antara) umrah sampai umrah berikutnya dapat melebur dosa-dosa yang ada di anatara keduanya. Dan ibadah haji yang mabrur itu tidak lain balasannya adalah surga. (H.R. alBukhârî,, Muslim, al-Tirmidzî, dan al-Nasâ’î)
ﻦ ْ ل َﻣ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 313 ﺟ َﻊ َآ َﻴ ْﻮ ِم َوَﻟ َﺪ ْﺗ ُﻪ ُأﻣﱡ ُﻪ َ ﺚ َر ْ ﻼ َﻳ ْﺮ ُﻓ َ ﷲ َﻓ ِ ِﺞ ﺣﱠ َ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji ikhlas karena Allah sehingga dia tisdak melakukan hubungan intim dan tidak melakukan perbuatan 311
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 412 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb al-‘Umrah, h. 198; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Hajj Bâb Fî Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah wa Yaum ‘Arafah, 566; alTirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Hajj Bâb Mâ Jâ’a fî Dzikr Fadl al-‘Umrah, no. Hadis 937, h. 206; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj al-Mabrûr, no. Hadis 2619, h. 432-433 313 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj al-Mabrûr, h. 141; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Hajj Bâb Fî Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah wa Yaum ‘Arafah, h. 566; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzi, Juz 2, Abwâb al-Hajj Bâb Mâ Jâ’a fî Tsawâb al-Hajj wa al‘Umrah , no. Hadis 808, h. 153; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl alHajj, no. Hadis 2624, h. 433; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah, no. Hadis 2889, h. 964-965 312
223
dosa besar, maka dia akan pulang seperti pada hari dia baru dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan al-Nasâ’î)
ρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد َر ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ن ا ْﻟ َﻔ ْﻘ َﺮ وَاﻟ ﱡﺬ ُﻧ ْﻮبَ َآﻤَﺎ ﻳَ ْﻨﻔِﻰ ِ ﺞ وَا ْﻟ ُﻌ ْﻤ َﺮ ِة َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻳ ْﻨ ِﻔﻴَﺎ ﺤﱢ َ ﻦ ا ْﻟ َ ﺗَﺎﺑِ ُﻌﻮْا َﺑ ْﻴ ب ٌ ﺠ ِﺔ ا ْﻟ َﻤ ْﺒ ُﺮ ْو َر ِة ﺛَﻮَا ﺤﱠ َ ﺲ ِﻟ ْﻠ َ ﻀ ِﺔ َوَﻟ ْﻴ ﺐ وَا ْﻟ ِﻔ ﱠ ِ ﺤ ِﺪ ْﻳ َﺪ وَاﻟ ﱠﺬ َه َ ﺚ ا ْﻟ َ ﺧ َﺒ َ ا ْﻟ ِﻜ ْﻴ ُﺮ 314 ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ ﻻ ا ْﻟ ِإ ﱠ Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata:Rasulullah saw. bersabda: “Kerjakanlah ibadah haji dan umrah secara berturut-turut! Karena sesungguhnya kedua ibadah tersebut bias menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana tungku api mampu menghilangkan kotoran besi, emas, dan perak (yang sedang ditempa). Tidak ada ganjaran untuk haji yang mabrur kecuali hanya surga.” (H.R. al-Tirmidzî, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah) Orang yang menunaikan ibadah haji akan mengharapkan Allah swt. menerima ibadahnya, mengabulkan doanya, dan mengampuni dosanya. Oleh karena itu, dia akan kembali dari hajinya dalam keadaan bebas dari perasaan berdosa, jauh dari gundah. Dan pada saat yang bersamaan akan merasuk ke dalam kalbunya perasaan tenang, tentram, rasa bahagia, dan suka cita. Agar ibadah haji dapat terlaksana dengan baik, maka selain ada adab-adab lahir yang harus diperhatikan, menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.) ada pula beberapa adab batin yang layak untuk dicermati, yaitu:315 a. Hendaklah ia berhaji dengan harta yang halal; b. Hendaknya ia berusaha untuk tidak menyerahkan dirinya diperas orang-orang yang mengganggu jamaah haji; c. Hendaknya ia tidak memboroskan bekalnya untuk makan dan minum yang mewah atau membeli kelezatan-kelezatan selama di perjalanan;
314
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb Bâb Mâ Jâ’a fî Tsawâb al-Hajj wa al‘Umrah , no. Hadis 807, h. 153; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb Manâsik al-Hajj Bâb Fadl alHajj, no. Hadis 2628, h. 433; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Hajj Bâb Fadl al-Hajj wa al-‘Umrah, no. Hadis 2887, h. 964 315 al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid I, h. 263-267
224
d. Hendaknya ia meninggalkan segala macam akhlak tercela; e. Diutamakan memperbanyak berjalan; f.
Hendaknya
ia
berpakaian
sederhana
dan
meninggalkan
tanda-tanda
kesombongan dan kemewahan; g. Hendaknya ia bersabar menerima musibah yang menimpa badannya atau bila ia kehilangan harta. 5. Tilawah al-Qur’an sambil Merenungi Kandungannya Sejak manusia mengenal baca tulis al-Qur’an sekitar lima ribu tahun yang lampau, tiada satu bacaanpun yang dapat menandingi al-Qur’an. Yang dipelajari dari al-Qur’an tidak hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, melainkan juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan
jilid buku, generasi demi
generasi, dan dari sudut pandang yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan mereka. al-Qur’an laksana permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai sudut pandang orang yang memandangnya. Ditemukan banyak tek-teks keagamaan yang menyatakan keagungan AlQuran sehingga memotivasi umat untuk membaca, memahami, dan mengamalkan kandungannya.
ﺼﺪُو ِر ﻦ َر ﱢﺑ ُﻜ ْﻢ وَﺷِﻔَﺎ ٌء ِﻟﻤَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱡ ْ ﻈ ٌﺔ ِﻣ َﻋ ِ س َﻗ ْﺪ ﺟَﺎ َء ْﺗ ُﻜ ْﻢ َﻣ ْﻮ ُ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺎ ِ ﺣ َﻤ ٌﺔ ِﻟ ْﻠ ُﻤ ْﺆ ْ وَ ُهﺪًى َو َر
ﻣﻨِﻴﻦ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yûnus/10:57)
ﻻ َﻳﺰِﻳ ُﺪ َ ﺣ َﻤ ٌﺔ ﻟِ ْﻠ ُﻤ ْﺆﻣِﻨِﻴﻦَ َو ْ ن ﻣَﺎ ُه َﻮ ﺷِﻔَﺎ ٌء َو َر ِ ﻦ ا ْﻟ ُﻘ ْﺮءَا َ ل ِﻣ ُ َوُﻧ َﻨﺰﱢ َ ﻻ ﻦ ِإ ﱠ َ اﻟﻈﱠﺎِﻟﻤِﻴ
ﺧﺴَﺎرًا 225
Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. al-Isrâ/17:82)
ﻲ ﺠ ِﻤ ﱞ َﻋ ْ ﺖ ءَاﻳَﺎ ُﺗ ُﻪ َءَأ ْ ﺼَﻠ ﻻ ُﻓ ﱢ َ ﺠﻤِﻴًّﺎ َﻟﻘَﺎﻟُﻮا َﻟ ْﻮ َﻋ ْ ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ُﻩ ُﻗ ْﺮءَاﻧًﺎ َأ َ َوَﻟ ْﻮ ن ﻓِﻲ َ ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ ﻦ َ ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا ُهﺪًى وَﺷِﻔَﺎ ٌء وَاﱠﻟﺬِﻳ َ ﻞ ُه َﻮ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ ْ ﻲ ُﻗ ﻋ َﺮ ِﺑ ﱞ َ َو ٍ ﻦ َﻣﻜَﺎ ْ ن ِﻣ َ ﻚ ُﻳﻨَﺎ َد ْو َ ﻋﻤًﻰ أُوَﻟ ِﺌ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ ءَاذَا ِﻧ ِﻬ ْﻢ وَ ْﻗ ٌﺮ َو ُه َﻮ
ن َﺑﻌِﻴ ٍﺪ Dan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: " al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. Fussilat/40:44)
ﺟ َﺘ َﻤ َﻊ ﻗَ ْﻮ ٌم ْ َوﻣَﺎاρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﺖ ْ ﻻ َﻧ َﺰَﻟ ﺳ ْﻮ َﻧ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ ِإ ﱠ ُ ﷲ َو َﻳ َﺘﺪَا َر ِ با َ ن ِآﺘَﺎ َ ﷲ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ ِ تا ِ ﻦ ُﺑُﻴ ْﻮ ْ ﺖ ِﻣ ٍ ﻲ َﺑ ْﻴ ْ ِﻓ ﻦ ْ ﷲ ِﻓ ْﻴ َﻤ ُ ﻼ ِﺋ َﻜ ُﺔ َو َذ َآ َﺮ ُه ُﻢ ا َ ﺣﻔﱠ ْﺘ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ َﻤ َ ﺣ َﻤ ُﺔ َو ْ ﺸ َﻴ ْﺘ ُﻬ ُﻢ اﻟ ﱠﺮ ِﻏ َ ﺴ ِﻜ ْﻴ َﻨ ُﺔ َو ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ اﻟ ﱠ َ 316 ﻋ ْﻨ َﺪ ُﻩ ِ Dari Abû Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah sebuah kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk melantunkan (bacaan) kitab Allah dan saling mempelajarinya, kecuali ketentraman akan turun dalam kalbu mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)
ِ ﺳ ْﻮ َل اﷲ ُ ﺖ َر ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َل َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ρ ﻲ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ْ ن َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ْﺄ ِﺗ َ َﻳ ُﻘ ْﻮ ُل ِإ ْﻗ َﺮؤُا ا ْﻟ ُﻘﺮْا ﺻﺤَﺎ ِﺑ ِﻪ ْ ﺷ ِﻔ ْﻴﻌًﺎ َﻻ َ
317
Dari Abû Umâmah r.a. dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat (pertolongan) bagi orang-orang yang membaca dan mengamalkan kandungannya.” (H.R. Muslim)
َا ْﻟﻤَﺎ ِه ُﺮρ ﷲ ِ ل ا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ﺖ ﻗَﺎ ْ ﷲ ﻋَ ْﻨﻬَﺎ ﻗَﺎَﻟ ُ ﻲ ا َﺿ ِ ﺸ َﺔ َر َ ﻦ ﻋَﺎ ِﺋ ْﻋ َ ن َو َﻳ َﺘ َﺘ ْﻌ َﺘ ُﻊ ِﻓ ْﻴ ِﻪ َ ي َﻳ ْﻘ َﺮُأ ا ْﻟ ُﻘﺮْا ْ ﺴ َﻔ َﺮ ِة ا ْﻟﻜِﺮَامِ ا ْﻟ َﺒ َﺮ َر ِة وَاﱠﻟ ِﺬ ن َﻣ َﻊ اﻟ ﱠ ِ ﺑِﺎا ْﻟ ُﻘﺮْا 318 ن ِ ﺟﺮَا ْ ق َﻟ ُﻪ َأ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ﺷَﺎ ﱞ َ َو ُه َﻮ 316
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Dzikr wa al-Du’â wa al-Taubah wa al-Istighfâr Bâb Fadl al-Ijtimâ’ ‘alâ Tilâwah al-Qur’ân wa ‘alâ al-Dzikr, h. 473-474; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb Fî Tsawâb Qirâ’ah al-Qur’ân, no. Hadis 1455, h. 71; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Fadl al-Dzikr, no. Hadis 3791, h. 1245 317 Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl Qirâ’ah al-Qur’ân wa Sûrah al-Baqarah, , h. 321
226
Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang mahir membaca al-Qur’an, maka kelak (dia di surga) bersama para malaikat yang mulia dan baik. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dengan terbata-bata dan dia merasa berat, maka baginya dua pahala.” (al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah)
ﺳ َﺪ ُ ﻻ ﺗَﺤَﺎ َ ρﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻞ َو اﻟ ﱠﻨﻬَﺎ ِر ِ ن َﻓ ُﻬ َﻮ َﻳ ْﺘُﻠ ْﻮ ُﻩ اﻧَﺎ َء اﻟﱠﻠ ْﻴ َ ﷲ ا ْﻟ ُﻘﺮْا ُ ﻞ اﺗَﺎ ُﻩ ا ٌﺟ ُ َﻦ ر ِ ﻻ ﻓِﻰ ا ْﺛ َﻨ َﺘ ْﻴ ِإ ﱠ ﷲ ُ ﻞ اﺗَﺎ ُﻩ ا ٌﺟ ُ ﻞ َو َر ُ ﺖ َآﻤَﺎ َﻳ ْﻔ َﻌ ُ ﻲ هَﺬَا َﻟ َﻔ َﻌ ْﻠ َ ﻞ ﻣَﺎ ُأ ْو ِﺗ َ ﺖ ِﻣ ْﺜ ُ ل َﻟ ْﻮ ُأ ْو ِﺗ ْﻴ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮ ﺖ َآﻤَﺎ ُ ﻲ هَﺬَا َﻟ َﻔ َﻌ ْﻠ َ ﻞ ﻣَﺎ ُأ ْو ِﺗ َ ﺖ ِﻣ ْﺜ ُ ل َﻟ ْﻮ ُأ ْو ِﺗ ْﻴ ُ ﺣ ﱢﻘ ِﻪ َﻳ ُﻘ ْﻮ َ ﻲ ْ ﻻ ُﻳ ْﻨ ِﻔ ُﻘ ُﻪ ِﻓ ً ﻣَﺎ 319 ﻞ ُ َﻳ ْﻔ َﻌ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw., beliau bersabda: “Tidak diperkenankan bersikap dengaki kecuali dalam dua hal, yaitu: (Pertama) Terhadap orang yang dianugerahkan al-Qur’an oleh Allah lalu dia membacanya sepanjang siang dan malam, lalu ia (yang dengki) berkata, ‘Seandainya aku diberikan seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku akan melakukan seperti yang dilakukannya’. Dan (Kedua) terhadap orang yang dianugerahkan harta oleh Allah lalu dia menafkahkannya (di jalan Allah) sesuai dengan peruntukkannya, lalu ia (yang dengki) berkata, ‘Seandainya aku diberikan seperti yang diberikan kepadanya, niscaya aku akan melakukan seperti yang dilakukannya’.” (H.R. alBukhârî dan Ahmad)
ﺣ ْﺮﻓًﺎ َ ﻦ َﻗ َﺮَأ ْ ﻗﺎل َﻣρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ل اﻟﻢ ُ ﻻ َأ ُﻗ ْﻮ َ ﺸ ِﺮ َأ ْﻣﺜَﺎِﻟﻬَﺎ ْ ﺴ َﻨ ُﺔ ِﺑ َﻌ َﺤ َ ﺴ َﻨ ٌﺔ َو ا ْﻟ َﺣ َ ﷲ َﻓَﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ ِ با ِ ﻦ ِآﺘَﺎ ْ ِﻣ 320 ف ٌ ف َو ِﻣ ْﻴ ٌﻢ ﺣَ ْﺮ ٌ ﻻ ٌم ﺣَ ْﺮ َ ف َو ٌ ﻒ ﺣَ ْﺮ ٌ ﻦ َاِﻟ ْ ف َوَﻟ ِﻜ ٌ ﺣَ ْﺮ Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kabaikan, dan satu kebaikan itu akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa alif laam miim itu satu huruf. Akan tetapi (ia terdiri dari) alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (H.R. al-Tirmidzî)
318
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah ‘Abasa, h. 80; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Fadl al-Mâhir bi alQur’ân wa al-Ladzî Yatata’ta’u fîh, h. 319; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl Qâri’ al-Qur’ân, no. Hadis 3068, h. 244; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 2, Kitâb al-Salâh Bâb fî Tsawâb Qirâ’ah al-Qur’ân, no. Hadis 1454, h. 70-71; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Tsawâb al-Qur’ân, no. Hadis 3779, h. 1242 319 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 8, Kitâb al-Tamanni Bâb Tamannî al-Qur’ân wa al‘Ilm, h. 129, dan Bâb Qaul al-Nabî saw. Rajul Âtâh al-Lâh al-Qur’ân, h. 209; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 9, 36; al-Nawawî, Riyâd al- Sâlihîn, h. 388 320 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Man Qara’a Harfan min al-Qur’ân falah min al-Ajr, no. Hadis 3075, h. 248
227
ﻦ َﻗ َﺮَأ ُآﻞﱠ َﻳ ْﻮ ٍم ْ ل َﻣ َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺲ َر ٍ ﻦ أَﻧ ْﻋ َ ن ْ ﻻ َأ ﺳ َﻨ ًﺔ ِإ ﱠ َ ﻦ َ ﺴ ْﻴ ِ ﺧ ْﻤ َ ب ُ ﻋ ْﻨ ُﻪ ُذ ُﻧ ْﻮ َ ﻲ َﺤ ِ ﺣ ٌﺪ ُﻣ َ ﷲ َأ ُ ﻞ ُه َﻮ ا ْ ﻲ َﻣ ﱠﺮ ٍة ُﻗ ْ ﻣِﺎ َﺋ َﺘ 321 ﻦ ٌ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ دَ ْﻳ َ ن َ َﻳ ُﻜ ْﻮ Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa membaca qul huwallâhu ahad sebanyak dua ratus kali setiap hari, maka dosa-dosanya selama lima puluh tahun akan diampuni kecuali kalau dia memiliki tanggungan hutang.” (H.R. al-Tirmidzî) Keagungan yang dimiliki al-Qur’an sebagaimana yang tergambar dalam teks-teks di atas inilah salah satu hal yang menyebabkan bahwa tilawah al-Qur’an dipandang sebagai
dzikir paling utama (afdal al-dzikr), terlebih jika diringi
dengan merenungi (tadabbur) maknanya. Apalagi salah satu tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan.322 Tilawah al-Qur’an sebagaimana ditegaskan oleh Sa’id Hawa, dapat menghaluskan jiwa, menerangi hati, menyempurnakan fungsi salat, zakat, puasa, dan haji dalam mencapai maqam ubudiyah kepada Allah swt.323 Tilawah al-Qur’an adalah obat yang cukup manjur untuk menghilangkan rasa gundah yang timbul karena perasaan berdosa. Bahkan ia mampu mengobati semua ketidakstabilan jiwa dan kegoncangan psikis maupun mental. Rasulullah saw. sendiri pernah mengobati penyakit gila melalui al-Qur’an sebagaimana riwayat berikut ini:
َﻓﺠَﺎ َءρ ﻲ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِ ﺖ ُ ل ُآ ْﻨ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺐ َر ٍ ﻦ َآ ْﻌ ِ ﻦ ُأ َﺑﻲﱢ ْﺑ ْﻋ َ ل ِﺑ ِﻪ َ ﺟ ُﻌ ُﻪ ﻗَﺎ َ ل وَﻣَﺎ َو َ ﺟ ٌﻊ ﻗَﺎ َ ﻲ َأﺧًﺎ َو ِﺑ ِﻪ َو ْ ن ِﻟ ﷲ ِإ ﱠ ِ ﻲا ل ﻳَﺎ َﻧ ِﺒ ﱠ َ ﻲ َﻓﻘَﺎ ﻋﺮَا ِﺑ ﱞ ْ َأ 321
Ibid, Juz 4, Abwâb Fadâ’il al-Qur’ân Bâb Mâ Jâ’a fî Sûrah al-Ikhlâs, no. Hadis 3062,
h. 241-242
322 323
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 12 Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa, h. 86
228
ب ِ ﺤ ِﺔ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ َ ِﺑﻔَﺎ ِﺗρ ﻲ ﻦ َﻳ َﺪ ْﻳ ِﻪ َﻓ َﻌ ﱠﻮ َذ ُﻩ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﺿ َﻌ ُﻪ َﺑ ْﻴ َ ﻲ ِﺑ ِﻪ َﻓ َﻮ ْ ل َﻓ ْﺄ ِﺗ ِﻨ َ َﻟ َﻤ ٌﻢ ﻗَﺎ ﻦ ) َوإِﻟ ُﻬ ُﻜ ْﻢ إِﻟ ٌﻪ ِ ﻦ اﻻ َﻳ َﺘ ْﻴ ِ ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ ِة َوهَﺎ َﺗ ْﻴ ُ ل ِ ﻦ َأ ﱠو ْ ت ِﻣ ٍ َوَأ ْر َﺑ ِﻊ اﻳَﺎ ﻦ ْ ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ ِة وَا َﻳ ٍﺔ ِﻣ ُ ﺧ ِﺮ ِﻦا ْ ت ِﻣ ٍ ث اﻳَﺎ َ ﻼ َ ﻲ َو َﺛ ﺳﱢ ِ وﱠاﺣِ ٌﺪ( وَا َﻳ ُﺔ ا ْﻟ ُﻜ ْﺮ ن َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ ف )ِإ ﱠ ِ ﻋﺮَا ْﻷ َ ﻻ ُه َﻮ( وَا َﻳ ُﺔ ا ﻻاِﻟ َﻪ ِإ ﱠ َ ﷲ َأﻧﱠ ُﻪ ُ ﺷ ِﻬ َﺪ ا َ)ن َ ﻋ ْﻤﺮَا ِ ل ِا َ ﻷ ْر َ ت وَا ِ ﻖ اﻟﺴﱠﻤﻮَا َ ﺧَﻠ َ ي ْ ﷲ اﱠﻟ ِﺬ ُ ا ﻦ ) َﻓ َﺘﻌَﺎﻟَﻰ َ ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ ُ ﺧ ِﺮ ِ ض( وَا ﺸ ِﺮ ْﻋ َ ﺟ ﱡﺪ رَﺑﱢﻨَﺎ( َو َ ﻦ) َوَأ ﱠﻧ ُﻪ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ ﺠﱢ ِ ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ ُ ﻦ ْ ﻖ( وَا َﻳ ٍﺔ ِﻣ ﺤﱡ َ ﻚ ا ْﻟ ُ ﷲ ا ْﻟ َﻤِﻠ ُ ا ﻞ ْ ﺸ ِﺮ َو ُﻗ ْﺤ َ ﺳ ْﻮ َر ِة ا ْﻟ ُ ﺧ ِﺮ ِﻦا ْ ت ِﻣ ٍ ث اﻳَﺎ ِ ﻼ َ ت َو َﺛ ِ ل اﻟﺼﱠﺎﻓﱠﺎ ِ ﻦ َأ ﱠو ْ ت ِﻣ ٍ اﻳَﺎ 324 .ﻂ ﻚ َﻗ ﱡ ِ ﺸ َﺘ ْ ﻞ َآَﺄ ﱠﻧ ُﻪ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﺟ ُ ﻦ َﻓﻘَﺎ َم اﻟﺮﱠ ِ ﺣ ٌﺪ وَا ْﻟ ُﻤ َﻌ ﱢﻮ َذ َﺗ ْﻴ َ ﷲ َأ ُ ُه َﻮ ا Dari Ubay bin Ka’ab r.a. dia berkata: “Aku pernah berada di sisi Nabi saw.. lantas ada seorang badui seraya berkata: ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku mempunyai seorang saudara yang sedang sakit..’ Rasulullah bertanya, ‘Apa sakit yang dideritanya?’ Orang badui itu menjawab, “Dia itu gila.’Rasulullah bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku!’ Maka orang badui itu membawa saudaranya ke hadapan Rasulullah. Lalu Nabi saw. membacakan (doa) perlindungan untuknya dengan surat al-Fatihah, empat ayat awal surat al-Baqarah, dua ayat: wa ilâhukum ilahuw wâhid (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa. QS.2:163) dan ayat kursi, tiga ayat terakhir dari surat al-Baqarah, sebuah ayat pada surat Ali ‘Imrân: Syahidallâhu annahû lâ ilâha illâ huw (Allah menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia. QS.3:18), sebuah ayat dari surat al-A’râf: inna rabbakumul ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-ard (Sesungguhnya Tuhan kamu adalah yang menciptakan langit dan bumi. QS.7:54), akhir surat al-Mu’minûn (Fata’âlallâh al-malik al-haq: Maka Mahatinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya.), satu ayat dari surat al-Jinn (wa annahû ta’âla jaddu rabbinâ; Bahwasanya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. QS.72:3), sepuluh ayat awal surat al-Saffât, tiga ayat akhir surat al-Hasyr, al-Ikhlash dan alMu’awwidzatain.’ Lantas lelaki gila itu berdiri seperti tidak pernah mengeluhkan apapun sebelumnya.” (H.R. Ibn Mâjah)325 Oleh karena itu, tepatlah ketika As-Sayyid Ibrahim Al-Khawwash r.a. berkata: .ﻦ َ ﺤ ْﻴ ِ ﺴ ُﺔ اﻟﺼﱠﺎِﻟ َ ﺤ ِﺮ َو ُﻣﺠَﺎَﻟ َﺴ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟ ﱠ ِ ع ُ ﻞ وَاﻟﺘﱠﻀَﺮﱡ ِ ﻦ َو ِﻗﻴَﺎ ُم اﻟﱠﻠ ْﻴ ِﻄ ْ ﻼ ُء اْﻟَﺒ َﺧ َ ن ﺑِﺎﻟﱠﺘ َﺪﱡﺑ ِﺮ َو ِ ﺷﻴَﺎ َء ِﻗﺮَا َء ُة اْﻟُﻘﺮْا ْ ﺴ ُﺔ َأ َ ﺧ ْﻤ َ ﺐ ٍ َدوَا ُء َﻗْﻠ Obat hati itu ada lima macam, yaitu: (1) Membaca al-Qur’an sambil merenungi kandungannya, (2) perut yang kosong, (3) Qiyamullail atau shalat
324
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Faza’ wa al-‘Araq wa mâ Yuta’awwadzdzu minh, no. Hadis 3549, h. 1175; 325 Menurut M. Usman Najati, hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abdullah bin Imam Ahmad dalam al-Zawâ’id dengan kualitas hasan. Lihat M. Usman najati, op.cit., h. 426
229
malam, (4) Berdoa atau bermunajat pada dini hari, dan (5) Bergaul dengan orangorang yang salih.326 Selain itu, al-Qur’an dapat pula digunakan untuk pengobatan fisik sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abî Syaibah berikut ini:
ρﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َﺑ ْﻴ َﻨﻤَﺎ َر َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍد َر ْ ﻦ َﻣ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ع ﻧَﺒِﻴًّﺎ ُ ب ﻣَﺎ َﺗ َﺪ َ ﷲ ا ْﻟ َﻌ ْﻘ َﺮ ُ ﻦا َ ل َﻟ َﻌ َ ب َوﻗَﺎ ٌ ﻋ ْﻘ َﺮ َ ﻏ ْﺘ ُﻪ َ ﺠ َﺪ َﻓَﻠ َﺪ َﺳ َ ﻲ ِإ ْذ ْ ﺼﱢﻠ َ ُﻳ ﺿ َﻊ ِ ﻀ ُﻊ َﻣ ْﻮ َ ﻞ َﻳ َ ﺠ َﻌ َ ﺢ َﻓ ٌ ل ُﺛﻢﱠ َدﻋَﺎ ِﺑِﺈﻧَﺎ ٍء ِﻓ ْﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ٌء َو ِﻣ ْﻠ َ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻩ ﻗَﺎ َ ﻻ َ َو ﻦ ِ ﺣ ٌﺪ وَا ْﻟ ُﻤ َﻌ ﱢﻮ َذ َﺗ ْﻴ َ ﷲ َأ ُ ﻞ ُه َﻮ ا ْ ﺢ َو َﻳ ْﻘ َﺮُأ ُﻗ ِ ﻏ ِﺔ ﻓِﻰ ا ْﻟﻤَﺎ ِء وَا ْﻟ ِﻤ ْﻠ َ اﻟﱠﻠ ْﺪ Dari Abdullâh bin Mas’ûd r.a. dia berkata: “Ketika Rasulullah saw. sedang salat, tepatnya ketika sujud, ada seekor kalajengking yang menyengat beliau. Beliaupun bersabda, ‘Semoga Allah melaknat kalajengking. Bahkan dia tidak membiarkan seorang nabi maupun orang lain (untuk disengatnya).’ Kemudian beliau minta diambilkan sebuah wadah yang berisi air dan garam. Beliau meletakkan anggota tubuh yang terkena sengatan ke dalam larutan air dan garam tersebut, dan beliau membaca qul huwallâh ahad dan al-Mu’awwidzatain.” (H.R. Ibn Abî Syaibah)327 Ada pula Hadis yang benar-benar mengisyaratkan bahwa al-Qur’an dapat digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit psikis.
ﺧ ْﻴ ُﺮ اﻟ ﱠﺪوَا ِء َ ρﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ َر ﻋِﻠ ﱟ َ ﻦ ْﻋ َ 328 ن ُ ا ْﻟ ُﻘﺮْا Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Obat yang paling baik adalah al-Qur’an.” (H.R. Ibn Mâjah) Menurut Imam al-Ghazâlî (w.505 H.), ada sepuluh adab atau amalan batin yang harus diperhatikan dalam tilawah al-Qur’an, yaitu:329
326
al-Nawawî, al-Adzkâr, h. 100 M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 427-428 328 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Tibb Bâb al-Istisyfâ bi al-Qur’ân, no. Hadis 3501, h. 1158 329 Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Juz 1, h. 281-289 327
230
a. Memahami kandungan dan ketinggian firman, karunia, dan kasih saying-Nya kepada makhluk-Nya dalam menurunkan al-Qur’an dari ‘arsy kemuliaan-Nya ke derajat pemahaman makhluk-Nya; b. Mengagungkan Mutakallim (Allah); c. Menghadirkan hati dan meninggalkan bisikan jiwa; d. Mentadabburinya. Imam Ali berkata:
ﻻ َﺗ َﺪ ﱡﺑ َﺮ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ َ ﻲ ِﻗﺮَا َء ٍة ْ ﻻ ِﻓ َ ﻻ ِﻓ ْﻘ َﻪ ﻓِ ْﻴﻬَﺎ َو َ ﻋﺒَﺎ َد ٍة ِ ﻲ ْ ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ َ ﻻ َ “Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak didasarkan kepada pemahaman dan membaca (al-Qur’an) yang tidak ditadabburi kandungannya.” e. Tafahum (memahami secara mendalam), yaitu mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat; f. Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman; g. Takhsis yaitu menyadari bahwa dirinya merupakan sasaran yang dituju oleh setiap khitab (nas) yang ada dalam al-Qur’an h. Ta’atstsur (mengimbas ke dalam hati), yaitu hatinya terimbas dengan berbagai pengaruh yang berbeda sesuai dengan beragamnya ayat yang dihayati; i. Taraqqi, yaitu meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan kalam dari Allah bukan dari dirinya sendiri; dan j. Tabarri, yaitu melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang kepada dirinya dengan pandangan riيha dan tazkiyah. 6. Zikir Sebagai Pencipta, Allah-lah satu-satunya Zat Yang Maha Mengetahui segala yang dibutuhkan
umat manusia, baik kebutuhan jasmani maupun
kebutuhan ruhani. Petunjuk yang diberikan Allah untuk memenuhi dua macam
231
kebutuhan tersebut merupakan upaya terbaik dalam membentuk insan paripurna sehingga dapat merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup. Salah satu petunjuk atau terapi batiniah yang Allah berikan adalah dengan cara beribadah kepada Allah secara kontinu, berzikir kepada-Nya setiap waktu, memohon ampun, dan selalu memanjatkan doa. Semua itu merupakan media yang diberikan kepada hamba untuk mendekatkan dirinya
kepada Sang Khalik
sehingga hidupnya bermakna karena senantiasa berada dalam perlindungan dan pemeliharaan Allah swt. Perhatikanlah beberapa ayat dan Hadis berikut ini!
ن ِ َﺗ ْﻜ ُﻔﺮُو
ﻻ َ ﺷ ُﻜﺮُوا ﻟِﻲ َو ْ ﻓَﺎ ْذ ُآﺮُوﻧِﻲ َأ ْذ ُآ ْﺮ ُآ ْﻢ وَا
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku. (QS.al-Baqarah/2:152)
ﻦ ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ ْ ﷲ َﺗ ِ ﻻ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا َ ﷲ َأ ِ ﻦ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﺑ ِﺬ ْآ ِﺮ ا ﻄ َﻤ ِﺌ ﱡ ْ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا َو َﺗ َ اﱠﻟﺬِﻳ ُ ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ
ب (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.al-Ra’d/13:28)
ﷲ ِ ﻞا ِﻀ ْ ﻦ َﻓ ْ ض وَا ْﺑﺘَﻐُﻮا ِﻣ ِ ﻷ ْر َ ﺸﺮُوا ﻓِﻲ ا ِ ﺼَﻠﻮ ُة ﻓَﺎ ْﻧ َﺘ ﺖ اﻟ ﱠ ِ ﻀ َﻴ ِ َﻓِﺈذَا ُﻗ َ ﷲ َآﺜِﻴﺮًا َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ َ وَا ْذ ُآﺮُوا ا
ن Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS.al-Jumu’ah/62:10)
232
ن ﷲ ِإ ﱠ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ل ﻳَﺎ َر َ ﻼ ﻗَﺎ ًﺟ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺴ ٍﺮ َر ْ ﻦ ُﺑ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ ﻻ َ ل َ ﺖ ِﺑ ِﻪ َﻓﻘَﺎ ُ ﻲ ٍء َأ َﺗ َﺜ ﱠﺒ ْ ﺸ َ ﻲ ِﺑ ْ ﺧ ِﺒ ْﺮ ِﻧ ْ ﻲ َﻓَﺄ ﻋَﻠ ﱠ َ ت ْ ﻼ ِم َﻗ ْﺪ َآ ُﺜ َﺮ َﺳ ْﻻ ِ ﺷﺮَا ِﺋ َﻊ ْا َ 330 ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ ِ ﻦ ِذ ْآ ِﺮ ا ْ ﻃﺒًﺎ ِﻣ ْ ﻚ َر َ ل ِﻟﺴَﺎ ُﻧ ُ َﻳﺰَا Dari Abdullâh bin Busr r.a. ia berkata: Sesungguhnya seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak tentang syari’at Islam yang saya ketahui, maka beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang dapat saya teguhkan (pelaksanaannya)!” Maka Nabi bersabda: “Hendaknya lisanmu selalu basah karena zikir kepada Allah ta’âlâ.” (H.R. al-Tirmidzî dan Ibn Mâjah) Ada satu hal yang mesti ditegaskan di sini bahwa fadilah zikir tidak terbatas pada ucapan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, atau yang semacamnya. Menurut Imam Sa’îd bin Jubair r.a. (w.95 H.) dan sebagian ulama, bahwa setiap orang yang melakukan berbagai ketaatan demi mengharap ridha Allah, maka dia dapat dinilai sebagai orang yang berzikir kepada Allah.331 Menurut Imam Ibn al-Qayyim al-Jauzi (w.751 H.), zikir dapat memberikan banyak manfaat, di antaranya:332 a. Zikir dapat mengusir dan menumpas setan, melahirkan ridha Allah, menghilangkan kegundahan dan kesedihan, serta menimbulkan kedamaian dan ketentraman bagi kalbu; b. Zikir dapat menguatkan dan menyinari kalbu dan badan, serta memudahkan rizki; c.
Orang yang berdzikir akan memiliki kemuliaan dan kewibawaan serta melahirkan sifat mahabbah (kasih sayang) yang merupakan ruh Islam dan pusat kebahagiaan dan keselamatan;
330
al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Da’awât Bâb Mâ Jâ’a fî Fadl alDzikr, no. Hadis 3435, h. 126-127; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Âdâb Bâb Tsawâb al-Qur’ân, no. Hadis 3793, h. 1246; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa alRaqâ’iq, h. 479. Nilai hadis ini adalah hasan 331 al-Nawawî, al-Adzkâr, h. 9 332 Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 100-105
233
d.
Zikir dapat menimbulkan kedekatan seorang hamba dengan Allah (muraqabah) sehingga ia beribadah seakan-akan melihatnya (ihsân);
e. Orang yang berzikir (mengingat) kepada Allah, niscaya Allah akan ingat kepadanya (QS.2:152); f. Zikir menjadi sebab diturunkannya rahmat Allah; g. Kesibukan berzikir dapat membuat orang meninggalkan perbuatan ghibah, namimah, dusta, kekejian, dan kebatilan-kebatilan lainnya; h. Zikir dapat menjadi tanaman di surga; i. Zikir dapat mejadi wasilah Allah memberikan karunia yang tidak diberikan kepada yang lain; j. Senantiasa berzikir menyebabkan Allah tidak akan melupakannya kelak di akhirat (QS.al-Hasyr:19); k. Orang yang berzikir akan mendapatkan salawat dari Allah dan para malaikat (QS.al-Ahzâb/33:41-43); l. Allah akan membanggakan orang-orang yang berzikir di hadapan para malaikatNya; m. Kelanggengan berzikir dapat menggantikan bentuk-bentuk ketaatan lainnya; n.
Banyak berzikir menjadi sebab selamatnya seseorang dari sifat munafik (QS.An-Nisa/4:142);
o. Kelanggengan berzikir dapat menjadi saksi seorang hamba di hari kiamat; p. Zikir lebih utama daripada doa. Jadi, doa yang diawali dengan zikir lebih utama dan lebih memungkinkan untuk diijabah ketimbang doa semata. 7. Mentafakuri Ciptaan Allah Ketika Allah swt. menurunkan surat Ali ‘Imrân ayat 190: 234
ت ٍ ف اﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ وَاﻟﱠﻨﻬَﺎ ِر ﻵﻳَﺎ ِ ﻼ َ ﺧ ِﺘ ْ ض وَا ِ ﻷ ْر َ ت وَا ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻖ اﻟ ﱠ ِ ﺧ ْﻠ َ ن ﻓِﻲ ِإ ﱠ ِ ﻷوﻟِﻲ اﻷ ْﻟﺒَﺎ ُ
ب Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS.Ali ‘Imrân/3:190) Rasulullah menitikkan air mata dan selanjutnya berkomentar kepada Bilâl bin Rabah:
ﻦ َﻗﺮَأهَﺎ وَﻟ َﻢ ْ َﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜ ْﺮ ِﻓ ْﻴﻬَﺎ ْ وَ ْﻳ ٌﻞ ِﻟ َﻤ “Celakalah orang kandungannya.”333
yang
membacanya,
namun
tidak
memikirkan
Dalam ayat-ayat yang lain juga ditemukan pernyataan-pernyataan berikut ini:
ﻦ ْ ﷲ ِﻣ ُ ﻖ ا َ ﺧَﻠ َ ض وَﻣَﺎ ِ ﻷ ْر َ ت وَا ِ ﺴ َﻤﻮَا ت اﻟ ﱠ ِ ﻈﺮُوا ﻓِﻲ َﻣَﻠﻜُﻮ ُ َأ َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻨ ﺚ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ٍ ﺣﺪِﻳ َ ي ﺟُﻠ ُﻬ ْﻢ َﻓ ِﺒَﺄ ﱢ َ ب َأ َ ن َﻗ ِﺪ ا ْﻗ َﺘ َﺮ َ ن َﻳﻜُﻮ ْ ن ﻋَﺴَﻰ َأ ْ ﻲ ٍء َوَأ ْ ﺷ َ َ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ
ن Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada al-Qur'an itu?(QS. al-A’râf/7:185)
ت ُ ض َوﻣَﺎ ُﺗ ْﻐﻨِﻲ اﻵﻳَﺎ ِ ﻷ ْر َ ت وَا ِ ﺴ َﻤﻮَا ﻈﺮُوا ﻣَﺎذَا ﻓِﻲ اﻟ ﱠ ُ ﻞ ا ْﻧ ِ ُﻗ َ ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ ﻦ َﻗ ْﻮ ٍم ْﻋ َ وَاﻟﻨﱡ ُﺬ ُر
ن Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(QS.Yûnus/10:101)
ﻞ ا ْﻟ ُﻘﺮَى َأ َﻓَﻠ ْﻢ ِ ﻦ َأ ْه ْ ﻻ ﻧُﻮﺣِﻲ ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﻣ ً ﻻ ِرﺟَﺎ ﻚ ِإ ﱠ َ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ْ ﺳ ْﻠﻨَﺎ ِﻣ َ وَﻣَﺎ َأ ْر ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻬ ْﻢ ْ ﻦ ِﻣ َ ن ﻋَﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﻒ آَﺎ َ ﻈﺮُوا َآ ْﻴ ُ ض َﻓ َﻴ ْﻨ ِ ﻷ ْر َ ﻳَﺴِﻴﺮُوا ﻓِﻲ ْا ْ ﻼ َﺗ َ ﻦ ا ﱠﺗ َﻘﻮْا َأ َﻓ َ ﺧ َﺮ ِة ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟﱠﻠﺬِﻳ ِ َوَﻟﺪَا ُر اﻵ
ﻌ ِﻘﻠُﻮن Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang 333
Ibn Katsîr. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz1, h. 440
235
sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (QS.Yûsuf/12:109)
ﺖ ْ ُر ِﻓ َﻌ
ﻒ َ ﺴﻤَﺎ ِء َآ ْﻴ ﺖ وَإِﻟَﻰ اﻟ ﱠ ْ ﺧِﻠ َﻘ ُ ﻒ َ ﻞ َآ ْﻴ ِ ن إِﻟَﻰ اﻹ ِﺑ َ ﻈﺮُو ُ ﻼ َﻳ ْﻨ َ َأ َﻓ ْ ﺼ َﺒ ِ ﻒ ُﻧ َ ل َآ ْﻴ ِ ﺠﺒَﺎ ِ وَإِﻟَﻰ ا ْﻟ ﺖ َﻓ َﺬ ﱢآ ْﺮ ْ ﺤ َﻄ ِﺳ ُ ﻒ َ ض َآ ْﻴ ِ ﻷ ْر َ ﺖ وَإِﻟَﻰ ا ٌ ﺖ ُﻣﺬَ ﱢآ َ إِﻧﱠﻤَﺎ َأ ْﻧ
ﺮ
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS.alGhâsyiyah/88:17-21) Nas-nas di atas menegaskan bahwa kesempurnaan akal tidak akan tercapai kecuali dengan bertemunya zikir dan pikir. Ada keterpaduan (integrasi) antara zikir dan pikir dalam diri seorang muslim, sehingga olah pikirnya yang senantiasa diiringi dengan zikir (ingat kepada Allah) akan menghantarkan kepada bertambahnya keyakinan atau iman kepada Allah swt. Dalam pandangan Islam, tafakkur yang dilakukan seorang hamba sehingga melahirkan serangkaian ilmu pengetahuan diharapkan menjadi penunjuk jalan kepada keimanan. Darinya muncul keyakinan bahwa di balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang jauh lebih dahsyat, yang mengatur dan menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan yang benar-benar cermat.334 Di sinilah tafakkur dapat berperan sebagai penyucian hati (tazkiyatun nafs). Perenungan terhadap alam ciptaan Allah menghantarkan seseorang kepada pengakuan akan wujud Allah sehingga memunculkan rasa takut (khasy-yah) pada dirinya. Allah swt. sendiri menegaskan:
334
Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. VII, h. 355-356
236
ﷲ َ ﺨﺸَﻰ ا ْ ﻚ إِﻧﱠﻤَﺎ َﻳ َ ﻒ َأ ْﻟﻮَا ُﻧ ُﻪ َآ َﺬِﻟ ٌ ﺨ َﺘِﻠ ْ ﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم ُﻣ َ ب وَا س وَاﻟ ﱠﺪوَا ﱢ ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ َ َو ِﻣ ٌ ﷲ ﻋَﺰِﻳ ٌﺰ ﻏَﻔُﻮ َ نا ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ ا ْﻟ ُﻌﻠَﻤَﺎ ُء ِإ ﱠ ِ ﻦ ْ ِﻣ
ر Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS.Fâtir/40:28) Selain itu, al-Qur’an juga mengajak manusia untuk mentafakkuri dirinya sendiri. Misalnya dalam ayat:
ﻦ ْ ن َو ِﻣ َ ﺸﺮُو ِ ﺸ ٌﺮ َﺗ ْﻨ َﺘ َ ب ُﺛﻢﱠ إِذَا َأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺑ ٍ ﻦ ُﺗﺮَا ْ ﺧَﻠ َﻘ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ن ْ ﻦ ءَاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َأ ْ َو ِﻣ ﻞ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ َ ﺟ َﻌ َ ﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَ ْﻴﻬَﺎ َو ْ ﺴ ُﻜ ْﻢ َأ ْزوَاﺟًﺎ ِﻟ َﺘ ِ ﻦ َأ ْﻧ ُﻔ ْ ﻖ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َ ﺧَﻠ َ ن ْ ءَاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َأ َ ت ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُو ٍ ﻚ ﻵﻳَﺎ َ ن ﻓِﻲ َذِﻟ ﺣ َﻤ ًﺔ ِإ ﱠ ْ َﻣ َﻮ ﱠد ًة َو َر
ن Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS.al-Rûm/30:20-21)
ن َ ﺼﺮُو ِ ُﺗ ْﺒ
ﻼ َ ﺴ ُﻜ ْﻢ َأ َﻓ ِ ﻲ َأ ْﻧ ُﻔ ْ َو ِﻓ
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (QS. al-Dzâriyât/51:21) Lihat pula ayat-ayat berikut ini: QS.’Abasa:17-22, al-Qiyâmah:37-38, alMursalât:20-22, Yâsîn:77, al-Insân:2, dan al-Mu’minûn:12-14 Semua perenungan yang dilakukan seorang hamba haruslah dilandasi oleh makna “Iqra bismi rabbik”. Artinya, apapun yang dilakukan harus dengan mengingat nama Tuhan dan karenanya harus sesuai dengan petunjuk-Nya. Potongan wahyu pertama ini akan menghantarkan pelakunya untuk tidak melakukan berbagai aktivitas kecuali hanya karena Allah, serta akan menghasilkan keabadian.
237
Tak ayal lagi, kegiatan memikirkan ciptaan Allah akan melahirkan ma’rifah kepada Sang Pencipta, keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan-Nya. Semakin banyak seseorang mengetahui keajaiban ciptaan Allah, maka akan semakin sempurna pula pengetahuannya tentang kemuliaan dan keagungan-Nya. Dan pada akhirnya ia akan menyadari akan segala kelemahan dirinya sendiri sehingga tidak layak untuk bersikap angkuh dan sombong. 8. Mengingat Kematian Suatu ketika Ibn ‘Umar r.a. (w.73 H.) mendatangi Rasulullah saw. bersama sepuluh orang sahabat lainnya. Lalu ada seorang sahabat dari kalangan Ansar yang datang, memberikan salam, dan bertanya:
ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ! أي اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ أﻓﻀﻞ؟ “Siapakah orang mukmin yang paling utama?” Nabi menjawab:
ﺧُﻠﻘًﺎ ُ ﺴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ َﺣ ْ َأ “Yang paling baik akhlaknya.” Lalu dia bertanya lagi:
ﺲ؟ ُ ﻦ َأ ْآ َﻴ َ ي ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ َﻓ َﺄ ﱡ “Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?” Lalu Rasulullah menjawab:
ﻚ َ أُوَﻟ ِﺌ.ﺳ ِﺘ ْﻌﺪَادًا ْ ﺴ ُﻨ ُﻬ ْﻢ ﻟِﻤَﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ ُﻩ ِإ َﺣ ْ ت ذِ ْآﺮًا َوَأ ِ َأ ْآ َﺜ ُﺮ ُه ْﻢ ِﻟ ْﻠ َﻤ ْﻮ 335 س ُ ﻷ ْآﻴَﺎ َ ْا “(Mukmin yang paling cerdas) adalah mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling bagus persiapan untuk kehidupan sesudah kematian. Merekalah orang-orang yang cerdas.” (H.R. Ibn Mâjah) 335
Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitân al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4259, h. 1423. Al-‘Iraqi berkata: Selain diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi ad-Dunyâ dengan sanad yang bagus (jayyid). Hadis ini juga disahihkan oleh al-Albânî. Lihat Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 194
238
Dalam hadis lain redaksinya adalah sebagai berikut:
ن َ ﻦ دَا ْ ﺲ َﻣ ُ َا ْﻟ َﻜ ْﻴρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ س ﻗَﺎ ٍ ﻦ َأ ْو ِ ﺷﺪﱠا ِد ْﺑ َ ﻲ َﻳ ْﻌﻠَﻰ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 336 ت ِ ﻞ ﻟِﻤَﺎ َﺑ ْﻌ َﺪ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ ﻋ ِﻤ َ ﺴ ُﻪ َو ُ َﻧ ْﻔ “Orang yang cerdas adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya dan beramal sebagi persiapan bekal setelah kematian.” (H.R. al-Tirmidzî, Ibn Mâjah, dan Ahmad) Dalam realitas sehari-hari diketahui bahwa orang yang tenggelam dalam dunia, gandrung kepada tipu daya dan syahwatnya dapat dipastikan bahwa hati orang tersebut lalai dari mengingat kematian. Ia tidak mau mengingatnya, kalaupun diingatkan ia membencinya dan menghindari. Untuk orang-orang seperti ini Allah menegaskan:
ن إِﻟَﻰ ﻋَﺎِﻟ ِﻢ َ ﻼﻗِﻴ ُﻜ ْﻢ ُﺛﻢﱠ ُﺗ َﺮدﱡو َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ُﻣ َ ت اﱠﻟﺬِي َﺗ ِﻔﺮﱡو َ ن ا ْﻟ َﻤ ْﻮ ﻞ ِإ ﱠ ْ ُﻗ َ ﺸﻬَﺎ َد ِة ﻓَ ُﻴﻨَﺒﱢ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ ﺐ وَاﻟ ﱠ ِ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ
ن Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".(QS. al-Jumu’ah/62:8) Ibn Qudâmah r.h. (w.620 H.) berkata: “Cinta dunia dan memperturutkan hawa nafsu serta kelezatannya, bila sudah membekas dalam hati, niscaya orang merasa berat meninggalkan dunia ini dan tak akan berpikir tentang mati.” Sedangkan orang yang arif senantiasa mengingat kematian karena kematian
adalah janji pertemuannya dengan kekasihnya. Pecinta tidak akan
pernah lupa sama sekali akan janji pertemuan dengan kekasihnya. Jadi, kematian yang tampaknya adalah kepunahan, pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Dia adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang kekal abadi. Tentang hal ini, alRâghib al-Isfahânî (w.502 H.) berkata: 336
al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Sifah al-Qiyâmah, no. Hadis 2577, h. 54; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitân al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4260, h. 1423.Ahmad, al-Musnad, 4, h. 124; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa alRaqâ’iq, h. 150. Nilai Hadis ini hasan
239
“Kematian yang dikenal sebagai berpisahnya ruh dari badan merupakan sebab yang mengantarkan manusia menuju kenikmatan yang abadi. Kematian adalah perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahwa, ‘Sesungguhnya kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian haruslah berpindah dari satu negeri ke negeri (lain), sehingga kalian menetap di satu tempat.’337 Untuk kehidupan jangka panjang tersebut, Allah mengingatkan bahwa kehidupan itu jauh lebih baik daripada kehidupan dunia melalui firman-firmanNya berikut ini:
ﻼ ً َﻓﺘِﻴ
ن َ ﻈَﻠﻤُﻮ ْ ﻻ ُﺗ َ ﻦ ا ﱠﺗﻘَﻰ َو ِ ﺧ َﺮ ُة ﺧَ ْﻴ ٌﺮ ِﻟ َﻤ ِ ﻞ وَاﻵ ٌ ع اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ﻗَﻠِﻴ ُ ﻞ َﻣﺘَﺎ ْ ُﻗ
...Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.(QS.al-Nisâ/4:77)
ﷲ اﺛﱠﺎ َﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ِ ﻞ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻧ ِﻔﺮُوا ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ا َ ﻦ ءَاﻣَﻨُﻮا ﻣَﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ إِذَا ﻗِﻴ َ ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ ﺤﻴَﺎ ِة َ ع ا ْﻟ ُ ﺧ َﺮ ِة ﻓَﻤَﺎ َﻣﺘَﺎ ِ ﻦ اﻵ َ ﺤﻴَﺎ ِة اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ِﻣ َ ض أَرَﺿِﻴ ُﺘ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟ ِ ﻷ ْر َ إِﻟَﻰ ا ٌ ﻻ ﻗَﻠِﻴ ﺧ َﺮ ِة ِإ ﱠ ِ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ﻓِﻲ اﻵ
ﻞ Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal keni`matan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (QS.al-Taubah/9:38)
ﻲ َ ﺧ َﺮ َة َﻟ ِﻬ ِ ن اﻟﺪﱠا َر اﻵ ﺐ َوِإ ﱠ ٌ ﻻ ﻟَ ْﻬ ٌﻮ َوَﻟ ِﻌ ﺤﻴَﺎ ُة اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ ِإ ﱠ َ وَﻣَﺎ َه ِﺬ ِﻩ ا ْﻟ َ ن َﻟ ْﻮ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ ُ ﺤ َﻴﻮَا َ ا ْﻟ
ن Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Ankabût/29:64)
ﻷوﻟَﻰ ُ ﻦا َ ﻚ ِﻣ َ ﺧ َﺮ ُة ﺧَ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ِ وَﻟَﻶ
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (QS. alDuhâ//93:4) Ayat-ayat tersebut sesungguhnya sekaligus memerintahkan kepada umat manusia untuk banyak mengingat kematian yang dapat memotivasi seseorang 337
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 73
240
untuk memperbanyak amal saleh. Rasulullah saw. sendiri dalam beberapa sabdanya mengingatkan:
ت ِ َأ ْآ ِﺜﺮُوا ِذ ْآ َﺮ هَﺎ ِذ ِم اﻟﱠﻠﺬﱠاρ ﷲ ِ لا ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻦ أَﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة ﻗَﺎ ْﻋ َ 338 ت َ َﻳ ْﻌﻨِﻲ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perbanyaklah untuk mengingat pemutus kenikmatan” yaitu kematian. (H.R. alTirmidzî, al-Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan Ahmad)
ﺤ َﻔ ُﺔ ْ ﻗﺎل ُﺗρ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِﻋ َ ص ِ ﻦ ا ْﻟﻌَﺎ ِ ﻦ ﻋَ ْﻤﺮِو ْﺑ ِ ﷲ ْﺑ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ْﻋ َ 339 ت ُ ﻦ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ ِ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ Dari Abdullâh bin ‘Amr bin al-‘As dari Nabi saw. beliau bersabda: “Hadiah orang mukmin adalah kematian.” (H.R. Abu ad-Dunyâ, al-Tabarânî, dan al-Hâkim)
ﺴ ِﻠ ٍﻢ ْ ت آَﻔﱠﺎرَ ٌة ِﻟ ُﻜﻞﱢ ُﻣ ُ َا ْﻟ َﻤ ْﻮ Kematian dapat meleburkan (kafarat) dosa bagi setiap muslim.” (H.R. Abū Nu’aim dalam “al-Hilyah”, al-Baihaqî dalam “al-Syu’ab” dan al-Khatîb dalam “al-Târîkh” dari Anas r.a.) Banyak mengingat kematian sebagaimana yang dianjurkan oleh agama dapat menjadi media penyucian diri. Sebab, ia dapat mendorong seseorang untuk meningkatkan kualitas pengabdiannya kepada Allah di dunia sebagai bekal di akhirat kelak. Bukankah Allah juga menyatakan:
ﻖ َ ﺧَﻠ َ ﻲ ٍء ﻗَﺪِﻳ ٌﺮ اﱠﻟﺬِي ْ ﺷ َ ﻚ َو ُه َﻮ ﻋَﻠَﻰ ُآﻞﱢ ُ ك اﱠﻟﺬِي ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ ا ْﻟ ُﻤ ْﻠ َ َﺗﺒَﺎ َر ُ ﻼ َو ُه َﻮ ا ْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ َﻐﻔُﻮ ً ﻋ َﻤ َ ﻦ ُﺴ َﺣ ْ ﺤﻴَﺎ َة ِﻟ َﻴ ْﺒُﻠ َﻮ ُآ ْﻢ َأ ﱡﻳ ُﻜ ْﻢ َأ َ ت وَا ْﻟ َ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ
ر Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(QS.al-Mulk/67:1-2)
338
Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, Abwâb al-Zuhd Bâb Mâ Jâ fî Dzikr al-Maut, no. Hadis 2409, h. 378-379; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Katsrah Dzikr alMaut, no. Hadis 1821, h. 311-312; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Zuhd Bâb Dzikr al-Maut wa al-Isti’dâd lah, no. Hadis 4258, h. 1422; Ahmad, al-Musnad, Juz 2, h. 293; alNawawî, Riyâd al- Sâlihîn, Bâb Dzikr al-Maut wa Qasr al-Amal, h. 258-259; Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, h.123; kualitas hadis ini hasan. 339 Ahmad Farid, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 331
241
Setiap manusia harus menyadari bahwa kematian adalah misteri. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan di bumi belahan mana ia akan meninggalkan dunia yang fana ini (QS.31:34; 7:34). Itulah sebabnya, orang-orang salih akan senantiasa mempersiapkan diri dengan selalu berzikir dan beramal salih agar tidak kaget saat kematian datang menjemput. Dari sini pula menjadi wajar, jika banyak ditemukan riwayat mengenai orang-orang shalih yang dalam hidupnya banyak mengingat kematian. al-Rabi’ bin al-Khaitsam pernah berkata: “Tidak ada hal ghaib yang dinantikan dan lebih baik bagi orang mukmin selain dari kematian.”340 ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz (w.101 H.) biasa mengumpulkan para fuqaha setiap malam untuk mengingatkan kematian, hari kiamat, dan akhirat. Lalu mereka menangis seolah-olah di hadapan mereka terdapat jenazah. Pada suatu ketika beliau (‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz) berkata kepada sebagian ulama: “Nasehatilah aku!” Ulama itu berkata: “Engkau bukanlah khalifah yang pertama kali mati.” Beliau berkata lagi: “Tambahlah nasehat lagi!” Ulama itu berkata: “Dari nenek moyangmu hingga Nabi Adam, tidak ada seorangpun kecuali merasakan kematian. Sementara itu giliranmupun telah tiba.” Kemudian, Umarpun menangis mendengar nasehat tersebut. 341 9. Saling menolong dan Saling Menyayangi Saling menolong dan saling menyayangi, di samping berfungsi sebagai sarana tazkiyah al-nafs, dia juga menjadi bukti kebeningan hati yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang jernih hatinya, dapat dipastikan memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik dengan sesama. 340 341
Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa, h.124 Ibid, h. 125
242
Itulah sebabnya, para psikiater modern memahami tentang pentingnya hubungan kemanusiaan yang dijalin seseorang dengan kesehatan mental. Mereka sangat memperhatikan masalah penyakit jiwa atau hati yang menimpa seseorang di masyarakat. Mereka juga sangat memperhatikan rasa cinta dan kasih sayang di antara manusia, serta menganjurkan mereka untuk melakukan aktivitas yang bermanfaat. Semua itu, dalam pandangan mereka, merupakan faktor-faktor penting untuk melakukan psikoterapi pada diri manusia.342 Dari sini, jelaslah hikmah ajaran Islam yang mengajak manusia untuk saling menyayangi dan saling menolong. Ternyata keterkaitan seseorang dengan individu lain dalam ikatan cinta dan kasih sayang bisa memperkokoh kepribadiannya dan menghilangkan perasaan gelisah yang biasanya muncul akibat mengisolasi diri. al-Qur’an al-Karim dan Hadis Nabi saw. banyak mengarahkan kaum muslimin untuk memupuk rasa cinta dan kasih sayang, menjalin persaudaraan, dan saling menolong.
ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإ ْذ َ ﷲ ِ ﻻ َﺗ َﻔ ﱠﺮﻗُﻮا وَا ْذ ُآﺮُوا ِﻧ ْﻌ َﻤ َﺔ ا َ ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َو َ ﷲ ِ ﻞا ِ ﺤ ْﺒ َ ﺼﻤُﻮا ِﺑ ِ ﻋ َﺘ ْ وَا ﺧﻮَاﻧًﺎ َو ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻋَﻠَﻰ ْ ﺤ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻨ ْﻌ َﻤ ِﺘ ِﻪ ِإ ْ ﺻ َﺒ ْ ﻦ ُﻗﻠُﻮ ِﺑ ُﻜ ْﻢ َﻓَﺄ َ ﻒ َﺑ ْﻴ َ ﻋﺪَا ًء َﻓَﺄﱠﻟ ْ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َأ ﷲ َﻟ ُﻜ ْﻢ ءَاﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ ُ ﻦا ُ ﻚ ُﻳ َﺒﻴﱢ َ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻓَﺄ ْﻧ َﻘ َﺬ ُآ ْﻢ ﻣِ ْﻨﻬَﺎ َآ َﺬِﻟ َ ﺣ ْﻔ َﺮ ٍة ِﻣ ُ ﺷﻔَﺎ َ َ َﺗ ْﻬ َﺘﺪُو
ن Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.(QS.Ali ‘Imrân/3:103)
342
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., h. 108-109
243
ِن ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوف َ ﺾ َﻳ ْﺄ ُﻣﺮُو ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َأ ْوِﻟﻴَﺎ ُء َﺑ ْﻌ ُ ت َﺑ ْﻌ ُ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨُﻮنَ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆﻣِﻨَﺎ ن َ ن اﻟ ﱠﺰ َآﻮ َة َو ُﻳﻄِﻴﻌُﻮ َ ﺼَﻠﻮ َة َو ُﻳ ْﺆﺗُﻮ ن اﻟ ﱠ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َو ُﻳﻘِﻴﻤُﻮ ِﻋ َ ن َ َو َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮ ِﺣ َ ﷲ ﻋَﺰِﻳ ٌﺰ َ نا ﷲ ِإ ﱠ ُ ﺣ ُﻤ ُﻬ ُﻢ ا َ ﺳ َﻴ ْﺮ َ ﻚ َ اﻟﱠﻠﻪَ َو َرﺳُﻮَﻟ ُﻪ أُوَﻟ ِﺌ
ﻜﻴ ٌﻢ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Taubah/9:71)
ﷲ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َ ﺧ َﻮ ْﻳ ُﻜ ْﻢ وَا ﱠﺗﻘُﻮا ا َ ﻦ َأ َ ﺻِﻠﺤُﻮا َﺑ ْﻴ ْ ﺧ َﻮ ٌة َﻓَﺄ ْ ن ِإ َ إِ ﱠﻧﻤَﺎ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ َ ﺣﻤُﻮ َ ُﺗ ْﺮ
ن Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.(QS. al-Hujurât/49:10)
ﻻ َ ﺟ َﺮ ِإَﻟ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َو َ ﻦ هَﺎ ْ ن َﻣ َ ﺤﺒﱡﻮ ِ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻬ ْﻢ ُﻳ ْ ن ِﻣ َ ﻹ ْﻳﻤَﺎ ِ ﻦ َﺗ َﺒ ﱠﻮءُوا اﻟﺪﱠا َر وَا َ وَاﱠﻟﺬِﻳ ﺴ ِﻬ ْﻢ َوَﻟ ْﻮ ِ ن ﻋَﻠَﻰ َأ ْﻧ ُﻔ َ ﺟ ًﺔ ﻣِﻤﱠﺎ أُوﺗُﻮا َو ُﻳ ْﺆ ِﺛﺮُو َ ﺻﺪُو ِر ِه ْﻢ ﺣَﺎ ُ ن ﻓِﻲ َ ﺠﺪُو ِ َﻳ َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔِﻠﺤُﻮ َ ﺴ ِﻪ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ ِ ﺷﺢﱠ َﻧ ْﻔ ُ ق َ ﻦ ﻳُﻮ ْ ن ِﺑ ِﻬ ْﻢ ﺧَﺼَﺎﺻَ ٌﺔ َو َﻣ َ آَﺎ
ن Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. alHasyr/59:9)
ﷲ َﺗﻌَﺎﻟَﻰ َ نا ِإ ﱠρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻲ َﻳ ْﻮ َم ْ ﻇﱢﻠ ِ ﻲ ْ ﻇﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ِﻓ ِ ﻲ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم ُأ ْ ﻼِﻟ َﺠ َ ن ِﺑ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﺘﺤَﺎ ﱡﺑ ْﻮ َ ل َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َأ ْﻳ ُ َﻳ ُﻘ ْﻮ 343 ﻲ ْ ﻇﱢﻠ ِ ﻻ ﻞ ِإ ﱠ ﻇﱠ ِ ﻻ َ Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman pada hari kiamat kelak, ‘di manakah orangorang yang saling mencintai ? Dengan segala keaguangan-Ku, pada hari ini Aku akan menanungi mereka dalam naungan-Ku pada saat tidak ada naungan selain naungan-Ku.’” (H.R. Muslim dan al-Tirmidzî) 343
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah Bâb fî Fadl al-Hubb fî al-Lâh, h. 425; al-Tirmizî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd bâb Mâ Jâ’a fî al-Hubb fî al-Lâh, no. Hadis 2499, h. 24; Ahmad Farîd, al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 381
244
ي ْ َو اﱠﻟ ِﺬρ ﷲ ِ لا ُ ﺳ ْﻮ ُ ل َر َ ل ﻗَﺎ َ ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻻ ُﺗ ْﺆ ِﻣ ُﻨﻮْا ﺣَﺘﱠﻰ َﺗﺤَﺎ ﱡﺑﻮْا َ ﺣﺘﱠﻰ ُﺗ ْﺆﻣِ ُﻨﻮْا َو َ ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ ﺧﻠُﻮا ا ْﻟ ُ ﻻ َﺗ ْﺪ َ ﻲ ِﺑ َﻴ ِﺪ ِﻩ ْ ﺴ ِ َﻧ ْﻔ ﻼ َم ﻓِ ْﻴﻤَﺎ َﺴ ﻲ ٍء إِذَا َﻓ َﻌ ْﻠ ُﺘ ُﻤ ْﻮ ُﻩ َﺗﺤَﺎ َﺑ ْﺒ ُﺘﻢْ؟ َأ ْﻓﺸُﻮا اﻟ ﱠ ْ ﺷ َ ﻋﻠَﻰ َ ﻻ َأ ُدﻟﱡ ُﻜ ْﻢ َ َأ َو 344 َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ Dan dari Abû Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Tidaklah kalian masuk surga sampai kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman (dengan sempurna) sampai kalian saling menyayangi. Tidakkah akan aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian kerjakan, niscaya kalian saling menyayangi? Sebarkanlah salam di antara kalian. (H.R. Muslim, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah) Hadis di atas mengisyaratkan bahwa saling mencintai merupakan syarat keimanan dan syarat untuk dapat masuk surga. Orang mukmin yang hakiki adalah orang yang mencintai dan dicintai orang lain. Rasulullah saw. bersabda:
ﻒ ُ ﻻ ُﻳ ْﺆَﻟ َ ﻒ َو ُ ﻻ َﻳ ْﺄَﻟ َ ﻦ ْ ﺧ ْﻴ َﺮ ِﻓ ْﻴ َﻤ َ ﻻ َ ﻒ َو ٌ َﻦ ُﻣ ْﺆﻟ ُ َا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ
345
“Orang mukmin itu dicintai. Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mencintai dan dicintai (orang lain).” (H.R. Ahmad) Rasa cinta di antara orang-orang mukmin harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah, bukan demi manfaat sesaat, keuntungan jangka pendek, kepentingan pribadi, atau untuk mendapatkan harta, pangkat, dan jabatan. Rasulullah saw. mengajarkan agar cinta seorang mukmin kepada saudaranya laksana ia mencintai dirinya sendiri.
ﻰ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ ﺣَﺘ ﱠ َ ﻦ َأ ُ ﻻ ُﻳ ْﺆ ِﻣ َ ل َ ﻗَﺎρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺲ َر ٍ ﻦ َأ َﻧ ْﻋ َ 346 ﺴ ِﻪ ِ ﺤﺐﱡ ِﻟ َﻨ ْﻔ ِ ﺧ ْﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ُﻳ ِ ﻻ َ ِ ﺤﺐﱠ ِ ُﻳ 344
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân annah lâ Yadkhulu al-Jannah illâ al-Mu’minûn wa anna Mahabbah al-Mu’minîn minj al-Îmân wa anna Ifsyâ al-Salâm Sabab li Husûlihâ, h. 41; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Isti’dzân wa al-Âdâb Bâb Mâ Jâ’a fî Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 2829, h. 156; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb fî Ifsyâ al-Salâm, no. Hadis 5193, h. 350; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb fî al-Îmân, no. Hadis 68, h. 26 345 Ahmad, al-Musnad, Juz 5, h. 335 346 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 1, Kitâb al-Îmân bâb min al-Îmân an Yuhibba li Akhîh mâ Yuhibbu li Nafsih, h. 9; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb al-dalîl ‘alâ anna
245
Dari Anas r.a. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Nasâ’î, dan Ibn Mâjah) Cinta kasih yang dibangun di atas keikhlasan karena Allah akan melahirkan keringanan mereka untuk saling menolong kapan dan di mana saja berada.
ﺴِﻠ ُﻢ َأﺧُﻮ ْ ﻗَﺎل ََا ْﻟ ُﻤρ ﷲ ِ لا َ ﺳ ْﻮ ُ ن َر ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻋ َﻤ َﺮ َر ُ ﻦ ِ ﻦ ا ْﺑ ِﻋ َ ﻲ ْ ﷲ ِﻓ ُ نا َ ﺧ ْﻴ ِﻪ آَﺎ ِ ﺟ ِﺔ َأ َ ﻲ ﺣَﺎ ْ ن ِﻓ َ ﻦ آَﺎ ْ َو َﻣ.ﺴِﻠ ُﻤ ُﻪ ْ ﻻ ُﻳ َ ﻈِﻠ ُﻤ ُﻪ َو ْ ﻻ َﻳ َ ﺴِﻠ ِﻢ ْ ا ْﻟ ُﻤ ب ِ ﻦ ُآ َﺮ ْ ﻋ ْﻨ ُﻪ ِﺑﻬَﺎ ُآ ْﺮ َﺑ ًﺔ ِﻣ َ ﷲ ُ جا َ ﺴِﻠ ٍﻢ ُآ ْﺮ َﺑ ًﺔ َﻓ ﱠﺮ ْ ﻦ ُﻣ ْﻋ َ ج َ ﻦ َﻓ ﱠﺮ ْ ﺟ ِﺘ ِﻪ َو َﻣ َ ﺣَﺎ 347 ﷲ َﻳ ْﻮ َم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ُ ﺳ َﺘ َﺮ ُﻩ ا َ ﺴِﻠﻤًﺎ ْ ﺳ َﺘ َﺮ ُﻣ َ ﻦ ْ َﻳ ْﻮ ِم ا ْﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ َو َﻣ Dari Ibn ‘Umar r.a.ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Orang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Maka hendaknya ia tidak menzaliminya dan tidak mencelakainya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhan dirinya. Siapa yang menghilangkan suatu kesulitan dari diri seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. (H.R.alBukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Abû Dâwûd) Pada masa Rasulullah saw., beliau pernah mempersaudarakan Sa’ad bin al-Rabî’ al-Ansâri (w.2 H.) dengan Abdurrahmân bin ‘Auf (w.32 H.) radhiyallâhu ‘anhumâ. Lalu Sa’ad berkata kepada Abdurrahmân: “sesungguhnya aku adalah orang Ansar yang paling kaya. Aku akan membagi hartaku menjadi dua bagian, untuk diriku dan untuk dirimu. Aku juga memiliki dua orang istri. Maka pilihlah wanita mana yang paling kamu sukai, lantas sebutkan namanya kepadaku, untuk kemudian akan aku ceraikan. Jika masa iddahnya sudah habis, akan aku nikahkan min Khisal al-Îmân an Yuhibba li Akhîh mâ Yuhibbu li Nafsih min al-Khair, h. 38; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Kitâb al-Îmân wa Syarâ’i’ih Bâb ‘Alâmah al-Îmân, no. Hadis 5026, h. 803; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Muqaddimah Bâb al-Îmân, no. Hadis 66, h. 26; Ahmad Farîd, alBahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, h. 366 347 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Mazâlim Bâb lâ Yazlimu al-Muslim alMuslim walâ Yuslimuh, h. 98; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Tahrîm al-Zulm, h. 430; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Hudûd Bâb Mâ Jâ’a fî al-Satr ‘alâ al-Muslim, no. Hadis 1449, h. 439; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb alÂdâb Bâb al-Mu’âkhâh, no. Hadis 4893, h. 273
246
dia denganmu.” Mendapat tawaran seperti itu, Abdurrahmân berkata: “semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu melalui keluarga dan hartamu. Di manakah letak pasar kalian?” akhirnya, Abdurrahmân datang ke pasar untuk berdagang hingga pada akhirnya sukses menjadi konglomerat Madinah dan menikah dengan wanita lain.348 10. Bergaul dengan Orang-orang Salih Rekan atau sahabat memiliki pengaruh yang sangat besar bagi pembentukan kepribadian seseorang. Sahabat yang buruk akhlaknya tidak jarang menularkan hal-hal negatif kepada teman sepergaulannya. Banyak sekali pemuda yang mengalami penyimpangan perilaku dan terjerumus ke dalam perbuatan hina maupun tindakan kriminal karena pengaruh temannya. Itulah sebabnya, ada sebuah pepatah yang menyatakan: 349
ي ْ ﻖ ُﻳ ْﻌ ِﺪ ِ ﺨُﻠ ُ ﺳ ْﻮ ُء ا ْﻟ ُ
Akhlak yang buruk itu dapat menular. Oleh karena itu, memilih teman yang berakhlak mulia merupakan sesuatu yang sangat urgen. Bukankah jika bergaul dengan pandai besi akan terkena percikan api sebagaimana bergaul dengan tukang minyak wangi akan terkena aroma harumnya? Perhatikanlah sabda Rasulullah saw. berikut ini:
ﻞ ُ ل إِ ﱠﻧﻤَﺎ َﻣ َﺜ َ ﻗَﺎρ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﺷﻌَﺮِي َر ْ َﻲ ُﻣ ْﻮﺳَﻰ اﻻ ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ ﻚ ِ ﺴ ْ ﻞ ا ْﻟ ِﻤ ُ ﺦ ا ْﻟ ِﻜ ْﻴ ِﺮ َﻓﺤَﺎ ِﻣ ِ ﻚ َوﻧَﺎ ِﻓ ِﺴ ْ ﻞ ا ْﻟ ِﻤ ِ ﺴ ْﻮ ِء َآﺤَﺎ ِﻣ ﺢ وَاﻟ ﱡ ِ ﺲ اﻟﺼﱠﺎِﻟ ِ ﺠِﻠ ْﻴ َ ا ْﻟ
348
M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw ., h. 115 M. Fadhilah Zaidi, Mahfuzhat: Khazanah Mutiara Hikmah dari Pesantren, (Ciputat: Penerbit Kalimah, 2000), Cet. I, h. 77 349
247
ﻃ ﱢﻴ َﺒ ًﺔ َ ﺠ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ِر ْﻳﺤًﺎ ِ ن َﺗ ْ ع ِﻣ ْﻨ ُﻪ َوِإﻣﱠﺎ َأ َ ن َﺗ ْﺒﺘَﺎ ْ ﻚ َوِإﻣﱠﺎ َأ َ ﺤ ِﺬ َﻳ ْ ن ُﻳ ْ إِﻣﱠﺎ َأ 350 ﺠ َﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ِر ْﻳﺤًﺎ ُﻣ ْﻨ ِﺘ َﻨ ًﺔ ِ ن َﺗ ْ ﻚ َوِإﻣﱠﺎ َأ َ ق ِﺛﻴَﺎ َﺑ َ ﺤ ِﺮ ْ ن ُﻳ ْ ﺦ ا ْﻟ ِﻜ ْﻴ ِﺮ إِﻣﱠﺎ َأ ُ َوﻧَﺎ ِﻓ Dari Abû Mûsâ al-Asy’arî r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk itu ibarat penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu minyak, atau kamu akan membeli minyak darinya, atau kamu akan mendapati aroma wangi darinya. Sementara pandai besi, maka bisa jadi dia akan membakar busanamu (ketika sedang meniup api) atau kamu akan menjumpai aroma tidak sedap darinya.” (H.R. al-Bukhârî, Muslim, dan Abû Dâwûd) Pada kesempatan lain beliau juga bersabda:
ﻦ ِ ﻋﻠَﻰ ِد ْﻳ َ ﻞ ُﺟ ُ ل اَﻟﺮﱠ َ ﻗَﺎρ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ ﻋ ْﻨ ُﻪ َأ ﱠ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْ ﻦ َأ ِﺑ ْﻋ َ 351 ﻞ ُ ﻦ ُﻳﺨَﺎِﻟ ْ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ َﻣ َ ﻈ ْﺮ َأ ُ ﺧِﻠ ْﻴِﻠ ِﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻨ َ Dari Abû Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “(Keyakinan) seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Oleh karena itu, (apabila) salah seorang di antara kalian (ingin mengetahui lebih dalam mengenai seseorang), maka hendaklah dia melihat siapa yang menjadi sahabat orang tersebut.” (H.R. al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd) Sedemikian penting dan besarnya pengaruh teman bagi seseorang, pada akhirnya Syaikh Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî (w.709 H.) menyatakan:
ﷲ َﻣﻘَﺎُﻟ ُﻪ ِ ﻋﻠَﻰ ا َ ﻚ َ ﻻ َﻳ ُﺪﱡﻟ َ ﻚ ﺣَﺎُﻟ ُﻪ َو َ ﻀ ُ ﻻ َﻳ ْﻨ َﻬ َ ﻦ ْ ﺐ َﻣ ْ ﺤ َﺼ ْ ﻻ َﺗ َ
352
Janganlah kamu bersahabat dengan seseorang yang keadaannya dan ucapannya tidak membangkitkan dan tidak menunjukkan dirimu kepada Allah. Menurut Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasani menjelaskan bahwa keadaan seseorang dikatakan dapat membangkitkan anda untuk ingat kepada Allah
adalah apabila anda melihatnya, niscaya anda akan
ingat kepada Allah. Jika anda dalam kelalaian lalu melihatnya, niscaya anda akan 350
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb fî al-‘Attâr wa Bay’ al-Misk, h. 16 & Juz 6, Kitâb al-Dzabâ’ih wa al-Said wa al-Tasmiyah ‘alâ al-Said Bâb al-Misk, h. 231; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb al-Birr wa al-Silah wa al-Âdâb Bâb Istihbâb Mujâlasah alSâlihîn wa Mujânabah Quranâ al-Sû, h. 446; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Man Yu’maru an Yujâlasa, no. Hadis 4829, h. 259 351 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb al-Zuhd Bâb 32, no. Hadis 2484, h. 17; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Âdâb Bâb Man Yu’maru an Yujâlasa, no. Hadis 4833, h. 259; Imam al-Tirmidzî mengatakan bahwa nilai hadis ini adalah hasan 352 Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajîbah al-Hasani, Īqâz al-Himam, (Beirut: Dr alFikr, t.t.), h. 74
248
tersadar dari kelalaian. Jika anda dalam keadaan gemar beribadah (raghbah) lalu anda melihatnya, niscaya anda akan tergerak untuk bersikap zuhud. Jika anda dalam kemaksiatan lalu melihatnya, niscaya anda akan segera bertaubat. Atau jika anda tidak mengenal Tuhan lalu melihatnya, niscaya anda akan tergerak untuk berma’rifah kepada-Nya.353 Sedangkan ucapan seseorang dikatakan dapat menunjukkan kepada Allah adalah seseorang yang berbicara karena Allah, menunjukkan kepada Allah, dan tersembunyi baginya segala hal selain Allah. Jika ia berbicara, maka ia akan menghimpun dan menjinakkan hati-hati. Jika dia diam, maka diamnya akan menggerakkan anda menuju Zat Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Keadaannya membenarkan ucapannya, dan ucapannya sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, bergaul dengan jenis orang seperti ini merupakan cahaya yang sangat mahal harganya.354 Semakin sering seseorang bergaul dengan
orang-orang yang buruk
akhlaknya, maka akan semakin mudah terbentuknya tradisi atau kebiasaan buruk dalam
perilaku
sehari-hari,
sehingga
tatkala
dia
melakukan
tindakan
penyelewengan, maka dia merasa tidak ada yang salah dan perlu dirisaukan. Padahal setiap kali anak manusia berbuat kesalahan, maka akan tercipta satu titik hitam dalam kalbunya. Begitu pula sebaliknya, jika ia berbuat kebaikan, niscaya akan tercipta titik putih dalam kalbunya.
ﺷ ِﺮ َﺑﻬَﺎ ْ ﺐ ُأ ٍ ي َﻗ ْﻠ ﻋ ْﻮدًا َﻓَﺄ ﱡ ُ ﻋ ْﻮدًا ُ ﺼ ْﻴ ِﺮ ِ ﺤ َ ب آَﺎ ْﻟ ِ ﻦ ﻋَﻠَﻰ ا ْﻟ ُﻘُﻠ ْﻮ ُ ض ا ْﻟ ِﻔ َﺘ ُ ُﺗ ْﻌ َﺮ ﺣﺘﱠﻰ َ ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ُﻧ ْﻜﺘَ ٌﺔ َﺑ ْﻴﻀَﺎ ُء َ ﺐ أَ ْﻧﻜَﺮَهَﺎ ُﻧ ِﻜ ٍ ي َﻗ ْﻠ ﺳ ْﻮدَا ُء َو َأ ﱡ َ ﺖ ِﻓ ْﻴ ِﻪ ُﻧ ْﻜﺘَ ٌﺔ َ ُﻧ ِﻜ ﺖ ِ ﻀﺮﱡ ُﻩ ِﻓ ْﺘ َﻨ ٌﺔ ﻣَﺎ دَا َﻣ ُ ﻼ َﺗ َ ﺼﻔَﺎ َﻓ ﻞ اﻟ ﱠ ِ ﺾ ِﻣ ْﺜ َ ﻦ ﻋَﻠَﻰ َأ ْﺑَﻴ ِ ﻋﻠَﻰ َﻗ ْﻠ َﺒ ْﻴ َ ﺼ ْﻴ َﺮ ِ َﺗ 353 354
Ibid Ibid, h. 74-75
249
ف ُ ﻻ َﻳ ْﻌ ِﺮ َ ﺨﻴًﺎ ﺠﱢ َ ﺳ َﻮ ُد ُﻣ ْﺮﺑَﺎدًّا آَﺎ ْﻟ ُﻜ ْﻮ ِز ُﻣ ْ ﺧ ُﺮ َأ َ ض َواْﻻ ُ ﻻ ْر َ ت َو ْا ُ اﻟﺴﱠﻤﻮَا 355 ﻦ َهﻮَا ُﻩ ْ ب ِﻣ َ ﺷ ِﺮ ْ ﻻ ﻣَﺎ ُأ ﻻ ُﻳ ْﻨ ِﻜ ُﺮ ُﻣ ْﻨ َﻜ ًﺮا ِإ ﱠ َ َﻣ ْﻌ ُﺮ ْوﻓًﺎ َو Berbagai fitnah akan disodorkan pada hati sebagaimana (proses membuat) tikar sehelai demi sehelai. Hati manapun yang menyerap fitnah, maka akan ternoda satu titik hitam. Dan hati manapun yang mengingkarinya, maka akan tertoreh titik putih sehingga permukaan hati tersebut akan sangat putih mirip dengan batu besar yang mulus. Satu fitnahpun tidak akan bisa menimbulkan mudharat pada hati tersebut selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan hati yang satunya lagi akan sangat hitam seperti panci (untuk memasak) yang terbalik. Dia tidak bisa mengetahui sesuatu yang ma’ruf dan tidak mengingkari sesuatu yang mungkar. (Dia tidak mengetahui) kecuali hawa nafsu yang meresap (ke dalam hatinya). (H.R. Muslim dan Ahmad dari Hudzaifah) Jika keadaannya demikian, maka semuanya akan kembali kepada sikap setiap orang. Akankah dia memilih orang-orang salih sebagai temannya sehingga akan ikut memutihkan hatinya dan mendapatkan kedekatan dirinya kepada Sang Khalik, atau ia akan memilih orang-orang yang buruk akhlaknya sebagai teman yang pada akhirnya akan menghitamkan hatinya dan menjauhkannya dari Allah?
355
Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Bayân anna al-Islâm Bada’a Gharîban wa Saya’ûdu Gharîban, h. 72; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 5, h. 386, 405
250
BAB V PENUTUP
Ternyata, predikat uswah hasanah yang melekat pada diri Rasulullah saw. dapat difungsikan dalam seluruh sisi kehidupan manusia, termasuk dalam hal fenomena psikologis yang terjadi pada diri manusia. Menangis sebagai salah satu fenomena psikologis manusia yang selama ini dipandangn sebagai
sebuah
pengalaman yang biasa, menjadi tidak biasa ketika terjadi pada diri beliau. Berdasarkan penelitian penulis terhadap Hadis-hadis beliau, dapat dipastikan bahwa tidak ada tangisan beliau yang bernilai buruk. Saat membaca dan mendengarkan al-Qur’an, acap kali beliau tak mampu membendung tetesan air mata. Beliau juga sering kali menganjurkan kepada umatnya untuk banyak menangis dan sedikit tertawa dengan merenungi arti kehidupan. Beliau juga memotivasi umatnya untuk menangis saat berzikir dalam kesepian. Tangisantangisan seperti inilah yang sarat makna sehingga dianjurkan untuk ditradisikan dan dihidupkan oleh setiap muslim dalam menjalani hari-hari yang fana. Sementara itu, dalam tradisi jahiliyah dikenal sebuah kebiasaan dalam menyikapi kematian, yaitu dengan meraung-raung atau meratapi si mayit secara berlebihan yang diiringi dengan kata-kata celaka (wail dan tsubur) serta ucapanucapan batil lainnya. Perilaku yang tidak wajar dan telah membudaya ini menjadi tercela karena dipandang sebagai sebuah sikap yang menggambarkan kondisi ketidakrelaan atas kematian yang ditangisi. Ini artinya, orang tersebut tidak ridha dengan keputusan Allah. Padahal, jika kita beriman dan meyakini Allah sebagai 251
Zat Yang Mahabaik dan bijaksana, tidak sepatutnya perilaku tercela itu dilakukan. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya mayit itu akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya.” (H.R. al-Bukhari). Siksaan itu terjadi jika si mayit sebelumnya berwasiat untuk ditangisi atau dia tidak melarang perilaku keluarganya yang tercela itu. Namun, jika tangisan itu dilakukan secara wajar, dia boleh-boleh saja. Sebab, tangisan itu dianggap sebagai wujud kasih sayang sesama manusia. Sedangkan Allah Yang Maha Penyayang akan melimpahkan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba yang penyayang. Termasuk juga dalam kategori menangis yang dibolehkan adalah menangis karena melihat kesulitan dan penderitaan orang lain. Tangisan empati ini dapat mengasah kalbu manusia sehingga menjadi bersih dan jernih. Dengan demikian, menangis tidak bebas nilai. Baik dan buruknya nilai tangisan sangat ditentukan dari motif yang melatarbelakanginya. Jika motifnya baik, maka tangisannyapun baik. Dan jika motifnya buruk, maka tangisannyapun buruk. Oleh karena itu, penulis kembali menegaskan, bahwa tetesan air mata yang terjadi pada diri Rasulullah saw. adalah karena kelembutan dan kejernihan hati beliau, dan karenanya bernilai ibadah di sisi Allah. Tangisan beliau adalah tangisan hamba yang salih (‘abd sâlih). Dengan demikian, menangis adalah salah satu karakteristik orang-orang yang salih. Sepanjang sejarah, orang-orang yang salih senantiasa mencucurkan air mata dalam banyak kesempatan.
252
DAFTAR PUSTAKA
Abâdi, Muh. Syams al-Haqq, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Ahmad, Khalîl, Bazl al-Majhûd, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t. Ali, Attabik, dan Muhdhor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1995, Cet.ke-5. Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1994. Arif, Abul Fida M. Izzat, Air Mata Orang-orang Shalih, Jakarta: Penerbit Pustaka Tazkia, 2004, Cet. Ke-1. Al-‘Ainî, Badr al-Dîn, ‘Umdah al-Qâri, Beirût; Dâr al-Fikr, t.t. Al- ‘Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr alFikr, 1414/1993. Al-Attâr, Farîduddîn, Warisan Para Awliya, Penerjemah Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî al-Tafsîr wa al-Ta’wîl, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985. Al-Bâqi, M. Fu’âd ‘Abd, Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t. Al-Barr, Ibn ‘Abd, Jâmi’ Bayân al-‘lm wa Fadlih, Beirût: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, t.t. Bastaman, Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis, Jakarta: Paramadina, 1996. Al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Beirût: Dâr al-Fikr, 1986. Al-Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Ruhul Bayan (terj.), Bandung: C.V. Diponegoro, 1998 Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000, Cet.ke-1. 253
Dâwûd, Abû, Sunan Abî Dâwûd, Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.t. Effendi, Djohan, Menemukan Makna Hidup, Jakarta: Mediacita, 2001, Cet. Ke-1.
Farid, Ahmad, Al-Bahr al-Râ’iq fî al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, T.tp.: Al-Maktabah alTaufîqiyyah, t.t. Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t Hart, Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1991, Cet.ke-13. Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984, Cet. ke-9. Hamadah, Abbas Mutawalli, Sunnah Nabi saw.: Kedudukannya Menurut AlQuran, bandung: Gema Risalah Press, 1997, Cet. ke-2. Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985 Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Al-Hasani, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah, Îqâz al-Himam, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa, Jakarta: Robbani Press, 2003, Cet.ke-3. Al-Husaini, HMH. Al-Hamid, Baitun Nubuwwah, Bandung:Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-3 Ilyas, Ilyas Anton dan Ilyas, Edwar, Qamus Ilyas al-‘Ashrî Arabi Injilîzî, Beirût; Dâr al-Halb, 1972 Jamal, Ibrahim M., Penyakit Hati, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2 Al-Jauzi, Ibn, Birrul Walidain, Penerjemah………..Surabaya: Pustaka Progressif, 1993, Cet.ke-1. Al-Jauzî, Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. _ _ _ _ , Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1998. Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Katsîr, Ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Semarang: Toha Putra, t.t. Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, Jakarta: Pustaka Amani, 1997 Cet.ke-1.
254
_ _ _ _ , Muhammad Rasulullah juga Manusia Biasa, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, Cet.ke-1. Khalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994. Al-Khatîb, M. ‘Ajjâj, Usûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mustalahuh, Beirût: Dâr alFikr, 1989. Mâjah, Ibn, Sunan Ibn Mâjah, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t. Al-Malîbari, Zain al-Dîn, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t. Mâlik, Al-Muwatta, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993, Cet.I. Ma’luf, Louis, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002, Cet.ke-39. Manzûr, Ibn, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Fikr, 1990, Cet. ke-1. Al-Mubârak, ِAbdullâh ibn, Al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004, Cet. I. Al-Mubârakfûri , Muh. ‘Abdurrahmân, Tuhfah al-Ahwazî, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Mujib, Abdul, Apa Arti Tangisan Anda, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Cet. Ke-14. Muslim, Sahîh Muslim, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t. Najati, M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., Jakarta: Mustaqim, 2003, Cet. Ke-1 Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002, Cet.ke-1. Al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhân wa Aulâdih, t.t. _ _ _ _ , Al-Adzkâr, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t. _______ , Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994. _ _ _ _ , Riyâd al-Sâlihîn, Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1939. Al-Qadir, Syaikh ‘Abd, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
255
Qaradawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., Bandung: Penerbit Kharisma, 1984, Cet. ke-1. _ _ _ _ , Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema insani Press, 1999, Cet.ke-1. _ _ _ _ , Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003, Cet. Ke-7. Al-Qarni, Aidh, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., Bandung: Penerbit IBS, 2006. Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Riyâd: Mansyûrât al-‘Asr alHadîts, 1973. Qudâmah, Ibn , Minhâj al-Qâsidîn, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997, Cet. I. _ _ _ _ , Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh, Surabaya: Risalah Gusti, 2000 Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1407/1987, Cet.ke1. Qutaibah, Ibn, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Beirût: Mu’assasah al-Kutub alTsaqâfiyyah, 1988. Quthb, sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah………….. Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. Ke-1 Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet.ke-2. _ _ _ _ , Meraih Cinta Ilahi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, Cet.ke-3. _ _ _ _ , Renungan-renungan Sufistik, Bandung: Penerbit Mizan, 1999, Cet.ke-9. Al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Mafâtih al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1983. Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Penerjemah................Bandung: CV Diponegoro, 1999. Al-Sâbûnî, M. Ali, Safwah al-Tafâsîr, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1999, Cet.ke-1. Al-Sa’îd, Khumais, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005. Al-Ta’labi, Qisas al-Anbiyâ, Beirût: Dâr al-Fikr, tth., Cet.ke-4. Al-Sakhâwi, Al-Maqâsid al-Hasanah, Beirût: Dar al-Hijrah, 1986. 256
Schimmel, Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, Cet. Ke-7. Shahab, Idrus, Sesungguhnya Dialah Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 2004, Cet.ke-3. Shaleh, Asbabun Nuzul, Bandung: Penerbit C.V. Diponegoro, 1984. Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Ciputat: Penerbit Lentera hati, 2001, Cet. Ke-4. _ _ _ _ , Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423/2002 _ _ _ _ , h , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2 _ _ _ _ , Wawasan Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, Cet. Ke-1 Al-Sibâ’î, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1001 Al-Siddîqî, Muhammad bin ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. As-Sinjari, Abdurrahman, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2005, Cet. Ke-14. Al-Suyûti, Syarh Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t. Suyuti, Ahmad, Percik-percik Kesucian, Jakarta: Pustaka Amani, 1996. Syahbah, Muh. Abû, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub as-Sihhah al-Sittah, Mesir: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1969, Cet.ke-8. Syarif,M.M., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 1997, Cet.ke-8. Al-Tabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, Beirût: Dâr al-Fikr, 1987, Cet.I. Al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1414/1994. Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2. Usman, Muhammad, Al-Quran dan Psikologi, Jakarta: Aras Pustaka, 2001, Cet. Ke-1. Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, Beirût: Dâr al-Fikr, 1994.
257
Yahya, Harun, Moralitas Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2002. Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka firdaus, 1996, Cet. Ke-2. Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr , Beirût: Dâr al-Fikr, 1991.
258
259