Perlindungan Anak dalam Hadis Azhariah Fatia STAIN Batusangkar, Sumatera Barat
Abstract: This article tries to discuss the problem of protecting children which has been neglected by some families and societies. To do this,the writer then refers to spiritual and legal basis found in alHadist or the Tradition of the Prophet. Such al-Hadists are studied from their contexts and then reinterpreted in the contemporary condition. Among them are that the Prophet did many right things to protect children as well as their rights. These aimed to give more respect, and protection on them so that their rights are brought into reality properly. Keywords: Children, Protection, and the Tradition of the Prophet.
I. Pendahuluan Di dalam terminologi perundang-undangan, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak diartikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1 Perlindungan tersebut diberikan kepada setiap anak 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta penjelasannya, ( Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 4 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
271
Azhariah Fatia
selama dalam pengasuhan orang tuanya, wali, atau pihak manapun yang bertanggung-jawab atas pengasuhan, dimana anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi ekonomi ataupun seksual, penelantaran, kekejaman, penganiayaan dan kekerasan, ketidak-adilan dan perlakuan salah lainnya (pasal 13 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak).2 Di dalam khasanah keilmuan Islam, pada tataran teoritis, uraian tentang perlindungan anak dapat dirujuk kepada hak-hak manusia secara umum yang biasanya terdapat di dalam kajian-kajian teori maqâshid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat Islam). Melalui penelitian mendalam, para ulama menyimpulkan bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah dengan tujuan menjamin kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan syariat Islam tersebut dapat dicapai dengan memberikan jaminan kepada hak-hak dasar manusia, termasuk tentunya hak-hak anak. Ada lima hak pokok pada diri manusia yang harus dijamin dan dipelihara (al-dharûriyât al-khams), yaitu agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal.3 Semua bentuk dan macam hak yang dimiliki manusia pada hakekatnya dapat dikembalikan kepada pengembangan dari kelima hak pokok tersebut. Syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah SAW. pada hakekatnya berorientasi untuk menjamin kemaslahatan kehidupan manusia, dimana hak-hak dasar manusia merupakan inti kemaslahatan manusia tersebut. Bahkan sebagian ulama, seperti Suhail Husain Al-Fatlawî, menegaskan bahwa syariat Islam diturunkan semata-mata untuk memelihara hak-hak manusia. Setiap bagian dan aturan hukum yang ada di dalam syariat Islam, baik di bidang ibadah, muamalah, atau hubungan sesama manusia, dibuat untuk men2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, h.9 3 Tentang teori maqâshid al-syari’ah, lihat antara lain: Abû Ishâq alSyâthibî, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, (Kairo: Musthafâ Muhammad, tt), Abu Hamid al-Ghâzâliy, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), Fathi al-Duraini, al-Manâhij al-Ushûliyyah fi Ijtihâd bi alRa’yi fi al-Tasyrî’ (Damaskus: Dâr al-Kitâb al-Hadîts, 1975), hal.28, dan Muhammad Khalîd Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, (Islamabad: Islamic Research Institut, 1977), hal.223. 272
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
jamin hak-hak manusia pada aspek yang berbeda-beda.4 Secara garis besar, perlindungan yang diberikan syariat Islam terhadap hak-hak manusia (termasuk hak-hak anak), dapat dikategorikan kepada dua bentuk. Pertama, memberikan jaminan bagi terwujud dan terlaksananya hak-hak manusia sehingga dapat dinikmati oleh setiap orang yang berhak (min jânib al-wujûd). Kedua, menjaga dan melindungi hak-hak manusia dari berbagai bentuk pelanggaran (min jânib al-‘adam).5 Perlindungan anak pada tulisan ini didasarkan kepada landasan teoritis tersebut diatas sehingga pembahasan diarahkan kepada dua bentuk perlindungan yang telah dikemukakan. Pembahasan yang lebih luas diarahkan kepada perlindungan bentuk kedua (min jânib al-‘adam). Sedangkan perlindungan dalam bentuk pertama (min jânib al-wujûd) dijelaskan secara lebih singkat karena pada hakekatnya sudah dibahas ketika mengkaji tentang hak-hak anak pada bab sebelumnya.
II. Perlindungan Anak dalam Bentuk Perwujudan dan Penguatan Hak (Min Jânib al-Wujûd) Berdasarkan penelitian terhadap hadis-hadis tentang hak anak, perlindungan anak dalam bentuk perwujudan dan penguatan hak-hak anak (min jânib al-wujûd) dilaksanakan dalam dua bentuk yakni: 4 Suhail Husain al-Fatlâwî, Huqûq al-Insân fî al-Islâm, ( Beirut : Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 2001), cet.1, hal. 5. 5 Pada kajian-kajian tentang maqâshid al-syarî’ah, kedua bentuk perlindungan terhadap hak manusia tersebut sering dibahas. Misalnya, dalam rangka melihara agama dan hak-hak yang berkaitan dengannya, syariat Islam menempuh dua jalan. Pertama, menjamin tegaknya agama (min jânib al-wujûd) dengan cara mengamalkannya, menerapkan hukum-hukumnya, berdakwah, dan berjihad. Kedua, mencegah dan menolak segala bentuk perusakan (min jânib al-‘adam), seperti larangan dan penjatuhan hukuman terhadap pelaku penyebaran hadits palsu, riddah, dan sebagainya. Lihat antara lain: Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ûd al-Yûbî, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah al-Syar’iyyah, (Riyâdh: Dâr al-Hijrah, 1418 H/1998 M), cet. ke-1, hal. 194-209, Abu Ishâq al-Syathibiy, al-Muwafaqât fi Ushul al-Syarî’ah, ( Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt), Jilid II dan Abu Hamid al-Ghâzâliy, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983). Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
273
Azhariah Fatia
Pertama, perwujudan dan penguatan hak-hak anak dalam bentuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak berupa sarana, prasarana, dan keadaan yang kondusif bagi hidup dan kehidupannya sehingga ia dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dengan baik sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang sesungguhnya. Dalam mewujudkan dan menguatkan hak akal misalnya, untuk sarana dan prasarananya haruslah ada sistem pendidikan yang terarah, lembaga-lembaga pendidikan yang memadai, fasilitas-fasilitas pokok dalam kegiatan belajar mengajar dan lainnya. Keadaan yang kondusif bagi pemenuhan hak akal misalnya adalah kerjasama yang baik antara orang-tua dan pendidik, juga lingkungan masyarakat yang mendukung terciptanya kenyamanan dalam proses pendidikan. Termasuk dalam hal ini adalah terjaminnya keamanan suatu negara serta terciptanya kedamaian antara sesama warga masyarakat. Untuk pemenuhan hak keturunan, mestilah ada lembaga perkawinan, ikatan suami istri yang sah, sehingga ada jaminan bahwa anak yang lahir kelak mendapatkan status anak sah dengan orang tua yang jelas. Kalaupun ada anak yang terlahir di luar lembaga perkawinan, anak tersebut berhak mengaitkan nasabnya kepada ibunya, sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Untuk pemenuhan hak hidup, sejak dalam rahim, janin berhak mendapatkan gizi dan perawatan yang baik yang didapatkan lewat calom ibu yang sedang mengandung, juga penyusuan atau ASI ketika ia masih bayi. Anak juga harus mendapatkan nafkah yang layak dalam memenuhi segala kebutuhan untuk menjamin kehidupannya, seperti gizi yang baik, pengasuhan yang tepat, perawatan kesehatan, serta pencegahan dan pengobatan penyakit. Seluruh kebutuhan anak tersebut, baik sarana prasarana maupun suasana yang kondusif yang mendukung, merupakan hak anak dan menjadi kewajiban orang tua (termasuk Negara dan masyarakat) untuk mewujudkannya. Mengenai hal ini, telah dijelaskan pada bab sebelumnya tentang hak-hak anak dalam hadis Nabi SAW, baik mengenai hak-hak yang berkaitan dengan agama, hak-hak yang berkaitan dengan jiwa, hak-hak yang berkaitan dengan harta, hakhak yang berkaitan dengan keturunan atau kehormatan, dan hakhak yang berkaitan dengan akal. 274
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
Dari apa yang diuraikan pada bab sebelumnya, adanya suasana yang kondusif dan mendukung terwujudnya hak-hak anak mendapat perhatian yang lebih besar dari Rasulullah SAW. Misalnya ikatan emosi yang kuat, komunikasi yang efektif dan ketenangan yang diciptakan orang tua dan anggota keluarga lainnya lebih dipentingkan daripada pemenuhan sarana fisik dan prasarana yang disediakan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak. Kedua, memberikan pendidikan kepada anak agar menyadari bahwa ia memiliki hak-hak tertentu dalam kehidupannya, di samping kewajiban, yang mesti dihormati, dilaksanakan, dan dilindungi. Hal ini dilakukan agar anak berupaya untuk mewujudkan, memperjuangkan, dan melindungi hak-haknya sendiri dengan cara yang baik. Kesadaran demikian akan lebih mendukung bagi terwujudnya hak-hak anak. Mengenai pendidikan dan penyadaran anak akan hak-haknya tersebut, banyak ditemukan hadis Nabi SAW yang menunjukkan bahwa Nabi SAW berupaya untuk memperkuat dan memberdayakan anak sejak dini. Hadis tersebut antara lain sebagai berikut.
َ ُاهلل َﻋ ْﻨ ُﻪ َٔانَّ رَﺳ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ ُ َّ َﴈ َ ِ َﺎكل ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ﺣَ ﺎ ِز ٍم ﻋَﻦْ ﺳَ ﻬ ِْﻞ ْﺑ ِﻦ ﺳَ ﻌ ٍْﺪ ر اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ُٔا ِ َﰐ ٍ ِ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ ﻋَﻦْ ﻣ ِ َّ ﻮل َ َ ِﺑ َُاهلل َﻻ ُٔاوﺛِﺮ ِ َّ ﴩ ٍاب َوﻋَﻦْ َﻳﻤِﻴ ِﻨ ِﻪ ُﻏ َﻼ ٌم َوﻋَﻦْ ﻳَﺴَ ﺎ ِر ِﻩ َٔا ْﺷـ َﻴ ٌﺎخ َﻓ َﻘ َﺎل ﻟِ ْﻠ ُﻐ َﻼ ِم َٔاﺗَ ْٔﺎ َذ ُن ِﱄ َٔانْ ُٔا ْﻋ ِﻄ َﻲ َﻫ ُﺆ َﻻ ِء َﻓ َﻘ َﺎل ْاﻟ ُﻐ َﻼ ُم َﻻ و ٦ ُ َ َّ (ﺑِ َﻨﺼِ ِﻴﱯ ِﻣ ْﻨﻚ َٔاﺣَ ًﺪا َﻓ َﺘهل ِﰲ ﻳ َِﺪ ِﻩ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Hadis dari Qutaibah, dari Mâlik, dari Abî Hazm, dari Sahal bin Sa`ad r.a. bahwa Rasulullah SAW disajikan minuman sementara di sebelah kanan beliau ada seorang anak dan di sebelah kiri ada beberapa orang dewasa. Nabi SAW bertanya kepada anak kecil itu: “Apakah engkau izinkan aku memberikan minuman kepada orang-orang dewasa ini terlebih dahulu?” Anak itu berkata: “Tidak. Demi Allah saya tidak menyerahkan bagianku kepada seorangpun dari mereka.” Lalu Nabi SAW menyerahkan minuman tersebut kepada anak kecil itu. (H.R. al-Bukhârî)
Pada hadis ini, Nabi SAW mengajarkan kepada anak bahwa ia memiliki hak, dan pemenuhan haknya menempati prioritas karena posisinya, yakni hak untuk didahulukan dalam giliran mendapatkan minuman, meskipun banyak orang dewasa yang juga hadir dan berhak. Demi penyadaran akan hak tersebut, Nabi SAW sengaja 6 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no.2415. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
275
Azhariah Fatia
melakukan itu di depan khalayah ramai, dan ini berarti bahwa Nabi SAW juga bermaksud mengajari orang banyak untuk menghormati keberadaan anak dan hak-haknya, tidak menyepelekan, dan tidak melanggar hak-hak tersebut. Hal ini merupakan pelajaran yang sangat berharga dari Nabi SAW tentang perlindungan hak-hak anak. Betapa banyak kejadian dalam masyarakat hak-hak anak tidak dihargai, dipandang remeh, dan dilanggar dengan semena-mena hanya karena ada persepsi yang salah kaprah bahwa orang-orang dewasa yang terhormat harus lebih didahulukan. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa anak pada umumnya tidak memiliki cukup daya dan keberanian untuk memperjuangkan haknya. Ditambah dengan perasaan segan dan keharusan untuk menghormati orang tua yang diajarkan. Keseganan dan penghormatan kepada orang tua memang positif dan dianjurkan oleh agama, tetapi tentu tidak dalam konteks membolehkan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Pendidikan dan penyadaran terhadap hak-hak anak juga pernah dilakukan Nabi SAW dalam suatu persidangan sengketa pengasuhan anak antara sepasang suami isteri. Hal ini terekam pada hadis berikut ini.
ٌ ِ َٔا ْﺧ َﱪ ََان ﻣُﺤَ ﻤ َُّﺪ ْﺑﻦُ َﻋ ْﺒ ِﺪ ْا َٔﻻﻋ َْﲆ َﻗ َﺎل ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َﺧ ْﺎدل َﻗ َﺎل ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ا ْﺑﻦُ ﺟُ َﺮﻳ ٍْﺞ َﻗ َﺎل َٔا ْﺧ َﱪ َِﱐ ِز َاي ٌد ﻋَﻦْ ِﻫ َﻼ ِل ْﺑ ِﻦ ُٔاﺳَ ﺎﻣ ََﺔ ﻋَﻦ َ َُٔاﰊ َﻣ ْﻴ ُﻤﻮﻧَ َﺔ َﻗ َﺎل ﺑَ ْﻴ َﻨﺎ َٔا َان ِﻋﻨ َْﺪ َٔاﰊ ُﻫ َﺮْﻳ َﺮ َة َﻓ َﻘ َﺎل ِٕانَّ ا ْﻣ َﺮ َٔا ًة ﺟَ ﺎء َْت رَﺳ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ َﻓ َﻘﺎﻟَ ْﺖ ِﻓ َﺪ َاك َٔا ِﰊ ِ َّ ﻮل ِ ِ ُ ِ وْهجﺎ َو َﻗ َﺎل ﻣَﻦْ ُ َﳜ َ ُ َو ُٔا ِّﻣﻲ ِٕانَّ َزوْ ِيج ُﻳ ِﺮ ُﻳﺪ َٔانْ ﻳ َْﺬ َﻫ َﺐ ِابﺑ ِْﲏ َو َﻗ ْﺪ ﻧَ َﻔﻌ َِﲏ وَﺳَ َﻘ ِﺎﱐ ِﻣﻦْ ﺑِ ْ ِﱤ َٔا ِﰊ ِﻋ َﻨ َﺒ َﺔ َﻓﺠَ ﺎ َء َز ﺎﲳ ِﲏ ِﰲ اﺑ ِْﲏ ٧ َ َﻓ َﻘ َﺎل َاي ُﻏ َﻼ ُم َﻫ َﺬا َٔاﺑ (ُﻮك َو َﻫ ِﺬ ِﻩ ُٔاﻣ َُّﻚ َﻓ ُﺨ ْﺬ ﺑِ َﻴ ِﺪ َٔا ِّ ِﳞﻤَﺎ ِﺷ ْﺌ َﺖ َﻓ َٔﺎ َﺧ َﺬ ﺑِ َﻴ ِﺪ ُٔا ِّﻣ ِﻪ َﻓﺎ ْﻧ َﻄ َﻠ َﻘ ْﺖ ﺑِ ِﻪ )رواﻩ اﻟ ّﻨﺴﺎٓﰃ Hadis diriwayatkan dari Muhammad bin `Âbdi al-A`lâ, dari Khâlid, dari Ibnu Juraij, dari Ziyâd, dari Hilâl bin Usâmah, dari Abî Maimunah, dari Abu Hurairah bahwa seorang wanita mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: “Aku tebus engkau dengan ayah dan ibuku. Sesungguhnya suamiku ingin mengambil anakku padahal ia sangat bermanfaat bagiku dan mengambilkan air bagiku dari sumur Abî Inabah.” Kemudian suami wanita itu datang dan berkata: “Siapa yang akan menentang hakku atas anakku?” Rasulullah bertanya kepada anak (yang disengketakan): “Hai anak. Ini ayahmu dan ini ibumu. Pilihlah siapa yang engkau kehendaki.” Maka anak itupun dilepaskan (kepada Ibunya). (H.R. al-Nasâ’i)
Pada kasus-kasus tentang perebutan hak asuh anak, seperti 7 al-Nasâ’i, Sunan al-Nasâ’i, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997, cet. ke-2, hadits no.3439 276
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
yang dapat diikuti melalui media televisi, koran, dan sebagainya, sering terjadi pihak-pihak yang bersengketa berfikir dari pespektif hak dan klaim masing-masing dengan melupakan hak dan keinginan sang anak. Nabi SAW mengajarkan melalui kasus pada hadis tersebut di atas bahwa yang memiliki hak bukan hanya ayah dan ibu atau pihak-pihak lainnya saja, tetapi anak juga memiliki hak, pendapat, dan keinginan. Justru hak, pendapat, dan keinginan sang anaklah yang mesti lebih didengar dan dipertimbangkan karena merekalah pihak yang paling berkepentingan. Apa yang diajarkan Nabi SAW dalam rangka penghargaan terhadap pendapat anak tersebut sangat sesuai dengan pendapat umum para pegiat perlindungan anak pada saat ini. Ketua Komnas Perlindungan Anak, DR. Seto Mulyadi, menegaskan pentingnya penghargaan terhadap pendapat anak, antara lain mengatakan, ”...Anak-anak itu berhak dimintai pendapatnya berkaitan dengan nasib dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar, harus diberikan kepada anak dalam setiap situasi.”8 Namun, sayangnya hal inilah yang sering terlupakan dan menjadi keprihatikan para aktivis hak-hak anak. Muhammad Joni, mencatat bahwa secara faktual di dalam praktek hukum, pendapat anak sering diabaikan. Hampir semua kasus perceraian tidak terlebih dahulu meminta pendapat anak. Hakim dan para pihak yang berperkara, jika menghargai pendapat anak, perlu menelusuri pendapatnya (walaupun bukan dengan pertanyaan kaku dan formal seperti keterangan orang dewasa). Dalam kenyataannya, anak tidak pernah diminta pendapatnya: apakah dia setuju dengan perceraian atau tidak. Apakah dia memiliki pandangan khusus mengenai hak pemeliharaannya? Mau mengikuti siapa? Bagaimana pula alimentasi atas kebutuhan hidupnya?9 Berbagai kasus atau perkara perebutan (hak pemeliharaan) anak, yang dilaporkan kepada hotline services Komnas Perlindungan Anak, sepertinya berbasis pada pandangan salah tentang superioritas orang tua dalam menguasai anak. Integritas anak seakan hanya 8 Majalah TEMPO, Edisi 6-12 Maret 2006, hal.40. 9 Muhammad Joni, Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir? (Superior Orang Tua Vs Evolving Capacity Anak), dalam HukumOnline.Com, 24 Oktober 2006. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
277
Azhariah Fatia
bisa dikukuhkan secara subyektif hanya oleh ayah atau hanya ibunya. Padahal, konsep perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak, dikembangkan lewat basis yang kuat yakni kepentingan terbaik bagi anak. Integritas pertumbuhan dan perkembangan anak bukan hanya sekadar fisik-biologisnya sahaja, melainkan mencakup fisik, psikologis/mental, dan pikiran anak.10 Perebutan pemeliharaan anak yang semakin marak terjadi, dalam tensi apa dan bentuk yang bagaimanapun, akan merusak integritas anak. Apalagi perebutan anak yang bermuara pada pertikaian, sengketa, dan perbuatan pidana. Tidak juga diperkenankan menghalangi dan membatasi salah satu orang tua. Masalahnya, sudahkah dipertimbangkan implikasi perseteruan itu bagi melindungi integritas fisik dan mental anak, serta pikiran? Menjamin haknya untuk tumbuh dan berkembang wajar tidak tercederai dan melindungi hak privasi anak sebagai subyek hukum yang dijamin oleh negara dan Konvensi Hak Anak, kendatipun anak masih dalam penguasaan orang tua. Jangan sampai, dalam hal terjadi perseteruan, yang diikuti pula dengan ekspos berlebihan atas kasus personal memperebutkan anak, justru kontraproduktif bagi proses alamiah anak menjalani evolusi kapasitas (evolving capacity) menikmati masa kanak-kanak. Tercederainya proses alamiah evolusi kapasitas anak patut dicemaskan. Akibatnya, kepentingan terbaik bagi anak akan tersisihkan, esensi perlindungan hak anak menjadi buram, seperti hak tumbuh dan kembang dengan wajar, hak atas privasi anak, hak mengemukakan pendapat dan pendangan sendiri, hak bersatu dengan keluarga, hak atas informasi yang sehat dan tidak vulgar.11 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyadaran terhadap hak-hak anak dengan melibatkan anak mutlak dilakukan, baik secara langsung atau tidak. Bila anak telah mencapai usia mumayyiz dan mampu memahami persoalan yang berhubungan dengan dirin10 Muhammad Joni, Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir? (Superior Orang Tua Vs Evolving Capacity Anak), dalam HukumOnline.Com, 24 Oktober 2006. 11 Muhammad Joni, Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir? (Superior Orang Tua Vs Evolving Capacity Anak), dalam HukumOnline.Com, 24 Oktober 2006. 278
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
ya secara sederhana, maka anak dapat dilibatkan secara langsung dalam mengambil keputusan menyangkut dirinya sendiri. Penyadaran terhadap orang tua juga diberikan oleh Rasulullah SAW. pada kasus perebutan anak sebagaimana kutipan hadis yang telah dipaparkan sebelumnya, dengan pemahaman bahwa kepentingan, kebutuhan dan pilihan anak harus menjadi prioritas utama. Tepatlah kiranya, bila apa yang pernah dipraktekkan Rasulullah SAW dapat menjadi perhatian setiap orang yang berhubungan langsung dengan anak, terutama orang tua, keluarga dan berbagai pihak terkait lainnya. Kepentingan anak dan keberadaannya di tengah-tengah kepentingan dan keberadaan orang dewasa tidaklah menjadi alasan untuk mengenyampingkan hak-hak anak. Kepentingan terbaik bagi anak, itulah yang harus menjadi pijakan dasar bagi setiap orang yang ingin mengambil sebuah keputusan yang berhubungan dengan anak.
III. Perlindungan dan Pemeliharaan terhadap Anak dan HakHaknya dari Berbagai Bentuk Pelanggaran (Min Jânib al‘Adam) Anak, sesuai dengan kodratnya, adalah manusia yang memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan, baik secara fisik, mental, maupun intelektual. Konsekwensi dari kenyataan tersebut, ia belum mampu memperjuangkan kepentingannya dan melindungi dirinya secara baik. Hal ini sering menjadi faktor penyebab terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak anak yang merugikan atau bahkan membahayakan kehidupan anak. Oleh sebab itu, berbagai peraturan dan mekanisme dibuat untuk memberikan perlindungan kepada anak agar terhindar dari berbagai pelanggaran hak. Nabi SAW menyadari benar keadaan anak yang lemah dan rentan mengalami pelanggaran hak tersebut. Oleh sebab itu, berbagai upaya dan kebijakan beliau lakukan untuk memberikan perlindungan maksimal kepada anak dan hak-hak mereka. Sepanjang penelitian terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah ini, terdapat beberapa kebijakan dan upaya yang dilakukan Nabi SAW sebagai berikut: Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
279
Azhariah Fatia
Larangan Pelanggaran Hak Anak Bentuk perlindungan pertama yang diberikan di dalam hadis-hadis Nabi SAW, dalam aspek min jânib al-`adam, adalah adanya ketentuanketentuan hukum yang melarang segala perbuatan yang dapat merugikan dan melanggar hak-hak anak. Hal ini banyak sekali ditemukan di dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Dalam tataran umum, Nabi SAW melarang orang tua melakukan kejahatan atau kekerasan terhadap anak-anaknya, begitu pula sebaliknya. Larangan melakukan kejahatan ini mencakup segala bentuk perbuatan yang melanggar hak-hak anak. Sebagaimana sabda Nabi SAW.
ْ ﻴﺐ ْﺑ ِﻦ َﻏ ْﺮ َﻗ َﺪ َة ﻋَﻦْ ﺳُ َﻠ ْﻴ َﻤﺎنَ ْﺑ ِﻦ ِ اﻟﴪ ِّي َﻗ َﺎﻻ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َٔاﺑُﻮ ْا َٔﻻﺣْ ﻮ َِص ﻋَﻦْ َﺷـ ِﺒ ِ َّ ُﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َٔاﺑُﻮ ﺑَﻜ ِﺮ ْﺑﻦُ َٔا ِﰊ َﺷ ْﻴﺒ ََﺔ َو َﻫﻨَّﺎ ُد ْﺑﻦ ُ َّ َ ْﲻ ِﺮو ْﺑ ِﻦ ْا َٔﻻﺣْ ﻮ َِص ﻋَﻦْ َٔاﺑِﻴ ِﻪ َﻗ َﺎل َ ِﲰﻌ ُْﺖ اﻟﻨ ِ ََّّﱯ ﺻَ َّﲆ َّﺎس َٔا َﻻ َٔا ُّي ُ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ﻳ َُﻘ ُﻮل ِﰲ ﺣَ ﺠَّ ِﺔ ْاﻟ َﻮ َد ِاع َاي َٔا ُّﳞَﺎ اﻟﻨ ُ َ ُ ُ ُ ُ ْ ْ ْ ْ ْ ﻳ ٍَﻮْم َٔاﺣْ َﺮ ُم ﺛَ َﻼ َث َﻣ َّﺮ ٍات َﻗ ُﺎﻟﻮا ﻳَﻮْ ُم ْاﻟﺤَ ِﺞّ ْا َٔﻻ ْﻛ َ ِﱪ َﻗ َﺎل َﻓ ِٕﺎنَّ ِدﻣَﺎءَﰼ َو َٔا ْﻣﻮَاﻟَﲂ َو َٔا ْﻋ َﺮ َاﺿﲂ ﺑَ ْﻴ َﻨﲂ ﺣَ َﺮا ٌم ﻛﺤُ ْﺮ َﻣ ِﺔ ﻳَﻮْ ِﻣﲂ َﻫ َﺬا ٌ ِ ﰲ َﺷ ْﻬ ِﺮُ ْﰼ َﻫ َﺬا ﰲ ﺑ َ َِدل ُ ْﰼ َﻫ َﺬا َٔا َﻻ َﻻ َ ْﳚﲏ ﺟَ ٍﺎن ِٕا َّﻻ ﻋ ََﲆ ﻧَ ْﻔ ِﺴ ِﻪ و ََﻻ َ ْﳚﲏ و ) َادل ِﻩ ِ ِ َادل ﻋ ََﲆ و َ َِدل ِﻩ و ََﻻ ﻣ َُﻮْﻟﻮ ٌد ﻋ ََﲆ و ِ ِ ِ ِ ١٢ ( رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Hadits dari Abu Bakar bin Abî Syaibah dan Hannâd bin al-Sirrî, dari al-Ahwash, dari Syabîb bin Gharqadah, dari Sulaimân bin `Amr bin alAhwash, dari ayahnya yang mendengar Nabi SAW bersabda ketika haji Wada`: ”Hai sekalian manusia. Ingatlah, hari manakah yang lebih suci?” Orang banyak menjawab: ”Hari Haji Akbar.” Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kekayaanmu adalah suci di antara kamu sebagaimana sucinya harimu ini, pada bulanmu ini, di negerimu ini. Ingatlah, tidaklah sekali-kali seseorang melakukan tindak kejahatan melainkan akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. Orang tua tidak boleh berbuat jahat kepada anaknya dan seorang anak tidak boleh berbuat jahat kepada orang tuanya.” (H.R. Ibnu Mâjah).
Tindakan jahat yang dimaksud oleh hadis di atas dapat disamakan dengan tindakan kekerasan terhadap anak (child abuse) sebagaimana yang populer dibicarakan para ahli dewasa ini. Terry E. Lawson, seorang psikiater anak, menyebut empat macam child abuse, yakni emotional abuse (kekerasan emosional), verbal abuse (kekerasan wicara), physical abuse (kekerasan fisik), dan sexual abuse (kekerasan seksual).13 Emotional abuse dapat terjadi dalam bentuk pengabaian 12 Ibnu Mâjah, Sunan Ibni Majah, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997, cet. ke-2, hadits no. 3046. 13 Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Tindakan Kekerasan terhadap Anak, (Indonesia Interaktif/ website, 1999-2003). 280
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
ketika anak meminta perhatian atau mengabaikan anak ketika mereka ingin dipeluk atau dilindungi. Verbal abuse dapat terjadi ketika orang tua membentak anak atau melontarkan kata-kata kasar kepada mereka. Physical abuse dapat meliputi tindakan memukul anak, baik dengan tangan ataupun menggunakan alat, termasuk juga pembunuhan. Sedangkan sexual abuse adalah tindakan yang melecehkan anak secara seksual. Termasuk dalam tindak kekerasan ini adalah kekerasan ekonomi, seperti penelantaran hak nafkah anak, hak waris anak, dan mempekerjakan anak dengan paksa untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Semua macam dan bentuk kekerasan terhadap anak yang dikemukakan tersebut dilarang oleh Rasulullah SAW dalam hadis-hadis yang akan dikemukakan. Nabi SAW melarang melakukan pembunuhan terhadap anak dengan alasan apapun, baik karena takut jatuh kepada kemiskinan, takut terhina, tidak tahan menanggung malu, dan sebagainya. Hal ini merupakan wujud perlindungan terhadap hak anak, dalam hal ini hak yang berkaitan dengan jiwa. Larangan keras membunuh anak-anak tersebut terdapat antara lain pada hadis berikut.
ْﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ِﻫ َﺸﺎ ُم ْﺑﻦُ َ َّﲻﺎ ٍر ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َ ْﳛ َﲕ ْﺑﻦُ َ ْﲪ َﺰ َة ﻋَﻦْ َ ْﲻ ِﺮو ْﺑ ِﻦ ُﻣﻬ َِﺎﺟ ٍﺮ َٔاﻧ َّ ُﻪ َ ِﲰ َﻊ َٔا َاب ُﻩ ْاﻟ ُﻤﻬ َِﺎﺟ َﺮ ْﺑﻦَ َٔاﰊ ﻣُﺴْ ﲅ ُ َﳛ ِّﺪ ُث ﻋَﻦ ْاهلل ﻋ ََﻠ ْﻴﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ﻳ َُﻘِ ُﻮل َﻻ ِﺗَ ٍ ْﻘ ُﺘ ُﻠﻮا َٔاوْ َﻻ َد ُﰼ َ َُٔا ْ َﲰﺎ َء ﺑِ ْﻨ ِﺖ ﻳَ ِﺰ َﻳﺪ ْﺑ ِﻦ اﻟﺴَّ َﻜ ِﻦ و ََﰷﻧَ ْﺖ ﻣَﻮْ َﻻﺗَ ُﻪ َٔاﳖَّ َﺎ َ ِﲰﻌ َْﺖ رَﺳ ِ َّ ﻮل ِ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ ١٤ .(ِﴎًّا )رواﻩ ٕاﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ Diriwayatkan dari Hisyâm bin ‘Ammâr, dari Yahya bin Hamzah, dari `Amri bin Muhâjir bahwa ia mendengar ayahnya Muhâjir bin Abî Muslim meriwayatkan dari ‘Asma’ binti Yazîd bin Sakan dan Asmâ’ adalah budaknya bahwa sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah engkau membunuh anak-anakmu secara sembunyi-sembunyi (diam-diam).” (H.R. Ibn Majah)
Pada kesempatan lain, masih terkait dengan larangan melakukan pembunuhan terhadap anak-anak, Nabi SAW bersabda:
َاهلل َٔانَّ ُﻋ َﺒﺎ َد َة ْﺑﻦ َ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َٔاﺑُﻮ ْاﻟ َﻴﻤ َِﺎن َﻗ َﺎل َٔا ْﺧ َﱪ ََان ُﺷ َﻌ ْﻴ ٌﺐ َﻋ ِﻦ اﻟﺰ ُّْﻫ ِﺮ ِّي َﻗ َﺎل َٔا ْﺧ َﱪ َِﱐ َٔاﺑُﻮ ِٕا ْد ِر ِ َّ اهلل ْﺑﻦُ َﻋ ْﺒ ِﺪ ِ َّ ﻳﺲ ﻋَﺎﺋِ ُﺬ َ ُاﻟﺼَّ ﺎ ِﻣ ِﺖ رَﴈ ا َّﻟﻠﻬﻢ َﻋ ْﳯﻢ و ََﰷنَ َﺷ ِﻬ َﺪ ﺑ َْﺪرًا و َُﻫ َﻮ َٔاﺣَ ُﺪ اﻟ ُّﻨ َﻘﺒَﺎ ِء ﻟَ ْﻴ َ َةل ْاﻟ َﻌ َﻘ َﺒ ِﺔ َٔانَّ رَﺳ اهلل ﺻَ َّﲆ ا َّﻟﻠﻬﻢ ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ َﻗ َﺎل ِ َّ ﻮل ِ ْ َ ﲱﺎﺑِ ِﻪ َ ْ وَﺣَ ﻮْ َ ُهل ِﻋﺼَ ﺎﺑ ٌَﺔ ِﻣﻦْ َٔا ْ ُﻮﱐ ﻋ ََﲆ َٔانْ َﻻ ُﺗ ﴪ ُﻗﻮا و ََﻻ ﺗَﺰْ ُﻧﻮا و ََﻻ ﺗَ ْﻘ ُﺘ ُﻠﻮا َٔاوْ َﻻ َد ُﰼ و ََﻻ ﺗَ ْٔﺎ ُﺗﻮا ﻌ ﻳ اب ْْ ُ َهلل َﺷ ْﻴ ًﺌﺎ و ََﻻ ﺗ ِ َّ ﴩ ُﻛﻮا ِاب ِ ِ ِ ِ ْ ُ ﺑِﳢُ ْ َﺘﺎن ﺗَ ْﻔ َ ُﱰوﻧَ ُﻪ ﺑ ْ ََﲔ َٔاﻳ ِْﺪ َ ِ ﺎب ِﻣﻦْ َذ َ َاهلل َوﻣَﻦْ َٔاﺻ كل ٍ ﻳﲂ َو َٔارْﺟُ ِﻠ ُ ْﲂ و ََﻻ ﺗَﻌْﺼُ ﻮا ِﰲ َﻣﻌ ِ َّ ْﺮُوف َﻓ َﻤﻦْ و ََﰱ ِﻣ ْﻨﲂ َﻓ َٔﺎﺟْ ﺮُ ُﻩ ﻋ ََﲆ ٍ 14 Ibnu Mâjah, Sunan Ibni Mâjah, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no.2002. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
281
Azhariah Fatia
َ ِ ﺎب ِﻣﻦْ َذ ُّ َﺷ ْﻴ ًﺌﺎ َﻓﻌُﻮ ِﻗ َﺐ ﰲ ُ َّ كل َﺷ ْﻴ ًﺌﺎ ُ َّﰒ ﺳَ َ َﱰ ُﻩ َ َادل ْﻧ َﻴﺎ َﻓ ُﻬ َﻮ َﻛ َّﻔﺎ َر ٌة َ ُهل َوﻣَﻦْ َٔاﺻ ْاهلل ِٕانْ َﺷﺎ َء َﻋ َﻔﺎ َﻋ ْﻨ ُﻪ و َِٕان ِ َّ اهلل َﻓ ُﻬ َﻮ ِٕا َﱃ ِ ١٥ (َﺷﺎ َء ﻋَﺎ َﻗ َﺒ ُﻪ َﻓﺒَﺎ َﻳ ْﻌ َﻨﺎ ُﻩ ﻋ ََﲆ َذ ِكل )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Diriwayatkan dari Abu al-Yaman dari Syu’aib dari al-Zuhri bahwa ia dibaritahu oleh Abu Idris ‘Âidzullâh bin ‘Abdillâh bahwa ‘Ubâdah bin Shâmid r.a., seorang yang ikut dalam perang Badr dan perjanjian malam ‘Aqabah, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika di sekitarnya ada beberapa sahabat: ”Berjanjilah kepadaku bahwa kamu sekalian tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak mengambil sesuatu dengan dusta dan diletakkan di antara kedua tangan dan kakimu, dan tidak menetang kebenaran. Barangsiapa yang mematuhinya maka akan diberi ganjaran pahala oleh Allah. Barangsiapa yang terlanjur melakukannya maka dia akan mendapat hukuman di dunia yang merupakan kaffarat baginya. Barangsiapa yang terlanjur melakukannya tetapi Allah telah menutupinya, maka itu adalah urusan Allah. Jika Allah mau memberi ampunan kepadanya, maka pasti Dia akan mengampuninya. Tetapi jika Allah ingin menyiksanya, maka sudah pasti Allah akan menyiksanya.(H.R. Bukhârî)
Larangan membunuh anak-anak tersebut berlaku dalam segala tempat dan keadaan, baik dalam masa damai maupun dalam masa perang sekalipun. Rasulullah melarang membunuh anak-anak dalam kedaan perang sebagaimana termaktub pada hadis-hadis berikut.
ْ اهلل ْﺑﻦُ ُ َﲻ َﺮ ﻋَﻦْ َان ِﻓ ٍﻊ ﻋَﻦْ ا ْﺑ ِﻦ ِ َّ ﴩ َو َٔاﺑُﻮ ُٔاﺳَ ﺎﻣ ََﺔ َﻗ َﺎﻻ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ُﻋ َﺒ ْﻴ ُﺪ ٍ ْ ِﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َٔاﺑُﻮ ﺑَﻜ ِﺮ ْﺑﻦُ َٔا ِﰊ َﺷ ْﻴﺒ ََﺔ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﻣُﺤَ ﻤ َُّﺪ ْﺑﻦُ ﺑ ً َ ُ َﲻ َﺮ َﻗ َﺎل ِوُﺟ َﺪ ْت ا ْﻣ َﺮ َٔا ٌة َﻣ ْﻘ ُﺘ َ ْ ِْﺾ ﺗ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ﻋَﻦْ َﻗ ْﺘ ِﻞ اﻟ ِّﻨﺴَ ﺎ ِء ِ َّ كل ْاﻟ َﻤ َﻐﺎ ِزي َﻓ َ َﳯـﻰ رَﺳُ ُﻮل ِ ﻮةل ِﰲ ﺑَﻌ ١٦ (َاﻟﺼ ْﺒ َﻴ ِﺎن )رواﻩ ﻣﺴﲅ ِّ و Hadis dari Abû Bakar bin Abî Syaibah, dari Muhammad bin Bisyr dan Abû Usâmah, dari `Abaidullâh bin `Umar, dari Nâfi`, dari Ibnu `Umar berkata bahwa pada sebagian perang ditemukan wanita yang terbunuh. Maka Rasulullah SAW melarang membunuh wanita dan anak-anak. (H.R. Muslim).
Rasulullah juga melarang menempatkan atau membiarkan anak berada dalam lingkungan yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Lingkungan yang membahayakan ini diantaranya adalah peperangan. Oleh karena itu Nabi SAW tidak membolehkan anak-anak, dalam batas 15 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no.17. 16 Muslim bin Hajjaj al-Naisabury, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-Arabî, 1972), Juz II, hadis nomor. no. 3279. 282
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
usia tertentu, untuk ikut dalam peperangan sebagaimana tersebut di dalam hadis berikut ini.
اهلل ِ َّ اهلل ﻋَﻦْ َان ِﻓ ٍﻊ ﻋَﻦْ ا ْﺑ ِﻦ ُ َﲻ َﺮ َﻗ َﺎل َﻋ َﺮ َﺿ ِﲏ رَﺳُ ُﻮل ِ َّ اهلل ْﺑ ِﻦ ُﻧﻤ ْ ٍَﲑ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َٔا ِﰊ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ُﻋ َﺒ ْﻴ ُﺪ ِ َّ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﻣُﺤَ ﻤ َُّﺪ ْﺑﻦُ َﻋ ْﺒ ِﺪ ُ َّ ﺻَ َّﲆ َ ْ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ﻳَﻮْ َم ُٔاﺣُ ٍﺪ ِﰲ ْاﻟ ِﻘ َﺘ ِﺎل َو َٔا َان ا ْﺑﻦُ َٔارْﺑَ َﻊ َﻋ ﴩ َة َﺳـ َﻨ ًﺔ َﻓ َ ْﲅ ُ ِﳚﺰْ ِﱐ َو َﻋ َﺮ َﺿ ِﲏ ﻳَﻮْ َم ْاﻟ َﺨﻨ َْﺪ ِق َو َٔا َان ا ْﺑﻦُ َ ْﲬ َﺲ ١٧ َ ْ َﻋ (ﴩ َة َﺳـ َﻨ ًﺔ َﻓ َٔﺎﺟَ ﺎ َز ِﱐ )رواﻩ ﻣﺴﲅ Hadis dari Muhammad bin `Abdillâh bin Numair, dari ayahnya, dari dari `Abaidillâh, dari Nâfi`, dari Ibnu `Umar berkata bahwa saya menghadap (minta izin) kepada Rasulullah SAW pada masa perang Uhud untuk ikut berperang ketika saya berusia 14 tahun. Rasulullah tidak mengizinkanku. Kemudian saya menghadap lagi pada masa perang Khandaq dan pada waktu itu saya berusia 15 tahun. Rasulullah pun mengizinkannya.” (H.R. Muslim).
Nabi SAW juga melarang melakukan tindakan kasar terhadap anak-anak dalam segala bentuk dan macamnya, karena hal itu dapat menimbulkan dampak negatif yang mendalam bagi anak. Tindakan kekerasan tidak boleh dilakukan, terutama terhadap anak-anak perempuan. Penekanan terhadap anak perempuan adalah karena perempuan memiliki sifat dan perasaan yang lembut sehingga sangat tidak sesuai dengan tindakan kekerasan. Namun, bukan berarti anak laki-laki boleh diperlakukan kasar. Nabi SAW bersabda:
ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ َﻻ ِ َّ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ُﻗ َﺘ ْﻴ َﺒ ُﺔ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ا ْﺑﻦُ ﻟَ ِﻬﻴﻌ ََﺔ ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ُﻋ َّﺸﺎﻧَ َﺔ ﻋَﻦْ ُﻋ ْﻘﺒ ََﺔ ْﺑ ِﻦ ﻋَﺎ ِﻣ ٍﺮ َﻗ َﺎل َﻗ َﺎل رَﺳُ ُﻮل ١٨ (ﺎت َﻓ ِٕﺎﳖَّ ُﻦَّ ْاﻟﻤ ُْﺆﻧِﺴَ ُﺎت ْاﻟ َﻐﺎﻟِ َﻴ ُﺎت )رواﻩ اﲪﺪ ِ ُﺗ ْﻜ ِﺮ ُﻫﻮا ْاﻟ َﺒ َﻨ Hadis dari Qutaibah, dari Lahî`ah, dari Abî `Usysyânah, dari `Uqbah bin `Âmir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian memperlakukan anak-anak perempuan kalian dengan kasar, karena sesungguhnya mereka adalah manusia yang berpembawaan lembut lagi peka perasaannya.”(H.R. Ahmad)
Para ahli kejiwaan menyebutkan bahwa semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam di dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidup. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orangtuanya 17 Muslim bin Hajjaj al-Naisabury, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-Arabî, 1972), Juz II, h. 119, no. 34723. 18 Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam Mausû`ah al-Hadîts alSyarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no. 16733. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
283
Azhariah Fatia
cenderung menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orangtua agresif melahirkan anak-anak agresif yang pada gilirannya menjadi orang dewasa yang agresif. Lawson menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental (mental disorders) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan pada anak-anak adalah problem personal jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja. Sebab-sebabnya dapat dilacak pada sebab-sebab psikologis dari individu yang terlibat. Pemecahannya juga dapat dilakuakn secara individual. Tetapi jika perilaku kekerasan terhadap anak berlangsung dalam waktu yang panjang dan meluas di tengah-tengah masyarakat, maka hal itu berubah menjadi masalah sosial. Penyebabnya tidak cukup dilacak pada sebab-sebab individual, tetapi menyangkut nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial. Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.19 Tindakan kekerasan dilarang oleh Nabi SAW meskipun bertujuan untuk mendidik anak-anak. Dalam ayat al-Quran dan hadis memang dimungkinkan untuk ”memukul” anak atau isteri dalam rangka pendidikan, tetapi hal itu bukan berarti pembolehan tanpa batas. Tindakan pemberian sanksi pemukulan dilakukan sebagai jalan terakhir dengan suatu pertimbangan bahwa tindakan tersebut akan dapat membawa perbaikan, bukan sebaliknya. Pemukulan itupun dilakukan dengan cara dan alat yang tidak membahayakan. Dengan kata lain, pukulan tersebut dilakukan kepada ”hati” sebagai tindakan peringatan bahwa yang dihukum telah melewati batas. Pemukulan bukan ditujukan kepada tubuh dengan maksud menyakiti. Dengan demikian, pemukulan bukan cara atau metode pendidikan yang baik dalam pandangan Islam, melainkan cara yang dapat digunakan dalam kondisi tertentu saja. Nabi SAW sendiri juga melarang tindakan pemukulan terhadap anak dan keluarga sebagaimana terlihat pada hadis berikut. 19 Jalaluddin Rahamat, Tindakan Kekerasan terhadap Anak, (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia: Indonesia Interaktif/ website, 1999-2003). 284
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
ﺎش ﻋَﻦْ ﺻَ ْﻔ َﻮانَ ْﺑ ِﻦ َ ْﲻ ٍﺮو ﻋَﻦْ َﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ َّﺮ ْ َﲪ ِﻦ ْﺑ ِﻦ ِ َّ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َﻋ ْﺒﺪ ٍ اهلل ﺣَ َّﺪﺛَ ِﲏ َٔا ِﰊ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َٔاﺑُﻮ ْاﻟ َﻴﻤ َِﺎن َٔا َان ِٕا ْ َﲰﺎ ِﻋ ُﻴﻞ ْﺑﻦُ َﻋ َّﻴ َ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ َ ْ َﺟُ ﺒ ْ َِﲑ ْﺑ ِﻦ ُﻧ َﻔ ْ ٍﲑ ْاﻟﺤ هلل ِ َّ ﴩ ْك ِاب ِ َّ ﴬ ِﻣ ِّﻲ ﻋَﻦْ ُﻣﻌَﺎ ٍذ َﻗ َﺎل َٔاوْﺻَ ِﺎﱐ رَﺳُ ُﻮل ٍ َﴩ ِﳇﻤ ِ ْ َﺎت َﻗ َﺎل َْﻻ ُﺗ ِ ْ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ﺑِﻌ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َﺷ ْﻴ ًﺌﺎ و َِٕانْ ُﻗ ِﺘ ْﻠ َﺖ وَﺣُ ِّﺮ ْﻗ َﺖ وَﻻ ﺗَ ُﻌ َّﻘﻦَّ و َِادلﻳْﻚ و َِٕانْ َٔا َﻣ َﺮاك َٔانْ ﲣﺮُجَ ِﻣﻦْ َٔا ْﻫ ِكل َوﻣ َِﺎكل وَﻻ ﺗَ ْ ُﱰﻛﻦَّ ﺻَ ﻼ ًة ﻣَﻜ ُﺘﻮﺑ ًَﺔ ُﻣ َﺘ َﻌ ّﻤ ًِﺪا ّ ُ ﴩﺑَﻦَّ َ ْﲬ ًﺮا َﻓ ِٕﺎﻧ َّ ُﻪ َر ْٔا ُس َ ْ َاهلل و ََﻻ ﺗ ﰻ َﻓ ِﺎﺣ َﺸ ٍﺔ و َِٕا َّاي َك و َْاﻟ َﻤﻌْﺼِ َﻴ َﺔ ِ َّ َﻓ ِٕﺎنَّ ﻣَﻦْ َﺗ َﺮ َك ﺻَ َﻼ ًة ﻣ َْﻜ ُﺘﻮﺑ ًَﺔ ُﻣ َﺘ َﻌ ّﻤ ًِﺪا َﻓ َﻘ ْﺪ ﺑَ ِﺮﺋَ ْﺖ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ِذﻣ َُّﺔ ِ َ َ اهلل َﻋ َّﺰ وَﺟَ َّﻞ و َِٕا َّاي َك و َْاﻟ ِﻔ َﺮا َر ِﻣﻦْ اﻟ َّﺰﺣْ ِﻒ و َِٕانْ َﻫ َ َّﺎس ﻣ َ ََّﺎس و َِٕا َذا َٔاﺻ ُﻮات ٌن ُ كل اﻟﻨ َ ﺎب اﻟﻨ ِ َّ َﻓ ِٕﺎنَّ ِاب ْﻟ َﻤﻌْﺼِ َﻴ ِﺔ ﺣَ َّﻞ َ َﲯ ُﻂ ٢٠ َ ِ ْﺎكل ِﻣﻦْ َﻃﻮ َ ِ َو َٔا ْﻧ َﺖ ِﻓ ِﳱ ْﻢ َﻓﺎ ْﺛ ُﺒ ْﺖ َو َٔا ْﻧ ِﻔ ْﻖ ﻋ ََﲆ ِﻋ َﻴ (كل و ََﻻ َﺗ ْﺮ َﻓ ْﻊ َﻋ ْ ُﳯ ْﻢ َﻋﺼَ َﺎك َٔا َد ًاب َو َٔا ِﺧ ْﻔ ُﻬ ْﻢ ِﰲ َّاهلل)رواﻩ اﲪﺪ Hadis dari `Abdullâh, dari ayahnya, dari Abû al-Yamân, dari Ismâ`îl bin `Ayyâsy, dari Shafwân bin `Amr, dari `Abdirrahmân bin Jubair bin Nufair al-Hadhramî, dari Mu`âdz berkata bahwa Rasulullah SAW mewasiatkan 10 hal kepadaku. Jangan serikatkan Allah dengan sesuatu meskipun engkau dibunuh dan dibakar. Jangan durhakai kedua orang tuamu meskipun mereka menyuruh kamu meninggalkan keluargamu dan hartamu. Jangan kamu tinggalkan shalat wajib selamanya karena barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib secaranya sengaja maka lepaslah darinya jaminan Allah. Jangan sekali-kali minum khamar karena ia adalah hulu segala perbuatan keji. Hindarilah maksiat karena maksiat menghalalkan kemarahan Allah `Azza wa Jalla. Hindarilah lari dari perang meskipun musuh akan menghancurkanmu. Jika musuh menyebarkan penyakit sampar dan kamu berada ditengah pasukan, maka tetaplah di temapatmu. Berilah nafkah keluargamu (anak-isteri) menurut kemampuanmu. Jangan kamu angkat tongkatmu untuk mendidik keluargamu. Dan tanamkanlah dalam diri mereka rasa takut kepada Allah. (H.R. Ahmad).
Larangan-larangan terhadap segala macam dan bentuk tindakan kekerasan terhadap anak ditekankan oleh Nabi SAW karena semua itu dapat menimbulkan dampak negatif yang luas dan lama bagi diri anak.
Sanksi Hukum dan Moral Perlindungan terhadap hak-hak anak tidak cukup hanya dengan membuat ketentuan hukum yang melarang perbuatan melanggar hak-hak anak. Dalam kenyataannya, meskipun berbagai peraturan telah dibuat untuk melindungi hak-hak anak, namun pelanggaran hak anak tetap berlangsung. Oleh sebab itu, di samping pembuatan aturan hukum, diperlukan juga sanksi hukum untuk memperkuat aturan hukum dan untuk menekan angka pelanggaran hak-hak 20 Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam Mausû`ah al-Hadîts alSyarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no. 21060. Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
285
Azhariah Fatia
anak. Di dalam Islam, sanksi hukum merupakan wilayah hukum pidana Islam. Hukum Pidana Islam memang menyiapkan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana agar ia tidak melanjutkan perbuatan pidananya sekaligus memberikan efek rasa takut kepada orang lain agar tidak melakukan tindak pidana yang sama. Dengan demikian, tujuan syariat Islam untuk menjamin dan memelihara kemaslahatan kelima pilar pokok kehidupan manusia, yakni pemeliharaan hak agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dapat tercapai dengan baik.21 Nabi SAW, juga menyiapkan sanksi hukum bagi pelaku pelanggar hak anak di samping memberikan aturan yang melarang pelanggaran hak-hak anak sebagaimana telah dipaparkan di atas, agar aturan hukum yang telah dibentuk dapat ditaati dan hak-hak anak lebih terlindungi. Di antara ketentuan sanksi pidana yang ditetapkan oleh Nabi SAW terkait pelanggaran hak anak adalah sanksi hukum terhadap terhadap pembunuhan janin, sebagai bentuk perlindungan atas hak hidup anak. Nabi SAW bersabda:
ٌ ِ َﺎكل وَﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ِٕا ْ َﲰﺎ ِﻋ ُﻴﻞ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﻣ ٌ ِ اهلل ْﺑﻦُ ﻳُﻮﺳُ َﻒ َٔا ْﺧ َﱪ ََان ﻣ َﺎب ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ﺳَ َﻠﻤ ََﺔ ْﺑ ِﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ِ َّ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َﻋ ْﺒ ُﺪ ٍ َﺎكل َﻋ ِﻦ ا ْﺑ ِﻦ ِﺷﻬ ُاﳘﺎ ْا ُٔﻻ ْﺧ َﺮى َﻓ َﻄﺮَﺣَ ْﺖ ﺟَ ِﻨ َ َﻴﳯﺎ َﻓ َﻘ َﴣ رَﺳُ ﻮل ِٕ َ َ ُ اهلل َﻋ ْﻨ ُﻪ َٔانَّ ا ْﻣ َﺮ َٔاﺗَ ْ ِﲔ ِﻣﻦْ ُﻫﺬﻳ ٍْﻞ َرﻣ َْﺖ اﺣْ َﺪ ُ َّ َﴈ َ ِ اﻟ َّﺮ ْ َﲪ ِﻦ ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ُﻫ َﺮْﻳ َﺮ َة ر ٢٢ َٔ َٔ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ ُ (اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ِﻓﳱَﺎ ﺑِﻐ َّﺮ ٍة َﻋ ْﺒ ٍﺪ اوْ ا َﻣ ٍﺔ(رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ِ َّ Hadis dari `Abillâh bin Yûsuf, dari Mâlik, dari Ismâ`îl, dari Mâlik, dari Ibnu Syihâb, dari Abî Salamah bin `Abdirrahmân, dari Abû Hurairah r.a. bahwa dua orang wanita dari Bani Huzail bertengkar, salah satunya melempar yang lain dan menyebabkan gugur janinnya. Maka Rasulullah SAW menetapkan hukuman denda berupa budak laki-laki atau budak perempuan.” (H.R. al-Bukhârî).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi SAW memberikan 21 Muhammad Abû Zahrah, Al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fî al-Fiqh al-Islâmî:: al-Jarîmah, (Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, tt), hal. 22 dan Muhammad Husain al-Dzahabî, Atsar al-Iqâmah al-Hudûd fî Istiqrâr al-Mujtama‘, (Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1398 H/1978 M), cet.ke-1, hal. 31-36. 22 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no.6395. 286
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
sanksi hukum terhadap pembunuhan janin, berbentuk pembayaran denda berupa budak laki-laki atau budak perempuan. Hadis Nabi SAW tersebut tidak menjelaskan pada umur berapa janin tersebut gugur akibat perbuatan pidana. Dengan demikian dapat diartikan bahwa janin dalam usia berapapun berhak mendapat perlindungan hukum sehingga orang yang menggugurkannya, atau yang menyebabkan kegugurannya, baik sengaja atau tidak disengaja, diberikan sanksi hukum pidana berupa denda (ghurrah). Dalam kitabnya al-Mughny, Ibn Qudamah menjelaskan bahwa ghurrah (denda) tersebut menjadi hak janin yang diberikan kepada ahli warisnya. Hukuman yang sama diberikan kepada ibu yang menggugurkan kandungannya (aborsi) dan pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengguguran kandungan.23 Di samping memberikan sanksi hukum sebagai hukuman dunia terhadap pelaku pelanggaran hak-hak anak, Nabi SAW juga mengancam mereka dengan sanksi moral dan sanksi akhirat. Hal ini bertujuan untuk memperkuat perlindungan hak anak, menumbuhkan kesadaran terhadap perlindungan hak anak, dan kabar pertakut bagi pelanggar hak anak. Di dalam sebuah riwayat, memberikan peringatan dan ancaman dosa terhadap orang yang lalai atau tidak mau memberi nafkah keluarganya sebagaimana terlihat pada riwayat dari Ibn `Umar berikut ini.
اهلل ْﺑ ِﻦ َ ْﲻ ٍﺮو ِ َّ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﻣُﺤَ ﻤ َُّﺪ ْﺑﻦُ ﺟَ ْﻌ َﻔ ٍﺮ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ُﺷ ْﻌ َﺒ ُﺔ ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ِٕا ْ َﲮ َﺎق َ ِﲰﻌ ُْﺖ و َْﻫ َﺐ ْﺑﻦَ ﺟَ ﺎﺑِ ٍﺮ ﻳ َُﻘ ُﻮل ِٕانَّ ﻣَﻮْ ًﱃ ﻟِ َﻌ ْﺒ ِﺪ َ ِ اﻟﺸ ْﻬ َﺮ َﻫ ُﺎﻫ َﻨﺎ ﺑِ َﺒﻴ ِْﺖ ْاﻟ َﻤ ْﻘ ِﺪ ِس َﻓ َﻘ َﺎل َ ُهل َﺗ َﺮ ْﻛ َﺖ ِ َٔﻻ ْﻫ َّ َﻗ َﺎل َ ُهل ِٕا ِّﱐ ُٔا ِر ُﻳﺪ َٔانْ ُٔا ِﻗ َﲓ َﻫ َﺬا َّ ﻮﲥ ْﻢ َﻫ َﺬا ُ ُ كل ﻣَﺎ ﻳ َُﻘ اﻟﺸ ْﻬ َﺮ َﻗ َﺎل َﻻ َ َ ِ ﺎرْﺟ ْﻊ ِٕا َﱃ َٔا ْﻫ ِٕ ُ َ َ ْ َّ َّ َ ُ َّ اهلل ﺻَ ﲆ ُ ُ كل َﻓﺎ ْﺗ ْﺮُك ﻟَ ُﻬ ْﻢ ﻣَﺎ ﻳ َُﻘ ْاهلل ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ ﲅ ﻳ َُﻘﻮل ﻛ َﻔﻰ ِابﻟﻤ َْﺮ ِء ِٕا ْﺛﻤًﺎ َٔان ِ َّ ﻮﲥ ْﻢ َﻓﺎ ِّﱐ َ ِﲰﻌ ُْﺖ رَﺳُ ﻮل ِ َﻗ َﺎل َﻓ ٢٤ ُ ﻳُﻀِ ﻴ َﻊ ﻣَﻦْ ﻳ َُﻘ (ﻮت )رواﻩ اﲪﺪ Hadis dari Muhammad bin Ja`far, dari Syu`bah, dari Abî Ishâq dari Wahab bin Jâbir yang menceritakan bahwa sesungguhnya bekas budak `Abdullâh
23 Lihat antara lain: Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh al-Hadiîtsah, tt), Juz VII, hal. 805, Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujahid wa Nihâyah al-Muqtashid, (Semarang: Thaha Putra, tt), Juz II, hal. 312, dan Said Ramadhan al-Buthî, Thadîd al-Nasl: Wiqayatan wa `Ilajan, (Ttp: Tp, tt), hal. 204. 24 Imam Ahmad, Musnad al Muktsirin min al-Shahabah, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadis no. 6547 Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
287
Azhariah Fatia bin Amr pernah berkata kepadanya: “Sesungguhnya dalam bulan ini aku ingin bermukim di bait al-Maqdis ini.” `Abdullâh bin `Amr bertanya kepada bekas budak itu: “Apakah kamu telah meninggalkan nafkah yang mencukupi untuk keluargamu selama satu bulan?” Ia menjawab: “Tidak!” Abdullah bin `Amr berkata kepadanya: “Pulanglah ke rumah keluargamu dan tinggalkanlah untuk mereka nafkah yang cukup untuk biaya mereka selama engkau pergi, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah dosa bagi orang yang menyia-nyiakan nafkah orang yang menjadi tanggungannya.”(H.R. Ahmad)
Nabi SAW memberikan ancaman sanksi akhirat berupa keharaman masuk surga kepada orang yang berupaya menyembunyikan, mengaburkan, dan memalsukan garis keturunan. Sanksi keras ini diberikan karena perbuatan tersebut sangat berbahaya bagi hak keturunan dan kehormatan. Mengenai hal ini, Nabi SAW bersabda:
ٌ ِ اهلل ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َﺧ ٌ ِ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﻣُﺴَ َّﺪ ٌد ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ َﺧ ُ َّ َﴈ َ ِ ﺎدل ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ُﻋ ْﺜ َﻤﺎنَ ﻋَﻦْ ﺳَ ﻌ ٍْﺪ ر اهلل َﻋ ْﻨ ُﻪ َﻗ َﺎل َ ِﲰﻌ ُْﺖ ِ َّ ﺎدل ُﻫ َﻮ ا ْﺑﻦُ َﻋ ْﺒ ِﺪ َ ُ َّ اﻟﻨ ِ ََّّﱯ ﺻَ َّﲆ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ ﻳ َُﻘ ُﻮل ﻣَﻦْ ا َّد َﻋﻰ ِٕا َﱃ َﻏ ْ ِﲑ َٔاﺑِﻴ ِﻪ و َُﻫ َﻮ َﻳﻌ َ ُْﲅ َٔاﻧ َّ ُﻪ َﻏ ْ ُﲑ َٔاﺑِﻴ ِﻪ َﻓ ْﺎﻟﺠَ ﻨ َُّﺔ ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ ﺣَ َﺮا ٌم َﻓ َﺬﻛ ْﺮُﺗ ُﻪ ِ َٔﻻ ِﰊ ٢٥ ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ (اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ وَﺳَ َّ َﲅ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ِ َّ ﻮل ِ ُﺑَ ْﻜ َﺮ َة َﻓ َﻘ َﺎل َو َٔا َان َ ِﲰ َﻌ ْﺘ ُﻪ ُٔا ُذ َان َي َو َوﻋَﺎ ُﻩ َﻗ ْﻠ ِﱯ ِﻣﻦْ رَﺳ Hadis dari Musaddad, dari Khâlid yakni Ibnû `Abdillâh, dari Khâlid, dari Abî `Utsmân, dari Saîd r.a. berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mendakwahkan dirinya sebagai anak dari seseorang yang bukan ayahnya, padahal dia mengetahui bahwa orang itu bukan ayahnya, maka haram baginya surga.” (H.R. al-Bukhârî).
Untuk menguatkan perlindungan terhadap hak anak, Nabi SAW juga memberikan sanksi moral terhadap pelaku pelanggaran. Kebijakan ini umumnya dilakukan Nabi SAW pada kasus-kasus yang lebih ringan. Hal yang disampaikan pada hadis berikut bisa dijadikan sebagai contoh kasus.
ُ َّ اهلل ﺻَ َّﲆ اهلل ﻋ ََﻠ ْﻴ ِﻪ ِ َّ ﻮل ِ َُﺎب ﻋَﻦْ َٔا ِﰊ ُﻫ َﺮْﻳ َﺮ َة ﻋَﻦْ رَﺳ ٍ ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﺣَ ﺠَّ ﺎجٌ َﻗ َﺎل ﺣَ َّﺪﺛَ َﻨﺎ ﻟَ ْﻴ ٌﺚ َﻗ َﺎل ﺣَ َّﺪﺛَ ِﲏ ُﻋ َﻘﻴ ٌْﻞ َﻋ ِﻦ ا ْﺑ ِﻦ ِﺷﻬ ٢٦ (وَﺳَ َّ َﲅ َٔاﻧ َّ ُﻪ َﻗ َﺎل ﻣَﻦْ َﻗ َﺎل ﻟِﺼَ ِ ٍّﱯ ﺗَﻌ ََﺎل َﻫ َﺎك ُ َّﰒ ﻟَ ْﻢ ُﻳﻌ ِْﻄ ِﻪ َﻓ ِﻬـ َﻲ َﻛ ْﺬﺑَﺔ )رواﻩ اﲪﺪ Diriwayatkan dari Hajjâj, dari Laits, dari `Ukail, dari Ibnu Syihâb, dari Abû Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berkata kepada anaknya ‘kemarilah, akan kuberi sesuatu’, lalu dia tidak memberi, maka dia tercatat sebagai pendusta.” (HR. Ahmad).
25 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997), cet. ke-2, hadits no.6269. 26 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997, cet. ke-2, hadits no.9460. 288
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
IV. Penutup Dari uraian tentang perlindungan terhadap hak-hak anak di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW, sesuai dengan informasi yang didapat dari hadis-hadis beliau, melakukan berbagai cara dan kebijakan untuk melindungi anak dan hak-hak mereka. Cara pertama adalah dengan menjamin terwujudnya hak-hak anak (min jânib al-wujûd). Cara ini dilakukan dengan berupaya menyediakan segala hal yang dibutuhkan agar hak-hak anak dapat terpenuhi dengan baik. Di samping itu, diupayakan pula pendidikan anak agar ia mengetahui dan menyadari hak-haknya sehingga dapat lebih mendukung terwujudnya hak-hak anak tersebut. Sedangkan cara kedua adalah dengan memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak. Cara ini ditempuh dengan membuat ketentuan hukum yang melarang setiap tindakan yang melanggar hak-hak anak. Kemudian, ketentuan hukum tersebut diperkuat dengan penyediaan sanksi pidana dan sanksi moral, baik di dunia maupun akhirat, terhadap pelaku pelanggaran hak-hak anak. Hal ini ditujukan agar hak-hak anak lebih dihormati, dilindungi, dan diperjuangkan untuk terwujud dengan baik.
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
289
Azhariah Fatia
BIBLIOGRAFI Abu Hamid al-Ghâzâliy, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, 1983). Abû Ishâq al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, (Kairo: Musthafâ Muhammad, tt) Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, dalam Mausû`ah alHadîts al-Syarîf, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997. al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 1991-1997). al-Nasâ’i, Sunan al-Nasâ’i, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997. Fathi al-Duraini, al-Manâhij al-Ushûliyyah fi Ijtihâd bi al-Ra’yi fi al-Tasyrî’ (Damaskus: Dâr al-Kitâb al-Hadîts, 1975). Ibnu Mâjah, Sunan Ibni Majah, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, Global Islamic Sofware Company, 1991-1997. Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh al-Hadiîtsah, tt). Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujahid wa Nihâyah al-Muqtashid, (Semarang: Thaha Putra, tt). Imam Ahmad, Musnad al Muktsirin min al-Shahabah, dalam Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf, (Global Islamic Sofware Company, 19911997). Jalaluddin Rahamat, Tindakan Kekerasan terhadap Anak, (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia: Indonesia Interaktif/ website, 19992003). Muhammad Abû Zahrah, Al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fî al-Fiqh al-Islâmî:: al-Jarîmah, (Mesir: Dâr al-Fikr al-’Arabî, tt). Muhammad Husain al-Dzahabî, Atsar al-Iqâmah al-Hudûd fî Istiqrâr al-Mujtama‘, (Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1398 H/1978 M). Muhammad Joni, Hak Pemeliharaan Anak, Piala Bergilir? (Superior Orang Tua Vs Evolving Capacity Anak), dalam HukumOnline. Com, 24 Oktober 2006. Muhammad Khalîd Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, (Islamabad: Islamic Research Institut, 1977). Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ûd al-Yûbî, Maqâshid alSyarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah al-Syar’iyyah, (Riyâdh: Dâr al-Hijrah, 1418 H/1998 M). 290
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
Perlindungan Anak dalam Hadis
Muslim bin Hajjaj al-Naisabury, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ alTurâts al-Arabî, 1972). Said Ramadhan al-Buthî, Thadîd al-Nasl: Wiqayatan wa `Ilajan, (Ttp: Tp, tt). Suhail Husain al-Fatlâwî, Huqûq al-Insân fî al-Islâm, ( Beirut : Dâr alFikr al-‘Arabî, 2001). Tempo, Edisi 6-12 Maret 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta penjelasannya, ( Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 4 Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Tindakan Kekerasan terhadap Anak, (Indonesia Interaktif/ website, 1999-2003).
Innovatio, Vol. XI, No. 2, Juli-Desember 2012
291