URGENSI PENDIDIKAN ANAK PERSPEKTIF HADIS
Rustina N1 Abstract: Family is the main first palece for a son learning. They will recieve
values is to be in thier behaviour personality. Interaction with child and parent in the family will be very necassary, the family will take and give. Later, to form the personality which responsible, then one of the family duties is bequea thed or inherited values of religion to thier son. Nowadays, human being needs to be fortted whith values of religion. Sometime as human, we lose or drift and forget the values of culture of religion which is handed out. This writing try to show the urgancy matter of child education perspective hadis. The discourse focues to hadis which ditakhrij by Muslim dari Abu Hurairah ra. The analysis is done as tahliliy while to pay attantion or learn other Alquran and hadis which support. This paper stated that as begining, parent is obligatory of educating thier children, is to be build the belief potencial is able to well growbuild. So, in family Islam Education which is given by thier parent is necassary to be human perfect.
Key words: Islamic Education, , Fitrah, Child
Pendahuluan Allah swt. telah menjadikan manusia senang dan cinta kepada anak, sehingga orang tua yang sayang dan cinta kepada anaknya itu sudah merupakan naluri dan tabiat manusia.2 Di samping itu, anak juga dijadikan sebagai fitnah (ujian/cobaan) oleh Allah bagi setiap orang tua.3 Artinya seorang anak dapat menjadi sarana bagi para orang tua dalam meningkatkan keimanan dan derajatnya di sisi Allah, atau sebaliknya dapat menjerumuskan keimanan dan derajatnya ke tempat terendah di sisi Allah swt. Oleh karena itu, setiap anak yang dititipkan Allah kepada para orang tua hendaknya dijaga, dipelihara, dan dididik dengan sebaik-baiknya. Rasa sayang dan cinta orang tua jangan sampai menjadikan anak salah dalam melangkah menjalani kehidupannya. Karena tidak sedikit anak yang telah menjadi korban dari rasa sayang 1
Dosen tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon. E-mail:
[email protected].
2QS.
Ali Imran (3) ; 14.
3QS.
al-Anfal (7) : 28 .
1
dan cinta orang tuanya sendiri, karena mereka mengartikan sayang dan cinta kepada anak dengan memanjakan dan memberikan kebebasan, dan mengabulkan segala permintaannya, sehingga anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang tidak kuat, cengen, dan rapuh. Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi pendidikan seorang anak. Di dalam keluarga, anak pertama kali akan menerima nilai-nilai yang akan menjadi bagian kepribadiannya. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak. Mereka saling memberi dan menerima. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus memahami dana mengerti eksistensi dan jati dirinya. Salah satu tugas yang diemban oleh orang tua adalah mewariskan nilai-nilai agama kepada anaknya dalam upaya membentuk kepribadiannya yang bertanggung jawab. Hal ini semakin penting, karena dewasa ini, terasa semakin perlunya manusia dibentengi dengan nilai luhur agama agar tidak terseret kepada kelalaian dan kealpaan karena ingin memenuhi tuntutan kebutuhan materi yang tak kunjung puas. Untuk mencapai itu, sebagian manusia yang dulu kuat imannya kadang kala terpeleset dan melupakan ajaran yang selama ini dipegang teguh. Mencermati uraian di atas, dipahami bahwa pendidikan dalam keluarga sangat penting dalam rangka membentuk kepribadian anak. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini mengemukakan permasalahan bagaimana urgensi pendidikan anak dalam keluarga menurut perspektif hadis. Pembahasan difokuskan pada satu hadis yang ditakhrij oleh Muslim dari Abu Hurairah ra. Analisis dilakukan secara tahliliy sambil memperhatikan ayat Alquran dan hadis lainnya yang mendukung. Matan Hadis Hadis yang sering dikemukakan sebagai dasar pentingnya pendidikan anak di dalam keluarga adalah hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah yang berbunyi:
ْ ِكل َموْ لُوْ ٍديُوْ لَد َعلَي الف ص َراِن ِه اَوْ يُ َم ِّج َسانِ ِه ِّ َط َر ِة ِِ فَاَبَ َواهُ يُهَ ِّودَانِ ِه اَوْ يُن
4
Terjemahannya:: ‘Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi.’5 4Imam
{t.th.}), h. 2048.
Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, juz III (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
2
Makna Kata al-Fitrah Hadis tersebut di atas mengatakan bahwa setiap anak itu dilahirkan dalam keadaaan fitrah. Jika anak itu kemudian dalam perkembangannya mengalami suatu perubahan yang tidak sesuai dengan fitrahnya, maka menurut hadis Nabi saw. tersebut disebabkan oleh perbuatan orang tuanya sendiri. Dari segi bahasa, fitrah berarti belahan, muncul, kejadian, dan penciptaan. Ibnu Abbas mengartikannya sebagai penciptaan atau kejadian sejak awal. Jadi fitrah manusia, artinya kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.6 Banyak penafsiran yang dikemukakan oleh ulama tentang makna dan pengertian kata fitrah pada hadis ini. Mayoritas ulama salaf, misalnya Ibn Abd al-Bar berpendapat bahwa fitrah pada hadis tersebut berarti agama Islam. Jadi, setipa anak yang lahir itu dalam keadaan beragama Islam. Al-Qurthubiy mengemukakan bahwa fitrah berarti al-haq (kebenaran), Islam adalah al-din al-haq (agama yang benar) jadi fitrah adalah agama Islam. Sedangkan Ibn al-Qayyim mengemukakan bahwa makna hadis tersebut adalah bahwa setiap anak yang dilahirkan itu sudah membawa pengakuan akan adanya Tuhan.7 Ibnu Hajar al-Asqallaniy menjelaskan bahwa makna hadis di atas adalah seorang anak yang lahir adalah muslim, dan ia akan muslim selamanya apabila tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Kekufuran bukan bersumber dari seorang anak dan bukan pula tabiatnya. Melainkan didapat dari luar dirinya. Seandainya ia tidak tercemari oleh pengaruh dari luar dirinya itu maka ia selamanya berada dalam kebenaran (al-haq).8 Dari uraian di atas, dipahamai bahwa bahwa fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir yang biasa juga disebut dengan tabiat atau potensi yang diberikan Tuhan; antara lain berupa potensi beragama yang ditafsirkan oleh sebagaian ulama berupa potensi beragama yang lurus, yakni Islam. 5M. Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 116. 6Qurais Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudhu’iy atas Berbagai Persoalan Umat (Cet. XII, Bandung: Mizan, 2001), h. 283. 7Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Baukhariy, CD, al-Hadis al-Syarif alKutub al-Tis’ah, nomor hadis 1296. 8Ibid.
3
Potensi beragama yang lurus (tauhid) dipahami dari QS. al-Rum (30) : 30
ِ َ فَأَقِم وجه ِ ِ ِ َِّ ِ َّ ِّين َ ِيل لِ َخل ِْق اللَّ ِه َذل َْ َ ْ ُ ك الد َ ك للدِّي ِن َحني ًفا فط َْرةَ الله التي فَطََر الن َ َّاس َعلَْي َها ََل تَ ْبد ِ الْ َقيِّ ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن )03( َّاس ََل يَ ْعلَ ُمو َن Terjemahnya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.9 Menurut Nurwadjah Ahmad, ayat di atas memperlihatkan bahwa manusia diciptakan dengan membawa fitrah keagamaan yang hanif, yang benar, dan tidak bisa menghindar meskipun boleh jadi ia mengabaikannya atau tidak mengakuinya.10 Al-Shabuni mengemukakan bahwa, kata hanif memerintahkan kepada manusia untuk mengedepankan diri pada agama. Sehingga redaksi ayat tersebut dapat diterjemahkan "hadapkanlah dirimu kepada agama dengan condong". Perintah Allah yang menunjukkan kewajiban itu dilandasi karena dalam diri setiap individu terdapat benih-benih kekuatan yang dapat menegakkan ketentuan-ketantuan Allah. Dengan demikian, perintah menegakkan agama Allah adalah sesuatu yang berada dalam batasbatas wilayah kemampuan manusia. Demikian pula bila dikaitkan dengan firman Allah dalam hal persaksian primordial manusia dalam QS. Al-A'raf ( ): 172,
ِ ِ ِ ك ِمن ب ِِن ت بَِربِّ ُك ْم قَالُوا بَلَى َ َ ْ َ َُّخ َذ َرب ُ آد َم م ْن ظُ ُهوِره ْم ذُِّريَّتَ ُه ْم َوأَ ْش َه َد ُه ْم َعلَى أَنْ ُفس ِه ْم أَلَ ْس َ َوإِ ْذ أ ِِ ِ ِ ي َ َش ِه ْدنَا أَ ْن تَ ُقولُوا يَ ْوَم الْقيَ َامة إِنَّا ُكنَّا َع ْن َه َذا َغافل
9Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Medinah Munawwwarah: Mujamma’ alMalik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, 1426H), h. 645. 10Nurwadjah
Ahmad E.Q, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Cet. I; Bandung: Penerbit Narwah), h.
86.
4
Terjemahnya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah aku ini Tuhanmu?. Mereka menjawab, 'betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami (bani Adama) adalah orang –orang yang lengah. Berdasarkan ayat tersebut, terlihat bahwa Allah telah bertransaksi dengan manusia agar menjadikan-Nya sebagai ilah (Tuhan). Ini merupakan sifat dasar penciptaan yang dimiliki manusia sejak lahir atau bahkan sebelum lahir. Tabiat ini merupakan tabiat bawaan. Berdasarkan ayat ini pula dapat ditangkap pengertian bahwa tauhid Allah telah dimiliki manusia secara potensial. Potensi tauhid inilah yang harus diperjuangkandan dipelihara manusia pada kehidupannya agar mendapat kebahagiaan.11 Sedangkan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang ayat ini mengartikan fitrah sebagai bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk hidup. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmaninya, akal, serta ruhnya. 12 Berbeda dengan itu, ditemukan dalam banyak literatur terjemahan kata fitrah pada hadis tersebut di atas dengan suci atau suci dari dosa. Sehingga menimbulkan pemahaman bahwa setiap anak yang lahir itu suci dari dosa, tidak bernoda. Dengan demikian teori tabularasa yang menyatakan bahwa anak yang lahir itu bagaikan kertas putih yang bersih tanpa noda yang dikenal dalam ilmu pendidikan dipahami semakna dengan hadis tersebut. Tampaknya kata fitrah dalam hadis tersebut bila diterjemahkan dengan suci dari dosa kurang tepat berdasarkan uraian di atas. Peranan Keluarga Terhadap Pendidikan Anak Hadis tersebut di atas menekankan bhawa fitrah yang dibawa sejak lahir secara potensial sangat dipengaruhi oleh lingkungan pada tataran aktualitasnya. Fitrah manusia tidak akan berkembang tanpa dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar. Dalam diri seorang anak akan terjadi interaksi faktor eksternal dengan fitrah (faktor internal) 11Ibid.,
h. 87.
12Qurais
Shihab, op. cit., h. 285.
5
yang dibawanya, yang selanjutnya akan menentukan kualitas pengembangan fitrah tersebut. Jadi fitrah tidak berkembang dengan sendirinya, melainkan berkembang atau hancur sebagai akumulasi interaksi manusia dengan lingkungannya. Manakala lingkungannya memberi peluang dan mendorong manusia untuk menemukan dan mengembangkan fitrah ketauhidan secara baik, maka fitrah itu tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, sebaliknya jika lingkungan bersifat menghambat pada penemuan dan pengembangan fitrah, maka fitrah itu akan tenggelam dan jatuh kederajat terendah dan tidak dapat menyampaikannya pada pengenalan terhadap Tuhan-Nya. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama didapati seorang anak dalam proses perkembangannya dan orang tuanyalah yang menjadi pembina pribadi yang pertama. Kepribadian seorang anak, sikap, dan cara hidupnya merupakan unsur-unsur yanag terbentuk dari pendidikan dan perlakuan yang didapatkan dari orang tuanya. Oleh sebab itu, penting sekali diciptakan lingkungan keluarga yang baik, dalam arti menguntungkan bagi kemajuan dan perkembangan pribadi anak dan tercapainya tujuan yang dicita-citakan.13 Jauh sebelum orang Barat memperkenalkan istilah “long live education” (belajar seumur hidup), dalam Islam telah dikenal pernyataan “
”اللحد
اطلبواالعلم من المحد الى
(tuntutlah Ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat)14, maknanya bahwa
pendidikan anak hendaknya mulai diberikan sejak ia masih bayi. Bahkan Islam sebenarnya juga mengajarkan pendidikan pra natal, yaitu pendidikan selagi anak masih berada di dalam kandungan. Pendidikan yang diberikan sejak dini akan lebih mudah diserap dan diterima oleh seorang anak sesuai dengan peribahasa al-taa’lum fi shighar ka al-naqsy ‘ala al-hajr yang berarti belajar diwaktu kecil bagaikan mengukir di 13Ciri-ciri
lingkungan keluarga yang baik sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu 1) Keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anak, seperti perasaan senang, aman, disayangi, dan dilindungi. Suasana demikian dapat tercipta bila kehidupan keluarga (suami istri) sendiri diliputi suasana yang sama; 2) Mengetahui dasar-dasar kependidikan, terutama berkenaan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak serta tujuan dan isi pendidikan yang diberika kepadanya; 3) Bekerja sama dengan pusat pendidikan tempat orang tua mengamanatkan pendidikan anaknya, seperti sekolah, madrasah atau pesantren. Heri Nur Ali, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II, jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 213. 14Dalam
beberapa literatur, pernyataan ini diaku sebagai hadis, tetapi setelah melalui penelitian, ternyata pernyataan tersebut bukanlah hadis karena tidak termuat dalam kitab-kitab hadis.
6
atas batu. Kalau anda mengukir di atas batu, maka ukiran itu akan tetap terus ada selagi batu itu masih utuh. Apabila pemaknaan mayoritas ulama terhadap kata fitrah pada hadis tersebut di atas yang dipegang, maka pendidikan yang seharusnya diberikan kepada anak adalah pendidikan Islam. Lalu apakah pendidikan Islam itu? Menurut Ahmad D. Marimba
pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan ruhani berdasarkan
hukum-hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuranukuran Islam.15 Sedangkan menurut Djamaluddin dan Abdullah Aly, pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim.16 Jadi, pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa berupa bimbingan kepada seorang anak, baik jasmani maupun rohaninya agar memiliki kepribadian muslim. Orang tua dalam keluarga berusaha agar anak dapat mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam sehingga anak dapat mengamalkannya dan menjadi bagian integral dari kepribadian dan akhlaknya. Dengan demikian, tujuan Pendidikan Islam adalah untuk membentuk anak agar memliki kepribadian muslim, yaitu anak yang mampu mengamalkan ajaranajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari yang didasari atas kriteria-kriteria tertentu, yakni berusaha berakhlak mulia dan berkepribadian yang tangguh sebagaimana sabda Nabi:
صلهى ه ْ َع َْن عَائِ َشةَ قَال َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم يَقُو ُل اللههُ هم أَحْ َس ْن ت َخ ْلقِي َ َّللا ِ ت َكانَ َرسُو ُل ه .17فَأَحْ ِس ْن ُخلُقِي
Terjemahannya::
26.
15Ahmad
D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT Al-Maarif, 1974), h.
16Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 11. 17Imam
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam CD al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, hadis nomor 23256.
7
‘Dari Aisyah ra. Ia berkata: sesungguhnya Rasulullah saw., bersabda: Ya Allah sebagaimana Engkau telah baguskan kejadianku maka baguskanlah akhlak (sikap) perbuatan dan tingkah lakuku.
Maksud Hadis tersebut adalah supaya sang anak tidak hanya memperhatikan bagaimana mempercantik bentuk lahiriyah diriya, sebagaimana ia lakukan ketika bergaya dicermin, tetapi juga harus pula mempercantik akhlak (budi pekerti)nya.Bahkan, Nabi saw sebenarnya sudah mengingatkan bahwa yang dinilai disisi Allah bukanlah jasad lahiria seseorang melainkan hati dan perbuatannya, yakni akhlak atau kepribadiannya. Sebagaimana sabdanya:
َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم إِ هن ه صلهى ه ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل ه َّللاَ ََل يَ ْنظُ ُر إِلَى َ َِّللا 18 ص َو ِر ُك ْم َوأَ ْم َوالِ ُك ْم َولَ ِك ْن َي ْنظُ ُر إِلَى قُلُو ِب ُك ْم َوأَ ْع َمالِ ُك ْم ُ Terjemahannya:: Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh kamu dan harta kamu, akan tetapi melihat pada hati dan amal perbuatan kamu. Allah swt. Sangat menekankan seorang anak agar memiliki kepribadian atau akhlak yang Islami, sehingga pengutusan Nabi saw. ke dunia ini tidak lain hanyalah bertujuan untuk menyempurnakan atau memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya yang berbunyi:
صلهى ه ال قَا َل َرسُو ُل ه ُ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسله َم إِنه َما ب ُِع ْث صالِ َح َ ت ِِلُتَ ِّم َم َ َِّللا َ َع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ ق .19ق ِ ْاِلَ ْخ ََل Terjemahannya: ‘Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw., bersabda: Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.’ 20 18Muslim 19
bin Hajjaj, op. cit., h.
Imam Ahmad bin Hanbal, op. cit., hadis nomor 8595
20Zuhairini
dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 50
8
Kriteria kepribadian muslim yang lain adalah kepribadian yang senantiasa menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Pengertian ini terdapat dalam Q.S alQashash (28) : 77 yang berbunyi:
... ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َ َص ْيب َ َوا ْبتَ ِغ فِ ْي َما أَتَا َ َك َّللاُ ال هدا َر اِلَ ِخ َرةَ َوآلتَن ِ َس ن Terjemahnya : ‘Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan kepada kamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi.’21 Oleh karena itu pula Islam menuntut agar setiap orang tua selalu memperhatikan hak dan kewajibannya terhadap anak-anaknya, sebab sebagai makhluk yang sangat sempurna yang diciptakan oleh Allah swt., memiliki akal pikiran, perasaan dan keinginan, anak dapat menuntut hak-haknya sebagai salah satu pengembangan dan pertumbuhan fitrah yang dibawa sejak lahir hingga pada ajal yang telah ditentukan. Hak seorang anak terhadap orang tuanya pada dasarnya banyak, secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Hak mendapatkan hak asasinya untuk berkembang b. Hak untuk mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, sebagai wadah bekal hidup selanjutnya. c. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari orang tuanya d. Hak untuk berbicara, bertingkah laku, berfikir secara logis dan mempunyai hak untuk menentang (menolak), misalnya, jika orang tua menyuruh untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk) e. Hak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya, dan lain-lainnya. Hak-hak anak tersebut perlu diperhatikan dan diusahakan oleh orang tua untuk dipenuhi sesuai dengan kemampuannya agar anak-anak tersebut dapat menjalani kehidupannya dengan bekal yang cukup sehingga menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Jangan sampai anak-anak yang merupakan generasi pelanjut itu ditinggalkan dalam keadaan lemah. Sebagaimana Allah telah peringatkan dalam Alquran kepada para orang tua untuk tidak meninggalkan keturunan mereka dalam 21
Departemen Agama RI., op. cit., h. 623
9
keadaan yang lemah, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Nisa (4) :9 yang berbunyi :
َّللا َو ْليَقُولُوا َ َو ْليَ ْخ ِ ًش اله ِذينَ لَوْ تَ َر ُكوا ِم ْن َخ ْلفِ ِه ْم ُذرِّ يهة َ ض َعافًا َخافُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتهقُوا ه )9( قَوْ ًَل َس ِديدًا Terjemahnya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.22 Ayat ini menegaskan bahwa janganlah sekali-kali ada orang tua yang meninggalkan keturunan yang lemah. Lemah dalam segala aspek kehidupan, bukan hanya dalam hal ekonomi saja, sebagaimana konteks ayat sebelumnya, tetapi juga dalam hal-hal lain seperti moral dan agama. Oleh karena itu, merupakan tugas dan kewajiban bagi para orang tua untuk membekali dan mempersipkan anaknya sejak dini agar tidak lemah atau menjadi beban masyarakat di kemudian hari. Selanjutnya, makna frase “fa abawahu yuhawwidanihi aw yunashshiranihi aw yumajjisanih”. Frase ini seringkali diterjemahkan dengan “maka orang tuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nashrani atau Majusi”. Tidak ditemukan penjelasan ulama tentang makna kalimat atau bagian dari sabda Nabi tersebut. Hanya Ibnu Hajar al-Asqalaniy, sebagaimana telah dikemukakan di depan, ketika mengomentari hadis ini mengartikannya secara bahasa, bahwa seorang anak yang memilih kekafiran itu disebabkan oleh orang tuanya. Jadi, bagi Ibnu Hajar, kalimat yuhawwidanih, yunasshiranih, wa yumajjisanih bermakna kekafiran, lawan dari Islam, yaitu menjadikannya beragama Yahudi, beragama Nasrani, atau beragama Majuzi. Pengertian demikian tampaknya mengandung kelemahan, karena secara historis dan secara realitas, tidak diketahui adanya orang tua yang membawa dan membiarkan anaknya menganut suatu keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya. Karena itu, arti denotatif tersebut sulit diterima. 22Ibid.,
h. 116.
10
Hadis tersebut sebenarnya dapat ditakwil, yakni mengambil makna yang tersirat, bukan yang tersurat dari suatu teks. Jadi kalimat yuhawwidanih, yunasshiranih, wa yumajjisanih diartikan dengan menjadikannya berkarakter Yahudi, berkarakter Nashrani, atau Majuzi. Maknanya orang tua dapat menyebabkan anaknya memiliki karakter atau sifat seperti orang Yahudi, Nasrani, atau Majuzi., atau dengan kata lain sifat-sifat yang tidak Islami. Pengertian demikian sesuai dengan kenyataan di mana sering terdapat se seorang yang mengakui dirinya muslim sejak kecil atau bahkan terlahir sebagai muslim, tetapi dalam perkembangan hidupnya tingkah laku dan kepribadiannya tidak mencerminkan sebagai muslim, tetapi sebagai non muslim, disebabkan karena pengaruh lingkungan yang buruk, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyrakat. Bagaimanakah karakter masing-masing ketiga agama tersebut? Salah satu karakter ke-Yahudi-an yang disebutkan dalam Alquran adalah kebandelan dan pembangkangan. Hal ini seperti tergambar dalam firman Allah pada QS. al-Nisa (4) : 46
ص ْينَا َواسْم َم ْْ ََيْم َر َ ض ِع ِه َويَقُولُونَ َس ِم ْعنَا َو َع ِ ِمنَ اله ِذينَ هَا ُدوا يُ َح ِّرفُونَ ْال َكلِ َم ع َْن َم َوا ... ُم ْس َم ٍْ َو َرا ِعنَا لَيًا بِأ َ ْل ِسنَتِ ِه ْم َوطَ ْعنًا فِي الدِّي ِن
Terjemahnya : Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. …23 Dengan demikian, jika hari ini banyak anak-anak yang bandel dan suka membangkang, boleh jadi karena mereka telah memiliki karakter Yahudi.
23Ibid.,
h. 126.
11
Penyebabnya mungkin karena telah terjadi proses “yuhawwidanihi” kepada mereka. Bahwa kebandelan dan pembangkangan itu adalah karakter Yahudi, karena itulah yang sekarang terlihat pada bangsa dan negara Yahudi, Israel. Begitu banyak pelanggaran yang mereka lakukan kepada bangsa Palestina, dan begitu banyak pula desakan kepada mereka untuk menghentikannya, tetapi tak satu pun yang mereka hiraukan. Bahkan Resolusi PBB pun tak digubrisnya. Apalagi mereka merasa dibacking oleh Amerika Serikat yang sesungguhnya juga dikuasai oleh Lobi Yahudi. Sementara salah satu karakater Nasrani yang disebutkan dalam Alquran adalah tidak bisa dipercaya dan suka ingkar janji. Allah swt. berfirman pada QS. alMaidah (5) : 14
صا َرى أَ َخ ْذنَا ِميثَاقَهُ ْم فَنَسُوا َحظًا ِم هما ُذ ِّكرُوا بِ ِه فَأ َ َْ َر ْينَا بَ ْينَهُ ُم َ ََو ِمنَ اله ِذينَ قَالُوا إِنها ن ضا َء إِلَى يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة َو َسوْ فَ يُنَبِّئُهُ ُم ه )11( ََّللاُ بِ َما َكانُوا يَصْ نَعُون َ ْال َعدَا َوةَ َو ْالبَ ْغ Terjemahnya : Dan di antara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan.24 Adapun Majusi, mereka adalah para penyembah api dan berhala. Dengan demikian karakter mereka adalah kemusyrikan. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis ini menekankan pentingya orang tua mendidik anak-anaknya sejak dini agar fitrahnya, yakni potensi/tabiat beragama tauhid pada anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Jika fitrah seorang anak tidak berkembang atau malah hancur dalam perkembangannya, maka itu disebabkan karena pengaruh dari luar dirinya. Baik lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Pendidikan Islam dalam keluarga yang diberikan
24Ibid.,
h. 160.
12
oleh orang tua sangatlah penting dalam pertumbuhan dan dan perkembangan fitrah seorang anak agar dapat menjadi manusia yang sempurna.
13
DAFTAR PUSTAKA Al-Abrasy, M. Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Al-Asqalaniy, Ibnu Hajar. Fath al-Bariy bi Syarh Shahih al-Baukhariy, CD, al-Hadis alSyarif al-Kutub al-Tis’ah. Ahmad E.Q, Nurwadjah. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Cet. I, Penerbit Narwah, Bandung. Ali, Heri Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. II, jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya Medinah Munawwwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, 1426 H. Djamaluddin dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 1999. Ibn Hanbal, Imam Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam CD al-Hadis alSyarif al-Kutub al-Tis’ah. Ibnu al-Hajjaj, Imam Muslim. Shahih Muslim, juz III Beirut: Dar Ihya al-Turats alArabiy, {t.th.} Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Bandung: PT Al-Maarif, 1974. Shihab, M. Qurais. Wawasan Alquran, Tafsir Maudhu’iy atas Berbagai Persoalan Umat Cet. XII, Bandung: Mizan, 2001. Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
14