KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HADIS Tasmin Tangngareng Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Jl. Sultan Alauddin No. 36, Samata, Gowa, Sulawesi Selatan 90222 e-mail:
[email protected]
Abstrak: Wacana kepemimpinan perempuan tidak pernah berakhir didiskusikan. Beberapa pertimbangan teologis Islam selalu menjadi alasan utama untuk mendukung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Artikel ini mencoba untuk menyajikan analisis tekstual dan kontekstual tentang kepemimpinan perempuan di ranah publik. Hal ini karena berdasarkan pemahaman secara tekstual terhadap sunah Nabi dan opini dari sebagian ulama Muslim secara buruk menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan dalam urusan publik dilarang. Namun berdasarkan pemahaman secara kontekstual tidak demikian dengan syarat mampu mengemban amanah. Sejarah Islam mencatat „Â`isyah, al-Syifâ, dan Ratu Balqis termasuk segelintir pemimpin perempuan yang menduduki jabatan publik. Oleh karena itu, dalam memahami masalah kepemimpinan perempuan, pemahaman secara kontekstual harus terlebih dahulu dipertimbangkan. Abstract: Discourse of women's leadership is never-ending to discuss. Some Islamic theological considerations has always been a major reason to support equality between men and women. This article presents the textual and contextual analysis of the leadership of women in the public sphere. It is based on textual understanding of the Sunnah of the Prophet and the opinion of the majority of Muslim scholars poorly stated that the leadership of women in public affairs is prohibited, but is based on a contextual understanding is not the case with the proviso able to carry out the mandate. Islamic history records „Â`isyah, al-Syifâ, and Queen Balqis including a handful of women leaders who occupy public office. Therefore, in the understanding of women's leadership issues, contextual understanding must first be considered. Kata Kunci: Kepemimpinan, perempuan, hadis
Pendahuluan Sebelum Al-Qur‟an turun, banyak peradaban besar seperti Yunani-Romawi, India, dan Cina sudah ada dan berkembang. Demikian juga agama-agama besar seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha,
DOI: http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v23i1.615
dan Zoroaster di Persia.1 Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran M. Quraish Shihab, Kodrat Perempuan Versus Norma Kultural, dalam ed. Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat Perempuan dan Peru-bahan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 77. 1
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
filsafatnya tidak banyak membicarakan hak perempuan. Pada puncak peradaban Yunani, perempuan diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera laki-laki. Dalam ajaran Nasrani, perempuan adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Bahkan pada abad ke-6 Masehi diselenggerakan suatu pertemuan untuk membahas apakah perempuan itu manusia atau bukan. Dalam pembahasan tersebut kemudian disimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata melayani laki-laki.2 Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan yang tiada bandingannya dengan agama mana pun. Islam tidak hanya mengajak manusia untuk melepaskan diri dari belenggu dan tirani kemanusiaan, tapi lebih jauh lagi mengajak membebaskan diri dari belenggu ketuhanan yang poleteis menuju ketuhanan monoteis. Oleh karena itu, sebenarnya Islam menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan misi dan visi kesetaraan lakilaki dan perempuan. Sejarah telah menunjukkan kedudukan perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw. tidak hanya dianggap sebagai istri, pendamping, dan pelengkap laki-laki saja, tapi juga dipandang sebagai manusia yang memiliki kedudukan yang setara dalam hak dan kewajiban dengan manusia lain di hadapan Allah Swt. Adapun mengenai kepemimpinan perempuan dalam urusan umum, masih kontroversi. Mayoritas ulama melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan umum sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.:
ال ْ ف َع ْن َ َاْلَ َس ِن َع ْن أَِِب بَكَْرَة ق ٌ َحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن ا ْْلَْي ثَِم َحدَّثَنَا َع ْو اَّللُ َعلَْي ِه ْ لََق ْد نَ َف َع ِِن ا ََّّللُ بِ َكلِ َم ٍة أَََّّي َم َّ صلَّى َّ ِ قال لَ َّما بَلَ َغ الن.اْلَ َم ِل َ َِّب
Ibid., hlm. 78; Khurshid Ahmad, Mempersoalkan Wanita (Jakarta: Gema Insani, 1989), hlm. 13-14. 2
َّ َو َسلَّ َم أ ال لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم َ ََن فَا ِر ًسا َملَّ ُكوا ابْنَ َة كِ ْسَرى ق 3 .ْامَرأًَة
Menceritakan kepada kami Utsman ibn al-Haytsam, menceritakan kepada kami „Awf dari al-Hasan dari Abu Bakrah berkata, „Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw pada Perang Unta. Abu Bakrah berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah Saw bahwa orang Persia mengangkat putri Raja sebagai penggantinya, Rasulullah bersabda, „Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan. (HR. al-Bukhârî)
Tapi di lain pihak, ada ulama lain yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin di luar rumah tangganya, karena Al-Qur‟an memberi isyarat perempuan pun bisa menjadi pemimpin, bukan hanya laki-laki. Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan kepemimpinan perempuan secara umum4 jika mereka memiliki kemampuan untuk melaksanakan amanah tersebut. Di samping itu, mereka juga memiliki kriteria-kriteria atau syaratsyarat5 sebagai seorang pemimpin. Abû „Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Ibrâhîm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Juz V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), hlm. 160. 4 Kepemimpinan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai perihal memimpin, sedangkan urusan umum adalah urusan mengenai berbagai hal yang ada sangkut-pautnya dengan pekerjaan, jawatan, dinas, dan sebagainya, yang mengurus sesuatu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 864 dan 997. 5 Adapun kriteria-kriteria atau syarat-syaratnya yaitu: 1) berpengetahuan luas, 2) kemampuan berpikir secara konsepsional, 3) kemampuan mengidentifikasi hal-hal yang strategis, 4) kemampuan berperan selaku integrator, 5) obyektif dalam menghadapi dan memperlakukan bawahan, 6) cara bertindak dan berpikir rasional, 7) pola dan gaya hidup yang dapat dijadikan teladan, 8) keterbukaan terhadap bawahan, tanpa melupakan adanya hirarki yang berlaku, 9) gaya kepemim3
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 166
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
Analisis Hadis Sebelum menganalisis kandungan hadis tentang kepemimpinan perempuan di atas, perlu diurai beberapa kosa kata kuncinya sebagai berikut: Kata yuflihu6 berarti kesuksesan, kemenangan, kejayaan,7 yang berasal dari kata falaha; kata qawmun8 berarti jemaah atau kelompok; kata amruhum9 berarti urusan yang berasal dari kata amara; dan kata imraatun10 yang berarti perempuan yang bentuk jamaknya adalah al-nisâ‟ yang berarti perempuan.11 Penggalan hadis “laqad nafa‟aniya Allah bikalimatin sami‟tuhâ…” bermakna memberikan hikmah kepadaku pada saat pinan yang demokratis, 10) kemampuan berperan selaku penasihat yang bijaksana. SP. Siagian, Bunga Rampai Managemen Modern (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hlm. 28; F. Ducler, Bagaimana Menjadi Eksekutif yang Efektif (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1986), hlm. 25; Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 38-40. 6 Kata yuflihu berasal dari kata falaha terdiri atas huruf-huruf fa‟, lam, dan ha‟ yang berarti kemenangan dan kekal. Abû al-Husayn Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz II (Mesir: Maktabah wa Mathba`ah Musthafâ al-Bâbî alHalabî wa Awlâduh, 1972), hlm. 450. 7 Muhammad Idrîs „Abd al-Ra‟ûf al-Marbâwî, Qâmûs al-Marbâwî, Juz I-II (Mesir: Dâr al-Fikr, t.th.), hlm. 250. 8 Kata qawm terdiri atas huruf-huruf qaf, waw, dan mim, makna asalnya ada dua, yakni a) sekelompok orang, b) penegakan atau berdiri tegak atau dapat juga berarti keinginan yang kuat. Zakariyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz VI, hlm. 43; Butros al-Busthâmî, Quthr al-Muhîth, Juz II (Beirut: Maktabah Lubnân, t.th.), hlm. 151; al-Marbâwî, Qâmûs alMarbâwiy, hlm. 163. 9 Kata amara berasal dari akar kata; hamzah, mim, dan ra‟ yang berarti urusan antonim larangan. Zakarîyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz I, hlm. 137. 10 Kata imra‟ah berasal dari akar kata mim, ra‟, hamzah, yang berarti perempuan. Zakarîyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz V, hlm. 315. 11 Muhammad Warson Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren alMunawwir, 1984), hlm. 415.
perang Jamal (unta) dengan ucapan yang telah aku dengar dari Rasulullah Saw. Kata ayyâm menurut gramatika bahasa Arab berdistribusi secara semantik dengan verbal nafa‟anî, bukan dengan verbal sami‟tuhâ secara qath`î ia telah mendengar hal itu sebelum peristiwa perang unta.12 Redaksi ba‟da mâ kidtu an alhaqa bi ashhâbi al-jamal (sesudah hampir saja aku mengikuti pasukan „Â‟isyah ra.), dan yang dimaksud ashhâb al-jamal,13 dalam hadis ini adalah bala tentara „Â‟isyah ra. Menurut Ibn Mâlik, kata farisan dalam redaksi lammâ balagha Rasulullâh Shallallâhu „alayhi wa sallam anna ahla fârisa adalah isim yang di-tashrîf, namun sebenarnya isim ini tidak bisa di-tashrîf. Sedangkan menurut al-Kirmânî, kata ini ditujukan untuk orang-orang Iran dan negaranya.14 Maksud kalimat lammâ balagha adalah Abû Bakrah. Frase tersebut adalah interpretasi atas frase bikalimatin. Di sini terjadi gejala bahasa ithlâq (deduksi), kalimah adalah kata yang menunjukkan arti pembicaraan yang panjang,15 (mereka dipimpin oleh Bintu Kisra). Syihâb al-Dîn Abû al-Fadl Ahmad ibn „Alî ibn Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârîy, Juz VIII, (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 1379 H), hlm. 472. 13 Ketika „Utsmân ibn „Affân mati terbunuh dan „Alî ibn Abû Thâlib dibaiat menjadi khalifah, Thalhah dan Zubayr bertolak ke Mekah. Di sana mereka melihat „Â‟isyah sedang melaksanakan ibadah haji. „Â‟isyah beserta pasukannya (bala tentaranya) sepakat menuju ke kota Basrah dan meminta bantuan untuk mengadakan tuntutan atas kasus pembunuhan „Utsmân bin „Affân. Berita ini sampai kepada „Alî, dan beliau keluar menghadapi pasukan „Â‟isyah, hingga kemudian terjadilah peristiwa yang dikenal dengan jamal. Istilah jamal (yang berarti unta) dinisbahkan atau merujuk kepada unta yang dikendarai oleh „Â‟isyah ra. dalam sebuah tandu ia menyeru penduduk negeri untuk menuntut perbaikan. al„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 472. 14 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIV, hlm. 558. 15 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 472. 12
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 167
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
Dalam riwayat Humayd disebutkan lamma halaka kisrâ qâla al-nabiyyu yang artinya ketika kisra Persia meninggal dunia, Rasulullah bersabda: “Siapa yang menggantikannya? Mereka menjawab, anak perempuannya.” Yang dimaksud dengan Bintu Kisra adalah Burawan binti Syayrawayh ibn Kisra ibn Barwaiz. Dalam riwayat al-Turmudzî dan al-Nasâ`î dari jalur Humayd ibn al-Tawail dari al-Hasan dari Abû Bakrah dengan redaksi ashamaniya Allah bi syay‟in sami‟tuhû min rasulillâhi shallallâhu „alayhi wasallam kemudian disebutkan falammâ qadimat „Âisyah dzakartu dzâlika fa‟ashamaniyallâhu. „Amr ibn Syu`bah meriwayatkan dari Mubârak ibn Fudhâlah dari alHasan bahwa „Â‟isyah ra. diutus kepada Abû Bakrah dan Abû Bakrah berkata: “Engkau adalah seorang ibu dan sesungguhnya kebenaranmu agung, namun saya mendengar Rasulullah bersabda: لَ ْن يُ ْفلِ َح قَ ْوٌم َولَّ ْوا أ َْمَرُه ْم ْامَرأَة “Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada perempuan.”16
Ragam Pandangan Ulama Mayoritas ulama memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara,17 hakim pengadilan,18 Syihâb al-Dîn Abû al-Fadl Ahmad ibn „Alîy ibn Hajar al-„Asqalânîy, Fath al-Bârîy, Juz VIV, hlm. 558. 17 Para mufasir seperti al-Qurthubî, Ibn Katsîr, Muhammad „Abduh, dan Muhammad Thâhir ibn „Âsyûr memiliki pendapat yang sama. Mereka sepakat bahwa kelebihan-kelebihan laki-laki tersebut merupakan pemberian Tuhan, sesuatu yang fitri, alami, dan kodrati. Atas dasar semua inilah mereka berpendapat perempuan tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, lebih-lebih kekuasaan kepemimpinan negara. Hussein Muhammad, “Membongkar Konsepsi Fi16
dan berbagai jabatan yang setara dengannya dilarang. Menurut syara‟, perempuan hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga suaminya.19 Menurut al-Khatthâbî, qih tentang Perempuan” dalam Kepemimpinan Petrempuan dalam Islam, ed. Syafiq Hasyim (Tk.: tp, t.th.), hlm. 43. 18 Para ahli fiqih menyebutkan beberapa persyaratan yang disepakati, yaitu: a) Muslim; b) berakal; c) dewasa dan merdeka; d) sehat jasmani; dan e) adil dan memahami hukum syariat. Sementara itu, persyaratan jenis kelamin diperdebatkan. Ada tiga padangan ulama mengenai syarat terakhir. Pertama, Mâlik ibn Anas, al-Syâfi‟î, dan Ahmad ibn Hanbal menyatakan jabatan ini haruslah dipegang laki-laki dan tidak boleh perempuan. Menurut mereka, seorang hakim di samping harus menghadiri sidang-sidang terbuka yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga harus memiliki kecerdasan akal yang prima. Padahal tingkat kecerdasan perempuan di bawah tingkat-tingkat kecerdasan laki-laki. Selain itu, ia dalam posisi tersebut akan berhadapan dengan laki-laki. Kehadirannya seperti ini akan dapat menimbulkan fitnah. Kedua, mazhab Hanafî dan Ibn Hazm al-Zhâhirî. Mereka mengemukakan bahwa laki-laki bukan syarat mutlak untuk kekuasaan kehakiman. Perempuan boleh saja menjadi hakim, tapi ia hanya dapat mengadili perkara-perkara di luar pidana berat (hudud dan qishash). Hal ini karena perempuan-perempuan dibenarkan menjadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Di samping itu, hakim tidak sama dengan mufti, selain itu, gagasan ini menolak hadis mengenai kepemimpinan negara sebagai dasar hukum untuk fungsi yudikatif. Ketiga, Ibn Jarîr al-Thabarî dan al-Hasan al-Bashrî menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim untuk menangani berbagai perkara. Laki-laki tidak menjadi syarat dalam kekuasaan kehakiman. Bagi mereka, jika perempuan bisa menjadi mufti, maka logis kalau ia juga menjadi hakim. Tugas mufti adalah menjelaskan hukum-hukum agama melalui analisis ilmiah dengan tanggung jawab personal, sementara hakim juga mempunyai tugas yang sama. Tapi pendapat yang ketiga ini ditolak oleh al-Mâwardî dengan mengemukakan bahwa pendapat Ibn Jarîr al-Thabarî telah menyimpang dari ijmak ulama. Hasyim (ed.), Kepemimpinan Petrempuan, hlm. 39- 40. 19 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 123; Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Kahlânî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Jâmi` Adillah al-Ahkâm, KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 168
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
hadis ini mengisyaratkan perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin atau seorang hakim. Ini sebagai konsekuensi dia tidak bisa menikahkan dirinya sebagaimana dia tidak bisa menikahkan perempuan lain.20 Di samping itu, ada beberapa dalil mereka yang melarang perempuan menjadi pemimpin di luar rumah tangganya, yaitu: pertama, QS. al-Nisâ‟ [4]: 34. Kedua, hadis Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan perempuan kurang cerdas dibanding laki-laki. Ketiga, hadis “lan yufliha qawm wallau amrahum imra‟ah.” Ketiga dalil tersebut saling terkait dalam memperkuat argumentasi ketidakbolehan perempuan memegang kepemimpinan. Dengan alasan lain, baik ayat maupun hadis tersebut mengisyaratkan kepemimpinan hanya untuk laki-laki, dan menegaskan keharusan perempuan mengakui kepemimpinan ini. Al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat tersebut cenderung melihat aktifitas laki-laki sebagai pencari nafkah, laki-laki yang menjadi penguasa, tukang bekam, dan tentara. Pendapat al-Qurthubî diikuti oleh para mufasir lainnya, namun para mufasir kontemporer melihat ayat tersebut tidak harus dipahami seperti itu, apalagi ayat tersebut berkaitan dengan persoalan rumah tangga.21 Alasan pertama yaitu QS. al-Nisâ‟ [4]: 34:
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
Juz IV (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, t.th.), hlm. 123; Abû al-„Ulâ Muhammad ibn „Abd alRahmân ibn al-Rahîm al-Mubârakfûrî, Tuhfah alAhwazî bi Syarh Jâmi` al-Turmuzî, Juz VI (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M), hlm. 542. 20 al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 123. 21 Hasyim (ed.) Kemimpinan Perempuan, hlm. 9.
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”22
Kata qawwâmûna pada ayat di atas tidak bermakna tunggal, tapi mempunyai tiga pengertian: 1) Qawwâmûna bisa berarti kepemimpinan, tapi kepemimpinan ini tidak permanen dan tidak disebabkan oleh kriteria biologis. Sebab di belakangnya dikaitkan dengan pemberian nafkah dan kelebihan laki-laki. Ketika kemampuan ini tidak ada, maka menurut Mâlik, kepemimpinan ini bisa menjadi gugur; 2) Qawwâmûna dapat be-rarti orang yang bertanggung jawab atas keluarganya; dan 3) Qawwâmûna dapat diartikan sebagai ke-pemimpinan dalam keluarga.23 Kata al-rijâl24 pada ayat di atas bukan berarti laki-laki secara umum, tapi Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, 2011), hlm. 123. 23 Hasyim (ed.), Kepemimpinan Perempuan, hlm. 9. 24 Al-Qur‟an secara konsisten membedakan penggunaan kata tersebut. Perhatikan penggunaan kata al-rajul/al-rijâl, al-imra‟ah, dan al-nisâ‟ pada ayat-ayat berikut: QS. al-Baqarah [2]: 222, 223, 228, 231, 232, dan 282; QS. al-Nisâ‟ [4]: 7, 22, 24, 32, dan 34; QS. al-A‟râf [7]: 46, 48, dan 155, QS. Al-Ahzâb [33]: 23; QS. Yâsîn [36]: 20; QS.al-Tahrîm [66]: 10 dan 11; dan QS. Al-Mujâdalah [58]: 2 dan 3; perhatikan pula penggunaan kata al-zakar dan aluntsâ dalam ayat berikut: QS. Âli „Imrân [3]: 36 dan 290; QS. al-An‟âm [6]: 143; QS. al-Nahl [16]: 58; dan QS. Fâthir [35]: 11. Selanjutnya kata aldzakar dan al-untsâ digunakan untuk menunjukkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis, sementara kata al-rajul/al-rijâl dan al-mar‟ah/al-nisâ` hanya khusus untuk makhluk 22
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 169
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
suami karena konsideran lanjutan ayat tersebut adalah “karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka.” Seandainya kata “laki-laki” adalah kaum pria secara umum tentu konsiderannya tidak begitu. Lebih jauh lagi lanjutan ayat tersebut jelas berbicara tentang persoalan para istri dan rumah tangga. Ayat tersebut secara jelas menyajikan pembagian kerja antara suami istri, dan jika dikaitkan lagi dengan QS. al-Baqarah [2]: 288, maka pengertian QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 semakin jelas dikaitkan dengan urusan kerumahtanggaan. Alasan kedua, hadis yang menyatakan perempuan kurang cerdas dibandingkan dengan laki-laki, begitu pula dalam sikap keberagamaannya. Yûsuf al-Qardlâwî mengemukakan alasan mengapa perempuan dilarang menjadi pemimpin dalam urusan umum, manusia. Karena itu, tidak semua al-dzakar adalah al-rajul .Juga tidak semua al-nisâ` adalah al-mar‟ah/al-imra‟ah. Dalam ungkapan lain, hanya lakilaki yang memiliki kualifikasi budaya tertentu, misalnya dewasa, berpikir, matang, dan mempunyai sifat-sifat kejantanan dalam bahasa Arab disebut al-rajlah. Demikian pula hanya perempuan yang memiliki kualifikasi budaya tertentu, seperti dewasa, sudah menikah yang dapat disebut alimtâ`/al-nisâ‟. Di samping itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab, kata al-rijâl tidak menunjukkan semua laki-laki, melainkan laki-laki tertentu, kemudian kata tersebut menggunakan al yang menunjuk pada arti definitif atau tertentu. Dengan demikian, ayat-ayat itu akan dipahami bahwa hanya laki-laki yang memiliki kualifikasi tertentu yang bisa menjadi pemimpin atas perempuan tertentu. Lagi pula bahwa asbâb al-nuzûl ayat tersebut diturunkan dalam konteks kehidupan suami-istri di dalam rumah tangga. Dari perspektif ini ayat tersebut bermakna “para suami tertentu saja yang dapat menjadi pemimpin bagi istrinya, dan kepemimpinannya itu pun hanya terbatas di bidang domestik atau di rumah tangga.” Musdah Mulia, Potret Perempuan dalam Lektur Agama: Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat yang Egaliter dan Demokratis (Jakarta: tp., 1999), hlm. 38-40.
yaitu: 1) Faktor fisik dan naluri. Perempuan diciptakan untuk mengemban tugas keibuan, mengasuh, dan mendidik anak. Itulah sebabnya perempuan memiliki perasan yang peka dan emosional. Dengan naluri kewanitaan ini, wanita biasanya menonjolkan perasaan emosi daripada penalaran dan hikmah; dan 2) Faktor kodrati. Perempuan tidak terlalu tepat memangku jabatan dalam urusan umum, sebab perubahan fisiknya selalu terjadi karena menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Semua ini membuat fisik, psikis, dan pemikiran perempuan tidak mampu mengemban tugasnya di luar rumah tangganya.25 Menurut al-Râzî, kelebihan laki-laki meliputi dua hal, yaitu ilmu pengetahuan (al-„ilm) dan kemampuan fisiknya (al-qudrah). Akal dan pengetahuan laki-laki, menurutnya melebihi akal dan pengetahuan perempuan dan untuk pekerjaanpekerjaan keras laki-laki lebih sempurna.26 Menurut al-Zamakhsyarî (467-538 H), kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena akal (al-„aql) ketegasan (alhazm), tekadnya yang kuat (al-`azm), kekuatan fisik (al-qudrah) secara umum, memiliki kemampuan menulis (al-kitâbah) dan kebenaran,27 sedangkan al-Thabâthabâ‟î berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena ia memiliki kemampuan berpikir (quwwah al-ta`aqqul), yang karena itu kemudian melahirkan keberanian, kekuatan, dan Yûsuf al-Qardlâwî, Fiqih Daulah Perspektif alQur`an dan Sunnah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), hlm. 240-244; Ahmad Muhammad Jamal, Problematika Muslimah di Era Globalisasi (Tk.: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 83. 26 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr, Juz X (Teheran: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, t.th.), hlm. 88. 27 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Juz I (Mesir: „Isâ al-Bâb al-Halabî wa Syirkah, t.th.), hlm. 523. 25
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 170
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
kemampuan mengatasi berbagai kesulitan, sementara perempuan lebih sensitif dan emosional.28 Adapun ulama yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin di luar rumah tangganya, mereka memahami hadis tersebut secara kontekstual. Untuk memahami hadis tersebut, perlu dikaji terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia saja, tapi juga di Jazirah Arab dan lain-lain. Islam datang mengubah nasib kaum perempuan; mereka diberi berbagai hak, kehormatan, dan sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada Allah Swt., baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat maupun negara.29 Dalam kondisi kekaisaran Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi Muhammad Saw. yang memiliki kearifan menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan kepada perempuan tidak akan sukses. Sebab, bagaimana mungkin akan sukses kalau orang yang memimpin itu adalah mahluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah Muhammad Husayn al-Thaba‟thabâ‟î, Tafsîr alMîzân, Jilid IV (Beirut: Mu‟assasah al-„Âlamî li alMathba‟ah, 1991), hlm. 351. 29 Qâsim Amîn, Tahrîr al-Mar‟ah (Kairo: Dâr alMa‟ârif, t.th.), hlm. 25.
kewibawaan, sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum perempuan makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal kaum perempuan diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. AlQur‟an memberi peluang yang sama kepada kaum perempuan dan kaum lakilaki untuk melakukan berbagai kebijakan, sebagai-mana firman Allah dalam QS. alTaubah [9]: 71: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.30
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, yang dilukiskan dengan kalimat perintah mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Kata awliyâ dalam ayat ini menjakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan menyuruh mengerjakan yang makruf mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa. Dengan demikian, setiap lakilaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran dan nasihat dalam berbagai aspek kehidupan.31
28
Departemen Agama RI., Al-Qur` an dan Terjemahnya, hlm. 291. 31 Amîn al-Khûlî, Al-Mar‟ah al-Muslimah fî al-„Ashr al-Mu‟âshir (Baghdad: tp., t.th.), hlm. 13. 30
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 171
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
Selain itu, dalam QS. al-Ahzâb [33]: 35:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.32
Mahmûd Syaltût menjelaskan bahwa tabiat kemanusian antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Allah Swt. Telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki; Tuhan menganugerahkan kepada mereka berdua potensi dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis ini dapat melaksanakan pelbagai aktifitas, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Karena itu, syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka yang sama.33 Al-Thabarî menjelaskan kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin, yang bertolak dari kebolehan perempuan menjadi saksi dalam proses pernikahan. Kesesuaian interpretasi al-Thabarî ini dengan konteks hadis dilihat dari segi bahwa hadis ini merupakan pelengkap kisah Kisra yang merobek surat Rasulullah Saw. sebagai hukuman Allah Swt. dengan menimpakan musibah terhadap kerajaannya, sehingga anaknya mengambil alih
kekuasaan setelah membunuh sang ayah dan saudara-saudaranya, tapi dia juga ditakdirkan tewas sehingga kerajaannya dipimpin oleh seorang perempuan. Peristiwa ini, lanjut al-Thabarî, membawa kehancuran kerajaan Kisra beserta keturunannya. Mereka mencabik-cabik kerajaan mereka sendiri seperti yang telah disumpahkan oleh Rasulullah Saw.34 Oleh karena itu, sebagian ulama tidak berpendapat perempuan tidak bisa menjadi pemimpin dengan alasan hadis tersebut hanya bersifat sekadar pemberitaan bukan ketentuan hukum, dan hadis tersebut tidak berlaku umum. Karena hadis tersebut disabdakan oleh Nabi Saw. Berkaitan dengan peristiwa suksesi di Persia. Ketika itu, kaisar Persia meninggal dunia, para petinggi kerajaan melimpahkan pimpinan Persia kepada seorang ratu. Di tangan ratu itulah kekaisaran Persia berantakan. Peristiwa ini direspons oleh Nabi Saw. karena terbukti ratu tersebut tidak berhasil mengendalikan negara. Hadis itu tidak hanya berhenti di situ, ia juga tidak mengandung penegasan melarang seluruh perempuan menjadi pemimpin masyarakat.35 Kemudian al-Thabarî mempertegas bahwa walaupun hadis tersebut digunakan sebagai dasar hukum, tapi itu hanya menyangkut satu masalah khusus, yaitu perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi negara, perempuan tidak bisa menjadi khalifah, tapi selain itu bisa.36 Dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai al-„Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz VIII, hlm. 123. Ali Yafie, Kodrat, Kedudukan, dan Kepemimpinan Perempuan, dalam Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, ed. Lily Zakiyah Munir (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 72. 36 Ibid., hlm. 72-73. 34 35
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 673. 33 Mahmûd Syaltût, Min Taujîhât al-Islâm (Kairo: Al-Idârah al-„Âmah li al-Azhar, 1959), hlm. 193. 32
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 172
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
pemimpin. „Â‟isyah ra., istri Nabi Muhammad Saw., diakui sebagai seorang mufti. Bahkan kedudukannya sebagai panglima perang Unta.37 Al-Syifâ, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh khalifah „Umar ibn alKhaththâb sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.38 Al-Qur‟an juga menyebutkan tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman As., yaitu Ratu Balqis yang memimpin rakyatnya dengan baik, penuh hikmah, dan keadilan.39 Analisis Tekstual dan Kontekstual Beragam pendapat ulama mengenai masalah kepemimpinan perempuan di atas menunjukkan bahwa masalah tersebut masih berada dalam wilayah yang diperselisihkan. Artinya, tidak ada satu pun dalil agama yang secara pasti menyatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara. Dalil QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 ternyata menurut para mufasir memiliki makna yang tidak tunggal. Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa kepemimpinan yang dimaksud dalam QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 adalah kepemimpinan laki-laki dalam lingkup keluarga. Hal ini diperkuat oleh lanjutan ayat tersebut “bi mâ fadldlala Allâh ba‟dlahum „alâ ba‟dl wa bi mâ anfaqû”. Melihat potongan ayat ini, setidaknya ada dua alasan mengapa laki-laki pantas menjadi pemimpin. Pertama, karena laki-laki menafkahi, dan kedua, karena laki-laki pada masa itu memiliki akses yang lebih kepada dunia publik dibandingkan kaum perempuan. Penafkahan dan kelebihan akses ini sangat bersifat sosilogis dan hisIbid., hlm. 72-73. Muhammad al-Ghazâlî, Al-Islâm wa al-Thâqah alMu‟atthalah (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1964), hlm. 138. 39 QS. Al-Naml (27): 23-24. 37 38
toris, yang bisa berubah dan menyebabkan perempuan juga memiliki kemampuan memberi nafkah dan memiliki akses di bidang publik. Oleh karena itu, kepemimpinan perempuan bisa terjadi tidak hanya pada lingkup keluarga, tapi juga pada lingkup yang lebih umum seperti negara. QS. al-Nisâ‟ [4]: 34 jika dilihat, kalimatnya berbentuk pemberitaan, maka kurang tepat bila seseorang menjadikan ayat ini sebagai sebuah legitimasi keharusan perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin keluarga dan negara. Begitu juga kepemimpinan perempuan dalam perspektif hadis, yang memiliki nuansa senada seperti kepemimpinan perempuan dalam perspektif AlQur`an. Ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin ternyata masih perlu dikaji ulang. Pertama, dilihat dari sudut kualitasnya, hadis tersebut termasuk dalam kategori hadis âhâd.40 Hadis âhâd tidak memiliki petunjuk pasti (qath‟î) untuk dijadikan dasar dalam menentukan sebuah keputusan hukum, karena hadis tersebut masih bersifat zhannî.41 Kedua, Dari segi bahasa, hadis âhâd berasal dari kata ahad yang muhtamil al-jam`dari wâhid yang berarti satu. Dengan demikian, kata âhâd berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai ke angka sembilan, sedangkan menurut istilah hadis âhâd adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang, atau dua orang atau lebih, tapi belum cukup syarat untuk dimasukkan sebagai hadis mutawâtir. Dengan kata lain, hadis âhâd adalah hadis yang jumlah periwayatnya tidak sampai kepada jumlah periwayat hadis mutawâtir. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 141. 41 Ulama berbeda pendapat mengenai pengamalan hadis âhâd. Jumhur ulama sepakat sekalipun hadis âhâd bersifat zhannî al-wurûd, tapi wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya. Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, hlm. 158. Al-Syâfi‟î, Abû Hanîfah, dan Ahmad ibn Hanbal menerima hadis âhâd apabila syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi. Abû Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: 40
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 173
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
dilihat dari segi historisnya, hadis ini adalah respons atas penobatan seorang putri Kisra Persia sebagai ratu, yang dianggap oleh Nabi Muhammad saw. tidak memiliki kemampuan memimpin pemerintahan. Penolakan Nabi Muhammad Saw. ini juga tidak didasarkan karena dia seorang perempuan, tapi lebih didasarkan kepada ketidakcakapan putri tersebut dalam memegang kendali pemerintahan. Sangat mungkin apabila perempuan yang memimpin bukan putri Kisra
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 156-157; T.M. Hasbi Ash- Shiddiqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 100. Selanjutnya, untuk masalah akidah, ulama berbeda pendapat tentang kehujahan hadis âhâd. Sebagian ulama menyatakan hadis âhâd tidak dapat dijadikan hujah. Alasannya, sesuatu yang zhannî tidak dapat dijadikan dalil untuk yang berkaitan dengan keyakinan, karena soal keyakinan harus berdasarkan dengan dalil qath‟î. Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 15615; Mahmûd Syaltût, Al-Islâm: Aqîdah wa Syarî‟ah, (Mesir: Dâr al-Qalam, 1966), hlm. 513. Ulama lain menyatakan hadis âhâd yang sahih dapat dijadikan hujah untuk masalah akidah. Sebab hadis âhâd yang sahih berstatus qath‟îy al-wurûd. Alasannya, pertama, sesuatu yang zhannî masih mengandung kemungkinan salah. Hadis yang telah diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas sahih, walaupun berkategori âhâd, memiliki status qathîy al-wurûd. Kedua, Nabi Muhammad Saw. pernah mengutus sejumlah mubalig ke berbagai daerah, yang jumlah mereka tidak mencapai kategori mutawâtir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita mutawâtir, niscaya masyarakat tidak membenarkan dan menerima dakwah mubalig yang diutus oleh Rasulullah Saw. Ketiga, „Umar ibn al-Khaththâb pernah membatalkan hasil ijtihadnya karena mendengar hadis Nabi Muhammad Saw. yang disampaikan oleh al-Dhahhâk ibn Sufyân secara âhâd. Taqîy al-Dîn Ahmad ibn Taimîyah, Majmû` Fatâwâ Ibn Taimîyah, Jilid XVIII (Tk.: Mathâbi` Dâr al„Arabîyah, 1398), hlm. 40-41; Sâlim „Alî al-Bahnasâwî, Al-Sunnah al-Muftarâ `alaihâ (Tk.: Dâr alBuhûts al-„Ilmîyah, 1979), hlm. 103; Muhammad Adîb Shâlih, Lamahât fî Ushûl al-Hadîts (Beirut: AlMaktabah al-Islâmî, t.t), hlm. 99-100.
Persia, Nabi Muhammad saw., tidak akan bersabda demikian. Terkait hal tersebut, Fatima Mernissi telah melakukan kritik tajam terhadap hadis ini. Dia mengkritik dari sisi sanad dan matannya. Dalam kritiknya, ia mempertanyakan kredibilitas Abû Bakrah sebagai periwayat hadis, dan mengapa Abû Bakrah baru memunculkan hadis ini pada saat terjadi kemelut politik dalam perang Jamal antara „Â‟isyah dan „Alî bin Abû Thâlib setelah 23 tahun wafatnya Rasulullah Saw., yang mana dirinya berpihak kepada „Alî. Lagi pula konteks hadis tersebut tertuju pada kasus suksesi kisra di Persia yang mewariskan tahta kepada anak perempuannya yang tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin.42 Di samping itu, dalam perspektif politik keagamaan, posisi perempuan tampaknya mendapat hambatan. Namun demikian, dalam praktik politik, sesungguhnya tidak sedikit perempuan yang menduduki jabatan penting. Bahkan menjadi kepala pemerintahan. Di Indonesia, misalnya, perempuan menjabat sebagai kepala pemerintahan seperti di Aceh. Al-Qur‟an juga secara deskriptif menuturkan kisah-kisah tentang keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya. Dengan demikian, menurut penulis, Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan umum. Bahkan menjadi kepala negara. Yang penting dia mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut, tapi dengan catatan jika tidak ada laki-laki yang sanggup mengemban jabatan tersebut. Oleh karena itu, hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual, karena kandungan petunjuknya bersifat temporal.
Fatima Mernissi, Beyond the Veil (Indiana: Indiana University, 1987), hlm. 49-61. 42
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 174
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
Penutup Kualitas hadis riwayat al-Bukhârî, al-Turmuzî, dan al-Nasâ‟î tentang kepemimpinan perempuan secara umum adalah shahîh li dzâtihi. Sanadnya memenuhi kaidah kesahihan sanad hadis, yaitu sanadnya bersambung, periwayatnya bersifat tsiqah, dan terhindar dari syudzûdz dan ‘illah. Matannya juga memenuhi kaidah kesahihan matan hadis, yakni terhindar dari syudzûdz dan ‘illah. Secara tekstual, hadis tersebut menunjukkan larangan bagi perempuan menjadi pemimpin dalam urusan umum. Oleh karena itu, mayoritas ulama secara tegas menyatakan kepemimpinan perempuan dalam urusan umum dilarang. Namun secara kontekstual hadis tersebut dapat dipahami bahwa Islam tidak melarang perempuan menduduki suatu jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum. Bahkan menjadi kepala negara, dengan syarat sanggup melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu, hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual, kare-na kandungan petunjuknya bersifat temporal.[] Daftar Pustaka Ahmad, Khurshid. Mempersoalkan Perempuan. Jakarta: Gema Insani 1989. Amîn,Qâsim. Tahrîr al-Mar‟ah. Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, t.th. „Asqalânî, Syihâb al-Dîn Abû al-Fadl Ahmad ibn „Alî ibn Hajar al-. Fath al-Bârî. Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1379 H. Bahnasâwî, Sâlim „Alî. Al-Sunnah alMuftarâ „alayhâ. t.t.: Dâr al-Buhûts al„Ilmîah, 1979. Bukhârî, Abû „Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ‟îl ibn Ibrâhîm al-. Shahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Busthâmî, Butros al-. Quthr al-Muhîth. Beirut: Maktabah Lubnân. t.th.
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur‟an, 2011. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Ducler, F. Bagaimana Menjadi Eksekutif yang Efektif. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1986. Ghazâlî, Muhammad al-. Al-Islâm wa alThâqah al-Mu‟atthalah. Kairo: Dâr alKutub al-Hadîtsah, 1964. Hasyim, Syafiq (ed.). Kepemimpinan Perempuan dalam Islam. tp., t.th. Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991. Jamal, Ahmad Muhammad. Problematika Muslimah di Era Globalisasi. Tk.: Pustaka Mantiq, 1995. Kahlânî, Muhammad ibn Ismâ‟îl al-. Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Jâmi‟ Adillah al-Ahkâm. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmîah, t. th. Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Khûlî, Amîn al-. Al-Mar-‟ah al-Muslimah fî al-„Ashr al-Mu‟ashir. Baghdad: tp., t.th. Marbâwî, Muhammad Idrîs „Abd al-Ra‟ûf al-. Qâmûs al-Marbâwî. Mesir: Dâr alFikr, t.th. Mernissi, Fatima. Beyond the Veil. Indiana: Indiana University, 1987. Munir, Lily Zakiyah (ed.). Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. Bandung: Mizan, 1999. Mulia, Musdah. Potret Perempuan dalam Lektur Agama: Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat yang Egaliter dan Demokratis. Jakarta: tp., 1999.
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 175
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis
Munawwir, Muhammad Warson. Kamus Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir, 1984. Qardlâwî, Yûsuf al-. Fiqhi Daulah Perspektif Al-Qur‟an dan Sunnah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997. Mubârakfûrî, Abû al-„Ulâ Muhammad ibn „Abd al-Rahmân ibn al-Rahîm al-. Tuhfah al-Ahwazî bi Syarh Jâmi` alTurmuzî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M. Râzî, Fakhr al-Dîn al-. Al-Tafsîr al-Kabîr. Teheran: Dâr al-Kutub al-„Ilmîyah, t.th. Shâlih, Muhammad Adîb. Lamahât fî Ushûl al-Hadîts. Beirut: Al-Maktabah al-Islâmî, t.t Shiddiqy, T.M. Hasbi ash-. Pokok-Pokok Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Siagian, SP. Bunga Rampai Managemen Modern. Jakarta: Haji Masagung, 1993. Syaltût, Mahmûd. Al-Islâm: Aqîdah wa Syarî‟ah. Mesir: Dâr al-Qalam, 1966. -----. Min Taujîhât al-Islâm. Kairo: AlIdârah al-„Âmmah li al- Azhar, 1959. Taimîyah, Taqîy al-Dîn Ahmad ibn. Majmû‟ Fatâwâ Ibn Taimîyah. Mathâbi‟ Dâr al-„Arabîyah, 1398 H. Thaba‟thabâ‟î, Muhammad Husayn al-. Tafsîr al-Mîzân. Beirut: Mu‟assasah al-„Âlamî li al-Mathba‟ah, 1991. Zakarîyâ, Abû al-Husayn Ahmad ibn Fâris, Maqâyîs al-Lughah. Mesir: Maktabah wa Math-ba‟ah Musthafâ al-Bâb al-Halabî wa Awlâduh, 1972. Zahrah, Abû. Ushul Fiqhi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Zamakhsyarî al-. Tafsîr al-Kasysyâf. Mesir: „Îsâ al-Bâb al-Halabî wa Syirkah, t.th.
KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015
| 176