HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM PERSPEKTIF HADIS
DISERTASI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Studi Hadis
oleh: Ja`far Assagaf, M.A. NIM: 03.3.00.1.05.01.0015
Promotor: Prof. DR. R. Mulyadhi Kartanegara, M.A. DR. Sahabuddin, M.A.
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah JAKARTA 2008 M/1429 H
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR
ﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺍﻟﻘﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤ,ﺍﳊﻤﺪ ﷲ ﻭﺣﺪﻩ ﻭﺷﺮﻉ ﺷﺮﻋﺎ ﺇﺧﺘﺎﺭﻩ ﻟﻨﻔﺴﻪ .ﺟﻬﺎ ﺍﷲ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻣﺎﺿﺎﻗﺖ ﺇﻻ ﻭﻓﺮ,ﲝﻘﻮﻕ ﺍﷲ ﻋﺪﺩ ﻣﺎﰲ ﻋﻠﻢ ﺍﷲ Segala puji hanyalah milik Allah swt semata. Atas rahmat, hidayah dan `inayah-Nya, sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan pada junjungan Nabi besar Muhammad saw beserta keluarga, para sahabat, pecinta sunnah dan pengikutnya hingga akhir zaman. Dalam penyelesaian studi dan disertasi ini, penulis menyadari bahwa semua tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu semua, patut kiranya penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1. Orang tua penulis al-marhûm Syekh bin Abu Bakar Assagaf (w. 1990 M) dan almarhûmah Alawiyah binti Idrus Albar (w. 1998 M). Keduanya telah membimbing secara tulus dan ikhlas, penuh rasa kasih sayang yang sangat mendalam, menanamkan ajaran-ajaran agama sehingga Allah memberikan penulis kekuatan untuk berkembang menjadi lebih baik. Lebih dari itu, keduanya meninggalkan sedikit warisan, ternyata menjadi tulang punggung dalam membiayai pendidikan penulis semenjak S1 sampai S3 sekarang. Semoga warisan tersebut seperti yang disinyalir Allah swt “…adapun ayah mereka berdua seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu sebagai rahmat dari Tuhanmu…” (QS. al-Kahf:82). ﺻﻐﲑﺍ
ﻴﺎﱐﻱ ﻭﺍﺭﲪﻬﻤﺎ ﻛﻤﺎ ﺭﺑ ﺭﰊ ﺍﻏﻔﺮﱄ ﻭﻟﻮﺍﻟﺪ.
2. Bapak Prof. Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, M.A. dan Bapak Dr. Sahabuddin, M.A., yang telah menyisakan waktu berkonsultasi, juga tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis, baik sebagai promotor maupun sebagai dosen yang bersedia untuk berdialog.
xii
xiii
3. Penguji disertasi dalam Ujian Pendahuluan dan Ujian Promosi, masing-masing Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf, M.A., Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, M.A.,dan Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A., yang telah mengoreksi, memberikan masukan yang sangat berharga untuk perbaikan disertasi ini. 4. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, beserta seluruh jajaran pimpinan dan dosen, yang telah memberikan kesempatan belajar, membimbing dan mengarahkan penulis ke arah pendalaman ilmu keislaman selama menempuh pendidikan S.3. di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Demikian pula para dosen yang bersedia meluangkan waktu mereka untuk berdiskusi di luar kampus disela-sela kesibukan mereka, Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Prof. Dr. Said Aqil Husein alMunawwar, M.A., Prof. Dr. Badri Yatim., M.A, Dr. Mohammad Mashoeri Na`im, M.A., dan Dr. Fuad jabali, M.A. 6. Kepala Tata Usaha beserta jajaran karyawan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuan dan pelayanan akademik dengan baik pada penulis, selama masa studi S.3. di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Kepala Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN dan Iman Jama` beserta staf masing-masing, yang telah menyediakan informasi ilmiah berupa literatur, buku-buku serta sumber penelitian lainnya sehingga penulisan disertasi ini dapat berjalan dengan baik. 8. Isteri tercinta, Eva Maimunah al-Atthas yang menemani hari-hari penulis dalam menyelesaikan studi S.3 dan untuk seterusnya. Teristimewa puteri tercinta kami
xiv
Samiya Assagaf, sekalipun ikut merasakan pahitnya perjalanan dalam menyelesaikan studi, namun tetap setia menghibur penulis melalui canda tawa dan tangisnya yang menjadi motifasi dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini. 9. Saudari-saudariku tercinta di Ternate dan Makassar: Muznah Assagaf, Munirah Assagaf, dr. Munjia Assagaf, Sp. M., Mardhiah Assagaf dan almarhûmah dra. Ummu Hani Assagaf. Atas bantuan moril mereka maupun materi terhadap penulis, di selasela kesibukan sebagai pegawai kantor dan ibu rumah tangga. Begitu juga dengan suami mereka, terutama Alwi Assaqaf, beserta seluruh kemenakan penulis. Ucapan terima kasih juga ditujukan pada keluarga di Tangerang yang ikut membantu menjaga Samiya, dan semua keluarga di Ternate yang selalu mendoakan keberhasilan penulis. 10. Kepada al-marhûm `allâmah Habib Muhammad bin Husein Ba`bud (w. 1993 M) dan Habib Ali bin Muhammad Ba`bud (w. 2007 M), sebagai guru dan pendidik akhlâq di pesantren Dâr al-Nasyi’în Lawang-Malang. Habib Saqqaf bin Muhammad al-Jufrie, ketua PB Alkhairat, al-marhûm ustad Abdillah al-Jufrie dan ustad Muthahhar al-Jufrie, di Pesantren Alkhairat Palu Sulawesi Tengah. Al-marhûm Habib Hasan Baharun di pesantren Dâr al-Lughah wa al-Da`wah Bangil, dan seluruh guru penulis di tiga pesantren tersebut, juga di SD (Ibtidaiyyah), beserta para dosen penulis di IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan STAIN Ternate. 11. Paman Brigjen (purn) Abdullah Assagaf beserta keluarga di Bandung, yang telah memberikan bantuan secara materi maupun moril kepada penulis. 12. Ketua STAIN Ternate Drs. Abdjan Jahja, M.Ag., beserta jajaran, dan mantan Ketua STAIN Yahya Abd Rahman Mishbah, M.A., yang telah memberikan bantuan dana pendidikan dan perhatian terhadap penulis dalam proses penyelesaian studi S.3. Ucapan terima kasih juga ditujukan pada seluruh dosen, karyawan dan sivitas akademika STAIN Ternate. 13. Pimpinan cabang Lion Air di Ternate, Drs. Muhdhar Assaqaf, begitu pula
xv
PEMDA Maluku Utara yang pernah memberikan dana penelitian disertasi. Ucapan terima kasih juga layak diberikan pada rekan-rekan penulis di S.3, teman-teman akrab di Ternate, Surabaya dan Jakarta, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu, dengan rela memberikan bantuan secara ikhlâsh selama studi dan penulisan disertasi. Untuk mereka semua, semoga Allah swt membalas segala kebaikan dan memberikan ganjaran pahala untuk mereka, amien.., ya Mujîb al-sâ’ilîn……. Wassalam Jakarta, 29 April 2008 M
Penulis,
Ja`far Assagaf
TRANSLITERASI A. Konsonan ═ ﺀ ═ ﺏ ═ ﺕ ═ ﺙ ═ ج ═ ح ═ خ ═ د ═ ذ
’ b t ts j h kh d dz
ﺭ ﺯ ﺱ ﺵ ﺹ ﺽ ﻁ ﻅ ﻉ
═ ═ ═ ═ ═ ═ ═ ═ ═
ﻍ ﻑ ﻕ ﻙ ل ﻡ ﻥ ﻭ ﻫ ﻱ
r z s sy sh dh th zh `
═ ═ ═ ═ ═ ═ ═ ═ ═ ═
gh f q k l m n w h y
B. Vokal dan Diftong Vokal Pendek
Vokal Panjang
Diftong
َ— ═
a
—ﺎ َ
═
â
ي َْ أ
═
ai
ِ— ═
i
—ﻰ ِ
═
î
أ ْو
═
au
ُ— ═
u
—ُو
═
û
ِْإي
═
î
C. Keterangan Tambahan 1. Kata sandang ( ﺍلalif lâm ma`rifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya aljizyah dan al-dzimmah. Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat. 2. Tasydîd atau syaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya almuwattha’. 3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
xvi
SINGKATAN
`Abd =
`Abdul
as
=
`alaihi, `alaihâ, `alaihim al-salâm
H
=
tahun Hijriah
h.
=
halaman
M
=
tahun Masehi
ra
=
Radhiallahu `anhu, Radhiallahu `anhâ, Radhiallahu `anhum
saw
=
Shallallâhu `alaihi wa ‘âlihi wa sallam
SM
=
sebelum tahun Masehi
swt
=
Subhânahu wa ta`âla
t. p.
=
tanpa disebutkan penerbit
t. th.
=
tanpa disebutkan tahun terbit
t. tp.
=
tanpa disebutkan tempat atau kota terbit
vol
=
volume
w.
=
tahun wafat
xvii
ABSTRAK Penelitian ini membuktikan adanya sikap kooperatif, terbuka dan toleransi dalam hadis Nabi Muhammad saw. terkait hubungan dengan non Muslim. Dengan begitu, sebagian penegasan al-Qurthubî (w. 671 H) (Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, Cairo, 1372 H), al-Nawawî (w. 676 H) (Syarah al-Nawawî, Beirut, 2000) dan Ibn Hajar (w. 852 H) (Fath al-Bârî, Beirut, 2000) mengenai hadis terkait dengan perang, hukuman dan kebijakan di masa Nabi saw. terhadap non Muslim, sebagai keputusan final dan general adalah tidak tepat. Disertasi ini memperkuat tulisan-tulisan sebelumnya yang mempersoalkan pemahaman sebagian ulama beraliran klasik di atas, yaitu: (1) al-Thahâwî (w. 321 H) (Syarh Ma`ânî al-Atsâr, Beirut, 2001) seperti ulama Hanafî lainnya, menegaskan Muslim tetap dieksekusi karena membunuh dzimmî berdasarkan timbangan keadilan; (2) Muhammad al-Ghazâlî (al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, Cairo, 1992): ayat saif dalam surah al-Taubah dan hadis berisi perintah memerangi non Muslim, bukan sebagai nâsikh terhadap ayat maupun hadis mengenai perlakuan baik dan toleransi terhadap non Muslim; (3) Sachedina (The Islamic Roots Democratic of Pluralism, Oxford, 2001): murtad yang dieksekusi akibat pelanggaran publik, perang yang dilakukan oleh Nabi saw. bukan untuk memaksa pihak non muslim memeluk Islam, namun untuk mempertahankan diri dan agama. Disertasi ini menunjukkan bahwa: (1) Hadis-hadis hubungan disharmoni Muslim dengan non Muslim adalah kebijakan spesifik dan parsial di masa Nabi saw. terhadap non Muslim tertentu, yang memiliki konteks dan latar belakang tersendiri; (2) tindakan murtad dapat diamnesti, dan pelaksanaan eksekusi bagi pelaku murtad lebih disebabkan pelanggaran publik walaupun dilakukan secara individu; (3) selain prinsip keadilan, eksekusi terhadap Muslim yang membunuh dzimmî, juga berdasarkan indikator kuat dalam sejarah yang mendukung saat hadis lâ yuqtal muslim bi kâfir disabdakan; (4) aljizyah dikecualikan dari musyrik Arab karena sikap permusuhan mereka terhadap kaum Muslim sebagaimana Yahudi Khaibar; (5) perang terhadap non Muslim di masa Nabi saw., disebabkan sikap permusuhan dan penghianatan mereka terhadap kaum Muslim; (6) larangan Muslimah kawin dengan ahl al-kitâb berdasarkan praktek di masa Nabi saw. dan ketiadan polemik tentang hal ini di masa setelahnya; (7) waris beda agama dibenarkan dalam kasus perkawinan pria Muslim dengan wanita ahl al-kitâb. Sumber utama disertasi ini adalah hadis-hadis dalam kutub al-sittah, kitab hadis standar lainnya, kitab syarah hadis di antaranya Syarah Muslim karya al-Nawawî, Fath al-Bârî karya Ibn Hajar, `Aun al-Ma`bûd karya Abû Thaiyyib al-Âbâdî. Data-data dibaca dengan standar ilmu hadis yang meliputi penilaian kualitas hadis, kosa-kata hadis (ilmu Gharîb al-Hadîts), pemahaman kandungan hadis melalui teori al-jam`u dan altarjîh. Untuk menganalisa data yang ada, ilmu hadis dibantu dengan pendekatan sejarah, melalui data dalam kitab sejarah mu`tabarah di antaranya al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyâm (w. 218 H), Thabaqât al-Kubrâ karya Ibn Sa`ad (w. 230 H) dan al-Kâmil fî al-Târîkh karya Ibn al-Atsîr (w. 630 H).
xviii
ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻳﱪﻫﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻋﻠﻰ ﺗﻮﺍﺟﺪ ﺍﳌﻮﻗﻒ ﺍﻟﺘﻌﺎﻭﱐ ﻭﺍﳌﻨﻔﺘﺢ ﻭﺍﻟﺘﺴﺎﻣﺢ ﰲ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﻋﻼﻗﺔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺑﻐﲑﻫﻢ .ﻭﺑﺬﻟﻚ ﻓﺈﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﻃﱯ )ﺕ ٦٧١ .ﻫـ( ﻗﺪ ﺃﻛﹼﺪ ﰲ ﺟﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ )ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ ١٣٧٢ ،ﻫـ( ،ﻭﺍﻟﻨﻮﻭﻱ )ﺕ ٦٧٦ .ﻫـ( ﰲ ﺷﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ )ﺑﲑﻭﺕ، ،(٢٠٠٠ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﱐ )ﺕ ٨٥٢ .ﻫـ( ﰲ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ )ﺑﲑﻭﺕ (٢٠٠٠ ،ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﳌﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﳊﺮﺏ ،ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ،ﻭﺇﺻﺪﺍﺭ ﺍﻟﻘﺮﺍﺭﺍﺕ ﰲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺯﺍﺀ ﻏﲑ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺃﺎ ﻗﺮﺍﺭﺍﺕ ﻧـﻬﺎﺋﻴﺔ ﻭﻋﺎﻣﺔ ﻟﻴﺴﺖ ﺻﺤﻴﺤﺔ. ﻭﺗﺆﻳﺪ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻃﺮﻭﺣﺔ ﺍﳌﺆﻟﻔﺎﺕ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﱵ ﺗﻨﺎﻭﻟﺖ ﻗﻀﻴﺔ ﻓﻬﻢ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻘﺪﺍﻣﻰ ﺍﳌﺬﻛﻮﺭﻳﻦ ﻗﺒﻞ ،ﻣﺜﻞ ) (١ﺷﺮﺡ ﻣﻌﺎﱐ ﺍﻵﺛﺎﺭ )ﺑﲑﻭﺕ (٢٠٠١ ،ﻟﻠﻄﺤﺎﻭﻱ )ﺕ ٣٢١ .ﻫـ( ﻭﻏﲑﻩ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﳊﻨﻔﻴﺔ ﻣﺆﻛﺪﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﻗﺘﻞ ﺫﻣﻴﺎ ﻋﻮﻗﺐ ﺑﺎﻹﻋﺪﺍﻡ ،ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﻌﺪﺍﻟﺔ؛ ) (٢ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﺑﲔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﳊﺪﻳﺚ )ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ (١٩٩٢ ،ﶈﻤﺪ ﺍﻟﻐﺰﺍﱄ ﻗﺎﺋﻼ ﺇﻥ ﺁﻳﺔ ﺍﻟﺴﻴﻒ ﰲ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﻨﺒﻮﻱ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﺗﺘﻀﻤﻦ ﺍﻷﻣﺮ ﲟﺤﺎﺭﺑﺔ ﻏﲑ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ،ﻭﻟﻴﺴﺖ ﻧﺎﺳﺨﺔ ﻟﻶﻳﺔ ﺃﻭ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﱵ ﺗﺘﻨﺎﻭﻝ ﺍﳌﻌﺎﻣﻠﺔ ﺍﳊﺴﻨﺔ ﻭﺍﻟﺘﺴﺎﻣﺢ ﺇﺯﺍﺀ ﻏﲑ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ؛ ) (٣ﻭ The Islamic Roots of Democratic Pluralism )) (Oxford, 2001ﺍﳉﺬﻭﺭ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻟﺪﳝﻮﻗﺮﺍﻃﻴﺔ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩﻳﺔ( ﻟﺴﺨﻴﺪﻳﻨﺎ ) (Sachedinaﻗﺎﺋﻼ ﺇﻥ ﺍﳌﺮﺗﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﻮﻗﺐ ﺑﺎﻹﻋﺪﺍﻡ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﳐﺎﻟﻔﺘﻪ ﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ ﺍﳉﻤﻬﻮﺭﻱ ،ﻭﺍﳊﺮﺏ ﺍﻟﱵ ﺷﻨﻬﺎ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻴﺴﺖ ﻹﻛﺮﺍﻩ ﻏﲑ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﰲ ﺍﻟﺘﺪﻳﻦ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ،ﻭﻟﻜﻦ ﺍﳍﺪﻑ ﻣﻨﻬﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻠﺪﻓﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻷﻧﻔﺲ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ. ﻭﺃﺛﺒﺘﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻃﺮﻭﺣﺔ ﺃﻥ ) (١ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﺍﻟﺸﺮﻳﻔﺔ ﰲ ﻋﻼﻗﺔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺑﻐﲑﻫﻢ ﻏﲑﻣﻨﺴﺠﻤﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﻗﺮﺍﺭﺍﺕ ﺧﺎﺻﺔ ﻭﺟﺰﺋﻴﺔ ﺃﺻﺪﺭﻫﺎ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﻏﲑ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﺍﺭﺗﺒﻄﺖ ﺑﺎﻟﺴﻴﺎﻕ ﺍﳋﺎﺹ ﻭﺑﺎﳋﻠﻔﻴﺔ ﺍﳌﻌﻴﻨﺔ؛ ) (٢ﻭﺍﻻﺭﺗﺪﺍﺩ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﺳﺎﺱ ﻗﺎﺑﻞ ﻟﻠﻌﻔﻮ ،ﻭﺃﻣﺎ ﺗﻨﻔﻴﺬ ﺇﻋﺪﺍﻡ ﺍﳌﺮﺗ ﺪ ﻓﻬﻮ ﻧﺎﺗﺞ ﻋﻦ ﳐﺎﻟﻔﺘﻪ ﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ ﺍﳉﻤﻬﻮﺭﻱ ﺭﻏﻢ ﺃﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﳌﺨﺎﻟﻔﺔ ﻓﺮﺩﻳﺔ؛ ) (٣ﻭﺑﺎﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﱃ ﺃﺳﺎﺱ ﺍﻟﻌﺪﺍﻟﺔ ،ﻓﺈﻥ ﺗﻨﻔﻴﺬ ﺇﻋﺪﺍﻡ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺘﻞ ﺫﻣﻴﺎ ﻣﺒﲏ ﻋﻠﻰ ﻣﺆﺷﺮﺓ ﻗﻮﻳﺔ ﺗﺆﻳﺪﻩ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ " :ﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﺎﻓﺮ"؛ ) (٤ﻭﺍﳉﺰﻳﺔ ﺃﻣﺮ ﺍﺳﺘﺜﻨﺎﺋﻲ ﳌﺸﺮﻛﻲ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﳌﻌﺎﺩﺍﺗـﻬﻢ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪﺓ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ،ﺷﺄﻧـﻬﻢ ﰲ ﺫﻟﻚ ﺷﺄﻥ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﺧﻴﱪ؛ ) (٥ﻭﺍﳊﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻏﲑ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﰲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻧﺖ ﻧﺎﲡﺔ ﻋﻦ ﻣﻮﻗﻔﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﻌﺎﺩﺍﺗـﻬﻢ ﻭﺧﻴﺎﻧﺘﻬﻢ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ؛ ) (٦ﻭﻧـﻬﻲ ﺍﳌﺴﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﻴﲔ ﻣﺒﲏ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻤﺎﺭﺳﺔ ﰲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﺪﻡ ﺍﻻﺧﺘﻼﻑ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻩ ﺑﻌﺼﻮﺭ؛ ) (٧ﻭﻗﺪ ﺗﺼﺢ ﺍﻟﺘﻮﺍﺭﺙ ﺑﲔ ﺯﻭﺟﱭ ﰲ ﺣﺎﻟﺔ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎﺑﻴﺔ. ﻭﺍﳌﺼﺎﺩﺭ ﺍﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ ﳍﺬﻩ ﺍﻷﻃﺮﻭﺣﺔ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩﺓ ﰲ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﻏﲑﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﳌﻌﺘﱪﺓ، ﻭﻛﺘﺐ ﺍﻟﺸﺮﻭﺡ ،ﻭﻣﻦ ﺑﻴﻨﻬﺎ ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻠﻢ ﻟﻠﻨﻮﻭﻱ ،ﻭﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﻻﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﱐ ،ﻭﻋﻮﻥ ﺍﳌﻌﺒﻮﺩ ﻷﰊ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﺍﻵﺑﺎﺩﻱ .ﻭﺍﻟﺒﻴﺎﻧﺎﺕ ﺍﻟﱵ ﰎ ﲨﻌﻬﺎ ﺗﺪﺭﺱ ﻣﺒﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺎﻳﻴﺲ ﻋﻠﻢ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﱵ ﺗﺘﻀﻤﻦ ﻧﻘﺪ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻭﺍﳌﱳ ،ﻭﺷﺮﺡ ﻣﻔﺮﺩﺍﺗـﻬﺎ )ﻋﻠﻢ ﻏﺮﻳﺐ ﺍﳊﺪﻳﺚ( ،ﻭﻓﻬﻢ ﻣﻀﻤﻮﻧـﻬﺎ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﻧﻈﺮﻳﺔ ﺍﳉﻤﻊ ﻭﺍﻟﺘﺮﺟﻴﺢ. ﻭﺍﻧﺘﻬﺞ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﰲ ﲢﻠﻴﻞ ﺍﻟﺒﻴﺎﻧﺎﺕ ﺍﻟﻘﺎﺋﻤﺔ ﻣﻨﻬﺞ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﻋﻠﻢ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﳌﺆﻳﺪ ﺑﺎﳌﺪﺧﻞ ﺍﻟﺘﺎﺭﳜﻲ ،ﻭﺫﻟﻚ ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺒﻴﺎﻧﺎﺕ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩﺓ ﰲ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﳌﻌﺘﱪﺓ ،ﻣﻨﻬﺎ ﺍﻟﺴﲑﺓ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﻻﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ )ﺕ ٢١٨ .ﻫـ( ،ﻭﺍﻟﻄﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﻜﱪﻯ ﻻﺑﻦ ﺳﻌﺪ )ﺕ ٢٣٠ .ﻫـ( ،ﻭﺍﻟﻜﺎﻣﻞ ﰲ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﻻﺑﻦ ﺍﻷﺛﲑ )ﺕ ٦٣٠ .ﻫـ(. xix
xix
ABSTRACT This research has justified arguments that the hadith of the Prophet Muhammad (peace be upon him), which concerned with the relationship between Muslim and nonMuslim, has embodied cooperative, inclusive and tolerant conception. Hence, considering some of the suppositions of al-Qurtubi (died in 671 A.H.) in Jami li Ahkam al-Qur’an, (Cairo, 1372 H), al-Nawawi (died in 676 A.H.) in Syarh al-Nawawi (Beirut, 2000) and Ibn Hajar (died in 852 A.H.) in Fath al-Bari (Beirut, 2000) on hadiths related to hostilities, punishments and policies on the non-Muslim community, in the era of the Prophet Muhammad (peace be upon him), as a general and final judgment is inappropriate justification. This dissertation, to some extent, supports some prior works that questioned the understanding of some classical leaning Muslim religious thinkers (ulama salaf) mentioned. The prior works concerned are: (1) al-Thahawi (died in 321 A.H.) in Syarh Ma’ani al-Atsar, (Beirut, 2001), as many other Hanafi scholars, said that a Muslim, in the name of justice, should be executed for murdering a kafir dhimmi (disbelievers who get pact of protections from the Islamic government); (2) Muhammad al-Ghazali in al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-hadits, (Cairo, 1992) argued that the “verse of saif” in the surah al-Taubah and some other hadiths, which command Muslims to fight against the nonMuslim, are not in the position of abrogating (naskh) other verses and hadiths that command Muslim to promote tolerant to the non-Muslim community; (3) Sachedina (The Islamic Roots of Democratic Pluralism, Oxford, 2001) stated that the execution of an apostate, who did a public infraction, and some wars happened between Muslims and nonMuslims were not intended to compel them tobe converted to Islam. Those actions were merely committed to defend the religion and dignity of the Muslim. Furthermore, this dissertation also figures that: (1) some hadiths, in which disharmony relationship between Muslim and non-Muslim occurred, were applied in specific and particular policies in the era of Prophet Muhammad (peace be upon him). Moreover, the policy was only addressed to a certain non-Muslim community with specific backgrounds and contexts; (2) the act of apostacy might be absolved. Moreover, the execution of the apostate was merely because he did a public infraction, albeit the execution was applied individually; (3) Apart from the reason of justice, the execution of a Muslim, who killed a dhimmi, was also because there were some valid indicators, which permitted to do so, when the hadith was stated; (4) the concept of poll tax (jizyah) is not applicable to the Musyrik of Arab (Makkah) because their inhospitable behaviour to the Muslim community. In addition, this exception is also applied to the Jews of Khaibar; (5) The war between Muslim and non-Muslim, in the era of the Prophet Muhammad (peace be upon him), was triggered by the betrayal of the non-Muslim to the agreement concurred; (6) the prohibition of a Muslim woman to marry a man from the people of the book is based on the practical evidence in the era of the Prophet Muhammad (peace be upon him). Moreover, it also because there are no polemics occurred after the death of the Prophet; (7) as for heritage that comes from couples of different religious believers could be legalized in the case of marriage between a Muslim man and a woman from the people of the book. The primary resources of this dissertation are some hadiths, which stated in the six reliable and authentic books of hadith (al-kutub al-sittah), some other reliable books of hadith and its commentaries such as Syarah Muslim by al-Nawawi, Fath al-Bary by Ibn Hajar, Aun al-Ma’bud by Abu Thaiyyib al-Abadi. The obtained data are analyzed with the standard of the sciences of hadith (ulum al-hadith) analysis, in terms of analyzing the content of hadith with the theory of al-jam’u and al-tarjih. Moreover, the data are also analyzed using the historical approach based on some reliable books of Islamic history such as al-Sirah al-Nabawiyah, written by Ibn Hisyam (died in 218 A.H.), al-Thabaqat alKubra, written by Ibn Sa’ad (died in 230 A.H.) and al-Kamil fi al-Tarikh, written by Ibn alAtsir (died in 630 A.H.).
xx
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..………………………………………………………….. SURAT PERNYATAAN………………………………………………………. KETERANGAN DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA……………….. PERSETUJUAN PROMOTOR DAN PENGUJI UJIAN PROMOSI…………. PERSETUJUAN PROMOTOR UJIAN PENDAHULUAN…………………… PERSETUJUAN TIM PENGUJI UJIAN PENDAHULUAN………………….. KATA PENGANTAR………………………………………………………….. TRANSLITERASI……………………………………………………………... SINGKATAN……………….………………………………………………….. ABSTRAK……………………………………………………………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. A. Latar Belakang Masalah.................................................. …. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ……………………. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………………………. D. Penelitian Terdahulu yang Relevan……………………….. 1. Kajian Teoritis……………………………………………….. 2. Tinjauan Kepustakaan……………………………………........ E. Metodologi Penelitian……………………………………...... 1. Sumber Data………………………………………………...... 2. Metode Analisis…………………………………………........ 3. Teknik Penulisan…………………………………………...... F. Sistimatika Penulisan …………………………………....... BAB II KONTEKS HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM........................................................ A. Ahl al-Kitâb............................................................................ B. Ahl al-Dzimmah...................................................................... C. Ahl `Ahd (Mu`âhad)............................................................... D. Syirk (Musyrik)...................................................................... E. Kufr (Kafir)............................................................................. F. Al-Jizyah................................................................................. BAB III HADIS-HADIS MENGENAI TINDAKAN MURTAD DAN PRAKTEK MENJALANKAN AJARAN AGAMA BAGI NON MUSLIM………………………………………………… A. Pemahaman Hadis-hadis tentang Murtad………………... B.Amnesti terhadap `Abdullah ibn Abî al-Sarh……………... C. Pemahaman Hadis-hadis tentang Praktek Ibadah non Muslim............................................................................ 1. Puasa `Âsyûrâ’ bagi non Muslim……………………………... 2. Larangan Haji bagi non Muslim………………………….…... 3. Tempat Ibadah non Muslim…………………………………... BAB IV HADIS-HADIS TENTANG INTERAKSI SOSIAL MUSLIM DENGAN NON MUSLIM....................................... .. 80 A. Pemahaman Hadis-hadis tentang Interaksi Khusus xxi
i ii iii iv v vi xii xvi xvii xviii xxi 1 1 10 13 14 14 24 28 28 30 34 35 36 36 43 44 45 47 48 50 50 53 57 57 61 65
xxii
BAB V
BAB VI
dengan non Muslim………………………………………............ 1. Kawin dengan non Muslim……………………………….......... a. Muslimah Kawin dengan non Muslim……………………........ 2. Warisan antara Muslim dengan non Muslim……………......... B. Pemahaman Hadis-hadis tentang Interaksi Umum dengan non Muslim…………………………………….............. 1. Dialog dengan non Muslim………………………………........ 2. Jual Beli dan Hutang Piutang……………………………......... 3. Ucapan Salam dan Selamat Hari Besar pada non Muslim........................................................... …......... 4. Terkait dengan Jenazah non Muslim.................................. ......... 5. Saling Memberi Hadiah...................................................... ......... 6. Doa bagi non Muslim......................................................... ......... 7. Berbuat Baik pada non Muslim.......................................... ......... HADIS-HADIS TENTANG HUKUM, PERANG DAN DAMAI DENGAN NON MUSLIM................................ .... A. Pemahaman Hadis-Hadis tentang Pemberlakuan Hukum bagi non Muslim.............................................................. 1. Hudûd.......................................................................................... 2. Pelaksanaan Qishâsh dan Diyat......................................... ......... a. Qishâsh antara Muslim dengan non-Muslim................. ............. b. Ukuran Diyat karena Membunuh non Muslim………............... 3. Sumpah dan Saksi non Muslim.......................................... ......... 4. Penghinaan dan Gangguan non Muslim terhadap Nabi Muhammad saw.......................................... ........ 5. Pemberlakuan Al-Jizyah..................................................... ......... a. Hak Memilih Agama versus al-Jizyah........................................ b. Imbalan Membayar al-Jizyah bagi non Muslim.............. ........... B. Pemahaman Hadis-hadis tentang Perang dan Damai Dengan non Muslim........................................................................ 1. Perintah tentang Perang................................................................ a. Perang versus Hak Memilih Agama............................................. 2. Aturan-Aturan dalam Perang........................................................ a. Larangan Membunuh Personil Tertentu dan Merusak Fasilitas…………………………………................... b. Tawanan dan Mata-mata non Muslim.......................................... c. Bantuan dari non Muslim............................................................. 3. Pengeluaran non Muslim dari Jazirah Arab................................. PENUTUP....................................................................................... A. Kesimpulan................................................................................. B. Rekomendasi............................................................................... DAFTAR PUSTAKA..................................................................... LAMPIRAN: I. Gambar Peta Jazirah Arab di Masa Nabi Muhammad saw. dan Timur Tengah Modern……………………………………….. II. Gambar Peta Daerah Hijâz..........................................................
80 80 93 102 113 114 116 124 133 139 147 156 161 161 161 171 171 184 189 198 201 206 211 218 218 222 230 230 242 251 259 269 269 273 275-287 I III
xxiii III. Ringkasan Hadis tentang Hubungan Muslim dengan non Muslim Yang Dicantumkan Secara Lengkap dalam Teks Disertasi Maupun Catatan Kaki……………………………………………………. IV BIODDATA PENULIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antara umat manusia merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Baik itu terjalin secara individu maupun antara komunitas satu dengan lainnya. Tidak terkecuali hubungan pemeluk agama tertentu dengan pemeluk agama lainnya. Persoalan yang tetap ramai dibicarakan sampai sekarang, sekalipun merupakan bagian dari masalah klasik adalah hubungan kaum Muslim dengan non Muslim. Bahkan boleh jadi akan terus bergulir sebagai isu menarik bagi pemerhati hubungan kedua komunitas tersebut, secara spesifik bagi agamawan. Sebab tidak jarang melalui hubungan tersebut, muncul beragam konflik antara Muslim dengan non Muslim. Bahkan di era modern, konflik dimaksud juga pernah melanda Bosnia, Sudan, Armenia atau Azerbaijan.1 Bagi seorang Muslim, Rasullullah saw. adalah patron untuk diteladani sepak terjangnya (QS. al-Ahzâb:21), karena tingkah lakunya merupakan manifestasi hidup dari al-Qur’an.2 Namun mencontohi dan meneladani Rasul saw. dalam kaitan hidup berdampingan dengan non Muslim tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Pasalnya, di masa Nabi Muhammad saw., hubungan antara Muslim dengan non Muslim kerap kali melahirkan konflik. Sejarah telah memaparkan pada kita tentang hubungan kedua komunitas tersebut, yang mengalami pasang surut. Hubungan mereka telah melewati masa-masa perdamaian dan pertikaian atau konflik.3 Baik itu antara kaum Muslim dengan kafir Quraisy (musyrik), atau antara Muslim dengan Yahudi maupun Kristen yang sebelumnya cenderung hidup rukun dan damai. Pertikaian maupun konflik
1
h. 40.
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997),
2
Abû Husein Muslim bin Hajjâj al-Qusyairî (w. 261 H), Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), Kitâb Shalât al-Musâfirîn wa Qashrihâ, bâb Jâmi` al-Shalat al-Lail, jilid I, h. 331 (746). 3 Alwi Shihab, Islam Inklusif, h. 124; Fathimah Usman, Wahdat al-Adyân Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 76-77, 81-82.
1
2
dimaksud, misalnya berupa perang yang terjadi antara komunitas Muslim dengan non Muslim yang berlangsung selama masa tersebut. Bahkan bila ditilik lebih jauh, 11 tahun terakhir dari misi Rasulullah saw. di Madinah, hanya di tahun 10 H yang tidak terjadi perang di dalamnya.4 Konflik yang terjadi berujung pada pengusiran komunitas musyrik dan Yahudi dari Mekkah dan Madinah, dan akhirnya keinginan untuk mengusir mereka dari Jazirah Arab.5 Dalam menjelaskan fenomena di atas, sementara agamawan seperti Munawir Syadzali, melihat hal tersebut terjadi karena adanya penghianatan non Muslim, misalnya Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum Muslim, yang dikenal dengan piagam Madinah dalam terminologi modern.6 Akibat penghianatan tersebut, kaum Muslim yang awalnya hidup rukun berubah menjadi sangat eksklusif, hilang semangat toleransi terhadap umat agama lain.7 Penghianatan yang sama juga dilakukan musyrik Quraisy, dengan melanggar perjanjian Hudaibiyah (6 H) sebagai embrio bagi pembukaan kota Mekkah (8 H) oleh kaum Muslim.8 Tentu berbagai konflik dan permasalahan hubungan Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw. masih menyisakan pertanyaan besar bagi sementara orang,
4
Tahun ke 1 sampai 9 H, praktis terjadi kontak senjata antara Muslim dengan non Muslim, baik itu dengan musyrik maupun komunitas ahl al-kitâb. Perang tersebut di antaranya: ghazwah `Usyairah (1 H), Badar (2 H), Uhud (3 H), perang bani Nadhîr (4 H), Khandaq/Ahzab dan perang bani Quraizhah di tahun 5 H, perang bani Musthaliq (6 H), Khaibar (7 H), Hunain dan Thâ’if (8 H) serta Sariyya Thayyi dan Tâbuk di tahun 9 H. Keterangan saling melengkapi, lihat: Muhammad `Abd Mâlik Ibn Hisyâm al-Ma`âfirî (w. 218 H), al-Sîrah al-Nabawiyah, diedit oleh Jamâl Tsabit dkk (Cairo: Dâr alHadis, 2004), juz II, h. 445, 451, juz III, h. 17, 131, 153, 167, 221, 245, juz IV, h. 339, 370, 397 ; `Izz al-Dîn; `Ali bin Muhammad al-Syaibâni Ibn al-Atsîr (w. 630 H), al-Kâmil fî al-Târîkh, (Beirut: Dâr alShâdr, 1979), jilid II, h. 112, 116, 148, 173, 178, 192, 216, 261, 266, 276, 285. Penulis tidak menghitung tahun 11 H, sebab tahun tersebut praktis tidak ada perang, karena Nabi saw. wafat di tri wulan pertama tahun 11 H, yaitu 12 Rabî` al-Awwal. 5 Muhammad bin Ismâ`îl al-Bukhârî (194-256 H), Shahîh al-Bukhârî bî Hâsyiah al-Sindi, Kitâb al-Jizyah wa al-Muwâda`ah, bâb Ikhrâj al-Yahûd min Jazîrah al-`Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr; 1994), juz II, h. 233 (no. 3167 dan 3168). 6 Piagam Madinah adalah term modern sebagaimana pernyataan Munawir Sjadzali di atas. Tapi naskah perjanjian itu ada dalam kitab sejarah Klasik. Lihat: Ibn Hisyâm, al-Sîrah…, juz II, h. 368-370. 7 Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, HAM dan Agama-Agama (Jakarta: MUI, 1996), h. 27-28. 8 Ibn Hisyâm, al-Sîrah…, juz III, h. 229, 237-239; juz IV, h. 300-307. Lihat Bab V. A. 5.
3
termasuk non Muslim. Sebab ayat al-Qur’an menunjukkan kalau Nabi saw. sebagai rahmatan li al-`âlamîn (QS. Al-Anbiyâ:107). Sementara itu, bila ayat-ayat semakna diinterpretasikan melalui hadis Nabi saw., terkait dengan hubungan Muslim dengan non Muslim di masa itu,9 maka dijumpai pula hadis-hadis Nabi saw. secara tekstual mengindikasikan
kondisi
yang
berseberangan.
Selain
hadis-hadis
tersebut
menunjukkan ke arah damai dan konflik seperti telah disebutkan, juga terdapat kebijakan yang terkesan diskriminatif terhadap non Muslim di masa itu. Di antara hubungan kedua komunitas di atas yang dapat dianggap harmonis dalam hadis, seperti penghormatan Rasul saw. kepada jenazah Yahudi,10 jaminan keamanan pada kaum dzimmî, memberlakukan hudûd bagi mereka sesuai dengan agama yang dianutnya.11 Di saat yang sama, terjadi pula hubungan disharmoni Muslim dengan non Muslim dalam hadis, seperti nampak pada hukuman murtad,12 menjawab salam serta larangan memulai mengucapkan salam,13pembunuhan terhadap personil non Muslim, pemberlakuan al-jizyah, dan perintah untuk memerangi dan mengusir komunitas non Muslim dari Jazirah Arab.14 Dalam mengamati dua kondisi yang berlainan tersebut di atas, ulama beraliran klasik seperti al-Qurthubî (w. 671 H) cenderung memahami melalui beberapa ayat alQur’ân (misalnya: QS. Al-Baqarah:190, 193; al-Nisâ’:76; al-Anfâl:39; al-Taubah:5, 12, 29, 36, dan 122) sebagai landasan memerangi non Muslim, khususnya musyrik, merupakan keputusan final. Karena hadis maupun ayat landasan tersebut dianggap membatalkan (nâsikh) ayat terkait tidak ada paksaan dalam memilih agama.
9
`Umar Hâsyim dalam bukunya memuat data-data tentang konflik antara Muslim dengan non Muslim, khususnya Kristen, semenjak masa Nabi saw., sampai memasuki abad 20. Lihat: `Umar Hâsyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Kerukunan Antar Agama (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979). 10 Lihat bahasan Bab IV. sub bab B. 11 Lihat bahasan Bab V. sub bab A. 12 Lihat bahasan Bab III. sub bab A dan B. 13 Lihat bahasan Bab IV. sub bab B. 14 Lihat bahasan Bab V. sub bab A dan B.
4
(QS. al-Baqarah:256) atau yang berisi da`wah dengan lembut (QS. al-Baqarah:83) dihapus oleh ayat saif sehingga tersisa bagi non Muslim, kuhsusnya musyrik adalah masuk Islam atau diperangi.15 Atau pemahaman mereka juga melalui interpretasi hadis secara sepihak, misalnya mengecualikan komunitas non Muslim tertentu seperti ahl al-kitâb (Yahudi dan Kristen) dari perang. Dengan alasan komunitas tersebut telah membayar al-jizyah. Adapun komunitas non Muslim yang musyrik, tidak diberi pilihan karena mereka harus diperangi, sebab al-jizyah tidak berlaku untuk musyrik manapun.16 Diakui dalam menerapkan al-jizyah terhadap komunitas musyrik, memang ada perbedaan pendapat di antara fuqahâ’. Namun tidak satupun yang mengindikasikan bahwa al-jizyah dibolehkan bagi kaum musyrik dari komunitas Arab
seperti
akan
dikaji
lebih
detail
di
Bab
V.
Pendapat ulama semacam di atas, ternyata tidak berhenti sampai di sini. Namun merambah ke beberapa aspek hubungan yang terkait antara Muslim dengan non Muslim. Sebagian mereka mencetuskan larangan mengucapkan salam pada non Muslim manapun, larangan bagi non Muslim masuk masjid manapun, tidak dieksekusinya Muslim yang membunuh non Muslim berstatus mu`âhad di bawah perlindungan Islam, serta konsensus fuqahâ’ mengenai dieksekusinya pelaku murtad.17 Pemahaman sebagian ulama terhadap berbagai masalah tersebut, mengindikasikan ada penilaian yang tidak berimbang pada komunitas non Muslim.
15
Abû `Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî (w. 671 H), Tafsir al-Qurthubî, (Cairo: Dâr al-Sya`ab, 1372 H), juz II, h. 17, 71, 280, juz III, h. 36. Lihat pula pengakuan adanya nâsîkhmansûkh pada ayat-ayat tersebut maupun hadis semakna dalam: Abû Muhammad `Ali bin Ahmad bin Hazam (w. 456 H), Ma`rifah al-Nâsîkh wa al-Mansûkh, tercetak dipinggir Tafsîr Jalâlain, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 166, 168-169, 172-173; Ahmad bin `Ali; Ibn Hajar al-Asqalânî (773-852 H), Fath alBârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), juz I, h. 109. 16 al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, juz VIII, h. 110-111; Ibn Hajar, Fath…, juz VI, h. 393; Abû Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Dîn al-Nawawî (w. 676 H), Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2000), jilid VI, vol XII, h. 33. 17 Keterangan saling melengkapi, lihat: al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, juz II, h. 247, juz III, h.47, juz VIII, h. 104-105; al-Nawawî, Syarh al-Nawawî, jilid VI, vol. XII, h. 164, jilid VII, vol. XIV, h.121-122; Ibn Hajar, Fath…, juz XIV, h. 268, 259. Polemik tentang hal di atas akan dikaji tersendiri di Bab III. sub bab A dan B, Bab IV. sub bab B, dan Bab V sub bab A.
5
Bahkan dalam kasus seperti al-jizyah di atas, mereka cenderung memarjinalkan komunitas musyrik dari pada ahl al-kitâb. Pada saat yang sama, mereka memberlakukan secara general larangan kawin dan waris beda agama pada semua komunitas non Muslim, yang musyrik maupun ahl al-kitâb.18 Pemahaman ulama terkait dengan beberapa hal tersebut di atas, menjelaskan bahwa sebagian di antara mereka menjadikan teks hadis tertentu sebagai pembatalan terhadap teks hadis lainnya, serta memahaminya secara general. Ironisnya, beberapa pemahaman tersebut menjadi ‘senjata’ bagi sebagian kaum Muslim dewasa ini bersikap radikal dalam menyikapi hidup berdampingan dengan non Muslim. Teksteks keagamaan dijadikan sebagai ‘penguasa kebenaran’19 terhadap tindakan yang merugikan masyarakat, dengan melakukan pengeboman fasilitas umum contohnya di Bali (2001 dan 2003) Sementara itu, sebagian sarjana Islam seperti Tim Fiqih Lintas Agama, menilai pemahaman ulama di atas sebagai bentuk pemarjinalan terhadap non Muslim. Baik itu melalui konsep ahl al-dzimmah maupun al-jizyah. Sebagai reaksi dari pemahaman tersebut, mereka berusaha memahami beragam permasalahan di atas dan coba merefleksikan dalam konteks sekarang. Berikutnya, pemahaman mereka dinilai berseberangan dengan yang mengikuti pendapat ulama beraliran klasik tersebut. Interpretasi dan solusi dari tim penulis dimaksud dianggap cukup kontroversial, hal tersebut dapat dilihat melalui pernyataan mereka tentang bolehnya kawin dan waris beda agama, Muslim diizinkan meminta doa dari non Muslim, mengucapkan salam dan selamat hari besar pada non Muslim tidak terlarang, serta penghapusan konsep pembayaran al-jizyah karena bukan dari ajaran Islam.20 Pendapat senada juga 18
Lihat: al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, juz III, h. 67, 72, juz VI, h. 79; al-Nawawî, Syarh alNawawî, jilid VI, vol. XI, h. 44; Muhammad bin Ahmad bin Abî Sahal al-Sarakhsî (w. 490 H), alMabsûth, (Beirut; Dâr al-Fikr, 1406 H), juz XXX, h. 30. Lihat bahasannya di Bab IV sub bab A. 19 Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2005), h. 134. 20 Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama, h. 78. 89, 145, 150, 153, 165. Argumentasi mereka akan dikaji dan dianalisa lebih lanjut di Bab IV sub bab A dan B, serta Bab V sub bab A.
6
sebelumnya telah dicetuskan oleh Sachedina dalam memahami konsep eksekusi pelaku murtad dan al-jizyah. Bahkan Sachedina mengakui bahwa sebagian pemahaman ulama dahulu, berbekas dan pengaruhnya masih dirasakan sebagian komunitas non Muslim dewasa kini.21 Di lain pihak, sebagian penulis Barat diantaranya Humprey Prideux melalui bukunya Mahomet: The True nature of Imposture (terbit 1697 M), George Sale dan lainnya, menilai apa yang dipraktekkan oleh Nabi saw. terkait dengan non Muslim di masanya merupakan bentuk pemaksaan, agar komunitas non Muslim beralih menjadi Muslim. Stigma ini kemudian berkembang menjadi preseden buruk di Barat bahwa Islam adalah agama ‘pedang’.22 Tuduhan yang serupa juga ditujukan oleh Katolik setia bernama Thomas Aquinas pada Nabi saw. dalam praktek da’wahnya.23 Fenomena yang ada, belum ditambah dengan anggapan bahwa kerukunan yang didengung-dengungkan Islam selama ini, hanya terbatas pada periode Mekkah, karena umat Islam kala itu masih lemah. Sehingga wajar bila tawaran hidup berdampingan muncul dari Islam.24 Di Madinah tidak demikian karena kaum Muslim telah menjadi komunitas yang cukup kuat. Walaupun pada akhirnya dibuktikan kekeliruan tentang asumsi tersebut melalui pengkajian yang obyektif seperti diakui Armstrong. Namun untuk mengikis habis pemahaman semacam itu tidaklah mudah. Sebab masih menurut Armstrong, selama berabad-abad Nabi saw. di Barat identik sebagai 21
lawan
dari
semangat
agama
dan
sebagai
musuh
peradaban.25
`Abd `Azîz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (USA: Oxford University Press, 2001), h. 64, 90, 98-101. Lebih lanjut lihat Bab III. sub bab A dan B, Bab V sub bab A. 22 Karen Armstrong, Muhammad A Biography of the Prophet, (London: Victor Gollancz, Cassel Group, Wellington House, 1995), h. 24-26, 36-38, 164. Armstrong juga menyatakan bahwa sebab penilaian sebagian penulis Barat terhadap Nabi saw. seperti gambaran di atas, juga disebabkan isu sekitar perang Salib. 23 Sebagaimana dikutip oleh: William E. Phipps, Muhammad and Yesus: A Comparasion of The Prophet and Their Teachings, terjemahan oleh Ilyas Hasan dengan judul, Muhammad dan `Îsâ: Telaah Kritis atas Risalah dan Sosoknya, (Bandung: Mizan, 1998), h. 20. 24 Sebagaimana dikutip oleh:`Umar Hâsyim, Toleransi…, h. 235. 25 Karena Armstrong, Muhammad A Biography of the Prophet, h. 25, 43-44. Lebih detail lihat di h. 21-44.
7
Uraian mengenai model pemahaman di atas, menjelaskan terdapat tiga cara memahami hubungan Muslim dengan non Muslim yang terdapat dalam teks-teks agama (al-Qur’an dan hadis) dan peristiwa di masa Nabi sebagai berikut. Pertama, pemahaman terhadap teks yang kontradiktif tentang hubungan Muslim dengan non Muslim, terkesan tidak mengkonfirmasikan teks-teks dengan konteks ketika itu. Kalaupun terdapat konteks di belakang terjadinya peristiwa yang kontradiktif tersebut, teks-teks yang justeru memperlihatkan praktek baik Nabi saw. terhadap komunitas non Muslim dianggap batal dengan teks-teks yang cenderung terlihat diskriminatif terhadap non Muslim, seperti dalam kasus perang dan al-jizyah, karena telah terjadi nâsikh-mansûkh. Kedua, pemahaman teks-teks agama berusaha melihat konteks atau latar belakangnya, tapi pemahaman tersebut lebih berdasarkan pertimbangan logika dari pada konteks peristiwa di masa Nabi saw. sehingga muncul misalnya pendapat tentang kebolehan kawin beda agama secara general. Ketiga, pemahaman tentang hubungan Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw., tidak jarang muncul penilaian sepihak bahwa Islam di masa tersebut disebarkan dengan kekerasan sebagaimana telah dikemukakan. Kemungkinan ini disebabkan informasi yang ada sangat terbatas, maka fakta yang ada hanya sebagai peristiwa yang berdiri sendiri tanpa ada keterangan atau penjelasan lanjutan yang bersifat komprehensif. Karena uraian di atas sangat terkait dengan hubungan Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw., maka hadis akan menjadi topik sentral untuk melihat beragam kejadian di masa itu. Dalam kaitan ini, sekalipun hadis bersumber dari Allah dilihat dari aspek kandungannya (QS. al-Najm:3-4), secara detail nampak perbedaan signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Perbedaan tersebut, bukan hanya lafazh alQur’an dan kandungannya berasal dari Allah swt (QS. al-Hijr:9), atau karena alQur’an diriwayatkan secara mutawatir sedangkan hadis umumnya secara ahad.26 26
Perbedaan tersebut, biasanya ulama hadis menyebutkan saat membedakan al-Qur’an dan hadis qudsî. Namun dapat juga disebutkan sebagai perbedaan al-Qur’an dan hadis secara umum, karena antara hadis qudsi dan hadis nabawi keduanya juga berasal dari Allah (QS: al-Najam; 3-4), lihat
8
Namun latar belakang proses transmisi hadis yang umumnya bersifat ahad tersebut, menyisakan pertanyaan terkait seputar orisinalitas hadis-hadis tentang hubungan Muslim dengan non Muslim secara khusus. Sebab, selain tidak semua hadis ditulis di masa Nabi saw., proses pengumpulannya secara masal juga terjadi hampir 1 abad setelah Rasulullah saw. wafat.27 Berarti hadis terkait hubungan kedua komunitas ini juga tidak luput dari kritikan, apalagi terdapat sebagian riwayat terkait dengan hubungan tersebut terkesan kontradiktif, padahal sama-sama berstatus shâhîh misalnya, atau salah satunya berstatus hasan. Namun yang disebut kedua memiliki informasi lain bagi hadis yang dinilai shahîh. Atau hadis yang shahîh bahkan lemah diperkuat oleh fakta historis, sehingga pemahaman melalui kedua hadis tersebut jauh lebih komplit ketimbang dengan memahami satu hadis yang berstatus shahîh, misalnya hadis tentang pemberlakuan al-jizyah pada Kristen Najrân secara kolektif, seperti akan di bahas di Bab III dan V. Uraian mengenai beberapa pemahaman di atas, juga menyisakan satu hal yaitu proses periwayatan hadis telah melalui riwâyah bi al-ma’na.28 Periwayatan dengan cara tersebut, menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap redaksi matan yang sama. Fenomena ini bisa dilihat dalam polemik fuqahâ’ tentang hadis tidak
Muhammad `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadits `Ulûmuhu wa Mushthalahahu (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 30. Selain itu, ulama hadis juga menyebutkan beberapa perbedaan al-Qur’an dan hadis, di antaranya: (1) al-Qur’an sebagai mu`jizat yang kekal, terjaga dari perubahan sedangkan hadis tidak; (2) haram meriwayatkan al-Qur’an dengan makna sedangkan hadis dapat diriwayatkan secara makna; (3) membaca al-Qur’an adalah ibadah, dengan setiap huruf 10 kebaikan; (4) tidak boleh menyentuh alQur’an bagi yang berhadats kecil dan tidak boleh membaca bagi yang junub dan semisalnya; (5) alQur’an dibaca dalam shalat sedangkan hadis tidak. Lihat: Muhammad bin `Alwi al-Mâlikî (w. 2004 M), al-Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadits al-Syarîf (Jeddah: Sahar, cet IV, 1402 H), h. 53-55; Nuruddin `Itr, Manhaj Naqad fî `Ulûm al-Hadîts, (Suria: Dâr al-Fikr, 1997), h. 324-325. 27 Keterangan saling melengkapi, lihat: Muhammad bin Ja`far al-Kattânî (w. 1345 H), Risâlah Mustathrafah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995), h. 9; `Ajjâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabl alTadwîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 301, 332; Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 100-104. 28 Riwâyah bi al-ma`na adalah perawi menyampaikan suatu hadis dengan menggunakan lafazh yang berasal darinya. Lihat: `Abd Razzâq bin Khalifah al-Syayijî dan Muhammad al-Sayyid Nuh, Manâhij al-Muhadditsîn fî Riwâyah al-Hadîts bi al-Ma`na (Beirut: Dâr Ibn Hazm, cet I, 1998), h. 6.
9
dieksekusi Muslim yang membunuh non Muslim berstatus mu`âhad, yang akan dikaji lebih detail di Bab V. Berikutnya yang terpenting, hadis biasanya memaparkan fakta (praktek) yang dilakukan oleh Rasul saw secara langsung dan detail, misalnya shalat sebagai salah satu contohnya. Dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk mendirikan shalat (misalnya QS. al-Baqarah:43; al-Isrâ:78; Thâhâ:14), tanpa memberikan rincian secara detail tentang waktu dan tata cara mengerjakannya.29 Hal ini baru dapat diketahui melalui hadis Rasul saw.30 Walaupun hadis lebih merinci suatu peristiwa ketimbang al-Qur’an yang biasanya lebih bersifat ringkas, dan karenanya jauh lebih singkat pesan-pesan ayatnya dibanding dengan hadis yang selain bersifat teoritis, juga lebih detail. Tapi, tidak jarang karena rincinya hadis tersebut terkadang menimbulkan beragam interpretasi ketika melihat beberapa hal yang terkesan kontradiktif. Sebagai contoh, terdapat beberapa versi mengenai penjelasan Rasul saw terhadap sahabatnya tentang amalan apa yang paling utama, atau disukai Allah swt.31 Penjelasan Rasul saw tentang versi-versi ini masih dapat dikompromikan dengan memahami kalau 29
Walaupun demikian dalam al-Qur’an juga ada penjelasan yang rinci mengenai masalah tertentu, namun prosentasenya kecil, misalnya tentang warisan (QS. al-Nisâ’:7-12, dan 176). 30 Tentang waktu shalat, misalnya yang diriwayatkan oleh: Muslim, Shahîh…, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi`û al-Shalât, bâb Awqât al-Shalawât al-Khams, jilid, I, h. 273 (no. 612). Tata cara mengerjakan shalat diriwayatkan oleh: al-Bukhârî, Shahîh…, Kitâb al-Adzân, bâb Wujûb al-Qirâ’ah al-Imâm…, juz I, h. 170 (no. 757), hadis ini terulang di beberapa tempat. Hadis tentang waktu shalat dan tata cara mengerjakannya juga diriwayatkan oleh pengarang kutub al-sittah. Lihat AJ. Wensinck, al-Mu`jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Hadits al-Nabawi, (Leiden: E. J. Briil), jilid III (1955), h. 153 (lafad syafaq); jilid IV (1962), h. 28 (lafad ithma’anna). 31 Versi-versi tersebut menyebutkan bahwa amalan yang paling utama/disukai yaitu: (1) shalat pada waktunya; (2) amalan yang dikerjakan secara kontinyu sekalipun prosentasenya kecil; (3) beriman pada Allah swt; (4) orang yang membaca al-Qur’an dari awal hingga akhir kemudian diulangi lagi dan (5) berpuasa. Lihat: Al-Bukhârî, Shahîh…, Kitâb al-Îmân, bâb man Qâla inna al-Îmân huwa al-`Amal, juz I, h. 14 (no. 26), Kitâb Mawâqît al-Shalât, bâb Fadhl al-Shalât li Waqtihâ, h. 125 (no. 527), Kitâb al-Tahajjud, bâb man Nâma `inda al-Sahar, h. 245 (no. 1132); Muslim, Shahîh…, Kitâb al-Îmân, bâb Bâyân al-Kaun al-Îmân bi Allah…, jilid I, h. 57 (no. 83, 84, 85), Kitâb al-Shalât alMusâfirîn wa Qashrihâ, bâb Fadhîlah al-`Amal al-Dâim…, h. 348 (no. 782, 783); Muhammad bin `Îsa al-Turmudzî (w. 279 H), Sunan al-Turmudzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), Kitâb al-Qiraât, bâb mâ Jâa Unzila al-Qur’ân…, juz IV, h. 437 (no. 2957); Ahmad bin Syu`aib al-Nasâ’î (w. 303 H), Sunan alMujtabâ al-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), Kitâb al-Shiyâm, Dzikr Ikhtilâf `alâ Muhammad bin Abî Ya`qûb…, jilid II, vol. IV, h. 168-169 (no. 2218).
10
penjelasan yang berbeda tersebut, dapat diibaratkan Nabi saw. seperti dokter yang memberikan obat pada pasien sesuai dengan penyakitnya. Namun bila penjelasan tersebut terkesan demikian kontradiktif, baik itu antara hadis sendiri maupun dengan konsep dasar Islam yang menjadikan penyebab diutusnya Rasul saw. sebagai rahman li al-âlamîn, maka menurut penulis dalam hal ini, tentu memiliki konteks tersendiri baik secara parsial maupun konteks global ketika itu. Seperti bantuan perang dari non Muslim diterima oleh Nabi saw., dan di saat yang sama bantuan tersebut dari mereka juga ditolak, serta memerangi dan mengeluarkan non Muslim dari Jazirah Arab sebagaimana telah disinyalir. Berdasarkan point-point yang telah dikemukakan, diketahui bahwa untuk memahami secara tepat dan komprehensif contoh konkrit hidup berdampingan dengan non Muslim sebagaimana yang pernah Rasul saw. praktekkan, maka hubungan Muslim dengan non Muslim dalam perspektif hadis adalah persoalan yang cukup penting dan menarik untuk diteliti dengan melihat konteks hubungan kedua komunitas tersebut di masa Nabi saw. secara spesifik maupun general. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah terungkap bahwa hubungan Muslim dengan non Muslim dalam hadis Nabi saw. perlu dipahami lebih teliti, sehingga dapat membuahkan interpretasi yang tepat terhadap berbagai masalah saat itu antara Muslim dengan non Muslim. Karena itu, penelitian ini berusaha memusatkan perhatian pada masalah pokok mengenai bagaimana hubungan Muslim dengan non Muslim yang pernah dipraktekkan oleh Nabi saw. seperti yang tertera dalam hadis, dan bagaimana memahami hadis-hadis tersebut berdasarkan teks hadis maupun konteks yang mengiringi hadis-hadis dimaksud. Bila dirumuskan masalah utama tersebut dalam sub-sub masalah, maka dapat dibagi sebagai berikut: 1. Bagaimanakah nilai keorisinilan hadis-hadis tentang hubungan Muslim
11
dengan non Muslim ditinjau dari aspek sanad dan komparatif matan terkait dengan kajian ilmu hadis dan konteks hadis-hadis tersebut disabdakan? 2. Apakah hadis-hadis yang terkesan memarjinalkan non Muslim merupakan
sebuah keputusan general dari Nabi saw. terhadap mereka, dan tidak memiliki konteks tertentu ? 3. Serta bagaimanakah tinjauan dalam memahami hadis-hadis tersebut dilihat
dari aspek tekstual maupun kontekstual, yang dapat dirinci lagi menjadi sub bab berikut: a. Bagaimana titik temu antara pemahaman tekstual hadis tentang hubungan Muslim dengan non Muslim yang terkesan kontradiktif dengan hadis lain, melalui pemahaman kontekstual hadis di masa Nabi saw. ? b. Bagaimana memahami hadis-hadis tersebut secara kontekstual pada masa sekarang, dengan melihat konteks hadis ketika disabdakan ? Sebab hadis dari aspek penyandaran kepada pengucapnya, dapat dinisbahkan selain pada Nabi saw. yang disebut hadis marfû` , juga pada sahabat yang dikenal dengan hadis mauqûf atau tâbi`în yaitu hadis maqthû`,32 maka hadis dalam hubungan Muslim dengan non Muslim yang dimaksud dalam studi ini adalah hadis yang marfû`. Sekalipun hadis tersebut dha`îf misalnya, namun disandarkan pada Nabi saw., atau terdapat indikator yang kuat bahwa suatu peristiwa terjadi di masa itu, juga termasuk dalam ruang lingkup kajian ini. Peristiwa dimaksud dapat dimasukkan sebagai hadis marfû` bila diakui oleh Nabi saw. atau tidak diingkari olehnya (taqrîr).33 Keberadaan hadis mauqûf dari sahabat misalnya, berfungsi sebagai 32
Lihat: Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar, dita`liq oleh Ishâq `Azûr (Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990), h. 54; Abû al-Khair Muhammad bin `Abd Rahmân alSakhâwî (w. 902 H), Fath al-Mughîts bi Syarh al-Fiyah al-Hadîts, diedit oleh `Abd Karîm al-Khudair dan Muhammad bin `Abdullah al-Fuhaid (Riyâdh: Maktabah Dâr al-Minhâj, 1426 H), jilid I, h. 178, 187, 191. 33 Ulama hadis sepakat bila suatu perkataan, peristiwa atau amalan tertentu dan sebagainya, sekalipun tidak secara eksplisit disandarkan pada Nabi saw., namun terdapat indikator yang kuat bahwa hal itu terjadi di masa Nabi saw. dan tidak ada keterangan pengingkaran darinya, maka hal
12
timbangan dalam mengiterpretasikan hadis Nabi saw. dalam disertasi ini. Definisi hadis dalam studi ini sebagaimana pengertian muhaddîtsîn yang menyamakan hadis dengan sunnah atau sinonim lainnya, yaitu segala bentuk perkataan, perbuatan, taqrîr maupun keadaan Nabi saw. yang berdampak hukum maupun tidak disebut hadis.34 Sementara hubungan Muslim dengan non Muslim cakupannya sangat luas, maka dari aspek matan, studi ini akan dibatasi pada permasalahan tindakan murtad, praktek ibadah non Muslim, interaksi sosial misalnya secara khusus seperti perkawinan maupun secara umum seperti jual-beli dan doa bagi mereka, maupun tentang pemberlakuan hukuman serta perang dan damai dengan non Muslim dalam hadis. Itu juga berarti kajian ini dari aspek waktu dibatasi pada masa Nabi saw. Karena di masa Nabi saw., komunitas non Muslim juga beragam, maka non Muslim yang menjadi obyek dalam studi hubungan Muslim dengan mereka dalam hadis ini, mencakup kaum musyrik dan Yahudi, Kristen dan juga Majûsi. Komunitas penganut agama Shabi’ûn tidak termasuk dalam kajian ini. Hal ini disebabkan ketika Islam muncul di Mekkah dan berkembang di Madinah, hubungan yang intensif terjadi antara Muslim dengan musyrik maupun Yahudi. Demikian pula hubungan Muslim dengan kaum Kristiani, namun tidak sebagaimana dua komunitas tersebut. Adapun hubungan antara Muslim dengan penganut Majûsi dapat dinyatakan sangat jarang. Terhadap komunitas Shabi’ûn, penulis tidak memperoleh data tentang hubungan mereka dengan Muslim di masa Nabi saw. Beragam agama tersebut akan dikemukakan sepintas di Bab II tentang penggunaan dan cakupan ahl al-kitâb. tersebut digolongkan sebagai hadis marfû`. Sebagai contoh pengetahuan sahabat tentang hal-hal ghaib dan perkataan mereka bahwa mereka dibolehkan melakukan suatu hal, maka keduanya termasuk hadis marfû`. Lihat: al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid I, h. 194, 216. Lihat detail tentang indikator marfû` maupun perbedaannya dengan mauqûf di halaman 194-237. 34 Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 4; al-Sakhawî, Fath al-Mughîts, jilid I, h. 21; `Ajjâj alKhatîb, Ushûl al-Hadits…, h. 18. Hadis menurut ulama ushûl fiqh adalah segala yang disandarkan pada Rasul saw, selain dari al-Qur’an, yang dijadikan dalil dalam hukum syar`î. Adapun hadis menurut ulama fiqh adalah setiap yang ditetapkan dari Nabi saw. tetapi bukan dalam kategori fardhu maupun wajib. Lihat: `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadits…, h. 19.
13
Sebenarnya masih ada satu komunitas agama sebelum Islam, yaitu agama al-Hanîf.35 Namun sebagaimana Shabi’ûn, komunitas Hanîf juga tidak nampak ke permukaan ketika Islam hadir. Hal ini disebabkan pemeluk agama Hanif tidak banyak, dan ketika Islam datang di antara mereka telah beralih menjadi Kristen, musyrik dan ada juga yang menjadi Muslim.36 Penganut agama Hanîf dapat dinyatakan tidak memiliki komunitas
tertentu
ketika
Nabi
saw.
datang
membawa
risâlah
Islam.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Pada dasarnya tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh fakta yang detail dan komperhensif dalam hadis, tentang hubungan Muslim dengan non Muslim yang pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Agar mencapai maksud tersebut, maka secara rinci penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui hadis-hadis tentang hubungan Muslim dengan non Muslim sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab hadis mu`tabarah (populer). 2. Untuk mempelajari dan mengetahui keorisinilan hadis-hadis tentang 35
Kata al-hanîf awalnya berarti lurus, kemudian dinisbahkan pada sikap cenderung terhadap yang lurus. Sebab itu, al-hanîf atau al-hanf diartikan dengan berpaling dari kesesatan atau kejahatan menuju pada yang lurus dan kebaikan. Secara terminologi, al-hanîf merupakan sikap lurus seseorang dalam memegang ajaran Ibrahim as yang hidup sebelum Islam, dengan tidak melakukan praktik kemusyrikan. Karena itu pula, masyarakat Arab menamakan mereka yang melakukan beberapa praktik ibadah seperti haji dan berkhitan dinamakan dengan hanîf. Lihat: Râghib al-Asfihânî (w. 503 H), Mu`jam Mufradât al-Fâzh al-Qur’ân, diedit oleh Nadîm Mar`asylî (Beirut: Dâr al-Fikir, t. th), h. 133; Ahmad bin Fâris bin Zakaria; Ibn Fâris, Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, (Beirut: Dâr al-Jail, 1991), jilid II, h. 111; Ibrâhîm Unaîs dkk, Mu`jam al-Wasîth, (Cairo: tp, cet. II, t.th), juz I, h. 203-204. 36 Beberapa individu yang dianggap memeluk agama hanîf sesaat sebelum Islam, di antaranya: (1) Waraqah bin Naufal yang kemudian menjadi Kristen; (2) Abdullah bin Jahsy masuk Islam dan ikut berhijrah ke Habasyah namun beralih menjadi Kristen; (3) Utsmân bin Huwairits yang menjadi Kristen dengan dekatnya pada kaisar Romawi; (4). Zaid bin `Amar bin Nufail (wafat 5 tahun sebelum Nabi saw diutus) paman `Umar bin Khattâb, yang tetap pada agama hanîf sampai ajalnya sebelum diutusnya Rasul saw.; (5) Kalb ibn Wabrah bin Qudhâ`ah yang lebih memilih agama berhala; (6) Sharmah bin Abî Anas akhirnya memilih Islam; (7) Umayyah bin Abî Shalt seorang penyair yang berkeinginan menjadi Nabi. Ia wafat pada tahun 9 H. Keterangan saling melengkapi lihat: Ibn Hisyâm, al-Sîrah..., juz I, h. 58, 71, 163-169; Ibn al-Atsîr, al-Kâmil..., jilid II, h. 8, 46-47, 66, 107; Ibn Hajar, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Sahâbah, diedit oleh `Ali Muhammad al-Bujâwî (Beirut: Dâr al-Jail, cet. I, 1992), juz I, h. 249-251, juz II, h. 40, 613-615, juz III, h. 422-424, juz V, h. 551-553, juz VI, h. 134, 607-609, juz VII, h. 652; Jawâd `Ali, Târîkh al-`Arab Qabl al-Islâm, (Irak: Majma` al-Ilmî, 1955), juz III, h. 370-371, 375-377, 395-397.
14
hubungan Muslim dengan non Muslim, dengan mengadakan tinjauan terhadap sanad dan matan disertai melihat aspek historisnya. 3. Untuk mengetahui dan memahami aspek tekstual maupun kontekstual, secara baik dan benar terhadap hadis-hadis dimaksud. Hubungan Muslim dengan non Muslim diharapkan dapat direalisasikan dalam konteks kekinian sejalan dengan landasan rahmatan li al-âlamîn dalam al-Qur’an. Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu: 1. Secara teoritis adalah memahami hadis-hadis tentang perilaku Muslim yang hidup berdampingan dengan komunitas pemeluk agama lain, serta untuk memperkaya literatur ilmiah, teristimewa dalam kajian hadis. 2. Secara praktis, penulis berharap penelitian ini berguna bagi kepentingan toleransi dan hubungan baik antara kaum Muslim dengan non Muslim di Indonesia, khususnya di Maluku Utara. 3. Menjembatani pemahaman sementara kalangan Muslim Liberal dengan Muslim Moderat bahkan kelompok Muslim garis keras 4. Keberadaan isu-isu “miring” terhadap Islam dapat diminimalisir, khususnya bagi non Muslim. Dengan melihat fakta-fakta yang ada secara proposional. D. Penelitian Terdahulu yang Relevan 1. Kajian Teoritis Mempermasalahkan hubungan Muslim dengan non Muslim dalam perspektif hadis termasuk kajian yang penting bagi pemerhati hadis Nabi saw. secara khusus, dan untuk kepentingan pengetahuan keislaman bagi masyarakat umum. Melalui studi ini, akan terkuak hubungan yang sesungguhnya pernah dilakukan oleh Nabi saw. ketika hidup berdampingan dengan non Muslim. Hubungan dapat berarti berkaitan, bersangkutan, kontak, maupun ikatan atau
15
pertalian.37 Berarti hubungan mencakup beragam aspek kehidupan seseorang, yang ketika ia hidup akan melibatkan orang lain dalam kehidupannya. Hubungan tersebut meliputi di antaranya hubungan individual, sosial dan multiplex yaitu hubungan yang terikat oleh berbagai tipe kepentingan38 untuk hidup bersama. Karena itu, hubungan dalam studi ini juga mendekati pada obyek sosial yaitu manusia selaku perseorangan maupun salah satu dari komunitas masyarakat.39 Selaku bagian dari masyarakat, seseorang hidup bersama kelompok manusia lain, di bawah tekanan serangkaian kebutuhan dan pengaruh seperangkat kepercayaan, tujuan, tersatukan dan terlebur dalam rangkaian kesatuan kehidupan bersama.40 Namun dalam mempelajari seseorang, tentu tidaklah mudah. Sebab dalam diri seseorang, selain terdapat gejala fisik yang relatif lebih mudah untuk dipelajari, juga terdapat gejala non fisik seperti psikologi, biologi, sosiologi yang terkait dengan seseorang.41 Itu juga berarti kecenderungan seseorang ketika memutuskan sesuatu, atau mengambil kebijakan tertentu termasuk dalam kategori ini. Karena studi ini memusatkan pada hubungan Muslim dengan non Muslim dalam hadis, maka Nabi Muhammad saw. selaku bagian dari masyarakat di masanya, juga merupakan sumber hadis itu sendiri.42 Bagi seorang Muslim, Nabi saw. adalah panutan, maka gejala-gejala non fisik yang mempengaruhi seseorang ketika menetapkan suatu ketentuan, dapat saja terjadi pada Nabi saw. sebagai manusia (QS. al-Kahf:110). Pada saat yang sama, keputusannya diyakini berada dalam bimbingan 37
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 408-409. Dalam bahasa Arab, hubungan sering diterjemahkan dengan sedangkan dalam bahasa Inggris disebut relation. Lihat: Muhammad Rawwâs Qal`ajî dan Hamid Shadiq Qanîbî, Mu`jam Lughah al-Fuqahâ, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1985), h. 319; John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet. XVV, 2000), h. 475. 38 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi: edisi baru, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 374-375. 39 Deobold DE. Vandalen, Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial; Beberapa Perbedaan, dalam Jujun S. Suryasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 135. 40 Murtadha Muthahharî (w. 1978 M), Sosiety and History, terjemahan oleh M. Hashem Assagaf dengan judul, Masyarakat dan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1993), h. 15. 41 Deobold dalam Jujun, Ilmu dalam Perspektif, h. 135. 42 `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadits…, h. 19.
16
Allah swt (QS. al-Najm:3-4), karena itu Nabi saw. terjaga dari dosa dan kekeliruan terutama ketika menyampaikan risâlah.43 Walaupun ulama ada yang memandang ijtihad terjadi pada Nabi saw., dalam masalah yang tidak terdapat nash.44 Namun ijtihad tersebut selalu benar, sebab tidak mungkin Rasul saw. melakukan sesuatu yang kontradiktif dengan al-Qur’an seperti ditegaskan oleh al-Âmidî dan al-Syâtibî.45 Namun faktanya seperti telah dinyatakan di latar belakang, bahwa terdapat hadis-hadis yang terkesan kontradiktif. Hal tersebut dapat disebabkan penilaian terhadap masing-masing hadis di antara ulama berbeda, juga pemahaman terhadap matan maupun kandungannya tidak sama. Hal ini menunjukkan ada tiga hal yang akan menjadi pijakan studi ini, yaitu standar penilaian kualitas hadis, pemahaman redaksi matan dan kandungan matan yang bisa bertentangan maupun sebaliknya. a. Standar Penilaian Kualitas Hadis Para muhaddîtsîn telah menentukan hadis dari segi kualitas terbagi menjadi tiga, shahîh, hasan dan dha’îf. Jenis kedua hadis yang disebut pertama dapat diakui ulama hadis bila memenuhi lima kualifkasi yaitu: (1) semua perawinya memiliki sifat `âdil, secara umum berarti dapat dipercaya dengan ketentuan misalnya tidak melakukan dosa besar dan sedikit sekali melakukan dosa kecil; (2) semua perawi bersifat dhâbith, yaitu orang yang memiliki kapasitas intelektual yang superior; (3) sanad hadis bersambung dari perawi terakhir (mukharrij) sampai pada Nabi saw.; (4) hadis itu terhindar dari syudzûdz, kejanggalan misalnya dari ma`na maupun 43
Muthahharî, Revelation and Prophethood, terjemahan oleh Ahsin Mohammad dengan judul, Falsafah Kenabian, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), h. 11-13; Muhammad al-`Arûsî `Abd Qâdir, Af`âl al-Rasûl saw. wa Dilâlatuhâ `ala Ahkâm, (Jeddah: Dâr al-Mujtama`, cet. I, 1984), h. 24. 44 Keterangan saling melengkapi, lihat: Abû Hasan `Ali bin Muhammad al-Âmidî (w. 631 H), al-Ihkam li al-Âmidî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), jilid II, vol. IV, h. 311-316; Muhammad bin `Ali alSyaukânî, Irsyâd al-Fuhûl, diedit oleh Muhammad Sa`îd al-Badrî, (Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1992), h. 426-428; Muhammad Khudharî Biek, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Tijârah al-Kubrâ, 1962), h. 407-410. 45 Lihat: al-Âmidî, al-Ihkam li al-Âmidî, jilid II, vol. IV, h. 317; Abû Ishaq Ibrâhîm bin Mûsa alLakhmî al-Gharnâthî al-Syâthibî, (w. 790 H), al-Muwafaqât fî Ushûl al-Syarî`ah, (Beirut: Dâr alMa`rifah, t.th), juz IV, h. 21.
17
periwayatan; (5) hadis itu terhindar dari illat, seperti penyakit yang tersembunyi. Bila ditampakkan, maka hadis tersebut terlihat cacat dari aspek sanad maupun matan.46 Namun untuk hadis hasan kriteria butir no. 2 tidak demikian, sebab perawi dalam hadis hasan kapasitas intelektualnya berada di bawah perawi hadis shahîh.47 Bila hadis tersebut tidak memiliki salah satu dari 5 kriteria di atas maka disebut hadis dha`îf. Hadis dha`îf bermacam macam,48 misalnya hadis mursal, yang terputus sanadnya karena tâbi’în (generasi setelah sahabat) meriwayatkan langsung dari Nabi saw. Begitu pula dengan hadis munqathî, transmisi sanadnya terputus oleh satu orang perawi atau lebih pada tingkatan perawi mana saja.49 Adapun hadis maudhû` bukan hadis, sebab ia adalah perkataan atau lainnya dari rekayasa orang, yang disandarkan pada Rasul saw.50 Walaupun hadis yang valid (shahîh atau hasan) telah memiliki standar tertentu, namun penilaian ulama terhadapnya bisa berbeda. Misalnya sebuah hadis diriwayatkan oleh al-Turmudzî (w. 279 H), tapi al-Bukhâri (194-256 H) tidak meriwayatkannya.51 Tentu hal ini disebabkan penilaian masing-masing dari mereka terhadap sumber dalam transmisi hadis (perawi) juga berbeda-beda. Dalam kaitan ini, 46
Keterangan saling melengkapi, lihat: Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 25-28; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid I, h. 23-25, jilid II, h. 5-11, 47-69; `Itr, Manhaj Naqad, h. 242-244; `Ajjâj alKhatîb, Ushûl al-Hadîts, h. 304-305; Zain al-Dîn; `Abd Rahîm bin Husein al-Irâqî (w. 806 H), alTaqyîdh wa al-Îdhâh: Syarh Muqaddimah Ibn Shalâh, (t.tp: Dâr al-Fikr, 1981), h. 18-20; Muhammad Mahfûdzh al-Tirmasî, Manhaj Dzawi Nazhar: Syarh Manzhûmah `Ilm al-Atsar, (Beirut: Dâr alFikr,1995), h. 9. 47 Lihat: al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 43-47; Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 29; alSakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid I, h. 124-125, lihat juga h. 116-170; al-Tirmasî, Manhaj Dzawi Nazhar, h. 24-25; `Itr, Manhaj Naqad, h. 264-265; `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts, h. 332. 48 Lihat: al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 63; Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 29; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid I, h. 171-177; al-Tirmasî, Manhaj Dzawi Nazhar, h.31-32; `Itr, Manhaj Naqad, h. 286-287; `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts, h. 337. 49 Terdapat pula perbedaan ulama hadis mendefinisikan hadis mursal yang terkadang disamakan dengan hadis munqathi`, lihat: al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 70-81; Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 38-39; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid I, h. 238-239, 276, lihat juga h. 238-275, 276285; alTirmasî, Manhaj Dzawi Nazhar, h.36-38, 40; `Itr, Manhaj Naqad, h. 367-371; `Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts, h. 337-340. 50 al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 130-133; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid II, h. 98-132. 51 Lihat misalnya hadis tentang hadiah dari kisra Persia untuk Nabi saw. di Bab IV. sub bab B.
18
secara teori ulama hadis terbagi tiga kelompok: (1) mustasyaddid; (2) mutawassîth atau mu`tadil dan (3) mutasâhil.52 Term mutasyaddid adalah ulama hadis yang dianggap ketat menerapkan standar diterima sebuah hadis atau penilaian terhadap perawi. Karena itu, cacat yang ada pada suatu hadis atau seorang perawi di mata kelompok mutasyaddid, belum tentu menjadikan hadis atau perawi itu ditolak oleh kelompok mu`tadil. Bila penilaian dha`îfnya suatu hadis atau perawi berasal dari kelompok mutasyaddid, maka penilaiannya harus dikonfirmasikan dengan penilaian ulama hadis lain, khususnya kelompok mu`tadil. Sebaliknya, hadis yang dinilai shahîh oleh kelompok mutasyaddid, bisa langsung diterima. Mengingat standar keshahihan mereka begitu ketat. Antagonis dari mutasyaddid adalah kelompok mutasâhil. Kritikus hadis mutasâhil dapat menilai hadis atau perawi tertentu diterima. Padahal di saat yang sama, hadis atau perawi tersebut telah dinilai cacat oleh kelompok mu`tadil. Karena itu, suatu hadis dinilai shahîh dan perawi tertentu tsiqah oleh kritikus mutasâhil, layaknya dikonfirmasikan dengan penilaian kritikus mu`tadil. Sebaliknya, bila hadis atau perawi tertentu dinilai dha`îf oleh kritikus mutasâhil, maka penilaian mereka cenderung diterima. Mengingat standar keshahihan hadis bagi mereka begitu longgar. Berarti peniliaan kelompok mu`tadil atau mutawassith menjadi barometer di antara kritikus hadis mutasyaddid dengan mutasâhil. Di antara kritikus hadis mustasyaddid yaitu Syu`bah bin Hajjâj (w. 160 H), Yahya bin Sa`îd al-Qatthân (w. 198 H), Yahya bin Ma`în (w. 233 H), Ibn Hibbân (w. 354 H), Ibn Jauzî (w. 597 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H). Kritikus hadis dari kelompok mu`tadil di antaranya: Ibn Hanbal (w. 241 H), al-Bukhârî (194-256 H), Abû Zur’ah (w. 264 H), al-Dâraquthnî (w. 385 H), al-Nawawî (w. 676 H) dan Ibn Hajar (773-852 H). Adapun di antara 52
Lihat: al-Sakhâwî, al-Mutakallimûn fî al-Rijâl dan dalam karya Muhammad bin Ahmad alDzahabî (w. 748 H), Dzikr man Yu`tamad Qauluh fî al-Jarh wa al-Ta`dîl. Kedua kitab ini diterbitkan bersamaan dan diedit oleh `Abd Fatâh Abû Ghuddah, (Halb: Maktabah al-Nahdhah, t.th), h. 132-133, 158-159.
19
kritikus mutasâhil yaitu: al-Turmudzî (w. 279 H), al-Hâkim (w. 405 H) dan alBaihaqî (w. 458 H).53 Dalam kondisi tertentu, kritikus mu`tadil juga dapat dinilai mutasyaddid seperti kritikan al-Dzahabî (w. 748 H) terhadap para sufi,54 demikian pula kritikan Ibn `Adî (w. 360) dan al-Dâraquthnî (w. 385 H) terhadap kelompok Hanafiyyah.55 Walaupun begitu, pengelompokkan kritikus hadis di atas dapat dinilai secara umum kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Kualitas hadis dan perawi dalam studi ini, berdasarkan penilaian kritikus mu`tadil. Bila penilaian mereka terhadap hadis tertentu tidak ditemukan, maka penulis akan menilai sendiri hadis tersebut berdasarkan penilaian kritikus mu`tadil terhadap perawi yang ada dalam sanad hadis dimaksud. b.
Kosa-Kata
Matan
Hadis
Hadis terdiri dari beberapa bentuk, salah satu di antaranya adalah perkataan Nabi saw. Untuk memahami hadis, muhadditsîn telah menyusun satu disiplin ilmu yang diberi nama Gharîb al-Fâzh al-Hadîts, yaitu ilmu yang mempelajari kata-kata atau sinonim dari kata tersebut yang terdapat di dalam hadis, karena jarang digunakan atau sulit memahaminya.56 Di antara karya ulama di bidang ini57 misalnya al-Fâ’iq fî 53
Keterangan saling melengkapi tentang tiga kelompok kritikus hadis di atas beserta tokohnya dan standar penilaian mereka terhadap hadis maupun perawi, lihat: al-Dzahabî, Dzikr…, h. 158-159; al-Sakhâwî, al-Mutakallimûn…, h. 132-133; Fath al-Mughîts, jilid IV, h. 447-455; Abû al-Hasanât Muhammad `Abd Hayyi al-Laknawî (w. 1304 H), al-Raf`u wa al-Takmîl fî al-Jarh wa al-Ta`dîl, dita`lîq oleh `Abd Fatâh Abû Ghuddah, (t.tp: Maktabah al-Da`wah al-Islamiyyah, t.th), h. 130, 198 beserta foot note, h. 275-277, 284, 291, 306-307, 335; al-Ajwibah al-Fâdhilah li al-As’ilah al-`Asyrah al-Kâmilah, (Halb: Maktabah al-Nahdhah, 1984), h. 160-179; Zhafar Ahmad al-`Utsmânî alThahânawî (w. 1394 H), Qawâ’id fî `Ulûm al-Hadîts, (Halb: Maktabah al-Nahdhah, t.th), h. 180-193; `Abd Fatâh Abû Ghuddah, Ta`liqât al-Hâfilah `ala al-Ajwibah al-Fâdhilah tercetak dalam karya alLaknawî, al-Ajwibah al-Fâdhilah, h. 120-126; Ja`far Assagaf, Tesis: Metodologi Penilaian Ibnu Hajar al-`Asqalânî terhadap Rijâl al-Hadîts, (Jakarta: UIN Syahid, 2002), h. 73-74, lihat juga Tabel I di tesis tersebut, h. 77-78 yang berisi nama-nama kritikus hadis dari tiga kelompok tersebut dari abad II H sampai IX H. 54 al-Laknawî, al-Raf`u…, h. 310-319. 55 Lihat: al-Dzahabî, al-Mûqizhah fî `Ilm Mushthalah al-Hadîts, diberi catatan oleh `Abd Fatâh Abû Ghuddah (Halb: Maktabah al-Matbû`ah al-Islâmiyyah, cet. II, 1412 H), h. 83; al-Thahânawî, Qawâid Ushûl al-Hadîts, h. 189-190, 193. 56 Lihat: al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Idhâh, h. 274; Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 412; al-Tirmasî, Manhaj Dzawî al-Nazhar, h. 142; `Itr, Manhaj Naqad…,
20
Gharîb al-Hadîts karya Mahmûd bin `Umar al-Zamakhsyarî (w. 538 H)58 dan alNihâyah fî Gharîb al-Hadîts karya Majd al-Dîn Abû al-Sa`adât Mubârak bin Muhammad al-Jazrî; Ibn al-Atsîr (w. 606 H).59 Kedua kitab ini dinilai paling berharga dan lengkap dalam disiplin ilmu Gharîb al-Hadîts.60 Penjelasan tersebut dianggap penting, sebab hadis sebagai sumber hukum bersama al-Qur’an, maka pemahaman terhadap hadis harus lebih tepat dan berakibat tidak ada salah tafsir. Karya-karya dalam ilmu ini, disusun berdasarkan ma`na hadis sesuai dengan penggunaan bahasa di masa Nabi saw. seperti kata رﻳﻬﻘﺎنdari رﻫﻖyang dimaksud adalah
زﻋﻔﺮان,
seperti keterangan al-Zamakhsyarî dengan mengutip syair
Arabnya.61 Berikutnya, suatu kata terkadang memiliki beragama arti misalnya kata
ﺳﺎرﻳﺔ
dapat berarti
اﻷﺳﻄﻮاﻧﺔ
(tiang) atau ungkapan
ﺻﺒﻴﺤﺔ ﺳﺎرﻳﺔ
adalah
ﺻﺒﻴﺤﺔ ﻟﻴﻠﺔ
(penghujung malam). Dalam hadis mengenai musyrik yang diikat di Masjid, kata
h. 332. Selain itu, ada ilmu Gharîb yang terkait dengan hadis, disebut hadîts ghârîb. Bedanya, kalau ilmu Gharîb al-Fâzh melihat ma`na matan hadis, sedangkan ilmu atau hadîts gharîb dilihat dari sisi kuantitas perawinya. Misalnya suatu hadis dinilai gharîb karena hadis itu hanya diriwayatkan oleh satu orang, atau satu negeri tertentu dan sebagainya. Sebaliknya, suatu matan hanya diriwayatkan oleh perawi tertentu juga disebut hadîts gharîb. Lihat: Al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 273-274; alSakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 281-285, 412. 57 Perintis ilmu ini adalah Abû `Ubaidah; Ma`mar bin al-Mutsanna al-Tamîmî (w. 210 H) atau Abû Hasan; al-Nadhar bin Syumail al-Mâzinî (w. 204 H), lihat: al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 275; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 415-416. Lihat juga h. 417-427. 58 al-Zamakhsyarî juga dikenal sebagai mufassir dan ahli bahasa yang menganut teologi mu`tazilah bermazhab Hanafî. Lihat: al-Dzahabi, Siyar A`lâm al-Nubalâ’, diedit oleh Syua’ib alArnawuth dan Muhammad Nu`aim al-`Arqususy, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, cet. IX, 1413 H), juz XX, h. 151-156; `Abd Hayyi bin Ahmad; Ibn `Imâd al-Dimasyqî (w. 1089 H), Syadzarât al-Dzahab fî Akhbâr man Dzahab, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1998), jilid IV, h. 280-283. 59 Dikenal sebagai muhaddîts melalui karyanya tersebut dan Jâmi` al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl. Majd al-dîn Mubârak bersaudara dengan pengarang al-Kâmil fî al-Târîkh juga bergelar Ibn al-Atsîr bernama `Ali bin Muhammad. Keduanya masih mempunyai saudara bernama Nashrullah bergelar Dhiyâ’ al-Dîn. Lihat: al-Dzahabî, Siyar…, juz XXI, h. 488-491, juz XXII, h. 353-356, juz XXIII, h. 72-73; Ibn `Imâd, Syadzarât…, jilid V, h. 94-95, 242-243. Dari tiga saudara itu, agaknya lebih terkenal adalah `Ali dan al-Mubârak. Baik karya al-Mubarâk (al-Nihâyah) yang akan penulis sebut sebagai Ibn al-Atsîr II, maupun karya `Ali (al-Kâmil) disebut Ibn al-Atsîr, keduanya banyak penulis kutip di babbab berikutnya. 60 Lihat: al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 420; al-Tirmasî, Manhaj Dzawî al-Nazhar, h. 142; `Itr, Manhaj al-Naqad…, h. 334. 61 Mahmûd bin `Umar al-Zamakhsyarî, al-Fâ`iq fî Gharîb al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), jilid II, h. 94.
21
ﺳﺎرﻳﺔberarti tiang yang terdapat dalam barisan shaf shalat.62 Arti ini begitu penting, karena terkait dengan kronologis larangan musyrik masuk masjid. Demikian pula dengan kata
ﻋﺴﻴﻔﺎ
secara bahasa berarti buruh atau pekerja,63 namun dalam hadis
tentang larangan membunuh personil tertentu dalam perang, kata tersebut merujuk pada larangan membunuh orang tua, budak dan juga tawanan perang.64 Hanya saja tidak semua kata diterangkan dalam kitab Gharîb al-Hadîts, maka karya muhaddîts lainnya seperti kitab-kitab syarh juga digunakan, untuk memperoleh ma`na yang tepat terhadap hadis yang akan dikaji. c. Memahami Kandungan Matan Hadis Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang tentang keberadaan hadishadis yang terkesan kontradiktif secara teks.65 Kondisi ini berikutnya dapat melahirkan dua pemahaman terhadap kandungan matan hadis secara berbeda. Misalnya hadis tentang air yang mencapai dua qullah (sekitar 500 liter) tidak mengandung kotoran,66 kontradiktif dengan hadis yang menyatakan air itu suci, tidak ada yang membuatnya menjadi kotor (najis) kecuali air itu berubah rasa, warna, dan baunya.67 Dinilai kontradiktif karena hadis yang disebut pertama mengandung pemahaman bahwa air dua qullah suci, berubah maupun tidak bentuk airnya, rasa maupun baunya. Padahal hadis kedua mengandung pemahaman bahwa air senantiasa suci baik itu dua qullah maupun kurang darinya, selama air itu tidak berubah.
62
Majd al-Dîn Mubârak bin Muhammad; Ibn al-Atsîr II, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa Atsar, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), juz II, h. 364-365. Lihat bahasan hadisnya di Bab IV. sub bab B. 63 Ibrâhîm Anîs dkk, Mu`jam al-Wasîth, (Cairo: tp, t.th, cet II), juz II, h. 601. 64 al-Zamahsyarî, al-Fâ’iq…, jilid II, h. 429; Ibn al-Atsîr II, al-Nihâyah…, juz III, h. 236. 65 Ulama yang dinilai pertama merintis ilmu ini adalah al-Syâfi`î ra. Lihat: Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 35; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 470. 66 Sulaimân bin Asy`ats al-Sijistânî al-Azdî (w. 275 H), Sunan Abî Dâud, diedit oleh Shidqî Muhammad Jamîl, (Bierut: Dâr al-Fikr, 2003), Kitâb al-Thahârah, bâb mâ Yunajjis al-Mâ’ juz I, h. 38 (no. 63). 67 Abû `Abdillah Muhammad bin Yazîd al-Qizwînî (w. 273 H), Sunan Ibn Mâjah, diedit oleh Shidqi Jamil al-Athhâr (Beirut: Dâr al-Fikr, 2004), Kitâb al-Thahârah, bâb al-Hiyâdh, juz I, h. 170 (no. 521).
22
Menyelesaikan kedua hadis tersebut dengan cara mengkhususkan hadis yang umum dari salah satu di antara keduanya.68 Yaitu najis dapat merubah status kesucian air yang sedikit, dan tidak dapat merubah kesucian air yang mencapai dua qullah, kecuali air yang dua qullah ini berubah rasa, warna maupun baunya.69 Model penyelesaian terhadap hadis kontradiktif di atas dengan cara al-jam`u (kompromi).70 Muhaddîtsîn juga menawarkan model lain dalam menyelesaikan hadis kontradiktif, seperti: (1) nâsikh wa al-mansûkh yaitu suatu hukum terakhir menghapus status hukum yang lebih awal dalam masalah yang sama; (2) al-tarjîh yaitu menggunggulkan satu hadis dari lainnya dengan alasan-alasan yang kuat dan (4) al-tawaqquf yaitu berhenti untuk mengamalkan dua hadis yang kontradiktif, ketika belum dapat menyelesaikannya, sembari tetap berusaha mencari solusinya.71 Namun dalam menerapkan empat langkah tersebut, ulama tidak sejalan. Ibn Shalâh (w. 643 H), Ibn Hajar (773-852 H), al-Sakhâwî (w. 902 H) menerapkan al-jam`u, nâsikhmansûkh, lau al-tarjîh, sebagaimana kebanyakan ulama syâfi`iyyah. Sebagian Hanafiyyah menerapkan nasikh-mansûkh lebih dahulu dari pada al-jam`u.72 Terlepas dari urutan penyelesaian hadis kontradiktif tersebut, yang menarik dari empat metode penyelesaian adalah metode al-jam`u dan al-tarjîh. Al-Laknawî, setelah menerangkan beberapa pendapat ulama tentang nâsîkh-mansûkh, menegaskan sekalipun hal tersebut terdapat dalam hadis, tapi metode penyelesaian hadis kontradiktif agar diupayakan secara maksimal melalui al-jam`u. Karena dengan nâsikh-mansûkh, di antara dalil syara’ ada yang akan di non aktifkan, dan itu tidak 68
al-Tirmasî, Manhaj Dzawî Nazhar, h. 146. Abû Ja`far Ahmad bin Muhammad al-Thahâwî (w. 321 H), Syarh Ma`ânî al-Atsâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2001), jilid I, h. 10, 14-16. 70 al-Tirmasî, Manhaj Dzawî Nazhar, h. 146. 71 Keterangan saling melengkapi, lihat: Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 35-36; al-Sakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 471-475; al-Tirmasî, Manhaj Dzawî al-Nazhar, h. 146. 72 Lihat: al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h.285-286; Ibn Hajar, Nuzhah al-Nazhar, h. 35-36; alSakhâwî, Fath al-Mughîts, jilid III, h. 471-475; al-Tirmasî, Manhaj Dzawî al-Nazhar, h. 146; alLaknawî, al-Ajwibah, h. 183-184; al-Thahânawî, Qawâid Ushûl al-Hadîts, h. 288. 69
23
layak. Selanjutnya secara moral hal itu termasuk tidak sopan terhadap Nabi saw. Ulama bermazhab Hanafî ini menyarankan agar pemerhati hadis mempelajari karya `Abd Wahhâb al-Sya`rânî berjudul al-Mîzân. Masih menurut muhaddîts yang terlahir di India ini, al-jam`u lebih pantas dikedepankan dari pada al-tarjîh, tidak sebaliknya seperti pendapat muhadditsîn dan syâfi`iyyah.73 Dalam kaitan ini, Ibn Khuzaimah (w. 311 H),74 mensinyalir kalau solusi nâsikh-mansûkh ‘tidak berlaku’.75 Sebelum al-Laknawî, sebagian syâfi`iyyah seperti al-Âmidî (w. 631 H) dan alIrâqî (w. 806 H), menguraikan penyelesaian hadis kontradiktif melalui metode altarjîh dengan beragam cara. Mulai dilihat dari sisi sanad, matan, dalil maupun dari aspek eksternal, dan masing-masing aspek tersebut memiliki riciannya.76 Misalnya aspek eksternal hadis menurut al-Âmidi dapat dilihat dari 15 sisi, di antaranya kedua dalil yang kontradiktif masing-masing memiliki `illah (alasan/sebab), namun salah satu di antaranya ada yang lebih kuat dibanding lainnya.77 Menurut al-Irâqî, metode al-tarjîh ini memiliki 105 cara penyelesaiannya.78 Keterangan ini menjelaskan bahwa ruang gerak nâsikh-mansûkh dibatasi, apalagi terdapat beragam mafhûm yang memusatkan pada bermacam isyarat syarî`ah atau pemahaman secara tersirat seperti ditegaskan al-Âmidi, al-Laknawî dan berikutnya oleh Muthahharî.79 Melalui pemahaman tersirat atau pemahaman kontekstual,80 menurut penulis 73
al-Laknawî, al-Ajwibah, h. 183, 194-196. Abû Bakar Muhammad bin Ishâq bin Khuzaimah al-Sulamî, imam yang mengusai fiqh alhadîts. Lihat: al-Zhahabî, Siyar…, juz XIV, h. 365-382; Ibn `Imâd, Syadazrât…, jilid II, h. 453-454. 75 75 `Ali bin Ahmad al-Baghdâdî (w. 463 H), al-Kifâyah fî `Ilm al-Riwâyah, (Madinah: Maktabah al-Munawwarah, t.th), h. 432-433. 76 al-Âmidî, al-Ihkâm li al-Âmidî, vol.IV, h. 359-379; al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 286-289. 77 al-Âmidî, al-Ihkâm li al-Âmidî, jilid II, vol. IV, h. 377. 78 al-Irâqî, Taqyîdh wa al-Îdhâh, h. 289. 79 al-Âmidî, al-Ihkâm li al-Âmidî, jilid I, vol. II, h. 369-370, 319-320; al-Laknawî, al-Ajwibah, h.193; Muttahhari, Jurisprudence in its Principle, terjemahan oleh Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad dengan judul Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h. 157. 80 Menurut Syuhudi, pemahaman secara kontekstual berdasarkan makna yang tersurat, dengan melihat beberapa aspek yang berkaitan dengan hadis tersebut. Seperti kosa-kata, latar belakang 74
24
suatu peristiwa yang terkesan kontradiktif dapat dijelaskan dengan cara kompromi. Misalnya, terdapat hadis yang menyatakan bahwa pelaku murtad akan dieksekusi mati. Lalu pernah terjadi di masa Nabi saw pelaku murtad seperti Miqyâs bin Shubâbah dan Ibn Khattal dieksekusi sementara Ibn Abî Sarh mendapat amnesti81 Pertanyaan yang muncul, apakah Ibn Abî Sarh tidak dibunuh karena ia tidak membunuh, padahal di saat yang sama ia telah murtad. Berikutnya kalau begitu apakah karena murtad maka Miqyâs bin Shubâbah dan Ibn Khattal dibunuh atau karena mereka telah membunuh orang Muslim. Melalui contoh di atas, studi ini coba mengaplikasikan penalaran al-jam`u dan al-tarjîh dengan melihat pemahaman tersirat atau kontekstual di belakang hadis yang terkesan kontradiktif dengan pendekatan sejarah sebagaimana akan dijelaskan. Penalaran tersebut akan terlihat misalnya dalam hadis mengenai hukuman bagi yang murtad, pemberlakuan al-jizyah dan sebagainya. 2.Tinjauan Kepustakaan Sejauh
ini, terdapat
beberapa karya penelitian
ataupun
buku
yang
mengungkap permasalahan hubungan Muslim dengan non Muslim. Karya pertama yang penulis ketahui tentang hal ini adalah kitab Ahkâm Ahl al-Dzimmah karya Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H).82 Dalam membahas kitab tersebut, Ibn Qayyim terjadinya, dan selainnya. Akan tetapi dibalik teks hadis yang diteliti, terdapat petunjuk yang kuat dan mengharuskan hadis tersebut dipahami dan diterapkan sebagaimana maknanya yang diinginkan secara tersirat (kontekstual). Sebaliknya, pemahaman tekstual hadis juga melihat beberapa aspek sebagaimana pada pemahaman kontekstual, namun pemahaman tekstual tetap menuntut sesuai dengan apa yang tertera dalam teks hadis yang bersangkutan. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual;Telaah Ma`âni al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1994), h. 6. 81 Lihat bahasan Bab III sub bab A dan B. 82 Abû `Abdillah Muhammad bin Abû Bakar al-Zur`î al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, diahqiq oleh Yusuf Ahmad Bakrî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995), juz I, h. 18-344, juz II, h. 3-252. Lihat biografi Ibn Qayyim dalam: Ibn `Imâd, Syadzarât…, jilid VI, h. 352-354; Abî al-Mahâsin Yusuf bin Taghrî Bardî al-Atâbikî (w. 874 H), al-Nujûm Al-Zâhirah fî Mulûk Mishra wa al-Qâhirah, (Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1992), juz X, h. 195.
25
nampak telah masuk pada Islam sebagai bentuk negara. Bahasan kitab ini didasarkan pada berbagai kewajiban non Muslim sebagai komunitas ahl al-dzimmah, seperti pembayaran al-jizyah, al-kharâj dan `usyûr. Kitab ini juga menguraikan hubungan Muslim dengan non Muslim dari beberapa aspek, seperti mengucapkan salam pada non Muslim, pernikahan dan waris dengan mereka. Karya yang lebih menonjolkan aspek hukum ini, dinilai komprehensip dalam memberikan gambaran hubungan kedua komunitas dari masa `Umar bin `Abd `Azîz (w. 101 H) sampai masa khalifah al-Muqtadir (w. 320 H).83 Studi yang cukup komprehensip, tentang kajian ini juga dilakukan oleh Badrân Abû al-`Ainâin al-Badrân melalui karyanya al-`Alâqât al-Ijtimâ`iyyah baina al-Muslimîn wa Ghair al-Muslimîn.84 Karya ini memusatkan pada kajian fiqih, bahkan perbandingan fiqih antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, dalam kaitan dengan non Muslim. Pengarang mendiskusikan dalil-dalil ulama mazhab dan biasanya di akhir setiap bahasan memuat pendapatnya sendiri. Karya ini, dalam beberapa kasus tertentu seperti kawin dan waris beda agama serta kesaksian non Muslim, menyertakan komparatif dengan ajaran agama Yahudi dan Kristen. Tak kalah menarik, tulisan Badrân menjadi landasan bagi penulis disertasi untuk menukil sumber utama pendapat berbagai imam mazhab ketika membahas pemberlakuan hudûd, qishâsh, kesaksian dan sumpah bagi non Muslim, dan menjadi acuan meneliti alasan-alasan
mereka
secara
historis.
Karya akademis lain yang membahas hubungan Muslim dengan non Muslim adalah kitab Irsyâd Ulil al-Bâb ila ma Shahha min Mu`âmalah Ahl al-Kitâb.85 Sebagaimana diakui oleh pengarangnya Jamâl bin Muhammad bin Ismâ`îl, karyanya
83
al-Muqtadir berkuasa sekitar 24 tahun. Lihat Ibn al-Atsîr, al-Kâmil…, jilid VIII, h. 241-244. Badrân Abû al-`Ainâin al-Badrân, al-`Alâqât al-Ijtimâ`iyyah baina al-Muslimîn wa Ghair alMuslimîn, (Iskandariyah: Mu’assasah Syabâb al-Jâmi`ah, 1984), h. 22-336. 85 Jamâl bin Muhammad bin Ismâ`îl, Irsyâd Ulil al-Bâb ila ma Shahha min Mu`âmalah Ahl alKitâb, (Riyâdh: 1993), h. 29-261. 84
26
merupakan penyusunan kembali (tartîb)86 dari beragam pendapat ulama tentang bermu`amalah dengan ahl al-kitâb. Sekalipun buku ini memusatkan pada hubungan dengan ahl al-kitab, di dalamnya penulis memperoleh informasi beragam pendapat ulama terkait urusan ta`ziyah pada non Muslim, pemberlakuan had khamar untuk mereka, yang dapat dinukil dari sumber primernya. Al-Qaradhâwî, ulama kontemporer yang terkenal, melalui karyanya Ghair Muslimîn fî al-Mujtama` al-Islâmî,87 telah melakukan kajian fiqih dengan beberapa contoh yang pernah ada, baik pada masa Nabi saw maupun sahabat dan setelahnya. Buku ini membahas sekilas tentang wajibât ahl al-dzimmah (h. 31-43) seperti aljizyah, al-kharâj, `usyur, pelaksanaan hukum Islam bagi non Muslim, dan cara non Muslim menghormati kaum Muslim ketika mereka melaksanakan apa yang dianggap halâl dalam agama mereka. Buku ini juga telah memberikan informasi tentang praktek non Muslim menjalankan ibadah, alasan larangan kawin beda agama dan alasan pembayaran al-jizyah. Buku Fiqih Lintas Agama,88 hasil tulisan dari beberapa sarjana Muslim Indonesia yang dikenal dengan Tim Penulis Fiqih Lintas Agama. Buku ini berisi rekonstruksi terhadap beberapa ajaran Islam dari mulai aqidah sampai pada aspek hukum (fiqh). Karya yang ketika diterbitkan, dianggap kontroversial karena ‘menabrak’ beberapa kesepakatan umat Islam yang sudah dianggap final (mujma` `alihi). Bahasan tentang bolehnya kawin dan waris beda agama, kebolehan meminta do`a dari non Muslim, dan pembayaran al-jizyah bukan termasuk ajaran Islam, merupakan isu utama dalam Fiqih Lintas Agama.89 Bahasan-bahasan tersebut secara khusus, dan karya dimaksud secara umum, justeru menjadi inspirasi bagi penulis 86
Jamâl, Irsyâd Ulil al-Bâb…, h. 5. Yusuf al-Qaradhâwî, Ghair Muslimîn fî al-Mujtama` al-Islâmî, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1977), h. 5-83. 88 Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 1-261. 89 Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama, h. 50-167. 87
27
disertasi untuk meneliti lebih jauh alasan-alasan mereka secara historis lalu dikaitkan ke dalam konteks sekarang. Karya lain yang membahas persoalan tertentu tentang hubungan Muslim dengan non Muslim secara kritis yaitu karya Sachedina berjudul, The Islamic Roots of Democratic of Pluralism.90 Sekalipun karya ini lebih memusatkan pada bahasan pluralisme, namun kajian tentang konversi agama (Apostasy A Religius), jihad dan al-jizyah91 sangat membantu penulis disertasi ketika coba merefleksikan pemahaman hadis-hadis tentang hubungan Muslim dengan non Muslim dalam konteks sekarang. Berikutnya layak disebut adalah bahasan tentang hak-hak non Muslim dalam karya al-Maudûdî berjudul Nazhariyyah al-Islâm wa Hadyâhu.92 Karya ini mengulas sistem pemerintahan Islam, namun juga diuraikan pasal tersendiri tentang masyarakat minoritas non Muslim yang mempunyai hak-hak tertentu dan hak istimewa di negara Islam. Menariknya, al-Maudûdî secara praktis juga memberikan contoh tentang hakhak mereka di masa kekinian dalam sebuah negara Islam. Sebuah biografi Nabi Muhammad saw. berjudul Muhammad A Biography of the Prophet yang ditulis oleh Armstrong, berisi uraian tentang pandangan Barat terhadap perang yang terjadi di masa Nabi saw., dan kritikan-kritikan mereka terhadap Islam.93 Melalui karya ini, Armstrong paling tidak dapat menyuarakan lebih obyektif tentang Islam dan Nabi saw. yang menjadi stereotip umum di Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan. Analisa Armstrong mengenai perang di masa Nabi saw. cukup membantu penulis saat membahas peraturan perang dalam hadis Nabi saw., sekaligus menjadi komparatif dengan kondisi perang di masa sekarang. Semua karya yang telah disebutkan, tidak satupun yang mencoba memulai 90
`Abd Azîz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic of Pluralism, (Oxford: University Press, 2001), h. 3-161. 91 Sachedina, The Islamic Roots…, h. 90-91, 98-101, 172-177, 112-119, 138. 92 Abû al-A`la al-Maudûdî, Nazhariyyah al-Islâm wa Hadyâhu, (Jeddah: al-Dâr al-Sa`ûdiyyah, 1985), h. 271-301. 93 Armstrong, Muhammad A Biography of the Prophet, h. 21-45, 168-210.
28
dengan melakukan tinjauan kritis terhadap hadis Nabi saw. terkait hubungan Muslim dengan non Muslim, lalu dikaitkan dengan konteks masa itu. Berikutnya, pemahaman konteks ketika itu coba untuk diaplikasikan dalam konteks kekinian. Memang diakui, beberapa kitab syarh hadis juga telah memberikan tinjauan terhadap hadis-hadis dimaksud. Namun pembahasan tersebut secara parsial. Selain karya-karya yang telah disebutkan, Khadîjah al-Nibrâwî menulis semacam ensiklopedi berjudul Mausû`ah Ushûl al-Fikr al-Siyâsî wa al-Ijtimâ`î wa al-Iqthishâdî min Nab`i al-Sunnah wa Hadyi al-Khulafâ al-Râsyidîn.94 Karya ini berisi kumpulan hadis Nabi saw. dan atsar tentang berbagai aspek terkait dengan Islam. Sekalipun karya ini tidak berisi pembahasan terhadap hadis-hadis Nabi saw., namun sangat membantu penulis disertasi untuk mengklasifikasikan hadis Nabi saw. terkait dengan hubungan Muslim dengan non Muslim. E. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data Penelitian disertasi ini termasuk penelitian literatur. Dengan demikian sumber data yang ada terbagi dua bagian. Pertama, sumber utama (primer) dan kedua, sumber pendukung (sekunder). Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab-kitab hadis standar seperti kutub al-sittah,95 Muwatthâ Mâlik karya Imam Mâlik (93-179 H), Sunan al-Dârimî karya `Abdullah al-Dârimî (w. 255 H), Musnad Ahmad bin
94
Khadîjah al-Nibrâwî, Mausû`ah Ushûl al-Fikr al-Siyâsî wa al-Ijtimâ`î wa al-Iqthishâdî min Nab`i al-Sunnah wa Hadyi al-Khulafâ al-Râsyidîn, (Cairo: Dâr al-Salâm, 2004), jilid I-III. 95 Kutub al-Sittah adalah enam kitab hadis standar setelah al-Qur’an dalam menukil, mengkaji maupun menerangkan berbagai ajaran Islam. Keenam kitab tersebut: (1) Shahîh al-Bukhâri karya imam al-Bukhâri (194-256 H); (2) Shahîh Muslim karya imam Muslim bin Hajjâj (206-261 H); (3) Sunan Abu Dâud karya Abu Dâud al-Sijistâni (w. 275 H); (4) Sunan al-Turmudzi karya Abu Isa alTurmudzi (w. 279 H); (5) Sunan al-Mujtabâ al-Nasâ’i karya Ahmad bin Syu`aib al-Nasâi’ (w. 303 H) dan (6) Sunan Ibn Mâjah karya Muhammad bin Yazîd al-Qizwini (w. 273 H). Biografi imam hadis tersebut lihat di antaranya: al-Dzahabî, Siyar.., juz XII, h. 391-471, 557-580, juz XIII, h. 203-221, 270281, juz XIV, h. 125-135; Tadzkirah al-Huffazh, diedit oleh Hamdi `Abd Majid Ismâ`îl al-Salafi (Riyadh: Dâr al-Shami`i, cet I, 1415 H), juz II; h. 555-557, 588-593, 633-637, 698-701; Ibn `Imâd, Syadzarât..., jilid II, h. 279-281, 295-297, 326, 330-332, 342, 421-422.
29
Hanbal karya Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).96 Bila diperlukan, hadis terkait juga akan diambil dari kitab hadis lainnya seperti Mushannaf `Abd Razzâq karya Abû Bakar `Abd Razzâq al-Shan`ânî (w. 211 H), Mushannaf Ibn Abî Syaibah karya Abû Bakar `Abdullah bin Muhammad; Ibn Abî Syaibah (w. 235 H), Mu`jam al-Kabîr dan Mu`jam al-Ausath keduanya karya Abû Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabarânî (w. 360 H), Sunan al-Dâraquthnî karya Abû al-Hasan `Ali bin `Umar al-Dâraquthnî (w. 385 H), al-Mustadrak `ala Shahîhain karya Abû `Abdillah Muhammad bin `Abdullah al-Hâkim (w. 405 H) dan Sunan al-Kubrâ karya Ahmad bin Husein; Abû Bakar alBaihaqî (w. 458 H). Keterangan tentang hadis-hadis tersebut diambil dari kitab Syarh seperti Syarh al-Nawawî karya Yahya bin Syaraf al-Nawawî (676 H), Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî karya Ahmad bin `Ali; Ibn Hajar al-Asqalânî (773-852 H), `Aun al-Ma`bûd karya Abû Thaiyyib; Muhammad Syams al-Haq al-Adzîm Âbâdî, Tuhfah al-Ahwadzî karya Abû al-`Alâ Muhammad `Abd Rahmân bin `Abd Rahîm alMubârakfûrî, Hâsyiah al-Sindî li al-Bukhârî wa al-Nasâ’î karya Abû Hasan Nûr alDîn bin `Abd Hâdi al-Sindî. Karena pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan sejarah seperti akan dijelaskan, maka keterangan tentang peristiwa yang terkait dengan hadis tersebut dinukil dari al-Sîrah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyâm karya Muhammad `Abd Mâlik Ibn Hisyâm al-Ma`âfirî (w. 218 H), al-Thabaqât al-Kubrâ karya Abû `Abdillah Muhammad bin Sa`ad al-Bashrî al-Zuhrî (w. 230 H), Târîkh al-Thabarî karya Abû Ja`far; Muhammad bin Jarîr al-Thabarî (w. 310 H), dan al-Kâmil fî alTârîkh karya `Izz al-Dîn; `Ali bin Muhammad al-Syaibâni Ibn al-Atsîr (w. 630 H). Dalam analisa peristiwa, penulis lebih mendasarkan pada sejarah Ibn Hisyâm dan karya Ibn al-Atsîr. Dengan pertimbangan, karya Ibn Hisyâm adalah karya tertua yang
96
Biografi tiga imam hadis tersebut, lihat: al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffazh, juz I, h. 207-213, juz II, h. 431-432, 534-536; Siyar…, juz VIII, h. 48-130, juz XI, h. 178-358, juz XII, h. 224-232; Ibn `Imâd, Syadzarât…, jilid I, h. 465-468, jilid II, h. 224-227, 274.
30
sampai pada kita, sedangkan al-Kâmil berisi pengunggulan terhadap riwayat tertentu. Sumber
sekunder
adalah
kitab-kitab
atau
karya
terkait
dengan
bahasan
hubungan Muslim dengan non Muslim sebagaimana telah penulis kemukakan sebagian di antaranya saat menguraikan tinjauan pustaka. Bahan kepustakaan yang terpakai, berasal dari tulisan ulama dahulu maupun ilmuwan kontemporer. 2. Metode Analisis Dalam menganalisis data-data, penulis menggunakan pendekatan sejarah sebagai pendekatan utama.97 Pendekatan ini berisi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah.98 Faktor tersebut karena disertasi ini akan lebih banyak mengkaji hadis yang ada melalui beberapa fakta sejarah, maupun pemahaman terhadap matannya dengan melihat kondisi saat itu, ketika hadis tersebut terjadi. Topik
utama
sejarah
terkait
dengan
manusia,
waktu
dan
beragam
permasalahan di dalamnya,99 maka pendekatan sejarah akan sangat berguna untuk melihat kondisi umum masyarakat Arab ketika Islam hadir, sekaligus sebagai tumpuan analisa terhadap latar belakang hubungan Muslim dengan non Muslim saat itu, serta munculnya kebijakan terhadap mereka. Sebab di antara kelebihan sejarah adalah memperoleh fakta kronologis suatu peristiwa, mana yang lebih awal dan mana yang akhir. Dengan begitu, hadis yang terkesan kontradiktif diharapkan dapat dipadukan (al-jam`u) atau dinasakh100 bagi yang menggunakannnya. Berikutnya, 97
Sejarah secara bahasa berarti informasi tentang waktu. Lihat: al-Sakhâwî, al-I`lân bi alTaubîkh li man Dzamma al-Târîkh, (Bierut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th), h. 14. Sejarah dalam bahasa Inggris history atau Perancis histoire biasanya diartikan dengan masa lampau umat manusia atau kisah tentang masa lampau (histoire realite). Namun dalam kondisi tertentu, sejarah mempunyai konotasi yang berbeda. Seperti bagi ilmuwan sosial yang melihat sejarah sebagai proses penelitian yang menggunakan history research sebagai suatu pendekatan dan penelitian. Lihat: Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, terjemahan oleh Nugroho Natosusanto dengan judul, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 21-23, 27, 32; Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 50. 98 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. xii. 99 al-Sakhâwî, al-I`lân bî al-Taubîkh, h. 17. 100 al-Sakhâwî, al-I`lân bî al-Taubîkh, h. 117-18. Lihat pula contoh-contohnya di h. 18-85.
31
konteks hubungan dua komunitas tersebut ketika itu, dapat kita pahami dalam konteks kekinian dengan latar belakang sejarah yang telah ada. Sesuai dengan namanya, pendekatan sejarah melalui lima tahapan yaitu: (1) pemilihan topik yang terkait dengan sejarah; (2) pengumpulan sumber, dapat berupa dokumen tertulis dan artifact berisi foto-foto, gambar dan sebagainya; (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber) yang melihat pada otentisitas sumber dan kredibilitas semacam pembuktian terhadap data; (4) interpretasi: analisis yang menekankan pada uraian dari berbagai data yang ada, lalu dilakukan sintesis yaitu melakukan penyatuan atau pengelompokkan data dan (5) penulisan, yang sangat menekankan aspek kronologi.101 Bila diuraikan dalam disertasi ini sebagai berikut. a. Pengumpulan Data Data dalam disertasi ini dibagi menjadi dua bagian: (1) peristiwa yang tercantum dalam hadis dan (2) peristiwa yang terkait dengan hadis yang dibahas. Untuk data pertama, umumnya hadis hanya memuat suatu peristiwa tanpa menyebutkan kronologis. Data kedua selain memuat peristiwa, juga kronologis dan terkadang data tersebut berisi analisa dari penulis karya tertentu. Data kedua ini terambil dari kitab berisi sejarah di masa Nabi saw, seperti al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyâm dan sebagainya yang telah disebutkan. Terkait dengan ini, perlu dijelaskan perbedaan penukilan riwayat antara muhaddîts dengan mu’arrikh. Muhaddîts menukil hadis sebagai hukum syari`at. Adapun mu’arrikh lebih mementingkan kronologis peristiwa, sehingga riwayat yang sanadnya terputus masih diterima oleh mu’arrikh sedangkan hal tersebut ditolak oleh muhaddîts.102 101
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), h. 89. bandingkan dengan Hariyono yang mengatakan penelitian sejarah melalui empat tahapan: (1) heuristik; (2) kritik; (3) interpretasi dan (4) historiografi. Yaitu pengumpulan data, kritik dan penyeleksian data, analisa data yang telah diseleksi dan penulisan terhadap data-data itu dalam bentuk uraian atau penjelasan. Lihat: Hariyono, Mempelajari Sejarah, h. 109-111. Menurut penulis, empat tahapan ini dapat disamakan dengan lima tahapan menurut Kuntowijoyo di atas, dengan memasukkan tahap satu dan dua menjadi satu tahap yaitu pengumpulan sumber. 102 Keterangan saling melengkapi, lihat: Muhammad Musthafa al-A`zhamî, Manhaj Naqad `inda al-Muhaddîtsîn; Nasy’atuhu wa Târîkhuhu, (Riyâdh: Syirkah al-Thaba`ah al-`Arabiyyah al-
32
Dua bagian data di atas, dalam disertasi ini mencakup: (1) data umum tentang komunitas non Muslim di Jazirah Arab; (2) data terkait hubungan antara Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw; (3) data seputar faktor-faktor kebijakan Nabi saw yang nampak berbeda terhadap komunitas non Muslim; (4) data seputar argumentasi yang melatar belakangi adanya kebijakan yang berbeda tersebut. b. Pengolahan Data Untuk memudahkan pengolahan data bagian pertama di atas, penulis juga menggunakan metode takhrîj hadîts, yaitu menunjukkan tempat hadis di berbagai sumbernya yang asli, yang diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, dan menjelaskan derajat hadis bila diperlukan.103 Misalnya menelusuri kata hadis yang terkait erat dengan penelitian ini, seperti Yahudi, Nashrânî, al-jizyah, al-bîya` , shawma`ah, atau menelusuri topik tertentu yang diduga berhubungan dengan studi ini seperti, bab man qâma li janâzah al-Yahûd, bab ikhrâj al-Yahûd wa al-Nashârâ min Jazîrah al-`Arab, bab kaifa yahlifu al-dzimmî dan lainnya. Selain kamus hadis seperti Mu`jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî karya AJ. Wensinck bersama rekan-rekannya, penulis dalam melakukan takhrîj juga menfungsikan CD Rom seperti Maktabah Alfiah li al-Sunnah al-Nabawiyyah dan Barnâmij al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis`ah. Semua perawi hadis yang ada dalam disertasi akan diberi penilaian berdasarkan kritik perawi, kecuali hadis riwayat alBukhâri dan Muslim atau salah satu di antara keduanya. Namun tetap ditunjukkan kitab hadis lain yang ikut meriwayatkan hadis bersama al-Bukhârî dan Muslim. Metode
takhrîj,
berfungsi
untuk
mengklasifikasi
hadis-hadis
terkait,
berdasarkan tema dan dibagi menjadi beberapa sub tema. Hadis yang dikaji dalam disertasi ini, diasumsikan bersifat naturalistik (alami); terjadi apa adanya. Pengolahan Sa`ûdiyyah, 1982), h. 91-92; Akram Dhiyâ’ al-`Umarî, Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musyarrafah, (Madinah: Maktabah al-`Ulûm wa al-Hikam, cet IV, 1984), h. 210-211. 103 Lihat: Mahmûd al-Tahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Riyadh: Maktabah Ma`ârif, 1991), h. 9-11.
33
data dengan cara ini, dapat menemukan hadis yang tidak valid (dha`îf), tidak terjadi apa
adanya
Adapun terhadap
dan
atau
matan
yang
terkesan
kontradiktif.
data sejarah, akan dilakukan sinkronisasi dengan
data
pertama yaitu hadis. Data sejarah dapat berfungsi sebagai penjelas atau penopang dari data hadis. Lebih lanjut, bila data yang ada nampak kontradiktif, maka penulis menukil data lain yang terkait dan mendukung salah satu data yang dianggap representatif. Penilaian representatif setelah melakukan al-jam`u dan al-tarjîh, dengan tetap melihat kredibilitas dan sinkronisasi antara data-data tersebut. c. Analisa Data Dalam menganalisa data yang ada, mengingat makna lafazh dan kandungan hadis tertentu merupakan bagian dari pemahaman beberapa ulama, dan kemungkinan terdapat perbedaan. Selain pendekatan historis, penulis juga menggunakan komparatif sebagai pendekatan pendukung. Pendekatan ini juga berusaha memunculkan deskriptif yang tepat tentang hubungan Muslim dengan non Muslim di masa Nabi saw., pemahaman matan hadis sesuai konteks sejarah, juga menunjukkan beragam variasi matan sekaligus merupakan embrio untuk memahami hadis dari aspek tesktual maupun aspek kontekstual. Analisa terhadap data yang ada juga menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan untuk mencari dan menemukan pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus.104 Latar ini menjadi pijakan saat memahami matan secara teks terutama konteks. Konteks sejarah ketika itu dikaitkan dengan konteks kekinian. Dengan demikian, bisa ditemukan ‘benang merah’ antara pemahaman
104
konteks
ketika
hadis
disabdakan
dengan
konteks
sekarang.
Di antara definisi pendekatan kualitatif menurut Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), h. 5.
34
3. Teknik Penulisan Teknik penulisan dan transliterasi dalam disertasi ini menggunakan buku Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin karya Syahrin Harahap. Selain itu, juga digunakan buku Pedoman Akademik Sekolah Pascasarjana UINJakarta 2007/2008.105 Suatu hadis terkadang mengandung beberapa matan. Karena itu, matan yang dianggap perlu akan dicantumkan di badan teks disertasi secara lengkap termasuk sanadnya. Bila diperlukan akan diberi terjemahan. Namun agar tidak memalingkan pembaca dari bahasan utama disertasi ini, pencantuman matan dan sanad secara lengkap termasuk terjemahan, umumnya akan diletakkan di catatan kaki (footnote). Hal ini agar bahasan komparatif matan lebih terfokus pada makna kata atau penggalan kalimat yang berbeda saja dalam beberapa riwayat. Baik riwayat itu saling mendukung, maupun yang kontradiktif secara teks. Demikian pula dalam menjelaskan nama perawi dan penilaian kritikus hadis terhadap mereka, penulis meletakkannnya di catatan kaki. Tapi kualitas setiap hadis kecuali al-Bukhârî dan Muslim, tetap dicantumkan di badan teks disertasi. Dalam menerjemahkan hadis-hadis yang ada di Bab III sampai Bab V, sanad hadis tidak diterjemahkan. Penulis hanya menerjemahkan matan tertentu dan menggunakan terjemahan agak bebas dengan tetap melihat pada makna hadis. Biasanya matan tersebut berada di awal setiap sub tema. Kata-kata tertentu dalam dua kurung juga ditambahkan untuk melengkapi terjemahan. Apabila dibutuhkan, makna kata dalam matan hadis dijelaskan terutama saat mengadakan komparatif matan. Terjemahan hadis umumnya berasal dari penulis disertasi, kecuali terdapat kata-kata yang dapat menimbulkan interpretasi ganda, maka penulis merujuk ke kamus hadis atau kitab syarh seperti telah dijelaskan.
105
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 95-114; Tim UIN Jakarta, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam, (Jakarta: UIN Syahid, 2007), h. 46-50.
35
F. Sistimatika Penulisan Sesuai dengan metodologi penelitian di atas, penulis akan menyusun hasil studi ini dalam kerangka sistematis penulisan sebagai berikut: Bab I. Merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan sistimatika penulisan. Bab II. Menerangkan konteks hubungan Muslim dengan non Muslim, yang meliputi beberapa term terkait seperti ahl al-kitâb, ahl al-dzimmah, ahl al-`ahd (mu`âhadah), syirk (musyrik), kufr (kafir) dan al-jizyah. Bab III. Menerangkan hadis-hadis tentang tindakan murtad dan praktek ibadah non Muslim, yang meliputi pemahaman hadis-hadis tentang murtad, amnesti bagi pelaku murtad dan pemahaman hadis-hadis tentang praktek ibadah non Muslim. Bab IV. Menerangkan hadis-hadis tentang interaksi sosial Muslim dengan non Muslim, yang meliputi pemahaman hadis-hadis tentang interaksi khusus dengan non Muslim, dan pemahaman hadis-hadis tentang interaksi umum dengan non Muslim. Bab V. Menerangkan hadis-hadis tentang hukum, perang, dan damai dengan non Muslim, yang meliputi pemahaman hadis-hadis tentang pemberlakuan hukum terhadap non Muslim serta pemahaman hadis-hadis tentang perang dan damai dengan non Muslim. Bab VI. Penutup yang meliputi kesimpulan sebagai jawaban ringkas dari permasalahan yang penulis teliti dan rekomendasi.
B A B VI PENUTUP A. Kesimpulan Disertasi ini menunjukkan bahwa hubungan Muslim dengan non Muslim yang ditemukan dalam hadis, lebih banyak berkaitan dengan masalah sosial dengan non Muslim dibanding dengan masalah aqidah mereka. Disertasi ini membuktikan bahwa praktek pelaksanaan ibadah, interaksi sosial, dan penerapan hukum bagi non Muslim, diapresiasi oleh Nabi Muhammad saw. dengan sikap kooperatif, terbuka, toleransi dan berlaku universal bagi non Muslim di masa itu. Kebijakan, hukuman, dan perang yang terkesan memusuhi non Muslim adalah perlakuan spesifik secara parsial, bukan sebagai bentuk pemarjinalan terhadap non Muslim disebabkan perbedaan agama. Berikut ini disampaikan temuan penelitian disertasi sebagai berikut: 1. Seluruh hadis yang dikaji dalam disertasi ini berjumlah 89 buah hadis, termasuk yang tidak dicantumkan teksnya, 60 di antaranya shahîh dan 12 buah hadis bernilai hasan. Keorisinilan hadis-hadis tersebut berasal dari Nabi Muhammad saw. tidak diragukan. Namun 16 buah hadis di antaranya berstatus dha`îf bahkan ada satu yang palsu. Penilaian terhadap kualitas hadis-hadis tentang hubungan Muslim dengan non Muslim dalam disertasi ini secara umum sama dan berdasarkan penilaian kritikus hadis seperti al-Bukhârî (194-256 H), Muslim (w. 261 H), Abû Zur`ah (w. 264 H), alRâzî (w. 277 H), al-Turmudzî (w. 279 H), al-Dâraquthnî (w. 385 H), al-Baihaqî (w. 458 H), al-Zaila`î (w. 762 H), Ibn Mulaqqin (w. 804 H), al-Haitsamî (w. 807 H), dan Ibn Hajar al-Asqalânî (773-852 H). Kualitas hadis tentang kembalinya Abû al-`Ash (w. 13 H) kepada Zainab (w. 8 H) dengan nikah yang baru riwayat al-Turmudzî, perjanjian Kristen Najrân dengan Nabi saw., tidak ada waris beda agama, semuanya riwayat Abû Dâud, merupakan penilaian penulis berdasarkan komentar kritikus hadis mu`tadil terhadap kualitas perawi dalam sanad hadis masing-masing. Penelitian ini
269
270
juga menemukan kelemahan hadis berisi permohonan ampunan Nabi saw. terhadap ibunya dalam riwayat Muslim, dan hadis tentang wafatnya Abû Thâlib dalam keadaan musyrik dalam riwayat al-Bukhârî berdasarkan nash al-Qur’ân dan fakta sejarah, serta kecacatan perawi dalam riwayat Abû Dâud. 2. Melalui pemahaman kontekstual yang didukung oleh fakta historis, teks-teks hadis tentang hubungan Muslim dengan non Muslim yang terkesan kontradiktif dapat diselesaikan. Jurang perbedaan dalam memahami teks dan konteks hadis mengenai masalah ini diperkecil dengan cara: (a) Melakukan interpretasi baru terhadap masalah tertentu, tanpa menghilangkan ketentuan asal masalah tersebut, seperti tindakan murtad. Masih terdapat ruang amnesti terhadap pelaku murtad, sebab hukuman mati bagi mereka bukan sebagai keputusan final seperti praktek Rasulullah saw. pada Ibn Abî Sarh (w. 57/59 H). Hukuman bagi pelaku murtad di masa Nabi saw. lebih ditentukan oleh pelanggaran publik ketimbang pelanggaran religius. Temuan ini memperkuat analisa Sachedina sebelumnya dalam The Islamic Roots Democratic of Pluralism (Oxford, 2001). Bedanya, Sachedina mengidentikkan pelanggaran bagi pelaku murtad dilakukan secara kolektif. Padahal terbukti bahwa pelaku murtad secara individual juga akan dihukum, bila melakukan pelanggaran publik seperti kasus Miqyâs bin Shubâbah dan Ibn Khatthal di tahun 8 H. Demikian pula dengan al-jizyah sebagai hak prerogatif semua komunitas non Muslim, tanpa membedakan antara musyrik dengan ahl alkitâb sebagaimana pendapat ulama Hanafî dan Mâlikî. (b) Memberlakukan tidak secara general pada setiap hadis yang nampak secara teks memarjinalkan non Muslim, hal tersebut harus dipahami secara spesifik atau merupakan kasuistik. Contohnya adalah: (1) larangan memberi salam pada non Muslim adalah kasus dari ketentuan general tentang bolehnya memberi salam dan ucapan hari besar kepada mereka yang tidak bermusuhan dan hidup damai bersama kaum Muslim; (2) pembunuhan terhadap komunitas non Muslim tertentu adalah
271
kasus dari ketentuan umum tentang keharusan menjalin hubungan baik dengan komunitas agama lain; (3) demikian pula dengan celaan atau mendoakan non Muslim dengan hal yang buruk adalah kasus dari ketentuan umum bahwa kehadiran Islam sebagai rahmatan li al-`âlamîn. (c) Memahami keputusan Nabi saw. terhadap non Muslim sebagai keputusan yang memiliki sebab dan latar belakang tersendiri, dan tidak berkaitan dengan perbedaan agama atau sebagai bentuk diskriminasi pada komunitas agama tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam kasus: (1) perang yang dilakukan oleh Nabi saw. kepada komunitas non Muslim; Yahudi maupun musyrik, bukan karena agama mereka. Namun disebabkan permusuhan dan pelanggaran mereka terhadap kesepakatan damai bersama kaum Muslim seperti Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyyah. Hal ini menguatkan pendapat sebelumnya yang mirip dari Sachedina, al-Ghazâlî dalam al-Sunnah alNabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadîts (Cairo, 1992) dan Armstrong dalam Muhammad a Biography of the Prophet, (London, 1995); (2) keinginan mengeluarkan non Muslim dari Jazirah Arab, juga memiliki alasan yang sama yaitu akibat permusuhan non Muslim terhadap Muslim; (3) pengecualian musyrik dari pembayaran al-jizyah di masa Nabi saw., karena sikap permusuhan mereka, dan bukan karena mereka sebagai musyrik. Sebagaimana al-jizyah juga tidak diterapkan pada ahl al-kitâb dari Yahudi Khaibar dengan alasan yang sama. 3. Larangan mendirikan tempat ibadah yang baru bagi komunitas non Muslim bukan merupakan praktek yang berlangsung di masa Nabi saw. Penisbahan hal tersebut kepada Rasul saw. diragukan. Hal ini sekaligus menolak pendapat sebagian ulama tentang larangan bagi non Muslim untuk mendirikan tempat ibadah yang baru dalam wilayah Islam, seperti yang ditulis oleh al-Syîrâzî (w. 476 H) dalam al-Muhadzzab, (II, Beirut) dan Ibn Qudâmah (w. 620 H) dalam al-Mughnî, `ala Mukhtashar alKharqî, (1985).
272
4. Dalam hadis Nabi saw. terdapat larangan kawin antara Muslim dengan non Muslim. Alasan yang diperoleh dari konteks di masa Nabi saw. adalah untuk menjaga akidah seorang Muslim. Pemahaman pada masa sekarang juga membenarkan larangan tersebut. Sekalipun pria Muslim secara mendasar tetap diperbolehkan mengawini wanita ahl al-kitâb. Larangan kawin bagi Muslimah dengan pria ahl alkitâb, lebih berdasarkan fakta sejarah di masa Nabi saw. dan konsensus ulama. Temuan ini sekaligus membedakan dengan cara pandang mayoritas ulama yang mengharamkan Muslimah kawin dengan pria ahl al-kitâb berdasarkan interpretasi terhadap dalil-dalil naqlî (QS. al-Baqarah:221; al-Mumtahanah:10), maupun dengan Tim penulis Fiqih Lintas Agama (Jakarta, 2004), yang membolehkan Muslimah kawin dengan non Muslim manapun melalui pertimbangan logika. 5. Pemahaman konteks sekarang membenarkan larangan bagi Muslim meminta do`a dari non Muslim, mengucapkan selamat hari besar pada non Muslim bagi Muslim yang dikhawatirkan kabur aqidahnya, serta larangan bagi non Muslim khususnya ahl al-kitâb untuk memasuki wilayah al-Harâmain. Semua itu dilakukan untuk menjaga keimanan dan kemaslahatan. 6. Pemahaman konteks sekarang juga membolehkan Muslim yang tidak dikhawatirkan aqidahnya berubah, mengucapkan selamat hari besar pada non Muslim, bahkan adanya keharusan tolong-menolong secara kolektif untuk memberantas ketidakadilan dan kejahatan lainnya. 7. Melalui pemahaman konteks kekinian pula, dapat dibenarkan waris beda agama sebagaimana pendapat Tim penulis Fiqih Lintas Agama. Namun penelitian ini hanya membenarkan waris beda agama dalam kasus perkawinan pria Muslim dengan wanita ahl al-kitâb, tanpa melibatkan keluarga kedua belah pihak. Semua itu dilakukan dengan pertimbangan logika, analogi dan kemaslahatan. Bukan berdasarkan anggapan bahwa kelompok Mu`âdz (w. 18 H) telah meletakkan embrio untuk mengakomodasi non Muslim sebagaimana di antara argumentasi Tim penulis Fiqih
273
Lintas Agama. 8. Pendekatan sejarah menjelaskan bahwa Muslim yang membunuh non Muslim berstatus mu`âhad atau dzimmî tetap memperoleh qishâsh sebagaimana pendapat ulama Hanafî. Alasan yang diperoleh adalah untuk menegakkan keadilan. Perbedaannya, ulama Hanafî tidak menjelaskan latar belakang sejarah hadis lâ yuqtal muslim bi kâfir untuk menolak pendapat mayoritas ulama tentang Muslim harus dieksekusi karena membunuh dzimmî. Padahal, terdapat indikator kuat bahwa hadis tersebut dilatarbelakangi oleh penyerangan Bani Bakr sebagai sekutu Quraisy terhadap Bani Khuzâ`ah adalah sekutu kaum Muslim dalam perjanjian Hudaibiyyah. Konteks pemahaman sekarang juga membenarkan pemberlakuan qishâsh terhadap Muslim yang membunuh muâ`had atau dzimmî. 9. Bantuan perang dari non Muslim terhadap Nabi saw., dalam konteks perang untuk mempertahankan agama. Pemahaman konteks sekarang juga membenarkan Muslim dengan non Muslim saling membantu dalam perang yang bukan karena agama seperti memerangi kedzaliman yang terjadi atau untuk menegakkan keadilan. Semua itu dilakukan tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat sipil yang tidak bersalah. B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Studi ini belum memperlihatkan hubungan Muslim dengan non Muslim di masa setelah Nabi Muhammad saw. Karena itu, peneliti lain dapat melakukan studi terkait di masa khulafâ’ al-Râsyidîn. Misalnya mengenai perubahan kebijakan masa itu terhadap non Muslim di banding dengan masa Nabi saw., serta dampak yang timbul dari beragam keputusan tersebut pada periode berikutnya. 2. Saat memahami hadis terkait dengan hukuman, perang, dan kebijakan yang nampak memarjinalkan non Muslim, selayaknya non Muslim sekarang memahami
274
dalam konteks bahwa hal tersebut dilakukan bukan karena perbedaan agama, namun memiliki latar belakang tersendiri dan itu bukan sebagai keputusan general dari ajaran Islam. Melalui cara pandang ini, sikap miring terhadap Islam diharapkan dapat berubah atau paling tidak diminimalisir. Di saat yang sama, seorang Muslim lebih pantas mendahulukan praktek general Nabi saw. terhadap non Muslim, yang berlandaskan rahmatan li al-âlamîn. Dengan cara tidak mencurigai apalagi bertindak jauh mengklaim semua non Muslim adalah jahat dapat dihindari. Dengan demikian, kerja sama antara Muslim dengan non Muslim diharapkan berjalan dengan baik. Paling tidak, dimulai dari diri sendiri dan tempat kita masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’ân al-Karîm. `Abd Bâqî, Muhammad Fu’âd. al-Mu`jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Abû Ghuddah, `Abd Fatâh, Ta`liqât al-Hâfilah `ala al-Ajwibah al-Fâdhilah. Tercetak dalam karya al-Laknawî, al-Ajwibah al-Fâdhilah li al-As’ilah al-`Asyrah alKâmilah. Halab: Maktabah al-Nahdhah, 1984. Abû Jaib, Sa`dî. al-Qâmus al-Fiqh Lughatan wa Isthilâhan. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998. Abû Khalîl, Syauqî. Athlas al-Hadîts al-Nabawî min Kutub al-Shihâh al-Sittah. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. __________. Athlas al-Qur’ân; Amâkin, Aqwâm, A`lâm. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. __________. Athlas Târîkh al-`Arabî al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu`âshir, 2002. __________. Fî
Târîkh al-Islâmî. Beirut: Dâr al-Fikr, 1999.
Abû Rayyah, Mahmûd. Adhwâ’ `alâ al-Sunnah al-Nabawiyyah aw Difâ` `alâ al-Hadîts. Mesir: Dâr al-Ma`ârif, t.th. Abû Syahbah, Muhammad Muhammad. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihah al-Sittah. t.tp: Majma` al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1969. __________. al-Hudûd fî al-Islâm wa Muqâranatuhâ bî al-Qawânîn al-Washfiyyah. Cairo: Silsilah al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1974. al-Adlabî, Shalahuddin bin Ahmad. Manhaj Naqad al-Matan `inda `Ulamâ al-Hadîts alNabawî. Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, t.th. al-A`zhamî, Muhammad Musfata. Manhaj al-Naqad `inda al-Muhaddîtsîn; Nasy’atuhu wa Târikhuhu. Riyâdh: Syirkah al-Thaba`ah al-`Arabiyyah al-Sa`ûdiyyah, 1982. al-`Azhîm Âbâdî, Abû Thaiyyib Muhammad Syams al-Haq. `Aun al-Ma`bûd. Jilid II, V, VII-VIII, X, XII. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1985. `Ali, Jawâd. Târîkh al-`Arab Qabl al-Islâm. Jilid III & V. Irak: Majma`al-Ilmi, 1955. al-Alûsî, Abû al-Fadhal Mahmûd. Ruh al-Ma`ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm wa al-Sab`i al-Matsânî. Jilid II-IV, VII, XXX. Beirut: Dâr Ihyâ Turats al-`Arabî, t.th. al-Alûsî, Mahmûd Syukri. Bulûgh al-’Arab fî Ma`rifah Ahwâl al-`Arab. Jilid I. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th. al-Âmidî, Abû Hasan `Ali bin Muhammad. al-Ihkam li al-Âmidî. Jilid I-II. Beirut: Dâr alFikr, 2003. Anîs, Ibrâhîm dkk. Mu`jam al-Wasîth. Jilid I-II. Cairo: tp, cet II, t.th. Aqqâd, `Abbâs Mahmûd. Mathla` al-Nûr aw Thawâli` al-Bi`tsah al-Muhammadiyyah. Cairo: Makatabah Dâr al-`Urûbah, t.th.
275
276
Armstrong, Karen. Muhammad A Biography of the Prophet. London: Victor Gollancz, Cassel Group, Wellington House, 1995. al-`Arûsî, Muhammad. Af`âl al-Rasûl saw. wa Dilâlatuhâ `ala Ahkâm. Jeddah: Dâr alMujtama`, cet. I, 1984. al-Ashbâhî, imam Mâlik bin Anas. al-Mudawwanah al-Kubrâ. Jilid I, III, IX. Beirut: Dâr al-Shadir, t.th. __________. Muwatthâ’ Mâlik bi
Riwâyah al-Laitsî. Beirut: Dâr al-Fikr, 2005.
al-Asfihânî, Râghib. Mu`jam Mufradât al-Fâzh al-Qur’ân. Diedit oleh Nadîm Mar`asylî. Beirut: Dâr al-Fikr, t. th. al-`Asqalânî, Ahmad bin `Ali bin Hajar; Ibn Hajar. al-Dirâyah fî Takhrîj Ahâdits alHidâyah. Jilid II. Diedit oleh `Abdullah Hasyim al-Yamânî. Beirut: Dâr alMa`rifah, t. th. __________. Fath
al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî. Jilid I-XV. Beirut: Dâr al-Fikr, 2000.
________. al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah. Jilid I-VIII. Diedit oleh `Ali Muhammad alBujâwî. Beirut: Dâr al-Jail, cet I, 1992. ________. Lisân al-Mîzân. Jilid I, III. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988. ________. Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar. Dita`liq oleh Ishaq `Azûr. Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990. ________. Tahdzîb al-Tahdzîb. Jilid I-X. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. ________. Ta`jîl al-Manfa`ah. Diedit oleh Ikrâmullah `Imdâd al-Haqq. Beirut: Dâr alKutub al-`Arabî, t.th. __________. Talkhîsh __________.
al-Habîr. Jilid III-IV. Madinah: t.p, 1964.
Taghlîq al-Ta`lîq. Jilid II. Beirut: al-Maktab al-Islâmiyyi, Dâr `Ammâr, cet I, 1405 H.
________. Taqrîb Tahdzîb. Jilid I-II. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Assagaf, Ja`far. Tesis: Metodologi Penilaian Ibnu Hajar al-Asqalâni Terhadap Rijâl alHadis (Telaah Kitab Taqrîb al-Tahdzîb). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2002. al-Atâbikî, Jamâl al-DînYûsuf bin Taghrî. al-Nujûm al-Zâhirah fî Mulûk Mishra wa alQâhirah. Jilid I dan X. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1992. al-Azraqâ, Muhammad bin `Abdullah. Akhbâr al-Makkah wa mâ Jâa’ bihâ min al-Atsâr. Jilid I. Mekkah: Dâr al-Tsaqâfah, 1988. Badrân, Abû al-`Ainaîn Badrân. al-`Alâqât al-Ijtimâ`iyyah baina al-Muslimîn wa ghaîr alMuslimîn. Saudi `Arabiyyah: Muassasah Syabâb al-Jâmi`ah, 1984. Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: PSAP, 2006. al-Bahûtî, Manshûr bin Yûnus bin Idrîs al-Hanbalî. Kassyâf al-Qannâ` `an al-Iqnâ`. Jilid
277
III-IV, VI. Ditahqîq oleh Hilâl Mushailihî Mushtafa Hilâl. Beirut: Dâr al-Fikr, 1402 H. al-Baihaqî, Ahmad bin Husein Abû Bakar. Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî. Jilid I, II, IV, VIX. Diedit oleh Mustafa `Abd Qâdir al-Athâ’. Mekkah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994. _________. Syu`ab
al-Îmân. Jilid VI-VII. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1410 H.
al-Balâdzurî, Ahmad bin Yahya. Futûh al-Buldân. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1403 H. al-Bannâ, Gamal. al-Ta`addudiyyah fî Mujtama` al-Islâmî. Terjemahan oleh Taufik Damas berjudul Doktrin Pluralisme Dalam al-Quran. Jakarta: Menara, 2006. al-Baqdâdî, Ahmad bin `Ali al-Khatib. al-Kifâyah fî `Ilm al-Riwâyah. Diedit oleh Abu `Abdillah al-Sûraqî. Madinah: Maktabah `Ilmiyyah, t. th. _________. Târîkh
Baghdâd. Jilid V. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.
al-Bazzâr, Abû Bakar bin Ahmad. Musnad al-Bazzâr. Jilid IV. Madinah: Maktabah `Ulûm wa al-Hikam, 1409 H. Biek, Muhammad Khudharî. Ushûl al-Fiqh. Mesir: Maktabah al-Tijârah al-Kubrâ, 1962. Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Terjemahan oleh Jaziar Radianti dan Entin Sriani berjudul Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern. Bandung: Mizân, 2000. al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ`îl. Shahîh al-Bukhâri bî Hâsyiah al-Sindî. Jilid I-IV. Beirut: Dâr al-Fikr; 1994. al-Bustî, Muhammad bin Hibbân. Shahîh Ibn Hibbân. Jilid I, IV, VI, XI, XVI. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1993. __________. al-Tsiqât.
Jilid IV,VI. Diedit oleh Syarafuddin Ahmad. T.tp: Dâr al-Fikr, 1975.
Dahlân, Ahmad bin Zaini. al-Sîrah al-Nabawiyyah. Jilid II. Beirut: Dâr Ihyâ’ Turats al`Arabî, 1994. al-Dailamî. Abû Syujâ` Syairawiyyah bin Syahradâr. al-Firdaus bi Ma’tsûr al-Khitâb. Jilid I. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986. al-Dâraquthnî, Abû al-Hasan `Ali bin `Umar. `Ilal al-Dâraquthnî. Jilid VI. Riyâdh: Dâr alThaiyyibah, cet I, 1985. __________.
Sunan al-Dâraquthnî. Jilid III-IV. Diedit oleh `Abdullah Hâsyim al-Yamânî. Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1966.
al-Dardîr, Abû al-Barakât; Ahmad. Syarh al-Kabîr. Jilid IV. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. al-Dârimî, Abû Muhammad `Abdullah bin Bahrâm. Sunan al-Dârimî. Jilid I-II. Beirut: Dâr al-Fikr, 2005. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
278
al-Dzahabî, Muhammad bin Ahmad. Dzikr Man Yu`tamad Qauluh fî al-Jarh wa al-Ta`dîl. Diedit dan dita`lîq oleh `Abd Fattâh Abû Quddah. Cairo: Maktabah al-Matbû`ah al-Islâmiyyah, cet V, 1984. ________. Mîzân al-I`tidâl fî Naqd al-Rijâl. Jilid III-IV, VII-VIII. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 1995. ________. al-Mûqizhah fî `Ilm Mushthalah al-Hadîts. Diberi catatan oleh `Abd Fatâh Abû Ghuddah. Halab: Maktabah al-Matbû`ah al-Islâmiyyah, cet. II, 1412 H. ________. Siyar A`lâm al-Nubalâ’. Jilid III-V, VII-VIII, X-XVIII, XX-XXII. Diedit oleh Syua’ib al-Arnawûth dan Muhammad Nu`aim al-`Arqusûsî. Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, cet IX, 1413 H. ________. Tadzkirah al-Huffazh. Jilid I-II. Diedit oleh Hamdi `Abd Majîd Ismâ`îl al-Salafî. Riyâdh: Dâr al-Shami`i, cet I, 1415 H. Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2000. al-Fandî, Muhammad Tsâbit dkk. Dâirah al-Ma`ârif al-Islâmiyyah. Jilid III, VI, IX, XIII. Timrân: t.tp, 1933. al-Faruqi, Ismail dan Lois Lamya. The Cultural Atlas of Islam. Terjemahan dengan judul Atlas Budaya Islam. Bandung: Mizan, 2000. al-Ghazâlî, Abû Hâmid; Muhammad bin Muhammad. Mukhtasar Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Fikr, cet I, 1993. al-Ghazâlî, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts. Cairo: Dâr al-Syurûq, 1992. Gottschalk, Louis. Understanding History: A Primer of Historical Method. Terjemahan oleh Nugroho Notosusanto berjudul, Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 1985. al-Haitsamî, `Ali bin Abû Bakar. Majma` al-Zawâ’id wa Manba` al-Fawâ’id. Jilid I-X. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1988. Hâji al-Khalîfah, Musthafa bin `Abdullah al-Hanafî. Kasyf al-Dzunnûn. Jilid II-III. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. al-Hâkim, Muhammad bin `Abdullah al-Naisâbûr. al-Mustadrak `alâ Shahîhain. Jilid I-IV. Diedit oleh Musthafa `Abd Qâdir al-`Athâ’. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1990. al-Hamawî, `Abdullah Yaqût bin `Abdullah. Mu`jam al-Buldân. Jilid I-V. Beirut: Dâr alFikr, t.th. Harahap, Syahrin. Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Ushuluddin. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Haryono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Hâsyim, `Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979. Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan Perspektif
279
Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina, 1995. Ibn Abî Hâtim, `Abd Rahmân al-Râzî. `Ilal Ibn Abî Hâtim. Jilid I. Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1405 H. ________. al-Jarh wa al-Ta`dîl. Jilid I-V. Beirut: Dâr Ihyâ al-Turats al-`Arabî, 1952. Ibn Abî Syaibah, Abû Bakar `Abdullah bin Muhammad. Mushannaf Ibn Abî Syaibah. Jilid I-II, V-VII. Diedit oleh Kamâl Yûsuf al-Hût. Riyâdh, Maktabah al-Rasyd, 1409 H/1989. Ibn Abî al-Wafâ, `Abd Qâdir bin Muhammad. Thabaqât al-Hanafiyyah. Karachi: Meir Muhammad, t.th. Ibn `Adî, Abû Ahmad `Abdullah al-Jurjânî. al-Kâmil fî Dhu`afâ’ al-Rijâl. Jilid IV. Beirut: Dâr al-Fikr, cet II , 1988. Ibn al-Atsîr, `Izz al-Dîn Abû al-Hasan `Ali bin Muhammad. al-Kâmil fî al-Târîkh. Jilid IIII, VIII. Beirut: Dâr Shâdr, 1979. Ibn al-Atsîr II, Maj al-Dîn Mubârak bin Muhammad. al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa Atsar. Jilid I-V. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Ibn Fâris, Ahmad bin Fâris bin Zakariyya. Mu`jam Maqâyîs al-Lughah. Jilid I-III, V-VI. Beirut: Dâr al-Jail, 1991. Ibn Hamzah, Ibrâhîm bin Muhammad al-Dimasyqî. al-Bayân wa al-Ta`rîf fî Asbâb alWurûd al-Hadîts. Jilid I-II. Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 2003. Ibn Hanbal, Ahmad. al-Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal. Jilid I-VI. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Ibn Hazam, Abû Muhammad;`Ali bin Ahmad. Ma`rifah al-Nâsîkh wa al-Mansûkh. Tercetak dipinggir Tafsîr Jalâlain. Beirut: Dâr al-Fikr, 1991. ________. al-Muhalla. Jilid XI. Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, t.th. Ibn Hisyâm, Muhammad `Abd Mâlik al-Ma`âfirî. al-Sîrah al-Nabawiyyah. Jilid I-IV. Diedit oleh Jamal Tsabit dkk. Cairo: Dâr al-Hadîts, 2004. Ibn `Imâd, `Abd Hayyi bin Ahmad al-Dimasyqî. Syadzarât al-Dzahab fî Akhbâr man Dzahab. Jilid I-VI. Beirut: Dâr Kutub `Ilmiyyah, 1998. Ibn Ismâ`îl, Jamâl bin Muhammad. Irsyâd Ûlil al-Bâb ilâ ma Shahha min Mu`âmalah Ahl al-Kitâb. Riyâdh: Dâr al-Mi`râj, 1993. Ibn Jauzî, Abû al-Faraj `Abd Rahmân bin `Ali. al-Dhu`afâ’ wa al-Matrûkîn. Jilid I. Diedit oleh `Abdullah al-Qâdhi. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1406 H. ________. al-Tahqîq fî Ahâdîts al-Khilâf. Jilid II. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1415 H/1995 M. Ibn Katsîr, Ismail bin `Umar al-Dimasyqi. al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Jilid II-V. Beirut: Maktabah al-Ma`ârif, t.th ________. Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm. Jilid I-IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 1401 H.
280
Ibn Manzhûr, Muhammad bin Mukarram. Lisân al-`Arab. Jilid I-XV. Beirut: Dar Shâdr, cet I, t.th. Ibn al-Mulaqqin, `Umar bin `Ali al-Anshârî. Khulâshah al-Badr al-Munîr. Jilid II. Diedit oleh Hamdi Abd Majîd. Riyâdh: Maktabah al-Rasyd, cet. I, 1410 H. Ibn Qayyim, Muhammad bin Abû Bakar al-Zar’î al-Jauziyyah. Ahkâm Ahl al-Dzimmah. Jilid I-II. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995. Ibn Qudâmah, `Abdullah bin Ahmad al-Maqdisî. al-Kâfî fî Fiqh Ibn Hanbal. Jilid I. Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1988. ________. al-Mughni `alâ Mukhtashar al-Kharqî. Jilid I, VI-X. Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H/1985 H. Ibn Rusyd, Abû al-Walîd; Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid. Jilid I-II. Semarang: Toha Putera, t.th. Ibn Sa`ad, Abû `Abdillah Muhammad bin Sa`ad al-Bashrî al-Zuhrî. al-Thabaqât al-Kubrâ. Jilid I-IV, VII-VIII. Beirut: Dâr al-Shâdr, t. th. Ibn Salâm, Abû `Ubaid al-Qâsim. Kitâb al-Amwâl. Jilid II. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 1986. Ibn Zanjawaih, Humaid. Kitâb al-Amwâl. Jilid II. Mekkah: Markaz Malak Faishal li alBuhûts wa al-Dirasât al-Islâmiyyah, 1986. al-Irâqî, Zain al-Dîn bin `Abd Rahîm. Fath al-Mughîts bi Syarh al-Fiyah al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. ________. al-Taqyîd wa al-Îdhâh. Beirut: Dâr al-Fikr 1991. Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma`âni Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: BulanBintang, 1994. ________. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. `Itr, Nuruddin. Manhaj Naqad fî `Ulûm al-Hadits. Suria: Dâr al-Fikr, 1997. al-Jahnî, Mâni` bin Ahmad. al-Mausû`ah al-Muyassarah fî al-Adyân wa al-Madzâhib wa al-Ahzâb al-Mu`âshirah. Jilid I-II. Riyâdh: Dâr al-Nadwa, 1418 H. Jaiz, Hartono Ahmad. Mengkritisi Debat Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004. al-Jashhâsh, Abû Bakar Ahmad bin `Ali. Ahkâm al-Qur’ân. Jilid I-V. Beirut: Dâr Ihyâ Turats al-`Arabî, 1405 H. al-Jurjânî, `Ali bin Muhammad. al-Ta`rifât. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003. Juynboll, G.H.A. The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt (1890-1960). Terjemahan oleh Ilyas Hasan berjudul Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Bandung: Mizân, 1999. Kahâlah, `Umar Ridha. Mu`jam al-Mu’allifîn. Jilid III. Beirut: Dâr Ihyâ Turats al-`Arabî,
281
t.th. al-Kâsânî, Abû Bakar bin Mas`ûd `Alâ al-Dîn. Badâi` al-Shanâi`. Jilid V, VII. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Arabî, 1982. Kasimin, Amran. Satu Analisa Mengenai Murtad. Kuala Lumpur: Pustaka Mizan, 1990. al-Kattânî, Muhammad bin Ja`far. Risâlah Mustathrafah. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 1995. Khadduri, Majid. War and Peace in the Law of Islam. Clark, New Jersey: The Lawbook Exchange, LTD, 2006. al-Khatîb, Muhammad `Ajjâj. al-Sunnah Qabla al-Tadwîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989. __________. Ushûl
al-Hadîts `Ulûmuhu wa Mushthalhahu. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.
al-Khurbuthlî, `Ali Husni. Rasûl fî al-Madînah. Mesir: Jamhariah Mishrah al-`Arabiyyah, t.th. al-Kitâb al-Muqaddas; al-`Ahd al-Qadîm wa al-`Ahd al-Jadîd. Syarq al-Ausath: Dâr alKitâb al-Muqaddas, tth. Koentjaraningrat (redaksi), Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1985. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana Yogya, 1994. __________. Pengantar
Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.
al-Laknawî, Abû al-Hasanât Muhammad `Abd Hayyi. al-Ajwibah al-Fâdhilah li al-As’ilah al-`Asyrah al-Kâmilah. Halab: Maktabah al-Nahdhah, 1984. __________.
al-Raf`u wa al-Takmîl fî al-Jarh wa al-Ta`dîl. t.tp: Maktabah al-Da`wah alIslâmiyyah, t.th.
Lubon, Gustav. Hadhârah al-`Arab. Terjemahan dari Adil Zu`aitir tanpa judul asli. Mesir: Maktabah `Isa al-Babi al-Halabi, t.th. Little, David. et al. Human Rights and The Conflick of Cultures Western and Islamic Perspectives on Religious Liberty. Terjemahan oleh Riyanto berjudul Kajian Lintas Kultural Islam-Barat, Kebebasan Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Academia, 1997. al-Mâlikî, Muhammad bin `Alwi. al-Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts al-Syarîf. Jeddah: Sahar, cet IV, 1402 H. Ma’luf, Lois. al-Munjid fî al-Lughah. Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977. Mansur, `Ali. Terapi Urin Halalkah. (ed. Ja`far Assagaf). Jakarta: Abla Publisher, 2004. al-Marghiyânî, `Ali bin Abû Bakar. al-Hidâyah Syarh al-Bidâyah. Jilid II, IV. Beirut: alMaktabah al-Islâmiyyah, t.th. al-Mas`ûdî, `Ali bin Abî Hasan. Murûj al-Dzahab wa Ma`âdin al-Jauhar. Jilid I-II. Beirut: Maktabah Islâmiyyah, t.th.
282
al-Maudûdî, Abû al-A`lâ. al-Islâm fî Mawâjahah al-Tahaddiyah al-Mu`âsharah. Kuwait: Dâr al-Qalam, 1983. ________. Nazhariyyah al-Islâm wa Hadyâhu. Jeddah: al-Dâr al-Sa`ûdiyyah, 1985. ________. The Laws of Mariage and Devoice in Islam. Terjemahan oleh Achmad Rais berjudul Kawin dan Cerai Menurut Islam. Jakarta: GIP, 1991. al-Mizzî, Abû Hajjâj Yûsuf bin Zaki. Tahdzîb al-Kamâl. Jilid I-XXXV. Diedit oleh Basyâr Awâd Ma`rûf. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1980. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006. al-Mubârakfûrî, Abû al-`Alâ Muhammad `Abd Rahmân bin `Abd Rahîm. Tuhfah alAhwadzi. Jilid III-V, VIII. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th. al-Mubârakfûrî, Safî al-Rahmân. al-Rahîq al-Makhtûm. Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1999. Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKIS, 2001. MUI. Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, HAM dan Agama-Agama. Jakarta: MUI, 1996. ________. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1991. al-Munâwî, Muhammad `Abd Raûf. al-Ta`ârif. Diedit oleh Muhammad Ridwan Daiya. Beirut: Dâr al-Fikr, cet I, 1410 H. al-Muqri’, Hibatullah bin Salâmah bin Nashr. al-Nâsîkh wa al-Mansûkh. Jilid I. Beirut: Maktabah Islâmiyyah, 1404 H. Mutthahhari, Murtadhâ. Jurisprudence in its Principle. Terjemahan oleh Ahsin Muhammad berjudul Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993. __________. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Terjemahan tanpa judul Asli dengan penyunting Haidar Bagir. Bandung: Mizân, 1992. __________. Revelation and Prophethood. Terjemahan oleh Ahsin Muhammad berjudul Falsafah Kenabian. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991. __________. Society and History. Terjemahan oleh M. Hashem Assagaf berjudul Masyarakat dan Sejarah. Bandung: Mizan, 1993. Nadvi, Muzafaruddin. A Geographical History of The Qur’ân. Terjemahan oleh Jum`an Basalim berjudul Sejarah Geografi al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. al-Nasâ’î, Ahmad bin Syu`aib. Sunan al-Mujtabâ lî al-Nasâ’I bî Syarh al-Suyuthî wa Hâsiyah al-Sindî. Jilid I-IV (Vol I-VIII). Beirut: Dâr al-Fikr, 1999. ________. Sunan al-Kubrâ. Jilid VI. Beirut: Dâr Kutub al-`Ilmiyyah, 1991. Nashîf, Hafni dkk. Qawâ`id al-Lughah al-`Arabiyyah. Surabaya: al-Hikmah, t. th. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI, 1985.
283
al-Nawawî, Abû Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Dîn. Shahîh Muslim bi Syarah al-Nawawi. Jilid I-IX (vol. I-XVIII). Beirut: Dâr al-Fikr, 2000. al-Nibrâwî, Khadîjah, Mausû`ah Ushûl al-Fikr al-Siyâsî wa al-Ijtimâ`î wa al-Iqthishâdî min Nab`i al-Sunnah wa Hadyi al-Khulafâ’ al-Râsyidîn. Jilid I-II. Cairo: Dâr alSalâm, 2004. al-Nuhhâs, Abû Ja`far, Ahmad bin Muhammad al-Murâdî. al-Nâsîkh wa al-Mansûkh. Kuwait: Maktabah al-Falâh, 1408 H/ 1988. Phipps, William E. Muhammad and Jesus: A comparasion of the Prophets and Teachings. Terjemahan oleh Ilyas Hasan berjudul Muhammad dan Isa Telaah Kritis atas Risalah dan Sosoknya. Bandung: Mizan, 1998. al-Qâdhî, Abû Thaiyyib. `Ilal al-Turmudzi li al-Qâdhî. Beirut: Maktabah al-Nahdhah al`Arabiyyah, 1409 H/ 1989 M. Qal`ajî, Muhammad Rawâs dan Hamid Shadiq Qanîbî. Mu`jam Luqhah al-Fuqahâ. Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet I, 1985. al-Qaradhâwî, Yusuf. Hadyu al-Islâm Fatâwi al-Mu`âshirah. Terjemahan oleh As`ad Yasin berjudul Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid I-II. Jakarta: GIP, 1995. ________. al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm. Cairo: Maktabah Wahbah, 1980. ________. Ghair al-Muslimîn fî al-Mujtama` al-Islâmî. Cairo: Maktabah Wahbah, 1977. al-Qizwînî, Abû `Abdillah Muhammad bin Yazîd. Sunan Ibn Mâjah. Jilid I-II. Diedit oleh Shidqi Jamil al-Athhâr. Beirut: Dâr al-Fikr, 2004. al-Qurthubî, Abû `Abdillah Muhammad bin Ahmad. al-Jâmi` lî Ahkâm al-Qur’ân / Tafsir al-Qurthubi. Jilid I-VIII, XII-XIII, XV, XVII-XVIII, XX. Cairo: Dar Sya`ab, 1372 H. al-Qusyairî, Abû Husein Muslim bin Hajjâj. Shahîh Muslim. Jilid I-II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. Rahman, Fazlur. Mayor Themes of the Qur’an. Terjemahan oleh Anas Mahyuddin berjudul Tema Pokok al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1996. al-Ramahurmuzî, al-Hasan bin `Abd Rahmân. al-Muhaddits al-Fâshil. Diedit oleh Muhammad `Ajjâj al-Khatib. Beirut: Dâr al-Fikr, cet III, 1404 H. Ridhâ, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm/al-Manâr. Jilid II & VI. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999. Sachedina, Abd `Aziz. The Islamic Roots of Democratic Pluralism. Oxford: University Press, 2001. al-Sakhâwî, Abû Khair; Muhammad bin `Abd Rahmân. Fath al-Mughîts bi Syarh Alfiah alHadîts. Jilid I-IV. Diedit oleh `Abd Karîm bin `Abdullah al-Khudhair dan Muhammad bin `Abdullah bin Fuhaid. Riyâdh, Maktabah Dâr al-Mi`râj, 1426 H. ________. al-I`lân bi al-Taubîkh li man Dzamma al-Târîkh. Bierut: Dâr al-Kutub al-
284
`Ilmiyyah, t.th. ________. al-Maqâsid al-Hasanah fî Bayân Katsîr min al-Ahâdîts al-Musytahirah `alâ alSinah. Beirut: Dâr al-Hijrah, 1986. al-Sam`ânî, `Abd Karim Muhammad. al-Ansâb. Jilid II. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1998. Sânu, Qutub Mustafa. Mu`jam Mushthalahât Ushûl Fiqh. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000. al-Sarakhsî, Muhammad bin Ahmad bin Abî Sahal. al-Mabsûth. Jilid V, IX-XI, XVI, XXVI, XXX. Beirut: Dâr al-Fikr, 1406 H. Serjeant, R. B. The Sunnah Jamî`ah, Pacts With The Yathrib Jews And The Tahrim of Yathrib. Editorial Borad: Edward Ullendorff at al, University of London, 1978. al-Shan`ânî, `Abd Razzâq bin Hammâm. Mushannaf `Abd Razzâq. Jilid I, V-VIII, X. Diedit oleh Habîburrahman al-A`zhamî. Beirut: Maktabah al-Islâmî, 1403 H. Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1997. Shihab, M. Quraish. Jilbâb, Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera hati, 2004. __________.Membumikan
al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mîzân, 1995.
__________.
Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005. al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Volume 1-3, 5-6, 810, 12-15. Jakarta: Lentera Hati, cet I, 2000-2003.
__________. Tafsîr
__________. Wawasan
al-Quran. Bandung: Mizan, 1996.
__________. Wawasan
al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Shihab, `Umar. Kontekstualitas al-Qur’an. Jakarta: Pena Madani, 2005. al-Sijistânî, Sulaimân bin Asy`ats. Sunan Abî Dâud. Jilid I-IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi: edisi baru. Jakarta: Rajawali Press, 1993. Subhanî, Ja`far. The Message. Terjemahan Muhammad Hâsyim dan Meth Kie Raha dengan judul Ar-Risalah; Sejarah Kehidupan Rasulullah saw. Jakarta: Lentera, 1996. Suhadi. Kawin Lintas Agama, Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKIS, 2006. Suryasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. al-Suyûthî, `Abd Rahmân bin Abû Bakar Jalaluddin. al-Dûr al-Mantsûr fî Tafsîr bî alMa’tsur. Jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. _________. al-Asybâh wa al-Nadzâ’ir. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, cet I, 1403 H. _________. Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl. Beirut: Dâr al-Fikr, 1991. _________. Tadrîb al-Râwi fî Syarh al-Taqrîb al-Nawawî. Jilid II. Diedit oleh `Abd Wahhab `Abd Lathîf. Riyâdh: Maktabah Riyâdh al-Hadîsah, t.th. _________. Tafsîr Jalâlain. Beirut: Dâr al-Fikr, 1991. al-Syâfi`î, imam Muhammad bin Idrîs. al-Umm. Jilid II, IV, VI-VII. Beirut: Dâr alMa`rifah, 1393 H/ 1973 M.
285
Syahrûr, Muhammad. al-Kitâb wa al-Qur’ân, Qirâ’ah al-Mu`âshirah. Mesir: Sînâ li alNasyar wa al-Ahâlî, 1992. al-Syarbînî, Muhammad al-Khatîb. Muhgnî al-Muhtâj Syarh al-Minhâj. Jilid IV. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Syari`ati, `Ali. Religion Versus Religion. Terjemahan oleh Afif Muhammad dan `Abd Syukur berjudul Agama versus Agama. Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. al-Syâthibî, Abû Ishaq Ibrâhîm bin Mûsa al-Lakhmî al-Gharnâthî. al-Muwafaqât fî Ushûl al-Syarî`ah. Jilid IV. Beirut: Dâr al-Ma`rifah, t.th. al-Syaukânî, Muhammad bin `Ali. Fath al-Qadîr. Jilid I-II, IV-V. Beirut: Dâr al-Fikr, t. th. ________. Irsyâd al-Fuhûl. Diedit oleh Muhammad Sa`îd al-Badrî. Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1992. ________. Nail al-Authâr. Jilid I, VI-VIII. Beirut: Dâr al-Jail, 1973. al-Syayijî, `Abd Razzâq bin Khalifah dan Muhammad al-Sayyid Nuh. Manâhij alMuhadditsîn fî Riwâyah al-Hadîts bi al-Ma`na. Beirut: Dâr Ibn Hazm, cet I, 1998. al-Syîrâzî, Abû Ishâq Ibrâhîm bin `Ali. al-Muhadzzab. Jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. al-Thabarânî, Abû Qâsim Sulaimân bin Ahmad. Mu`jam al-Ausath. Jilid I, V, VII-VIII. Cairo: Dâr al-Harâmain, 1415 H/ 1995 M. __________.
Mu`jam al-Kabîr. Jilid I-II, V, VII-IX, XVII-XX, XXII, XXV. Diedit oleh Hamdi bin `Abd Majîd al-Salafî. Moushol: Maktabah al-`Ulûm wa al-Hikam, 1983.
al-Thabarî, Abû Ja`far; Muhammad bin Jarîr. Tafsîr al-Thabarî. Jilid I-III, VI, X, XXX. Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H. ________. Târîkh al-Thabarî. Jilid I-II. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1407 H. al-Thabâthaba’î, Muhammad bin Husein. al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân. Jilid II. Beirut: Mu’assasah al-`Alami, 1991. al-Thahhân, Mahmûd. Taisîr Musthalah al-Hadîts. Surabaya: Bungkul Indah, t. th. ________. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid. Riyâdh: Maktabah Ma`ârif, 1991. al-Thahânawî, Zhafar Ahmad al-`Utsmânî. Qawâ’id fî `Ulûm al-Hadîts. Halab: Maktabah al-Nahdhah, t.th. al-Thahâwî, Abû Ja`far; Ahmad bin Muhammad. Syarh Ma`ânî al-Atsâr. Jilid I, III-IV. Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2001. Tim Penulis Paramadina. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Paramadina, 2004. Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 3. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jilid 1-2. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
286
Tim Penyusun. Suplemen Ensiklopedi Islam. Jilid 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Tim UIN Jakarta. Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam. Jakarta: UIN Syahid, 2007. al-Tirmasî, Muhammad Mahfudz. Manhaj Dzawî al-Nazhar. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. al-Turmudzî, Muhammad bin `Îsa. Sunan al-Turmudzî. Jilid I-V. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003. al-`Umarî, Akram Dhiyâ’, Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musyarrafah. Madinah: Maktabah al-`Ulûm wa al-Hikam, cet IV, 1984. Usman, Fathimah. Wahdat al-Adyân Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta: LKIS, 2002. Wajdî, Muhammad Farîd. Dâ’irah al-Ma`ârif al-Qarn al-`Isyrûn. Jilid V, VIII. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Wasim, Alef Teria et al (ed). Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan. Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. J. Milton Cowan (Ed). London: Wiesbaden: Otto Harrasowitz, 1971. Wensinck, AJ. al-Mu`jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Hadîts al-Nabawî. Jilid I-VIII. Leiden: E. J. Briil, 1936-1969. Ya`qûb, Ali Mustafa. Nikah Beda Agama; Dalam Perspektif al-Quran dan Hadîs. Jakarta: Dâr al-Sunnah, 2005. al-Ya`qûbî, Ahmad bin Ishâq. Târîkh al-Ya`qûbî. Jilid I-II. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 1999. Zaidân, Jurji. Al-`Arab Qabl al-Islâm. Cairo: Dâr al-Hilâl, t.th. ________. Târîkh
al-Tamaddun al-Islâmî. Jilid I. Cairo: Muassasah Dâr al-Hilâl, 1968.
al-Zaila`î, Abû Muhammad `Abdullah bin Yûsuf. Nashb al-Râyah. Jilid III-IV. Mesir: Dâr al-Hadîts, 1357 H. al-Zamakhsyarî, Mahmûd bin `Umar. al-Fâ’iq fî Gharîb al-Hadîts. Jilid I-IV. Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. al-Zarqânî, Muhammad `Abd al-Azhîm. Manâhil al-`Irfân. Jilid II. Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyyah, 1996. Ztf, Pradana Boy. Paradoks Negeri Syari`at. Dalam koran Indo Pos, 6 Oktober 2007. SUMBER DARI INTERNET http//:groups.google.com/group/soc.culture.indonesia. Diakses pada 18 Nopember 2007. http://hidayatullah.com. Data diakses pada 02 Desember 2007. http://kelana-lambora.blogspot.com. Data diakses pada 02 Desember 2007.
287
http://kompas.com. Data diakses pada 02 Desember 2007. http://rkhblog.wordpress.com. Diakses pada 18 Nopember 2007. http://swaramuslim.net. Diakses pada 30 Nopember 2007. http://www.fica.org. Data diakses pada 02 Desember 2007. http://www.icc.jakarta.com. Data diakses pada 01 Desember 2007. http://www.islamemansipatoris.com. Diakses pada 22 Nopember 2007. http://www.myquran.org. Data diakses pada 01 Desember 2007. http://www.suaramerdeka.com. Data diakses pada 02 Desember 2007. www.antara.co.id. Diakses pada 18 Nopember 2007. www.bbc.co.uk. Diakses pada 18 Nopember 2007. www.detiknews.com. Data diakses pada 01 Desember 2007. www.halalmui.or.id. Diakses pada 15 Nopember 2007. www.indonesiamedia.com. Diakses pada 18 Nopember 2007. www.kompas.com. Diakses pada 18 Nopember 2007. www.republika.co.id. Diakses pada 30 Nopember 2007. www.tempointeraktif.com. Data diakses pada 01 Desember 2007.